• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerintahan presiden B.J. Habibie (1998-1999) : kebijakan politik dalam negeri.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemerintahan presiden B.J. Habibie (1998-1999) : kebijakan politik dalam negeri."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999): KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI

Oleh:

Alberto Ferry Firnandus Universitas Sanata Dharma

2015

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) proses peralihan kepala pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie; (2) kebijakan dalam negeri pemerintahan B.J. Habibie; (3) akhir dari pemerintahan B.J. Habibie.

Metode yang digunakan penulisan sejarah dengan langkah-langkah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosial-politik. Cara penulisannya bersifat deskriptif analitis.

(2)

ABSTRACT

GOVERNMENT PRESIDENT B.J. HABIBIE (1998-1999): DOMESTIC POLITICAL POLICY

By:

Alberto Ferry Firnandus Sanata Dharma University

2015

This paper aims to describe: (1) the process of transition from Head of the Indonesian Government Soeharto to BJ Habibie; (2) The domestic policies of BJ Habibie; (3) the end of the reign B.J. Habibie.

The method used includes heuristic measures , verification , interpretation , and historiography . The approach used is a socio - political approach . The way of writing is descriptive analytical method.

(3)

PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999):

KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

ALBERTO FERRY FIRNANDUS

NIM: 101314023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999):

KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

ALBERTO FERRY FIRNANDUS

NIM: 101314023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Makalah ini ku persembahkan kepada:

Kedua orang tua ku yang selalu mendoakan dan mendukungku.

Teman-teman yang selalu memberikan bantuan, semangat dan doa.

(8)

v

HALAMAN MOTTO

Selama kita bersungguh-sungguh maka kita akan memetik buah yang manis, segala keputusan hanya ditangan kita sendiri, kita mampu untuk itu.

(B.J. Habibie)

Dimanapun engkau berada selalulah menjadi yg terbaik dan berikan yang terbaik dari yg bisa kita berikan.

(B.J. Habibie)

Pandanglah hari ini, kemarin sudah jadi mimpi. Dan esok hanyalah sebuah visi. Tetapi, hari ini sesungguhnya nyata, menjadikan kemarin sebagai mimpi

kebahagiaan, dan setiap hari esok adalah visi harapan. (Alexander Pope)

Dan bahwa setiap pengalaman mestilah dimasukkan ke dalam kehidupan, guna memperkaya kehidupan itu sendiri. Karena tiada kata terakhir untuk belajar

(9)
(10)
(11)

viii

ABSTRAK

PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999): KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI

Oleh:

Alberto Ferry Firnandus Universitas Sanata Dharma

2015

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) proses peralihan kepala pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie; (2) kebijakan dalam negeri pemerintahan B.J. Habibie; (3) akhir dari pemerintahan B.J. Habibie.

Metode yang digunakan penulisan sejarah dengan langkah-langkah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosial-politik. Cara penulisannya bersifat deskriptif analitis.

(12)

ix

ABSTRACT

GOVERNMENT PRESIDENT B.J. HABIBIE (1998-1999): DOMESTIC POLITICAL POLICY

By:

Alberto Ferry Firnandus Sanata Dharma University

2015

This paper aims to describe: (1) the process of transition from Head of the Indonesian Government Soeharto to BJ Habibie; (2) The domestic policies of BJ Habibie; (3) the end of the reign B.J. Habibie.

The method used includes heuristic measures , verification , interpretation , and historiography . The approach used is a socio - political approach . The way of writing is descriptive analytical method.

(13)
(14)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

B.Proses Lengsernya Presiden Soeharto ... 13

C.B.J Habibie Menjadi Presiden ... 21

(15)

xii

B. Pembebasan Tahanan Politik pada Masa Orde Baru ... 28

C. Kebebasan Pers ... 30

D. Penghapusan Istilah Pribumi dan Non Pribumi ... 35

E. Pembentukan Partai Politik dan Percepatan Pemilu ... 36

F. Penyelesaian Masalah Timor Timur ... 39

G. Pengusutan Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya ... 41

BAB IV : AKHIR PEMERINTAHAN B.J HABIBIE A. Penolakan Pidato Pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ... 44

B. Terbentuknya Pemerintahan Baru ... 48

BAB V : KESIMPULAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(16)

Xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Silabus

Lampiran 2 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya

perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang

lebih baik secara konstitusional. Reformasi dimaknai sebagai perubahan

sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh semua pihak. Reformasi

berkenaan dengan seluruh aspek kehidupan yang berlangsung secara perlahan

atau dalam jangka panjang, dan berproses secara alami. Dalam artian tanpa

didasarkan pada suatu rencana yang dipercepat. Dalam hal reformasi politik,

pendekatan mendekati evolusioner berlangsung pada teknis pelaksanaan

kehidupan politik. Tujuannya adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi

proses politik, tanpa mengubah prinsip, ketentuan dan struktur dasarnya.9

Dalam kecenderungannya untuk mendekati revolusi, Reformasi

digerakkan dan diprakarsai oleh masyarakat untuk melakukan perubahan

segenap aspek kehidupan secara mendasar, berlangsung secara cepat sehingga

tidak menghiraukan jumlah dan kualitas korban, apalagi mengingat prosesnya

yang kental diwarnai oleh kekerasan.10Tujuan reformasi sendiri adalah

terciptanya kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial

yang lebih baik dari masa sebelumnya

9

Arbi Sanit,Reformasi Politik, Yogyakarta:Pustaka Belajar, 1998, hlm. 100 10

(18)

Gerakan reformasi di Indonesia muncul sebagai jawaban atas krisis

yang melanda berbagai segi kehidupan pada masa pemerintahan Orde

Baru.Dampak krisis ekonomi di Asia terutama Asia Tenggara tahun 1997

menyebabkan stabilitas politik Indonesia menjadi goyah. Praktik-praktik

pemerintahan di masa Orde Baru hanya membawa kebahagiaan semu,

ekonomi Indonesia semakin terpuruk, sistem ekonomi menjadi kapitalistik.

Terlebih lagi merajalelanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang

dilakukan pada hampir seluruh instansi serta lembaga pemerintahan, hal ini

membawa rakyat semakin menderita. Para wakil rakyat yang seharusnya

membawa amanat rakyat pada kenyataannya tidak berfungsi secara

demokratis.11 Krisis ekonomi tahun 1997 merupakan langkah awal

munculnya gerakan reformasi di Indonesia.

Dari segi politik, gerakan reformasi disebabkan karena pemerintahan

pada masa Orde Baru bersifat otoriter, tertutup, dan personal. Masyarakat

yang memberikan kritik mudah dituduh sebagai anti-pemerintah, menghina

kepala negara dan anti-Pancasila. Pada masa Orde Baru,Pancasila digunakan

sebagai alat legitimasi politik oleh penguasa, sehingga kedudukan Pancasila

sebagai sumber nilai dikaburkan dengan praktik kebijakan pelaksana

penguasa negara. Setiap kebijakan penguasa Orde Baru senantiasa

dilegitimasi oleh ideologi Pancasila. Konsekuensinya setiap warga negara

yang tidak mendukung kebijaksanaan tersebut dianggap bertentangan dengan

11

(19)

Pancasila.12Akibatnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis

tidak pernah terwujud dan Golkar yang menjadi partai terbesar pada masa itu

diperalat oleh pemerintah Orde Baru untuk mengamankan kehendak

penguasa. Sikap pemerintah yang otoriter, tertutup, tidak demokratis, serta

merebaknya KKN menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Gejala ini

terlihat pada pemilu 1992 ketika suara Golkar berkurang cukup banyak. Sejak

1996, ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru mulai

terbuka. Keadaan ini diperparah pada tahun 1997, tingkat inflasi semakin

parah mencapai 11,5% dan pada tahun 1998 melonjak tinggi menjadi

77,6%, Inflansi yang terjadi ini semakin memperparah keadaan Indonesia.

Para mahasiswa mulai turun ke jalan, demonstrasi menjadi lebih marak dari

hari-kehari menuntut supaya presiden mundur dengan tuduhan KKN, maka

terjadilah krisis politik yang menimpa Presiden Soeharto.13

Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru

selalu dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Akan

tetapi yang sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan

kekuasaan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Demokrasi yang

dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya,

melainkan demokrasi semu. Pada masa Orde Baru, kehidupan politik sangat

represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak

oposisi atau orang-orang yang berpikirkritis terhadap politik yang dijalankan

oleh Presiden Soeharto.

