7 BAB II KAJIAN TEORI
A. Kecerdasan Emosional
1. Definisi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan menurut Gregory adalah kemampuan atau keterampilan untuk memecahkan masalah atau menciptakan produk yang bernilai dalam satu atau lebih bangunan budaya tertentu. Sedangkan menurut C.
P. Chaplin, kecerdasan adalah kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara tepat dan efektif.
Dan menurut Anita E. Woolfolk, kecerdasan adalah kemampuan untuk belajar, keseluruhan pengetahuan yang diperoleh, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
(http://www.pengertianahli.com/2013/12/pengertian-kecerdasan-dan- jenis.html#_)
Sedangkan emosi berasal dari kata e yang berarti energi dan motion yang berarti getaran. Emosi kemudian bisa dikatakan sebagai sebuah energi yang terus bergerak dan bergetar (Chia : 1985). Dalam makna harfiah, Oxford English Dictionary mendefinisikan emosi sebagai “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.”
Goleman (2015) dalam bukunya Emotional Intelligence mengartikan emosi sebagai suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Chaplin (2002) merumuskan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu. Emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap sesuatu.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas mengenai kecerdasan dan emosi, maka bisa dikatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan atau keterampilan seseorang untuk mengolah pikiran dan perasaannya dalam melakukan suatu tidakan.
2. Ruang Lingkup Kecerdasan Emosional
Ruang lingkup kecerdasan emosional menurut Jeanne (2001 : 5) adalah hubungan pribadi dan sosial.
a. Kecerdasan Pribadi
Menurut Jeanne (2001 : 18) dikutip dari Gardner, kecerdasan pribadi atau kecerdasan intrapersonal adalah kepekaan seseorang terhadap suasana hati dan kecakapan memahami tentang kelemahan dan kelebihan dirinya. Keuntungan orang yang dapat memperhatikan dirinya sendiri pasti dapat juga memperhatikan orang lain, artinya mereka yang mempunyai kecerdasan pribadi tinggi akan mampu mengenali dan menerima perasaan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan pribadi berkaitan dengan kecerdasan sosial.
Sedangkan Goleman (1999 : 44) menjelaskan kecerdasan pribadi adalah kemampuan manusia untuk mengelola atau mengembangkan diri sendiri. Goleman (1999 : 83) memaparkan ada beberapa komponen kecerdasan pribadi, yaitu:
1) Kesadaran emosi, yaitu mengenali emosi diri sendiri dan efeknya.
2) Penilaian diri sendiri secara teliti, yaitu mengetahui keterbatasan dan kelebihan diri sendiri secara tulus.
3) Percaya diri, yaitu keberanian yang datang dari kepastian tentang kemampuan, nilai-nilai, dan tujuan.
b. Kecerdasan Sosial
Kecerdasan sosial atau kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk menentukan bagaimana manusia menangani suatu hubungan (Goleman, 1999 : 43).
Sedangkan menurut Gardner, kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain; apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan mereka. Kecerdasan pribadi adalah kecerdasan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri.
Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta
kemampuan menggunakan model tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif (Goleman, 2015 : 50).
Gardner yang terus memperluas berbagai macam kecerdasan, setidaknya menjadi 20 macam kecerdasan, mengemukakan bahwa kecerdasan antarpribadi, masih dapat dibagi-bagi menjadi empat kemampuan tersendiri, yaitu:
1) Kepemimpinan.
2) Kemampuan membina hubungan dan mempertahankan persahabatan.
3) Kemampuan menyelesaikan konflik.
4) Keterampilan semacam analisis sosial.
Dalam rumusan lain, Gardner mencatat bahwa inti kecerdasan antarpribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan
“akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”
(Goleman, 2015 : 51).
Kecerdasan emosional memiliki dimensi yang begitu banyak, bahkan dari kata emosi saja belum ada pengertian secara pastinya, masing-masing ilmuwan mengartikan kecerdasan emosional berdasarkan pemahamnnya masing-masing. Akan tetapi, teori yang paling terkenal yang juga di adopsi oleh Goleman adalah teori dari Gardner, dimana kecerdasan emosional terdiri dari kecerdasan pribadi dan kecerdasan sosial. Karena kedua kecerdasan inilah yang memiliki implikasi paling kuat dalam kehidupan manusia, baik mulai dari keberhasilan meraih prestasi belajar di lingkungan sekolah, pekerjaan dan jabatan yang baik, ataupun keberhasilan di lingkungan masyarakat.
3. Indikator Kecerdasan Emosional
Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional (Goleman, 2015 : 55-57). Lima wilayah utama dalam kecerdasan tersebut adalah:
a. Mengenali Emosi Diri
Kesadaran diri (mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi) merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal yang penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri.
Ketidakmampuan mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi, mulai dari masalah siapa yang akan dinikahi sampai ke pekerjaan apa yang akan diambil.
b. Mengelola Emosi
Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri, seperti kemampuan menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan. Orang yang buruk dalam keterampilan ini akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional (menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati) adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Dan mampu menyesuaikan diri dalam “flow”
memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala
bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan “keterampilan bergaul”. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Orang-orang seperti ini cocok untuk pekerjaan-pekerjaan keperawatan, mengajar, penjualan, dan manajemen.
e. Membina Hubungan Sosial
Seni membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain; mereka adalah bintang-bintang pergaulan.
