• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK. Kata kunci: Faktor Penyebab, railway transportation, Kecelakaan KA, Solusi Alternatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAK. Kata kunci: Faktor Penyebab, railway transportation, Kecelakaan KA, Solusi Alternatif"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Kereta Api di Jawa Timur

Ir. Machsus Fawzi, MT.

Jurusan Teknik Sipil UPN “Veteran” Jawa Timur

Telp. 031-8706369 ext. 706; Hp. 08123215364: Fax. 031-8706372 email: machsusfawzi@yahoo.com, machsus@upnjatim.ac.id

ABSTRAK

Pada makalah ini akan diuraikan mengenai faktor-faktor penyebab kecelakaan angkutan kereta api (railway transportation) di Jawa Timur. Hal ini menarik untuk dikaji dan atau didiskusikan, pasalnya belakangan ini muncul kecenderungan meningkatnya frekwensi kecelakaan kereta api (KA) di wilayah Jatim. Analisis ini dilakukan dengan studi literatur yang dikombinasikan dengan pengamatan pada beberapa kasus kecelakaan KA yang terjadi di wilayah provinsi Jatim. Dari analisis ini ditemukan faktor-faktor penyebab kecelakaan KA di Jatim, diantaranya: human error, technical error, single track, sistem & teknologi manual, dan perlintasan sebidang. Selain itu, juga diperoleh beberapa solusi alternatif untuk mengurangi frekwensi kecelakaan KA.

Kata kunci: Faktor Penyebab, railway transportation, Kecelakaan KA, Solusi Alternatif

I. PENDAHULUAN

Belakangan ini frekwensi kecelakan kereta api (KA) cukup sering terjadi di wilayah Jawa Timur. Kejadian terakhir adalah insiden tabrakan maut Rabu (26/5) dini hari antara KA Mutiara Timur jurusan Surabaya-Banyuwangi (log BB 30301) dan Bus Akas Asri dengan nomor polisi N 6207 LU jurusan Denpasar-Jember mengakibatkan tujuh orang tewas dan 21 lainnya 1uka berat. Peristiwa naas itu terjadi di jalan negara antara Jember dan Banyuwangi pada perlintasan sebidang rel KA di dusun Krajan, desa Garahan-Silo Jember (Surya, 27/5/04).

Sekitar sebulan yang lalu, juga terjadi insiden serupa di Kabupaten Sidoarjo. Pada insiden itu terjadi tabrakan antara KA pengangkut BBM dengan KA Barang tanpa muatan yang terjadi pada hari sabtu dini hari (24/4) di Desa Singogalih, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo. Meski tidak menelan korban jiwa, namun tabrakan tersebut menimbulkan ledakan dahsyat dan disusul dengan kobaran api yang tingginya mencapai puluhan meter (Kompas, 25/4/2004).

Sebelum insiden ini, kecelakaan KA juga terjadi di daerah Benowo Gresik dan di dekat

Stasiun KA Kota Lama Malang. Kecelakaan di Benowo terjadi akibat anjloknya roda

KA dari relnya. Pada kejadian itu seorang penumpang terpaksa kakinya di amputasi di

(2)

tempat kejadian karena terjepit di gerbong KA, namun akhirnya meninggal saat dibawa ke rumah sakit.

Sementara, kecelakaan KA di perlintasan sebidang dekat stasiun Kota Lama Malang telah mengakibatkan 2 orang tewas seketika dan belasan kendaraan ringsek lantaran diseruduk oleh KA Penataran Surabaya-Blitar (lewat Malang). Padahal selain tragedi kecelakaan KA yang cukup dahsyat itu, juga tidak jarang terdengar berita tewasnya seseorang yang tertabrak KA akibat berjalan atau melintas di rel.

Disamping itu, pembahasan tentang faktor-faktor penyebab meningkatnya kecelakaan KA di Jatim menjadi semakin menarik bila dikaitkan dengan pengoperasian Kereta Api Ulang Alik (KA Komuter) Surabaya-Sidoarjo. Hal ini karena pengoperasian KA Komuter tersebut diprediksikan akan meningkatkan potensi kecelakaan KA, terutama di perlintasan sebidang. Sebagaimana kita ketahui bahwa pengoperasian KA Komuter telah dimulai sejak bulan Pebruari 2004, yakni setelah diresmikan peluncuran perdananya oleh Presiden Megawati (Machsus Fawzi, 2003).

