• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

2 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ke-4 yang berisi keadilan, kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban penyelenggaraan sistem hukum merupakan hal-hal pokok untuk menjamin kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan hukum kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law).

Menurut pandangan Aristoteles Indonesia sebagai negara hukum (Rechstaat) adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Ciri-ciri negara hukum yaitu pertama; adanya pengakuan dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia) yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, sosial, ekonomi dan kebudayaan, kedua; adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan apapun juga, ketiga; legalitas dalam arti segala bentuknya.1 Lebih dari itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang sejahtera, aman, dan tertib seperti yang diamanatkan oleh garis- garis besar haluan negara.

Oleh karena itu, untuk mewujudkannya dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakkan kebenaran dalam mencapai keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum

1Yahman,Nurtin Tarigan,2019,Peran Advokat Dalam Sistmen Hukum Nasional, Prenada Media Group, Jakarta, hlm 1-2.

(2)

3

adalah badan-badan peradilan sebagaimana dimaksudkan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang masing- masing mempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu.

Untuk terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil dan biaya ringan sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, maka dasar yang selama ini berlandaskan pada Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 mengenai Kedudukan, Susunan Organisasi, Kekuasaan, Tata Kerja, dan Administrasi Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum, perlu diganti dan disesuaikan dengan ketentuan Undang-undang No. 14 Tahun 1970.2

Hukum perdata menurut fungsinya dibedakan menjadi dua, yaitu hukum materiil dan hukum formil. Hukum perdata (materiil) adalah hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban para pihak dalam bidang keperdataan. Sedangkan hukum perdata formil atau hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya para pihak untuk melaksanakan atau mewujudkan haknya apabila ada pelanggaran terhadap hukum perdata (materiil), yang dalam konteks ini dituntut melalui pengadilan umum.

Mengenai perbuatan hukum dalam masyarakat dan jenis pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memutus atau mengadili suatu perbuatan, maka Kekuasaan Kehakiman membagi 4 (empat) jenis badan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung (MA) yang diatur dalam Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009, terdiri dari3:

2 R.M. Rahyono Abikusno, 1994, Buku Pegangan Praktisi Hukum (The Lawyer’s Handbook),PT Citra Aditya Bakti, Bandung,hlm 91.

3 V. Harlen SInaga, 2015, “Hukum Acara Perdata”, Erlangga,Jakarta,hlm 4-5.

(3)

4

1. Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya yang bertugas untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana atau perdata4.

2. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam yang kewenangannya mengadili perkara-perkara tertentu5.

3. Peradilan Tata Usaha Negara adalah pelaksana Kekuasaan Kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara6.

4. Peradilan Militer adalah pelaksana Kekuasaan Kehakiman untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Angkatan Bersenjata dan dalam soal-soal kepegawaian militer7.

Sistem Peradilan di Indonesia menganut asas costante justice atau asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang diatur dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Makna dari asas ini adalah proses peradilan yang tidak berbelit-belit, biaya dapat dijangkau dan acaranya jelas.8 Pertama, yang dimaksud peradilan yang cepat berdasarkan SEMA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding ada 4 (empat) Lingkungan Peradilan agar penyelesaian perkara dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :

• Penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama paling lambat dalam waktu 5 (lima) bulan.

4 Ibid, hlm 21.

5 Ibid, hlm 68.

6 Ibid, hlm 354.

7 Ibid, hlm 219.

8 Zil Aidi, “Implementasi E-Court Dalam Mewujudkan Penyelesaian Perkara Perdata Yang Efektif Dan Efisien”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 49, No. 01, (Januari 2020), hlm 81.

(4)

5

• Penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Banding paling lambat dalam waktu 3 (tiga) bulan.

• Ketentuan waktu sebagaimana pada angka 1 dan angka 2 di atas termasuk penyelesaian minutasi.

• Ketentuan tenggang waktu di atas tidak berlaku terhadap perkara-perkara khusus yang sudah ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Asas ini meliputi cepat dalam proses, cepat dalam hasil, dan cepat dalam evaluasi terhadap kinerja dan tingkat produktifitasi institusi peradilan.

Kedua, yang dimaksud peradilan yang sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan efisien yaitu tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, dan biaya), sedangkan efektif adalah efek yang dapat membawa hasil.

