• Tidak ada hasil yang ditemukan

IR PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Faktor yang Berhubungan dengan PHBS Santri di Pondok Pesantren

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IR PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Faktor yang Berhubungan dengan PHBS Santri di Pondok Pesantren"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Faktor yang Berhubungan dengan PHBS Santri di Pondok Pesantren 4.1.1 Hubungan Pengetahuan dengan PHBS Santri di Pondok Pesantren

Pengetahuan adalah salah satu faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang. Pengetahuan tentang kesehatan yang didapat oleh seorang santri dalam suatu kondisi tertentu baik yang didapatkan dari media cetak, elektronik, dimana dalam hal ini berupa pengetahuan kesehatan misalnya pengetahuan tentang manfaat mencuci tangan dan tata cara mencuci tangan dengan baik dan benar, mengosok gigi dan olahraga, dapat menjadi sebuah stimulus, kemudian dipertimbangkan dalam sikap untuk merespon dan berakhir pada pembentukan perilaku yang sehat (Lewa and Ramadhan, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh (Suryani, 2019) mendapati bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku kebersihan (P.value 0,000), dimana dari 50 responden yang memiliki pengetahuan dalam kategori baik tentang personal hygiene hanya 13 diantaranya memiliki perilaku negatif tentang personal hygiene,

dan dari 32 responden yang memiliki pengetahuan dengan katogori rendah tentang personal hygiene, sebanyak 28 diantaranya memiliki perilaku negatif tentang

personal hygine. Hasil dari penelitian tersebut sejalan dengan penelitian (Purnamasari and Megatsari, 2017) yang mendapatkan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tindakan kebersihan diri dengan nilai signifikasi 0,000 (p < 0,05), dan juga penelitian dari (Lewa and Ramadhan, 2015) yang mendapatkan hasil uji statistik Pvalue=0,034 (p<0.05), yang artinya ada hubungan antara pengetahuan tentang PHBS dengan tindakan penerapan PHBS.

(2)

Pengetahuan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tetentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentu tindakan seseorang. Pengetahuan yang diperoleh seseorang menimbulkan pengertian dan pemahaman, dengan memahami sesuatu hal yang dipelajari, seseorang mampu memberikan penilaian dimana penilaian ini dapat bersifat positif atau negative. Penilaian yang positif menimbulkan sikap positif pula, yang pada akhirnya penilain tersebut berpengaruh pada perilaku positif tentang sesuatu yang dipelajari (Zakiudin, 2016). Banyak ditemui bahwa santri yang memiliki pengetahuan tentang kesehatan yang baik cenderung memiliki perilaku hidup bersih dan sehat yang juga baik, begitu pula sebaliknya (Suryani, 2019).

Sesuai dengan teori Lawrence Green dalam (Nursalam, 2015) bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi (predisposing factor) bagi santri untuk terlaksananya perilaku hidup bersih dan sehat. Menurut Notoatmodjo Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tetentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentu tindakan seseorang (Zakiudin, 2016).

Pengetahuan dapat diartikan sebagai actionable information atau information yang dapat ditindaklanjuti atau informasi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan sebuah tindakan, untuk mengambil sebuah keputusan dan untuk menjalani / menempuh arah atau strategi tertentu. Leventhal berpendapat bahwa berbagai informasi dibutuhkan oleh individu untuk mempengaruhi sikap dan tindakan terhadap ancaman kesehatan ataupun keberlangsungan hidup seseorang.

(Nursalam, 2015).

(3)

Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal memiliki tingkat yang berbeda- beda, menurut Notoatmodjo tingkat pengetahuan seseorang dibedakan menjadi 6 yaitu yang pertama tahu (know), yang berarti seseorang dapat mengingat kembali sesuatu yang telah diamati sebelumnya. Kedua adalah memahami (comprehension), yang berarti bahwa seseorang tidak hanya sekedar tahu terhadap sesuatu tetapi juga dapat menginterpretasikan secara benar tentang hal tersebut. ketiga adalah Aplikasi (application), yang berarti seseorang telah memahami sesuatu, maka orang tersebut dapat mengaplikasikan prinsip dari hal yang dipahami. Keempat adalah analisis (analysis) yaitu indikasi bahwa pengetahuan seseorang sudah sampai pada tahap orang tersebut mampu membedakan, atau memisahkan dan mengelompokkan terhadap pengetahuannya akan suatu objek. Kelima sintesis (synthesis) yaitu dimana seseorang menunjukkan kemampuannya untuk merangkum, atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari berbagai komponen pengetahuan yang dimiliki dengan pemahaman mereka sendiri. Dan yang terakhir adalah evaluasi (evaluation), merupakan kemampuan seseorang untuk memberikan penilaian atau justifikasi terhadap pengetahuan yang dimiliki (Purnamasari and Megatsari, 2017).

Meningkatkan pengetahuan akan memberikan hasil yang cukup berarti untuk memperbaiki perilaku. Maka diperlukan suatu upaya untuk memberikan stimulus lebih kepada santri di pondok pesantren berupa pemberian informasi- informasi yang akan meningkatkan pengetahuan mereka. Banyak sekali sumber pengetahuan yang bisa didapatkan oleh para santri di pondok pesantren seperti memperoleh pengetahuan dengan baik dari pemahaman santri itu sendiri yang secara bertahap akan mereka terima, baik pengetahuan yang berasal dari dirinya sendiri, berdasar

(4)

pengalam hidup maupun melalui teman sebaya, ustadz/ ustadzah, kyai maupun dari pengurus pondok (Putri, Priyadi Nugraha P and Syamsulhuda BM, 2017). Banyak media yang bisa dioptimalkan untuk meningkatkan pengetahuan santri seperti media cetak berupa koran, majalah, brosur dan lainnya yang memuat tentang informasi kesehatan. Dengan demikian akan meningkatkan pengetahuan santri dan memberikan stimlus pada terbentuknya perilaku hidup bersih dan sehat santri di pondok pesantren yang lebih baik lebih baik.

4.1.2 Hubungan Sikap dengan PHBS Santri di Pondok Pesantren

Sikap santri yang menunjukkan sikap menerima, merespon, menghargai dan bertanggung jawab terhadap PHBS memberikan dampak yang positif bagi praktik PHBS mereka, dan begitu pula sebaliknya. Penelitian yang dilakukan oleh (Lewa and Ramadhan, 2015) menunjukkan adanya hubungan antara sikap dengan perilaku hidup bersih dan sehat, dengan uji statistik diperoleh Pvalue=0,045 (= 0,05). Dalam penelitian ini didapati bahwa dari 60 responden didapatkan 40 responden dengan sikap yang baik dan 20 responden dengan sikap yang kurang baik. Dari 40 responden dengan sikap yang baik sebanyak 36 responden (90%) memiliki PHBS yang baik pula.

Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian tentang sikap dan personal hygiene yang dilakukan oleh (Suryani, 2019) dimana terdapat hubungan antara

sikap dengan perilaku personal hygiene (Pvalue=0,000). Dimana pada penelitian tersebut didapatkan dari 47 responden yang memiliki sikap positif tentang personal hygiene hanya 12 diantaranya memiliki perilaku negatif tentang personal hygiene, dan dari 35 responden yang memiliki sikap negatif tentang personal hygiene 29 diantaranya memiliki perilaku negatif tentang personal hygiene. Penelitian dari

(5)

(Bramantoro et al., 2020) juga menyebutkan bahwa sikap memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku kebersihan mulut santri dengan nilai (p=0,003). Namun dari ketiga penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Purnamasari and Megatsari, 2017) tentang determinan yang berhubungan dengan tindakan kebersihan diri santriwati di pondok pesantren X Jombang pada tahun 2017, dimana penelitian ini medapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara sikap dengan tindakan kebersihan diri (Pvalue =0,273 > 0,05).

