89
KONSTITUSIONALITAS PRESIDEN DALAM MEMBENTUK PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG (Studi Kasus Terhadap dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi) oleh: Arifudin, SH, MH.1
Abstract
According to Article 22 Paragraph (1) of the 1945 Constitution stated that 'in Happenings crunch that forced the President has the right set of government regulations in lieu of law'. Therefore the president has the constitutional rights in accordance with the legislation in force in the issuing of Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) Number 1 Year 2013 regarding the Second Amendment to Law Number 24 Year 2003 regarding the Constitutional Court, however, in issued a decree quo should qualify crunch forcing matters, and at least a race on expert opinion that has been formulated as a picture crunch forcing matters, namely: the state never considered previously and demanded an immediate action without waiting for the consent of the advance; there is an urgent need for action or reasonable necessity; limited time available (limited time) or there is a time crunch; no other alternative is available or based on logical reasoning (beyond reasonable doubt) Another alternative is not expected to be able to cope with the situation, so that the regulation has the determination is the only way to remedy the situation; can not be replaced by other measures; The measure is temporary; and when action is taken, the parliament can not be real and earnest. So if it is materially the president can not be issued a decree quo, because it is not in matters of urgency into force as the force crunch criteria. Formulation matters of urgency was an act of force to avoid the arbitrariness of the authorities and as a consequence as a legal state.
Keywords:
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang
Indoneisa sebagai negara hukum memiliki konsekuensi logis dalam menerapkan sistem hukum ke berbagai aspek. Jabatan public merupakan aspek penting yang perlu diatur di dalam aturan hukum, agar pelaksanaan jabatan tersebut tidak keluar dari koridor peruntukan yang telah ditentukan hukum.
Presiden merupakan jabatan publik yang juga sebagai jabatan tertinggi dalam kekuasaan eksekutif. Selain itu, presiden juga memiliki peran yang strategis dalam membangun dan mewujudkan cita-cita rakyat indonesia. Namun dalam melaksanakan peran tersebut, presiden harus berpedoman pada Undang-Undang
1 Arifudin, adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah Jakarta, dan merupakan alumni Fakultas Hukum (S1) dan Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum (S2) Universitas Islam As-syafi’iyah Jakarta,
90
Dasar 1945 (UUD 1945) dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dalam sumpah/janji sebelum memangku jabatan tersebut2. Dalam melaksanakan perannya, presiden dituntut berperan aktif dalam menanggapi segala hal yang terjadi di masyarakat untuk menjaga stabilitas negara dari kondisi yang tidak normal (abnormal). Untuk merespon segala hal yang demikian, maka UUD 1945 melalui Pasal 22 memberikan hak kepada presiden untuk membentuk peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang untuk menangani kondisi yang dianggap tidak stabil. kondisi yang tidak stabil/abnormal tersebut dibahasakan di dalam UUD 1945 sebagai “hal ikhwal kegentingan memaksa”.
Jika suatu peristiwa yang dikategorikan sebagai “hal ikhwal kegentingan memaksa” maka presiden berhak untuk membuat peraturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dengan waktu yang singkat untuk mengatasi berbagai kondisi yang abnormal tersebut, baik di bidang plitik, ekonomi, sosial, kemanan dan lainnya yang kemudian akan berlaku mengikat dan menyeluruh tanpa perlu adanya persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini disebabkan karena kejadian yang perlu ditangani secara cepat, sehingga dalam prosedurnya tidak diperlukan persetujuan DPR. Namun dalam waktu yang ditentukan, yakni pada sidang selanjutnya perlu ditegaskan kembali apakah peraturan yang dibentuk oleh presiden itu perlu disahkan sebagai undang-undang atau ditolak hingga keberadaanya tidak belaku mengikat dan memaksa seperti sifat yang dimiliki oleh undang-undang pada umumnya3. Oleh karena itu, presiden memiliki hak istimewa dalam rangka menstabilkan kondisi yang dianggap perlu tindakan yang cepat untuk menanggulangi persoalan hingga tidak menimbulkan gejala yang dapat merusak kondisi keamanan negara.
