ABSTRAK
PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999): KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI
Oleh:
Alberto Ferry Firnandus Universitas Sanata Dharma
2015
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) proses peralihan kepala pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie; (2) kebijakan dalam negeri pemerintahan B.J. Habibie; (3) akhir dari pemerintahan B.J. Habibie.
Metode yang digunakan penulisan sejarah dengan langkah-langkah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosial-politik. Cara penulisannya bersifat deskriptif analitis.
ABSTRACT
GOVERNMENT PRESIDENT B.J. HABIBIE (1998-1999): DOMESTIC POLITICAL POLICY
By:
Alberto Ferry Firnandus Sanata Dharma University
2015
This paper aims to describe: (1) the process of transition from Head of the Indonesian Government Soeharto to BJ Habibie; (2) The domestic policies of BJ Habibie; (3) the end of the reign B.J. Habibie.
The method used includes heuristic measures , verification , interpretation , and historiography . The approach used is a socio - political approach . The way of writing is descriptive analytical method.
PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999):
KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh:
ALBERTO FERRY FIRNANDUS
NIM: 101314023
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999):
KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh:
ALBERTO FERRY FIRNANDUS
NIM: 101314023
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Makalah ini ku persembahkan kepada:
Kedua orang tua ku yang selalu mendoakan dan mendukungku.
Teman-teman yang selalu memberikan bantuan, semangat dan doa.
v
HALAMAN MOTTO
Selama kita bersungguh-sungguh maka kita akan memetik buah yang manis, segala keputusan hanya ditangan kita sendiri, kita mampu untuk itu.
(B.J. Habibie)
Dimanapun engkau berada selalulah menjadi yg terbaik dan berikan yang terbaik dari yg bisa kita berikan.
(B.J. Habibie)
Pandanglah hari ini, kemarin sudah jadi mimpi. Dan esok hanyalah sebuah visi. Tetapi, hari ini sesungguhnya nyata, menjadikan kemarin sebagai mimpi
kebahagiaan, dan setiap hari esok adalah visi harapan. (Alexander Pope)
Dan bahwa setiap pengalaman mestilah dimasukkan ke dalam kehidupan, guna memperkaya kehidupan itu sendiri. Karena tiada kata terakhir untuk belajar
viii
ABSTRAK
PEMERINTAHAN PRESIDEN B.J. HABIBIE (1998-1999): KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI
Oleh:
Alberto Ferry Firnandus Universitas Sanata Dharma
2015
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) proses peralihan kepala pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie; (2) kebijakan dalam negeri pemerintahan B.J. Habibie; (3) akhir dari pemerintahan B.J. Habibie.
Metode yang digunakan penulisan sejarah dengan langkah-langkah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosial-politik. Cara penulisannya bersifat deskriptif analitis.
ix
ABSTRACT
GOVERNMENT PRESIDENT B.J. HABIBIE (1998-1999): DOMESTIC POLITICAL POLICY
By:
Alberto Ferry Firnandus Sanata Dharma University
2015
This paper aims to describe: (1) the process of transition from Head of the Indonesian Government Soeharto to BJ Habibie; (2) The domestic policies of BJ Habibie; (3) the end of the reign B.J. Habibie.
The method used includes heuristic measures , verification , interpretation , and historiography . The approach used is a socio - political approach . The way of writing is descriptive analytical method.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
B.Proses Lengsernya Presiden Soeharto ... 13
C.B.J Habibie Menjadi Presiden ... 21
xii
B. Pembebasan Tahanan Politik pada Masa Orde Baru ... 28
C. Kebebasan Pers ... 30
D. Penghapusan Istilah Pribumi dan Non Pribumi ... 35
E. Pembentukan Partai Politik dan Percepatan Pemilu ... 36
F. Penyelesaian Masalah Timor Timur ... 39
G. Pengusutan Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya ... 41
BAB IV : AKHIR PEMERINTAHAN B.J HABIBIE A. Penolakan Pidato Pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ... 44
B. Terbentuknya Pemerintahan Baru ... 48
BAB V : KESIMPULAN ... 50
DAFTAR PUSTAKA ... 52
Xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Silabus
Lampiran 2 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya
perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang
lebih baik secara konstitusional. Reformasi dimaknai sebagai perubahan
sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh semua pihak. Reformasi
berkenaan dengan seluruh aspek kehidupan yang berlangsung secara perlahan
atau dalam jangka panjang, dan berproses secara alami. Dalam artian tanpa
didasarkan pada suatu rencana yang dipercepat. Dalam hal reformasi politik,
pendekatan mendekati evolusioner berlangsung pada teknis pelaksanaan
kehidupan politik. Tujuannya adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi
proses politik, tanpa mengubah prinsip, ketentuan dan struktur dasarnya.9
Dalam kecenderungannya untuk mendekati revolusi, Reformasi
digerakkan dan diprakarsai oleh masyarakat untuk melakukan perubahan
segenap aspek kehidupan secara mendasar, berlangsung secara cepat sehingga
tidak menghiraukan jumlah dan kualitas korban, apalagi mengingat prosesnya
yang kental diwarnai oleh kekerasan.10Tujuan reformasi sendiri adalah
terciptanya kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial
yang lebih baik dari masa sebelumnya
9
Arbi Sanit,Reformasi Politik, Yogyakarta:Pustaka Belajar, 1998, hlm. 100 10
Gerakan reformasi di Indonesia muncul sebagai jawaban atas krisis
yang melanda berbagai segi kehidupan pada masa pemerintahan Orde
Baru.Dampak krisis ekonomi di Asia terutama Asia Tenggara tahun 1997
menyebabkan stabilitas politik Indonesia menjadi goyah. Praktik-praktik
pemerintahan di masa Orde Baru hanya membawa kebahagiaan semu,
ekonomi Indonesia semakin terpuruk, sistem ekonomi menjadi kapitalistik.
Terlebih lagi merajalelanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang
dilakukan pada hampir seluruh instansi serta lembaga pemerintahan, hal ini
membawa rakyat semakin menderita. Para wakil rakyat yang seharusnya
membawa amanat rakyat pada kenyataannya tidak berfungsi secara
demokratis.11 Krisis ekonomi tahun 1997 merupakan langkah awal
munculnya gerakan reformasi di Indonesia.
Dari segi politik, gerakan reformasi disebabkan karena pemerintahan
pada masa Orde Baru bersifat otoriter, tertutup, dan personal. Masyarakat
yang memberikan kritik mudah dituduh sebagai anti-pemerintah, menghina
kepala negara dan anti-Pancasila. Pada masa Orde Baru,Pancasila digunakan
sebagai alat legitimasi politik oleh penguasa, sehingga kedudukan Pancasila
sebagai sumber nilai dikaburkan dengan praktik kebijakan pelaksana
penguasa negara. Setiap kebijakan penguasa Orde Baru senantiasa
dilegitimasi oleh ideologi Pancasila. Konsekuensinya setiap warga negara
yang tidak mendukung kebijaksanaan tersebut dianggap bertentangan dengan
11
Pancasila.12Akibatnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis
tidak pernah terwujud dan Golkar yang menjadi partai terbesar pada masa itu
diperalat oleh pemerintah Orde Baru untuk mengamankan kehendak
penguasa. Sikap pemerintah yang otoriter, tertutup, tidak demokratis, serta
merebaknya KKN menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Gejala ini
terlihat pada pemilu 1992 ketika suara Golkar berkurang cukup banyak. Sejak
1996, ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru mulai
terbuka. Keadaan ini diperparah pada tahun 1997, tingkat inflasi semakin
parah mencapai 11,5% dan pada tahun 1998 melonjak tinggi menjadi
77,6%, Inflansi yang terjadi ini semakin memperparah keadaan Indonesia.
Para mahasiswa mulai turun ke jalan, demonstrasi menjadi lebih marak dari
hari-kehari menuntut supaya presiden mundur dengan tuduhan KKN, maka
terjadilah krisis politik yang menimpa Presiden Soeharto.13
Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru
selalu dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Akan
tetapi yang sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan
kekuasaan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Demokrasi yang
dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya,
melainkan demokrasi semu. Pada masa Orde Baru, kehidupan politik sangat
represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak
oposisi atau orang-orang yang berpikirkritis terhadap politik yang dijalankan
oleh Presiden Soeharto.