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Lawrence Green dalam (Putri, Priyadi Nugraha P and Syamsulhuda BM, 2017) bahwa sikap merupakan salah satu faktor predisposisi (predisposing factor) yang dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku seseorang. Menurut Notoatmodjo sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulasi atau objek. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan merupakan predisposisi dari suatu tindakan atau perilaku. Sikap terhadap kesehatan adalah suatu penilaian seseorang terhadap hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan layaknya sikap terhadap penyakit, sikap terhadap faktor yang mempengaruhi kesehatan, sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan dan sikap untuk menghindari penyakit/kecelakaan (Suryani, 2019).

Menurut Maulana dalam (Purnamasari and Megatsari, 2017) sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk bertindak/berperilaku dengan suatu pola tertentu, terhadap suatu objek terkait pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut. Sikap tidak dapat dilihat, tetapi dapat ditafsirkan dari perilaku yang tertutup. Sikap merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial yang didapatkan.

(6)

Sikap seseorang diturunkan dan dilandasi oleh pengetahuan yang dimiliki, dengan demikian untuk menentukan sikap yang baik harus didasari oleh pengetahuan yang baik pula. Dengan meningkatkan pengetahun maka dapat memperbaiki sikap seseorang yang pada akhirnya akan menghasilkan perilaku yang baik pula sesuai apa yang menjadi landasan dari perilaku tersebut (Lewa and Ramadhan, 2015). Perilaku santri harus dibentuk dengan memberikan informasi / pendidikan tentang kesehatan melalui promosi kesehatan dan media yang bisa dioptimalkan di lingkungan pondok pesantren seperti selebaran, surat kabar, majalah, dan program promosi kesehatan lainnya, sehingga mampu menghasilkan respon santri berupa sikap yang baik dan mewujudkan perilaku hidup bersih dan sehat yang baik di lingkungan pondok pesantren.

4.1.3 Hubungan Peran dan Dukungan dengan PHBS Santri di Pondok Pesantren Peran dan dukungan dari orang lain merupakan faktor eksternal terhadap praktik PHBS yang dilakan oleh seseorang (Selviana et al., 2018). Dukungan orang lain yang didapatkan oleh santri berasal dari kyai/pengasuh pondok, ustadz dan ustadzah, pengurus pondok, tenaga kesehatan yang berada di lingkungan pondok pesantren, teman, dan juga dari orang tua santri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Suryani, 2019) didapatkan bahwa dukungan dapat mempengaruhi perilaku tentang personal hygiene (P.value 0,000), dimana dari 43 responden yang mendapatkan dukungan untuk melakukan personal hygiene hanya 13 diantaranya memiliki perilaku negatif tentang personal hygiene, dan dari 39 responden yang tidak mendapatkan dukungan untuk melakukan personal hygiene 28 diantaranya memiliki perilaku negatif tentang personal hygiene.

(7)

Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh (Lestari, 2018) yang mengkategorikan dukungan menjadi dua yaitu dukungan guru dan dukungan orang tua, masing-masing dilakukan uji statistik dan mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan dari guru (Pvalue =0,047) dan dukungan orang tua (Pvalue=0,046) dengan praktik perilaku hidup bersih dan sehat.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fanny ayu pada tahun 2017 yang meneliti tentang faktor yang mempengaruhi praktik PHBS pencegahan penyakit TB paru pada santri di pondok pesantren Nurul Hasan Kabupaten Magelang. Dalam penelitiannya Fanny ayu mendapati bahwa terdapat hubungan antara dukungan teman sebaya dengan praktik PHBS santri (Pvalue= 0,0001<0,05), ada hubungan antara dukungan kyai dengan praktik PHBS santri (Pvalue= 0,001

< 0,05), ada hubungan antara dukungan ustadz dan ustadzah dengan praktik PHBS santri (Pvalue==0,015 < 0,05), ada hubungan antara pengurus pondok dengan praktik PHBS santri (Pvalue=0,0001 < 0,05) (Putri, Priyadi Nugraha P and Syamsulhuda BM, 2017).

