• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisa Material

Pada penelitian ini analisa material yang kami lakukan ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu fly ash, pasir silika, dan kerikil. Analisa yang kami lakukan pada fly ash berupa analisa specific gravity, analisa X-Ray Fluorosence (XRF), kadar pH, dan particle size distribution. Bentuk dan warna fly ash dapat dilihat pada Gambar 4.1. Kemudian pada pasir silika analisa berupa specific gravity, gradasi ayakan, fineness modulus, dan kandungan air dalam kondisi SSD. Pasir dapat dilihat pada Gambar 4.2. Sedangkan pada kerikil analisa yang dilakukan berupa gradasi ayakan, berat volume, water content dan specific gravity. Kerikil dapat dilihat pada Gambar 4.3. Selain itu, spesifikasi larutan sodium silikat dan padatan sodium hidroksida diperoleh dari certificate of analysis. Larutan sodium silikat dan padatan sodium hidroksida dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5.

Gambar 4.1 Fly ash Gambar 4.2 Pasir silika

(2)

Gambar 4.4 Larutan sodium silikat Gambar 4.5 Padatan sodium hidroksida

4.1.1. Analisa Fly ash

Analisa Fly ash yang kami lakukan adalah warna material dan identifikasi asal, specific gravity, kadar pH, X-Ray Fluorosence (XRF), dan particle size distribution. Dari hasil analisa didapatkan hasil berikut. Fly ash berasal dari PLTU Paiton unit 9 dan berwarna coklat dapat dilihat pada Gambar 4.1. Nilai specific gravity fly ash PLTU Paiton unit 9 sebesar 2.501. Analisa X-Ray Fluorosence (XRF) dilakukan untuk mengetahui kandungan yang ada di dalam fly ash. Hasil pengujian XRF dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Lampiran 5.

Tabel 4.1 Komposisi Fly ash dari PLTU Paiton Unit 9, Jawa Timur

No. Oksida %wt No. Oksida %wt

1 SiO 2 29.67 7 K 2 O 1.20

2 Al 2 O 3 14.86 8 Na 2 O 1.33

3 Fe 2 O 3 24.89 9 SO 3 1.03

4 TiO 2 1.18 10 MnO 2 0.3

5 CaO 19.07 11 Cr 2 O 3 0.02

6 MgO 4.96 12 LOI -

SiO 2 + Al 2 O 3 + Fe 2 O 3 69.42 66.95

Fly ash yang digunakan adalah tipe C (high calcium fly ash) dengan

kandungan SiO 2 +Al 2 O 3 +Fe 2 O 3 lebih dari 50% tetapi kurang dari 70% yaitu 66.95

dan kadar CaO diatas 10% yaitu 19.5. Berdasarkan ASTM C 618 (2010), fly ash

tipe C memiliki kandungan SiO 2 + Al 2 O 3 + Fe 2 O 3 minimal 50% sedangkan untuk

fly ash tipe F memiliki kandungan SiO 2 + Al 2 O 3 + Fe 2 O 3 minimal 70%. Selain itu

(3)

menggunakan pH meter digital sesuai standar ASTM D 5239 – 12 (2004). Hasil pengujian menunjukkan nilai pH dari fly ash sebesar 11.4 seperti pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Hasil pengujian pH meter digital

Hasil pengujian particle size distribution dari fly ash tipe C dari Paiton unit 9 yang dilakukan oleh Unit Analisis dan Pengukuran Jurusan Kimia FMIPA Universitas Brawijaya Malang dapat dilihat pada Gambar 4.7 dan Lampiran 6.

Hasil menunjukkan gradasi ukuran fly ash dengan diameter 44.5 μm lolos sebanyak 90%, diameter 12.27 μm lolos sebanyak 50%, dan diameter 0.75 μm lolos sebanyak 10%. Specific surface area dari fly ash tipe C Paiton unit 9 sebesar 14752.76 cm 2 /g.