12
Ibid., hlm. 256 13
Menyadari bahwa masalah dasar masyarakat pada masa Orde Baru
adalah mewujudkan kebebasan, persamaan, keadilan, dan tersentralisasi,
sehingga terjerumus ke dalam wataknya yang otoriterian, maka demokratisasi
segenap aspek kehidupan dipastikan menjadi tujuan atau arah bagi reformasi
politik. Selama 3 dekade pembangunan nasional yang didasarkan pada adil
dan makmur sebagai tujuannya, terbukti kesalahan ideologi itu membawa
petaka berupa krisis rupiah, moneter, ekonomi dan politik. Hal itu terjadi
karena penafsiran konsitusi seperti itu membenarkan prioritas pembangunan,
dengan stabilitas politik sebagai syaratnya. Akibatnya terjadilah kesenjangan
pembangunan ekonomi dengan sosial-budaya dan politik. Kesenjangan itu
menyebabkan perkembangan ekonomi tidak terkontrol oleh proses politik,
sehingga Indonesia terjebak oleh berbagai kelemahan sistem ekonomi secara
mendasar.14
Krisispolitik, ekonomi, hukum, dan krisis social yang terjadi pada masa
pemerintahan Orde Baru merupakan faktor yang mendorong lahirnya
gerakan reformasi. Bahkan krisis kepercayaan telah menjadi salah satu
indikator yang menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak
boleh ditawar-tawar lagi dan karena itu, hamper seluruh rakyat Indonesia
mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut. Dengan semangat
reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian kepemimpinan
nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan
makmur. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki
14
kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indonesia harus
dipimpin oleh orang yang memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan
penderitaan rakyat.
Krisis moneter disusul dengan krisis ekonomi dan berlanjut ke krisis
politik, serta gerakan reformasi yang menuntut turunnya Presiden Soeharto
semakin kuat, Hal ini menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru yang
digantikan dengan orde reformasi.15 Berakhirnya Orde Baru ditandai dengan
lengsernya Presiden Soeharto yang digantikan oleh B.J. Habibie. Masa
pemerintahannya sebagai presiden, B.J. Habibie dengan kabinet reformasi
pembangunannya dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang belum tuntas
pada masa Orde Baru. Krisis ekonomi, kekerasan sosial, krisis politik, dan
krisis kepercayaan pada pemerintah merupakan persoalan-persoalan yang
harus dihadapi oleh pemerintahan B.J. Habibie.16
Dari latar belakang tersebut, penulistertarik untuk membahas tentang
jalannya reformasi dilihat dari kebijakan-kebijakan politik pada masa
pemerintahan Presiden B.J. Habibie, dan upaya menyelesaikan
persoalan-persoalan yang terjadi masa pemerintahan Orde Baru.
15
Tuk Setyohadi,Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia Dari Masa Ke Masa, Jakarta: Rajawali Corporation,2002, hlm. 221
16Ibid
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang menjadi objek penulisan ini. Adapun permasalahannya
sebagai berikut, yaitu:
1. Bagaimana proses peralihankekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie?
2. Bagaimana kebijakan dalam negeripemerintahan B.J. Habibie?
3. Bagaimanaakhir dari pemerintahan B.J. Habibie?
C. TujuanPenulisan
Dari rumusan makalah diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam
makalah ini adalah:
a. Mendeskripsikan mengenai proses peralihan Kepala Pemerintahan dari
Soeharto ke B.J. Habibie.
b. Mendeskripsikan mengenai kebijakan dalam negeri pemerintahan B.J.
Habibie.
D. Manfaat penulisan
a. Bagi Universitas
Penulisan ini diharapkan untuk menambah bahan bacaan yang
berguna bagi pembaca baik yang berada di lingkungan Universitas
Sanata Dharma maupun bagi pembaca yang berada di luar Universitas
Sanata Dharma khususnya mengenai kebijakan-kebijakan politik dalam
negeri pada masa pemerintahan B.J. Habibie.
b. Bagi Prodi PendidikanSejarah
Makalah ini diharapkan mampu menarik minat mahasiswa
Pendidikan Sejarah untuk mempelajari lebih dalam mengenai
pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999) mengenai kebijakan
politik dalam negeri. Hal tersebut dimaksudkan untuk menambah
wawasan dan pengetahuan mahasiswa.
c. Bagi Masyarakat
Tulisan ini diharapkan bias menjadi referensi dan menambah
perbendaharaan dalam pengembangan sejarah khususnya tentang
kebijakan-kebijakan politik dalam negeri pada masa pemerintahan B.J.
Habibie.
d. Bagi Pemerintah
Tulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai refleksi bagi
pemerintahan saat ini dalam upaya membangun bangsa Indonesia
e. Bagi Penulis
Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan dalam menulis
karya ilmiah khususnya tentang kebijakan-kebijakan politik dalam negeri
pada masa pemerintahan B.J. Habibie dan juga dapat mempertajam cara
berpikir penulis.
E. Sistematika Penulisan
Makalah yang berjudul Kebijakan-Kebijakan Politik Pada Masa
Pemerintahan Presiden B.J. Habibie ini memiliki sistematika sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah,tujuan dan manfaat penulisan dan sistematika
penulisan.
Bab II : Uraian tentang proses peralihan kekuasaan dari Soeharto ke
B.J. Habibie.
Bab III : Uraian tentang kebijakan-kebijakan politik dalam negeri masa
pemerintahan Presiden B.J. Habibie.
Bab IV : Uraian mengenai akhir dari pemerintahan B.J. Habibie.
BAB II
PROSES PERALIHAN KEKUASAAN DARI SOEHARTO KE B.J. HABIBIE
A. Krisis Ekonomi Tahun 1997
Pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi dunia. Penyebab utama krisis
ekonomi dunia adalah perilaku para spekulen valuta asing yang telah
memborong dollar AS, lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga
berimbas pada nilai mata uang negara-negara ASEAN menjadi terpuruk.
Spekulan uang terbesar pada era krisis tersebut adalah George Soros.17
George Soros dituduh oleh Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad
sebagai penyebab krisis ekonomi Asia. Negara yang paling terkena
dampaknya adalah Korea Selatan, Malaysia, Indonesia, dan Thailand, yang
menyebabkan mata uang ketiga negara tersebut menjadi rendah. Pada
perkembangannya krisis ekonomi Asia tahun 1997 berdampak sangat luas
bagi perekonomian Indonesia.
Keterpurukan ekonomi Indonesia diperburuk dengan adanya regulasi
perbankan pada bulan Oktober 1988 dengan “Pakto 1988”. Pakto 1988
merupakan kebijakan pemerintah dalam upaya membuka peluang bisnis
perbankan seluas-luasnya guna memobilisasi dana masyarakat untuk
menunjang pembangunan. Pakto 1988 berisi tentang liberalisasi perbankan
yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank-bank yang telah
17
Muksalmina, George Soros, Pria yang Menghancurkan Poundsterling, Rupiah, diakses dari
ada. Dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka
bank baru sehingga pada masa itu jumlah bank swasta di Indonesia menjadi
ratusan. Sejak adanya Pakto 1988 menyebabkan sistem manajemen
perbankan di Indonesia menjadi bermasalah. Jumlah bank swasta yang
berjumlah ratusan dengan berkapital rendah kurang terawasi oleh Bank
Sentral. Banyak bank-bank yang terkait dengan konlomerat bermasalah
dengan utang terhadap bank pemerintah, dan operasinya condong untuk
memberikan kredit kepada perusahaan miliknya sendiri tanpa memberikan
ketentuan lending limit. Pemberian kredit kepada nasabah yang terlalu mudah
tidak prudent , ditambah banyak pejabat bank yang berkolusi dengan nasabah
atau peminjam yang menimbulkan kemacetan dalam pengembaliannya.18
Sementara itu banyak perusahaan swasta Indonesia yang terlibat dalam
utang dollar AS dari luar negeri berjangka pendek, serta sebaliknya banyak
perusaahan asing dan para konglomerat Indonesia yang melarikan dollar
AS-nya keluar sebagai capital flight ditambah pula, defisit transaksi berjalan dari
neraca pembayaran semakin membesar.19
Alhasil nilai tukar rupiah tehadap US $ anjlok tanpa dapat dibendung,
Rupiah selama ini berada dalam kisaran Rp 2.500/US$, namun nilai mata
uang mulai merosot pada bulan Juli 1997. Pada bulan Agustus, nilai mata
uang rupiah sudah menurun 9%. Bank Indonesia mengakui bahwa tidak bisa
membendung rupiah terus merosot. Pada bulan Januari tahun 1998, mata
uang terpuruk hingga level sekitar Rp 10.000/US$ dan sebulan sesudahnya
18
Tuk Setyohadi, Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia Dari Masa Ke Masa, Jakarta: Rajawali Corporation, 2002, hlm. 171.