Penelitian tersebut juga sejalan dengan penelitian oleh Zakiudin tentang perilaku kebersihan diri (personal hygiene) santri di pondok pesantren wilayah Kabupaten Brebes yang dilakukan pada tahun 2016. Dalam penelitiannya zakiudin mendapati bahwa ada hubungan antara dukungan kyai /pengasuh pondok dengan perilaku kebersihan diri santri (Pvalue= 0,002 < 0,05), ada hubungan antara dukungan teman dengan praktik kebersihan diri santri (Pvalue = 0,000 < 0,05), ada hubungan antara dukungan tenaga kesehatan dengan praktik kebersihan diri santri (Pvalue= 0,000 <0,05), dan ada hubungan antara dukungan depag (departemen

(8)

agama) dengan praktik kebersihan diri santri (Pvalue=0,013 <0,05) (Zakiudin, 2016).

Sesuai teori yang dikemukakan Lawrence Green bahwa salah satu faktor pendorong (reinforcing factor) yang dapat berupa perilaku, sikap dan peran (role) dari orang lain yang mampu memberikan motivasi/dorongan pada seseorang sehingga orang itu dapat melakukan /menirukan apa yang dilakukan oleh orang lain (Nursalam, 2015). Dukungan merupakan salahsatu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Ketika perilaku dalam pelaksanaan PHBS bertentangan atau tidak mendapat dukungan maka akan menciptakan ketidaknyamanan dan akan mempengaruhi pelaksanaan PHBS (Suryani, 2019).

Peranan orang tua sangat kuat untuk mengubah perilaku anak ke arah yang lebih baik sehingga bila orang tua memiliki pengetahuan yang baik dan waktu yang cukup untuk memberikan contoh tentang PHBS dan memberikan informasi tentang manfaat, tujuan dan arti penting PHBS bagi anak di lingkungan sekolah maka praktik anak terhadap PHBS menjadi lebih baik (Selviana et al., 2018).

Pada kalangan pesantren Kyai merupakan alim ulama yang juga berperan sebagai guru, pengasuh pesantren, dan juga pengambil keputusan di pondok pesantren. Dalam hal ini kyai adalah salah satu dari komponen sosial pesantren yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap yang nantinya dapat mendorong dalam pembentukan perilaku kesehatan. Selain kyai Ustadz dan Ustadzah juga merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam kegiatan belajar mengajar. ustadz dan ustadzah dapat memberikan dukungan berupa himbauan melalui pemberian informasi mengenai PHBS, memberikan informasi tentang pentingnya membiasakan diri untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan serta

(9)

menumbuhkan kesadaran dalam diri para santri tentang pentingnya PHBS di lingkungan pondok Pesantren (Putri, Priyadi Nugraha P and Syamsulhuda BM, 2017).

Dalam lingkungan pondok pesantren peran dari petugas kesehatan juga sangat diperlukan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan para santri secara rutin dan melaksanakan penyuluhan kesehatan secara rutin. Sehingga dengan informasi yang selalu diberikan pada santri diharapkan santri dapat memiliki kesadaran diri dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat baik di pesantren maupun ditempat lainnya (Fatmawati et al., 2016). Peran dan dukungan yang penting dalam membentuk perilaku juga dipegang oleh seorang pengurus pondok. Tidak hanya sebagai pemberi perintah tetapi juga sebagai pembimbing dan pengontrol kegiatan santri di asrama, seornag pengurus mampu membentuk perilaku PHBS yang baik.

Dukungan dari pengurus pondok dalam mewujudkan PHBS pada santri dapat diwujudkan dengan mengingatkan, menghimbau dan mempraktikkan / memberi contoh dalam mempraktikkan PHBS yang baik (Putri, Priyadi Nugraha P and Syamsulhuda BM, 2017).

Teman sebaya juga memiliki peran yang cukup besar bagi pembentukan PHBS khususnya di lingkungan sekolah atau pondok pesantren. Teman sebaya (peers) dapat menjadi panutan atau idola bagi teman lainnya, artinya bila salah satu anak mempraktikkan PHBS yang baik lalu mengajak atau mengingatkan teman- temannya, maka dapat memberikan efek yang baik bagi peningkatan PHBS pada lingkungannya. Hal tersebut terjadi karena seorang anak secara psikologis cenderung meniru apa yang dilihat dalam kesehariannya termasuk juga perilaku kesehatan yang dilakukan dan dipraktikkan temannya (Selviana et al., 2018).