Gambar 4.7 Hasil pengujian particle size distribution

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0.10 1.00 10.00 100.00

C u mu la ti ve Pa ss in g ( % )

Particle Diameter ( µm )

(4)

4.1.2. Analisa Pasir

Pada analisa pasir, kami melakukan pengujian specific gravity (GS) yang dilakukan sesuai dengan standar ASTM C128 – 88 (1993) dan mendapatkan hasil sebesar 2.66. Selain itu kami melakukan analisa fineness modulus dan analisa gradasi ayakan yang dilakukan sesuai dengan standar ASTM C136 (1993). Nilai fineness modulus didapat sebesar 2.452 dan hasil analisa gradasi ayakan dapat dilihat pada Gambar 4.8. Pengujian kadar air yang terkandung dalam pasir silika kondisi SSD (Saturated Surface Dry) yang kami dapatkan sebesar 0.32%.

Pengujian ini didasari pada standar ASTM C128 (1993).

Gambar 4.8 Grafik hasil analisa ayakan pasir silika

4.1.3. Analisa Kerikil

Analisa kerikil yang kami lakukan ialah pengujian specific gravity (GS) dengan hasil 2.504 yang dilakukan sesuai dengan standar. Selain itu kami melakukan analisa gradasi ayakan dan finess modulus sesuai dengan standar SNI 1969-2008 (2008). Hasil dari gradasi ayakan dapat dilihat pada Gambar 4.9 serta nilai fineness modulus sebesar 7.05. Selain itu kadar air yang terkandung dalam kerikil pada kondisi SSD yang kami dapatkan sebesar 2.49 %. Pengujian ini didasari pada standar SNI 1969-2008 (2008).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0.1 0.5 2.5

C u mu la tive P a ss in g ( %)

Ukuran Ayakan (mm)

(5)

Gambar 4.9 Grafik hasil analisa ayakan kerikil

4.1.4. Data Analisa Sodium Silikat dan Sodium Hidroksida

Data spesifikasi sodium silikat didapat dari Toko Indokimia dan sodium hidroksida yang didapat dari Toko Bratachem. Sodium silikat yang digunakan berbentuk cairan yang kental. Hasil certificate of analysis sodium silikat dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Lampiran 7.

Tabel 4.2 Hasil Certificate of Analysis Sodium Silikat Parameter Standard Provision Analysis

Result Test Method

H 2 O - 46.06 % -

Na 2 O 15.85 – 17.50 16.10 % SNI 06-2131-1991

SiO 2 31.70 – 42.00 37.84 % -

Ratio SiO 2 / Na 2 O 2.00 – 2.40 2.35 -

Baume 57 – 59 58 SNI 06-0127-1987

Sedangkan hasil certificate of analysis padatan sodium hidroksida dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan pada Lampiran 8.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

5 25

C u mu la tive P a ss in g ( %)

Ukuran Ayakan (mm)

(6)

Tabel 4.3 Hasil Certificate of Analysis Padatan Sodium Hidroksida

Sodium hidroksida yang digunakan berbentuk padatan atau flakes yang nantinya akan dilarutkan dengan air untuk pembuatan beton. Larutan sodium hidroksida yang digunakan sebesar 8 Molar dengan kandungan NaOH padatan sebesar 26.23% dan H 2 O sebesar 73.77%.

4.2. Hasil Pengujian Initial Setting Time Mortar Geopolimer

Pada tahap ini dilakukan pengujian initial setting time beton geopolimer.

Pengujian dilakukan sesuai dengan standar ASTM C403- 90 (1993).

4.2.1. Initial Setting Time Mortar Geopolimer Dengan Metode Campur dan Metode Terpisah

Tahap ini bertujuan untuk membandingkan initial setting time mortar geopolimer yang dibuat dengan metode campur dan dengan metode terpisah.

Pembuatan beton geopolimer pada tahap ini menggunakan water-to-fly ash ratio sebesar 0.35 dan konsentrasi larutan NaOH sebesar 8 Molar dan perbandingan alkali activator sebesar 2.5 dengan menggunakan mix design C. Percobaan ini menghasilkan initial setting time yang dapat dilihat pada Gambar 4.10. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa metode pembuatan campur memiliki initial setting time yang relatif sangat cepat bila dibandingkan dengan metode pembuatan terpisah. Initial setting time ditandai saat penetrometer menunjukkan angka sebesar 500 psi.

