• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI HISTOPATOLOGI PENGARUH PEMBERIAN ENTEROTOKSIN Enterobacter sakazakii PADA MENCIT (Mus musculus) NEONATUS MUNGKY WARDANELA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STUDI HISTOPATOLOGI PENGARUH PEMBERIAN ENTEROTOKSIN Enterobacter sakazakii PADA MENCIT (Mus musculus) NEONATUS MUNGKY WARDANELA"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI HISTOPATOLOGI PENGARUH PEMBERIAN ENTEROTOKSIN Enterobacter sakazakii PADA MENCIT (Mus

musculus) NEONATUS

MUNGKY WARDANELA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

ABSTRAK

MUNGKY WARDANELA. Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian Enterotoksin Enterobacter sakazakii pada Mencit (Mus musculus) Neonatus.

Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan HERNOMOADI HUMINTO.

Enterobacter sakazakii (E.sakazakii) merupakan bakteri motil, tidak membentuk spora, dan Gram negatif fakultatif anaerob. Salah satu faktor virulen E.sakazakii adalah enterotoksin. Enterotoksin E.sakazakii memiliki sifat tahan/resistensi panas. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dilakukan pengamatan/studi histopatologi pengaruh enterotoksin baik murni maupun yang dipanaskan terhadap mencit neonatus. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek enterotoksin terhadap organ serebrum, medula spinalis, hati, ginjal, usus dan limpa. Penelitian ini menggunakan mencit neonatus umur 6-8 hari sebanyak 18 ekor yang dibagi ke dalam 4 kelompok. Kelompok I diberi enterotoksin positif (E+), kelompok II diberi enterotoksin negatif (E-), kelompok III diberi enterotoksin yang dipanaskan (Ep), sedangkan kelompok IV sebagai kontrol (K).

Pemberian enterotoksin dilakukan melalui rute peroral menggunakan kateter steril khusus. Mencit neonatus dieuthanasi dan dinekropsi 3 hari pasca pemberian enterotoksin. Mencit kemudian difiksasi dalam Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% dan kemudian diproses menjadi preparat histopatologis menggunakan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan melihat perubahan histopatologi pada organ serebrum, medula spinalis, hati, ginjal, usus serta limpa. Parameter yang diamati adalah jumlah sel glia pada cerebrum dan medula spinalis, kejadian degenerasi pada hati dan ginjal, jumlah sel radang dan deskuamasi epitel pada usus, jumlah folikel limfoid, megakariosit, infiltrasi PMN, deplesi dan deposisi protein peradangan pada limpa. Data numerikal hasil pengamatan dianalisa secara deskriptif dan statistika dengan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan sedangkan data skoring seperti deskuamasi epitel usus halus diolah dengan Kruskal-Wallis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa enterotoksin E. sakazakii menyebabkan meningitis, enteritis nekrotikan, splenitis, degenerasi hidropis dan degenerasi lemak pada hati dan ginjal anak mencit neonatus. Selain itu, enterotoksin yang resisten terhadap panas masih mempunyai kemampuan merusak organ mencit neonatus.

.

(3)

ABSTRACT

MUNGKY WARDANELA. Histopathological Study of Enterobacter sakazakii Enterotoxin Effect on Neonatal Mice. Under direction of SRI ESTUNINGSIH and HERNOMOADI HUMINTO.

Enterobacter sakazakii (E.sakazakii) is a motile bacterium, non- sporeforming, and Gram-negative facultative anaerobe. Enterotoxin is one of E.sakazakii’s virulence factor. Enterotoxin of E.sakazakii is heat resistant. This reasearch was conducted by histopathology analysis to observed the effect of purified or heated enterotoxin on neonatal mice. The aim of this reasearch is to evaluate enterotoxin effect on cerebrum, spinal cord, liver, kidney, intestine, spleen. Eightteen neonatal mice at the age 6-8 days old were divided into 4 groups. Group I, II, and III were given positive enterotoxin (E+), negative enterotoxin (E-), heated enterotoxin (Ep), respectively and group IV as a control.

Enterotoxin was applied orally used sterile catheter.

The parameters were observed included numbers of glia cells in cerebrum and spinal cord, degeneration of liver and kidney, inflammation and desquamation of small and large intestine epithelium, amount of lymphoid follicle, megakaryocyte, depletion, infiltration of Polymorphonuclear cells (PMN) of spleen and deposition of inflammatory protein in the spleen. Numerical datas were analyzed statistically using ANOVA and continued with Duncan test whereas scorring data was analyzed with Kruskal-Wallis. The result showed that E.sakazakii enterotoxin caused meningitis, enteritis necrotican, hydropic degeneration and fatty degeneration on liver and kidney of neonatal mice. While, heated enterotoxin able to alterate neonatal mice organs.

(4)

STUDI HISTOPATOLOGI PENGARUH PEMBERIAN ENTEROTOKSIN Enterobacter sakazakii PADA MENCIT (Mus

musculus) NEONATUS

MUNGKY WARDANELA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(5)

Judul Penelitian : Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian Enterotoksin Enterobacter sakazakii pada Mencit (Mus musculus) Neonatus

Nama : Mungky Wardanela

NRP : B04104034

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr.Drh.Sri Estuningsih, M.Si Drh. Hernomoadi Huminto, MVS

NIP. 131 878 929 NIP. 130 354 144

Mengetahui, Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Nastiti Kusumorini Nip. 131 669 942

Tanggal lulus :

(6)

PERNYATAAN MENGENAI PENELITIAN DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi penelitian yang berjudul “Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian Enterotoksin Enterobacter sakazakii Pada Mencit (Mus musculus) Neonatus” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, November 2008

Mungky Wardanela

B04104034

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Agustus 1986 di Manna, Bengkulu Selatan. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Mussadik Basri, S.Sos. dan Aswari.

Pendidikan formal dimulai dari pendidikan Taman Kanak-Kanak yang diselesaikan tahun 1992 di TK Dharma Wanita Manna. Kemudian pendidikan dasar yang diselesaikan tahun 1998 di SDN 8 Manna. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan tahun 2001 di SLTPN 1 Manna dan Pendidikan menengah umum diselesaikan pada tahun 2004 di SMUN 1 Manna.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004. Selama perkuliahan penulis aktif sebagai pengurus dalam Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia selama satu periode (2005-2006), anggota Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas (2006-2007).

Penulis juga mendapatkan Beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) selama dua periode tahun 2006-2007 dan 2007-2008.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Studi Histopatologi Pengaruh Pemberian Enterotoksin Enterobacter sakazakii Pada Mencit (Mus musculus) Neonatus”

telah selesai.

Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar- besarnya kepada :

1. Keluarga Tercinta (Papa “Mussadik Basri,S.Sos” , Mama “Aswari”, Gusti Meva, Itah Putri, dan adek Ully) atas kasih sayang, doa dan dukungan semangat, moril serta materiil.

2. Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi dan drh. Hernomoadi Huminto MVS selaku dosen pembimbing atas segala kesabaran, bimbingan, dan waktu yang diluangkan untuk membagi ilmu dan pengalaman mengenai sistematika penulisan yang baik dan benar serta hadiah yang tak ternilai harganya si lucu dan menggemaskan ”Rassy”.

3. drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D selaku dosen penguji.

4. Dr. drh. Hera Maheshwari, MSc. selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan, tawa dan semangat selama perkuliahan.

5. Seluruh staf dan teknisi di Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang membantu penulis selama penelitian. Pak Kasnadi, Pak Soleh, Pak Endang, Bibi, Bu Meli, Mbak Kiki.

6. Herlin David Gandhi (Pipi) atas segala kesabaran, do’a, dan semangat yang sangat besar serta bantuan yang tak terhitung.

7. Keluarga besar di Manna (Bengkulu Selatan) dan Lampung atas do’a dan semangatnya.

8. Getri Grecilia (Bunda Gege), Dordia Anindita R. (Daito), Laorizia Firmasari Dewi (Raizo) atas kerjasama ’de Powerpuff Gals’ yang baik, tawa, sedih bersama, bantuan , semangat, dan sarannya.

(9)

9. Mbak Ochio, Kak Tri, atas bantuan, motivasi dan semangatnya.

10. Teman berbagi cerita, tawa-sedih dan inspirasi (Nina, Gege, Dini, dan Ami). Terima kasih untuk 4 tahun ini dan selamanya ”frenz 4ever”.

11. Mida ”my siz”, Lilis, Iil atas semangat, doa, dan ASRAMA, KENDAL, PEKALONGAN, serta SEMARANG yang indah.

12. Mbak Rhiska, Ayuk Au, Mbak Elpita atas semangat dan kisi-kisinya.

13. Anggota RC (uni Betty, Iyah, Gege, Mbak Yu, Yus, Puput dan Ana) atas kehangatan keluarga II yang diberikan, serta Popon, Chamutz, Sugi, Dhani, Pepet dan Rian.

14. Asteroidea ”41” TERBAIK dan TERISTIMEWA

15. Almamater tercinta FKH IPB (mensejahterakan manusia melalui kesejahteraan hewan).

16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua. Terima kasih.