menjadi Rp 17.000/US$ atau kehilangan 85% nilainya. Keterpurukan ini
mengakibatkan bursa saham Jakarta hancur, dan membuat perekonomian
Indonesia semakin terpuruk. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia
bangkrut, yang diikuti PHK pekerja-pekerjanya, sehingga menyebabkan
angka pengangguran menjadi meningkat.20
Menanggapi krisis ekonomi yang terjadi, upaya pemerintah adalah
meminta bantuan kepada International Monetary Fund (IMF) pada tanggal 31 Oktober 1997. Kerjasama Indonesia dengan IMF bertujuan untuk
memperkuat sektor finansial, pengetatan kebijakan viskal dan penyesuaian
struktural perbankan. Akan tetapi pengaruh bantuan IMF sangatlah kecil
dalam membantu krisis di Indonesia. Beberapa kebijakan seperti kebijakan
fiskal dan kebijakan likuidasi. Kebijakan fiskal bertujuan untuk
mempertahankan nilai tukar sedangkan kebijakan likuidasi bertujuan untuk
membantu bank-bank yang bemasalah. Kebijakan ini menerapkan standar
kecukupan modal dengan mengusahakan rekapitulasi perbankan. IMF
menyediakan standby loan sebesar US$ 38 milyar untuk menanggulangi
krisis moneter yang dialami Indonesia. Perjanjian dengan IMF
mengakibatkan ditutupnya 16 bank bermasalah.21
Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam upaya menangani krisis dengan
melakukan kerjasama dengan IMF tidak mampu membawa Indonesia keluar
dari krisis ekonomi. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, hal ini
menyebabkan timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
20
M.C. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2010, hlm. 687. 21
Masyarakat menganggap pemerintah tidak berhasil dalam melaksanakan
kebijakan-kebijakannya.
Krisis moneter yang terjadi meningkat menjadi krisis sosial-ekonomi
yang menimpa rakyat kecil dengan meningkatnya harga sembilan bahan
pokok yang tidak terkendali. Tingkat inflasi pada tahun-tahun sebelumnya
tidak pernah melampaui dua digit. Pada tahun 1997 menjadi 11,5 % dan pada
tahun 1998 melonjak dengan sangat drastis menjadi 77,6 %. Menanggapi
krisis yang terjadi, para mahasiswa mulai melakuakan gerakan dengan cara
turun ke jalan, demontrasi menjadi lebih marak dari hari-kehari menuntut
supaya presiden mundur dengan tuduhan KKN, maka terjadilah krisis politik
yang menimpa pemerintahan Soeharto.22
Krisis ekonomi yang disusul dengan krisis sosial-ekonomi terjadi
menjelang sidang Umum MPR sebagai hasil pemilu tahun 1997 dengan
kemenangan Golkar secara mutlak sebagai single majority dengan angka
perolehan sebesar 75%. Golkar kembali mencalonkan Soeharto sebagai
kandidat Presiden masa bakti 1998-2003. Sementara itu telah beredar isu
bahwa wakil Presiden yang mendampingi Soeharto adalah B.J. Habibie.
Krisis moneter tahun 1997, diperparah dengan utang luar negeri
Indonesia sebesar US $ 137 milyar. Rinciannya US $ 53,8% milyar
merupakan utang pemerintah dan US $ 83,2% merupakan utang swasta.
Utang luar negri ini merupakan utang jangka pendek, sedangkan penggunaan
biaya tersebut lebih condong untuk membiayai sektor-sektor non produktif,
22Ibid
seperti shopping mall, apartemen, hotel, perkantoran, real state, lapangan
golf, tourist resort dan lain-lain semacamnya.23
B. Proses Lengsernya Presiden Soeharto
Banyaknya persoalan yang dihadapi Indonesia sebagai akibat dari krisis
ekonomi yang berkepanjangan, serta upaya-upaya pemerintah yang dianggap
tidak serius dalam mengatasi krisis ekonomi membuat masyarakat terutama
mahasiswa tidak mempercayai pemerintahan Presiden Soeharto. Puncak
penolakan mahasiswa terhadap Pemerintahan Soeharto terlihat pada saat
diadakannya Sidang Umum MPR yang merupakan rutinitas dari mekanisme
lima tahunan ketata negaraan Orde Baru. Mahasiswa menolak pidato
pertanggungjawaban Presiden Soeharto di depan Sidang Umum MPR.
Demonstrasi yang disuarakan mahasiswa meminta pertanggungjawaban
pemerintahan Soeharto terhadap terjadinya krisis moneter dan krisis
sosial-ekonomi, mahasiswa juga melakukan kritik anti Soeharto yang ditunjukkan
pada korupsi di lingkungan keluarga Soeharto serta kedekatan keluarga
Cendana dengan para konglomerat.
Penolakan mahasiswa mengenai pertanggungjawaban Presiden
Soeharto berbanding terbalik dengan MPR. Pidato pertanggungjawaban
Presiden diterima secara penuh oleh MPR tanpa catatan, seperti yang semula
diusulkan oleh Fraksi PPP. Dalam sidang tersebut juga dipilih kembali
Soeharto sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003 dengan didampingi B.J.
Habibie sebagai wakil Presiden. MPR juga mengesahkan penetapan No.
23Ibid
V/MPR/ 1998 yang isinya memberikan kewenangan kepada presiden untuk
mengambil segala langkah yang diperjuangkan guna mengamankan
pembangunan. Keputusan MPR pada Sidang Umum MPR bulan Maret 1998
tersebut membuat ketegangan di masyarakat semakin bertambah, demontrasi
penolakan Soeharto dan tuntutan segera diadakannya reformasi semakin
meningkat.
Setelah terpilih kembali sebagai presiden, Soeharto menyatakan akan
memenuhi tuntutan rakyat untuk segera menanggulangi krisis moneter dan
ekonomi melalui suatu gerakan reformasi yang sesuai dengan konstitusi.
Soeharto segera membentuk kabinet. Akan tetapi kabinet yang dibentuk oleh
Soeharto dianggap mengandung muatan politik yang berbau nepotisme, dan
tidak profesional. Anggapan ini muncul karena kabinet Soeharto merupakan
kumpulan kroni-kroninya. Ditunjuknya B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden,
Siti Hardiyanti atau lebih dikenal dengan Mbak Tutut yang merupakan putri
Soeharto menjadi Menteri Sosial, Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan,
dan hanya sedikit yang dari golongan profesional dan tokoh ICMI yang
masuk dalam kabinet. Kabinet Soeharto mendapat kecaman keras dari
berbagai pihak di masyarakat terutama dikalangan mahasiswa, mahasiswa
menginginkan reformasi politik, dengan menuntut agar Soeharto lengser
sebagai presiden.24
Pada tanggal 15 Januari 1998 ditandatangani Persetujuan kerjasama
Indonesia dengan IMF oleh Presiden Soeharto yang disaksikan Direktur
24
Pelaksana IMF Michael Camdessus dalam upaya menangulangi krisis
moneter. Pemerintah Indonesia wajib menjalani serangkaian program dari
IMF, seperti pengurangan belanja negara, menaikkan pajak, menghapus
berbagai subsidi antara lain, kenaikan harga BBM, tarif listrik, telepon, dan
sebagainya.25 Serangkaian program yang digagas IMF tersebut sebagai upaya
menekan krisis di Indonesia. Akan tetapi, kebijakan IMF tersebut
menyebabkan terganggunya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berbagai
demonstrasi dan kerusuhan di masyarakat yang diwakili mahasiswa semakin
marak terjadi sebagai imbas dari kebijakan IMF tersebut.