Parameter Hasil

NaOH 98.03 %

Na 2 CO 3 0.27 %

NaClO 3 15.30 ppm

Fe 5.95 ppm

(7)

Gambar 4.10 Initial Setting time mortar geopolimer metode campur dan metode terpisah dengan perbandingan alkali activator 2.5

4.2.2. Penilaian Subyektif Terhadap Initial Setting Time Beton Geopolimer Penilaian subyektif yang dilakukan adalah membandingkan setting time antara metode pembuatan campur dan terpisah. Penilaian subyektif ini dilakukan sebagai gambaran secara umum mengenai workability dalam kondisi beton dikarenakan keterbatasan alat yang digunakan. Pada pengujian ini, mix design yang digunakan adalah mix design C dengan perbandingan alkali activator sebesar 2.5. Penilaian subyektif yang dilakukan pada tahap ini dibagi menjadi kategori yaitu, mixing time, workable, almost set, dan set. Kategori mixing time dimulai pada saat mulai mixing hingga selesai mixing. Selanjutnya kategori workable adalah saat dimana beton segar masih dapat diaduk dengan mudah. Lalu kategori almost set merupakan saat dimana beton mulai kental dan mengeras sehingga sulit untuk diaduk. Kondisi Set adalah kondisi dimana beton sudah mengeras dan tidak dapat diaduk lagi. Penilaian dapat dilihat pada Gambar 4.11.

Bila dilihat pada Gambar 4.11 dan Gambar 4.12, dapat disimpulkan bahwa karakteristik yang terjadi pada beton berbeda dengan karakteristik yang terjadi pada mortar yang berasal dari beton yang disaring. Pada kondisi mortar, initial setting time untuk metode campur menunjukan waktu selama 38 menit.

Sedangkan pada kondisi beton, pada menit ke – 25 beton sudah mengeras dan tidak dapat diaduk lagi. Karakteristik ini juga berlaku pada metode pembuatan

0 100 200 300 400 500 600 700

0 20 40 60 80 100

P enetra tio n R esis ta nce ( P si)

Waktu (menit)

Campur (2.5) Terpisah (2.5)

(8)

terpisah. Hal ini diperkirakan karena adanya perbedaan ukuran agregat yang dapat mempengaruhi workability beton geopolimer.

Gambar 4.11 Diagram penilaian subyektif initial setting time beton geopolimer

4.2.3. Initial Setting Time Mortar Geopilimer Berdasarkan Mix Design dan Perbandingan Alkali Activator

Hasil pengujian initial setting time mortar geopolimer dengan mix design dan perbandingan alkali activator yang berbeda menghasilkan initial setting time yang berbeda juga. Bila dilihat pada Gambar 4.12, initial setting time terlama terjadi pada mix design B dengan perbandingan alkali activator 0.66 selama 112 menit. Selain itu semakin kecil perbandingan alkali activator, maka akan semakin lama initial setting time yang terjadi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya pada tahap mortar yang dilakukan oleh Surya & Lairenz (2019). Selain itu semakin besar perbandingan alkali activator, menyebabkan campuran menjadi lebih kental karena memiliki kandungan Na 2 SiO 3 yang lebih banyak, sehingga initial setting time yang terjadi lebih cepat.

Sementara itu pada mix design B, initial setting time yang dihasilkan paling lama bila dibandingkan dengan dua mix design lainnya. Hal ini dikarenakan pada mix design B memiliki kandungan pasta yang paling banyak.

Berbeda dengan mix design A yang memiliki kandungan pasta paling sedikit sehingga initial setting time yang terjadi memiliki tren yang sedikit berbeda.

0 20 40 60 80 100

T er p is ah ( 2 .5 ) C am p u r (2 .5 )

Waktu (menit)

M et o de P em bu a ta n

Mixing time Workable Stiff Set

(9)

Gambar 4.12 Hasil initial setting time mortar geopolimer berdasarkan mix design dan perbandingan alkali activator

Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Surya & Lairenz (2019), pengujian initial setting time dilakukan pada kondisi pasta dengan menggunakan alat vicat needle. Penelitian dilakukan dengan menggunakan 5 perbandingan alkali activator yang berbeda dengan rasio water-to-fly ash sebesar 0.35 serta menggunakan metode pembuatan terpisah yaitu fly ash dicampur dengan larutan NaOH terlebih dahulu, lalu larutan Na 2 SiO 3 dimasukkan kemudian. Hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 4.13.