Bogor, November 2008

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN...xii

PENDAHULUAN ... Latar Belakang...1

Tujuan Penelitian...2

Manfaat Penelitian...2

Hipotesa Penelitian ...2

TINJAUAN PUSTAKA... Mencit (Mus musculus) sebagai hewan coba...3

Histologi organ penting ...6

Otak (cerebrum) ...6

Medula spinalis ...10

Usus...11

Limpa ...14

Hati...16

Ginjal...19

Enterobacter sakazakii ...22

Taksonomi...22

Sifat ...23

Faktor virulen dan patogenitas...24

Sumber penyebaran...26

Respon tubuh terhadap pemberian enterotoksin ...27

Meningitis...28

Sepsis ...29

Enterocolitis necrotikan ...30

Lesio akibat toksin pada organ hati dan ginjal ...32

METODOLOGI ... Waktu dan tempat ...35

Bahan dan alat...35

(11)

Metode penelitian ...36

Isolasi enterotoksin...37

Pemberian enterotoksin E.sakazakii...37

Pembuatan preparat histopatologi ...39

Parameter pengamatan histopatologi ...41

Analisis data ...42

HASIL DAN PEMBAHASAN ... Perubahan histopatologis organ usus ...43

Perubahan histopatologi organ otak ...49

Perubahan histopatologi organ medulla Spinalis ...49

Perubahan histopatologi organ limpa ...54

Gambaran histopatologi organ hati ...58

Gambaran histopatologi organ ginjal ...64

Gambaran umum pengamatan histopatologis akibat pemberian Enterotoksin E.sakazakii...69

KESIMPULAN DAN SARAN... Kesimpulan ...73

Saran ...73

DAFTAR PUSTAKA ...74

LAMPIRAN ...80

(12)

DAFTAR TABEL

Data biologi mencit... 4

Varietas luas dari sumber lingkungan dan makanan ...27

Hasil perhitungan rataan jumlah sel radang pada usus ...44

Hasil pengamatan deskuamasi epitel usus halus ...50

Hasil pengamatan deskuamasi epitel usus besar ...50

Hasil perhitungan rataan jumlah sel glia (cerebrum dan medula spinalis)...50

Hasil perhitungan rataan jumlah folikel limfoid dan megakaryosit ...56

Hasil skoring rataan peringkat deplesi, infiltrasi pmn, dan deposisi protein radang...56

Hasil perhitungan rataan jumlah degenerasi sel dan nekrosa hati...61

Hasil perhitungan rataan jumlah degenerasi sel dan nekrosa ginjal ...65

(13)

DAFTAR GAMBAR

Mencit dan anak mencit neonatus...3

Gambar neuron dan jenis-jenis sel neuroglia...7

Gambar anatomi otak ...8

Gambar medula spinalis ...10

Lapisan meningen ...11

Gambar histologi usus halus ...13

Gambar mikroskopis kolon...14

Gambaran histologi limpa...15

Gambaran histologi hati ...16

Gambaran mikroskopik hati mencit...18

Gambaran histologi ginjal...20

Skematis nefron...21

Enterobacter sakazakii...22

Pemberian enterotoksin pada mencit neonatus ...38

Lokasi pemotongan anak mencit...39

Histogram perbandingan jumlah sel radang usus...44

Usus halus kontrol ...45

Usus halus perlakuan...46

Usus besar perlakuan...46

Histogram perbandingan jumlah sel glia serebrum dan medula spinalis...51

Gambaran meningen serebrum normal ...52

Gambaran meningen serebrum perlakuan...53

Gambaran meningen medula spinalis perlakuan...53

Gambaran folikel limfoid dan megakaryosit limpa kontrol...54

Gambaran deplesi folikel limfoid dan deposisi protein radang ...55

Gambaran nekrosa sel limfoid, infiltrasi sel radang, dan deposisi protein radang...55

Histogram perbandingan jumlah folikel limfoid & megakaryosit ...56

Gambaran degenerasi hidropis sel hati ...59

Gambaran degenerasi lemak sel hati...60

Gambaran nekrosa sel hati ...60

(14)

Histogram perbandingan rataan jumlah degenerasi dan nekrosa sel hati ....61 Histogram perbandingan degenerasi dan nekrosa sel epitel tubuli

proksimalis ginjal...65 Gambaran degenerasi hidropis dan nekrosa ginjal...66 Gambaran degenerasi lemak ginjal ...66

(15)

LAMPIRAN

Pemberian obat pada mencit ...81 Pengolahan data statistik...82 Gambaran metode skoring ...98

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam dekade ini diketahui suatu emergen pathogen baru Enterobacter sakazakii (E.sakazakii) yang dapat menyebabkan enterokolitis nekrotikan, meningitis dan sepsis pada bayi infan terutama dengan berat badan lahir rendah, kurang dari 28 hari, bayi dalam keadaan immunokompromis (Iversen dan Forsythe 2003). Kejadian infeksi tersebut menjadi kompleks karena telah terbukti bahwa susu formula (Powdered Infant Formula – PIF) merupakan sumber infeksi (Muytjen et al. 1988). Sampai saat ini dimanapun di dunia ini telah diketahui PIF merupakan sumber makanan pengganti ASI, sehingga menjadi suatu hal yang menakutkan bila ternyata PIF dapat menjadi sumber infeksi. Penelitian mengenai kontaminasi E.sakazakii pada PIF telah banyak dilakukan (Himelright et al. 2002) termasuk yang dipasarkan di Indonesia (Estuningsih 2006).

Bertolak belakang dengan penelitian yang berkaitan dengan kontaminasi dan biologi E.sakazakii, penelitian mengenai kejadian meningitis, faktor virulen dan patogenesis infeksi berupa enterokolitis, sepsis dan meningitis akibat E.sakazakii masih belum banyak dilakukan. Sampai saat ini penelitian mengenai faktor virulen E.sakazakii baru dilakukan oleh Pagotto et al. (2003) yang meneliti mengenai kemampuan E.sakazakii memproduksi enterotoksin. Enterotoksin mempunyai kemampuan melisis sel pada uji in vitro terhadap sel lestari CHO, Vero, dan Y-1. Enterotoksin yang dihasilkan oleh E.sakazakii diketahui ada yang bersifat resisten terhadap panas, sehingga masih memiliki aktifitas pada uji in vitro. Lebih lanjut Pagotto et al. (2003) telah menyatakan bahwa enterotoksin tersebut menimbulkan kematian pada mencit yang masih menyusu (suckling mice). Namun demikian penelitian lebih lanjut yang mempelajari bentuk kerusakan jaringan akibat efek enterotoksin belum pernah dipublikasikan.

(17)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempelajari perubahan histopatologi kelainan atau perubahan pada organ-organ penting seperti otak, medula spinalis, limpa, usus, hati dan ginjal pada tubuh mencit neonatus setelah diberi enterotoksin.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kerusakan jaringan tubuh mencit neonatus sebagai model bayi bila terinfeksi oleh E.sakazakii yang mampu menghasilkan enterotoksin. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi informasi mengenai penyakit akibat infeksi E.sakazakii.

Hipotesa Penelitian

HO :

1. Enterotoksin yang dihasilkan oleh E.sakazakii menyebabkan meningitis, sepsis, enterokolitis nekrotikan dan kejadian degenerasi pada ginjal dan hati anak mencit neonatus.

2. Enterotoksin yang resisten terhadap panas masih mempunyai kemampuan merusak organ vital mencit neonatus.

HI :

1. Enterotoksin yang dihasilkan oleh E.sakazakii tidak menyebabkan meningitis, sepsis, enterokolitis nekrotikan dan kejadian degenerasi pada ginjal dan hati anak mencit neonatus.

2. Enterotoksin yang resisten terhadap panas sudah tidak memiliki kemampuan merusak organ mencit neonatus.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Mencit (Mus musculus)

Mencit telah digunakan sebagai subjek penelitian sejak abad ke-19. Dalam beberapa dekade pengembangbiakan dengan karakteristik spesifik telah menyediakan variasi genetik yang sangat luas dan terkarakteristik dengan baik secara anatomi dan fisiologi. Sebagai hasilnya, mencit menjadi hewan penelitian yang paling banyak dipakai. Oleh karena tingkat kesuburannya (potensial reproduksi), masa kebuntingan yang singkat, dan jangka hidup yang pendek membuat hewan ini dijadikan hewan model untuk pelajaran teratologi, genetik dan gerontologi. Selain itu, karena ukurannya yang kecil dan murah harganya, hewan ini juga digunakan untuk pelajaran toksikologi dan karsinogenisitas (Sirois 2005).

Mencit yang paling banyak digunakan di laboratorium adalah mencit Albino Swiss (Swiss Albino Mice) yang dibagi berdasarkan sifat genetik dan sifat lingkungan hidupnya (Malole 1989). Sedangkan berdasarkan subspesiesnya, mencit yang sering digunakan Mus musculus domesticus dan Mus musculus musculus seperti tampak pada Gambar 1 (Anonimus 2006a).