Sikap mahasiswa yang menuntut turunnya Presiden Soeharto tercermin
dalam pemikiran tentang perubahan politik yang berlangsung sistematik,
seperti diungkapkan melalui pernyataan keprihatinan sivitas akademik
Universitas Indonesia di Jakarta, bulan Februari 1998, maupun tuntutan
Sepultura (sepuluh tuntutan rakyat) yang dirumuskan yang dirumuskan oleh
Amien Rais. Meningkatkan tuntutan-tuntutan tentang perubahan yang
berawal dari keprihatinan terhadap krisis moneter dan gejolak ekonomi,
sebagian besar disebabkan karena konservatif para pejabat pemerintah dan
keacuhan politik yang diperlihatkan oleh lembaga-lembaga politik terhadap
tuntutan perubahan yang bersifat reformatoris. Bahkan golkar memiliki sifat
dasar yang cenderung menolak refomasi politik.
Desakan dilakukannya refomasi politik yang dilakukan mahasiswa
akhirnya pemerintah kususnya fraksi-fraksi MPR dalam Sidang Umum
25
menyepakati langkah reformasi politik yang berlangsung gradual. Namun
pada penerapannya yang terlibat langsung secara intensif didalam wacana
reformasi justru lembaga-lembaga pemerintah tertentu, institusi ABRI,
Organisasi Kelompok Partisan (OKP) dan kelompok-kelompok mahasiswa
serta sivitas akademika di kampus-kampus, sedangkan pemerintah sendiri
terkesan setengah hati dalam menjalankan reformasi politik.26
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan
tanggal 20 Mei 1998 direncanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai hari
Reformasi Nasional. Ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan diluar dugaan.
Pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti yang berlokasi di daerah
Grogol, Jakarta Barat terjadi peristiwa penembakan terhadap empat
mahasiswa Trisakti. Insiden Trisakti terjadi saat mahasiswa melakukan unjuk
rasa ke Gedung DPR/MPR, namun aparat keamanan memaksa mahasiswa
kembali ke kampus. Tiba-tiba situasi berubah menjadi kekacauan dan aparat
melepaskan tembakan yang mengakibatnya empat mahasiswa Trisakti tewas
tertembak peluru tajam aparat keamanan. Keempat mahasiswa Trisakti yang
tewas adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan
Herry Hertanto. Keesokan harinya tanggal 13 Mei, keempat mahasiswa
Trisakti yang tewas dimakamkan dengan diantar oleh ribuan mahasiswa serta
sanak saudara dan para simpatisan lainnya, lalu peristiwa tersebut dikenal
dengan Jakarta kelabu.
26
Keesokan harinya setelah penembakan empat mahasiswa Trisakti,
suasana Indonesia semakin kacau, kerusuhan dan demontrasi terjadi di
berbagai daerah dengan Jakarta dan Surakarta sebagai yang terparah. Di
Jakarta menyerbu pertokoan dan perkantoran milik WNI keturunan Tionghoa
di kawasan Kota, kawasan Mangga Besar, kawasan Senen, Jalan Hayam
Wuruk, Jalan Gajah Mada, Jalan Daan Mogot dan lain-lain. Perusahaan para
cukong dan keluarga Soeharto merupakan sasaran utama pembakaran dan
penjarahan. Bank Central Asia (BCA) milik Liem Sioe Liong merupakan
objek serangan utama. Mereka datang dengan sangat beringas untuk
melakukan perampokan, penjarahan dan pembakaran serta mereka juga
melakukan pelecehan seksual terhadap wanita-wanita keturunan Tionghoa.
Yang paling tragis adalah pembakaran Klender Plaza yang menewaskan 200
karyawati pertokoan.27 Kepada pers, Gubernur DKI Sutiyoso mengumumkan
kerusuhan yang terjadi antara tanggal 13-15 Mei 1998 menelan sedikitnya
500 korban jiwa dan kerugian fisik bangunan mencapai Rp 2,5 triliun, belum
termasuk isinya.28
Pada tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto mendarat di Halim
Perdanakusuma, setelah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G-15 di Kairo
yang berlangsung 13-14 Mei 1998. Akibat meletusnya kerusuhan di tanah air,
presiden mempercepat kepulangannya. Soeharto langsung mengadakan
konsultasi dengan Menteri Hankam serta dengan Wakil Presiden B.J. Habibie
27
Tuk Setyohadi, Op. Cit., hlm. 176. 28
bersama keempat Menteri Koordinator. Soeharto meminta laporan
perkembangan terakhir mengenai keadaan tanah air.
Tanggal 16 Mei 1998, Presiden menerima kunjungan dari delegasi
Universitas Indonesia guna menyampaikan aspirasinya yang menuntut agar di
gelar Sidang Istimewa MPR. Pertemuan Presiden dilanjutkan dengan
pembicaraan bersama pimpinan DPR. Dalalm pertemuannya tersebut
Presiden Soeharto meminta agar semua penyelesaian disalurkan melelui
DPR. Demikian pula Presiden Soeharto menyampaikan bahwa apabila DPR
sudah tidak percaya lagi kepada Presiden, beliau bersedia mundur. Presiden
juga menyampaikan alternatif untuk mengadakan “reshuffle” kabinet dan
bersamaan waktunya juga membentuk Komite Reformasi.29
Pada hari Senin tanggal 18 Mei 1998 diadakan rapat pimpinan DPR
dengan fraksi-fraksi, dalam suasana puluhan ribu mahasiswa dari berbagai
daerah telah memasuki halaman dan gedung MPR/DPR. Dengan suara tegas
menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, Ketua MPR/DPR H.
Harmoko membacakan keterangan pers yang berbunyi “Ketua dan
Wakil-Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan demi persatuan dan
kesatuan meminta agar Presiden Soeharto sebaiknya secara arif dan
bijaksana mengundurkan diri”. Saat itu Harmoko didampingi seluruh Wakil
Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur,
dan Fatimah Achmad. Kejutan yang disambut gembira oleh ribuan
mahasiswa tidak berlangsung lama, pada pukul 23.00 WIB Menhankam/
29
Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap
pernyatan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu
merupakan sikap dan pendapat individual, dan tidak memiliki dasar hukum.
Menteri Dalam Negeri Hartono juga menyatakan bahwa DPR tidak bisa
menjatuhkan Presiden, sama juga Presiden tidak bisa menjatuhkan DPR.30
Pada hari yang sama, Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres No. 16/ 1998
yang memberikan kewenangan untuk mengambil segala tindakan yang
dianggap perlu guna mengatasi kekacauan. Inpres ini diberikan kepada
Pangab Jenderal Wiranto.31
Pada tanggal 19 Mei 1998 dalam sebuah pidato nasional, presiden
Soeharto secara resmi mengumumkan pembubaran kabinet dan membentuk
kabinet baru yang dinamai Kabinet Reformasi. Di tengah-tengah rencana itu,
Amien Rais mengordinasikan protes-protes mahasiswa dan mengancam akan
menghimpun 1 juta demonstran di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1998 guna
menyuarakan pengunduran diri Presiden Soeharto. Rencana Amien Rais tidak
jadi dilaksanakan karena terdapat ancaman kekerasan terhadap demonstran,
ancaman ini dilakukan oleh militer.32
Menjelang akhir pemerintahannya, Presiden Soeharto mulai ditinggal
oleh para pengikutnya di kabinet. Para menterinya, yang dipimpin oleh
Ginandjar Kartasasmita, mengadakan rapat dan menyatakan bahwa mereka
tidak bersedia menjabat dalam kabinet reformasi serta mendesak Presiden
30
Abun Sanda, Warisan (daripada)Soeharto,Jakarta: Kompas, 2008, hlm. 301 31
A. Pambudi, Op .Cit., hlm. 15. 32
Soeharto untuk turun. Selain itu beberapa tokoh yang diminta Presiden
Soeharto untuk duduk dalam Komite Reformasi antara lain Nurcholis Madjid,
Gus Dur, Amien Rais dan Malik Fajar menolak.33
Pada pertemuan di malam yang sama, Panglima ABRI Jenderal TNI
Wiranto menyatakan bahwa demi kepentingan bangsa, solusi terbaik adalah
mengalihkan kekuasaan secara konstitusional dari Presiden kepada Wakil
Presiden. Semakin keras desakan yang menginginkan agar Soeharto mundur
sebagai Presiden, menyebabkan semakin lemahnya kekuatan Soeharto dalam
pemerintahan. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1998 pukul 23.00 WIB
Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Yusril Ihza Mahendra,
Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Dalam
pertemuan tersebut Presiden Soeharto memutuskan untuk turun sebagai
Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil
Presiden B.J Habibie sebagai Presiden.
Pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB sesuai dengan
ketentuan dalam TAP MPR No. VII tahun 1973 di hadapan Mahkamah
Agung dilaksanakan penyerahan jabatan presiden berdasarkan pasal 8 UUD
1945. Selain penyerahan kekuasaan presiden, pada saat itu juga sekaligus
mengangkat Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi Presiden menggantikan
Soeharto.34 Dalam pidato pengunduran dirinya, Soeharto berkata “
saudara-saudara sekarang saya bukan presiden lagi kerena sesuai pasal 8 UUD 1945
dan saran dari Dewan Perwakilan Rakyat, saya telah berhenti. Saya harap
33
Tuk Setyohadi, Op. Cit., hlm. 178. 34Op. Cit
saudara-saudara menjaga keselamatan negara dan bangsa, terima kasih”.
Pidato tersebut mengakhiri jabatan Soeharto sebagai Presiden dan mengakhiri
era Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.
C. B.J Habibie Menjadi Presiden
Hari kamis tanggal 21 Mei 1998 merupakan hari bersejarah bagi Bangsa
Indonesia. Pada tanggal tersebut Soeharto secara resmi mengundurkan diri
sebagai Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun.
Berhentinya presiden sebelum masa jabatan berakhir, maka sesuai dengan
pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi “bila presiden mangkat, berhenti atau tidak
dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai batas masa waktunya”. Pada saat itu juga tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.10, B.J.
Habibie mengucapkan sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia yang
disaksikan oleh Mahkamah Agung, Ketua DPR, Wakil-Wakil Ketua DPR
yang juga dihadiri oleh mantan Presiden Soeharto.
Kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada runtuhnya rezim Orde Baru
berakibat pula pada rusaknya hubungan antara Soeharto dengan B.J Habibie.
Soeharto menganggap seharusnya sebagai Wakil Presiden, B.J Habibie yang
didukung penuh ABRI seharusnya bisa mengambil langkah yang diperlukan
untuk mencegah dan mengatasi aksi-aksi anarkis yang menjurus pada upaya
memburuk begitu Soeharto meninggalkan tanah Air tentu menimbulkan
prasangka buruk dalam benak Soeharto terhadap Habibie.35
Secara konstitusional, Soeharto memang harus menyerahkan
kekuasaannya sebagai Presiden kepada Wakil Presiden B.J Habibie setelah
mengundurkan diri. Sejak awal Soeharto ragu apakah Habibie mampu
mengatasi situasi. Saat menyampaikan pengunduran diri, wajah Soeharto
tampak dingin. Ia menyadari betul bahwa dirinya benar-benar dipermalukan
di depan seluruh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat luar negeri.
Soeharto berusaha terlihat tegar ketika mengumumkan pengunduran dirinya
sebagai Presiden. Mulai saat itu hubungan Soeharto dengan Habibie tidak
terjalin dengan baik lagi. Jabat tangan antara Soeharto dan Habibie saat
pelantikan Habibie sebagai Presiden merupakan jabat tangan terakhir yang
diterima Habibie dari Soeharto.36
Beberapa hari setelah B.J. Habibie menjadi presiden, B.J. Habibie
mengutus Letjen Ary Mardjono untuk menemui Pak Harto, untuk
menanyakan perihal sulitnya B.J. Habibie bertemu Pak Harto. Pertemuan
berlangsung selama 30 menit, Letjen Ary Mardjono menanyakan apakah
beliau marah kepada B.J. Habibie sehingga sulit bagi B.J. Habibie untuk
bertemu? Pak Harto menjawab, ”Saya justru menjaga nama baik Habibie.
Apa komentar orang kalau presiden baru sering bertemu dengan mantan
35
Tjipta Lesmana, Op. Cit., hlm. 123 36Idem
presiden, sehingga presiden baru terkesan berada di bawah bayang-bayang
mantan presiden”.37
Reformasi telah membawa B.J Habibie ke kursi presiden. Akan tetapi
tuntutan reformasi oleh masyarakat Indonesia tidak berakhir setelah Soeharto
turun sebagai Presiden. Naiknya B.J Habibie sebagai presiden baru
merupakan langkah awal mewujudkan refomasi, bukan merupakan akhir dari
reformasi total yang dikehendaki oleh masyarakat melalui mahasiswa.38
Pada masa pemerintahannya sebagai Presiden, B.J Habibie dihadapkan
oleh persoalan-persoalan negara yang belum terselesaikan pada masa
pemerintahan Soeharto. Termasuk mengenai pro dan kontra tentang
keabsahan jabatan presiden yang kini dipegangnya. Persoalan ini muncul di
kalangan para ahli hukum sebagian ahli menganggap naiknya B.J Habibie
sebagai Presiden sudah sesuai dengan konstitusi, pendapat ini diperkuat
dengan Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bila Presiden mangkat,
berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh Wakil
Presiden sampai habis waktunya”. Sedangkan beberapa ahli yang
berpendapat bahwa naiknya B.J Habibie yang dianggap tidak konstitusional
berpegang pada ketentuan Pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa
“Sebelum presiden memangku jabatan maka presiden harus mengucapkan
sumpah atau janji di depan MPR atau DPR”. Melihat situasi saat itu, tidak
memungkinkan MPR/DPR untuk bersidang karena Gedung DPR/MPR
diduduki oleh puluhan ribu mahasiswa, maka sumpah dan janji yang
37
Arissetyanto Nugroho, Donna Sita. I, Pak Harto the Untold Stories, Jakarta: PT Gramedia, 2011, hlm. 184
38
diucapkan B.J. Habibie di depan Mahkamah Agung dan di depan personil
MPR dan DPR dianggap sah dan sudah sesuai dengan Konstitusi.
Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dihadapkan pada kondisi ekonomi
Indonesia yang sangat memprihatinkan. Pada pertengahan tahun 1998 tingkat
inflasi mencapai 65,0 ditambah pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan
sebesar 13,6 persen di tahun 1998. Permasalahan ini muncul sebagai imbas
krisis ekonomi yang menimpa Indonesia yang belum teratasi. Rupiah
mengalami penurunan nilai tukar hingga mencapai Rp 10.000/US$ dan
bahkan mencapai Rp 15.000 sampai Rp 17.000/US$ yang berdampak
banyaknya perusahaan-perusahaan yang mengalami kebangkrutan yang
mengakibatkan banyak pengangguran. Dampak krisis ekonomi menyebabkan
sekitar 113 juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, phk
besar-besaran, krisis sosial dalam masyarakat.39
39
BAB III
HASIL KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI PRESIDEN B.J. HABIBIE
A. Penyusunan Kabinet Reformasi Pembangunan
B.J. Habibie menjabat sebagai Presiden Indonesia yang ketiga
menggantikan Presiden Soeharto yang lengser dari jabatan sebelum masa
baktinya selesai. Dalam waktu yang terbilang singkat, kurang dari 24 jam
setelah menjabat sebagai Presiden, B.J. Habibie mengumumkan kabinet yang
dipimpinnya dengan diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan.
Tabel 1.