Initial setting time pada kondisi pasta bila dibandingkan dengan kondisi mortar memiliki tren yang sama yaitu semakin kecil perbandingan alkali activator maka akan semakin lama initial setting time yang terjadi. Initial setting time pada kondisi mortar memiliki durasi waktu yang lebih lama bila dibandingkan dengan kondisi pasta. Namun, initial setting time pada kondisi pasta lebih mencerminkan keadaan sebenarnya pada pembuatan beton geopolimer. Bila dilihat pada Gambar 4.11 dengan campuran perbandingan alkali activator sebesar 2.5 menggunakan metode pencampuran terpisah, initial setting time beton geopolimer terjadi pada menit ke-50. Hal ini sesuai dengan hasil initial setting time yang terjadi pada kondisi pasta.

0 25 50 75 100 125

0.66 1.5 2.5

Waktu (menit) P er ba nd ing a n Na 2 SiO 3 /Na O H

Mix Design A Mix Design B Mix Design C

(10)

Gambar 4.13 Hasil initial setting time pasta geopolimer oleh Surya & Lairenz (2019)

4.3. Workability Beton Geopolimer

Pengujian workability pada beton geopolimer ini dilakukan dengan cara pengetesan slump loss dan slump.

4.3.1. Slump Loss Beton Geopolimer Dengan Metode Campur dan Metode Terpisah

Tahap ini pembuatan beton geopolimer menggunakan water-to-fly ash ratio sebesar 0.35 dan konsentrasi larutan NaOH sebesar 8 Molar dan perbandingan alkali activator sebesar 1.5 dengan menggunakan mix design B.

Hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 4.14, Gambar 4.15, dan Gambar 4.16.

Untuk metode campur pembuatan beton geopolimer membutuhkan waktu selama 10 menit sejak larutan alkali activator bertemu dengan fly ash, dikarenakan larutan sodium silikat dan larutan NaOH telah dicampurkan terlebih dahulu. Sedangkan pada metode pembuatan terpisah membutuhkan waktu selama 20 menit sejak larutan NaOH bertemu dengan fly ash. Sehingga terdapat perbedaan waktu awal pengujian slump flow.

Dari Gambar 4.14 dapat dilihat bahwa pada awal pengujian, beton geopolimer memiliki kelecakan yang sangat baik dengan flow diameter mencapai 60 cm. Namun pada beton geopolimer berbahan dasar fly ash tipe C terjadi

0 20 40 60 80 100 120

0.5 1 2 2.5 3

Waktu (Menit)

P er ba nd ing a n Na O H /Na 2 SiO 3

(11)

perubahan karakteristik secara drastis pada saat mendekati initial set. Beton memiliki kelecakan yang masih baik hingga menit ke-40, lalu beton menjadi sangat keras dalam waktu 10 menit kemudian.

Gambar 4.14 Foto pengujian slump flow dengan metode pembuatan terpisah

Gambar 4.15 Slump flow loss beton geopolimer dengan metode campur dan metode terpisah menggunakan perbandingan alkali activator 1.5

0 10 20 30 40 50 60 70

0 10 20 30 40 50 60

Slu m p F lo w Dia m eter ( cm )

Waktu (menit)

Campur (1.5) Terpisah (1.5)

60 cm 57 cm

46 cm 20 cm

Menit ke-20 Menit ke-30

Menit ke-40 Menit ke-50

(12)

Gambar 4.16 Slump loss beton geopolimer dengan metode campur dan metode terpisah menggunakan perbandingan alkali activator 1.5

Beton geopolimer yang dibuat dengan metode campur dan dengan metode terpisah memiliki karakteristik yang sama pada saat pengujian awal. Pengujian awal dilakukan pada menit ke – 10 untuk metode campur dan pada menit ke – 20 untuk metode terpisah. Akan tetapi, pada pengujian slump kedua dengan rentang waktu 10 menit dari pengujian awal terjadi perbedaan karakteristik yang berbeda.