Kelima indikator ini menjadi indikator utama untuk mengukur kecerdasan emosional. Bahkan di negara-negara maju dikembangkan kurikulum self science untuk mengelola kelima indikator ini. Bagaimana seorang peserta didik dapat mengetahui emosinya, mengelola emosinya, memanfaatkan emosinya secara produktif, berempati terhadap sesama, dan membina hubungan sosial baik di lingkungan sekolahnya maupun di luar sekolahnya adalah hal yang penting. Apabila kelima indikator ini dapat dikelola dengan baik maka akan membantu peserta didik untuk meraih kesuksesannya.
4. Unsur-Unsur Kecerdasan Emosional Anak dalam Kesiapan Bersekolah Kesiapan seorang anak untuk masuk sekolah bergantung pada hal yang paling dasar di antara semua pengetahuan, yaitu “bagaimana belajar”. Hal tersebut membuat mendaftar tujuh unsur kemampuan yang sangat penting yang berkaitan dengan kecerdasan emosional.
a. Keyakinan
Perasaan kendali dan penguasaan seseorang terhadap tubuh, perilaku, dan dunia; perasaan anak bahwa ia lebih cenderung berhasil daripada tidak dalam apa yang dikerjakannya, dan bahwa orang-orang dewasa akan bersedia menolong.
b. Rasa Ingin Tahu
Perasaan bahwa menyelidiki segala sesuatu itu bersifat positif dan menimbulkan kesenangan.
c. Niat
Hasrat dan kemampuan untuk berhasil dan untuk bertindak berdasarkan niat itu dengan tekun. Ini berkaitan dengan perasaan terampil, perasaan efektif.
d. Kendali Diri
Kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan pola yang sesuai dengan usia; suatu rasa kendali batiniah.
e. Keterkaitan
Kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang lain berdasarkan perasaan saling memahami.
f. Kecakapan Berkomunikasi
Keyakinan dan kemampuan verbal untuk bertukar gagasan, perasaan, dan konsep dengan orang lain. Ini ada kaitannya dengan rasa percaya pada orang lain dan kenikmatan terlibat dengan orang lain, termasuk orang dewasa.
g. Kooperatif
Kemampuan untuk menyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan orang lain dalam kegiatan kelompok.
(Goleman, 2015 : 272-273).
Apabila ketujuh unsur ini teroenuhi dengan baik, maka secara tidak langsung anak telah siap untuk memasuki jenjang pendidikan. Jika salah satunya saja dari unsur ini tidak terpenuhi maka akan ada suatu ketidakstabilan emosi yang akan di alami oleh anak. Oleh karena itu
penting untuk memperhatikan kesiapan anak sebelum dan saat masa sekolahnya.
5. Program-Program Efektif dalam Mengelola Kecerdasan Emosional Di negara-negara maju, pengembangan kecerdasan emosional peserta didik telah menjadi topik utama. Ada sekolah yang membuat kurikulum tersendiri untuk mengelola kecerdasan emosional ini, seperti halnya kurikulum self science dan ada pula yang memasukkannya ke dalam setiap mata pelajaran, membaur bersama pelajaran yang diajarkan.
Hal ini karena dirasakan sangat penting. Kecerdasan emosional begitu menentukan keberhasilan peserta didik dalam meraih prestasinya baik yang bersifat akademis maupun non-akademis. Berikut beberapa program untuk mengelola kecerdasan emosional.
a. Keterampilan Emosional
1) Mengidentifikasi dan memberi nama perasaan-perasaan.
2) Mengungkapkan perasaan.
3) Menilai intensitas perasaan.
4) Mengelola perasaan.
5) Menunda pemuasan.
6) Mengendalikan dorongan hati.
7) Mengurangi stres.
8) Mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan.
b. Keterampilan Kognitif
1) Bicara sendiri, melakukan “dialog batin” sebagai cara untuk menghadapi suatu masalah atau menentang atau memperkuat perilaku diri sendiri.
2) Membaca dan menafsirkan isyarat-isyarat sosial, misalnya mengenali pengaruh sosial terhadap perilaku dan melihat diri sendiri dalam perspektif masyarakat yang lebih luas.
3) Menggunakan langkah-langkah bagi penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan, misalnya mengendalikan dorongan hati,
menentukan sasaran, mengidentifikasi tindakan-tindakan alternatif, memperhitungkan akibat-akibat yang mungkin terjadi.
4) Memahami sudut pandang orang lain.
5) Memahami sopan santun (perilaku mana yang dapat diterima dan yang tidak).
6) Sikap yang positif terhadap kehidupan.
7) Kesadaran diri, misalnya mengembangkan harapan-harapan yang realistis tentang diri sendiri.
c. Keterampilan Perilaku
1) Nonverbal, berkomunikasi melalui hubungan mata, ekspresi wajah, nada suara, gerak-gerik, dan seterusnya.
2) Verbal, mengajukan permintaan-permintaan dengan jelas, menanggapi kritik secara efektif, menolak pengaruh negatif, mendengarkan orang lain, menolong sesama, ikut serta dalam kelompok-kelompok yang efektif.
(Goleman, 2015 : 426-427).
B. Hasil Belajar 1. Definisi Belajar
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengamatannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003 : 2). Perubahan tersebut bersifat relatif konstan dan berbekas. Dalam kaitan ini, proses belajar dan perubahan merupakan bukti hasil yang diproses.
Belajar tidak hanya mempelajari mata pelajaran, tetapi juga penyusunan, kebiasaan, persepsi, kesenangan atau minat, penyesuaian sosial, bermacam-macam keterampilan lain, dan cita cita (Hamalik, 2002 : 45). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan belajar apabila terjadi perubahan pada dirinya akibat adanya latihan dan pengalaman melalui interaksi dengan lingkungan.