Kabinet Reformasi Pembangunan
No Jabatan Nama
1 Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid.
2 Menteri Luar Negeri Ali Alatas
3 Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Wiranto
4 Menteri Kehakiman Muladi
5 Menteri Penerangan Yunus Yosfiah
6 Menteri Keuangan Bambang Subianto
7 Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan
8 Menteri Pertanian Soleh Solahudin
9 Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro
Mangkusubroto 10 Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin
Nasution 11 Menteri Pekerjaan Umum Rachmadi
Sumadhijo 12 Menteri Perhubungan Giri Suseno
Hadihardjono 13 Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Marzuki Usman.
14 Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Adi Sasono
15 Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris.
16 Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan
AM
Hendropriyono 17 Menteri Kesehatan Faried Anfasa
Moeloek 18 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono
Soedarsono 19 Menteri Agama Malik Fajar
20 Menteri Sosial Justika Baharsjah
21 Menteri Negara Sekretaris Negara Akbar Tandjung.
22 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas Boediono
23 Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala BPPT Muhammad Zuhal
24 Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha
Milik Negara/Kepala Badan Pengelola BUMN Tanri Abeng 25 Menteri Negara Pangan dan Holtikultura A.M. Saefuddin
26 Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN Ida Bagus Oka
27 Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM Hamzah Haz
28 Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Hasan Basri Durin
29 Menteri Negara Perumahan Pemukiman Theo L. Sambuaga.
30 Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal Panangian Siregar
31 Menteri Negara Peranan Wanita Tuti Alawiyah
32 Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Agung Laksono.
33 Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan
Keamanan Feisal Tanjung 34 Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi,
Keuangan, dan Industri
Ginandjar Kartasasmita. 35 Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan
Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara
36 Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Haryono Suyono
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Reformasi_Pembangunan.
(Diakses pada tanggal 19 Maret 2015)40
Permasalahan-permasalahan negara yang dihadapi Pemerintahan B.J.
Habibie tidak hanya mengenai krisis ekonomi yang belum terselesaikan, akan
tetapi juga mengenai permasalahan politik dalam negeri. Pemerintahan B.J.
Habibie dengan Kabinet Reformasi Pembangunan dihadapkan dengan 6
tuntutan reformasi. Keenam tuntutan reformasi antara lain (1) Penegakan
supremasi hukum, (2) Pemberantasan KKN, (3) Mengadili mantan Presiden
Soeharto dan kroni-kroninya, (4) Amandemen Konstitusi (5) Pencabutan Dwi
Fungsi Abri, (6) Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. Presiden Habibie
mengawali pemerintahannya dengan sebuah reputasi yang membuatnya tidak
dipercaya oleh kalangan aktivis dan mahasiswa, militer, fraksi-fraksi partai
besar, pemerintah asing, para investor luar negeri, dan berbagai badan
internasional.
Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan pada masa
pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya Kabinet Reformasi
Pembangunan. Kebijakan politik yang diambil yaitu: dengan dibebaskannya
para tahanan politik pada masa Orde Baru, peningkatan kebebasan pers,
pembentukan parpol dan percepatan Pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999,
40
penyelesaian masalah Timor Timur, pengusutan kekayaan Soeharto dan
kroni-kroninya, pemberian gelar Pahlawan Reformasi bagi korban Trisakti.
B. Pembebasan Tahanan Politik pada Masa Orde Baru
Dalam upaya menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah dan upaya mengatasi tekanan dan tuntutan dari masyarakat,
Presiden B.J Habibie membuat kebijakan melepaskan seluruh tahanan politik
pada masa Pemerintahan Orde Baru. Tindakan yang dilakukan Presiden B.J
Habibie untuk membebaskan tahanan politik pada masa Pemerintahan Orde
Baru ini meningkatkan legitimasi Presiden B.J Habibie di dalam negeri
maupun luar negeri. Kebijakan B.J Habibie ini pula sebagai upaya Habibie
dalam menjalankan reformasi yang dikehendaki masyarakat dan sebagai
upaya menepis anggapan mengenai dirinya di kalangan aktivis reformasi dan
masyarakat sebagai anak emas Soeharto.
Legitimasi Presiden B.J Habibie terlihat pada kebijakan yang
dikeluarkannya dengan diberikannya amnesti dan abolisi yang merupakan
langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi. Di antara yang
dibebaskan tahanan politik kaum separatis dan tokoh-tokoh tua mantan
PKI, yang telah ditahan lebih dari 30 tahun. Amnesti diberikan kepada H.
Mohammad Sanusi dan tokoh-tokoh lain yang ditahan setelah Insiden
Tanjung Priok tahun 1984. Selain tokoh-tokoh tua mantan PKI, Amnesti
diberikan pula pada tokoh-tokoh aktivis petisi 50, merupakan kelompok yang
Angkatan bersenjata Jendral Abdul Haris Nasution yang menuduh Soeharto
melanggar perinsip Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI. Pada bulan November
1998, Presiden B.J. Habibie mengumumkan almarhum Mohammad Natsir
sebagai pemimpin bangsa, hal ini menyisaratkan bahwa pemberontakan PRRI
pun dimaafkan. ABRI membebaskan beberapa aktivis mahasiswa yang telah
menghilang sejak kampanye pemilu 1997, akan tetapi masih banyak
mahasiswa yang hilang yang telah dibunuh. Wiranto mengumumkan bahwa
militer bisa menyelidiki orang-orang termasuk Prabowo, yang diduga telah
menculik para aktivis reformasi.41
Selain membebaskan tahanan politik masa Orde Baru, Presiden B.J
Habibie juga membebaskan tahanan Mahasiswa dan aktivis reformasi. Di
antara mereka yang dibebaskan adalah Dr. Sri Bintang Pamungkas, Ketua
PUDI dan Dr. Mochtar Pakpahan, Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI). Presiden juga mencabut UU Subversi dan menyatakan dukungan
budaya oposisi serta melakukan pendekatan kepada mereka yang selama ini
menentang Rezim Orde Baru, diantaranya adalah K.H. Abdurrahman Wahid
dan para tokoh-tokoh aktivis petisi 50 yaitu kelompok yang sebagian besar
terdiri dari mantan-mantan jenderal yang menuduh Soeharto melanggar
prinsip dari Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI.42
Selain membebaskan tahanan politik masa Orde Baru, Presiden B.J.
Habibie juga memberi gelar Pahlawan Reformasi kepada 4 korban mahasiswa
Trisakti yang menuntut lengsernya Soeharto pada tanggal 12 Mei 1998.
41
M.C. Ricklefs, ibid, hlm. 665 42
Pemberian gelar pahlawan reformasi merupakan hal positif yang
dianugerahkan oleh pemerintahan Presiden B.J Habibie, penghargaan ini
mampu melegitimasi Habibie sebagai bentuk penghormatan kepada
perjuangan dan pengorbanan mahasiswa sebagai pelopor gerakan Reformasi.
Pemberian gelar pahlawan kepada korban trisakti juga sebagai upaya
pemerintah menjalankan reformasi yang dikehendaki oleh rakyat, selain itu
sebagai upaya yang dilakukan oleh Presiden B.J Habibie untuk mengambil
simpati dan kepercayaan rakyat yang kurang mempercayai dirinya dalam
menjalankan reformasi.
C. Kebebasan Pers
Dalam permasalahan ini, pemerintahan Presiden B.J Habibe
mengeluarkan kebijakan mengenai kebebasan pers di Indonesia. Pada masa
Pemerintahan Orde Baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya
digunakan sebagai alat pemerintahan untuk menyelenggarakan
kepentingannya. Pers pada masa Orde Baru adalah sarat dengan muatan
berbagai kepentingan. Kebebasan pers sangat dibatasi, kebebasan pers
ditekan dan dikuasai oleh negara, bahkan wartawan bisa dibeli. Pers yang bisa
dibreidel sewaktu-waktu oleh pemerintah bila berita yang ditulis tidak sesuai
dengan yang diharapkan oleh pemerintah. Pembreidelan pers pada masa Orde
Baru terjadi pada surat kabar tempo,kompas dan detik.
