AGAMA DAN NEGARA
(Hubungan Islam dan Negara di Bidang Politik di Era B. J. Habibie Tahun 1998-1999 M)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1)
Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
OLEH:
AGENG SUKO DERMAWAN NIM. A.322.09.001
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ageng Suko Dermawan
NIM : A.322.09.001
Jurusan : Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas : Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel
Surabaya
Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa skripsi ini secara
keseluruhan adalah hasil penelitian atau karya saya sendiri, kecuali pada
bagian-bagian yang dirujuk sumbernya. Jika di kemudian hari skripsi ini terbukti
bukan hasil karya saya sendiri, saya bersedia mendapatkan sanksi berupa
pencabutan gelar sarjana yang saya peroleh.
Surabaya, 27 Juli 2016
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini disusun oleh Ageng Suko Dermawan (A.322.09.001)
Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan
Surabaya, 01 Agustus 2016
Pembimbing,
H. Ali Muhdi, M.Si
iv
PENGESAHAN TIM PENGUJI
Skripsi ini telah diuji oleh penguji dan dinyatakan lulus
Surabaya, 16 Agustus 2016
Ketua/Pembimbing
H. Ali Muhdi, M.Si NIP. 197206262007101005
Penguji I,
Dr. H. Achmad Zuhdi DH, M. Fil. I NIP. 196110111991031001
Penguji II,
Rochimah, M.Fil.I NIP.196911041997032002
Sekretaris,
Dra. Lailatul Huda, M.Hum NIP. 196311132006042004
ekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya Dekan,
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : AGENG SUKO DERMAWAN
NIM : A.322.09.001
Fakultas/Jurusan : ADAB dan HUMANIORA / SEJARAH dan KEBUDAYAAN ISLAM
E-mail address : ink.client@gmail.com
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :
Sekripsi Tesis Desertasi ………
yang berjudul :
AGAMA DAN NEGARA (Hubungan Islam dan Negara di Bindang Politik di Era B. J. Habibie)
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan
menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltextuntuk kepentingan
akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.
Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Surabaya, 19 Agustus 2016 Penulis
(Ageng Suko Dermawan)
KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
PERPUSTAKAAN
x
ABSTRAK
Skripsi ini mengkaji tentang Agama dan Negara (Hubungan Islam dan Negara di bidang politik di Era B. J. Habibie Tahun 1998 -1999 M). Permasalahan yang dibahas diantaranya: (1) latar belakang berakhirnya Orde Baru? (2) bagaimana hubungan negara dan agama Islam pada masa pemerintahan B. J. Habibie (1998-1999 M)? (3) bagaimana peta politik Islam pada masa pemerintahan B. J. Habibie (1998-1999 M)?
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode kualitatif historis deskriptif agar mendapatkan gambaran yang utuh, menyeluruh, dan mendalam sedangkan teori yang digunakan adalah teori lakon oleh Biddle dan Thomas. Mengenai pengumpulan sumber, penulis menggunakan sumber sekunder dengan melakukan studi literatur dari buku, jurnal, artikel, skripsi.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) latar belakang berakhirnya orde baru yaitu karena tingginya tingkat KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di dalam pemerintahan, dan membengkaknya angka hutang luar negeri. (2) hubungan agama dan negara pada masa pemerintahan B. J. Habibie Tahun 1998 -1999 M, ditandai dengan adanya perubahan yang signifikan tentang regulasi sistem perpolitikan yang di dalam perkembangannya melahirkan banyak partai politik Islam. (3) peta politik Islam pada masa pemerintahan B. J. Habibie (1998-1999 M) mengalami peningkatan yang sangat signifikan dan dinamis hal ini ditandai dengan lahirnya partai dari ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah berkontribusi pada Partai Amanat Nasional (PAN), Nahdlatul Ulama' pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Kelompok Islam moderat pada Partai Keadilan (PK), dan lainnya, di mana ormas dan partai politik Islam secara dinamis saling berkolaborasi dalam membangun sistem demokrasi di Indonesia.
ABSTRACK
This thesis examines the Religion and State (Islamic Relations and the State in the field of politics in the era B. J. Habibie 1998 -1999 M) . Issues discussed include: (1) background of the end of the Orde Baru ? ( 2 ) how the relationship between the state and Islam during the reign of B. J. Habibie (1998-1999 M) ? (3) how the political map of Islam during the reign of B. J. Habibie (1998-1999 M) ?
The method used in the writing of this paper is historically descriptive qualitative method in order to get a full picture, thorough, and insightful while the theory used is the theory of the play by Biddle and Thomas. Regarding the collection of sources, the author uses secondary sources to conduct a study of literature from books , journals, articles , theses.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
TRANSLITERASI ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xi
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... 1
B. Rumusan Masalah... 9
C. Tujuan penelitian ... 10
D. Kegunaan penelitian ... 10
E. Pendekatan dan kerangka teori ... 11
F. Penelitian terdahulu ... 12
G. Metode penelitian ... 13
BAB II: BERAKHIRNYA MASA ORDE BARU DAN MUNCULNYA
ERA REFORMASI ... 17
A. Berakhirnya Orde Baru ... 17
B. Faktor runtuhnya Orde Baru ... 18
C. Lahirnya era reformasi ... 23
D. Kronologi reformasi ... 29
BAB III: HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA PADA MASA PEMERINTAHAN B. J. HABIBIE ... 33
A. Politik Islam pada masa pemerintahan Habibie ... 33
B. Profil Parpol Islam ... 35
C. Respon Partai-Partai Politik Islam terhadap Persoalan Kontemporer ... 48
D. Kebijakan pada masa pemerintahan Habibie ... 51
BAB IV: PETA POLITIK ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN HABIBIE ... 59
A. Perkembangan Politik Islam Pada Masa B. J. Habibie ... 59
B. Peta Gerakan Politik Islam Pada Masa B. J. Habibie ... 65
BAB V: PENUTUP ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak berakhirnya kolonialisme barat pada pertengahan abad ke-20,
negara Muslim mengalami kesulitan dalam upaya mereka mengembangkan
sintesis yang memungkinkan antara praktek dan pemikiran politik Islam
dengan negara di daerah masing-masing.1
Demikian pula pada perpolitikan Negara kita yang mengalami
perubahan. Dalam hal ini diawali dengan runtuhnya orde baru ini
memberikan harapan angin segar kepada umat Islam untuk bangkit kembali
dalam percaturan politik nasional yang pada masa Orde Baru termarjinalkan.
Apabila melihat ke belakang, khususnya pada awal-awal kemerdekaan
bahwa kegagalan politik umat Islam pada saat itu, terutama dalam
hubungannya untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara
memang merupakan suatu kenyataan pahit. Oleh karena itu, sehubungan
dengan bergulirnya era reformasi ini banyak ide dan gagasan dari umat Islam
untuk mengangkat kembali citra umat Islam, sehingga dapat memegang peran
dalam percaturan politik nasional.
Jatuhnya rezim Orde Baru tidak terlepas dari gaya politik
kekuasaannya yang cenderung otoriter, represif dan tidak demokratis. Dengan
2
kekuatan utamanya, Golkar dan Militer, maka Orde Baru berhasil
mempertahankan kelangsungan kekuasaannya selama tiga dasawarsa lebih.