Beberapa pengertian lain belajar menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a. Crow-crow (1958)
Belajar adalah upaya pemerolehan kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap baru.
b. Hilgard (1962)
Belajar adalah proses muncul atau berubahnya suatu perilaku karena adanya respons terhadap suatu situasi.
c. Divesta dan Thompson (1970)
Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku atau kemampuan dengan serangkaian usaha. Misalnya, dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan sebagainya. Selain itu, belajar akan lebih baik jika subjek belajar mengalami atau melakukannya, sehingga tidak bersifat verbalistik semata.
2. Ciri-Ciri dan Prinsip Belajar a. Ciri-Ciri Belajar
Beberapa ciri belajar seperti dikutip oleh Darsono (2000 : 30) adalah sebagai berikut:
1) Belajar dilakukan dengan sadar dan mempunyai tujuan. Tujuan ini digunakan sebagai arah kegiatan, sekaligus tolak ukur keberhasilan belajar.
2) Belajar merupakan pengalaman sendiri, tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Jadi, belajar bersifat individual.
3) Belajar merupakan proses interaksi antara individu dan lingkungan. Hal ini berarti individu harus aktif apabila dihadapkan pada lingkungan tertentu. Keaktifan ini dapat terwujud karena individu memiliki berbagai potensi untuk belajar.
4) Belajar mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap diri orang yang belajar. Perubahan tersebut bersifat integral, artinya perubahan dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terpisah satu dengan yang lainnya.
b. Prinsip-Prinsip Belajar
Adapun prinsip-prinsip belajar secara umum adalah sebagai berikut:
1) Perhatian dan Motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar pengolahan informasi, terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar (Gage dan Berliner, 1984 : 335).
Perhatian terhadap pelajaran akan timbul pada peserta didik apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Di samping perhatian, motivasi mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar mengajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang.
Motivasi dapat dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil (Gage dan Berliner, 1984 : 372).
2) Keaktifan
Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang sangat aktif. Jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak sekedar menyimpannya saja tanpa mengadakan transformasi.
Menurut teori ini, peserta didik memiliki sifat aktif, konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Peserta didik mampu untuk mencari, menemukan, dan menggunakan pengetahuan yang diperolehnya.
3) Keterlibatan Langsung/Berpengalaman
Dalam belajar yang menggunakan pengalaman langsung, peserta didik tidak sekedar mengamati secara langsung, tetapi ia juga harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya.
Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan Learning by doing nya. Keterlibatan langsung tersebut meliputi keterlibatan fisik, mental emosional, kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan pengetahuan dalam penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap, dan juga pada saat mengadakan latihan- latihan dalam pembentukan keterampilan.
4) Pengulangan
Prinsip belajar yang menekankan perlunya pengulangan yang paling tua dikemukakan oleh teori Psikologi daya. Menurut teori ini belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya pengamat, menanggap, mengingat, menghayal, merasakan, berpikir, dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan, maka daya-daya tersebut akan berkembang.
5) Tantangan
Dalam situasi belajar, peserta didik menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan, yaitu mempelajari bahan ajar. Agar peserta didik memiliki motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik, maka bahan ajar haruslah menantang. Tantangan yang dihadapi peserta didik dalam bahan ajar akan membuat peserta didik bergairah untuk mengatasinya.
6) Umpan Balik dan Penguatan
Peserta didik akan belajar lebih semangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Hasil yang baik merupakan umpan balik yang menyenangkan dan berpengaruh baik untuk usaha belajar selanjutnya. Namun, dorongan belajar tidak saja diperkuat oleh umpan balik yang menyenangkan, akan tetapi juga yang tidak menyenangkan. Baik penguatan yang bersifat
negatif maupun postif, keduanya memberikan efek dalam memperkuat peserta didik dalam belajar.
7) Perbedaan Individual
Peserta didik merupakan individu yang unik, artinya tidak ada dua orang yang sama persis. Setiap peserta didik memiliki perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Perbedaan ini berpengaruh terhadap cara dan hasil belajar peserta didik. Oleh karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh pendidik dalam upaya pembelajaran.
Berdasarkan ciri dan prinsip tersebut, proses belajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari pengajar kepada peserta didik, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik merekonstruksi sendiri pengetahuannya, sehingga mampu menggunakan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Definisi Hasil Belajar
Menurut Sudjana (2005 : 5) hasil belajar peserta didik pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku dan sebagai umpan balik dalam upaya memperbaiki proses belajar mengajar.
Tirtonegoro (2001 : 43) mengemukakan hasil belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap peserta didik dalam periode tertentu.
Djamarah (1996 : 23) mengungkapkan hasil belajar sebagai hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar.
Sedangkan menurut Widoyoko (2009 : 1) mengemukakan bahwa hasil belajar terkait dengan pengukuran, kemudian akan terjadi suatu penilaian dan menuju evaluasi baik menggunakan tes maupun non- tes. Pengukuran, penilaian, dan evaluasi bersifat hierarki. Evaluasi didahului dengan penilaian (assessment), sedangkan penilaian didahului dengan pengukuran.
Maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang diperoleh dari usaha belajar yang dilakukan, baik berupa pengetahuan, keterampilan, atau perubahan perilaku.