Oleh karena itu, kiranya sangat relevan bila pada makalah ini dibahas mengenai analisis faktor-faktor penyebab kecelakaan KA di Jawa Timur. Dengan memahami faktor-faktor penyebab kecelakaan KA tersebut diharapkan dapat segera dilakukan upaya untuk meminimalisir peluang terjadinya kecelakaan KA di masa mendatang.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Railway Transportation

Kemajuan dalam bidang transportasi telah memungkinkan perubahan dalam cara hidup manusia, yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan peradaban manusia (Herman Wahyudi, 1993). Dengan demikian, kemajuan transportasi pada suatu negara atau suatu daerah tidak saja membawa dampak positif melainkan juga dampak negatif.

Peningkatan jumlah korban kecelakan angkutan kereta api (railway transportation) adalah salah satunya contoh dampak negatif dari kemajuan transportasi.

Meski frekwensi kejadiannya tidak sesering kecelakaan lalu-lintas angkutan jalan raya,

namun masalah kecelakaan angkutan KA tentu tidak kalah pentingnya. Hal ini karena

(3)

bila KA mengalami kecelakaan biasanya jumlah korbannya luar biasa banyak. Apalagi bila jenis kecelakaannya berupa tabrakan antar KA. Lantaran itulah tidak salah bila KA tidak saja dianggap sebagai alat transportasi massal, melainkan juga dianggap sebagai

“mesin pembunuh massal” yang paling efektif (Machsus Fawzi, 2004).

Kemajuan teknologi transportasi KA seharusnya tetap didasarkan pada fungsi sistem transportasi. Fungsi sistem trasportasi ialah untuk dapat memindahkan suatu benda atau objek. Objek yang dipindahkan mencakup benda tak bernyawa maupun yang bernyawa, diantaranya: sumber alam, hasil produksi pabrik, bahan makanan, manusia, binatang, dan tanaman.

Berikut ini beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan teknologi transportasi KA (Herman wahyudi, 1993):

1. Membuat suatu objek menjadi lebih mudah diangkut dan dapat diangkut tanpa menimbulkan kerusakan

2. Menyediakan kontrol dari gerakan yang terjadi dengan pemakaian gaya secukupnya untuk dapat mempercepat atau memperlambat objek tersebut, mengatasi hambatan- hambatan yang biasa terjadi dan mengarahkan objek tersebut tanpa kerusakan.

3. Melindungi objek dari kerusakan atau kehancuran yang dapat terjadi sebagai akibat dari pergerakan tadi.

2.2. Persilangan Sebidang

Persilangan atau perlintasan sebidang antara jalan rel dengan jalan raya dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi frekwensi kecelakaan kereta api. Untuk itu, kiranya penting untuk mengetahui jenis-jenis persilangan sebidang antara jalan rel dengan jalan raya.

Sesuai dengan pentingnya lalu-lintas, persilangan sebidang (level creossing) dapat dibagi menjadi:

1. Persilangan yang tidak ditutup dan tidak dijaga. Persilangan jenis ini tidak dilalui

kendaraan, hanya dilalui orang & hewan, lebar sekitar 1-1,5m, terdapat di daerah

perkampungan, permukaan jalan umum tingginya sama dengan bantalan (rel

(4)

menonjol), penangkis hewan dengan pemasangan bantalan kayu digergaji menyudut

& pagar kawat berduri

2. Persilangan yang ditutup tapi tidak dijaga. Pesilangan jenis ini dilewati orang dan kendaraan, pengemudi harus membuka dan menutup sendiri pintu perlintasan, agar cukup waktu memperhatikan keamanan, terdapat di daerah pemukiman kota, lebar min. 4 m.