Sikap perlawanan dan oposisi yang dilakukan oleh kelas menengah muslim
dan non muslim berhasil digagalkan, mengingat betapa sangat berkuasanya
rezim ini dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat.
Baru setelah krisis ekonomi menjalar ke Indonesia dan
memporak-porandakan perekonomian nasional, arus deras perlawanan yang dilakukan
mahasiswa dengan rakyat semakin menemukan momentumnya untuk
menjatuhkan rezim Orde Baru. Tidak dapat dipungkiri lagi, akhirnya rezim
Soeharto (Orde Baru) jatuh, dan digantikan wakilnya, B. J. Habibie.
Habibie diangkat sebagai presiden didasarkan pada pasal 8 ayat 3
UUD 1945 tentang kekuasaan pemerintahan negara. Habibie tidak hanya
seorang jenius di bidang kedirgantaraan pada waktu menjabat sebagai wakil
presiden, dan juga murid politik Soeharto.2 Dibandingkan dengan gurunya,
Habibie tidak cukup beruntung. B. J. Habibie mewarisi negara dalam kondisi
berantakan serta posisinya yang tampak lemah di mata rakyat.
Habibie adalah sosok intelektual sekaligus birokrat dan teknokrat yang
religius. Selain dikenal memiliki hubungan yang dekat dengan Soeharto,
beliau juga dekat dengan kalangan Cendekiawan Muslim sehingga beliau
pernah dipercaya menjadi ketua umum ICMI.3 Karena background
keislamannya yang cukup kuat itulah kelompok Islam terutama yang sering
2 A. Makmur Makka, BJH: Bacharuddin Jusuf Habibie, His Life and Career, edisi III (Jakarta: Cidesindo, 1996), 87.
3
disebut garis keras amat gigih membela dan mendukungnya, karena umat
Islam banyak berharap agar Habibie banyak berbuat demi dan untuk
kepentingan umat Islam.
Di era kepemimpinan Habibie, terutama setelah adanya kebebasan
politik, Islam mengalami kebangkitan. Perubahan yang signifikan dari
kelompok Islam dalam memaknai jatuhnya rezim Orde Baru, yang mulai
mengakomodasikan aspirasi Islam. Aspirasi Islam lebih nampak di pentas
politik nasional dibandingkan dengan periode Orde Baru yang belum
sepenuhnya memberikan saluran politik Islam. Kejatuhan rezim Orde Baru
membangkitkan kesadaran politik umat Islam untuk menyongsong periode
baru, yakni periode kebangkitannya. Reformasi adalah awal periode
kebangkitan kembali politik Islam di Indonesia. Dalam memahami politik
Islam di penghujung Orde Baru, ada sebuah periode yang sering disebut
sebagai fase kebangkitan politik Islam.4
Selain itu, Habibie dihadapkan pada tuntutan reformasi di semua
bidang kehidupan yang menggema di mana-mana. Dalam kaitan ini, oleh
sebagian besar masyarakat masih dianggap tidak legitimate untuk
memimpin, karena dipandang sebagai bagian dari rezim Orde Baru yang harus
disingkirkan. Hal ini tampaknya disadari pula oleh Habibie. Karena itu, sejak
kepemimpinannya yang berkisar 517 hari, Habibie banyak melakukan
tindakan populer guna mendongkrak legitimasinya dan pada saat yang sama
4
memasang kuda-kuda untuk pertarungan memperebutkan kursi presiden
periode berikutnya.
Sejarah mencatat bahwa Habibie telah memberi kebebasan yang luar
biasa kepada dunia pers, membebaskan tahanan politik (Tapol) dan
narapidana politik (Napol), menggusur Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) dari wacana politik nasional, menghapus
keharusan pemakaian asas tunggal Pancasila bagi organisasi massa (Ormas)
dan organisasi politik (Orpol), mengeluarkan Undang-Undang Otonomi
Daerah (Otoda), kebebasan mendirikan partai politik bagi seluruh masyarakat
dan komitmen untuk menyelenggarakan pemilu pada bulan Juni 1999.
Diantaranya program Kebijakan B. J. Habibie:
1. Pemberi Amnesti5 bagi Tahanan Politik.
Mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1998 tentang
Pemberian Amnesti. Sejumlah tahanan politik seperti Sri Bintang
Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan sedangkan Budiman
Sudhatmiko ketua Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada masa
Presiden Abdurahman Wahid.
2. Bidang Kebebasan Berpendapat
a. Membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai
Marzuki Darusman, tugasnya adalah mencari segala sesuatu yang
5
berhubungan dengan kerusuhan di Jakarta yang melibatkan mahasiswa
Trisakti tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta.
b. Mengeluarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang berisi
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
c. Mencabut Undang-undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Aksi Subversi dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999 pencabutan undang-undang nomor 11/PNPS/ 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi, pada tanggal 19 Mei 1999.
3. Bidang Hukum dan Perundang-undangan.
Pelaksanaan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat
tanggal 10-13 September 1998 selain mengukuhkan Habibie sebagai
presiden Republik Indonesia, juga menghasilkan perombakan
besar-besaran terhadap sistem hukum dan perundang-undangan. Sidang
Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat ini ditentang oleh gelombang
demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat dan mencapai
puncaknya dalam peristiwa Tragedi Semanggi (Semanggi I) yang
menewaskan 18 orang.
Fokus perombakan sistem hukum perundang-undangan yang
dihasilkan dalam Sidang Istimewa tersebut mengacu pada 12 ketetapan
yang terbagi menjadi tiga bagian besar, yakni:
a. Bagian ketetapan yang terdiri dari enam ketetapan Majelis
6
1) Tap MPR No. X/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang
Pokok-pokok pelaksanaan Reformasi Pembangunan sebagai
Haluan Negara.
2) Tap MPR No. XI/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang
Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang
bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
3) Tap MPR No. XIII/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang
Pembatasan Masa Tugas Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia.
4) Tap MPR No. XV/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang
Proses Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
5) Tap MPR No. XVI/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang
Penegakkan Hak Asasi Manusia.
b. Bagian ketetapan yang terdiri dari ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang mengubah dan menambah ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang lama, antara lain:
1) Tap MPR No. VII/MPR/1998 yang berisi perubahan dan
penambahan terhadap Tap MPR No. I/MPR/1983 tanggal 13
September 1998 tentang Tatib Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) Republik Indonesia.
2) Tap MPR No. XIV/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang
perubahan dan penambahan terhadap Tap MPR No. III/MPR/1983
7
c. Bagian ketetapan yang bersifat mencabut ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) lama, antara lain:
1) Tap MPR No. VIII/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 yang
berisi tentang pencabutan Tap MPR No. IV/MPR/1983 tanggal 13
September 1998 tentang referandum6 yang menjaga
undang Dasar 1945. Pencabutan Tap ini berarti pula
Undang-undang Dasar 1945 dapat dirubah dan diamandemen.
2) Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 tanggal 13 September 1998
tentang pencabutan Tap MPR No. II/ MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
3) Tap MPR No. XII/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang
pencabutan Tap MPR No. V/MPR/1978 tentang Tugas dan
Wewenang Presiden selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).