12

Ibid., hlm. 256 13

(20)

Menyadari bahwa masalah dasar masyarakat pada masa Orde Baru

adalah mewujudkan kebebasan, persamaan, keadilan, dan tersentralisasi,

sehingga terjerumus ke dalam wataknya yang otoriterian, maka demokratisasi

segenap aspek kehidupan dipastikan menjadi tujuan atau arah bagi reformasi

politik. Selama 3 dekade pembangunan nasional yang didasarkan pada adil

dan makmur sebagai tujuannya, terbukti kesalahan ideologi itu membawa

petaka berupa krisis rupiah, moneter, ekonomi dan politik. Hal itu terjadi

karena penafsiran konsitusi seperti itu membenarkan prioritas pembangunan,

dengan stabilitas politik sebagai syaratnya. Akibatnya terjadilah kesenjangan

pembangunan ekonomi dengan sosial-budaya dan politik. Kesenjangan itu

menyebabkan perkembangan ekonomi tidak terkontrol oleh proses politik,

sehingga Indonesia terjebak oleh berbagai kelemahan sistem ekonomi secara

mendasar.14

Krisispolitik, ekonomi, hukum, dan krisis social yang terjadi pada masa

pemerintahan Orde Baru merupakan faktor yang mendorong lahirnya

gerakan reformasi. Bahkan krisis kepercayaan telah menjadi salah satu

indikator yang menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak

boleh ditawar-tawar lagi dan karena itu, hamper seluruh rakyat Indonesia

mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut. Dengan semangat

reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian kepemimpinan

nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan

makmur. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki

14

(21)

kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indonesia harus

dipimpin oleh orang yang memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan

penderitaan rakyat.

Krisis moneter disusul dengan krisis ekonomi dan berlanjut ke krisis

politik, serta gerakan reformasi yang menuntut turunnya Presiden Soeharto

semakin kuat, Hal ini menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru yang

digantikan dengan orde reformasi.15 Berakhirnya Orde Baru ditandai dengan

lengsernya Presiden Soeharto yang digantikan oleh B.J. Habibie. Masa

pemerintahannya sebagai presiden, B.J. Habibie dengan kabinet reformasi

pembangunannya dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang belum tuntas

pada masa Orde Baru. Krisis ekonomi, kekerasan sosial, krisis politik, dan

krisis kepercayaan pada pemerintah merupakan persoalan-persoalan yang

harus dihadapi oleh pemerintahan B.J. Habibie.16

Dari latar belakang tersebut, penulistertarik untuk membahas tentang

jalannya reformasi dilihat dari kebijakan-kebijakan politik pada masa

pemerintahan Presiden B.J. Habibie, dan upaya menyelesaikan

persoalan-persoalan yang terjadi masa pemerintahan Orde Baru.

15

Tuk Setyohadi,Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia Dari Masa Ke Masa, Jakarta: Rajawali Corporation,2002, hlm. 221

16Ibid

(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan yang menjadi objek penulisan ini. Adapun permasalahannya

sebagai berikut, yaitu:

1. Bagaimana proses peralihankekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie?

2. Bagaimana kebijakan dalam negeripemerintahan B.J. Habibie?

3. Bagaimanaakhir dari pemerintahan B.J. Habibie?

C. TujuanPenulisan

Dari rumusan makalah diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam

makalah ini adalah:

a. Mendeskripsikan mengenai proses peralihan Kepala Pemerintahan dari

Soeharto ke B.J. Habibie.

b. Mendeskripsikan mengenai kebijakan dalam negeri pemerintahan B.J.

Habibie.

(23)

D. Manfaat penulisan

a. Bagi Universitas

Penulisan ini diharapkan untuk menambah bahan bacaan yang

berguna bagi pembaca baik yang berada di lingkungan Universitas

Sanata Dharma maupun bagi pembaca yang berada di luar Universitas

Sanata Dharma khususnya mengenai kebijakan-kebijakan politik dalam

negeri pada masa pemerintahan B.J. Habibie.

b. Bagi Prodi PendidikanSejarah

Makalah ini diharapkan mampu menarik minat mahasiswa

Pendidikan Sejarah untuk mempelajari lebih dalam mengenai

pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999) mengenai kebijakan

politik dalam negeri. Hal tersebut dimaksudkan untuk menambah

wawasan dan pengetahuan mahasiswa.

c. Bagi Masyarakat

Tulisan ini diharapkan bias menjadi referensi dan menambah

perbendaharaan dalam pengembangan sejarah khususnya tentang

kebijakan-kebijakan politik dalam negeri pada masa pemerintahan B.J.

Habibie.

d. Bagi Pemerintah

Tulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai refleksi bagi

pemerintahan saat ini dalam upaya membangun bangsa Indonesia

(24)

e. Bagi Penulis

Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan dalam menulis

karya ilmiah khususnya tentang kebijakan-kebijakan politik dalam negeri

pada masa pemerintahan B.J. Habibie dan juga dapat mempertajam cara

berpikir penulis.

E. Sistematika Penulisan

Makalah yang berjudul Kebijakan-Kebijakan Politik Pada Masa

Pemerintahan Presiden B.J. Habibie ini memiliki sistematika sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, perumusan

masalah,tujuan dan manfaat penulisan dan sistematika

penulisan.

Bab II : Uraian tentang proses peralihan kekuasaan dari Soeharto ke

B.J. Habibie.

Bab III : Uraian tentang kebijakan-kebijakan politik dalam negeri masa

pemerintahan Presiden B.J. Habibie.

Bab IV : Uraian mengenai akhir dari pemerintahan B.J. Habibie.

(25)

BAB II

PROSES PERALIHAN KEKUASAAN DARI SOEHARTO KE B.J. HABIBIE

A. Krisis Ekonomi Tahun 1997

Pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi dunia. Penyebab utama krisis

ekonomi dunia adalah perilaku para spekulen valuta asing yang telah

memborong dollar AS, lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga

berimbas pada nilai mata uang negara-negara ASEAN menjadi terpuruk.

Spekulan uang terbesar pada era krisis tersebut adalah George Soros.17

George Soros dituduh oleh Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad

sebagai penyebab krisis ekonomi Asia. Negara yang paling terkena

dampaknya adalah Korea Selatan, Malaysia, Indonesia, dan Thailand, yang

menyebabkan mata uang ketiga negara tersebut menjadi rendah. Pada

perkembangannya krisis ekonomi Asia tahun 1997 berdampak sangat luas

bagi perekonomian Indonesia.

Keterpurukan ekonomi Indonesia diperburuk dengan adanya regulasi

perbankan pada bulan Oktober 1988 dengan “Pakto 1988”. Pakto 1988

merupakan kebijakan pemerintah dalam upaya membuka peluang bisnis

perbankan seluas-luasnya guna memobilisasi dana masyarakat untuk

menunjang pembangunan. Pakto 1988 berisi tentang liberalisasi perbankan

yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank-bank yang telah

17

Muksalmina, George Soros, Pria yang Menghancurkan Poundsterling, Rupiah, diakses dari

(26)

ada. Dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka

bank baru sehingga pada masa itu jumlah bank swasta di Indonesia menjadi

ratusan. Sejak adanya Pakto 1988 menyebabkan sistem manajemen

perbankan di Indonesia menjadi bermasalah. Jumlah bank swasta yang

berjumlah ratusan dengan berkapital rendah kurang terawasi oleh Bank

Sentral. Banyak bank-bank yang terkait dengan konlomerat bermasalah

dengan utang terhadap bank pemerintah, dan operasinya condong untuk

memberikan kredit kepada perusahaan miliknya sendiri tanpa memberikan

ketentuan lending limit. Pemberian kredit kepada nasabah yang terlalu mudah

tidak prudent , ditambah banyak pejabat bank yang berkolusi dengan nasabah

atau peminjam yang menimbulkan kemacetan dalam pengembaliannya.18

Sementara itu banyak perusahaan swasta Indonesia yang terlibat dalam

utang dollar AS dari luar negeri berjangka pendek, serta sebaliknya banyak

perusaahan asing dan para konglomerat Indonesia yang melarikan dollar

AS-nya keluar sebagai capital flight ditambah pula, defisit transaksi berjalan dari

neraca pembayaran semakin membesar.19

Alhasil nilai tukar rupiah tehadap US $ anjlok tanpa dapat dibendung,

Rupiah selama ini berada dalam kisaran Rp 2.500/US$, namun nilai mata

uang mulai merosot pada bulan Juli 1997. Pada bulan Agustus, nilai mata

uang rupiah sudah menurun 9%. Bank Indonesia mengakui bahwa tidak bisa

membendung rupiah terus merosot. Pada bulan Januari tahun 1998, mata

uang terpuruk hingga level sekitar Rp 10.000/US$ dan sebulan sesudahnya

18

Tuk Setyohadi, Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia Dari Masa Ke Masa, Jakarta: Rajawali Corporation, 2002, hlm. 171.