3. Persilangan yang tidak ditutup tapi dijaga. Persilangan jenis ini, pada saat KA lewat penjaga melambai-lambaikan sebuah bendera merah (siang hari) dan lampu dengan cahaya merah (malam hari), untuk menghentikan kendaraan yang ada di jalan raya 4. Persilangan yang ditutup & dijaga. Persilangan jenis ini terdapat di jalan lalu

lintasnya padat, frekwensi pemakaian jalan rel relatif tinggi, jenisnya (pintu putar horisontal, pintu putar vertikal manual, pintu dorong beroda, pintu putar vertikal semi&full automatic)

III. ANALISIS FAKTOR PENYEBAB 3.1. Human Error Atau Technical Error

Potret kecelakaan KA tersebut diatas mencerminkan bobroknya manajemen pengoperasian perkeretaapian di Indonesia, terutama untuk PT KA Daerah Operasional yang berada di wilayah provinsi Jatim. Jangan-jangan pengoperasian KA hanya didasarkan pada prinsip manajemen asal bisa jalan/beroperasi alias manajemen

“bonek”. Kebobrokan ini semakin tampak jelas, bila dicermati dari respon pihak pengelola KA terhadap suatu tragedi kecelakan KA. Sebab, biasanya tragedi kecelakaan KA selalu memunculkan “kambing hitam”, yang berupa human error.

Seakan ketika hasil penyelidikan telah menemukan orang atau pihak-pihak yang salah dan atau dipersalahkan, maka semuanya dianggap sudah selesai. Pihak-pihak yang biasanya potensial atau cocok untuk diposisikan sebagai kambing hitam atau human error itu diantaranya: kepala stasiun, masinis, penjaga pintu perlintasan dan masyarakat pemakai jalan.

Faktor kesalahan manusia (human error) memang cukup besar pada pengoperasian KA

di Indonesia. Apalagi untuk pengopersian KA di negara kita masih menggunakan sistem

yang sifatnya manual bukan automatic system. Hanya saja, yang patut dipertanyakan

(5)

mengapa penyebab terjadinya suatu kecelakaan KA hampir selalu mengarah pada faktor human error? Padahal secara teoritis, faktor penyebab terjadinya kecelakaan KA itu bisa disebabkan human error maupun technical error.

Menurut hemat penulis, faktor penyebab kecelakaan KA di Jatim yang semakin sering terjadi itu justru lebih banyak disebabkan oleh faktor technical error. Ini terjadi lantaran sistem dan teknologi yang diterapkan untuk pengoperasian KA di Indonesia, termasuk di Jatim, memang memberi peluang besar terhadap timbulnya kecelakaan KA. Jadi, kalaupun toh muncul faktor human error sejatinya hal tersebut tidak terlepas dari adanya faktor technical error. Sebab, sistem dan teknologi perkeretaapian yang baik mustinya selalu bisa menekan seminim mungkin peluang terjadinya kecelakaan.

3.2. Jumlah Spoor

Sebagian besar jalur KA di Jatim masih memakai sistem spoor tunggal (single track).

Jadi hanya sebagian kecil saja yang menggunakan spoor ganda (double track), seperti yang terdapat dari Stasiun Wonokromo sampai Stasiun Surabaya Kota, yang lebih populer dengan sebutan Stasiun Semut.

Pemakaian sistem single track ini membawa konsekwensi bahwa rel yang sama digunakan untuk KA yang datang maupun berangkat. Akibatnya, frekwensi “kres”

antara KA yang datang dan berangkat akan semakin sering terjadi. “Kres” disini adalah pertemuan diantara dua KA dengan arah yang berlawananan dalam satu track. Hal inilah yang membuat peluang tabrakan antar KA cukup besar. Akibatnya, tabrakan KA seperti yang terjadi pada sabtu (24/4) di Sidoarjo itu memang sulit dihindari.

Seandainya menggunakan sistem double track tentu ceritanya akan lain. Tabrakan KA seperti itu justru sulit terjadi lantaran kedua KA yang berlawanan arah itu tidak berada dalam lintasan atau track yang sama. Namun, karena semua sudah terjadi mau bagaimana lagi!

3.3. Sistem & Teknologi Manual

Sistem dan teknologi pengaturan signal dan perpindahan lintasan masih manual dan

rumit. Untuk menghindari tabrakan KA pada sistem single track dilakukan dengan

(6)

perpindahan lintasan di suatu stasiun. Singkatnya, KA yang datang duluan harus pindah lintasan pada emplasemen. Namun, hal ini menuntut sistem persignalan yang semakin rumit. Selain itu, terkadang wesel-nya ngadat, sehingga KA yang seharusnya pindah lintasan justru tetap pada lintasan utama.