Dengan perkembangan politik dan hukum di indonesia, maka presiden di dalam mengeluarkan Perppu tidak terlepas dari berbagai tanggapan para ahli hukum maupun masyarakat pada umumnya. Dalam persoalan hukum yang
2 Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 “Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut : Sumpah Presiden (Wakil Presiden): “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa”. Janji Presiden (Wakil Presiden) : “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
3 Lihat Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang dasar 1945: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
ayat (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. ayat (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut”.
91
menjadi topik hangat sekarang ini adalah mengenai adanya dugaan korupsi di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Yakni adanya dugaan korupsi yang dilakukan oleh ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Dengan adanya dugaan korupsi yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut maka kemudian direspon oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) untuk tersangka Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Akil Mochtar ditangkap oleh KPK pada hari Rabu malam tanggal 3 Oktober 2013 yang di duga menerima suap dari perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU.D) Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Lebak. Namun KPK tidak hanya perkara PHPU Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Lebak saja yang di duga mengandung korupsi, KPK juga menambahkan sangkaan pasal terhadap Akil Mochtar4. Menurut Johan (Juru Bicara KPK) berdasarkan Pasal 12 B, KPK dalam pengembangan menemukan korupsi penerimaan-penerimaan lain, selain sengketa Pemilu Kada Kabupaten Gunung Mas, Kalimatan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Banten. Dugaannya adalah terjadi tindak pidana korupsi terkait penerimaan hadiah atau janji AM selaku Hakim Konstitusi yang berkaitan dengan penanganan perkara di lingkup kewenangan MK5.
Dengan terjadinya hal tersebut, kemudian Presiden memberikan respon dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan yang mendera Mahkamah Konstitusi sekarang ini. Perppu yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu MK) yang disahkan pada tanggal 17 Oktober di Jogjakarta6.
Tindakan presiden tersebut menuai berbagai pro dan kontra di kalangan ahli hukum. Moh. Mahfud MD sebagai ahli hukum tata negara menyatakan setuju terhadap Perppu yang dikeluarkan oleh presiden karena memang keadaan yang terjadi di lingkungan Mahkamah Konstitusi merupakan kondisi yang cukup genting7. Selanjutnya pihak yang kontra terhadap Perppu yang dikeluarkan oleh presiden melakukan pengujian Perppu dengan Undang-Undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Seorang senior ahli hukum tata negara, Jimly Asshidiqie menagaskan menolak dikeluarkannya Perppu yang dikeluarkan oleh presiden
4 Lihat KPK Endus Korupsi Baru Akil Mochtar,
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/10/16/1/188565/KPK-Endus-Korupsi-Baru- Akil-Mochtar
5 Ibid.
6 Lihat Presiden SBY Resmi Tandatangani Perppu MK,
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/10/17/176105/Presiden-SBY-Resmi- Tandatangani-Perppu-MK
7 Lihat Mahfud-Jimly Beda Sikap soal Perpu Penyelamatan MK, http://pontianak.
tribunnews.com/2013/10/06/mahfud-jimly-beda-sikap-soal-perpu-penyelamatan-mk
92
dalam menanggapi kejadian yang menimpa Ketua Mahkamah Konstitusi yang di duga melakukan tindakan korupsi. Menurutnya tindakan presiden merupakan langkah inkonstitusional dan tidak menyelesaikan masalah8.
Di kalangan masyarakat biasa adalah adalah Habiburokhman yang berprofesi sebagai pengacara yang melakukan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dia beralasan Perppu tersebut dikeluarkan dalam keadaan tidak genting dan memaksa terkait MK9. Menurut Habib salah satu dari penggugat Perppu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa persoalan tertangkapnya Akil Mochtar sama sekali bukan persoalan genting dan memaksa terkait Mahkamah Konstitusi. Tapi itu persoalan genting dan memaksa terkait pemberantasan korupsi. Menurut Habib, Perppu yang ditandatangani Presiden SBY seharusnya Perppu-Perppu tentang pemberantasan korupsi yang memberi wewenang lebih besar kepada institusi- institusi penegak hukum pemberantas korupsi khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lebih jauh Habib menjelaskan, jika Perppu MK ini lolos di DPR, maka bisa menjadi preseden buruk masa mendatang dimana Presiden akan mengeluarkan Perppu lainnya yang sifatnya tidak genting10.