Gambar 1. Mencit dan anak mencit neonatus

(19)

I. Taksonomi

Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Ballenger 1999):

kingdom : Animalia

filum : Chordata

subfilum : Vertebrata

kelas : Mamalia

subkelas : Theria

ordo : Rodensia

suborde : Sciurognathi

famili : Muridae

subfamili : Murinae

genus : Mus

spesies : Mus musculus

II. Data Biologi Normal (Smith & S. Mangkoewidjojo 1988) TabeI I. Data Biologis Mencit

Data Biologis Waktu/Jumlah

Berat dewasa a. Jantan b. Betina

20-40 g 18-35 g

Lama hidup 1-3 tahun

Konsumsi air 6,7 ml/dewasa/hari

Konsumsi pakan 5 g/dewasa/hari

Suhu tubuh 35-39oC

Denyut jantung 310-840/menit

Frekuensi napas 94-163/menit

Total leukosit 5-12 x 103/mm3

a. Neutrofil 7-37%

b. Limfosit 63-75%

c. Monosit 0-3%

d. Eosinofil 0-4%

e. Basofiil 0-1,5%

Pubertas 28-49 hari

Musim kawin tidak ada

Tipe estrus poliestrus kontinyu

Lama estrus 4-5 hari

Estrus postpartum 14-24 jam

Lama bunting 19-21 hari

Jumlah anak rata-rata 6 sampai 15 anak

Berat lahir 1,0-1,5 g

Mata terbuka 12-13 hari

Masa disapih 21 hari

Puting susu 10 putting, 3 pasang di daerah dada dan 2 pasang di daerah abdomen

Plasenta diskoidal hemokorial

(20)

III. Metode Perbiakan (Smith & S.Mangkoewidjojo 1988)

Ada dua macam metode perkawinan yang biasa dipakai pada mencit, yaitu :

 Perkawinan monogami, satu jantan dan satu betina dalam satu kandang.

Anak-anak mencit dipindahkan dari kandang pada saat masa sapih (sekitar berumur 21 hari).

Keuntungan: reproduksi betina sebagai estrus postpartum maksimal dan data perkawinan dari jantan dan betina lengkap.

Kerugian: dibutuhkan banyak jantan.

 Perkawinan Poligami (Harem), satu jantan dikandangkan dengan 2-5 betina.

Para betina dipisahkan dari kandang ketika mulai terlihat bunting dan dikembalikan ke kandang setelah selesai menyapih anak-anaknya.

Walaupun catatan reproduksi individu yang tersedia sesuai dengan metode ini, tetapi reproduksi betina tidak dimaksimalkan sebagai estrus postpartum.

Para betina tetap dalam kandang perkawinan, dengan hasil multipel keturunan sepersusuan dalam satu kandang yang sama (terkadang saling berhubungan seperti sebuah koloni). Hal ini akan memaksimalkan reproduksi tetapi mempersulit pencatatan.

IV. Sistem perkawinan

Menurut Malole (1989) berdasarkan sifat genetiknya terdapat 3 macam mencit :

1. Random breed mice yaitu mencit yang dikawinkan secara acak dengan mencit yang tidak ada hubungan keturunan.

2. Inbreed mice yaitu mencit yang secara genetis homogen karena merupakan hasil perkawinan antar saudara (brother sister matting) sebanyak lebih dari 20 tingkat.

3. F1hybrid yaitu hasil perkawinan antara dua galur yang inbred.

(21)

Pada umumnya, strain laboratorium dari mencit ini merupakan inbreed. Hal ini dilakukan supaya hewan ini mudah diidentifikasi secara genetik (Anonimus 2006a dan Sirois 2005).

Histologi Organ Penting Sistem Saraf Pusat (Otak)

Menurut Dellmann dan Eurell (1998), parenkhim jaringan saraf terdiri dari neuron dan sel penunjang yang disebut neuroglia. Jaringan saraf dalam bentuk sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) atau Central Nerovus System (CNS) dan susunan saraf perifer/tepi (SST) atau Peripheral Nervous System (PNS). SSP terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan SST terdiri dari nervus cranialis dan spinalis yang dihubungkan dengan saraf (nervus) dan ganglia yang berupa syaraf motorik dan syaraf sensorik (Lu 1995).

Neuron

Neuron merupakan unit struktural dan fungsional dari sistem saraf. Selain itu, neuron juga sebagai unit tropik karena sifatnya dalam mentransformasi dan menyokong sesuatu yang diinervasikan. Dengan pengecualian sel reseptor olfaktorius, neuronnya khas dengan tidak mempunyai kemampuan mitosis.

Struktural neuron terdiri dari badan sel dan serabut saraf yang terdiri dari dendrit dan akson (Dellmann dan Eurell 1998).

Dari segi patologi, menurut Macfarlane et al. (2000), neuron sangat sensitif terhadap kerusakan oleh berbagai macam agen termasuk anoksia, hipoglikemia, infeksi virus dan gangguan metabolik intraseluler (misalnya: yang berhubungan dengan defisiensi vitamin B). Ada dua tipe utama kerusakan neuron yang tergantung dari kecepatan perubahannya. Pertama, nekrosis cepat. Hal ini berkaitan dengan kegagalan fungsi akut, misalnya kerusakan agen berupa hipoksia, akan menyebabkan nuklear menjadi piknosis dan sitoplasma mengkerut dan kemudian terjadi pemutusan sel dengan memfagositosis sel debri. Kedua, atrofik lambat. Hal ini berhubungan dengan kehilangan fungsi secara berangsur- angsur. Neuron biasanya mengecil atau dapat juga menggelembung disertai

(22)

metabolit abnormal dan pada akhirnya terjadi pemutusan sel neuron (Macfarlane et al. 2000).

b. Neuroglia

Neuroglia terdiri atas lebih dari 90% sel yang membangun sistem saraf. Sel neuroglia (gliosit) relatif kecil. Dengan pewarnaan biasanya, hanya nuklei dan perikarya yang terlihat. Secara bersamaan, neuroglia menyediakan dukungan struktural dan fungsional. Tidak seperti neuron yang matang, gliosit tetap dapat bermitosis dan mereka dapat menjadi sebuah tumor pada sistem saraf. Gliosit yang ditemukan di SSP adalah astrosit, oligodendrosit, sel mikroglia (makrofag) dan sel ependima (lihat Gambar 2) (Dellmann dan Eurell 1998).

Sedikit berbeda, menurut Ganong (2002) pada SSP, terdapat tiga jenis utama sel glia. Mikroglia yang merupakan sel “pemakan bangkai” yang menyerupai sel-sel makrofag jaringan. Mereka mungkin berasal dari sumsum tulang dan masuk ke sistem saraf melalui sistem sirkulasi darah.

Oligodendrogliosit berperan dalam pembentukan mielin. Astrosit mempunyai dua subtipe. Astrosit fibrosa, yang mengandung banyak filamen antara, terdapat terutama di substansia putih. Astrosit protoplasmik, ditemukan di substansi kelabu dan mempunyai sitoplasma yang granular (lihat Gambar 2).

Gambar 2. Gambaran neuron dan jenis-jenis sel neuroglia. Keterangan: kapiler (k), neuron (N), akson (Ax), oligodendrosit (O), sel ependimal (E), mikroglia (Mg) dan astrosit (As) (Sumber: Fox 2004)

E

N

N

O

Mg As

Ax K

(23)

Histologi Serebrum

Otak berfungsi dalam menginisiasi pergerakan, koordinasi pergerakan, pengaturan temperatur, pusat keterampilan, penglihatan, pendengaran, emosi dan pusat belajar (Anonimus 2008a).

Dari segi anatomi, otak terdiri dari 1010-1011 neuron yang saling berhubungan erat melalui dendrit dan akson. Satu neuron dapat menerima sinaps sebanyak 103-105 dari neuron lainnya. Otak terbentuk ketika bagian frontal dari SSP telah berlipat. Otak terdiri dari 5 bagian, yaitu : serebrum, diensefalon, otak tengah, serebelum dan medula oblongata (lihat Gambar 3) (Anonimus 2005).

Serebrum otak terdiri dari hemisfer cerebral berpasangan yang dilintasi oleh midline dari substansi alba yang disebut dengan corpus callosum (Eurell 2006).

Hemisfer dibagi ke dalam empat lobus yaitu lobus frontalis, lobus parietalis, lobus occipitalis, dan lobus temporalis (Anonimus 2005).

Gambar 3. Anatomi otak manusia ( Sumber: Anonimus 2005)

Pada permukaan masing-masing hemisfer terdapat gyri dan dibatasi oleh sulci. Permukaan yang dibungkus oleh substansi kelabu (substansi grisea) disebut korteks cerebral. Ciri-ciri neuron dari koreks cerebral memiliki badan sel yang berbentuk piramid, diorientasikan dengan apexnya yang diarahkan pada permukaan. Dendrit muncul dari apex dan tepi basal sel piramid. Akson

(24)

berangkat dari pusat basal dan masuk ke substansi putih (Dellmann dan Eurell 1998).