(27)

menjadi Rp 17.000/US$ atau kehilangan 85% nilainya. Keterpurukan ini

mengakibatkan bursa saham Jakarta hancur, dan membuat perekonomian

Indonesia semakin terpuruk. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia

bangkrut, yang diikuti PHK pekerja-pekerjanya, sehingga menyebabkan

angka pengangguran menjadi meningkat.20

Menanggapi krisis ekonomi yang terjadi, upaya pemerintah adalah

meminta bantuan kepada International Monetary Fund (IMF) pada tanggal 31 Oktober 1997. Kerjasama Indonesia dengan IMF bertujuan untuk

memperkuat sektor finansial, pengetatan kebijakan viskal dan penyesuaian

struktural perbankan. Akan tetapi pengaruh bantuan IMF sangatlah kecil

dalam membantu krisis di Indonesia. Beberapa kebijakan seperti kebijakan

fiskal dan kebijakan likuidasi. Kebijakan fiskal bertujuan untuk

mempertahankan nilai tukar sedangkan kebijakan likuidasi bertujuan untuk

membantu bank-bank yang bemasalah. Kebijakan ini menerapkan standar

kecukupan modal dengan mengusahakan rekapitulasi perbankan. IMF

menyediakan standby loan sebesar US$ 38 milyar untuk menanggulangi

krisis moneter yang dialami Indonesia. Perjanjian dengan IMF

mengakibatkan ditutupnya 16 bank bermasalah.21

Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam upaya menangani krisis dengan

melakukan kerjasama dengan IMF tidak mampu membawa Indonesia keluar

dari krisis ekonomi. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, hal ini

menyebabkan timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

20

M.C. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2010, hlm. 687. 21

(28)

Masyarakat menganggap pemerintah tidak berhasil dalam melaksanakan

kebijakan-kebijakannya.

Krisis moneter yang terjadi meningkat menjadi krisis sosial-ekonomi

yang menimpa rakyat kecil dengan meningkatnya harga sembilan bahan

pokok yang tidak terkendali. Tingkat inflasi pada tahun-tahun sebelumnya

tidak pernah melampaui dua digit. Pada tahun 1997 menjadi 11,5 % dan pada

tahun 1998 melonjak dengan sangat drastis menjadi 77,6 %. Menanggapi

krisis yang terjadi, para mahasiswa mulai melakuakan gerakan dengan cara

turun ke jalan, demontrasi menjadi lebih marak dari hari-kehari menuntut

supaya presiden mundur dengan tuduhan KKN, maka terjadilah krisis politik

yang menimpa pemerintahan Soeharto.22

Krisis ekonomi yang disusul dengan krisis sosial-ekonomi terjadi

menjelang sidang Umum MPR sebagai hasil pemilu tahun 1997 dengan

kemenangan Golkar secara mutlak sebagai single majority dengan angka

perolehan sebesar 75%. Golkar kembali mencalonkan Soeharto sebagai

kandidat Presiden masa bakti 1998-2003. Sementara itu telah beredar isu

bahwa wakil Presiden yang mendampingi Soeharto adalah B.J. Habibie.

Krisis moneter tahun 1997, diperparah dengan utang luar negeri

Indonesia sebesar US $ 137 milyar. Rinciannya US $ 53,8% milyar

merupakan utang pemerintah dan US $ 83,2% merupakan utang swasta.

Utang luar negri ini merupakan utang jangka pendek, sedangkan penggunaan

biaya tersebut lebih condong untuk membiayai sektor-sektor non produktif,

22Ibid

(29)

seperti shopping mall, apartemen, hotel, perkantoran, real state, lapangan

golf, tourist resort dan lain-lain semacamnya.23

B. Proses Lengsernya Presiden Soeharto

Banyaknya persoalan yang dihadapi Indonesia sebagai akibat dari krisis

ekonomi yang berkepanjangan, serta upaya-upaya pemerintah yang dianggap

tidak serius dalam mengatasi krisis ekonomi membuat masyarakat terutama

mahasiswa tidak mempercayai pemerintahan Presiden Soeharto. Puncak

penolakan mahasiswa terhadap Pemerintahan Soeharto terlihat pada saat

diadakannya Sidang Umum MPR yang merupakan rutinitas dari mekanisme

lima tahunan ketata negaraan Orde Baru. Mahasiswa menolak pidato

pertanggungjawaban Presiden Soeharto di depan Sidang Umum MPR.

Demonstrasi yang disuarakan mahasiswa meminta pertanggungjawaban

pemerintahan Soeharto terhadap terjadinya krisis moneter dan krisis

sosial-ekonomi, mahasiswa juga melakukan kritik anti Soeharto yang ditunjukkan

pada korupsi di lingkungan keluarga Soeharto serta kedekatan keluarga

Cendana dengan para konglomerat.

Penolakan mahasiswa mengenai pertanggungjawaban Presiden

Soeharto berbanding terbalik dengan MPR. Pidato pertanggungjawaban

Presiden diterima secara penuh oleh MPR tanpa catatan, seperti yang semula

diusulkan oleh Fraksi PPP. Dalam sidang tersebut juga dipilih kembali

Soeharto sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003 dengan didampingi B.J.

Habibie sebagai wakil Presiden. MPR juga mengesahkan penetapan No.

23Ibid

(30)

V/MPR/ 1998 yang isinya memberikan kewenangan kepada presiden untuk

mengambil segala langkah yang diperjuangkan guna mengamankan

pembangunan. Keputusan MPR pada Sidang Umum MPR bulan Maret 1998

tersebut membuat ketegangan di masyarakat semakin bertambah, demontrasi

penolakan Soeharto dan tuntutan segera diadakannya reformasi semakin

meningkat.

Setelah terpilih kembali sebagai presiden, Soeharto menyatakan akan

memenuhi tuntutan rakyat untuk segera menanggulangi krisis moneter dan

ekonomi melalui suatu gerakan reformasi yang sesuai dengan konstitusi.

Soeharto segera membentuk kabinet. Akan tetapi kabinet yang dibentuk oleh

Soeharto dianggap mengandung muatan politik yang berbau nepotisme, dan

tidak profesional. Anggapan ini muncul karena kabinet Soeharto merupakan

kumpulan kroni-kroninya. Ditunjuknya B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden,

Siti Hardiyanti atau lebih dikenal dengan Mbak Tutut yang merupakan putri

Soeharto menjadi Menteri Sosial, Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan,

dan hanya sedikit yang dari golongan profesional dan tokoh ICMI yang

masuk dalam kabinet. Kabinet Soeharto mendapat kecaman keras dari

berbagai pihak di masyarakat terutama dikalangan mahasiswa, mahasiswa

menginginkan reformasi politik, dengan menuntut agar Soeharto lengser

sebagai presiden.24

Pada tanggal 15 Januari 1998 ditandatangani Persetujuan kerjasama

Indonesia dengan IMF oleh Presiden Soeharto yang disaksikan Direktur

24

(31)

Pelaksana IMF Michael Camdessus dalam upaya menangulangi krisis

moneter. Pemerintah Indonesia wajib menjalani serangkaian program dari

IMF, seperti pengurangan belanja negara, menaikkan pajak, menghapus

berbagai subsidi antara lain, kenaikan harga BBM, tarif listrik, telepon, dan

sebagainya.25 Serangkaian program yang digagas IMF tersebut sebagai upaya

menekan krisis di Indonesia. Akan tetapi, kebijakan IMF tersebut

menyebabkan terganggunya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berbagai

demonstrasi dan kerusuhan di masyarakat yang diwakili mahasiswa semakin

marak terjadi sebagai imbas dari kebijakan IMF tersebut.