Sekedar diketahui, Perppu MK tersebut ditandatangani Presiden SBY di Istana Negara Yogyakarta memuat tiga hal utama. Yakni penambahan persyaratan menjadi hakim MK, memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi, dan perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Dengan persoalan yang tergambar dalam paparan di atas maka menarik untuk dikaji bagaimana sebenarnya presiden dapat mengeluarkan Perppu? Lalu bagaimana sebenarnya yang dimaksud dengan hal ikhwal kegentingan memaksa tersebut? Oleh karena itu, maka makalah ini akan mengkaji beberapa hal yang menjadi persoalan dalam paparan latar belakang di atas.
B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan yang telah di paparkan di atas, maka dapat diklasifikasikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi landasan Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi?
8 Ibid.
9 Ibid.
10 Ibid.
93
2. Bagaimana rumusan hal ikhwal kegentingan memaksa sebagai alasan Presiden dalam membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945?
C. Metode Penelitian
Dalam pembahasan ini penulis menggunakan metode pendekatan penelitian yuridis normatif. Dalam pendekatan yuridis normatif ini dilakukan telaah terhadap data sekunder berupa dokumen atau literatur, yang dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi yang diperoleh melalui peraturan perundang- undangan, data-data tertulis, buku-buku, hasil seminar, hasil penelitian, pengkajian dan tulisan atau referensi lain, serta penelusuran data dan informasi melalui website yang berkaitan dengan persoalan yang dibahas dalam penulisan ini. Data sekunder yang dikumpulkan untuk diolah dan dianalisis tersebut terdiri atas adalah :
1. sumber-sumber hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan dokumen-dokumen hukum yang berkaitan dengan konstitusionalitas presiden dalam membentuk Perppu;
2. sumber hukum sekunder berupa buku-buku, hasil penelitian, makalah, hasil kajian, dan artikel hasil pemikiran para ahli hukum.
3. sumber hukum tersier berupa kamus hukum, encyclopedia, serta informasi-informasi lain menyangkut masalah konstitusionalitas presiden dalam membentuk Perppu.
Data sekunder yang sudah diperoleh dianalisis secara kualitatif dan selanjutnya dipaparkan untuk keperluan penarikan kesimpulan. Adapun teknik penarikan kesimpulan yang digunakan adalah teknik deduktif, dimana penemuan suatu hal/kasus digunakan untuk keperluan generalisasi masalah.
II. KAJIAN TEORITIK
A. Tinjauan umum tentang pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang oleh Prseiden
Dalam teori trias politica dalam pandangan sempit, maka kekuasaan membentuk aturan ada pada kekuasaan legislatif, yakni pemerintah yang dikepalai oleh presiden. Di indonesia penerapan teori tersebut tidak diterapkan secara kaku.
Salah satunya adalah yang telah ditentukan oleh UUD Tahun 1945 Pasal 22 ayat (1) yakni pemberian kekuasaan kepada presiden untuk membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Hal ini membuktikan bahwa kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan tidak hanya sebagai pelaksana (eksekutor), tetapi juga sebagai pembentuk aturan. Untuk membuat Perppu ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi olreh presiden dalam membentuk peraturan tersebut, yakni harus
94
memenuhi kondisi “dalam hal ikhwal kegentingan memaksa”. Dalam Wewenang, kewajiban, dan hak Presiden secara general yang tercantum secara konstitusional dan menurut undang-undang, ada beberapa Wewenang, kewajiban, dan hak Presiden, diantaranya11:
1. Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD;
2. Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara;
3. Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU;
4. Menetapkan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa);
5. Menetapkan Peraturan Pemerintah;
6. Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri;
7. Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR;
8. Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR;
9. Menyatakan keadaan bahaya;
10. Mengangkat duta dan konsul. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR;
11. Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR;
12. Memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung;
13. Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR 14. Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan
UU;
15. Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
16. Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan disetujui DPR;
17. Menetapkan hakim konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung;
18. Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR.