Pembereidelan Tempo terjadi Pada 12 April 1982, di usia yang ke-12
dikeluarkan oleh Ali Moertopo (Menteri Penerangan). Tempo dianggap telah
melanggar kode etik pers. Ide pembreidelan itu sendiri datang dari Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan
harian Pos Kota. Diduga, pembreidelan tersebut terjadi karena Tempo meliput
kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, yang berakhir rusuh.
Presiden Soeharto, yang notabene motor partai Golkar, tidak suka dengan
berita tersebut. Pembreidelan kedua terjadi Pada 21 Juni 1994, Tempo
kembali dibredel bersama saudara tirinya yaitu Editor Detik. Kali ini
penyebabnya adalah berita Tempo terkait pembelian pesawat tempur eks
Jerman Timur oleh BJ Habibie. Berita tersebut tidak menyenangkan para
pejabat militer karena merasa otoritasnya dilangkahi. Namun, diduga,
penyebab dasarnya adalah karena Presiden Soeharto tidak suka Tempo dari
dulu; berita BJ Habibie hanyalah alasan pembenaran.43
Selain pembreidelan terhadap media masa, pembreidelan dan larangan
penerbitan buku-buku juga dilakuakan masa Orde Baru. Antara lain Di
Bawah Lentera Merah yang merupakan tesis sarjana muda Soe Hok Gie pada
Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Juga buku Tan
Malaka yang merupakan disertasi doktor ahli sejarah Harrye Poeze yang kini
menjabat sebagai Direktur KITLV di Belanda. Militer dan Politik di
Indonesia karya Harold Crouch. Kapitalisme Semu karya Yoshihara Kunio.
Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer. Theologi Pembebasan, Sejarah,
Metode, Praksis dan Isinya yang merupakan skripsi Frater Wahono
43
Nitiprawiro. Amir Sjarifoeddin Pergumulan Imannya dalam Perjuangan
Kemerdekaan yang merupakan tesis Frederick Djara Wellem. Indonesia the
Rise of Capital karya Richard Robison yang masih belum diterbitkan dalam
edisi Indonesia. Alasan pelarangan itu nyaris seragam: merupakan tulisan
yang menyesatkan, memutarbalikkan sejarah, merendahkan pemerintah Orde
Baru dan pimpinan nasional. Sayangnya suatu proses peradilan yang bersifat
akademis tak pernah digelar. Demikian juga para guru besar atau dosen
pembimbing dan pejabat kampus tak ada satu pun yang memberikan reaksi.44
Kehidupan pers di Indonesia pada masa Pemerintahan Orde Baru sangat
mengkhawatirkan. Turut campurnya pemerintah dalam pers, membuat pers
dikontrol oleh pemerintah, sehingga tidak adanya kebebasan bagi pers.
Terdapatnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tidak membawa
perubahan yang signifikan bagi kehidupan pers. PWI yang seharusnya
memperjuangkan kehidupan pers di Indonesia justru dijadikam media bagi
Pemerintah Orde Baru. Hal ini terlihat ketika terjadi pembredelan beberapa
media nasional oleh pemerintah, PWI yang seharusnya membela pers dan
melakukan tuntutan terhadap pembreidelan tersebut justru memberikan
pernyataan dapat memahami dan menyetujui tindakan pemerintah tersebut.
Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat diragukan lagi, begitu
juga dengan pengaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu
contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers,
44
yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut
untuk melasanakan fungsi–fungsi yang secara alamiah melekat padanya,
khususnya fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat
adalah menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak
dibandingkan dengan ekonomi, dengan didominasi subyek negara serta
kecenderungan pers untuk lebih berat ke sisi negara harus dilakukan dengan
cara lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis.45
Setelah berakhirnya Pemerintahan Orde baru, Presiden B.J Habibie
membuat kebijakan mengenai kebebasan pers di Indonesia. Pers pada masa
pemerintahan B.J Habibie diberikan perlindungan hukum yang berkaitan
dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti
menyebarluaskan, pencetakan dan penerbitan surat kabar, majalah, buku atau
material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari
pemerintah. Kebebasan pers masa pemerintahan Presiden B.J Habibie diikuti
pula dengan kebebasan berasosiasi organisasi pers, sehingga banyak
bermunculan organisasi-organisasi pers alternatif.
Selama pemerintahan Presiden B.J Habibie tidak didapati
pembreidelan-pembreidelan media masa seperti saat masa Orde Baru. Pers
bebas memberitakan mengenai segi potif dan negatif kinerja pemerintah yang
menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam rangka melaksanakan
kebebasan pers, B.J Habibie mencabut ketentuan pembatalan SIUPP (Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers) yang selama ini menghantui wartawan terhadap
45
Putra, A,
pemberedelan surat kabar dan majalah.46 Akibat kemudahan memperoleh
SIUPP tersebut, jumlah pemohon SIUPP membengkak lebih dari sepuluh kali
lipat dibandingkan dengan masa Orde Baru.
Euforia kebebasan berdampak luas bagi perkembangan di Indonesia,
dampak kebebasan pers tidak hanya berdamak positif akan tetapi juga dapat
berdampak negatif. Dampak positif kebebasan pers antara lain adalah (1)
Pemberitaan bebas mengulas suatu masalah Ilmu pengetahuan dan tehnologi
serta pengetahuan dan informasi lainnya sehingga semua orang berhak tahu
dan mengerti apa yang sedang terjadi sekarang ini dari berita ilmu
pengetahuan, politik/pemerintah dan lain-lain yang akan membuat individu
menjadi maju cara berpikirnya. (2) Tiap-tiap individu secara bebas dapat
menyampaikan pendapatnya melalui media masa sehingga membantu dan
memicu tiap individu untuk berkreasi menyampaikan pendapat dengan
adanya kolom kontak pembaca, serta setiap wartawan mengulas suatu
masalah yang beraneka ragam. (3) Memberikan kesempatan tiap individu
untuk mencoba berani bagi yang ingin mencoba bisnis dalam mass media
terbukti munculnya produksi media baru Terbit, Adil dan lain-lain serta
membuka lapangan pekerjaan.
Dampak negatif kebebasan pers antara lain: (1) Gambar kekerasan yang
ditampilkan baik dalam media massa cetak maupun dalam audio visual dalam
menyampaikan berita dengan makin berani dan gamblang misalnya kegiatan
demonstrasi yang brutal dan lain-lain. (2) Penampilan gambar setengah porno
46
dalam media cetak yang menampilkan foto-foto wanita yang berpakaian
amat minim dengan pose yang sangat merangsang seperti pada isi
gambar Tabloid lipstik. (3) Berita yang mengulas suatu masalah yang belum
tentu benar. (4) Berita yang dapat menimbulkan pemahaman tertentu,
menghasut ataupun mengadu domba. (5) Mengkritik tanpa etika.
D. Penghapusan Istilah Pribumi dan Non Pribumi
Sejumlah amandemen UUD 1945 yang beberapa kali dilakukan oleh
MPR ternyata tidak berhasil membersihkan pasal-pasal yang berbau rasial.
Demikian pula RUU Kewarganegaraan yang telah disiapkan Departemen
Kehakiman dan HAM masih mengandung beberapa poin diskriminatif baik
terhadap perempuan (gender) maupun warga negara keturunan asing.
Contohnya, pasal 30 RRU menyebutkan bahwa kehilangan kewarganegaraan
Indonesia bagi seorang suami berlaku pula bagi istri kecuali istri menolak
atau istri mempunyai dua kewarganegaraan. Selain itu pasal 39 RRU tersebut
menyatakan setiap orang yang perlu membuktikan kewarganegaraan
Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti untuk itu dapat
mengajukan permohonan kepada menteri atau pejabat untuk memperolehnya.
Pasal ini diduga mengukuhkan kembali Surat Bukti Kewarganegaraan
Republik Indonesia atau biasa disingkat SBKRI bagi orang Indonesia
keturunan asing termasuk Tionghoa.
Permasalahan pribumi dan non pribumi, ditanggapi oleh pemerintahan
Inpres N0. 26/1998 yang menghapuskan istilah pribumi dan non pribumi.