Ketiga, yang dimaksud peradilan biaya ringan adalah biaya yang dapat dijangkau oleh masyarakat (Penjelasan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009).9 Biaya ringan juga mengandung makna bahwa mencari keadilan dalam lembaga peradilan tidak sekedar orang yang mempunyai harapan akan jaminan keadilan di dalamnya tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan, dan keadilan yang mandiri serta bebas dari nilai-nilai yang merusak nilai keadilan itu sendiri.

Dari pemikiran di atas Mahkamah Agung mendorong suatu gagasan untuk merealisasikan asas costante justice, yaitu dengan cara diberlakukannya e-Court pada sistem peradilan di Indonesia. E-court adalah suatu bentuk pelayanan untuk

9 Hilman Maulana Yusuf, 2020 , ”Kompleksitas Perkara Perdata Permohonan Terintegrasi (E-Court

& E-Litigation)”,Kencana, Jakarta, hlm 9-10

(5)

6

masyarakat yang diterapkan oleh system Peradilan di Indonesia dan dilakukan secara online yaitu dengan cara pendaftaran perkara secara online, pembayaran secara online, mengirim dokumen persidangan ( Replik, Duplik, Kesimpulan, Jawaban ) dan pemanggilan secara online (e-summons).

Pada tanggal 23 Maret 2020 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). SEMA No 1 Tahun 2020 kemudian diubah dengan SEMA No 2 Tahun 2020 lalu diubah lagi dengan SEMA No 3 Tahun 2020 dan diubah lagi dengan SEMA No 4 Tahun 2020. Peraturan tersebut memberikan instruksi kepada Hakim dan Aparatur Peradilan untuk melaksanakan tugas pelaksanaan administrasi persidangan secara elektronik yaitu melalui aplikasi e-Court dan untuk pelaksanaan persidangan menggunakan aplikasi e- Litigation. Aplikasi ini sudah diterapkan di lingkungan Mahkamah Agung sejak diterbitkannya Perma No 1 Tahun 2019 tentang Admnistrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.10 Perma No 1 Tahun 2019 mengganti dan menyempurnakan Perma No 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik.

Tujuan dikeluarkannya Perma No 1 Tahun 2019 dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Dapat dilihat dalam Pasal 2 Perma No 1 Tahun 2019, yaitu sebagai landasan hukum penyelenggara administrasi perkara dan persidangan secara selektronik di pengadilan untuk mendukung terwujudnya tertib penanganan perkara yang professional, transfaran, akuntabel, efektif, efisien dan modern. Tujuan tersebut sejalan dengan Pasal 2 ayat (4) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu terselenggaranya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

10 Anggita Doramia Lumbanraja, “Perkembangan RegulasiI dan Pelaksanaan Persidangan online di Indonesia an Amerika Serikat Selama Pandemi Covid-19”, Jurnal Crepido, Volume 02, 01 Juli 2020.

(6)

7

Pada Aplikasi e-Court terdapat 3 (tiga) buah modul/layanan/fitur, yaitu e- Filling yang merupakan layanan pengiriman dan penerimaan berkas perkara digital (PDF/Scan) secara online, seperti Replik, Duplik, Kesimpulan dan Jawaban.

Verifikasi file-file yang dikirim-pun dilakukan melalui Aplikasi e-Court ini, dan dengan begitu potensi para pihak pencari keadilan bertemu dengan aparatur pengadilan akan lebih kecil. Di dalam Aplikasi e-Court juga terdapat e-Payment yang berperan dalam pembayaran biaya perkara ke Rekening Virtual Pengadilan (Virtual Account) melalui metode transfer baik itu dengan melakukan transfer via ATM, SMS Banking, M-Banking, Internet Banking maupun konvensional. Kemudian, fitur berikutnya adalah e-Notifications yang sangat berguna bagi para praktisi hukum untuk mengetahui informasi perkara yang diajukannya, misalnya saja notifikasi berupa nomor perkara, notifikasi jumlah biaya perkara yang harus dibayar, dan lain sebagainya. Selanjutnya e-Summons yang merupakan layanan pemanggilan/pemberitahuan (relaas) secara online (disampaikan melalui domisili elektronik/e-mail) dengan persetujuan para pihak, artinya jika para pihak sepakat.11