Dalam teori kewenangan, maka terkait dengan pembuatan Perppu merupakan kewenangan yang dimiliki Presiden dengan dasar Pasal 22 Undang-
11 Lihat Presiden Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Presiden_Indonesia
95
Undang Dasar merupakan kewenangan atribusi karena diamanatkan oleh Undang- Undang Dasar12.
Berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan bahwa : (1). Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, (2).Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikutnya.
(3).Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Berarti Perppu merupakan bentuk peraturan perundangan yang dibuat oleh presiden tanpa perlu ada persetujan dari DPR karena kegentingan yang memaksa dan apabila dalam keadaan yang telah normal, maka Perppu tersebut harus dibicarakan kembali untuk mendapat prsetujuan DPR.
Penetapan Perppu yang dilakukan oleh Presiden ini juga dicantumkan juga di dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Perppu sebagai wewenang ekslusif presiden ini menuai beberapa persoalan yang tidak terlepas dari dugaan politik tertentu, sehingga Perppu yang dikeluarkan tidak cukup ideal sebagai sebuah regulasi. Seperti dikeluarkannya Perppu nomor 1 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah13.
Semenjak pemerintahan Soeharto hingga pemerintahan yang dipegang oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang paling rajin mengelluarkan Perppu adalah pada masa pemerintahan SBY. Pada rezim pemerintahan SBY telah mengeluarkan sebanyak 16 Perppu,14 dan yang paling baru adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada pemerintahan sebelum-sebelumnya seperti pada pemerintahan soeharto dari tahun 1966-1977 hanya 6 (enam) Perppu saja15. Selebihnya pada pemerintahan Megawati hanya mengeluarkan 4 (empat) Perppu, serta pemerintahan era Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid masing-masing mengeluarkan 3 (tiga) Perppu16. Berikut adalah Perppu yang telah dikeluarkan pada saat pemerintahan SBY:
12 Anak Agung Wiwik Sugiantari, Op Cit,
13 Lihat Ahmad Yani, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Responsif, Konstitusi Pers;Jakarta, Maret 2013, hal 76-77.
14 Ibid. hal 77
15 Lihat Saldi Isra, Eksistensi Perppu dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan, melalui http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/1273_Eksistensi_Perppu.pdf
16 Lihat Ahmad Yani, Pembentukan....hal. 77
96
Nomor Tentang
1 Tahun 2005
PENANGGUHAN MULAI BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
2 Tahun 2005
BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI WILAYAH DAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS PROVINSI SUMATERA UTARA
3 Tahun 2005 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
1 TAHUN 2006
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
2 TAHUN 2006
PENANGGUHAN PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI PENGADILAN PERIKANAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 71 AYAT (5) UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
1 TAHUN 2007
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2000 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS MENJADI UNDANG-UNDANG
2 TAHUN 2007
PENANGANAN PERMASALAHAN HUKUM DALAM RANGKA PELAKSANAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI WILAYAH DAN KEHIDUPAN MASYARAKAT DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS PROVINSI SUMATERA UTARA
1 TAHUN 2008 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA 2 TAHUN 2008 PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23
TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA
3 TAHUN 2008 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN
4 TAHUN 2008 JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN
5 TAHUN 2008
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
1 TAHUN 2009
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
2 TAHUN 2009 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
3 TAHUN 2009 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN
97
4 TAHUN 2009
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
1 TAHUN 2013 PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
Sumber: www.setneg.go.id/Produk hukum/Perppu
B. Tinjauan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau dikenal dengan sebutan Perppu merupakan produk undang-undang yang dikeluarkan secara sepihak (eksekutif) yang sifatnya sama seperti undang-undang pada umumnya.