4) Tap MPR No. IX/MPR/1998 tanggal 13 September 1998 tentang
pencabutan Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara.
4. Kebebasan Pers. Presiden B. J. Habibie mengeluarkan kebijakan:
a. Menghapus Surat Ijin Usaha Percetakan dan Penerbitan (SIUPP) yang
pada masa Orde Baru menjadi hal yang menakutkan dalam pers.
b. Melakukan penyederhanaan tentang penerbitan Pers baru.
8
c. Mengeluarkan UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
5. Bidang Pemilihan Umum
Pemilihan Umum dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) Tahun 1999. Setelah Presiden B. J. Habibie mencabut
berbagai Undang-undang Politik warisan Orde Baru, kemudian
dikeluarkan 3 undang-undang Politik baru yang mulai ditetapkan pada
tanggal 1 Februari 1999, yaitu:
a. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999tentang Partai Politik.
b. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum,
diantaranya dijelaskan bahwa peraturan pemilihan umum bersifat
campuran antara sistem proporsional dan sistem distrik.
c. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Pemilihan Umum dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 yang
diikuti oleh 48 partai politik dengan sistem distrik atau perwakilan dan
asas Luber (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan Jurdil (Jujur, Adil).
Dalam pemilihan umum tahun 1999 ada lima partai yang mengumpulkan
suara terbanyak, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan diketuai
oleh Megawati Soekarno Putri, Partai Golongan Karya (GOLKAR)
9
Hamzah Haz, Partai Kebangkitan Bangsa diketuai oleh Matori Abdul
Djalil dan Partai Amanat Nasional diketuai oleh Amien Rais.
Setelah pemilihan umum selesai, kemudian dilanjutkan dengan
Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 1-21
Oktober 1999, diantaranya diputuskan:
(1) Mengukuhkan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dan Akbar Tanjung sebagai Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat.
(2) Menolak Pidato Pertanggungjawaban Presiden B. J. Habibie melalui
Tap No. III/MPR/1999 tanggal 14 Oktober 1999.
Dapat kita ketahui Habibie telah melakukan perubahan dengan
membangun pemerintahan yang transparan dan diaologis. Prinsip demokrasi
juga diterapkan dalam kebijakan pemerintahan yang disertai penegakan
hukum dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam mengelola kegiatan
cabinet sehari-haripun, Habibie melakukan perubahan besar. Beliau
meningkatkan koordinasi dan menghapus egosintesmi sekotral antar menteri.
Selain itu sejumlah kreativitas mewarnai gaya kepemimpinan Habibie dalam
menangani masalah negara.7
10
B. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini efektif dan efisien dalam memperoleh hasil temuan
ilmiah, maka pengkajian diarahkan untuk menjawab tiga topik utama yang
didasarkan pada pemaparan dalam latar belakang masalah diatas.
Adapun rumusan masalah pada pembahasan skripsi sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang berakhirnya masa Orde Baru?
2. Bagaimana hubungan Negara dan Islam pada era B. J. Habibie?
3. Bagaimana peta politik Islam pada masa Era B. J. Habibie?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang berakhirnya Orde Baru?
2. Mengetahui sistem politik Islam di Indonesia pada masa pemerintahan B.
J. Habibie (1998-1999 M)?
3. Mengetahui Peta politik Islam pada masa B. J. Habibie (1998-1999 M)?
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan ini semoga dapat memberi
bermanfaat bagi penulis sendiri, maupun bagi para pembaca atau pihak-pihak
lain yang berkepentingan.
1. Manfaat akademis
Penelitian ini didasarkan untuk melatih Mahasiswa dalam
penelitian tahap awal sebagai calon sarjana sejarah kebudayaan Islam,
11
kuliah. Hasil penelitian dimaksudkan bisa dijadikan sebagai referensi dan
dapat digunakan sebagai penelitain lebih lanjut, dengan melakukan
penelitian ini diharapkan penulis dan semua pihak yang berkepentingan
dapat lebih memahaminya.
2. Manfaat bagi Masyarakat umum.
Penelitian ini memfokuskan kepada sejarah politik islam pada
masa pemerintahan B. J. Habibe sebagai objek penelitian, sehingga
diharapkan khalayak umum dan semua yang terkait memahami sejarah
secara mendalam dan tidak menafsirkan sejarah secara garis besar tampa
mengetahui lebih dalam.
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Langkah awal sebelum penelitian, terlebih dahulu penulis harus
mengetahui pendekatan apa yang digunakan dalam penulisan skripsi. Dalam
penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan historis. Karena
penulis berusaha mengungkapkan bagaimana latar belakang Politik Pada
pemerintahan B. J. Habibie. Dalam studi sejarah menggunakan perspektif
teoritis terhadap fenomena-fenomena yang dikaji sangatlah penting, sehingga
peristiwa sejarah dapat dieksplorasi dengan kritis dan mendalam.8 Sedangkan
dalam hal perubahannya penulis menggunakan teori yang telah dikatakan
oleh Max Weber.
12
Menurut Max Weber suatu tindakan sosial itu merupakan tindakan
yang subjektif yang juga dilengkapi tindakan yang lainnya dan diorientasikan
dalam bentuk tindakan sosial. Sosiologi dikatakan sebagai ilmu berusaha
memberikan pengertian tentang aksi-aksi sosial bagi Weber, Sosiologi adalah
suatu ilmu yang berusaha memahami tindakan-tindakan sosial dengan
menguraikannya, dengan menerangkan sebab tindakan tersebut yang menjadi
inti dari sosiologi Weber bukanlah bentuk-bentuk substansial dari kehidupan
masyarakat maupun arti yang nyata dari tindakan perseorangan yang timbul
dari alasan-alasan subyektif.9
Sementara itu, dalam peranannya atau fungsinya penulis
menggunakan teori Peran. Teori peran oleh Biddle dan Thomas adalah
menyepadankan peristiwa dengan pembawa “lakon” oleh seorang pelaku
dalam sandiwara. Orang yang membawakan peran disebut “pelaku” atau
penampil. Kedua istilah itu sama-sama dapat menerangkan perihal pihak
mana yang sedang membawakan perilaku peran. Namun diantara pihak-pihak
tersebut, masih dapat dibedakan pihak mana yang menciptakan perilaku, serta
pihak mana yang mendapatkan akibat dari perilaku tersebut. Pihak pertama
disebut sebagai “lakon”, sedangkan pihak kedua disebut sebagai sasaran.10
Peranan merupakan proses dinamis dari status. Apabila seseorang
melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia
menjalankan suatu peranan. Perbedaan kedudukan dengan peranan adalah
9 Hotman M.Siahaan, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1986), 200.
13
untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan
karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya.