Otak memiliki tiga buah ventrikel dan berisi cairan cerebrospinal atau cerebrospinal fluid (CSF) yang berfungsi melindungi otak. Apabila kepala mengalami suatu benturan, maka arachnoid bergeser terhadap dura mater dan bergerak, tetapi gerakan tersebut dengan lembut dihentikan oleh CSF dan trabekula arachnoid. Benturan yang menimbulkan nyeri merupakan akibat dari defisiensi CSF (Ganong 2002). Selain itu, otak juga memiliki suatu sistem pertahanan otak yang biasa disebut dengan Blood Brain Barrier (BBB) yang efektif menangkal berbagai neurotoksin karena struktur BBB dengan sel-sel endothelial kapilernya yang sangat rapat sehingga hanya sedikit atau tidak ada pori-pori di antara sel tersebut (Lu 1995). Air, CO2, dan O2 menembus otak dengan mudah. Demikian pula bentuk lemak-larut dari steroid hormon, sedangkan ikatan protein dan secara umum semua protein dan polipeptida tidak mudah menembus otak (Ganong 2002). Pada bayi baru lahir jika sistem pertahanan belum terbentuk sempurna maka zat toksik akan mudah masuk ke dalam SSP (Delmann dan Eurell 1998). Akan tetapi, BBB tidak akan berfungsi sempurna sampai hari ke-16 perkembangan embrio, walaupun taut erat (tight junction) dapat diamati dari endotelium cerebral sejak permulaan vaskularisasi (embrio berumur 10 hari) (Radovsky dan Mahler 1999).

Hubungan antara sel glia dan neuron sangat kompleks dan penting. Sering sekali reaksi sel glia digambarkan dengan jelas ketika sistem neuron dalam keadaan patologis (Radovsky dan Mahler 1999). Bila dilihat dari segi reaksi terhadap kerusakan, tiga jenis sel utama neuroglia memiliki respon yang berbeda- beda. Astrosit, kurang peka terhadap kerusakan dibandingkan dengan neuron.

Apabila sel astrosit mengalami kerusakan tetapi belum sampai membunuh sel tersebut, sel akan berlipat ganda dan membesar, serta terjadi peningkatan produksi fibril. Kemudian, sel akan atrofi dan meninggalkan sisa berupa jalinan fiber.

Proses ini disebut gliosis. Oligodendrosit, bila neuron membengkak dan terjadi kromatolisis maka terjadi peningkatan jumlah oligodendrosit besar dan proses ini disebut dengan satelitosis. Selain itu, bila terjadi kerusakan jaringan maka sel

(25)

mikroglia akan memfagosit semua hasil degradasi seperti lemak dan haemosiderin. Dengan demikian, sel mikroglia juga dapat disebut sebagai lipofag selain gitter cells ( Macfarlane et al. 2000).

Medula spinalis

Medula spinalis yang berbentuk silinder dapat dibagi ke dalam beberapa segmen yang dibatasi dengan kemunculan bilateralis nervus spinalis dorsal dan ventral. Sebuah potongan melintang Medula spinalis menunjukkan canal centralis yang dikelilingi oleh penampilan berbentuk kupu-kupu dari substansi abu-abu, yang di dalam putarannya dikelilingi oleh substansi putih seperti pada Gambar 4 (Dellmann dan Eurell 1998). Ligamentum densikulata terlihat jelas di antara pia mater dan dura mater. Pada setiap setengah bagian medula spinalis, substansi alba dibagi ke dalam funikulus dorsalis, funikulus lateralis, dan funikulus ventralis (Eurell dan Frappier 2006)

Gambar 4. Medula spinalis. Keterangan: substansi abu-abu (gm), substansi putih (wm), ligamentum densikulata (dent), dura mater (d.m.), dorsal roots (d.r.), funikulus dorsalis (DF), funikulus lateralis (LF), dan funikulus ventralis (VF) (Sumber:

Dellmann & Eurell 1998)

Meningen

Otak dan Medula spinalis diselubungi oleh meningen yang terdiri dari kolagen dan fiber elastis. Secara umum, tiga lapisan meningen diurutkan dari bagian superfisial sampai ke bagian dalam : dura mater, arachnoid, dan pia mater (Radovsky dan Mahler 1999). Dura mater terkadang disebut pachymeninx karena

(26)

strukturnya yang tebal dan kuat. Arachnoid dan pia mater secara bersamaan disebut leptomeninges karena keduanya halus dan terhubung secara embriologik dan fisik. Suatu ruang subarachnoid mengandung CSF yang memisahkan arakhnoid dari pia mater (Gambar 5) (Dellmann dan Eurell 1998). CSF dan meningen secara bersamaan berfungsi melindungi otak (Ganong 2002).

T

DM

O A

P

T

DM

O A

P

Gambar 5. Lapisan meningen. Keterangan: tengkorak (T), dura mater (DM), pia mater (P), arachnoid (A), dan otak (Sumber: Dellmann & Eurell 1998)

Usus

Usus kecil dan usus besar dapat bertindak sebagai barrier penting atau rute masuknya makanan atau terhirupnya dan tertelan toksikan atau zat karsinogenik.

Bila toksikan atau bahan karsinogenik mencapai usus melalui rute peroral atau sirkulasi enterohepatik, maka biotranformasi dan aktivasi atau deaktivasi dari bahan ini dapat terjadi. Dalam pembelajaran toksisitas dan karsinogenisitas, hal ini penting sekali bahwa traktus usus terbuka penuh dan permukaan mukosa serta serosa diperiksa untuk melihat kemungkinan timbulnya neoplasma atau lesio makroskopi lainnya. Lesio makroskopi diidentifikasikan pada nekropsi, disiapkan untuk diperiksa dengan mikroskop dengan melakukan potongan melintang pada masing-masing daerah usus kecil dan usus besar dan langsung dimasukkan dalam larutan fixatif (Shackelford dan Elwell 1999).

Adanya toksin yang menyerang usus akan mengakibatkan sel epitel mati.

Hal ini menyebabkan tidak adanya pengaturan integritas barrier cairan antara lumen dan lamina propria. Sebagai konsekuensinya, cairan tubuh berpindah bebas ke dalam lumen dan memacu terjadinya diare berair, dehidrasi yang parah serta menyebabkan kematian (King 2007).

(27)

Usus Kecil

Usus kecil terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum.

Ketiga bagian merupakan penonjolan dari propria, dibungkus oleh epitel permukaan, sampai dalam lumen usus (King 2007).

Pencernaan usus, atau pereduksian makanan menjadi bentuk yang dapat diserap, dimulai ketika kandungan makanan dari lambung bekerja atas pengaruh sekresi pankreas, empedu, dan sekresi usus, dan hal ini berlanjut di sepanjang usus kecil (Dellmann dan Eurell 1998).

Mukosa usus halus dicirikan dengan vili dan plika yang meninggi di daerah permukaan untuk menyerap nutrisi dan terdapat tubular pendek yang melekuk ke dalam sebagai sisi pelindung stem cells, yang disebut kripta. Ujung bebas sel-sel vilus dilengkapi mikrovili yang halus. Mikrovili ini diselimuti oleh glikokaliks, lapisan amorf yang kaya akan gula netral dan gula amino. Mikrovili dan glikokaliks membentuk brush border (Ganong 2002). Struktur mukosa intestin dapat berubah akibat proses patologi seperti enteritis iskemia dan enterokolitis nekrotikan yang ditandai dengan vili yang tumpul atau hilang (King 2007).

Epithelium kolumnar sebaris dan sel goblet menutupi jaringan konektif lamina propria masing-masing vili (Eurell 2006). Sel goblet menghasilkan mukus untuk melindungi sel dari perlukaan mekanis dan iritan (Dellmann dan Eurell 1998).

Pada basal vili, kelenjar usus meluas ke bagian dalam sampai lamina propria bagian dasar (Eurell 2006). Lapisan luar membran sel mukosa mengandung banyak enzim yang berperan dalam proses pencernaan yang diawali oleh enzim air liur, lambung, dan pankreas. Enzim yang terdapat pada membran inti ialah berbagai disakaridase, peptidase, dan enzim yang terlibat dalam penguraian asam nukleat (Ganong 2002).

(28)

Gambar 6. Gambaran histologi usus halus (Sumber: Anonimus 2006). Keterangan : epitel (E), kripta (K), lamina propria (LP), tunika muskularis (TM), dan serosa (S).

Pada lamina propria dan submukosa dapat ditemukan limfosit, sel plasma, makrofag, eosinofil dan sel mast (Shackelford dan Elwell 1999). Otot halus lamina muskularis berada di antara kelenjar usus (kelenjar Brunner) dan submukosa seperti tampak pada Gambar 6 (Eurell 2006).

Enterosit pada usus halus dibentuk dari sel-sel yang tidak berdiferensiasi yang membelah secara aktif di kriptus Lieberkuhn. Sel-sel ini bermigrasi ke ujung vilus, mengalami apoptosis kemudian terlepas (deskuamasi epitel) secara fisiologis proses ini terjadi . Kemudian dilepaskan ke dalam lumen usus dalam jumlah besar (Ganong 2002).