4. Ranah Hasil Belajar
Benyamin Bloom mengemukakan secara garis besar membagi hasil belajar menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik (Sudjana, 2010 : 22-31).
a. Ranah Kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah:
1) Pengetahuan;
2) Pemahaman;
3) Aplikasi;
4) Analisis;
5) Sintesis;
6) Evaluasi.
b. Ranah Afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai yang terdiri dari lima aspek. Kelima aspek dimulai dari tingkat dasar atau sederhana sampai tingkat yang kompleks sebagai berikut:
1) Reciving/ attending (penerimaan);
2) Responding (jawaban);
3) Valuing (penilaian);
4) Organisasi;
5) Karakteristik nilai atau internalisasi nilai c. Ranah Psikomotor
Hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkatan keterampilan, yakni:
1) Gerakan refleks, yaitu keterampilan pada gerakan yang tidak sadar;
2) Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar;
3) Kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual, membedakan auditif, motoris dan lain-lain;
4) Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan dan ketepatan;
5) Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks;
6) Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif.
Dalam setiap proses pembelajaran terdapat hasil belajar yang dialami peserta didik, akan tetapi biasanya di sekolah-sekolah hanya ranah kognitif saja yang ditonjolkan. Pada ranah kognitif hasil belajar peserta didik diberikan interpretasi berupa nilai dalam bentuk angka. Sedangkan untuk ranah afektif atau psikomotorik tidak begitu ditonjolkan.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Dikutip dari http://www.idsejarah.net/2014/11/faktor-faktor-yang- mempengaruhi-hasil.html, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi dua jenis saja, yaitu faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses belajar peserta didik sehingga menentukan kualitas hasil belajar.
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Di dalam membicarakan faktor internal ini, akan dibahas menjadi tiga faktor, yaitu: jasmaniah, psikologis, dan kelelahan.
1) Faktor Jasmaniah
Faktor jasmaniah meliputi dua faktor lain, yaitu kesehatan, dan cacat tubuh.
2) Faktor Psikologis
Sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu
adalah intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan.
3) Faktor Kelelahan
Kelelahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kelelahan jasmani dan kelelahan rohani (bersifat psikis).
b. Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan lingkungan non-sosial.
1) Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial terdiri dari beberapa lingkungan sosial, yaitu lingkungan sosial sekolah, lingkungan sosial masyarakat, dan lingkungan sosial keluarga.
2) Lingkungan Non-Sosial
Beberapa lingkungan non-sosial yang berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik yaitu lingkungan alamiah, instrumental perangkat pembelajaran, dan materi pelajaran (yang diajarkan pada peserta didik).
C. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar 1. Definisi Matematika
Istilah matematika menurut Nasution (1980) berasal dari bahasa Yunani, mathein atau manthenein yang berarti mempelajari. Kata Matematika diduga erat hubungannya dengan kata sansekerta, medha atau widya yang artinya kepandaian, ketahuan atau inteligensia (Subarinah, 2006 : 1).
Prihandoko (2006: 1) mengemukakan matematika merupakan ilmu dasar yang sudah menjadi alat untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.
Oleh karena itu penguasaan terhadap matematika mutlak diperlukan dan konsep-konsep matematika harus dipahami dengan betul dan benar sejak dini. Hal ini karena konsep-konsep dalam matematika merupakan suatu rangkaian sebab akibat.
Fajri (2007: 554) menyatakan pengertian matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah bilangan. Elea Tinggih mengemukakan berdasarkan etimologis perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar (Suherman, 2001: 18).
Ruseffendi mengatakan matematika itu terorganisasikan dari unsur- unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma dan dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya sehingga matematika disebut ilmu deduktif (Subarinah, 2006: 1).
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan definisi matematika adalah tentang bilangan-bilangan yang menjadi dasar ilmu- ilmu lain yang diperoleh secara nalar berdasarkan dalil-dalil dan konsep- konsep tertentu.
2. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Suharjo (2006: 85) mengemukakan pembelajaran pada hakikatnya tidak hanya sekedar menyampaikan pesan pembelajaran kepada peserta didik, akan tetapi merupakan aktivitas profesional yang menuntut guru untuk dapat menggunakan keterampilan dasar mengajar secara terpadu, serta menciptakan sistem lingkungan yang memungkinkan peserta didik dapat belajar secara efektif dan efisien.
Apabila guru ingin mengajarkan sesuatu kepada peserta didik dengan baik dan berhasil, pertama-tama yang harus diperhatikan adalah metode atau cara pendekatan yang akan dilakukan, sehingga sasaran yang diharapkan dapat tercapai atau terlaksana dengan baik.
Dikutip dari Membina Guru Mengajar Matematika di Sekolah Dasar dengan CBSA (Depdikbud : 7), guru dapat menggunakan prinsip cara belajar peserta didik aktif dalam pengajaran matematika, prinsipnya adalah sebagai berikut:
a. Setiap konsep baru selalu diperkenalkan melalui kerja praktik yang cukup.
b. Kerja praktik merupakan bagian dari keseluruhan pengajaran matematika, bahkan bagian yang terpadu dalam pengajaran matematika.
c. Dengan kerja praktik pengalaman peserta didik akan bertambah.
d. Penerapan konsep baru melalui kerja praktik harus dilakukan berulang kali dengan bervariasi, dengan maksud untuk lebih menanamkan konsep dan untuk dapat memperbaiki dengan segera.
e. Pemberian kesempatan untuk mengemukakan pertanyaan dan hasil penemuan bagi peserta didik perlu diberikan.
f. Mempergunakan pengalaman sehari-hari dalam pengajaran matematika.
g. Kegiatan evaluasi jangan hanya melihat dari hasil yang dikerjakan peserta didik tetapi juga harus dilihat dari proses kegiatan pelajaran atau keaktifan dalam bekerja.
Dalam mengajarkan matematika, guru harus memahami bahwa kemampuan setiap peserta didik berbeda-beda, serta tidak semua peserta didik menyenangi mata pelajaran matematika.