F. Penelitian terdahulu
1. Dinamika Pemikiran Politik Umat Islam Indonesia Pada Masa Orde Baru
Dan Orde Reformasi. Thesis. Drs. Fahrudin, M.Ag. Tesis ini lebih
mengarah kepada perjalanan politik. Tahun 1999. Jurusan Pengkajian
Islam
2. Metamorfosis Partai Politik Islam (Masyumi). Skripsi oleh Khilil Fathul
Umam. Tahun 2007. Jurusan Siyasah Jinayah
G. Metode Penelitian
Metode merupakan cara atau prosedur untuk mendapatkan objek.11
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif historis
deskriptif agar mendapatkan gambaran yang utuh, menyeluruh, dan
mendalam. Mengenai pengumpulan sumber, penulis menggunakan sumber
sekunder dengan melakukan studi literatur dari buku, jurnal, artikel, skripsi.
Buku-buku, skripsi, dan tesis, penulis dapatkan dari perpustakaan pusat UIN
Sunan Ampel Surabaya, perpustakaan daerah Surabaya dan perpustakaan
Islamic Center, sumber lain diperoleh dari media Ebook. Metode yang
digunakan penulis untuk mengkaji judul di atas sebagai berikut:
14
a. Heuristik
Berasal dari bahasa Yunani Heuristiken yang artinya
mengumpulkan atau mengumpulkan sumber. Sumber yang dimaksud
dalam kajian sejarah ini adalah sejumlah materi sejarah yang tersebar dan
teridentifikasi. seperti: Artikel, Buku, Undang-undang.
Peneliti sejarah dan sejarawan dalam mengumpulkan sumber atau
jejak sejarah itu seperti menambang emas yaitu dari biji emas yang
bercampur lumpur dan pasir sehingga biji emas tidak kelihatan. Seperti
itulah pekerjaan peneliti dan sejarawan seperti menambang emas yang
membutuhkan ketelitian dan ketelatenan.
Sumber merupakan bahan terpenting dalam proses penelitian atau
penulisan sejarah. Karena tanpa sumber seorang peneliti atau sejarawan
tidak akan mampu mengungkap fakta sejarah, dengan kata lain sejarawan
harus terlebih dahulu memiliki data sebagai alat bantu.12
b. Kritik Sumber
Sebuah upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas
sumber dengan cara melakukan kritik atau kerja intelektual dan rasional
yang mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan objektifitas suatu
kejadian.
Bekal utama seorang peneliti sejarah adalah sifat tidak percaya
terhadap semua sumber sejarah. Peneliti harus lebih dulu mempunyai
prasangka yang jelek atau ketidak percayaan terhadap sumber sejarah yang
15
tinggi. Bukan maksud tidak mempercayai sumber tapi kebenaran sumber
harus diuji terlebih dahulu dan setelah hasilnya terbikti benar maka
sejarawan baru percaya kebenaran sumber.13
c. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan penelusuran sumber. Teknik pengumpulan data tersebut
dipilih dengan pertimbangan bahwa penelusuran sumber merupakan alat
yang efisien dan efektif dalam menjaring data yang obyektif. Data sendiri
diperoleh dari perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, perpustakaan
daerah Jawa Timur, dan perpustakaan Islamic Centre.
H. Sistematika Pembahasan
Bab I: Pendahuluan untuk mengantarkan skripsi secara keseluruhan. Bab
ini terdiri dari sub bab yaitu tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode
penelitian, sistematika pembahasan.
Bab II: Membahas Berakhirnya Masa Orde Baru Dan Munculnya Era
Reformasi mulai dari Berakhirnya Masa Orde Baru, Lahirnya Era
Reformasi pada masa pemerintahan B. J. Habibie.
Bab III: Menelusuri hubungan Islam dan negara pada era B. J. Habibie,
Masuknya Politik Islam Pada Masa Pemerintahan B. J. Habibie,
Kebijakan Pada Masa Pemerintahan B. J. Habibie, Perkembangan
Politik Islam Pada Pemerintahan B.J. Habibie.
16
ab IV: Pada bab ini membahas perkembangan politik Islam pada masa
pemerintahan B. J. Habibie, dan Peta Gerakan Politik Islam Pada
Masa B. J. Habibie (1998-1999 M).
Bab V: Dalam bab ini berisikan kesimpulan Agama dan Negara (Hubungan
Islam dan Negara di bidang Politik Di Era B. J. Habibie Tahun
17
BAB II
BERAKHIRNYA MASA ORDE BARU DAN LAHIRNYA ERA REFORMASI
A. Berakhirnya Orde Baru
Pada tanggal 20 Januari 1998, presiden Soeharto secara resmi
menerima pencalonannya oleh Golkar untuk jabatan kepresidenan.1 Setelah
terpilih dan menjabat sebagai presiden, Soeharto membentuk kabinet barunya
dengan menyertakan putrinya Siti Hardiyanti Rukmana sebagai Menteri
Kesejahteraan Sosial, dan orang dekatnya Bob Hasan sebagai Menteri
Perdagangan dan Perindustrian.
Pada dasarnya secara de jure (secara hukum) kedaulatan rakyat
tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi ternyata
secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan
direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR tersebut diangkat
berdasarkan pada ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Pada awal Mei 1998 mahasiswa mempelopori unjuk rasa menuntut
dihapuskannya KKN, penurunan harga-harga kebutuhan pokok, dan Soeharto
turun dari jabatan Presiden. Ketika para mahasiswa melakukan demonstrasi
pada tanggal 12 Mei 1998 terjadilah bentrokan dengan aparat kemananan.
Dalam peristiwa ini beberapa mahasiswa Trisakti cidera dan bahkan tewas.
18
Pemerintah Soeharto semakin disorot setelah tragedi TRISAKTI
kemudian memicu kerusuhan 13 Mei 1998 sehari selepasnya.2 Gerakan
mahasiswa pun meluas hampir di seluruh Indonesia. Dibawah tekanan yang
besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk
mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan latar belakang hal tersebut, saya
mencoba menjelaskan tentang bagaimana faktor penyebab jatuhnya sistem
pemerintahaan Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, sehingga pimpinan ini
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin sistem pemerintahan
Orde Baru pada saat itu.
Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada tanggal 21 Mei 19983 yang
disertai dengan tuntutan demokratisasi di segala bidang serta tuntutan untuk
menindak tegas para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) telah
menjadi perubahan di Indonesia berlangsung dengan akselarasi yang sangat
cepat dan dinamis. Situasi ini menuntut bangsa Indonesia untuk berusaha
mengatasi kemelut sejarahnya dalam arus utama perubahan besar yang terus
bergulir melalui agenda reformasi.
B. Faktor-faktor Berakhirnya Orde Baru
Ada beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Orde
Baru dibawah kepemimpinan Soeharto antara lain krisis ekonomi dan
moneter. Pemicu dari kejatuhan pemerintahan Orde Baru ini yaitu karena
tingginya tingkat KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di dalam
19
pemerintahan, dan membengkaknya angka utang luar negeri. Transisi
pemerintahan Indonesia di masa ini dilingkup oleh berbagai gejolak.
Berbagai aksi dan demonstrasi mahasiswa marak ditemui di jalan kota
besar di Indonesia. Tinggi gejolak keamanan pun turut mewarnai periode ini.