(10)

Dukungan dari lingkungan sekitar dapat memberikan informasi kepada santri terkait dengan hal-hal yang dialaminya dan apa yang harus dilakukan remaja dalam upaya membentuk identitas dirinya (Suryani, 2019). Dukungan yang diberikan berbagai pihak dapat mendorong terwujudnya perilaku hidup bersih dan sehat pada kalangan santri di pondok pesantren. Semua pihak yang ada di lingkungan pesantren dapat berperan dan memberikan dukungan baik berupa dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan penghargaan ataupun dukungan yang bersidat informatif, dimana dengan adanya peran dan dukungan yang baik dari banyak pihak santri akan merasa nyaman dan mudah dalam melakukan praktik PHBS yang baik di pondok pesantren.

4.1.4 Hubungan Peberian Pendidikan, Sosialisasi dan Informasi dengan PHBS Santri di Pondok Pesantren

Informasi merupakan data yang telah di proses sedemikian rupa sehingga meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakan informasi tersebut.

Pendidikan kesehatan / pemberian informasi kesehatan sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan yang nantinya dapat berpengaruh pada perilaku kesehatan seseorang. Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suryani, 2019) yang mendapatkan hasil bahwa ada pengaruh antara pemberian informasi dengan perilaku personal hygiene (Pvalue=0,000 < 0,05), dimana dari 40 responden yang mendapatkan informasi hanya 6 diantaranya memiliki perilaku negatif tentang personal hygiene, dan dari 42 responden yang tidak mendapatkan informasi sebanyak 35 diantaranya memiliki perilaku negatif tentang personal hygiene.

(11)

Penelitian tersebut relevan dengan penelitian lain yang dilakukan oleh (Rochmawati and Rahayu, 2017) yang melakukan penelitian dengan memberikan intervensi peer education kepada salah satu dari dua kelompok (intervensi dan kontrol) dan didapatkan hasil bahwa kelompok intervensi (diberi peer education ) mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara perilaku sebelum setelah intervensi yang meliputi perilaku kebersihan diri, kesehatan reproduksi, kebersihan lingkungan, mencuci tangan serta penggunaan jamban dan air bersih dalam kategori baik.

Penelitian tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zakiudin yang mendapatkan hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara pemberian sosialisasi informasi / pendidikan kesehatan dengan perilaku personal hygiene (Pvalue=0,000 < 0,05) (Zakiudin, 2016). Pada penelitian yang dilakukan oleh tantut susanto mendapatkan hasil bahwa beberapa indikator PHBS santri diantaranya makan jajan/makanan sehat, olahraga teratur dan terukur, menggunakan jamban bersih dan sehat, serta memberantas jentik nyamuk menjadi lebih baik setelah para santri mendapatkan promosi kesehatan (Susanto et al., 2016).

Menurut teori Lawrence Green bahwa perilaku kesehatan dibentuk oleh tiga faktor penting utama yaitu faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor), dan faktor pendorong (reinforcing factor), yang mana setiap faktor dipengaruhi oleh promosi kesehatan yang ada di lingkungan tersebut (Nursalam, 2015). Program promosi kesehatan khususnya PHBS merupakan upaya preventif berbasis perubahan perilaku masyarakat secara luas, dimana sasaran promosi tidak terbatas pada kebersihan, namun lebih luas dan komprehensif,

(12)

mencakup perubahan lingkungan fisik, biologi serta sosial budaya (Rochmawati and Rahayu, 2017).

Promosi kesehatan merupakan determinan penting dalam membantuk perilaku hidup sehat masyarakat, keluarga dan individu (Zakiudin, 2016).

Pendidikan kesehatan memberikan informasi yang dapat diterima individu, kemudian akan mempengaruhi pengetahuan individu tersebut. Hal itu dikarenakan pengetahuan merupakan representasi yang dipercayai seorang individu terhadap suatu objek. Adanya pengetahuan akan mempengaruhi sikap seseorang sehingga pada akhirnya sikap tersebut akan turut mempengaruhi perilaku individu (Suryani, 2019).