Dampaknya e-Court dalam lembaga peradilan di Indonesia lebih mempermudah para praktisi hukum dalam mendaftarkan perkara secara elektronik. Melalui sistem ini, mendaftarkan suatu perkara secara elektronik dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun, tidak memakan waktu yang banyak sehingga dapat dikatakan bahwa ini termasuk cara yang sederhana dan efektif. Sedangkan sebelum diberlakukannya e- Court, Peradilan di Indonesia mengalami proses menyelesaikan sengketa yang bebannya terlalu padat, biaya mahal, makan waktu yang cukup banyak, dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum. Namun pada praktiknya e-Court memiliki kelemahannya tersendiri, yaitu tidak semua orang memiliki akun e-Court dan sebagian besar masyarakat lebih memilih cara yang lama, yaitu dengan mendaftarkan

11https://ptun-palu.go.id/e-court-era-baru-beracara-di-pengadilan/

(7)

8

perkara secara langsung dan tertulis di Pengadilan. Sehingga dalam hal ini perlu adanya sosialisasi mengenai e-Court itu sendiri. Dan dalam praktik di sidang Pengadilan Negeri, apabila dalam mengajukan jawaban, replik, duplik jika sudah diupload dan diverifikasi tidak dapat diperbaiki kembali.

Dalam e-Court berkas perkara digital/dokumen elektronik memiliki syarat sah nya yaitu dokumen elektronik yang di unggah dalam aplikasi e-Court sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUITE, khususnya dalam Pasal 6 UUITE yakni

“informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”. Selain itu, terdapat pula kekhususan dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik serta transaksi elektronik. Pengakuan Mahkamah Agung terhadap dokumen elektronik pada sistem peradilan pertama kali diketahui melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. SEMA ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses minutasi berkas perkara serta menunjang pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas serta pelayanan publik pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya.

Namun SEMA ini tidaklah mengatur tentang dokumen elektronik sebagai alat bukti melainkan dokumen elektronik berupa putusan maupun dakwaan yang dimasukkan pada compact disc /flash disk dikirim melalui email sebagai kelengkapan permohonan kasasi dan peninjauan kembali.

SEMA ini telah mengalami perubahan berdasarkan SEMA Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas SEMA Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. Perubahan SEMA ini dilakukan berkaitan dengan sistem pemeriksaan berkas dari sistem bergiliran

(8)

9

menjadi sistem baca bersama yang diarahkan secara elektronik. Dalam butir-butir SEMA terdapat penambahan detail dokumen-dokumen yang wajib diserahkan para pihak berperkara secara elektronik tapi sekali lagi kepentingannya bukan dalam kaitannya sebagai alat bukti elektronik. Perbedaan lainnya dengan SEMA yang lama ialah cara penyertaan dokumen melalui fitur komunikasi data (menu upaya hukum) pada direktori putusan Mahkamah Agung karena cara lama melalui compact disk dan pengiriman e-dokumen memiliki sejumlah kendala diantaranya data tidak terbaca, perangkat penyimpan data hilang dan lain-lain.

SEMA mengakui dokumen elektronik untuk kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali, bukan untuk alat bukti persidangan dan penyerahan dokumen oleh pengadilan tingkat pertama dilakukan melalui fitur komunikasi data dan tidak melalui perangkat flash disk/compact disk kecuali dalam keadaan khusus.

Namun, disinilah terdapat kekosongan hukum acara, karena dalam UUITE maupun UU lainnya tidak mengatur mengenai tata cara penyerahannya di persidangan. Kalau dalam praktiknya ada yang menyerahkan melalui compact disk atau flash disk maka sesuai SEMA 1/2014 dijelaskan bahwa hal tersebut menyebabkan sejumlah kendala namun apabila dikirim melalui e-dokumen juga belum diatur tata cara pengirimannya.

Tata cara penyerahan menjadi penting karena menyangkut sah atau tidaknya hukum acara perdata yang diterapkan dan dalam rangka memenuhi unsur "dijamin keutuhannya" pada Pasal 6 UUITE. Dijamin keutuhannya berarti tidak diubah-ubah bentuknya sejak dari dokumen elektronik tersebut disahkan. Selain itu, dokumen elektronik yang di dalamnya memuat tanda tangan elektronik wajib memenuhi sejumlah kriteria di dalam Pasal 11 UUITE sehingga memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah yakni: a. data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan, b. data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan, c.