Sikap mahasiswa yang menuntut turunnya Presiden Soeharto tercermin

dalam pemikiran tentang perubahan politik yang berlangsung sistematik,

seperti diungkapkan melalui pernyataan keprihatinan sivitas akademik

Universitas Indonesia di Jakarta, bulan Februari 1998, maupun tuntutan

Sepultura (sepuluh tuntutan rakyat) yang dirumuskan yang dirumuskan oleh

Amien Rais. Meningkatkan tuntutan-tuntutan tentang perubahan yang

berawal dari keprihatinan terhadap krisis moneter dan gejolak ekonomi,

sebagian besar disebabkan karena konservatif para pejabat pemerintah dan

keacuhan politik yang diperlihatkan oleh lembaga-lembaga politik terhadap

tuntutan perubahan yang bersifat reformatoris. Bahkan golkar memiliki sifat

dasar yang cenderung menolak refomasi politik.

Desakan dilakukannya refomasi politik yang dilakukan mahasiswa

akhirnya pemerintah kususnya fraksi-fraksi MPR dalam Sidang Umum

25

(32)

menyepakati langkah reformasi politik yang berlangsung gradual. Namun

pada penerapannya yang terlibat langsung secara intensif didalam wacana

reformasi justru lembaga-lembaga pemerintah tertentu, institusi ABRI,

Organisasi Kelompok Partisan (OKP) dan kelompok-kelompok mahasiswa

serta sivitas akademika di kampus-kampus, sedangkan pemerintah sendiri

terkesan setengah hati dalam menjalankan reformasi politik.26

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan

tanggal 20 Mei 1998 direncanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai hari

Reformasi Nasional. Ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan diluar dugaan.

Pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti yang berlokasi di daerah

Grogol, Jakarta Barat terjadi peristiwa penembakan terhadap empat

mahasiswa Trisakti. Insiden Trisakti terjadi saat mahasiswa melakukan unjuk

rasa ke Gedung DPR/MPR, namun aparat keamanan memaksa mahasiswa

kembali ke kampus. Tiba-tiba situasi berubah menjadi kekacauan dan aparat

melepaskan tembakan yang mengakibatnya empat mahasiswa Trisakti tewas

tertembak peluru tajam aparat keamanan. Keempat mahasiswa Trisakti yang

tewas adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan

Herry Hertanto. Keesokan harinya tanggal 13 Mei, keempat mahasiswa

Trisakti yang tewas dimakamkan dengan diantar oleh ribuan mahasiswa serta

sanak saudara dan para simpatisan lainnya, lalu peristiwa tersebut dikenal

dengan Jakarta kelabu.

26

(33)

Keesokan harinya setelah penembakan empat mahasiswa Trisakti,

suasana Indonesia semakin kacau, kerusuhan dan demontrasi terjadi di

berbagai daerah dengan Jakarta dan Surakarta sebagai yang terparah. Di

Jakarta menyerbu pertokoan dan perkantoran milik WNI keturunan Tionghoa

di kawasan Kota, kawasan Mangga Besar, kawasan Senen, Jalan Hayam

Wuruk, Jalan Gajah Mada, Jalan Daan Mogot dan lain-lain. Perusahaan para

cukong dan keluarga Soeharto merupakan sasaran utama pembakaran dan

penjarahan. Bank Central Asia (BCA) milik Liem Sioe Liong merupakan

objek serangan utama. Mereka datang dengan sangat beringas untuk

melakukan perampokan, penjarahan dan pembakaran serta mereka juga

melakukan pelecehan seksual terhadap wanita-wanita keturunan Tionghoa.

Yang paling tragis adalah pembakaran Klender Plaza yang menewaskan 200

karyawati pertokoan.27 Kepada pers, Gubernur DKI Sutiyoso mengumumkan

kerusuhan yang terjadi antara tanggal 13-15 Mei 1998 menelan sedikitnya

500 korban jiwa dan kerugian fisik bangunan mencapai Rp 2,5 triliun, belum

termasuk isinya.28

Pada tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto mendarat di Halim

Perdanakusuma, setelah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G-15 di Kairo

yang berlangsung 13-14 Mei 1998. Akibat meletusnya kerusuhan di tanah air,

presiden mempercepat kepulangannya. Soeharto langsung mengadakan

konsultasi dengan Menteri Hankam serta dengan Wakil Presiden B.J. Habibie

27

Tuk Setyohadi, Op. Cit., hlm. 176. 28

(34)

bersama keempat Menteri Koordinator. Soeharto meminta laporan

perkembangan terakhir mengenai keadaan tanah air.

Tanggal 16 Mei 1998, Presiden menerima kunjungan dari delegasi

Universitas Indonesia guna menyampaikan aspirasinya yang menuntut agar di

gelar Sidang Istimewa MPR. Pertemuan Presiden dilanjutkan dengan

pembicaraan bersama pimpinan DPR. Dalalm pertemuannya tersebut

Presiden Soeharto meminta agar semua penyelesaian disalurkan melelui

DPR. Demikian pula Presiden Soeharto menyampaikan bahwa apabila DPR

sudah tidak percaya lagi kepada Presiden, beliau bersedia mundur. Presiden

juga menyampaikan alternatif untuk mengadakan “reshuffle” kabinet dan

bersamaan waktunya juga membentuk Komite Reformasi.29

Pada hari Senin tanggal 18 Mei 1998 diadakan rapat pimpinan DPR

dengan fraksi-fraksi, dalam suasana puluhan ribu mahasiswa dari berbagai

daerah telah memasuki halaman dan gedung MPR/DPR. Dengan suara tegas

menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, Ketua MPR/DPR H.

Harmoko membacakan keterangan pers yang berbunyi “Ketua dan

Wakil-Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan demi persatuan dan

kesatuan meminta agar Presiden Soeharto sebaiknya secara arif dan

bijaksana mengundurkan diri”. Saat itu Harmoko didampingi seluruh Wakil

Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur,

dan Fatimah Achmad. Kejutan yang disambut gembira oleh ribuan

mahasiswa tidak berlangsung lama, pada pukul 23.00 WIB Menhankam/

29

(35)

Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap

pernyatan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu

merupakan sikap dan pendapat individual, dan tidak memiliki dasar hukum.

Menteri Dalam Negeri Hartono juga menyatakan bahwa DPR tidak bisa

menjatuhkan Presiden, sama juga Presiden tidak bisa menjatuhkan DPR.30

Pada hari yang sama, Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres No. 16/ 1998

yang memberikan kewenangan untuk mengambil segala tindakan yang

dianggap perlu guna mengatasi kekacauan. Inpres ini diberikan kepada

Pangab Jenderal Wiranto.31

Pada tanggal 19 Mei 1998 dalam sebuah pidato nasional, presiden

Soeharto secara resmi mengumumkan pembubaran kabinet dan membentuk

kabinet baru yang dinamai Kabinet Reformasi. Di tengah-tengah rencana itu,

Amien Rais mengordinasikan protes-protes mahasiswa dan mengancam akan

menghimpun 1 juta demonstran di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1998 guna

menyuarakan pengunduran diri Presiden Soeharto. Rencana Amien Rais tidak

jadi dilaksanakan karena terdapat ancaman kekerasan terhadap demonstran,

ancaman ini dilakukan oleh militer.32

Menjelang akhir pemerintahannya, Presiden Soeharto mulai ditinggal

oleh para pengikutnya di kabinet. Para menterinya, yang dipimpin oleh

Ginandjar Kartasasmita, mengadakan rapat dan menyatakan bahwa mereka

tidak bersedia menjabat dalam kabinet reformasi serta mendesak Presiden

30

Abun Sanda, Warisan (daripada)Soeharto,Jakarta: Kompas, 2008, hlm. 301 31

A. Pambudi, Op .Cit., hlm. 15. 32

(36)

Soeharto untuk turun. Selain itu beberapa tokoh yang diminta Presiden

Soeharto untuk duduk dalam Komite Reformasi antara lain Nurcholis Madjid,

Gus Dur, Amien Rais dan Malik Fajar menolak.33

Pada pertemuan di malam yang sama, Panglima ABRI Jenderal TNI

Wiranto menyatakan bahwa demi kepentingan bangsa, solusi terbaik adalah

mengalihkan kekuasaan secara konstitusional dari Presiden kepada Wakil

Presiden. Semakin keras desakan yang menginginkan agar Soeharto mundur

sebagai Presiden, menyebabkan semakin lemahnya kekuatan Soeharto dalam

pemerintahan. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1998 pukul 23.00 WIB

Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Yusril Ihza Mahendra,

Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Dalam

pertemuan tersebut Presiden Soeharto memutuskan untuk turun sebagai

Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil

Presiden B.J Habibie sebagai Presiden.

Pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB sesuai dengan

ketentuan dalam TAP MPR No. VII tahun 1973 di hadapan Mahkamah

Agung dilaksanakan penyerahan jabatan presiden berdasarkan pasal 8 UUD

1945. Selain penyerahan kekuasaan presiden, pada saat itu juga sekaligus

mengangkat Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi Presiden menggantikan

Soeharto.34 Dalam pidato pengunduran dirinya, Soeharto berkata “

saudara-saudara sekarang saya bukan presiden lagi kerena sesuai pasal 8 UUD 1945

dan saran dari Dewan Perwakilan Rakyat, saya telah berhenti. Saya harap

33

Tuk Setyohadi, Op. Cit., hlm. 178. 34Op. Cit

(37)

saudara-saudara menjaga keselamatan negara dan bangsa, terima kasih”.

Pidato tersebut mengakhiri jabatan Soeharto sebagai Presiden dan mengakhiri

era Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.

C. B.J Habibie Menjadi Presiden

Hari kamis tanggal 21 Mei 1998 merupakan hari bersejarah bagi Bangsa

Indonesia. Pada tanggal tersebut Soeharto secara resmi mengundurkan diri

sebagai Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun.

Berhentinya presiden sebelum masa jabatan berakhir, maka sesuai dengan

pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi “bila presiden mangkat, berhenti atau tidak

dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai batas masa waktunya”. Pada saat itu juga tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.10, B.J.

Habibie mengucapkan sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia yang

disaksikan oleh Mahkamah Agung, Ketua DPR, Wakil-Wakil Ketua DPR

yang juga dihadiri oleh mantan Presiden Soeharto.

Kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada runtuhnya rezim Orde Baru

berakibat pula pada rusaknya hubungan antara Soeharto dengan B.J Habibie.

Soeharto menganggap seharusnya sebagai Wakil Presiden, B.J Habibie yang

didukung penuh ABRI seharusnya bisa mengambil langkah yang diperlukan

untuk mencegah dan mengatasi aksi-aksi anarkis yang menjurus pada upaya

(38)

memburuk begitu Soeharto meninggalkan tanah Air tentu menimbulkan

prasangka buruk dalam benak Soeharto terhadap Habibie.35

Secara konstitusional, Soeharto memang harus menyerahkan

kekuasaannya sebagai Presiden kepada Wakil Presiden B.J Habibie setelah

mengundurkan diri. Sejak awal Soeharto ragu apakah Habibie mampu

mengatasi situasi. Saat menyampaikan pengunduran diri, wajah Soeharto

tampak dingin. Ia menyadari betul bahwa dirinya benar-benar dipermalukan

di depan seluruh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat luar negeri.

Soeharto berusaha terlihat tegar ketika mengumumkan pengunduran dirinya

sebagai Presiden. Mulai saat itu hubungan Soeharto dengan Habibie tidak

terjalin dengan baik lagi. Jabat tangan antara Soeharto dan Habibie saat

pelantikan Habibie sebagai Presiden merupakan jabat tangan terakhir yang

diterima Habibie dari Soeharto.36

Beberapa hari setelah B.J. Habibie menjadi presiden, B.J. Habibie

mengutus Letjen Ary Mardjono untuk menemui Pak Harto, untuk

menanyakan perihal sulitnya B.J. Habibie bertemu Pak Harto. Pertemuan

berlangsung selama 30 menit, Letjen Ary Mardjono menanyakan apakah

beliau marah kepada B.J. Habibie sehingga sulit bagi B.J. Habibie untuk

bertemu? Pak Harto menjawab, ”Saya justru menjaga nama baik Habibie.

Apa komentar orang kalau presiden baru sering bertemu dengan mantan

35

Tjipta Lesmana, Op. Cit., hlm. 123 36Idem

(39)

presiden, sehingga presiden baru terkesan berada di bawah bayang-bayang

mantan presiden”.37

Reformasi telah membawa B.J Habibie ke kursi presiden. Akan tetapi

tuntutan reformasi oleh masyarakat Indonesia tidak berakhir setelah Soeharto

turun sebagai Presiden. Naiknya B.J Habibie sebagai presiden baru

merupakan langkah awal mewujudkan refomasi, bukan merupakan akhir dari

reformasi total yang dikehendaki oleh masyarakat melalui mahasiswa.38

Pada masa pemerintahannya sebagai Presiden, B.J Habibie dihadapkan

oleh persoalan-persoalan negara yang belum terselesaikan pada masa

pemerintahan Soeharto. Termasuk mengenai pro dan kontra tentang

keabsahan jabatan presiden yang kini dipegangnya. Persoalan ini muncul di

kalangan para ahli hukum sebagian ahli menganggap naiknya B.J Habibie

sebagai Presiden sudah sesuai dengan konstitusi, pendapat ini diperkuat

dengan Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bila Presiden mangkat,

berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh Wakil

Presiden sampai habis waktunya”. Sedangkan beberapa ahli yang

berpendapat bahwa naiknya B.J Habibie yang dianggap tidak konstitusional

berpegang pada ketentuan Pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa

“Sebelum presiden memangku jabatan maka presiden harus mengucapkan

sumpah atau janji di depan MPR atau DPR”. Melihat situasi saat itu, tidak

memungkinkan MPR/DPR untuk bersidang karena Gedung DPR/MPR

diduduki oleh puluhan ribu mahasiswa, maka sumpah dan janji yang

37

Arissetyanto Nugroho, Donna Sita. I, Pak Harto the Untold Stories, Jakarta: PT Gramedia, 2011, hlm. 184

38

(40)

diucapkan B.J. Habibie di depan Mahkamah Agung dan di depan personil

MPR dan DPR dianggap sah dan sudah sesuai dengan Konstitusi.

Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dihadapkan pada kondisi ekonomi

Indonesia yang sangat memprihatinkan. Pada pertengahan tahun 1998 tingkat

inflasi mencapai 65,0 ditambah pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan

sebesar 13,6 persen di tahun 1998. Permasalahan ini muncul sebagai imbas

krisis ekonomi yang menimpa Indonesia yang belum teratasi. Rupiah

mengalami penurunan nilai tukar hingga mencapai Rp 10.000/US$ dan

bahkan mencapai Rp 15.000 sampai Rp 17.000/US$ yang berdampak

banyaknya perusahaan-perusahaan yang mengalami kebangkrutan yang

mengakibatkan banyak pengangguran. Dampak krisis ekonomi menyebabkan

sekitar 113 juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, phk

besar-besaran, krisis sosial dalam masyarakat.39

39

(41)

BAB III

HASIL KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI PRESIDEN B.J. HABIBIE

A. Penyusunan Kabinet Reformasi Pembangunan

B.J. Habibie menjabat sebagai Presiden Indonesia yang ketiga

menggantikan Presiden Soeharto yang lengser dari jabatan sebelum masa

baktinya selesai. Dalam waktu yang terbilang singkat, kurang dari 24 jam

setelah menjabat sebagai Presiden, B.J. Habibie mengumumkan kabinet yang

dipimpinnya dengan diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan.

Tabel 1.

Kabinet Reformasi Pembangunan

No Jabatan Nama

1 Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid.