Dengan adanya promosi kesehatan dapat memberikan informasi yang membuat seorang individu menjadi tahu tentang manfaat dari melakukan perilaku kesehatan serta dampak yang ditimbulkan apabila tidak melakukan perilaku kesehatan yang baik dan benar. promosi kesehatan / informasi bisa didapatkan dari banyak sumber seperti media cetak surat kabar, brosur, majalah, ataupun berasal dari orang lain yang ada disekitar bahkan juga petugas kesehatan. Promosi Kesehatan sebagai determinan penting dari perilaku sehat, dan menjadikan strategi promosi kesehatan sebagai program untuk meningkatkan perilaku sehat atau perilaku hidup bersih dan sehat dari masyarakat, keluarga dan individu (Zakiudin, 2016)

4.1.5 Hubungan Sosial Budaya dan Norma dengan PHBS Santri di Pondok Pesantren

Sosial budaya dan norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat ataupun dalam kehidupan di lingkungan pesantren dapat memberikan pengaruh pada

(13)

perilaku orang yang ada di lingkungan tersebut. hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Lestari, 2018) yang mendapatkan hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara sosial budaya responden dengan rendahnya pelaksanaan PHBS, dibuktikan dengan P value (0,025) ≤ (0,05). Penelitian lain oleh Bramantoro juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara norma dengan keinginan untuk berperilaku ditunjukkan dengan hasil uji statistik mendapatkan Pvalue=0,035 <

0,05 (Bramantoro et al., 2020).

Menurut Suparianto dalam (Lestari, 2018) sosial budaya merupakan sesuatu hal komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, norma, hukum, adat istiadat, kemampuan- kemampuan, serta kebiasaan yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Becker, Self-care berkembang beriringan dengan perkembangan kehidupan seorang individu, bergantung pada kebiasaan seorang individu, keyakinan yang dimiliki, dan sosial budaya, termasuk biopsikososial- spiritual. Hal ini menyangkut konsep diri dari seorang individu, sehingga keyakinan seorang individu dapat mempengaruhi persepsinya, yang mana nantinya dapat membentuk sebuah tindakan atau perilaku pada individu tersebut (Nursalam, 2015).

Santri yang melaksanakan PHBS di lingkungan pondok pesantren dapat dikarenakan ajaran dari lingkungan pesantren dan budaya pesantren yang sering menerapkan PHBS. (Lestari, 2018) norma dan ajaran agama yang berlaku di pondok pesnatren juga menuntut santri untuk berperilaku hidup bersih dan sehat memberikan dampak yang baik bagi praktik PHBS santri di pondok pesantren.

Lingkungan pondok pesantren mendidik dan membentuk pribadi santri dalam segala aspek sesuai dengan nilai dan norma agama islam termasuk aspek kesehatan (Bramantoro et al., 2020).

(14)

4.1.6 Hubungan Jenis Kelamin dengan PHBS di Pondok Pesantren

Jenis kelamin (seks) menurut Hungu dalam (Zakiudin, 2016) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir.

Hasil penelitian / uji statistk yang dilakukan oleh Zakiudin dalam penelitiannya tentang perilaku kebersihan diri (personal hygiene) santri di pondok pesantren di wilayah kabupten Brebes diperoleh Pvalue = 0,000 < 0,05 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan perilaku kebersihan diri (personal hygiene) santri di pondok pesantren (Zakiudin, 2016). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Putri, Priyadi Nugraha P and Syamsulhuda BM, 2017) dengan menggunakan Chi Square Test didapatkan Pvalue 0,0001 < 0,05, yang berarti ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan perilaku PHBS.

Hal ini sesuai dengan teori Lawrence Green tentang perubahan perilaku bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah faktor predisposisi. Jenis kelamin merupakan salah satu dalam faktor predisposisi.