Akibatnya, mau tidak mau KA yang seharusnya berada di lintasan utama harus berbelok dan atau pindah lintasan untuk menghindari tabrakan. Bila KA tersebut tidak harus berhenti di stasiun itu, maka kecepatan KA tersebut biasanya cukup tinggi. Kondisi semacam ini tentu sangat rentan terhadap anjloknya KA, apalagi bila kondisi relnya sudah aus dan penambatnya (fastening) banyak yang longgar. Menurut pendapat penulis, kondisi seperti inilah yang telah menimbulkan insiden ajloknya KA di Benowo Gresik itu.

Seandainya, pengopersian KA di negara kita sudah sistem yang automatic, ----seperti:

ATC (automatic train control), CTC (central traffic control) dan COMTRAC (Computer Aided Traffic Control), ---- mungkin kejadian anjoknya KA di Benowo tidak akan terjadi. Namun, kenyataanya itu sudah terlanjur terjadi.

3.4. Perlintasan Sebidang

Sistem dan teknologi perlintasan atau persilangan sebidang yang masih dipertahankan.

Hampir semua perlintasan antara jalan rel dengan jalan raya merupakan jenis perlintasan sebidang. Jelasnya, antara jalan rel dan jalan raya berada dalam satu bidang.

Sistem perlintasan ini memang memberi peluang terjadi pertemuan (baca: tabrakan) antara KA yang berbasis rel dengan jenis angkutan berbasis jalan raya. Apalagi jumlah perlintasan liar di Jatim sangat banyak, 60% dari total jumlah perlintasan di Indonesia (Kompas, 28/5/04).

Untuk menghindari tabrakan itulah maka pada beberapa perlitasan yang ramai dipasang

pintu perlintasan. Namun, kian lama frekwensi pemakaian jalan raya maupun jalan rel

semakin padat. Hal ini membawa konsekwensi logis terhadap buka tutup pintu

perlitasan sebidang tersebut menjadi semakin sering.

(7)

Sayangnya, tidak semua pemakai angkutan jalan raya menganggap bahwa penutupan pintu perlintasan KA sebagai sebuah solusi untuk menghindar dari kecelakaan, justru tidak jarang yang menganggapnya sebagai penghambat kelancaran perjalanannya. Dan, kenyataanya kemacetan atau antrian di pintu perlintasan KA cukup sering terjadi.

Kondisi semacam ini bisa mendorong pengendara angkutan jalan raya tidak sabar lalu menerobos pintu perlintasan KA tersebut. Hal ini tentu saja sangat potensial bagi terjadinya kecelakaan di perlintasan sebidang jalan rel dan jalan raya.

Kondisi seperti inilah yang menyebabkan terjadinya kecelakaan di perlintasan sebidang KA di dekat Stasiun Kota Lama beberapa waktu yang lalu. Seandainya, perlintasan sebidang ditiadakan tentu cerita dan berita tentang kecelakaan diperlitasan sebidang tersebut tidak akan terjadi. Buktinya, di negara-negara yang sudah maju dalam teknologi perkeretaapiannya, seperti Jepang, Prancis dan Jerman, kita tidak pernah mendengar kecelakan KA di perlintasan. Untuk itu, peniadaan perlintasan sebidang dengan membangun overpass, flyover dan atau underpass harus diprioritaskan.

3.5. Pengoperasian KA Komuter

Pengoperasian KA Komuter pertama di Jatim ini diharapkan dapat mengatasi problem kemacetan lalu-lintas di Kota Surabaya, terutama di jalan raya antara Surabaya-Sidoarjo yang dalam jam-jam puncak (peak hour) sangat padat. Meski banyak menuai kritik bahwa KA Kumuter akan menimbulkan kemacetan baru dan sebagainya, namun, menurut hemat penulis tetap harus jalan terus. Lantaran secara konsepsional pengoperasian KA Komuter yang merupakan sistem angkutan umum massal (SAUM) berbasis rel untuk mengatasi kemacetan lalu lintas tidak ada yang salah. Buktinya, alat transportasi yang dikembangkan di kota-kota besar dari negara-negara maju pun demikian.

Hanya saja, untuk pengoperasian KA Komuter yang pertama di Jatim ini tampaknya

memang masih banyak yang musti diantisipasi dan dibenahi. Salah satunya adalah

meningkatnya potensi kecelakaan KA akibat pengoperasian KA komuter. Mengapa

demikian?