Usus Besar

Usus besar dibagi ke dalam beberapa bagian yaitu sekum, kolon dan rektum serta canalis anal. Usus besar ditandai dengan tidak adanya vili dan peningkatan sel goblet secara berangsur-angsur berlanjut sampai ke belakang (Dellmann dan Eurell 1998). Oleh karena tidak ada vili, permukaan usus besar ini licin (King 2007). Secara garis besar, sekum, kolon, dan rektum sulit dibedakan berdasarkan histologinya. Karakteristik dari ketiga segmen ini adalah tidak adanya vili, kurang bergulung, dan kelenjar usus simpel tubular dengan banyak sel goblet (Gambar 7) (Delmann dan Eurell 1998).

E LP

TM K

S

(29)

LP

TMS

TML SM

LP

TMS

TML SM

Gambar 7. Gambaran mikroskopis kolon (Sumber: Anonimus 2006). Keterangan: lamina propria dengan sel goblet (LP), submukosa (SM), tunika muskularis sirkuler (TMS), dan tunika muskularis longitudinal (TML) .

Sekum, mukosanya mirip dengan kolon, tetapi lebih banyak jaringan limfoid. Lamina propria dikelilingi kripta dan banyak nodul limfatik. Muskularis mukosa tipis. Tidak begitu berbeda dengan kolon dan rektum, epithelium absopsi dan sekresi berbentuk kripta tanpa vili. Lamina propria dikelilingi oleh kripta (yaitu mengisi celah antaranya). Muskularis mukosanya juga tipis (King 2007).

Usus besar memiliki fungsi sebagai tempat/lokasi mikroba dalam mencerna sisa makanan, absorpsi air, vitamin, elektrolit dan sekresi mukus (Delmann dan Eurell 1998).

Limpa

Limpa merupakan organ limfatik sekunder utama yang berkaitan dengan filtrasi darah dan menghasilkan respon imun ketika ada serangan dari antigen melalui aliran darah. Aktivitas hematopoiesis dari limpa hewan dewasa adalah limfopoiesis sedangkan pada fetus atau neonatus, fungsi utama limpa adalah eritropoiesis (Press dan Landsverk 2006). Menurut Aughey dan Frye (2001), limpa berfungsi sebagai tempat terjadinya limfopoiesis, fagositosis eritrosit tua, mengakumulasi limfosit dan makrofag, tempat cadangan darah, dan sebagai organ pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang masuk ke dalam darah (Junqueira dan Carneiro 1982).

(30)

Limpa memiliki kapsula yang terdiri atas otot halus dan jaringan ikat elastis (Bacha dan Bacha 2000). Trabekula tersusun atas kolagen dan jaringan ikat elastis serta sel-sel otot halus yang merupakan perpanjangan dari kapsula (Press dan Landsverk 2006). Parenkhim limpa terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih (Gambar 8) (King 2007). Pulpa merah merupakan tempat penyimpanan eritrosit, penjeratan antigen, dan tempat terjadinya eritropoiesis. Pulpa putih merupakan bagian tempat terjadinya tanggap kebal atau respon imun (Tizard 2004).

Gambar 8. Gambaran Histologi Limpa. Keterangan: kapsula (c), trabekula (t), pulpa putih (p) dan pulpa merah (m) (Sumber: Eurell dan Frappier 2006).

Pulpa merah merupakan bagian parenkhim limpa terbesar dan massa berwarna merah gelap serta disuplai oleh arteri dan dialiri oleh sinus vena (Slomianka 2006). Eritrosit, makrofag, megakaryosit, sel plasma, limfosit, dan granulosit dapat ditemukan di pulpa merah (Ward et al 1999). Pulpa putih tersusun atas nodul limfatik yang tersebar pada jaringan limfatik dan disebut periarterial lymphatic sheaths (PALS) (Press dan Landsverk 2006), folikel limfoid dan zona marginal (Ward et al. 1999). Pulpa merah dan pulpa putih dipisahkan oleh zona marginal (Bacha dan Bacha 2000). Zona marginal melakukan peranan yang penting dalam memproses antigen (Ward et al. 1999).

Antigen yang menyerang limpa akan dijerat oleh makrofag di zona marginal dan di sinusoid pulpa merah. Kemudian sel ini akan membawa antigen ke folikel primer di pulpa putih dan setelah beberapa hari terjadi migrasi sel B untuk

(31)

menghasilkan antibodi. Sel B akan menempati zona marginal dan pulpa merah (Tizard 2004). Setelah adanya rangsangan dari antigen ini maka terjadilah perubahan folikel primer menjadi germinal center (Ward et al. 1999) dan dengan demikian disebut dengan folikel sekunder (Tizard 2004).

Peradangan pada limpa (splenitis) dapat berbentuk seperti pembesaran, hiperemi akut, degenerasi, nekrosa sel limfoid, dan infiltrasi sel radang (PMN).

Hemoragi pada limpa dapat terjadi akibat terpapar bahan kimia maupun radiasi sedangkan kongesti dapat disebabkan oleh metode euthanasia atau prosedur nekropsi. Banyaknya eritrosit pada limpa menyebabkan kejadian hemoragi, kongesti dan angiektasis susah dibedakan (Ward et al. 1999).

Hati

Hati merupakan kelenjar yang besar dan berlobus. Masing-masing lobus ditutup oleh sebuah mesotelium, di bawahnya terdapat kapsula dari Glisson, lapisan jaringan penghubung yang tipis. Masing-masing lobus terbagi dalam sejumlah lobulus klasik yang terdiri dari sinusoid dan gambaran dari sel parenkhim, hepatosit, yang menjari teratur sekitar vena centralis (Bacha dan Bacha, 2000). Lobus hati berbentuk heksagonal dan vena centralis sebagai pusat cabangnya sedangkan portal canal terletak di luar batas lobus. Lobus portal merupakan wilayah segitiga yang berpusat pada duktus empedu di portal canal (Gambar 9) (King 2007).

Gambar 9. Gambaran histologi hati ( Sumber: King 2002)

(32)

Hati tersusun dalam lobulus-lobulus, yang di dalamnya mengandung darah dari cabang-cabang vena porta mengalir melewati sel-sel hati melalui sinusoid ke vena sentral di setiap lobulus. Terdapat celah-celah besar di sel endotel, dan plasma berkontak erat dengan sel hati. Biasanya hanya terdapat satu lapisan hepatosit di antara sinusoid-sinusoid, sehingga luas permukaan kontak total antara sel hati dengan plasma sangatlah besar. Darah arteri hepatica juga masuk ke dalam sinusoid. Vena-vena centralis bergabung membentuk vena hepatica, yang mengalir ke dalam vena cava cranialis. Semua darah yang mengalir melewati usus dan limpa akan diterima oleh hati melalui vena portal hepatica. Darah portal tidak hanya membawa nutrisi tetapi juga membawa berbagai macam kontaminan (obat-obatan, toksin dari makanan, dan bakteri) yang terserap melalui mukosa usus atau yang diproduksi oleh limpa. Selain itu, hati juga mendapat suplai darah dari arteri yang membawa oksigen dari arteri hepatica (King 2007).

Pada endotel sinusoid banyak melekat makrofag (sel Kupffer) yang berproyeksi ke dalam lumen (Gambar 10) (Ganong, 2002). Sel Kupffer merupakan sistem retikuloendotel dengan fungsi utama menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah oleh sebab itu hati merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen toksik (Wilson dan Lester 1995). Di samping itu, sel Kuffer juga memfagosit partikel, detoksifikasi endotoksin, sekresi mediator inflamasi, memproses antigen, dan mengkatalis glikoprotein serta lemak (Harada et al. 1999)

(33)

Gambar 10. Gambaran mikroskopik hati mencit (Sumber: King 2002)

Menurut Ganong (2002), hati memiliki fungsi sebagai berikut : pembentukan dan sekresi empedu; metabolisme nutrient dan vitamin (seperti glukosa dan gula lain, asam amino, lipid, vitamin yang larut dalam lemak, vitamin yang larut dalam air); invasi beberapa zat (toksin, steroid, hormon); sintesis protein plasma dan imunitas (sel Kupffer).

Hati merupakan organ paling sering rusak (Lu 1995). Dua hal yang menjadi penyebab kerusakan hati yaitu pertama, hati menerima ±80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal, sehingga memungkinkan zat-zat toksik yang berasal dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mampu melakukan biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen maupun endogen untuk dieliminasi oleh tubuh. Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara dan tetap. Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidup pada kerusakan yang bersifat sementara. Perubahan ini biasa disebut dengan degenerasi (Carlton dan McGavin 1995). Terdapat beberapa bentuk kerusakan sel hati berupa degenerasi di antaranya adalah degenerasi lemak dan degenerasi hidropis. Selain itu dapat terjadi juga mineralisasi, nekrosa, pigmentasi, dan hipersekresi mukosa (Harada et al.1999).

(34)

Degenerasi hidropis merupakan kerusakan sel berupa kebengkakan sitoplasma yang berisi cairan akibat kerusakan membran sel. Degenerasi hidropis terjadi akibat sebagai respon sekunder akibat hipoksia, toksin, radikal bebas, virus, bakteri, dan perlukaan bermediasi imun (McGavin et al. 2007).