Presiden B.J. Habibie juga mengeluarkan Inpres 4/1999 tentang penghapusan
Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), dan
diperbolehkannya pelajaran Bahasa Mandarin.47
E. Pembentukan Partai Politik dan Percepatan Pemilu
Presiden B.J Habibie membuat kebijakan untuk membuat perubahan
dalam bidang politik lainnya antara lain mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 4
Tahun 1999 tentang MPR dan DPR.
Pemilihan umum pada masa pemerintahan yang sangat singkat dari
Presiden B.J Habibie, diselenggarakan pada tanggal 7 Juni 1999 dengan
diikuti oleh 48 partai, walapun pada saat itu terdaftar terdapat hampir 150
partai politik, akan tetapi yang memenuhi persyaratan hanya 48 partai politik.
Pemilihan umum Tahun 1998 dilaksanakan secara LUBER yaitu langsung,
umum, bebas dan rahasia dan JURDIL yaitu jujur dan adil yang diakui oleh
semua pihak termasuk oleh oleh luar negeri melalui pemantauan secara
langsung oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter.48 Selanjutnya
tanggal 7 Juni 1999 diselenggarakan Pemilihan Umum Multipartai.
Dari 48 partai yang mengikuti pemilihan umum Tahun 1998, terdapat 5
partai besar yang mendapat dukungan besar dari masyarakat. Amien Rais
mendirikan PAN (Partai Amanat Nasional) dengan dukungan dari
47Muh Kholid, Mengakhiri Diskriminasi Tionghoa, http://lkassurabaya.blogspot.com/2007/07/
mengakhiri-diskriminasi-tionghoa.html, diakses pada tanggal 12 Juli 2015. 48
Muhammadiyah, akan tetapi dengan ideologi sekularisme yang demokratis
dan kapitalis. Abdurahman Wahid dengan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)
dengan dukungan NU, lebih mengedepankan toleransi, pluralisme, dan gaya
demokrasi non religius. Megawati dengan PDI (Partai Demokrasi Indonesia)
mendapat dukungan dari Wiranto dan ABRI. Beberapa pemimpin Islam
menanggapi popularitas Megawati yang besar menyatakan bahwa Islam tidak
memperbolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin, tetapi tidak dengan
Abdurrahman Wahid. Golkar yang masih mempunyai dukungan masyarakat
yang masih kuat mencoba untuk membersihkan diri dari warisan Soeharto
dengan cara meminta maaf untuk berbagai kesalahan masa lalunya dan
menggambarkan dirinya sebagai Golkar baru. Fraksi dominannya mendukung
Habibie hampir sampai akhir masa jabatannya. PPP juga mampu bertahan
sebagai sebuah partai politik.49
Pemilihan umum kedelapan dalam sejarah Indonesia ini dilaksanakan
pada hari Senin, 7 Juni 1999. Empat puluh delapan partai yang mengikuti
pemilu ini memperebutkan 462 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Republik Indonesia. Setelah pemilihan umum ini selesai dilaksanakan, lebih
dari 50% partai ternyata tidak mendapatkan kursi. Dengan demikian, jumlah
kursi di DPR dibagi kepada 21 partai saja.50 Pemilihan umum tahun 1999
melahirkan pemenang baru yaitu PDI Perjuangan. Meskipun hanya
menguasai 11 provinsi, sedangkan Golkar menang di 13 Provinsi, namun
suara PDI Perjuangan lebih besar yaitu sebanyak 33,7 %.
49
Op. Cit., hlm. 706. 50
Kemenangan PDI Perjuangan pada pemilu 1999 terjadi karena PDIP
yang diketuai oleh Megawati Soekarno Putri merupakan salah satu tokoh
yang memperjuangkan reformasi sehingga banyak masyarakat yang pro
terhadap reformasi berbalik mendukung PDI Perjuangan. Sedangkan Golkar
masih mampu menempati posisi ke dua pada pemilu 1999 setelah lengsernya
Soeharto sebagai presiden hal ini terjadi karena Partai Golkar sudah berakar
kuat di hati rakyat, hal ini dapat dilihat dari sejarah panjang kemenangan
partai Golkar dari tahun 1955 hingga pemilu tahun 1997. Untuk pemilu tahun
1999 bisa dikatakan tidak ada partai yang menang secara meyakinkan, sama
seperti pemilu tahun 1955.51
Tabel 2
Sepuluh partai pemenang pemilihan umum tahun 1999 antara lain:
NO PARTAI POLITIK JUMLAH KURSI 1 PDI Perjuangan 153 kursi 8 Partai Demokrasi Kasih Bangsa 5 kursi 9 Partai Nahdatul Ulama 5 kursi 10 Partai Keadilan dan Persatuan 4 kursi
Sumber : Daniel Dhakidae, Peta Politik Pemilihan Umum 1998-2004,
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004. 52
51
Daniel Dhakidae, Peta Politik Pemilihan Umum 1998-2004, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2004, hlm. 3
52
F. Penyelesaian Masalah Timor Timur
Permasalahan Timor Timur yang ingin merdeka dan lepas dari
Indonesia menjadi salah satu permasalahan besar yang harus dihadapi Bangsa
Indonesia. Setelah berakhirnya masa Orde Baru, dan naiknya B.J Habibie
menjadi Presiden, Presiden B.J Habibie membuat kebijakan untuk
memberikan kemerdekaan bagi Timor Timur. Bagi Presiden B.J Habibie,
Timor Timur dianggap sebagai masalah yang merepotkan. Hal ini tertuang
pada pernyataan Presiden B.J Habibie yang mengatakan bahwa masalah
Timor Timur bagaikan kerikil dalam sepatu. Selain itu permasalahan Timor
Timur dirasa mengganggu kinerja Kabinet Reformasi Pembangunan yang
dipimpinnya dalam menghadapi berbagai macam persoalan reformasi.53
Upaya yang dilakukan Presiden B.J Habibie sebelum memutuskan
untuk memberikan kemerdekaan bagi Timor Timur salah satunya adalah
membebaskan tawanan politik asal Timor Timur dan menjanjikan suatu status
istimewa bagi Timor Timur. Akan tetapi status istimewa yang dijanjikan
Presiden B.J. Habibie tidak disetujui oleh Ramos-Horta dan para tokoh-tokoh
yang menginginkan Timor Timur merdeka. Pada bulan Juni 1998 terjadi
demonstran besar-besaran di Timor Timur yang menuntut diadakannya
referendum yang menawarkan pilihan kemerdekaan dan menolak status
istimewa dalam lingkup Negara Republik Indonesia. Untuk mendapatkan
53
dukungan yang kuat tentang referendum, Belo meminta dukungan PBB untuk
mensponsori referendum tersebut54
Melihat situasi di Timor Timur Presiden B.J Habibie mengambil sikap
pro-aktif dengan menawarkan dua pilihan bagi penyelesaiaan Timor Timur
yaitu dengan memberikan otonomi khusus atau memisahkan diri dari
Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ali Alatas
pada bulan Januari 1999 yang mengumumkan bahwa, jika usulan otonomi
khusus untuk Timor Timur ternyata ditolak, wilayah tersebut akan diberi
kemerdekaan. Otonomi luas berarti diberikannya wewenang atas berbagai
bidang politik, ekonomi, budaya dan lain-lain, kecuali dalam hubungan luar
negeri, pertahanan dan keamanan serta moneter dan fiksal. Sedangkan
memisahkan diri berarti secara demokratis dan konstitusional, serta secara
terhormat dan damai, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Habibie tidak mendapatkan banyak dukunagn dari kekuatan-kekuatan
politik besar mengenai kebijakannya terhadap Timor Timur. Pada bulan
Februari 1998, Megawati Sukarnoputri mengatakan di depan pendukungnya
bahwa Timor Timur adalah bagian dari Indonesia dan bahwa ia tidak akan
menerima pemisahan diri wilayah tersebut dari Republik Indonesia.
Pandangan yang sama disampaikan oleh Abdurrahman Wahid. Meskipun
demikian, ABRI memiliki pemikiran yang berbeda. Para petinggi ABRI telah
memutuskan bahwa, jika suatu referendum menghasilkan suara untuk
54