Pada beton geopolimer yang dibuat dengan metode campur telah mengalami set dan tidak dapat diambil lagi dari adonan. Sedangkan pada beton yang dibuat dengan metode terpisah masih memiliki kelecakan yang baik, hingga pada menit ke – 50 beton sudah tidak mengalami perubahan diameter terhadap diameter slump cone dan hanya mengalami penurunan pada ketinggian slump sebesar 8 cm yang dikarenakan beton mengalami kemiringan saat diukur.

4.3.2. Pengujian Slump Beton Geopolimer Dengan Perbedaan Mix Design dan Alkali Activator

Terdapat 3 jenis mix design yang digunakan, yaitu mix design A dengan komposisi kerikil 42%, pasir silika 35%, dan pasta 23%, mix design B dengan komposisi kerikil 41%, pasir silika 28%, dan pasta 31%, serta mix design C dengan komposisi kerikil 49%, pasir silika 26%, dan pasta 25%. Semua mix

0 5 10 15 20 25 30

0 10 20 30 40 50 60

Slu m p ( cm )

Waktu (menit)

Campur (1.5) Terpisah (1.5)

(13)

design menggunakan water-to-fly ash ratio sebesar 0.35. Setiap mix design memiliki 3 perbandingan alkali activator yang berbeda yaitu, 0.66, 1.5, dan 2.5.

Tahap ini dilakukan pengujian slump untuk semua mix design serta semua perbandingan alkali activator. Akan tetapi ketika dilakukan pengujian slump untuk semua mix design dan semua perbandingan alkali activator, beton memiliki nilai ketinggian slump sebesar ±26 cm. Sehingga pengukuran dilakukan terhadap diameter slump flow beton tersebut. Hasil pegujian dapat dilihat pada Gambar 4.17.

Gambar 4.17 Slump flow beton geopolimer dengan perbedaan mix design dan alkali activator

Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa mix design B memiliki kelecakan yang paling baik dibandingkan dengan mix design A dan C. Hal ini dikarenakan kandungan pasta di dalam mix design B merupakan yang paling banyak. Selain itu, perbandingan alkali activator mempengaruhi flow diameter pada beton. Semakin tinggi perbandingan alkali activator maka akan semakin kecil flow diameter yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan semakin tinggi perbandingan alkali activator memiliki kandungan sodium silikat yang semakin banyak sehingga menyebabkan beton menjadi lebih kental.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0.66 1.5 2.5

Flow Diameter (cm) P er ba nd ing a n Na 2 SiO 3 /Na O H

Mix Design A Mix Design B Mix Design C

(14)

4.4. Hasil Pengujian Kuat Tekan

Pengujian kuat tekan dilakukan berdasarkan ASTM C39 (1993) yang dilakukan pada umur 7 dan 28 hari. Pengujian ini dilakukan di Laboraturium Beton dan Konstruksi Universitas Kristen Petra dengan menggunakan alat Universal Testing Machine dengan load rate 4.

4.4.1. Hasil Kuat Tekan Beton Geopolimer Dengan Perbedaan Mix Design dan Alkali Activator

Tahap ini pengujian kuat tekan beton dilakukan pada umur 7 hari dan curing yang dilakukan berupa curing oven pada suhu 60 o C selama 24 jam. Hasil pengujian kuat tekan dapat dilihat pada Gambar 4.18 dan Lampiran 4.