Pengamatan histopatologi pada sel yang mengalami degenerasi hidropis akan berpenampakan seperti bervakuol berisi cairan dan sitoplasma membengkak (Underwood 1992). Degenerasi lemak terjadi sebagai respon lanjut dari degenerasi hidropis, dimana sel tidak mampu memetabolisme lemak dengan baik sehingga terjadi akumulasi lemak pada sel. Pengamatan histopatologi sel yang mengalami degenerasi lemak ini memperlihatkan adanya vakuola yang jelas (Macfarlane 2000). Menurut Cheville (1999), kerusakan sel yang berkelanjutan dapat menyebabkan sel mengalami kematian. Proses kematian sel terdiri dari dua mekanisme yaitu apoptosis dan nekrosa. Apoptosis adalah bentuk kematian sel terprogram. Kematian apoptosis terlihat adanya pemadatan kromatin (piknosis), dan adanya badan apoptosis (ukuran sel mengecil). Apoptosis yang terjadi tidak melibatkan sel radang. Nekrosa merupakan kematian sekelompok sel yang berhubungan dengan deplesi sistem energi intraseluler yang berlangsung sangat cepat (Macfarlane 2000). Pada kejadian nekrosa kromatin inti dapat berbentuk menggumpal (piknosis), pecah (karyorexis) dan menghilang (karyolisis) (Cheville 1999).

Ginjal

Ginjal mencit memiliki tekstur yang halus, berwarna merah kecoklatan, dan menggantung bebas pada dorsal dinding tubuh dikelilingi oleh jaringan adiposa (Seely 1999). Pada semua spesies, arteri dan vena renalis, limfatik, saraf dan ureter melewati lekukan tunggal atau hilus. Semua ginjal dilingkupi oleh jaringan konektif kapsul yang tersusun atas serat kolagen utama tetapi dapat juga tersusun atas sejumlah otot licin. Posisi ginjal yang retroperitoneal biasanya terdapat satu permukaan dengan peritoneum (mesotelium, dan lapisan tipis jaringan konektif), yang ditutupi oleh jaringan adiposa. Ginjal dibagi atas dua bagian yaitu korteks (bagian luar) dan medula (bagian dalam) (Dellmann dan Eurell 1998).

(35)

Pembagian tubulus renalis seperti halnya aliran filtrasi yang berasal dari darah hingga menjadi tetes-tetes urin dari parenkhim ginjal yaitu meliputi nefron yang terdiri atas korpuskel ginjal (glomerulus dan kapsula Bowman’s), tubuli proksimal dan tubuli distal, macula densa, dan jerat henle. Selain nefron adalah sistem duktus pengumpul (Gambar 11) (Dellmann dan Eurell 1998).

Gambar 11 . Gambaran Histologi Ginjal (Sumber: King 2002). Keterangan: glomerulus (glom), tubuli proksimalis (p) dan tubuli distalis (d).

Unit fungsional dari ginjal adalah nefron yang terdiri dari glomerulus, tubulus proksimalis yang berbelok-belok dan lurus, jerat henle desendens dan ascendens, segmen yang lurus, dan tubulus distalis (Seely 1999). Secara skematis tampak seperti pada Gambar 12.

(36)

Gambar 12. Skematis nefron (Sumber: King 2007)

Dalam perjalanan sepanjang tubulus ginjal, volume cairan filtrat akan berkurang dan susunannya berubah akibat proses reabsorpsi tubulus (penyerapan kembali air dan zat terlarut dari cairan tubulus) dan proses sekresi tubulus (sekresi zat terlarut ke dalam cairan tubulus) untuk membentuk kemih (urine) yang akan disalurkan ke dalam pelvis renalis. Air serta elektrolit dan metabolit penting lainnya akan diserap kembali. Selain itu, susunan urine dapat berubah-ubah, dan banyak mekanisme pengaturan homeostasis yang mengurangi atau mencegah perubahan susunan cairan ekstrasel (CES) dengan cara mengubah jumlah air dan zat terlarut tertentu yang dieksresi melalui urine. Dari pelvis renalis, urine dialirkan ke dalam vesika urinaria (kandung kemih) untuk kemudian dikeluarkan melalui proses berkemih, atau miksi (Ganong, 2002).

Fungsi ginjal dalam toksisitas dapat dievaluasi melalui urinalisis dan penentuan serum darah, seperti kreatinin dan nitrogen urea darah. Urin mencit memiliki berat jenis yang tinggi. Proteinuria secara normal ada pada mencit dan meningkat pada mencit jantan dewasa kelamin karena pengaruh hormon testosteron. Albumin dan prealbumin berespon terhadap proteinuria. Ginjal mencit juga mensintesa MUP (Mouse Urinary Protein), suatu protein yang hampir sama dengan alfa-2u-globulin yang ada pada tikus. Akan tetapi MUP pada mencit tidak

(37)

direabsorpsi oleh ginjal dan mempunyai sifat ikatan yang berbeda. Ginjal mencit mempunyai sistem enzim tertentu dalam membantu proses metabolisme, detoksifikasi, dan biotransformasi xenobiotik (Seely, 1999).

Dalam analisis toksipatologi, gangguan atau kerusakan ginjal diperiksa secara histopatologis. Toksin menyebabkan degenerasi dan nekrosa pada epitel tubuli terutama di bagian proksimal. Bentuk kerusakan pada ginjal akibat dari toksin adalah adanya degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosa pada sel epitel tubuli proksimalis (Seely 1999).

Enterobacter sakazakii

Taksonomi

Klasifikasi Enterobacter sakazakii (E.sakazakii) menurut Hormaeche dan Edwards dalam Anonimus (2007a) sebagai berikut :

kingdom : Bacteria filum : Proteobacteria

kelas : Gamma Proteobacteria ordo : Enterobacteriales famili : Enterobacteriaceae genus : Enterobacter

spesies : Enterobacter sakazakii

Gambar 13. E. sakazakii dengan ukuran bar 1m (Sumber: Anonimus 2004b)

Namun seiring dengan perkembangannya, muncul pendapat baru mengenai taksonomi E.sakazakii, yaitu E. sakazakii dimasukan ke dalam genus Cronobacter sehingga namanya berubah menjadi Cronobacter sakazakii (Iversen et al. 2007).

Cronobacter sendiri merupakan bakteri Gram negatif, fakultatif anaerob, oksidase

(38)

negatif, berbentuk batang dan berasal dari famili Enterobacteriaceae (Anonimus 2008c).

Sifat Enterobacter sakazakii

Enterobacter sakazakii merupakan bakteri motil, non-spora, serta Gram negatif fakultatif anaerob. Bakteri ini telah dikenal sebagai Enterobacter cloacae berpigmen kuning sampai tahun 1980 ketika didesain sebagai spesies baru oleh Farmer, Asbury, Hickman dan Brenner untuk menghormati bakteriolog Jepang Riichi Sakazakii. Dalam studinya mengenai E.sakazakii dinyatakan bahwa E.sakazakii melalui hibridisasi DNA-DNA memiliki korelasi 53-54% dengan spesies Enterobacter dan Citrobacter. Dari perbandingan kedua genus ini didapatkan 41% berkorelasi dengan Citrobacter freundii dan 51% dengan Enterobacter cloacae (Iversen dan Forsythe 2003).

Enterobacter sakazakii dapat tumbuh pada temperature 6-470 C. Pada suhu kamar (210C), waktu yang digunakan untuk membelah menjadi dua adalah kira- kira 75 menit. Sedangkan, pada suhu penyimpanan (40C) kira-kira 10 jam (Iversen dan Forsythe 2003). Pada saat pembuatan minuman susu dengan menambahkan air (rekonstitusi), suhu merupakan faktor yang penting. Menurut Meutia (2008), suhu rekonstitusi 40C dan 400C tidak dapat digunakan sebagai suhu yang mampu mengurangi perkembangan E. sakazakii. Rekonstitusi dengan air yang bersuhu 1000C menyebabkan jumlah E.sakazakii tidak terdeteksi lagi, tetapi suhu ini tidak direkomendasikan sebagai suhu rekonstitusi mengingat rusaknya komponen gizi yang terdapat dalam susu formula dan makanan bayi.

Suhu 700C cukup efektif dalam menurunkan jumlah E.sakazakii sehingga dapat dijadikan sebagai suhu rekonstitusi susu formula dan makanan bayi untuk mengurangi resiko terhadap E.sakazakii.