Berbagai tindakan anarkis seperti penjarahan dan pembakaran fasilitas umum
pun turut menoreh sejarah kelam Indonesia di tahun sistem pemerintahan Orde
Baru ini. Krisis legitimasi terhadap pemerintahan Orde Baru pun mulai
menguak. Hal ini seiring dengan melambung tingginya harga barang-barang
akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Dalam sebuah rapat di Bina Graha Jakarta, Presiden Soeharto
bersama Radius Prawiro menyatakan bahwa utang luar negeri di Indonesia
mencapai 63.262 miliar dollar Amerika Serikat.4 Angka ini baru yang
dibebankan bagi negara, jumlah utang luar negeri sektor swasta Indonesia
pun mencapai miliaran dollar Amerika Serikat. Efek domino dari kondisi
kejatuhan ekonomi langsung berdampak pada kehidupan masyarakat.
Tingginya harga barang dan inflasi pun tak terelakan. Rakyat menjadi cukup
sulit memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bahkan, rakyat harus mengantri
untuk mendapatkan sembako dengan harga murah, karena harga standar
yang dijual di pasar sudah tak terjangkau lagi oleh daya beli masyarakat.
Menurunnya pamor pemerintahan Orde Baru telah dimulai semenjak
penandatanganan Soeharto mengenai perjanjian pemberian dana bantuan
20
IMF pada Medio 1997.5 Pemberian dana bantuan ini sebenarnya
mengandung kelemahan utama bagi Indonesia, dan hal ini disadari betul
oleh rakyat pada saat itu.
Masyarakat beserta mahasiswa melihat bahwa hal ini akan berdampak
pada makin menumpuknya utang Indonesia kepada luar negeri. IMF tidak
hanya memberi bantuan dana semata, akan tetapi IMF memberikan bantuan
dengan persyaratan tajam kepada Indonesia yang menyangkut dalam 4
bidang utama, yaitu pengetatan kebijakan fisikal, penghapusan subsidi,
menutup 16 bank di Indonesia, dan memerintahkan bank sentral untuk
menaikkan tingkat suku bunga. Hal ini harusnya dipikirkan mendalam oleh
pemerintah sebelum menyepakati perjanjian bantuan dana tersebut. Alhasil,
dampaknya tidak terwujud dalam perbaikan ekonomi nasional yang
signifikan, melainkan makin berdampak buruk bagi masyarakat Indonesia
yakni melambungnya jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah
garis kemiskinan meningkat yang dari 20 juta orang sampai ke angka 80
juta orang. Jutaan orang juga kehilangan pekerjaan akibat penutupan
bank-bank nasional dan sektor usaha karena tidak mendapatkan suntikan dana
dari pemerintah. Krisis ekonomi pun makin bertambah parah.
Melihat kondisi kehidupan sosial seperti ini, banyak pihak yang
menginginkan perubahan. Mahasiswa merupakan salah satu kelompok
sosial masyarakat yang paling vokal dalam menyuarakan perbaikan struktur
pemerintahan pada saat itu. Mahasiswa pun mulai menyusun strategi untuk
21
memberikan feedback atau umpan balik terhadap kelemahan sistem
pemerintahan. Berbagai aksi pun digelar. Mahasiswa kemudian menyusun
agenda reformasi yang ditujukan kepada pemerintahan Orde Baru.
Berbagai aksi-aksi yang digelar mahasiswa beserta elemen masyarakat
mulai bermunculan sejak Pebruari 1998 dan mencapai puncaknya bulan
Mei. Di Universitas Trisakti, aksi demonstrasi damai pun terjadi. Situasi
aksi damai pada hari itu berjalan dengan sangat tertib. Akan tetapi, aksi
mahasiswa yang semula damai berubah menjadi aksi kekerasan setelah
tertembaknya empat mahasiswa Trisakti oleh aparat keamanan, yaitu Elang
Mulya Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan6 dan
puluhan lainnya mengalami luka-luka serius. Dari kejadian tersebut
mengundang berbagai reaksi keras dari masyarakat dan elemen mahasiswa
di berbagai daerah. Pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998, kerusuhan massal
dari mahasiswa dan masyarakat lain mulai mengarah ke tindakan anarkis,
yakni berupa penjarahan dan penganiayaan menjalar luar di seluruh ibukota.
Toko-toko dibakar, barang-barang yang di dalamnya dijarah oleh para
oknum pelaku kerusuhan, bahkan terjadi kasus penganiayaan. Korban pun
banyak berjatuhan, yang jumlahnya mencapai ratusan. Tragedi kerusuhan
ini merupakan titik kulminasi depresi masyarakat akibat krisis ekonomi
Indonesia.
6 Mereka tertembak ketika ribuan mahasiswa Trisakti lainnya baru memasuki kampusnya setelah menggelar aksi keprihatinan. Soekisno Handikoemoro, Tragedi Trisakti 12 Mei 1998,...101. Dari
22
Suasana Jakarta saat itu pasca tragedi kerusuhan ini terus berlangsung
hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa pada
tanggal 19 mei 1998.7 Secara berbondong-bondong para mahasiswa yang
berasal dari berbagai perguruan tinggi melakukan long march menuju
gedung MPR/DPR. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya Presiden
Soeharto.
Pada tanggal yang sama, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh
masyarakat untuk datang ke Istana Negara. Agendanya adalah membahas
segala kemungkinan penanganan krisis negara. Tokoh-tokoh yang diundang
berjumlah 9 orang.8 Di dalam pertemuan ini, Soeharto meminta pendapat
apakah ia memang harus turun jabatannya sebagai presiden. Pertemuan ini
berlangsung hingga 2,5 jam dan tercapai kesepakatan untuk membentuk
suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Komite ini sebelumnya
bernama Dewan Reformasi. Namun, kemudian di ubah karena hampir mirip
dengan Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal sewaktu terjadi peristiwa
tragedi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Di dalam pertemuan ini,
juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet
Pembangunan VI, dan mengubah nama susunan kabinet Reformasi yang
bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR,
DPR, dan DPRD, UU Anti monopoli, dan UU Anti korupsi.
7 Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia VI., Op. Cit., 669.
23
Akan tetapi, dalam perkembangannya Kabinet Reformasi belum bisa
terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet
Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto
mundur dari jabatannya. Salah satu penyebab mundurnya Soeharto adalah
melemahnya dukungan politik, yang terlihat dari pernyataan politik
Kosgoro yang meminta Soeharto mundur. Pernyataan Kosgoro pada tanggal
16 Mei 1998 tersebut diikuti dengan pernyataan Ketua Umum Golkar,
Harmoko yang pada saat itu juga menjabat sebagai ketua MPR/DPR
Republik Indonesia meminta Soeharto untuk mundur.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan kemudian mengucapkan
terimakasih serta mohon maaf kepada seluruh rakyat. Soekarno
menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini
menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde
Reformasi.
C. Lahirnya Reformasi
1. Latar belakang reformasi
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya
perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah
yang lebih baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan
24
lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan.9
Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda
berbagai segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial
merupakan faktor-faktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi.10
Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang
menentukan. Artinya, reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak
boleh ditawar-tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia
mendukung sepenuhnya gerakan tersebut.
Reformasi merupakan suatu perubahan kehidupan lama dengan
tatanan perikehidupan baru yang secara hukum menuju ke arah perbaikan.
Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan
suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan terutama
perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, dan pendidikan.
Persoalan pokok yang mendorong atau menyebabkan lahirnya
gerakan reformasi adalah kesulitan warga masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan pokok. Harga-harga sembilan bahan pokok (sembako), seperti
beras, terigu, minyak goreng, minyak tanah, gula, susu, telur, ikan kering,
dan garam mengalami kenaikan yang tinggi. Bahkan, warga masyarakat
harus antri untuk membeli sembako itu.
Sementara, situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia semakin
tidak menentu dan tidak terkendali. Harapan masyarakat akan perbaikan
9 http://id.wikipedia.org/wiki/ (diakses pada tanggal 26 Desember 2014)
25
politik dan ekonomi semakin jauh dari kenyataan. Keadaan itu
menyebabkan masyarakat Indonesia semakin kritis dan tidak percaya
terhadap pemerintahan Orde Baru.
Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki
adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal.
Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki
kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya.11 Semua itu
merupakan jalan menuju terwujudnya kehidupan yang aman, tenteram,
dan damai. Rakyat tidak mempermasalahkan siapa yang akan pemimpin
nasional, yang penting kehidupan yang adil dalam kemakmuran dan
makmur dalam keadilan dapat segera terwujud (cukup pangan, sandang,
dan papan). Namun demikian, rakyat Indonesia mengharapkan agar orang
yang terpilih menjadi pemimpin nasional adalah orang yang peduli
terhadap kesulitan masyarakat kecil dan krisis sosial.
2. Faktor Lahirnya Era Reformasi
Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan
kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam
keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, tujuan
lahirnya gerakan reformasi adalah untuk memperbaiki tatanan
perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok
merupa-kan faktor atau penyebab utama lahirnya geramerupa-kan reformasi. Namun,
26
persoalan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang
mem-pengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi,
dan hukum. Pemerintahan orde baru yang dipimpin Presiden Suharto
selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam
melaksanakan cita-cita orde baru.12 Pada awal kelahirannya tahun 1966,
orde baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.13
Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak
melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan
ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat
kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk
mempertahankan kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan
krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan
reformasi, seperti berikut ini:14
a. Krisis Politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak
dari berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai
kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu
dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila.
Namun yang sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan
12 Edward, Aspinall. Titik Tolak Reformasi Hari-hari Berakhirnya Presiden Soeharto (Yogyakarta: LKIS. 2000), 333
13 Ahmad Mansyur Suryanegara, API Sejarah 2 (Bandung: PT. Salamadani Pustaka Semesta, 2002), 250
27
kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya, demokrasi
yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang
semestinya, melainkan demokrasi rekayasa.
Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti
dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari,
oleh, dan untuk penguasa. Pada masa Orde Baru, kehidupan politik
sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah
terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri
kehidupan politik yang represif, di antaranya:
1) Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah
dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan
Republik Indonesia).
2) Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi
semu atau demokrasi rekayasa.
3) Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela
dan masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.
4) Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap
warga negara (sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.
5) Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun
Suharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR,
tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak
28
b. Krisis Hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru
tidak terbatas pada bidang politik. Dalam bidang hukumpun,
pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus
dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan
untuk melayani masyarakat dengan penuh keadilan.
Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para
penguasa. Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan pasal 24 UUD
1945 yang menyatakan bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang
merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah(eksekutif).
c. Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara
sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan perekonomian
Indonesia. Ternyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi
krisis global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali
dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp
2,575.00 menjadi Rp 2,603.00 per dollar Amerika Serikat.
Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat turun menjadi Rp 5,000.00 per dollar. Bahkan, pada
bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik
terendah, yaitu Rp 14,000.00 per dollar Krisis ekonomi yang melanda
29
d. Krisis Sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab
terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak
demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik
antar etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai
kerusuhan di beberapa daerah.
Ketimpangan perekonomian Indonesia memberikan sumbangan
terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako
yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli
masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial.
e. Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah
mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden
Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan
politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem
peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak
kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.
D. Kronologi peristiwa reformasi
Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi dapat dipaparkan
30
1) Sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan B.J. Habibie
sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003.
Presiden Suharto membentuk dan melantik Kabinet Pembangunan VII.
Kondisi kehidupan bangsa dan negara tidak kunjung membaik.
Perekonomian nasional semakin memburuk dan masalah-masalah sosial
semakin menumpuk. Keadaan itu menimbulkan keprihatinan dan
kekhawatiran rakyat Indonesia.
2) Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai
bergerak menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut
penurunan harga barang-barang kebutuhan (sembako), penghapusan KKN,
dan mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan. Semakin bertambahnya
para mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyebabkan aparat
keamanan kewalahan dan terjadilah bentrok antara para mahasiswa dan
aparat keamanan.
3) Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas
Trisakti Jakarta telah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang
menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery
Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga
tewas dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Kematian
empat mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa dan
kalangan kampus untuk menggelar demonstrasi secara besar-besaran.15
31
4) Pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan
massal dan penjarahan sehingga kegiatan masyarakat mengalami
kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan isinya dijarah,
bahkan ratusan orang mati terbakar.16
5) Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi
di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki gedung MPR/DPR. Pada
saat yang bersamaan, tidak kurang dari satu juta manusia berkumpul di
alun-alun utara Keraton Yogyakarta untuk menghadiri pisowanan agung,
guna mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan
Sri Paku Alam VII.
6) Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR
mengeluarkan pernyataan berisi ‘anjuran agar Presiden Suharto
mengundurkan diri’.
7) Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Suharto mengundang tokoh-tokoh
agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam
rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden
Suharto. Namun, usaha itu mengalami kegagalan karena sebagian
tokoh-tokoh yang diundang menolak untuk duduk dalam Dewan Reformasi itu.
Sementara, mahasiswa di gedung DPR/MPR tetap menuntut Suharto turun
dari kursi kepresidenan.
8) Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara, Presiden Suharto
meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan
32
beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD 1945,
kemudian Suharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J.
Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J. Habibie dilantik
menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.17
Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan para mahasiswa, terutama
setelah pemerintah menaikkan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal
4 Mei 1998, dan agenda reformasi yang menjadi tuntunan pada mahasiswa
mencakup beberapa tuntutan, diantaranya:
1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
2. Laksanakan amandemen UUD 1945.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya.
4. Tegakkan supremasi hukum.
5. Menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.
33
BAB III
HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA PADA MASA PEMERINTAHAN B. J. HABIBIE
Hubungan Islam dan negara pada pemerintahan B. J. Habibie berjalan
dinamis bahkan cenderung romantis, hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan
yang keluarkan Presiden B. J. Habibie yang dikeluarkan pada masa itu. di antara
kebijakan yang sangat terlihat dialah kebebasan multi partai yang memberikan
angin segar di dunia perpolitikan di Indonesia. Pada dunia pendidikan juga
dikeluarkan kebijakan UU No. 22/1999 yang memberikan peluang bagi
pendidikan Islam untuk berkembang, begitu pula dengan sistem perbankkan
Indonesia yang menerapkan sistem syari'ah.