2 Menteri Luar Negeri Ali Alatas

3 Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Wiranto

4 Menteri Kehakiman Muladi

5 Menteri Penerangan Yunus Yosfiah

6 Menteri Keuangan Bambang Subianto

7 Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan

8 Menteri Pertanian Soleh Solahudin

9 Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro

Mangkusubroto 10 Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin

Nasution 11 Menteri Pekerjaan Umum Rachmadi

(42)

Sumadhijo 12 Menteri Perhubungan Giri Suseno

Hadihardjono 13 Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Marzuki Usman.

14 Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Adi Sasono

15 Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris.

16 Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan

AM

Hendropriyono 17 Menteri Kesehatan Faried Anfasa

Moeloek 18 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono

Soedarsono 19 Menteri Agama Malik Fajar

20 Menteri Sosial Justika Baharsjah

21 Menteri Negara Sekretaris Negara Akbar Tandjung.

22 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan

Nasional/Kepala Bappenas Boediono

23 Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala BPPT Muhammad Zuhal

24 Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha

Milik Negara/Kepala Badan Pengelola BUMN Tanri Abeng 25 Menteri Negara Pangan dan Holtikultura A.M. Saefuddin

26 Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN Ida Bagus Oka

27 Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM Hamzah Haz

28 Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Hasan Basri Durin

29 Menteri Negara Perumahan Pemukiman Theo L. Sambuaga.

30 Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal Panangian Siregar

31 Menteri Negara Peranan Wanita Tuti Alawiyah

32 Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Agung Laksono.

33 Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan

Keamanan Feisal Tanjung 34 Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi,

Keuangan, dan Industri

Ginandjar Kartasasmita. 35 Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan

Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara

(43)

36 Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan

Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Haryono Suyono

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Reformasi_Pembangunan.

(Diakses pada tanggal 19 Maret 2015)40

Permasalahan-permasalahan negara yang dihadapi Pemerintahan B.J.

Habibie tidak hanya mengenai krisis ekonomi yang belum terselesaikan, akan

tetapi juga mengenai permasalahan politik dalam negeri. Pemerintahan B.J.

Habibie dengan Kabinet Reformasi Pembangunan dihadapkan dengan 6

tuntutan reformasi. Keenam tuntutan reformasi antara lain (1) Penegakan

supremasi hukum, (2) Pemberantasan KKN, (3) Mengadili mantan Presiden

Soeharto dan kroni-kroninya, (4) Amandemen Konstitusi (5) Pencabutan Dwi

Fungsi Abri, (6) Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. Presiden Habibie

mengawali pemerintahannya dengan sebuah reputasi yang membuatnya tidak

dipercaya oleh kalangan aktivis dan mahasiswa, militer, fraksi-fraksi partai

besar, pemerintah asing, para investor luar negeri, dan berbagai badan

internasional.

Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan pada masa

pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya Kabinet Reformasi

Pembangunan. Kebijakan politik yang diambil yaitu: dengan dibebaskannya

para tahanan politik pada masa Orde Baru, peningkatan kebebasan pers,

pembentukan parpol dan percepatan Pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999,

40

(44)

penyelesaian masalah Timor Timur, pengusutan kekayaan Soeharto dan

kroni-kroninya, pemberian gelar Pahlawan Reformasi bagi korban Trisakti.

B. Pembebasan Tahanan Politik pada Masa Orde Baru

Dalam upaya menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah dan upaya mengatasi tekanan dan tuntutan dari masyarakat,

Presiden B.J Habibie membuat kebijakan melepaskan seluruh tahanan politik

pada masa Pemerintahan Orde Baru. Tindakan yang dilakukan Presiden B.J

Habibie untuk membebaskan tahanan politik pada masa Pemerintahan Orde

Baru ini meningkatkan legitimasi Presiden B.J Habibie di dalam negeri

maupun luar negeri. Kebijakan B.J Habibie ini pula sebagai upaya Habibie

dalam menjalankan reformasi yang dikehendaki masyarakat dan sebagai

upaya menepis anggapan mengenai dirinya di kalangan aktivis reformasi dan

masyarakat sebagai anak emas Soeharto.

Legitimasi Presiden B.J Habibie terlihat pada kebijakan yang

dikeluarkannya dengan diberikannya amnesti dan abolisi yang merupakan

langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi. Di antara yang

dibebaskan tahanan politik kaum separatis dan tokoh-tokoh tua mantan

PKI, yang telah ditahan lebih dari 30 tahun. Amnesti diberikan kepada H.

Mohammad Sanusi dan tokoh-tokoh lain yang ditahan setelah Insiden

Tanjung Priok tahun 1984. Selain tokoh-tokoh tua mantan PKI, Amnesti

diberikan pula pada tokoh-tokoh aktivis petisi 50, merupakan kelompok yang

(45)

Angkatan bersenjata Jendral Abdul Haris Nasution yang menuduh Soeharto

melanggar perinsip Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI. Pada bulan November

1998, Presiden B.J. Habibie mengumumkan almarhum Mohammad Natsir

sebagai pemimpin bangsa, hal ini menyisaratkan bahwa pemberontakan PRRI

pun dimaafkan. ABRI membebaskan beberapa aktivis mahasiswa yang telah

menghilang sejak kampanye pemilu 1997, akan tetapi masih banyak

mahasiswa yang hilang yang telah dibunuh. Wiranto mengumumkan bahwa

militer bisa menyelidiki orang-orang termasuk Prabowo, yang diduga telah

menculik para aktivis reformasi.41

Selain membebaskan tahanan politik masa Orde Baru, Presiden B.J

Habibie juga membebaskan tahanan Mahasiswa dan aktivis reformasi. Di

antara mereka yang dibebaskan adalah Dr. Sri Bintang Pamungkas, Ketua

PUDI dan Dr. Mochtar Pakpahan, Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia

(SBSI). Presiden juga mencabut UU Subversi dan menyatakan dukungan

budaya oposisi serta melakukan pendekatan kepada mereka yang selama ini

menentang Rezim Orde Baru, diantaranya adalah K.H. Abdurrahman Wahid

dan para tokoh-tokoh aktivis petisi 50 yaitu kelompok yang sebagian besar

terdiri dari mantan-mantan jenderal yang menuduh Soeharto melanggar

prinsip dari Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI.42

Selain membebaskan tahanan politik masa Orde Baru, Presiden B.J.

Habibie juga memberi gelar Pahlawan Reformasi kepada 4 korban mahasiswa

Trisakti yang menuntut lengsernya Soeharto pada tanggal 12 Mei 1998.

41

M.C. Ricklefs, ibid, hlm. 665 42

(46)

Pemberian gelar pahlawan reformasi merupakan hal positif yang

dianugerahkan oleh pemerintahan Presiden B.J Habibie, penghargaan ini

mampu melegitimasi Habibie sebagai bentuk penghormatan kepada

perjuangan dan pengorbanan mahasiswa sebagai pelopor gerakan Reformasi.

Pemberian gelar pahlawan kepada korban trisakti juga sebagai upaya

pemerintah menjalankan reformasi yang dikehendaki oleh rakyat, selain itu

sebagai upaya yang dilakukan oleh Presiden B.J Habibie untuk mengambil

simpati dan kepercayaan rakyat yang kurang mempercayai dirinya dalam

menjalankan reformasi.

C. Kebebasan Pers

Dalam permasalahan ini, pemerintahan Presiden B.J Habibe

mengeluarkan kebijakan mengenai kebebasan pers di Indonesia. Pada masa

Pemerintahan Orde Baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya

digunakan sebagai alat pemerintahan untuk menyelenggarakan

kepentingannya. Pers pada masa Orde Baru adalah sarat dengan muatan

berbagai kepentingan. Kebebasan pers sangat dibatasi, kebebasan pers

ditekan dan dikuasai oleh negara, bahkan wartawan bisa dibeli. Pers yang bisa

dibreidel sewaktu-waktu oleh pemerintah bila berita yang ditulis tidak sesuai

dengan yang diharapkan oleh pemerintah. Pembreidelan pers pada masa Orde

Baru terjadi pada surat kabar tempo,kompas dan detik.

Pembereidelan Tempo terjadi Pada 12 April 1982, di usia yang ke-12

(47)

dikeluarkan oleh Ali Moertopo (Menteri Penerangan). Tempo dianggap telah

melanggar kode etik pers. Ide pembreidelan itu sendiri datang dari Persatuan

Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan

harian Pos Kota. Diduga, pembreidelan tersebut terjadi karena Tempo meliput

kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, yang berakhir rusuh.