(8)

Frekwensi penggunaan rel semakin tinggi. KA komuter di rencanakan akan beroperasi 8 rit atau 16 kali dalam sehari, yakni 8 kali kearah Surabaya dan 8 kali kearah Sidoardjo.

Ini berarti frekwensi pemakaian rel akan semakin tinggi. Frekwensi pemakaian seperti ini memiliki konsekwensi logis terhadap penutupan pintu perlitasan sebidang antara jalan rel dengan jalan raya juga akan bertambah sering.

Padahal bagi pengendara angkutan jalan raya, penutupan pintu perlintasan KA dianggap sebagai penghambat kelancaran perjalanannya. Akibatnya, bila frekwensi penutupan pintu perlintasan KA semakin tinggi berarti hambatan bagi pengendara angkutan jalan raya juga akan semakin sering terjadi. Singkatnya, akan semakin sering terjadi kemacetan atau antrian di pintu perlintasan KA.

Kondisi semacam ini bisa mendorong pengendara angkutan jalan raya untuk menerobos pintu perlintasan KA tersebut. Kita bisa bayangkan, bila saat ini saja tindakan beresiko tinggi itu sudah sering dilakukan maka setelah KA Komuter dioperasikan kemungkinan besar akan bertambah parah. Hal ini tentu saja sangat potensial bagi terjadinya kecelakaan di perlintasan sebidang jalan rel dan jalan raya.

Potensi terjadinya kecelakaan di perlintasan sebidang KA akan bertambah besar bila tenggang waktu antara dua atau lebih KA yang melewati perlintasan itu cukup singkat, lantaran frekwensi pemakaian relnya tinggi pasca pengoperasian KA Komuter. Sekedar diketahui saja, untuk saat ini tenggang waktu antara beberapa KA yang masuk dan keluar di Stasiun Wonokromo juga relatif singkat. Misalnya untuk sekitar Pukul 15.00–

17.00 WIB saja terdapat beberapa KA yang melewati Stasiun Wonokromo seperti:

KRD Jombang, Doho lewat Kertosono, Penataran Malang, Sancaka & Jaya Baya Jakarta, Logawa dan Sritanjung Jember-Banyuwangi, Penataran Blitar, Kereta Barang, dan lain-lain. Tenggang waktu ini bisa lebih jarang tapi juga bisa lebih padat karena waktu kedatangan dan berangkat dari KA tersebut sering terlambat. Maklum, sudah kadung terbiasa. Justru bukan KA namanya kalau berangkat lebih awal, kata sebagian besar penumpang setianya.

Disamping itu, rel yang aus dan penambat yang longgar berpotensi besar membuat KA

yang melintas tergelincir atau anjok. Meski selama ini untuk lintasan KA di Jatim relatif

(9)

jarang kita dengar KA anjlok, namun kedepan tidak tertutup kemungkinan hal itu bisa terjadi bila single track yang dipakai bersama oleh KA Komuter dengan jenis KA lainnya itu tidak diimbangi dengan kontrol yang sangat ketat. Bukankah kita tidak ingin PT KAI diplesetkan dengan singkatan Perusahaan Trem Kerap Anjlok Indonesia.

Dari uraian diatas kiranya tidak ada salahnya bila semua pihak yang terkait dengan pengoperasian KA Kumuter Surabaya–Sidoarjo mewaspadai meningkatnya potensi kecelakaan KA. Ini penting agar KA Komuter pertama di Jatim ini sukses dan kelak bisa dikembangkan untuk jalur lainnya di kawasan Gerbangkertosusilo Plus Pasurusan- Malang.

IV. KESIMPULAN & SARAN 5.1. Kesimpulan

1. Beberapa faktor penyebab kecelakaan KA di Jatim, diantaranya: human error, technical error, jumlah spoor, sistem dan teknologi manual, perlintasan sebidang, dan pengaruh pengoperasian KA Komuter.

2. Human error menjadi salah satu faktor penyebab kecelakaan kereta api. Namun, faktor ini juga dipengaruhi oleh faktor technical error.