A. Politik Islam Pada Masa Pemerintahan B. J. Habibie
Era reformasi ditandai dengan kemunculan banyak parpol yang
dimulai dengan pembaharuan kebijakan pemerintahan interregnum B. J.
Habibie untuk menerapkan kembali sistem multipartai, sebagaimana pernah
terjadi di Indonesia pada dasa warsa pertama setelah kemerdekaan. Dengan
kebijakan ini, euforia politik, demokrasi dan kebebasan juga menghasilkan
penghapusan kewajiban parpol untuk menjadikan pancasila sebagai
satu-satunya asas, seperti ditetapkan pada UU keormasan 1985.1
Semua perkembangan ini mendorong munculnya sangat banyak
parpol, khususnya parpol-parpol Islam. Dari sekitar 140-an parpol yang berdiri
34
di masa Habibie, dan kemudian setelah mengalami seleksi ketat terdapat 48
parpol yang berhak mengikuti pemilu 1999. Dan dari 48 parpol ini hampir
separuhnya adalah parpol yang secara eksplisit merupakan partai Islam atau
menggunakan simbolisme Islam, atau partai berbasiskan konstituen muslim
(Muslim based-parties).2
Hal ini kemudian mendapat respon umat Islam sehingga muncullah
partai Islam yang eksklusif seperti PPP dan PKS, partai inklusif yang berbasis
konstituen muslim seperti PKB, kelompok yang berkeinginan membentuk
negara Islam melalui kekuatan Islam politik seperti PBB dan rumusan tentang
politik yang ideal dalam kacamata Islam yang fungsional dan membumi
seperti gagasan Abdurrahman Wahid, Nurkholis Madjid, Azyumardi Azra,
Komaruddin Hiadayat, Budi Munawar Rahman dan Bahtiar Effendi.
Perkembangan yang cukup menarik dalam era reformasi kaitannya
dengan reformasi politik ini menurut Azyumardi adalah terjunnya kembali
para ulama dalam kancah perpolitikan nasional, di mana sebelumnya sebagian
dari mereka tidak ikut campur tangan dalam politik. Karena pengetahuan
agama yang mendalam dan ketinggian akhlak, ulama bergerak pada berbagai
lapisan sosial. Mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat.3
Respon muslim yang semacam ini, adalah wajar karena mayoritas
penduduk Indonesia adalah muslim di mana mereka meyakini bahwa Islam
akan dapat menyelesaikan berbagai masalah, baik yang bersifat mental
spiritual maupun fisik material. Oleh karena itu, agama selalu dilibatkan oleh
2Ibid., 63.
35
para pemeluknya untuk merespon berbagai masalah aktual yang dihadapinya,
sehingga kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan.4 Termasuk
dalam hal ini adalah masalah aktual mengenai reformasi politik yang banyak
direspon cendekiawan muslim Indonesia.
B. Profil Partai Politik
1. Partai Bulan Bintang
Anggota Partai Bulan Bintang meyakini bahwa Islam adalah
agama dan sekaligus jalan kehidupan. Islam dipandang sebagai agama
rahmatan lil-alamin yang bersifat universal. PBB akan menggunakan
prinsip-prinsip universal itu sebagai rujukan dalam memecahkan
persoalan-persoalan yang membelit masyarakat dan bangsa seperti
kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi, praktik penyalahgunaan
kekuasaan, kepentingan antara hubungan pusat dan daerah, Korupsi Kolusi
dan Nepotisme (KKN), tindak kekerasan dan seterusnya. Karena itu, bagi
PBB yang paling mendasar adalah bagaimana agar prinsip, jiwa dan
semangat Islam hadir dalam setiap gerak langkah partai.5
Warga Bulan Bintang meyakini bahwa pokok-pokok akidah telah
dijelaskan secara rinci dalam Quran dan Sunnah, begitu pula yang
berhubungan dengan peribadatan. Sedangkan di bidang muamalah, Quran
4 Abuddin Nata (eds), Problematika Politik Islam di Indonesia, dalam kata pengantar Prof.
Azyumardi Azra (Jakarta: Grasido Persada, 2002), ix.
5 Yusril Ihza Mahendra, Dengan Prinsip Ummatan Wasatan Kita Perjuangkan Sistem, Bukan
Orang, Dalam Sahar L. Hasan (dkk), Memilih Partai Islam: Visi, Misi dan Persepsi (Jakarta:
36
dan Sunnah hanya memberikan prinsip-prinsip umum dan sedikit uraian,
sehingga merupakan bidang yang luas untuk melakukan ijtihad bagi
pemecahan masalah-masalah baru yang dapat timbul setiap saat dengan
selalu memperhatikan keadaan tempat dan zaman. Dalam hal ini, partai
secara leluasa dapat menggali berbagai warisan pemikiran yang
berkembang sepanjang sejarah umat manusia dengan menimbang baik
buruknya. Tradisi Islam mengakui dua jenis kitab Allah. Pertama, adalah
al-Qur'an, mushaf yang merupakan wahyu yang disampaikan kepada
Muhammad Saw., kedua, adalah Hadits, yang mencakup hukum-hukum
alam, kehidupan dan kemasyarakatan dan sunnah-Nya yang tidak berubah.
Sedangkan beraqidah Islam bermakna bahwa setiap anggota partai
dengan sungguh-sungguh meyakini keesaan Allah sebagai Tuhan
satu-satuNya yang patut dan wajib disembah, diagungkan, ditaati dan
diperhatikan suruhan dan larangan-Nya. Dengan kalimah La ila ha illalah,
partai berkeyakinan bahwa dalam seluruh alam ini, hanya Allah semata
yang tidak berubah. Tidak ada pengkultusan kepada selain Allah, dan
perubahan harus mengikuti jalan-Nya, yang berarti jalan keluhuran,
kebenaran, keadilan dan kebahagiaan seluruh umat manusia.
PBB berpendapat bahwa Dasar Negara Republik Indonesia
(Pancasila) selaras dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam universal.
Itulah sebabnya dasar bernegara PBB adalah Pancasila sebagaimana
termaktub dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
37
Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.6
Ada pun tujuan PBB dibagi menjadi dua jenis, yaitu Tujuan Umum
dan Tujuan Khusus. Tujuan Umum didirikannya partai ini adalah: (a)
mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan (b) mengembangkan
kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan
Tujuan Khususnya adalah untuk memperjuangkan cita-cita para
anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.7
2. Partai Keadilan
Partai Keadilan secara tegas menyatakan Islam sebagai asasnya.8
Sebagaimana yang dijelaskan oleh presiden partai ini9 pemakaian asas
Islam dalam berpartai dan berormas hendaknya dipahami dalam negara
yang berlandaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945. Sila pertama
Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa mengingatkan kepada
setiap insan Indonesia yang beragama Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan
6 Anggaran Dasar PBB Bab I Pasal 3.
7 Anggaran Dasar PBB Bab I Pasal 4.
8 Anggaran Dasar PK Bab I Pasal 2.
38
Budha agar memiliki tanggung jawab rabbaniah. Menurutnya masyarakat
Indonesia selayaknya menyingkirkan sikap split personality, pragmatis
dan oportunis, yaitu hanya mau melaksanakan ajaran agamanya yang
dinilainya menguntungkan, sedangkan yang dipandang merugikan atau
berisiko dibuang jauh-jauh. Dengan pemikiran seperti ini, PK meminta
agar agama lain juga menggunakan agamanya sebagai asas partai.