(9)

10

segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, d. segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya; dan f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.12

Dalam perkembangannya, diberlakukannya E-court pada sistem Peradilan di Indonesia dilakukan secara konvensional yaitu para pihak secara langsung datang ke persidangan akan tetapi juga dapat dilakukan secara online. Mahkamah Agung menerapkan e-Litigation untuk menggantikan persidangan secara konvensional yang menghadirkan para pihak di ruang pengadilan, namun tidak semua dapat dilakukan dengan e-Litigation. Berdasarkan SEMA RI Nomor 1 Tahun 2020, Aplikasi e- Litigation hanya ditunjukkan pada persidangan perkara Perdata di Pengadilan Negeri, Perdata Agama di Pengadilan Agama dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Hal ini dikarenakan dalam perkara-perkara tersebut tidak melibatkan terdakwa yang sedang ditahan. Pada tulisan ini, penulis hanya membahas e-Court pada sistem Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan perspektif Hukum Acara Perdata.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:

12http://www.pa-unaaha.go.id/artikel-hukum/eksistensi-dokumen-elektronik-di-persidangan- perdata/286

(10)

11

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai penerapan sistem E-court dalam pengadilan?

2. Bagaimana legalitas penyerahan dokumen secara online dalam persidangan di pengadilan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan:

1. Untuk menjelaskan pengaturan hukum mengenai penerapan E-court dalam sidang di pengadilan.

2. Untuk mengetahui legalitas suatu penyerahan dokumen yang dilakukan secara online.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi pembaca yang membutuhkan, baik secara teoritis dan praktis. Dalam hal ini, manfaat teoritis yaitu bahwa penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber wawasan atau informasi bagi pembaca khususnya mahasiswa, dosen dan para aktivis hukum.

E. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan terdiri dari jenis penelitian, pendekatan penelitian, dan jenis data yang digunakan.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Eksploratif. Eksploratif adalah yaitu penelitian yang mencoba wawasan terhadap suatu hal yang belum diteliti sebelumnya dengan tujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai

(11)

12

suatu gejala tertentu, penelitian ini juga digunakan untuk mendapatkan ide-ide baru mengenai masalah yang diteliti, atau bahkan yang belum sama sekali.13

Penelitian ini penulis berusaha mengeksplorasi lebih dalam mengenai Aplikasi e-Court dalam sidang di pengadilan.

Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Sengan pendekatan tersebut, penelitian akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Penelitian ini menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan (statue approach), dan pendekatan konsep (conceptual).

2. Bahan Hukum

Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2) HIR (Herziene Inlandsch Reglement)

3) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang administrasi perkara dan persidangan di pengadilan secara elektronik.

5) Undang-Undang No 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

13 Jhoni Ibrahim, 2009,“Teori Dan Metodelogi Penelitian Hukum Normative”, Bayu Media Publishing, Jawa Timur, hlm 45.

(12)

13

Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi tetapi berupa publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Dalam penelitian penulis menggunakan buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum dan pendapat para ahli atau akivis hukum yang terkait dengan E-Court.

Referensi

Dokumen terkait

Fungi endofit yang tumbuh diamati secara makroskopis (tipe koloni, sifat permukaan koloni, warna koloni) dan ri Pemurnian dilakukan sebanyak 4 kali hingga didapatkan

Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan nasabah yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank. Pada kasus yang penulis angkat jelas

Tingkat keberhasilan pelaksanaan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan berdasarkan waktu pelaksanaan perkawinan hasil tertinggi dicapai pada hari ke 161-180

Nilai koefisien variasi yang semakin kecil dari tahun ke tahun menunjukkan terjadinya pemerataan PDRB per kapita, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam

Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang memiliki peran yang baik dalam proses formulasi

penduduk yang mencari nafkah dengan memanfaatkan lahan persawahan dan tepian sungai untuk mencari ikan di di sekitar kawasan yang akan dibangun proyek perumahan adalah 200 KK

E-Court Mahkamah Agung RI adalah layanan bagi pengguna terdaftar untuk pendaftaran perkara secara online, mendapatkan taksiran panjar biaya perkara secara online, pembayaran

Setelah peserta melakukan pembayaran, peserta wajib mengisi formulir Pendaftaran Calon Mahasiswa Baru secara online dengan cara memasukkan 16 digit Nomor Tagihan/Pembayaran