Pembelajaran matematika yang baik menuntut penggunaan metode ataupun model pembelajaran yang bervariasi. Hal ini masuk akal karena suatu topik matematika kadang-kadang dapat diajarkan secara lebih baik hanya dengan menggunakan metode tertentu. Selain itu jika guru matematika hanya menggunakan satu jenis metode mengajar, maka akan dimungkinkan para peserta didik menjadi lebih cepat bosan atau jemu terhadap materi yang disampaikan.
Konsep-konsep pada kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu penanaman konsep dasar, pemahaman konsep, dan pembinaan keterampilan. Untuk menuju tahap keterampilan tersebut harus melalui langkah-langkah benar yang sesuai dengan kemampuan dan lingkungan peserta didik, yaitu (1) Penanaman konsep dasar, (2) Pemahaman konsep, dan (3) Pembinaan keterampilan (Heruman, 2008: 2-3).
Matematika sangat diperlukan dalam kehidupan manusia, maka matematika perlu diajarkan bagi peserta didik SD. Sesuai dengan
kurikulum 2006 KTSP, disebutkan tujuan mata pelajaran matematika di SD (Dwidasih, 2006: 4) adalah:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Memahami konsep matematika sangatlah penting untuk mengaplikasikannya dalam pemecahan masalah. Maka pada Sekolah Dasar, guru harus menyampaikan konsep matematika dengan baik dan benar agar dapat mengaplikasikan pada kehidupan nyata dengan benar.
3. Pengurangan dan Penjumlahan Pecahan
(Materi dikutip sepenuhnya dari Metode Mengajar Matematika I hal.
153-169)
a. Bilangan Pecahan
Pengertian bilangan pecahan pada matematika sekolah dasar dapat didasarkan atas pembagian suatu benda atau himpunan atas beberapa bagian yang sama (Simanjuntak, 1993 : 153).
Misalnya seorang ibu yang baru pulang dari pasar membawa 3 buah jeruk, sedangkan ia memiliki 2 orang anak, agar setiap anak
mendapat bagian yang sama, maka 3 buah jeruk tersebut harus dibagi dua.
Dalam pembagian jeruk tersebut setiap anak mendapat 1 1/2 (satu setengah) bagian.
Gambar 2-1
= +
Contoh lain.
Apabila sebuah sedotan (anggap sedotan mewakili bilangan satu) dipotong atau dibagi dua sama besar maka tiap bagian mendapat setangah atau seperdua. Lambang seperdua atau setengah di tulis ½ atau 0,5.
Gambar 2-2a dianggap menunjukkan atau mewakili bilangan satu (1).
Gambar 2-2b dipotong atau dibagi dua sama besar maka tiap bagian 1/2.
Gambar 2-2a dipotong atau dibagi 3 bagian sama besar maka tiap bagian menjadi satu pertiga atau sepertiga dengan lambang bilangan 1/3, gambar 2-2c.
Gambar 2-2a dipotong atau dibagi 4 bagian sama besar maka tiap bagian menjadi satu perempat atau seperempat, dengan lambang bilangan 1/4, gambar 2-2d.
Dalam pecahan 1/2, 1/3, 1/4, 7/8, 5/4, dan seterusnya bahwa bilangan 1, 7, 5 disebut pembilang pecahan dan bilangan 2, 3, 4, dan 8 disebut penyebut pecahan.
3 … ? 11/2
Gambar 2-2
b. Penjumlahan Pecahan
Penjumlahan pecahan dapat dilakukan bila bilangan penyebut sama besar.
Misalnya 2/5 + 4/5 = 6/5
Sedangkan 2/3 + 3/5 belum dapat diselesaikan, karena penyebutnya tidak sama besar.
Dalam penjumlahan pecahan yang dijumlahkan adalah bilangan pembilangnya sedangkan bilangan penyebutnya tidak dijumlahkan.
Contoh: Operasi penjumlahan bilangan pecahan.
Contoh 1.
Selesaikanlah, 2/5 + 1/5
Gambar 2-3
(a) (b)
(c)
a b c d
1 2
1 2
1 3 1 3 1
3 1
4 1 4 1 4 1 4
1 5
1 5
1 5
1 5
1 5
2 5
1 5
Sediakan kertas karton yang berukuran empat persegi panjang, Gambar 2-3a, dan anggap daerah yang diarsir menunjukkan bilangan satu.
Kertas karton dibagi atau dipotong menjadi lima bagian sama besar, Gambar 2-3b.
Setiap bagian dihimpun sesuai permintaan soal yaitu 2/5 dan 1/5.
Hasil penjumlahan pecahan 2/5 dan 1/5 adalah yang diarsir yaitu 3/5, Gambar 2-3c.
Contoh 2.
Selesaikanlah, 1/18 + 6/18 + 4/18 + 2/18 + 3/18 = ….
Gambar 2-4
(a) (b)
(c) (c) Penyelesaian
1) Ambil karton 3 x 6 cm.
2) Gunting dengan melintang menjadi 6 bagian sama besar..
3) Gunting dengan membujur menjadi 3 bagian, dengan demikian terdapat 18 bagian (kotak) yang mewakili 1/18 bagian setiap satu bagian (gambar 2-4a).
4) Gambar 2-4b adalah I + II + III + IV + V yaitu 1/18 + 6/18 + 4/18 + 2/18 + 3/18 =
=
1
18 1
I 9
II
III IV
V
1 9
1 3
5) Hasilnya 8/9. Gambar 2-4c.
Contoh 3.