Permintaan ini dikemukakan oleh PK untuk membuktikan bahwa ia
memperjuangkan proses demokratisasi yang bertumpu kepada
penghargaan terhadap kemajemukan.
Penggunaan asas Islam juga dimaksudkan untuk menghapus kesan
dan ekstremisme radikalisme yang kerapkali ditembakkan kepada Islam.
PK bertekad membuktikan bahwa orang-orang Islam tidak pernah
melakukan sesuatu yang merusak, karena ajarannya memang bersifat
rahmatan lil-alamiin. Karena itu, perjuangan partai ini bertujuan
mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang adil dan makmur yang
diridlai Allah Subh nahu wata'ala.10
3. Partai Kebangkitan Bangsa
Sebuah partai cenderung memilih Islam sebagai asasnya jika
seluruh penggagas dan sebagian besar pendukungnya menganut agama
Islam. Kecenderungan ini tidak dijumpai dalam PKB. Sebagai partai yang
didirikan oleh kaum nahdliyyin yang tak satu pun dari mereka memeluk
39
agama di luar Islam, PKB lebih menyukai Pancasila daripada Islam
sebagai asasnya.
Dalam Anggaran Dasar (AD) PKB, Bab III, pasal 3 dikatakan
"Partai berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia". Pemakaian Pancasila sebagai asas partai
dilandasi oleh cara pandang tokoh-tokoh PKB dalam melihat Islam.
Mereka meyakini bahwa Islam tidak perlu dituangkan dalam bentuk
formal kelembagaan, tetapi yang paling penting adalah ajaran Islam harus
tercermin dalam tingkah laku sehari-hari, yang disebut akhlakul karimah.
Dalam konteks kepartaian, pemikiran ini tidak mempersoalkan apakah
suatu partai mencantumkan Islam sebagai asasnya atau tidak. Karena bagi
mereka kadar keislaman suatu partai tidak semata-mata terukur dari
pemasangan Islam dalam AD/ART-nya, namun lebih banyak ditentukan
oleh seberapa jauh kemampuan partai itu mewujudkan nilai-nilai Islam di
dunia politik.
PKB merupakan partai Islam dengan corak keislaman yang
substantif dapat ditemukan pula dalam Prinsip Perjuangan Partai yang
menyatakan: "Pengabdian kepada Allah Subhanahu Wata'ala, menjunjung
40
menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai
Islam Ahlussunnah wal- jama'ah".11
Walaupun kekentalan PKB dengan aspek-aspek keislaman
merupakan satu kenyataan yang tak terbantahkan, tidak membuat partai ini
tergoda untuk mendefinisikan dirinya secara tegas sebagai partai Islam,
kecuali pada waktu tertentu seperti terungkap di atas. Identifikasi PKB
sebagai sebuah partai terbuka lebih disukai dan kerapkali disuarakan oleh
para pendukungnya. Sikap seperti ini dipicu oleh dua alasan. Pertama,
sebagai partai yang dibangun oleh warga NU, semua orang tentu
mengetahui bahwa PKB pada dasarnya adalah Islam. Sehingga
gembar-gembor mengenai label Islam dan non-Islam tidak ada artinya. Kedua,
menjaga agar Islam tidak menjadi komoditas politik belaka.
Mengedepankan idiom-idiom seperti partai Islam dan politik Islam akan
berisiko tinggi. Sebab jika tidak bisa menciptakan itu semua pada dataran
realitas, maka yang menjadi korban adalah Islam. Ketiga, PKB berusaha
mewujudkan politik Rahmatan Lil-Alamin yang berusaha
mengintegrasikan spiritual keagamaan dan paham keindonesiaan yang
majemuk, mengedepankan nilai-nilai kebangsaan Indonesia dibandingkan
untuk mendirikan negara Islam ataupun menerapkan hukum-hukum Islam
secara formal.12
11 Anggaran Dasar PKB Bab III Pasal 4.
41
Komitmen terhadap nasionalisme dan spiritualisme agama
tersebut, kemudian dicerminkan dalam tiga macam tujuan partai, yaitu: (a)
mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana
dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; (2)
mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara lahir dan batin, material
dan spiritual; (c) mewujudkan tatanan nasional yang demokratis, terbuka,
bersih dan berakhlakul karimah.13
4. Partai Amanat Nasional
Ketika Soeharto masih memimpin negara Orba, Amien Rais
merupakan seorang tokoh yang tergolong gencar melontarkan kritik-krtik
tajam ke arah kekuasaan. Semua kritik dan sepak terjang yang ia lakukan
diletakkan dalam kerangka gerakan moral dan pendidikan politik, atau
amar makruf nahi mungkar (menyerukan yang baik dan mencegah yang
mungkar), sebuah ungkapan dalam bahasa agama yang sering ia gunakan.
Dalam kerangka ini ia tidak menjadikan posisi kekuasaan sebagai target
utama dari seluruh kegiatan politiknya. Itulah sebabnya setelah Soeharto
diturunkan oleh kekuatan mahasiswa yang didukung oleh rakyat, pada
dasarnya Amien Rais berniat kembali ke Muhammadiyah secara penuh
untuk mencurahkan pengetahuan dan energinya.
Akhirnya setelah melakukan ijtihad politik yang cenderung bersifat
kolektif, diputuskan membentuk Partai Amanat Nasional yang berwacana
42
inklusif dan berwajah Indonesia. Sebagai penegasan atas pilihan politik ini
maka PAN berasaskan Pancasila;14 bersifat terbuka, majemuk dan
mandiri;15 serta beridentitas menjunjung tinggi moral agama dan
kemanusiaan.16 Menurut Amien Rais, pemakaian Pancasila sebagai asas
partai dan bukan agama, dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, karena alasan
teologi. la tidak melihat adanya ayat ataupun contoh dari Nabi yang
mengharuskan memilih asas Islam dalam membangun negara. Kedua,
adalah alasan rasional, yakni tidak adanya catatan sejarah nasional yang
menceritakan kemenangan partai Islam secara mayoritas dalam
memperoleh suara pemilu. Ketiga, untuk mengayomi dan melindungi
kalangan minoritas yang senantiasa dihantui oleh rasa ketakutan ketika
umat Islam mendirikan partai agama.17
Sedangkan tujuan pembentukan PAN adalah menjunjung tinggi
dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, kemajuan material daan
spiritual.18 Dengan demikian, cita-cita PAN adalah menciptakan suatu
kehidupan negara yang demokratis, di mana kekuasaan negara yang
tertinggi berada di tangan rakyat, yang kehidupan dalam bidang sosial,
14 Anggaran Dasar PAN Bab II Pasal 3.
15 Anggaran Dasar PAN Bab II Pasal 4.
16 Anggaran Dasar PAN Bab II Pasal 5.
17 Muhammad Najib dan K.S. Himmaty. Amien Rais: Dari Yagya ke Bina Graha (Jakarta: Gema
Insani, 1999), 76-77.