Gambar 4.18 Kuat tekan beton geopolimer terhadap perbandingan alkali activator dan mix design

Perbedaan kuat tekan yang dihasilkan dari ketiga mix design tersebut tidak terlalu besar. Kuat tekan terbesar dihasilkan pada mix design B dengan perbandingan alkali activator sebesar 1.5 dikarenakan mix design B memiliki kandungan pasta yang paling banyak dibandingkan mix design yang lain. Serta pada perbandingan alkali activator sebesar 1.5 memiliki kandungan sodium silikat dan sodium hidroksida yang seimbang. Apabila dibandingkan dengan perbandingan alkali activator yang lain, untuk perbandingan alkali activator

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0.66 1.5 2.5

K ua t T ek a n (M P a )

Perbandingan Na 2 SiO 3 /NaOH

Mix Design A Mix Design B Mix Design C

(15)

sebesar 0.66 memiliki kandungan OH - yang berlebih yang memungkinkan dapat merusak sebagian CaO pada fly ash. Sedangkan pada perbandingan alkali activator sebesar 2.5 memiliki kandungan sodium silikat berlebih yang bisa menghambat proses geopolimerisasi (Barbosa, Mackenzie, & Thaumaturgo, 2000). Sehingga kuat tekan yang dihasilkan pada perbandingan alkali activator 0.66 dan 2.5 tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan perbandingan alkali activator 1.5. Contoh sampel dapat dilihat pada lampiran 2.

4.4.2. Hasil Kuat Tekan Beton Geopolimer Terhadap Perbedaan Metode Curing

Tahap ini pengujian yang dilakukan menggunakan mix design A dengan membandingkan kuat tekan beton pada umur 7 dan 28 hari dengan curing berupa oven pada suhu 60 o C selama 24 jam dan non oven yang didiamkan pada suhu ruang, serta perbandingan alkali activator sebesar 0.66, 1.5, dan 2.5. Hasil pengujian kuat tekan dapat dilihat pada Gambar 4.19 dan Lampiran 4.

Gambar 4.19 Kuat tekan beton geopolimer terhadap perbedaan metode curing pada umur 7 hari dan 28 hari

Hasil pengujian kuat tekan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa metode curing mempengaruhi kuat tekan beton yang dihasilkan. Dengan curing dengan suhu yang lebih tinggi akan menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0.66 1.5 2.5

K ua t T ek a n (M P a )

Perbandingan Na 2 SiO 3 /NaOH

Non Oven (7) Non Oven (28) Oven (7) Oven (28)

(16)

(Chindaprasirt & Chareerat, 2010). Selain itu, semakin lama umur beton geopolimer maka akan semakin tinggi pula kuat tekan yang dihasilkan dari beton tersebut. Hal ini diperkirakan karena fly ash tipe C yang digunakan pada penelitian ini memiliki kandungan CaO yang tinggi sehingga fly ash tipe C ini memiliki sifat cementitious. Berbeda dengan penelitian beton geopolimer dengan bahan dasar fly ash tipe F yang dilakukan oleh Hardjito, Wallah, Sumajouw, &

Rangan (2004) yang tidak mengalami kenaikan kuat seiring bertambahnya umur beton.

Pembuatan beton geopolimer dengan metode curing non oven masih dapat menghasilkan kuat tekan beton yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan beton geopolimer dengan menggunakan fly ash tipe C dapat dilakukan tanpa menggunakan curing oven.

Gambar 4.20 Kuat tekan mortar geopolimer terhadap perbedaan perbandingan alkali activator oleh Surya & Lairenz (2019)

Bila dibandingkan Gambar 4.19 dan Gambar 4.20, penelitian pada tahap beton yang kami lakukan bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Surya & Lairenz (2019) dalam kondisi mortar menunjukkan bahwa hasil kuat tekan dari mortar lebih tinggi dari kuat tekan pada beton. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh penggunaan agregat kasar pada beton yang dapat mengurangi kuat tekan.

0 10 20 30 40 50 60 70

0.5 1 2 2.5 3

K ua t T ek a n (M pa )

Perbandingan Na 2 SiO 3 /NaOH

7 hari (Oven) 28 hari (Oven)

(17)

4.5. Tampilan Fisik dan Potensi Effloresence Pada Beton Geopolimer Berikut adalah foto hasil pembuatan beton geopolimer yang telah dilakukan pada umur 7 hari. Foto diambil dari hasil pembuatan mix design A dengan 3 perbandingan alkali activator yaitu 0.66, 1.5, dan 2.5 serta dengan metode curing oven dan non oven. Foto sampel dapat dilihat pada Gambar 4.21 dan Gambar 4.22.