E.sakazakii dapat menyebabkan infeksi serius khususnya pada individu yang sangat muda dan orang tua. Hal ini terutama lebih sering terjadi pada neonatal dan bayi. Di antara neonatal dan bayi, E.sakazakii memiliki kecenderungan menyebabkan meningitis yang dapat berlanjut menjadi ventrikulitis, abses otak, atau pembentukan kiste dan perkembangan

(39)

hydrocephalus (Lai 2001; Bar-Oz et al 2001). Kasus meningitis, septicemia, enterokolitis nekrotikan, abses otak, infark cerebral, dan kiste dermoid dari fossa posterior yang disebabkan E.sakazakii telah dilaporkan seluruh dunia (Hamilton et al. 2003). Menurut Bowen dan Braden (2006) E.sakazakii menyebabkan kematian 40-80% pada bayi yang terinfeksi dan berkaitan dengan susu bubuk formula. Dari 46 kasus infeksi E.sakazakii yang mereka analisa di antaranya 12 bayi mengalami bakteriemia, 33 mengalami meningitis dan 1 bayi yang mengalami gangguan pada traktus urinaria. Dari 33 bayi yang mengalami meningitis tersebut terdapat 14 bayi meninggal atau sekitar 42 %.

Selain itu dalam jurnal yang ditulis oleh Sinave (2003) dikatakan bahwa, Enterobacter sp terutama Enterobacter cloacae dan Enterobacter aerogenes adalah patogen nosocomial yang menjadi penyebab berbagai macam infeksi termasuk bakteriemia, infeksi saluran pernapasan bagian bawah, infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi traktus urinarius, endokarditis, infeksi intra-abdominal, sepsis arthritis, osteomyelitis, dan infeksi oftalmik. Faktor-faktor predesposisi seperti infeksi-infeksi tersebut adalah waktu perawatan di rumah sakit yang lama, terutama dalam ruang UGD (ICU) , kelemahan yang umum, dan imunosupresi.

Faktor Virulen dan Patogenitas

Bakteri yang berkoloni akan memproduksi toksin. Menurut Mange et al.

(2006) bakteri yang mempunyai kemampuan untuk melakukan adhesi pada permukaan tubuh host seperti membrana mukosa, epitel lambung dan usus atau endothelial suatu jaringan, maka bakteri tersebut mampu melakukan kolonisasi dengan baik, stabil dan mampu memproduksi faktor virulensi seperti toksin.

Toksin terdiri dari eksotoksin dan endotoksin. Eksotoksin berasal dari bakteri yang hidup dan dapat dinetralisasi oleh antitoksin, contoh eksotoksin adalah enterotoksin. Endotoksin adalah toksin yang berasal dari dinding sel bakteri, yang dilepaskan saat bakteri mati (biasanya bakteri dari Gram-negatif) (Macfarlane et al. 2000).

Enterotoksin merupakan toksin protein yang dilepaskan oleh mikroorganisme di dalam usus. Enterotoksin berasal dari eksotoksin yaitu toksin

(40)

yang berasal dari enzim bakteri (Underwood 1992). Enterotoksin ini sering bersifat sitotoksik dan dapat mematikan sel dengan mengubah permeabilitas sel epitelium dinding usus. Selain itu, enterotoksin dapat menyebabkan diare (Anonim, 2008b). Enterotoksin dihasilkan oleh berbagai bakteri termasuk organisme penyebab keracunan makanan seperti Escherichia coli, Salmonella, Staphylococcus sp., Clostridium perfringens, dan Yersinia enterocolitis (Gyles dan Thoen 1993).

Clement dalam Paryati (2006) menyatakan bahwa enterotoksin bersifat tahan asam dan tahan terhadap pengaruh enzim proteolitik, seperti tripsin dan pepsin. Selain itu, enterotoksin memiliki dua golongan yaitu tidak tahan panas atau heat-labile enterotoxins (LTs) dan tahan panas atau heat-stabile enterotoxin (STs). Aktivitas enterotoksin LTs biasanya berhubungan langsung dengan efek kritis seperti diare. Hal ini terjadi karena kemampuan LTs dalam menginduksi hipersekresi dari cairan ke dalam lumen usus halus (Gyles dan Thoen 1993).

Enterotoksin LTs merupakan protein oligomerik yang terdiri dari satu polipeptida A dan lima polipeptida B (Pohland et al. 1990). Rantai A menghasilkan perlukaan sel dan rantai B berikatan dengan permukaan sel.

Setelah B rantai berikatan dengan permukaan reseptor, toksin masuk ke dalam sel oleh receptor-mediated endocytosis. Pembelahan molekul selanjutnya memungkinkan pecahan A mengeluarkan efek toksinnya. Beberapa eksotoksin bakteri bereaksi dengan ribosilasi adenosin difosfat (ADP). Oleh karena itu, toksin mengkatalis pembelahan endogen nikotinamid adenin dinukleotida (NAD) melalui perlekatan kovalen separuh dari ADP ke substrat sel (Cheville 1999).

Dasar dari aktivitas LT berupa stimulasi adenilat siklase pada sel epitel usus.

Evaluasi menunjukan stimulan ini menyebabkan hipersekresi elektrolit dan air.

Enterotoksin STs, toksin dengan berat molekul yang rendah yang mampu menginduksi terjadinya diare. Terdapat dua subset utama heat-stabile enterotoxin (STs) yaitu STa atau STI (ST subset pertama yang berasal dari E.coli manusia, sapi, dan babi), dan STb atau STII (ST subset kedua yang berasal dari ETEC strain babi tertentu). Sebagai contoh STa dicirikan oleh kemampuan melarutkan metanol dan mampu menginduksi akumulasi cairan dalam intestin suckling mice

(41)

melalui pemberian toksin per oral maupun intraperitoneal (Gyles dan Thoen 1993).

Pada mulanya, mekanisme patogenitas dan faktor virulen E.sakazakii tidak ada yang mempublikasikan sebagai contoh Nazarowec-White dan Farber (1997) menyatakan E.sakazakii mampu menghasilkan enterotoksin tetapi belum pernah dipublikasikan datanya. Namun pada tahun 2003, Pagotto et al. telah melaporkan bahwa E.sakazakii mampu menghasilkan enterotoksin. Dari 18 strain, hanya 4 strain yang mampu menghasilkan enterotoksin. Diketahui pula enterotoksin ini dapat melisiskan sel pada uji in vitro terhadap sel lestari CHO, Vero, dan Y-1.

Enterotoksin yang dihasilkan oleh E.sakazakii diketahui ada yang bersifat resisten terhadap panas, sehingga masih memiliki aktifitas pada uji in vitro. Selanjutnya, enterotoksin tersebut dinyatakan dapat menimbulkan kematian pada mencit yang masih menyusu (suckling mice) dengan dosis 108 CFU/ml per mencit yang diberikan sebanyak 0,1 ml melalui injeksi intraperitoneal (IP), dan dua strain menyebabkan kematian melalui route peroral.

Sumber Penyebaran

Selama beberapa tahun data yang dipublikasikan menyatakan hasil isolasi E.sakazakii yang menyebabkan meningitis atau enteritis nekrotikan pada neonatal berhubungan dengan susu formula bayi (Himelright et al 2002). Pada beberapa kasus terakhir, organisme ini telah diisolasi dari peralatan seperti alat pengaduk yang biasa digunakan pada botol dapur. Publikasi lain telah mendemonstrasikan bahwa mikroorganisme ini dapat ditemukan pada berbagai macam makanan, air, dan lingkungan termasuk rumah dan rumah sakit (Iversen dan Forsythe 2003).

E.sakazakii juga dapat diisolasi di rumah sakit dari sampel klinik yang diambil dari orang dewasa. Artikel terbaru melaporkan kehadiran E.sakazakii pada air susu ibu (ASI) yang tersimpan pada bank susu (Lenati et al. 2008).

Sebagai bakteri yang penyebarannya luas, E.sakazakii juga dapat ditemukan pada lingkungan pengolahan makanan bayi dan hal ini sering menjadi sumber masalah hadirnya organisme ini pada susu bubuk formula. Menurut Nazarowec- White dan Farber dalam Iversen dan Forsythe (2003) level kontaminasi

(42)

E.sakazakii dalam susu bubuk formula sangat rendah atau mengkontaminasi melalui perlengkapan preparsi tidak menyebabkan efek yang merugikan (0.36 CFU/100 g) kecuali bila pertumbuhan E.sakazakii dibiarkan tidak sesuai penanganan dan penyimpanan (Anonim 2004).

Penyebaran luas E. sakazakii menurut Hassel (2004) dan Friedemann (2007) yaitu:

Tabel 2. Varietas Luas dari Sumber Lingkungan dan Makanan

Lingkungan Sumber makanan dan

peralatan

Minyak mentah Daging mentah

Lalat Gelas bir

Peralatan pembuatan makanan Susu bayi (susu sapi dan kedelai)

Peralatan rumah sakit Beras

Tanah Tahu

Air Susu bubuk

Tikus Sayur-sayuran

Diketahui pula bahwa E.sakazakii pernah ditemukan dalam usus lalat kandang Stomoxys calcitrans. Hal ini tentu sangat penting dalam penyebaran E.sakazakii (Hamilton et al. 2003).