Presiden Soeharto, yang notabene motor partai Golkar, tidak suka dengan

berita tersebut. Pembreidelan kedua terjadi Pada 21 Juni 1994, Tempo

kembali dibredel bersama saudara tirinya yaitu Editor Detik. Kali ini

penyebabnya adalah berita Tempo terkait pembelian pesawat tempur eks

Jerman Timur oleh BJ Habibie. Berita tersebut tidak menyenangkan para

pejabat militer karena merasa otoritasnya dilangkahi. Namun, diduga,

penyebab dasarnya adalah karena Presiden Soeharto tidak suka Tempo dari

dulu; berita BJ Habibie hanyalah alasan pembenaran.43

Selain pembreidelan terhadap media masa, pembreidelan dan larangan

penerbitan buku-buku juga dilakuakan masa Orde Baru. Antara lain Di

Bawah Lentera Merah yang merupakan tesis sarjana muda Soe Hok Gie pada

Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Juga buku Tan

Malaka yang merupakan disertasi doktor ahli sejarah Harrye Poeze yang kini

menjabat sebagai Direktur KITLV di Belanda. Militer dan Politik di

Indonesia karya Harold Crouch. Kapitalisme Semu karya Yoshihara Kunio.

Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer. Theologi Pembebasan, Sejarah,

Metode, Praksis dan Isinya yang merupakan skripsi Frater Wahono

43

(48)

Nitiprawiro. Amir Sjarifoeddin Pergumulan Imannya dalam Perjuangan

Kemerdekaan yang merupakan tesis Frederick Djara Wellem. Indonesia the

Rise of Capital karya Richard Robison yang masih belum diterbitkan dalam

edisi Indonesia. Alasan pelarangan itu nyaris seragam: merupakan tulisan

yang menyesatkan, memutarbalikkan sejarah, merendahkan pemerintah Orde

Baru dan pimpinan nasional. Sayangnya suatu proses peradilan yang bersifat

akademis tak pernah digelar. Demikian juga para guru besar atau dosen

pembimbing dan pejabat kampus tak ada satu pun yang memberikan reaksi.44

Kehidupan pers di Indonesia pada masa Pemerintahan Orde Baru sangat

mengkhawatirkan. Turut campurnya pemerintah dalam pers, membuat pers

dikontrol oleh pemerintah, sehingga tidak adanya kebebasan bagi pers.

Terdapatnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tidak membawa

perubahan yang signifikan bagi kehidupan pers. PWI yang seharusnya

memperjuangkan kehidupan pers di Indonesia justru dijadikam media bagi

Pemerintah Orde Baru. Hal ini terlihat ketika terjadi pembredelan beberapa

media nasional oleh pemerintah, PWI yang seharusnya membela pers dan

melakukan tuntutan terhadap pembreidelan tersebut justru memberikan

pernyataan dapat memahami dan menyetujui tindakan pemerintah tersebut.

Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat diragukan lagi, begitu

juga dengan pengaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu

contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers,

44

(49)

yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut

untuk melasanakan fungsi–fungsi yang secara alamiah melekat padanya,

khususnya fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat

adalah menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak

dibandingkan dengan ekonomi, dengan didominasi subyek negara serta

kecenderungan pers untuk lebih berat ke sisi negara harus dilakukan dengan

cara lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis.45

Setelah berakhirnya Pemerintahan Orde baru, Presiden B.J Habibie

membuat kebijakan mengenai kebebasan pers di Indonesia. Pers pada masa

pemerintahan B.J Habibie diberikan perlindungan hukum yang berkaitan

dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti

menyebarluaskan, pencetakan dan penerbitan surat kabar, majalah, buku atau

material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari

pemerintah. Kebebasan pers masa pemerintahan Presiden B.J Habibie diikuti

pula dengan kebebasan berasosiasi organisasi pers, sehingga banyak

bermunculan organisasi-organisasi pers alternatif.

Selama pemerintahan Presiden B.J Habibie tidak didapati

pembreidelan-pembreidelan media masa seperti saat masa Orde Baru. Pers

bebas memberitakan mengenai segi potif dan negatif kinerja pemerintah yang

menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam rangka melaksanakan

kebebasan pers, B.J Habibie mencabut ketentuan pembatalan SIUPP (Surat

Izin Usaha Penerbitan Pers) yang selama ini menghantui wartawan terhadap

45

Putra, A,

(50)

pemberedelan surat kabar dan majalah.46 Akibat kemudahan memperoleh

SIUPP tersebut, jumlah pemohon SIUPP membengkak lebih dari sepuluh kali

lipat dibandingkan dengan masa Orde Baru.

Euforia kebebasan berdampak luas bagi perkembangan di Indonesia,

dampak kebebasan pers tidak hanya berdamak positif akan tetapi juga dapat

berdampak negatif. Dampak positif kebebasan pers antara lain adalah (1)

Pemberitaan bebas mengulas suatu masalah Ilmu pengetahuan dan tehnologi

serta pengetahuan dan informasi lainnya sehingga semua orang berhak tahu

dan mengerti apa yang sedang terjadi sekarang ini dari berita ilmu

pengetahuan, politik/pemerintah dan lain-lain yang akan membuat individu

menjadi maju cara berpikirnya. (2) Tiap-tiap individu secara bebas dapat

menyampaikan pendapatnya melalui media masa sehingga membantu dan

memicu tiap individu untuk berkreasi menyampaikan pendapat dengan

adanya kolom kontak pembaca, serta setiap wartawan mengulas suatu

masalah yang beraneka ragam. (3) Memberikan kesempatan tiap individu

untuk mencoba berani bagi yang ingin mencoba bisnis dalam mass media

terbukti munculnya produksi media baru Terbit, Adil dan lain-lain serta

membuka lapangan pekerjaan.

Dampak negatif kebebasan pers antara lain: (1) Gambar kekerasan yang

ditampilkan baik dalam media massa cetak maupun dalam audio visual dalam

menyampaikan berita dengan makin berani dan gamblang misalnya kegiatan

demonstrasi yang brutal dan lain-lain. (2) Penampilan gambar setengah porno

46

(51)

dalam media cetak yang menampilkan foto-foto wanita yang berpakaian

amat minim dengan pose yang sangat merangsang seperti pada isi

gambar Tabloid lipstik. (3) Berita yang mengulas suatu masalah yang belum

tentu benar. (4) Berita yang dapat menimbulkan pemahaman tertentu,

menghasut ataupun mengadu domba. (5) Mengkritik tanpa etika.

D. Penghapusan Istilah Pribumi dan Non Pribumi

Sejumlah amandemen UUD 1945 yang beberapa kali dilakukan oleh

MPR ternyata tidak berhasil membersihkan pasal-pasal yang berbau rasial.

Demikian pula RUU Kewarganegaraan yang telah disiapkan Departemen

Kehakiman dan HAM masih mengandung beberapa poin diskriminatif baik

terhadap perempuan (gender) maupun warga negara keturunan asing.

Contohnya, pasal 30 RRU menyebutkan bahwa kehilangan kewarganegaraan

Indonesia bagi seorang suami berlaku pula bagi istri kecuali istri menolak

atau istri mempunyai dua kewarganegaraan. Selain itu pasal 39 RRU tersebut

menyatakan setiap orang yang perlu membuktikan kewarganegaraan

Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti untuk itu dapat

mengajukan permohonan kepada menteri atau pejabat untuk memperolehnya.

Pasal ini diduga mengukuhkan kembali Surat Bukti Kewarganegaraan

Republik Indonesia atau biasa disingkat SBKRI bagi orang Indonesia

keturunan asing termasuk Tionghoa.

Permasalahan pribumi dan non pribumi, ditanggapi oleh pemerintahan

(52)

Inpres N0. 26/1998 yang menghapuskan istilah pribumi dan non pribumi.

Presiden B.J. Habibie juga mengeluarkan Inpres 4/1999 tentang penghapusan

Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), dan

diperbolehkannya pelajaran Bahasa Mandarin.47

E. Pembentukan Partai Politik dan Percepatan Pemilu

Presiden B.J Habibie membuat kebijakan untuk membuat perubahan

dalam bidang politik lainnya antara lain mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999

tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 4

Tahun 1999 tentang MPR dan DPR.