Selesaikanlah, 1 2/3 + 2 ½ Penyelesaian
Gambar 2-5a
Gambar 2-5a menunjukkan 1 2/3
1 2/3 dapat dijadikan pecahan dengan cara: Penyebut dari bilangan pecahan dikalikan dengan bilangan bulatnya ditambah dengan bilangan pembilang dari bilangan pecahan tersebut yaitu:
( )
= , atau -9 = -3 -6
Gambar 2-5b
Gambar 2-5b menunjukkan 5/3 yaitu:
3/3 + 2/3 = = 5/3 (b)
(a)
1 = 2
3 1 3
2 3
1 3 3
1 = 3
Gambar 2-5c
Gambar 2-5c menunjukkan 2 1/2.
2 1/2 dapat dijadikan pecahan dengan cara 2 1/2 ….., 2/2 + 2/2 + 1/2 atau ( ) =
Gambar 2-5d
Gambar 2-5d menunjukkan 5/2 yaitu:
2/2 + 2/2 + 1/2 = = Hasil akhir 1 2/3 + 2 ½ adalah:
1 + 2 = 3
Gambar 2-5e (c)
1 1
(d) 2
2 2
2
3 3= 1
2
2= 1 2
2= 1 4
6
3 6
2/3 + ½ = 4/6 + 3/6 = 7/6 3 + 1 1/6 = 4 1/6 (gambar 2-5e).
1 2/3 + 2 1/2 = (3/3 + 2/3) + (2/2 + 2/2 + 1/2) Gambar 2-5b dan 2-5d.
= ( ) + ( )
= + KPK 6
= + = + , yaitu (6 : 3) x 5 dan (6 : 2) x 5.
= + = +
= = = + = 4 + = 4 1/6.
= 4 1/6 Gambar 2-5e.
Contoh 4.
2 1/5 + 5 3/5 = … Penyelesaian 1.
Pertama dijumlahkan bilangan bulat 2 dan 5
Bilangan pecahan 1/5 dan 3/5 menyusul
Penyelesaian lebih lanjut.
2 1/5 + 5 3/5 = (2 + 5) + (1/5 + 3/5)
= 7
= 7 + 4/5
= 7 4/5
Penyelesaian 2.
2 1/5 dan 5 3/5 dijadikan menjadi bentuk pecahan lain dengan cara penyebutnya dikalikan dengan bilangan bulatnya setelah itu ditambah dengan pembilangnya.
Perhatikan
2 1/5 dirobah menjadi ( ) = 11/5 5 3/5 = ( ) =
Dengan demikian:
2 1/5 + 5 3/5 = 11/5 + 28/5 = 39/5 = 7 4/5.
Contoh 5.
3 1/5 + 2 ¼ = …
Dalam penjumlahan pecahan bahwa penyebut yang tidak sama belum bisa diselesaikan.
Penyebut yang tidak sama dalam penjumlahan pecahan dapat diselesaikan setelah penyebutnya disamakan terlebih dahulu.
Penyebut dapat disamakan dengan bilangan KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil).
3 1/5 + 2 1/4 = 16/5 + 9/4;
KPK 5 dan 4 adalah 20 karena 5 x4 = 20.
= 16/5 + 9/4 = …/20 + …/20 (20 : 5) x 16 = 64
(20 : 4) x 9 = 45 Dengan demikian :
16/5 + 9/4 = 64/20 + 45/20 = 109/20.
109/20 dapat disederhanakan dengan cara:
20 x … = … + sisa … 20 x 5 = 100 + sisa 9.
Berarti:
109/20 = 100/20 + 9/20 = 5/1 + 99/20 = 5 9/20.
c. Pengurangan Pecahan Contoh 1.
Selesaikanlah 1 – 2/3 = …
Gambar 2-6
(a) (b) (c)
1 – 2/3 dapat diselesaikan dengan cara bantuan benda kongkrit.
Misalnya satu kue diambil dua pertiga, maka sisa kue menjadi satu pertiga atau dengan lambang sepertiga adalah 1/3.
Untuk mengetahui kue dua pertiga dan sepertiga, maka kue tersebut dibagi tiga bagian sama besar berarti bagian dari kue menunjukkan sepertiga bagian (1/3).
Gambar 2-6a menunjukkan satu kue.
Gambar 2-6b menujukkan kue telah dibagi tiga bagian sama besar dengan ketentuan 1 bagian menunjukkan 1/3.
Gambar 2-6c menunjukkan kue 2/3 bagian yang diambil dan sisanya 1/3 bagian.
Dengan demikian:
1 – 2/3 = 3/3 – 2/3= = 1/3 Cara ke 2.
1 – 2/3 dapat diselesaikan dengan menggunakan garis bilangan.
1 dijadikan pecahan yaitu 3/3 atau 1 = 3/3.
Si X mulai bergerak dari titik (0/3) menunjukkan titik B (3/3) dan kembali lagi tetapi sampai di titik C.
Berarti sisa yang belum dilewati adalah 1/3, yaitu C ke A.
3
3= 1 13 1 3 1 3
1 3
Gambar 2-7
Contoh 2.
2 – 2/3 – 3/4 = …
Gambar 2-8
(c) (d) (e)
2 kue disediakan Ibu untuk hidangan pagi dan sore dan malam (gambar 2-8a).
Hidangan pagi 2/3 bagian, hidangan sore ¾ bagian berapa sisa hidangan malam.
Kedua roti sama-sama dibagi 12 bagian sama besar, (gambar 2- 8b).
Setiap bagian mewakili 1/12 bagian.
Pembagian roti menjadi 12 bagian sama besar karena KPK dari pecahan 2/3 dan ¾ adalah 12, yaitu 2 – 2/3 – 3/4 = 24/12 – 8/12
= 9/12.