Mengenai tingkatan derajatnya antara Undang-Undang dengan Perppu memiliki derajat yang sama17.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dikonsepsikan sama dengan undang-undang pada umumnya, akan tetapi karena kegentingan memaksa maka ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah18. Menurut Bagir Manan, yang dimaksud dengan pengganti undang-undang adalah bahwa materi muatan Perppu merupakan materi muatan undang-undang. Dalam keadaan biasa (normal) materi muatan tersebut harus diatur dengan undang-undang19.
Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kemudian untuk menegaskan hierarki tersebut dijelaskan melalui Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Sebagai peraturan darurat, Perppu mengandung pembatasan-pembatasan.
Pertama: Perppu hanya dikeluarkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Dalam praktik hal ikhwal kegentingan yang memaksa sering diartikan secara luas.
Tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau
17 Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
18 Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara darurat, Edisi ke-1, PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta.2007. hal. 3.
19 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992, hal. 50.
98
ancaman, tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang mendesak. Siapakah yang menentukan kegentingan yang memaksa itu? Karena kewenangan menetapkan Perppu ada pada Presiden, Presidenlah yang secara hukum menentukan kegentingan yang memaksa20. Kedua, Perppu hanya berlaku untuk jangka waktu yang terbatas. Presiden paling lambat dalam masa sidang DPR berikutnya- harus mengajukan Perppu ke DPR untuk memperolah persetujuan.
Apabila disetujui DPR, Perppu berubah menjadi undang-undang. Kalau tidak disetujui, Perppu tersebut harus segera dicabut21.
Undang-undang darurat atau Perppu adalah dimaksudkan menyebut suatu peratutan berderajat undang-undang sebagai gantinya undang-undang yang dibuat dalam hal ikhwal yang perlu segera diatur, sehingga tidak perlu menunggu persetujuan DPR dulu. Undang-undang tentang keadaan darurat adalah suatu undang-undang yang mengatur manakala ada keadaan bahaya, baik mengatur tentang syarat-syaratnya kapan boleh dinyatakan ada keadaan bahaya maupun akibat-akibat hukumnya setelah dinyatakan adanya keadaan bahaya itu22.
C. Tinjauan Tentang Hal Ikhwal Kegentingan Memaksa
Pada hakikatnya, Perppu merupakan aturan yang dikeluarkan oleh presiden23 untuk difungsikan sebagai antisipasi keadaan yang luar biasa, sehingga untuk menjaga stabilitas negara, Perppu dapat menjadi alternatif untuk menjaga imparsialitas kondisi negara. Secara konstitusional, Perppu merupakah hak presiden untuk mengeluarkannya, namun Perppu juga harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka Perppu harus dicabut. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa yang berwenang melakukan pengujian Perppu secara politik (political review) adalah DPR.24
20 Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2007, hal. 208-209, Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan ditentukan syarat-syarat objektif untuk pemberlakuan, pengawasan, dan pengakhiran suatu keadaan bahaya itu, sedangkan Pasal 22 UUD 1945 tidak menentukan adanya syarat-syarat objektif semacam itu, kecuali menyerahkan pelaksanaan sepenuhnya kepada Presiden untuk menilai apakah kondisi negara berada dalam keadaan genting dan memaksa atau terdapat hal ikhwal kegentingan yang bersifat memaksa untuk ditetapkan suatu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Dengan perkataan lain, Pasal 12 mengatur mengenai keadaan yang bersifat objektif, sedangkan Pasal 22 mengatur mengenai tindakan pengaturan yang harus dilakukan oleh Presiden atas dasar penilaian subjektifnya mengenai keadaan negara.