0.66 1.5 2.5

Gambar 4.21 Foto sampel beton geopolimer dengan metode curing oven

0.66 1.5 2.5

Gambar 4.22 Foto sampel beton geopolimer dengan metode curing non oven Setiap perbandingan alkali activator dan metode curing pada mix design A diambil satu sampel untuk dilakukan pengamatan visual. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui perubahan fisik yang terjadi pada setiap sampel beton geopolimer. Setiap sampel diletakkan terbuka pada suhu ruangan dengan kondisi terekspos udara.

Hasil dari pengamatan visual yang kami lakukan pada tampilan awal dapat

disimpulkan bahwa semakin tinggi perbandingan alkali activator maka akan

(18)

perbandingan alkali activator menyebabkan beton geopolimer segar semakin sulit untuk dipadatkan.

Berikut adalah foto sampel dari metode curing oven dari ketiga perbandingan alkali activator sebesar 0.66, 1.5, dan 2.5. Hasil dapat dilihat pada Gambar 4.23, Gambar 4.24, dan Gambar 4.25.

0.66 1.5 2.5

Gambar 4.23 Foto sampel beton geopolimer pada saat tampilan awal

0.66 1.5 2.5

Gambar 4.24 Foto sampel beton geopolimer pada saat minggu ke-2

0.66 1.5 2.5

Gambar 4.25 foto sampel beton geopolimer pada saat minggu ke-4

(19)

Berikut adalah foto sampel dari metode curing non oven dari ketiga perbandingan alkali activator sebesar 0.66, 1.5, dan 2.5. Hasil dapat dilihat pada Gambar 4.26, Gambar 4.27, dan Gambar 4.28.

0.66 1.5 2.5

Gambar 4.26 Foto sampel beton geopolimer pada saat tampilan awal

0.66 1.5 2.5

Gambar 4.27 Foto sampel beton geopolimer pada saat minggu ke-2

0.66 1.5 2.5

Gambar 4.28 Foto sampel beton geopolimer pada saat minggu ke-4

Berdasarakan hasil pengamatan yang telah dilakukan, beton geopolimer

(20)

beton. Munculnya bercak putih paling signifikan pada perbandingan alkali

activator sebesar 0.66 terutama dengan metode curing non oven. Selain itu

semakin tinggi perbandingan alkali activator, semakin sedikit pula bercak putih

yang muncul. Serta sampel dengan metode curing oven menghasilkan bercak

putih lebih sedikit daripada metode curing non oven. Hal ini dikarenakan semakin

kecil perbandingan alkali activator, semakin banyak larutan NaOH. Sehingga

diperkirakan kandungan Na + yang tidak mengalami geopolimerisasi akan muncul

ke permukaan beton.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Indeks Nilai Penting (INP), tingkat keanekaragaman jenis dan pola penyebaran tumbuhan anggrek yang terdapat di Cagar

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah polong bernas per tanaman berbeda antara varietas, dimana jumlah polong bernas yang dihasilkan oleh varietas Kaba dan Wilis dua kali

adalah benar sebagai lembaga yang memiliki kredibilitas dan kemampuan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan masyarakat, dan dianggap layak mengajukan dana bantuan

Komentar atau ungkapan sinis biasanya terlontar jika pemilik watak sinis melihat keberhasilan orang lain, atau kemunculan fenomena yang mengundang kagum banyak

Pemda - Bojong Depok Baru III Karadenan - Cibinong SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI DEWANTARA.. Terakreditasi B -BAN PT Depdiknas RI

No. Penelusuran lebih lanjut atas 93 Kekayaan Intelektual tersebut pada SIMAK BMN dan website https://ki.bppt.go.id menunjukkan bahwa hanya 4 Kekayaan Intelektual yang

Skripsi ini menganalisa sebuah novel karya Jane Austen yang berjudul Pride and Prejudice. Novel ini bercerita tentang Elizabeth Bennet. Novel ini menarik untuk dianalisa

Pengujian kinerja traktor tangan Huanghai DF-12L dengan berbagai campuran bahan bakar dalam mengolah tanah pada penelitian ini dilakukan di lahan kering (lahan