𝐴 𝐵
𝑐
0 3
1
3 2
3
3 3
4 3
0 1 1
(a) (b)
(c)
4 12
3 12
7 12
Dari roti I diambil 2/3 bagian atau 8/12 bagian (gambar 2-8c) Dari roti ke II diambil 3/4 bagian atau 9/12 bagian (gambar 2- 8d)
Sisa roti untuk makan malam adalah 7/12 bagian (gambar 2-8e), yaitu sisa 4/12 + sisa 3/12 = 7/12.
Contoh 3.
Selesaikanlah, 3 5/7 – 2 5/7 = ....
3 5/7 – 2 5/7 terlebih dahulu diubah menjadi pecahan, yaitu 3 5/7 diubah menjadi pecahan biasa dengan cara penyebut dikalikan dengan bilangan bulat ditambahkan pembilang perpenyebut.
35
7=(7 3) 5
7 = 26
7 25
7 (7 2) 5
7 = 19
7
Maka 3 5/7 – 2 5/7 = = = 1 atau 3 5/7 – 2 5/7 = (3 - 2) + (5/7 – 5/7)
= 1-0
= 1 Contoh 4.
Selesaikanlah, 2 2/3 – 1 6/5 = ...
Ubah menjadi pecahan biasa
Penyebutnya disamakan dengan menggunakan KPK 15.
2 2/3 – 1 6/5 = 8/3 – 11/5 8/3 – 11/5 = (15 3) 8
15 (15 5) 11
15 =
40 15
33
15= 40 33
15 = 7 15 Contoh 5.
Selesaikanlah, 6/5 – n = 3/5
Penyelesaian 1.
Dapat diubah menjadi 6/5 = 3/5 + n supaya 6/5 = 6/5 maka n = ....
untuk memenuhinya 6/5 = 3/5 + ....
maka n = 3/5
dengan demikian 6/5 = 3/5 + 3/5 Penyelesaian 2.
6/5 – n = 3/5 dapat dirubah menjadi:
6/5 – 3/5 = + n 6/5 – 3/5 = 3/5 Hasilnya, n = 3/5
D. Penelitian Terdahulu
Setelah melakukan penelusuran, peneliti menemukan beberapa penelitian seperti skripsi dan tesis yang berkaitan dengan judul penelitian yang dilakukan peneliti.
Skripsi Amalia Sawitri Wahyuningsih (2004) berjudul Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Pada Siswa Kelas II SMU Lab School Jakarta Timur.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada peranan kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar pada peserta didik kelas II SMU. Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada peserta didik kelas II SMU dan Hipotesis nihil (Ho) adalah tidak ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada peserta didik kelas II SMU. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional sedangkan prestasi belajar sebagai variable terikat. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas II SMU Lab School Jakarta Timur yang seluruhnya berjumlah 240 orang. Sampel penelitian adalah 148 peserta didik, menggunakan metode proporsional random sampling. Dalam pengumpulan data digunalan metode skala untuk kecerdasan emosional berdasarkan teori Daniel Goleman yang terdiri dari mengenali emosi diri, mengelola emosi diri,
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain; dan untuk mengukur prestasi belajar peserta didik digunakan metode pemeriksaan dokumen dengan melihat nilai rapor semester I.
Nilai korelasi yang diperoleh pada analisis validitas instrumen dengan rumus korelasi Product Moment dari Pearson berkisar antara 0,320 - 0,720 dan p berkisar antara 0,000 - 0,008. Berdasarkan pada taraf signifikan 0,05 diperoleh 85 item valid dan 15 item gugur dari 100 item yang ada pada skala kecerdasan emosional. Nilai koefisien reliabilitas yang diperoleh 0,9538 dihitung dengan rumus Alpha Cronbach.
Hasil analisis data penelitian menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,248 dengan p 0,002 (<0,05) maka Ha diterima dan Ho ditolak. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada peserta didik kelas II SMU Lab School Jakarta Timur.
Tesis Eko Nur Budi (2009) berjudul Hubungan antara Kecerdasan Emosional dan Penguasaan Struktur Kalimat dengan Kemampuan Menulis Eksposisi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui ada tidaknya hubungan antara (1) kecerdasan emosional dan kemampuan menulis eksposisi, (2) penguasaan struktur kalimat dan kemampuan menulis eksposisi, (3) kecerdasan emosional dan penguasaan struktur kalimat secara bersama-sama dengan kemampuan menulis eksposisi. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus Januari sampai dengan Juni 2009.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan teknik korelasional. Populasi penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII SMP Negeri Kecamatan Jekulo Kudus. Sampel berjumlah 80 peserta didik yang diambil dengan cara simple random sampling. Instrumen untuk mengumpulkan data adalah tes kemampuan menulis eksposisi, angket kecerdasan emosional, dan tes penguasaan struktur kalimat. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi dan korelasi (sederhana, ganda).
Hasil analisis menunjukkan bahwa (1) ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional (ry.1 = 0,74 pada taraf nyata a = 0,05 dengan n
= 80 hasilnya rt = 1,66), (2) ada hubungan positif yang signifikan antara penguasaan struktur kalimat dan kemampuan menulis eksposisi (ry.2 = 0,79) pada taraf nyata a = 0,05 dengan n = 80 hasilnya rt =11,38), (3) ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dan penguasaan struktur kalimat secara bersama-sama dengan kemampuan menulis eksposisi (Ry.12 = 0,837 pada taraf nyata a = 0,05 dengan n = 80 hasilnya adalah Ft = 3,12).
Pada uji signifikansi koefisien regresi ganda Y atas X1X2 menghasilkan t1 = 2,37, t2 = 5,57. Dari daftar distribusi t dengan dk 77 (a = 0,05) diperoleh tt sebesar 1,66 yang ternyata t1 > tt dan t2 > tt. Ini berarti koefisien regresi yang berkaitan dengan X1X2 signifikan.