21 Riri Nazriyah, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, JURNAL HUKUM NO. 3 VOL. 17 JULI 2010: 383 - 405
22 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, Cetakan Pertama, Gama Media kerja sama Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1999, hal. 70
23 Pasal 22 UUD 1945, ayat (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. ayat (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. ayat (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
24 Ni’matul Huda, Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 7 Nomor 5, Oktober 2007, hal. 75
99
Menurut Saldi Isra sebagai ahli hukum tata negara terkait dengan kekuasaan presiden dalam membentuk Perppu mengatakan bahwa “Berdasarkan ketentuan Pasal 22 Ayat (1) UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa 'dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang'. Ketentuan tersebut disebut sebagai “hak konstitusional subjektif Presiden”25.
Mengenai perspektif keadaan yang luar biasa dalam membuat Perppu ini dapat dikatakan sebagai keadaan/kondisi yang “genting dan memaksa”. Unsur kegentingan dan memaksa harus menunjukan dua ciri umum, yaitu (1) ada krisis (crisis), dan (2) kemendesakan (emergency). Dikatakan kemendesakan (emergency) ini apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.26
Selanjutnya kriteria tentang apa yang dimaksudkan dengan istilah hal ikhwal kegentingan yang memaksa dapat dikatakan juga sebagai suatu keadaan yang sukar, penting dan terkadang krusial sifatnya, yang tidak dapat diduga, diperkirakan atau diprediksi sebelumnya, serta harus ditanggulangi segera dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang- undang27.
Keadaan bahaya tidak boleh berlama-lama, karena fungsi utama hukum negara darurat (staatsnoodrecht) ialah menghapuskan segera bahaya itu sehingga kembali normal. Bila terjadi keadaan berlama-lama, nood (bahaya) itu maka menyalahi tujuan diadakan hukum negara darurat. Keadaan bahaya dengan upaya luar biasa harus ada keseimbangan, supaya kewenangan itu tidak berkelebihan sekaligus mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang besar. Keadaan bahaya itu adalah sesuatu yang abnormal, untuk mengatasi bahaya itu hukumnya pun dalam keadaan biasa pun harus dipandang abnormal dan luar biasa, mungkin dalam keadaan normal tindakan penguasa itu masuk dalam kategori onrechtmatig, namun karena keadaan bahaya atau abnormal, maka tindakan Penguasa itu adalah sah dan dapat dibenarkan28.
Dalam pembentukan Perppu, hal yang menjadi kontrofersi saat ini adalah ukuran kegentingan yang memaksa sebagai dasar politis dan sosiologis bagi
25 Eksistensi PerPPU dalam Sistem Perundang-undangan http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=8556
26 Ibid.
27 I Gde Pantja Astawa, Ruang Lingkup dan Pelaksanaan Wewenang Presiden Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung, Thesis Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 1992, hlm. 178-179. Dalam dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Cetakan ke 1, PT. Alumni Bandung, 2008, hal. 99-100
28 R. Kranenburg, De Grondslagen der Rechtswetenschap, Cetakan ketiga, 1951, hal. 94-96, yang dikutip kembali oleh oleh Herman Sihombing dalam Hukum Tata Negara Darurat di
Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1996, hal. viii.
100
pembentukan Perppu. Bahkan sering kali muncul pameo di masyarakat pada umumnya bahwa Perppu dibentuk bukan karena ada kegentingan yang memaksa, melainkan ada kepentingan yang memaksa. Kegentingan yang memaksa dapat dikategrikan sebagai kondisi yang abnormal yang membutuhkan upaya-upaya diluar kebiasaan untuk segera mengakhiri kondisi tersebut. Dalam lintasan sejarah bangsa indonesia sering kali terjadi peristiwa-peristiwa dan kondisi-kondisi abnormal, baik di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, bencana alam dan sebagainya. Dimana instrumen hukum positif yang ada sering kali tidak mampu berperan sebagai solusi29.
Ada beberapa syarat materil untuk melakukan penetapan Perppu. Syarat dimaksud adalah:30
a. Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau reasonable necessity;
b. Waktu yang tersedia terbatas (limited time)atau terdapat kegentingan waktu;
c. Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt)alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.
Lebih lanjut Saldi Isra juga mengatakan bahwa bahwa sampai sejauh ini, tidak ada kriteria yang jelas mengenai makna “kegentingan yang memaksa”.