3. Sistem spoor dengan single track memberikan peluang kecelakaan lebih besar dibandingkan dengan sistem double track.

4. Sistem dan teknologi pengaturan signal dan perpindahan lintasan yang masih manual dan rumit, juga memberikan peluang terjadinya kecelakaan lebih besar ketimbang penggunaan automatic system.

5. Semakin tinggi frekwensi pamakain jalan rel dan jalan raya, maka peluang terjadinya kecelakaan di perlintasan sebidang juga semakin besar pula.

6. Pengoperasian KA Komuter Surabaya-Sidoarjo akan meningkatkan frekwensi pemakaian rel sehingga juga cukup potensial menyumbang kecelakaan KA di Jatim.

7. Beberapa solusi altenatif yang bisa dipakai untuk menekan tingkat kecelakaan KA di Jatim, diantaranya: [1] pemakaian sistem spoor dengan double track; [2] sistem automatic untuk persignalan dan pengaturan lintasan, [3] pembangunagn flyover, atau overpass, underpass dan subway untuk meniadakan perlintasan sebidang; [4]

penerapan manajemen pengelolaan KA yang lebih profesional; serta [5]

kewaspadaan dari semua pihak terutama pengguna jalan.

(10)

5.2. Saran

Analisis tentang kecelakaan KA di Jatim ini sifatnya masih merupakan studi awal dengan dukungan data yang terbatas. Untuk itu, kiranya akan lebih baik bila masalah kecelakaan KA di Jatim ini ditindaklanjuti dengan studi yang lebih mendalam, terutama oleh pihak pengelola KA itu sendiri.

VI. DAFTAR BACAAN

Beberapa daftar bacaan yang dijadikan rujukan dalam penyusunan makalah ini antara lain, sebagai berikut:

Herman Wahyudi. 1993. Jalan Kereta Api, Struktur dan Geometrik Jalan rel.

Jurusan Teknik Sipil ITS Surabaya

Iman Subarkah. 1981. Jalan Kereta Api. Jurusan Teknik Sipil Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta

Kompas, berita dan atau liputan tentang kecelakaan kereta api edisi 25/4/2004 dan edisi 28/5/04.

Machsus Fawzi. 2004. KA Komuter dan Potensi Kecelakaan. Artikel Opini Harian Pagi Surya, Surabaya.

Machsus Fawzi. 2003. Modul Ajar Mata Kuliah Rekayasa Jalan Kereta Api.

Jurusan Teknik Sipil, UPN “Veteran” Jatim

Surya, berita dan atau liputan tentang kecelakaan kereta api edisi 27/5/04 dan edisi

10/11/03.

Referensi

Dokumen terkait

Suplementasi Zn pada sapi FH jantan secara nyata dapat meningkatkan motilitas dan konsentrasi sperma, dan tidak berpengaruh pada volume semen, warna, konsistensi,

Berdasarkan survei, proses komunikasi yang dijalankan oleh Karang Taruna Dipo Ratna Muda masih tidak efektif, karena banyak terjadi ketidakpastian anggota untuk mengikuti

2) Melakukan komunikasi, konsultasi dan advokasi dengan Pengurus PMI Kabupaten/Kota /Kepala Markas dalam rangka penyelenggaraan program SUKARELAWAN di Organisasi PMI. 3)

Okun menyangkut hubungan dalam konseling perlu pengkajian lebih mendalam dan komprehensif menurut perspektif Islam, agar layanan konseling yang diberikan lebih

Lebih dari itu, sebuah masjid contoh di Negeri Sembilan wajar dibangunkan sebagai sebuah pusat sehenti yang boleh menggambarkan bagaimana program ini boleh disepadukan

Terdapat hubungan signifikan antara frekuensi konsumsi nasi (p=0,000), kacang-kacangan (p=0,000), dan lauk hewani (p=0,028) dengan tingkat kecukupan zat besi ibu hamil..

a. Mas}lah}ah itu bersifat umum. Yang dimaksud dalam syarat ini adalah tashri>’ hukum atas suatu peristiwa itu harus mendatangkan manfaat bagi orang banyak. oleh

 Kawasan rawan air limbah resiko 3 terdiri dari Kecamatan Jatirejo, Gondang, Pacet, Trawas, Ngoro, Pungging, Kutorejo, Mojosari, Dlanggu, Bangsal, Puri, Trowulan,