Menurut Santrock dalam (Zakiudin, 2016) mengemukakan bahwa istilah gender dan seks memiliki perbedaan dari segi dimensi. Isilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis seorang laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial-budaya seorang laki- laki dan perempuan. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki lebih cepat dapat berfikir dan memutuskan permasalahan namun lemah dalam hal kedisiplinan dan ketelatenan, termasuk dalam hal praktik PHBS yang seharusnya diterapkan terhadap dirinya sendiri (Putri, Priyadi Nugraha P and Syamsulhuda BM, 2017).

(15)

Dalam lingkungan pondok pesantren baik santri putra ataupun santri putri, dalam hal peraturan, fasilitas, serta kewajiban menjaga kebersihan semuanya tidak memiliki perbedaan antara keduanya, namun pada santri putra kurang memiliki ketelatenan serta kedisiplinan dalam hal praktik PHBS, lain hal nya dengan santri putri yang cenderung lebih peduli dan telaten/disiplin dalam menjalankan praktik PHBS (Putri, Priyadi Nugraha P and Syamsulhuda BM, 2017). Kebiasaan santri putra yang sering teledor / tidak konsisten menjadikan praktik PHBS dinilai kurang jika dibandingkan dengan santri putri, meskipiun masih ada santri putra yang baik dalam melakukan praktik PHBS.

4.1.7 Hubungan Ketersediaan Fasilitas dan Sarana Prasarana dengan PHBS Santri di Pondok Pesantren

Sarana dan prasarana adalah seperangkat alat yang digunakan dalam suatu proses kegiatan yang dapat membantu / mempermudah pelaksanaan kegiatan tersebut. Ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melaksanakan personal hygiene. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Linda suryani tentang faktor yang mempengaruhi perlaku remaja putri tentang personal hygiene, mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara ketersediaan fasilitas dengan perilaku personal hygiene, dengan Pvalue 0,000< 0,05 (Suryani, 2019).

Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian oleh (Putri, Priyadi Nugraha P and Syamsulhuda BM, 2017) tentang faktor yang mempengaruhi praktik PHBS pencegahan TB paru pada santri di pondok pesantren Nurul Hasan Kabupaten Magelang, dimana uji statistik mendapatkan hasil Pvalue 0,0001 < 0,05, yang berarti terdapat hubungan antara ketersediaan fasilitas kesehatan dengan praktik

(16)

PHBS santri di pondok pesantren. Hasil yang serupa juga didapatkan oleh Zakiudin dalam penelitiannya tentang perilaku kebersihan diri (personal hygiene) santri di pondok pesantren wilayah kabupaten Brebes, yang mendapatkan hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara ketersediaan fasilitas kesehatan dengan perilaku kebersihan diri santri di pondok pesantren (Pvalue=0,000<0,05) (Zakiudin, 2016).

Teori Perilaku kesehatan oleh Lawrence Green mengatakan bahwa Ketersediaan fasilitas kesehatan merupakan faktor pendukung (enabling factor) yang digambarkan sebagai faktor- faktor yang memungkinkan (membuat lebih mudah) seorang individu atau populasi untuk membentuk/merubah perilaku atau lingkungannya. Faktor pendukung mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan, misalnya fasilitas pelayanan kesehatan, keterjangkauan berbagai sumber daya baik biaya, jarak dan tersedianya transportasi untuk menjangkau sumber daya kesehatan (Suryani, 2019). Sarana adalah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja dan fasilitas yang berfungsi sebagai alat utama/pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan/ tindakan.

Faktor pendukung dalam pelayanan kesehatan adalah faktor sarana prasarana atau alat dan setiap tindakan yang dilakukan dalam membantu terwujudnya praktik personal hygiene. Lengkap atau tidak lengkapnya fasilitas yang diberikan oleh pondok pesantren dapat mempengaruhi santri dalam melakukan praktik PHBS dengan baik. Semakain terpenuhinya fasilitas, maka santri pun akan semakin disiplin dalam melakukan praktik PHBS (Putri, Priyadi Nugraha P and Syamsulhuda BM, 2017). Seorang individu tidak mungkin bisa melakukan personal hygiene yang baik dan benar apabila tidak tersedia sarana, misalnya

(17)

seorang santri tidak bisa mempraktikkan cuci tangan yang baik dan benar apabila tidak tersedia toilet/wastafel yang bersih, air yang bersih, sabun cuci tangan.