Dari hasil penelitian di atas dapat dinyatakan bahwa secara bersama-sama kecerdasan emosional dan penguasaan struktur kalimat memberikan sumbangan yang berarti kepada kemampuan menulis eksposisi (70,05 %). Ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut dapat menjadi prediktor yang baik bagi kemampuan menulis eksposisi.
Skripsi Evi Lailatul Latifah (2010) berjudul Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Akhlak Siswa Kelas XI SMA Triguna Utama Tangerang Selatan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan akhlak peserta didik kelas XI SMA Triguna Utama Tangerang Selatan. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Triguna Tangerang Selatan pada semester genap tahun ajaran 2009/2010. Teknik yang digunakan sebagai alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah teknik angket (Questionnaire) bentuk skala Likert.
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XI yang berjumlah 53 peserta didik. Instrumen penelitian terdiri dari 2 kategori yaitu instrumen kecerdasan emosional dan instrumen akhlak, dimana instrumen tersebut diambil dari teori-teori yang telah teruji.
Data penelitian kecerdasan emosional dan akhlak ini diperoleh dengan menggunakan alat ukur kecerdasan emosional berbentuk skala yang terdiri dari 45 item dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,90 dan alat ukur akhlak yang terdiri dari 20 item dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,81.
Data yang diperoleh kemudian dianalisa menggunakan Formula Product Moment Karl Pearson. Berdasarkan hasil analisa data dengan Product Moment Karl Pearson diperoleh nilai r hitung = 0,674 dan r tabel = 0,273 dengan df = 50 dan dengan perhitungan Coeffiecient of determination diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 45%. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang cukup signifikan antara kecerdasan emosional dengan akhlak peserta didik kelas XI SMA Triguna Utama Tangerang Selatan. Sehingga dapat disimpulakan bahwa akhlak yang terdapat dalam diri peserta didik dapat ditingkatkandnegan adanya pelatihan dan pengembangan kecerdasan emosional.
E. Kerangka Pemikiran
Sebelum dikenalkannya istilah kecerdasan emosional oleh Peter Salorey dari Harvard University dan John Meyer dari University of New Hampshire pada tahun 1990 dan dimasyarakatkan oleh Goleman (1995), kecerdasan diartikan dengan amat sempit, yaitu sebagai kemampuan menyerap, mengolah, mengekspresikan, mengantisipasi dan mengembangkan hal-hal yang bersangkut paut dengan pengetahuan, ilmu dan teknologi, dengan kata lain kecerdasan diartikan dengan “kemampuan berfikir” yang hasilnya dapat diukur dengan angka-angka yang sering disebut dengan IQ, yang mengukur baik kemampuan verbal maupun non verbal, termasuk ingatan, perbendaharaan kata, wawasan, abtraksi, logika, ketrampilan motorik visual (faktor intelegensi umum) yang biasanya berkorelasi dengan nilai. Namun pada akhir abad 20 ini, konsep kecerdasan tersebut dikembangkan dengan pengertian yang lebih luas, yaitu kecerdasan emosional. Para psikolog telah mengusulkan beberapa definisi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) adalah suatu dimensi kemampuan manusia yang
berupa keterampilan emosional dan sosial yang kemudian membentuk karakter. Di dalamnya terkandung kemampuan-kemampuan seperti kemampuan mengendalikan diri, empati, motivasi, semangat, kesabaran, ketekunan, dan keterampilans osial (Supriadi, 1997 : 10). Goleman (1996) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah perasaan yang memunculkan diri dalam bentuk tindakan.
Konsep dan teori tentang kecerdasan emosional memberikan harapan baru kepada dunia pendidikan yang selama ini lebih berorientasi pada IQ (Intelligence Quotient). Bagi kebanyakan orang untuk menguasai matematika diperlukan kecerdasan intelektual yang tinggi, mengingat bahwa matematika adalah ilmu eksak, yaitu ilmu dengan perhitungan yang pasti, maka dibutuhkan penguasaan yang baik terhadap materi. Padahal untuk menguasai matematika bukan hanya diperlukan kecerdasan intelektual saja, melainkan ketelitian, kesabaran, ketekunan, dan motivasi yang kuat untuk memahaminya, dimana hal tersebut tergolong dalam kecerdasan emosional.
Seperti dikatakan Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ). Maka dari itu untuk menyelesaikan permasalahan dalam matematika terutama pecahan bukan hanya dibutuhkan kecerdasan intelektual saja, melainkan kecerdasan emosional juga, jika kecerdasan intelektual dibarengi dengan kecerdasan emosional yang baik akan menghasilkan pemahaman yang baik dalam penyelesaian matematika. Karena keseimbangan IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar peserta didik di sekolah (Goleman : 2002).
Untuk lebih jelasnya peneliti membuat diagram hubungan antara kecerdasan emosional (variabel x) dengan hasil belajar matematika (variabel y) sebagai berikut.
Bagan 2.1
Skema Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Hasil Belajar Matematika
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut:
“Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan hasil belajar matematika pada materi pengurangan dan penjumlahan pecahan peserta didik Kelas V SDN III Bandorasa Kulon”
Hal ini berarti kecerdasan emosional peserta didik berpengaruh terhadap hasil belajar matematika peserta didik pada materi pengurangan dan penjumlahan pecahan. Apabila kecerdasan emosional peserta didik dilatih dan ditingkatkan maka hasil belajar matematika peserta didik pada materi pengurangan dan penjumlahan pecahan akan meningkat pula.