Respon Tubuh Terhadap Pemberian Enterotoksin

Pada umumnya, Enterobacter sakazakii berespon 50% melalui infeksi nosokomial dan paling banyak pada bayi imunokompromis. Infeksi E.sakazakii pada bayi baru lahir dapat menyebabkan bakteriemia (sepsis), enterokolitis nekrotikan, dan meningitis. (Iversen and Forsythe, 2003). Dalam pernyataan “10 Alasan Penglabelan Informatif Mengenai Susu Bubuk Formula Bayi” oleh IBFAN salah satunya menyatakan bahwa infeksi E.sakazakii pada neonatal memiliki angka kematian 20%-50%. Objek yang rentan terinfeksi E.sakazakii di antara 31 kasus adalah bayi baru lahir, bayi infan dan anak-anak usia 3-4 tahun beresiko terinfeksi 50%, sedangkan bayi usia satu minggu dan sebulan beresiko terinfeksi

(43)

75%. Berat lahir yang rendah (2.5 kg) atau kurang juga telah diidentifikasi sebagai pasien yang beresiko terinfeksi sekitar 75% (Weir 2002).

Toksin dari bakteri maupun bakteri akan melakukan penetrasi memasuki pembuluh darah dan beredar dalam tubuh menyebabkan sepsis dan meningitis (Macfarlane et al 2000). Enterokolitis juga dapat terjadi akibat pemberian toksin melalui peroral.

Meningitis dan Ensefalitis

Meningitis merupakan penyakit infeksi akut dan parah yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme, termasuk virus, bakteri, parasit, dan fungi. Fatality rate meningitis, terendah 2% pada bayi dan anak serta tertinggi 20-30% pada neonatal dan manusia dewasa (LIorens dan Cracken 2003). Meningitis dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu leptomeningitis-bila terjadi inflamasi di ruang subarachnoid yang meliputi arachnoid dan pia mater dan pachymeningitis-bila terjadi di daerah dura mater (Underwood 1992).

Penyebab meningitis pada neonatal adalah Escerichia coli, Streptococcus beta hemoliticus, Listeria monositogenes (Japardi 2002). Menurut LIorens dan Cracken (2003), meningitis yang disebabkan oleh bakteri berupa meningitis purulen (bernanah). Pada periode neonatal, termasuk bayi prematur hingga bayi berumur 3 bulan, bakteri yang menyerang kebanyakan berasal dari Streptococcus Grup B. Meningitis mencapai puncak kejadian tinggi setelah minggu pertama kelahiran. Selain itu, E.sakazakii juga diketahui sebagai penyebab meningitis.

Kejadian meningitis akibat E.sakazakii pada neonatal pun telah dilaporkan sejak lama oleh Muyjen et al dan Smeet et al. dalam Iversen dan Forsythe (2003).

Suatu infeksi dapat mencapai otak melalui beberapa kemungkinan di antaranya implantasi langsung setelah luka terbuka kepala misal retaknya tulang tengkorak, perluasan langsung dari infeksi telinga tengah, dan lewat aliran darah (bakteriemia atau sepsis) (Macfarlane et al 2000).

Pada periode neonatus, sebagian besar patogen diperoleh melalui kontak dan aspirasi usus serta sekresi traktus genital dari induk selama kelahiran. Neonatus

(44)

dengan perawatan yang lama dapat juga terekspos multipel patogen nosokomial.

Pada bayi dan anak-anak, meningitis biasanya berkembang setelah bakteri berkapsul melakukan kolonisasi pada nasofaring dan tersebar dalam darah (LIorens dan Cracken 2003).

Sekali bakteri mampu melakukan adhesi pada permukaan mukosa manusia, maka bakteri tersebut dapat bermultiplikasi kemudian melakukan kolonisasi.

Dengan perangkat tubuhnya (surface proteins) yang ada pada umumnya adalah faktor virulensi serta toksin maka bakteri ini akan melakukan penetrasi memasuki pembuluh darah dan beredar mengikuti aliran darah menyebabkan sepsis dan meningitis (Estuningsih dkk 2007). Setelah itu, organisme melakukan penetrasi pada daerah BBB yang mudah terserang, misalnya (pleksus choroid, kapiler cerebral) dan mencapai ruang subarachnoid (LIorens dan Cracken 2003). Apabila infeksi mikroorganisme atau adanya toksin mampu menembus substansi otak maka terjadilah ensefalitis. Encephalitis adalah peradangan substansi otak dengan ciri adanya infiltrasi sel-sel radang perivaskuler (perivasculer cuffing), kerusakan neuron akut sampai kematian neuron yang diikuti dengan adanya gliosis (Macfarlane et al. 2000).

Pada pasien yang tidak diberi pengobatan, akan timbul suatu komplikasi berupa kerusakan nervus cranialis, dan hidrocephalus. Biasanya pada CSF akan ditemukan netrofil dan organisme penyebab (Macfarlane et al. 2000), termasuk E.sakazakii yang dapat ditemukan dalam darah maupun CSF (Bowen dan Braden 2008).

Sepsis

Sepsis adalah penyakit serius yang disebabkan oleh infeksi melalui aliran darah oleh bakteri penghasil toksin (Smith 2006). Selain itu, sepsis juga diakibatkan oleh toksikemia dan shock. Kejadian sepsis dapat terjadi akibat organisme virulen seperti Meningococci, dan Streptococci pyogenes atau kejadian komplikasi dari sindrom shock yang diinisiasi oleh kausa lain khususnya ketika terjadinya gangguan saluran cerna (akibat organisme Coliform). Di samping itu, sepsis juga dapat disebabkan oleh pengobatan ketika mekanisme imun terganggu (Macfarlane et al. 2000). Pada neonatal, mikroba penyebabnya adalah E.coli,

(45)

Streptococcus spp., Salmonella spp., Pasteurella spp., dan Haemophillus spp (McGavin et al 2007). Kejadian sepsis dapat juga terjadi akibat lanjutan dari meningitis (Anonimus 2008b).

Sepsis terjadi ketika bakeri yang berasal dari paru-paru, usus, traktus urinarius, atau vesika urinaria bayi yang terserang menghasilkan toksin yang menyebabkan sistem imun tubuh menyerang organ atau jaringan sendiri (Homeier 2005). Sepsis terjadi pada pasien semua umur dan dapat juga terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, bayi dan anak-anak, dan orang tua (Anonimus 2006b). Akan tetapi lebih sering terjadi pada bayi karena sistem imunnya belum cukup berkembang melawan infeksi besar-besaran. Selain itu, sepsis juga sering terjadi pada orang imunokompromis seperti HIV (Homeier 2005).

Gejala klinis dari sepsis antara lain adalah detak jantung lebih dari 90 kali per menit, laju respirasi meningkat, jumlah sel darah putih meningkat atau menurun, serta terjadi demam atau temperatur tubuh rendah (Anonimus 2006b).

Interaksi bakteri pada epitel usus melalui protease-activated receptors (PARs) pada enterosit (sel usus) akan mengakibatkan permeabilitas membran meningkat sehingga toksin dari hasil kolonisasi bakteri dapat melakukan penetrasi ke dalam pembuluh darah dan beredar mengikuti aliran darah, sehingga menyebabkan sepsis (Vergnolle 2008). Kerusakan organ akibat sepsis dari enterotoksin yaitu meningitis pada otak dan medula spinalis, splenitis, juga ditandai dengan gejala klinis pada kerusakan ginjal berupa oligouria/anuria, jaundice pada hati, dan pendarahan gastrointestinal (Griffiths 2008). Sedangkan tanda sepsis secara patologi anatomi adalah adanya peningkatan sel glia, malasia, dan edema pada neurofil otak dan medula spinalis, deplesi, infiltrasi sel radang, dan deposisi protein radang pada limpa, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel radang pada usus, serta degenerasi dan nekrosa pada sel hati dan sel epitel tubuli proksimalis ginjal.

Kejadian sepsis pada neonatal dan bayi akibat E.sakazakii pernah dilaporkan oleh Simmon et al. dalam Iversen dan Forsythe (2003) sejak tahun 1988.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Secara statistik, skor kerusakan hepatosit antara P3, P4 tidak berbeda dengan kontrol (K- dan K+) (P>0,05) menjadi petunjuk bahwa perlakuan vitamin E,

Secara statistik, skor kerusakan hepatosit antara P3, P4 tidak berbeda dengan kontrol (K- dan K+) (P>0,05) menjadi petunjuk bahwa perlakuan vitamin E,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada organ hati ekstrak kayu secang menyebabkan megalositosis pada inti sel dan degenerasi sel (ekstrak ethanol), focal degenerasi (fraksi

Hasil analisis data dengan pemberian diazepam, formalin dan minuman beralkohol pada mencit menunjukkan berbeda tidak nyata pada jumlah eritrosit dan kadar

Secara statistik, skor kerusakan hepatosit antara P3, P4 tidak berbeda dengan kontrol (K- dan K+) (P>0,05) menjadi petunjuk bahwa perlakuan vitamin E,

glomerulus ginjal mencit menunjukkan bahwa faktor dosis, lama pemberian dan interaksi antara kedua faktor memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap

Hasil tersebut juga didukung dengan data peningkatan rerata jumlah sel Leydig pada kelompok P3 dengan P4 yang tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan kelompok

Kelompok perlakuan P1, P2 dan P3 pemberian Endosulfan dengan dosis berbeda menunjukkan kelainan patologi radang dengan skor 1, karena radang merupakan reaksi