Pemilihan umum pada masa pemerintahan yang sangat singkat dari

Presiden B.J Habibie, diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999 dengan

diikuti oleh 48 partai, walapun pada saat itu terdaftar terdapat hampir 150

partai politik, akan tetapi yang memenuhi persyaratan hanya 48 partai politik.

Pemilihan umum Tahun 1998 dilaksanakan secara LUBER yaitu langsung,

umum, bebas dan rahasia dan JURDIL yaitu jujur dan adil yang diakui oleh

semua pihak termasuk oleh oleh luar negeri melalui pemantauan secara

langsung oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter.48 Selanjutnya

tanggal 7 Juni 1999 diselenggarakan Pemilihan Umum Multipartai.

Dari 48 partai yang mengikuti pemilihan umum Tahun 1998, terdapat 5

partai besar yang mendapat dukungan besar dari masyarakat. Amien Rais

mendirikan PAN (Partai Amanat Nasional) dengan dukungan dari

47Muh Kholid, Mengakhiri Diskriminasi Tionghoa, http://lkassurabaya.blogspot.com/2007/07/

mengakhiri-diskriminasi-tionghoa.html, diakses pada tanggal 12 Juli 2015. 48

(53)

Muhammadiyah, akan tetapi dengan ideologi sekularisme yang demokratis

dan kapitalis. Abdurahman Wahid dengan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)

dengan dukungan NU, lebih mengedepankan toleransi, pluralisme, dan gaya

demokrasi non religius. Megawati dengan PDI (Partai Demokrasi Indonesia)

mendapat dukungan dari Wiranto dan ABRI. Beberapa pemimpin Islam

menanggapi popularitas Megawati yang besar menyatakan bahwa Islam tidak

memperbolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin, tetapi tidak dengan

Abdurrahman Wahid. Golkar yang masih mempunyai dukungan masyarakat

yang masih kuat mencoba untuk membersihkan diri dari warisan Soeharto

dengan cara meminta maaf untuk berbagai kesalahan masa lalunya dan

menggambarkan dirinya sebagai Golkar baru. Fraksi dominannya mendukung

Habibie hampir sampai akhir masa jabatannya. PPP juga mampu bertahan

sebagai sebuah partai politik.49

Pemilihan umum kedelapan dalam sejarah Indonesia ini dilaksanakan

pada hari Senin, 7 Juni 1999. Empat puluh delapan partai yang mengikuti

pemilu ini memperebutkan 462 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Republik Indonesia. Setelah pemilihan umum ini selesai dilaksanakan, lebih

dari 50% partai ternyata tidak mendapatkan kursi. Dengan demikian, jumlah

kursi di DPR dibagi kepada 21 partai saja.50 Pemilihan umum tahun 1999

melahirkan pemenang baru yaitu PDI Perjuangan. Meskipun hanya

menguasai 11 provinsi, sedangkan Golkar menang di 13 Provinsi, namun

suara PDI Perjuangan lebih besar yaitu sebanyak 33,7 %.

49

Op. Cit., hlm. 706. 50

(54)

Kemenangan PDI Perjuangan pada pemilu 1999 terjadi karena PDIP

yang diketuai oleh Megawati Soekarno Putri merupakan salah satu tokoh

yang memperjuangkan reformasi sehingga banyak masyarakat yang pro

terhadap reformasi berbalik mendukung PDI Perjuangan. Sedangkan Golkar

masih mampu menempati posisi ke dua pada pemilu 1999 setelah lengsernya

Soeharto sebagai presiden hal ini terjadi karena Partai Golkar sudah berakar

kuat di hati rakyat, hal ini dapat dilihat dari sejarah panjang kemenangan

partai Golkar dari tahun 1955 hingga pemilu tahun 1997. Untuk pemilu tahun

1999 bisa dikatakan tidak ada partai yang menang secara meyakinkan, sama

seperti pemilu tahun 1955.51

Tabel 2

Sepuluh partai pemenang pemilihan umum tahun 1999 antara lain:

NO PARTAI POLITIK JUMLAH KURSI 1 PDI Perjuangan 153 kursi 8 Partai Demokrasi Kasih Bangsa 5 kursi 9 Partai Nahdatul Ulama 5 kursi 10 Partai Keadilan dan Persatuan 4 kursi

Sumber : Daniel Dhakidae, Peta Politik Pemilihan Umum 1998-2004,

Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004. 52

51

Daniel Dhakidae, Peta Politik Pemilihan Umum 1998-2004, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004, hlm. 3

52

(55)

F. Penyelesaian Masalah Timor Timur

Permasalahan Timor Timur yang ingin merdeka dan lepas dari

Indonesia menjadi salah satu permasalahan besar yang harus dihadapi Bangsa

Indonesia. Setelah berakhirnya masa Orde Baru, dan naiknya B.J Habibie

menjadi Presiden, Presiden B.J Habibie membuat kebijakan untuk

memberikan kemerdekaan bagi Timor Timur. Bagi Presiden B.J Habibie,

Timor Timur dianggap sebagai masalah yang merepotkan. Hal ini tertuang

pada pernyataan Presiden B.J Habibie yang mengatakan bahwa masalah

Timor Timur bagaikan kerikil dalam sepatu. Selain itu permasalahan Timor

Timur dirasa mengganggu kinerja Kabinet Reformasi Pembangunan yang

dipimpinnya dalam menghadapi berbagai macam persoalan reformasi.53

Upaya yang dilakukan Presiden B.J Habibie sebelum memutuskan

untuk memberikan kemerdekaan bagi Timor Timur salah satunya adalah

membebaskan tawanan politik asal Timor Timur dan menjanjikan suatu status

istimewa bagi Timor Timur. Akan tetapi status istimewa yang dijanjikan

Presiden B.J. Habibie tidak disetujui oleh Ramos-Horta dan para tokoh-tokoh

yang menginginkan Timor Timur merdeka. Pada bulan Juni 1998 terjadi

demonstran besar-besaran di Timor Timur yang menuntut diadakannya

referendum yang menawarkan pilihan kemerdekaan dan menolak status

istimewa dalam lingkup Negara Republik Indonesia. Untuk mendapatkan

53

(56)

dukungan yang kuat tentang referendum, Belo meminta dukungan PBB untuk

mensponsori referendum tersebut54

Melihat situasi di Timor Timur Presiden B.J Habibie mengambil sikap

pro-aktif dengan menawarkan dua pilihan bagi penyelesaiaan Timor Timur

yaitu dengan memberikan otonomi khusus atau memisahkan diri dari

Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ali Alatas

pada bulan Januari 1999 yang mengumumkan bahwa, jika usulan otonomi

khusus untuk Timor Timur ternyata ditolak, wilayah tersebut akan diberi

kemerdekaan. Otonomi luas berarti diberikannya wewenang atas berbagai

bidang politik, ekonomi, budaya dan lain-lain, kecuali dalam hubungan luar

negeri, pertahanan dan keamanan serta moneter dan fiksal. Sedangkan

memisahkan diri berarti secara demokratis dan konstitusional, serta secara

terhormat dan damai, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Habibie tidak mendapatkan banyak dukunagn dari kekuatan-kekuatan

politik besar mengenai kebijakannya terhadap Timor Timur. Pada bulan

Februari 1998, Megawati Sukarnoputri mengatakan di depan pendukungnya

bahwa Timor Timur adalah bagian dari Indonesia dan bahwa ia tidak akan

menerima pemisahan diri wilayah tersebut dari Republik Indonesia.

Pandangan yang sama disampaikan oleh Abdurrahman Wahid. Meskipun

demikian, ABRI memiliki pemikiran yang berbeda. Para petinggi ABRI telah

memutuskan bahwa, jika suatu referendum menghasilkan suara untuk

54

Gambar

Tabel 1. Kabinet Reformasi Pembangunan
gambar Tabloid lipstik. (3) Berita yang mengulas suatu masalah yang belum
Tabel 2 Sepuluh partai pemenang pemilihan umum tahun 1999 antara lain:

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) konsep kebijakan netralitas politik PNS tidak konsisten dengan latar belakang pembentukannya; (2) Keanggotaan PNS dalam parpol mengalami