4.1.8 Hubungan Ketersediaan Peraturan dengan PHBS Santri di Pondok Pesantren Peraturan dalam lingkungan pondok pesantren mempunyai hubungan yang erat dengan praktik PHBS karena peraturan merupakan pedoman dalam melakukan kegiatan santri, termasuk dalam praktik penerapan PHBS dalam kehidupan sehari- hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fanny ayu dan kawan-kawan, mendapatkan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan Chi square test Pvalue 0,007 < 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara ketersediaan peraturan pondok pesantren dengan praktik PHBS santri (Putri, Priyadi Nugraha P and Syamsulhuda BM, 2017). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zakiudin tentang perilaku kebersihan diri (personal hygiene) santri di pondok pesantren wilayah kabupaten Brebes, yang mendapatkan hasil uji statistik Pvalue 0,001<0,05 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara ketersediaan peraturan dengan perilaku kebersihan diri santri di pondok pesantren.

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi perilaku, salah satunya faktor pendukung (enabling factor) yakni adanya peraturan/kebijakan. Peraturan merupakan acuan bagi praktik PHBS di tatanan pondok pesantren. Adanya peraturan sebagai bentuk kebijakan atau perwujudan dari komitmen pondok pesantren terhadap kedisiplinan, kesehatan dan kebersihan para santri sehingga akan berdampak pada upaya pencegahan penyakit (Putri, Priyadi Nugraha P and Syamsulhuda BM, 2017).

(18)

Ketersediaan peraturan di pondok pesantren adalah suatu hal yang pasti adanya. Peraturan tersebut mendijadi sebuah pedoman /acuan bagi para santri untuk melakukan kegiatan dan berperilaku sehari-hari. Semakin baik peraturan tentang kebersihan dan kesehatan maka perilaku santri tentang kebersihan dan kesehatan akan menjadi semakin baik pula, karena dengan adanya setiap peraturan pasti memiliki tujuan tertentu dan akan ada konsekuensi tertentu pula bagi orang yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Sehingga para santri yang tinggal dipondok pesantren dengan peraturan tentang kesehatan yang baik, cenderung akan mentaati peraturan tersebut dan pada akhirnya akan dapat mempraktikan PHBS dengan baik.

Referensi

Dokumen terkait

a. Pemilik toko kelontong yang berada di sekitar area spacial ritel modern sebagi korban utama dari dampak ritel modern Indomaret dan Alfamart. Subjek utama dari

Bidang PBB &amp; BPHTB Bidang Pajak Daerah &amp; Pendapatan Lain- lain Subbag Umum &amp; Kepegawaian Bidang Anggaran UPT Bidang Akuntansi &amp; Perbendaharaan Seksi

1. Para guru/ustad pada Madrasah Diniyah di NTB yang menjadi obyek penelitian ini dilihat dari kompetensi profesionalnya, temyata masih belum menggembirakan karena

Berdasarkan hasil penelitian terdapat adanya pengaruh secara parsial antara variabel Bukti Fisik (X1), Keandalan (X2), Daya Tanggap (X3), Jaminan (X4), dan Empati (X5)

 KHUSUS pertanyaanNo. Pada ke#amilan &#34;erak#ir, a$aka# i%u melakukan $emeriksaan ke#amilan minimal 4 kali-  Bagi  keluarga yang mempunyai bayi .. a. Pada ke#amilan &#34;erak#ir

Hasil ini menunjukkan bahwa primer YNZ-22 merupakan genetic marker yang terbaik untuk menganalisa keragaman genetik ikan kerapu macan, karena primer inilah yang

Adanya kontrol terhadap variabel-variabel luar ( extraneous variables ). Setidaknya terdapat satu variabel yang dimanipulasikan. Adapun proses pemerolehan data dalam penelitian

Tanaman meniran (Phyllanthus niruri L.) telah banyak digunakan sebagai obat baik pada manusia maupun pada binatang ternak. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang efektivitas ekstrak