Berkaitan dengan kegentingan memaksa, dapat digunakan teori dari AALF van Dulleman dalam bukunya Staatsnoodrecht en Democratie (1947) mengenai 4 (empat) syarat Hukum Tata Negara Darurat, yaitu eksistensi Negara tergantung tindakan darurat yang dilakukan; tindakan itu diperlukan karena tidak bisa digantikan dengan tindakan lain; tindakan tersebut bersifat sementara; dan ketika tindakan diambil, parlemen tidak bisa secara nyata dan sungguh- sungguh31. Namun dalam merumuskan hal kegentingan memaksa yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan hak konstitusional subjektif presiden32.
Sedangkan menurut Maria Farida Indrati, Penjelasan Pasal 22 UUD Tahun 1945, syarat kegentingan memaksa, kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24 C UUD Tahun 1945, kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi
29 J. Ronald Mawuntu, Eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum Unsrat, Vol. XIX/No. 5/Oktober- Desember/2011
30 Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers : Jakarta, 2007).
hal. 282
31 Lihat Eksistensi PerPPU dalam Sistem Perundang-undangan,
http://ristek.go.id/index.php/module/PustakaVideo/category/file/upload/Lelang_2011/Pengadaan_
Barang_17Maret2011.doc?module=News%20News&id=8556
32 Lihat Saldi Isra, Eksistensi Perppu dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan, melalui http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/1273_Eksistensi_Perppu.pdf.
101
menurut Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 serta perkembangan wewenang Mahkamah Konstitusi. Menurut Maria Farida, penjelasan UUD Tahun 1945 masih mempunyai daya laku karena dalam amandemen UUD Tahun 1945 penjelasan tidak pernah dicabut. Oleh karena itu, dalam mempelajari Perppu harus melihat penjelasan Pasal 22 UUD Tahun 194533. Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan ini memang perlu diadakan agar keselamatan negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan genting, yang memaksa Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, Pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR34.
Dari beberapa pendapat ahli hukum di atas mengenai rumusan yang dimaksud hal ikhwal kegentingan memaksa maka dapat disimpulkan bahwa kriteria hal ikhwal kegentingan memaksa adalah:
a. Keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu;
b. Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau reasonable necessity;
c. Waktu yang tersedia terbatas (limited time)atau terdapat kegentingan waktu;
d. Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut;
e. Tidak bisa digantikan dengan tindakan lain;
f. Tindakan tersebut bersifat sementara; dan
g. Ketika tindakan diambil, parlemen tidak bisa secara nyata dan sungguh- sungguh.
Selanjutnya, terkait dengan kekuatan mengikatnya Perppu, Maria menjelaskan bahwa Perppu mempunyai kekuatan hukum mengikat sebelum adanya penolakan/persetujuan DPR. Jika Perppu tersebut disetujui oleh DPR, maka Perppu akan menjadi UU. Namun, bila Perppu tidak mendapat persetujuan DPR (ditolak), maka Perppu tersebut akan kehilangan kekuatan berlaku, ujar Maria Farida. Perppu dinyatakan tidak berlaku dengan UU Pencabutan Perppu. UU Pencabutan Perppu ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan dinyatakan berlaku surut sejak tanggal penolakan Perppu oleh DPR35.
33 Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 “Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden.
Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat”
34 Op Cit, Eksistensi Perppu....
35 Ibid.
102 III. ANALISIS
A. Landasan Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tertanggal 17 Oktober 2013 di Jogjakarta yang ditujukan untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi karena ada dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi. Akil Mochtar di duga menerima suap dari perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU.D) Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Lebak.
Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memuat pertimbangan dari Perppu tersebut sebagai berikut:
a. bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
b. bahwa untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar, akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi, perlu dilakukan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
c. bahwa untuk mengatasi keadaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai syarat dan pengajuan hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi;
Dari pertimbangan untuk membuat Perppu yang dimaksud di atas, maka dapat disimpulkan ada beberapa poin yakni:
a. hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara b. menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk
mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi
103
sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang- Undang Dasar
Perkara korupsi memang perkara yang telah dikelompokan sebagai “extra ordinary crime” atau kejahatan luar biasa yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM yang berat dengan mengaitkannya pada Konvensi PBB tentang Melawan Korupsi36. Oleh karena itu dugaan perkara korupsi yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah konstitusi merupakan keadaan yang tidak biasa, sehingga kemudian menurut Pasal 22 Ayat (1) UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa 'dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang’. Oleh karena itu walaupun presiden memiliki hak konstitusional untuk mengambil langkah terhadap kondisi yang dihadapi negara sekarang ini tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan, karena pada dasarnya memang korupsi merupakan hal yang abnormal dan juga termasuk dalam kategori kejahatan yang luar biasa, namun tidak genting dan memaksa sebagaimana yang menjadi persyaratan presiden dalam mengeluarkan perppu. Selain itu, indonesia sebagai negara hukum tentu harus ada landasan hukum yang jelas dalam merumuskan “hal ikhwal kegentingan memaksa” dimaksud. Karena tujuan dibentuknya negara hukum adalah menghindari adanya kesewenangan dari penguasa, karena kekuasaan itu mempunyai kecenderungan untuk disalahgunakan (power tends to corrupt)37. Sehingga tindakan mengeluarkan Perppu oleh presiden bertentangan dengan UUD 1945.
B. Rumusan hal ikhwal kegentingan memaksa sebagai alasan Presiden dalam membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap dirumahnya oleh KPK pada Rabu malam tanggal 3 Oktober 2013 yang kemudian membuat gejolak di masyarakat. Media gencar memberitakan dugaan korupsi di wilayah Mahkamah Konsttusi tersebut. karena selama ini Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan yang selama ini menjadi wadah masyarakat untuk mencari keadilan.
Hingga kemudian Susilo Bambang Yudhoyono merespon kejadian tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tanggal 17 Oktober 2013.
36 Lihat Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Program Magister Ilmu Hukum : Semarang. 2008, hal 92
37 Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty:Yogyakarta, 2000, hal. 18
104
Presiden dalam mengeluarkan Perppu harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa 'dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang’.
Dalam pemahaman hal ikhwal kegentingan memaksa adalah:
a. Keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu;
b. Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau reasonable necessity;
c. Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu;
d. Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut;
e. Tidak bisa digantikan dengan tindakan lain;
f. Tindakan tersebut bersifat sementara; dan
g. Ketika tindakan diambil, parlemen tidak bisa secara nyata dan sungguh- sungguh.
Persoalan mengenai adanya dugaan korupsi yang dilakukan di lingkungan Mahkamah Konstitusi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan tidak dilakukan secara massif oleh seluruh anggota atau staf yang ada adalah tindakan yang bisa di atasi oleh lembaga ad hoc Komisi Pemberantasan Korupsi. Sehingga presiden dalam hal ini tidak perlu mengeluarkan Perppu untuk mengatasi kejadian yang tidak masuk dalam kategori hal ikhwal kegentingan memaksa. Mengenai niat dari presiden Republik Indonesia yang dituangkan di dalam pertimbangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yakni untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi tidak pula memenuhi unsur hal ikhwal kegentingan memaksa, karena masih ada 8 (delapan) anggota Hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak cacat etika dan masih dipercaya oleh masyarakat. Lagi pula apabila ditinjau dari waktu kejadian dengan diterbitkannya Perppu tersebut telah telah melampaui waktu yang cukup lama, yakni dari waktu kejadian tanggal 3 Oktober 2013, dan dikeluarkan Perppu tanggal 17 Oktober 2013, sehingga dalam waktu 14 (empat belas) hari tersebut tidak menjadi genting.
IV. PENUTUP
105
1. Menurut Pasal 22 Ayat (1) UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa 'dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang’. Oleh karena itu presiden yang memiliki hak konstitusional telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun, dalam mengeluarkan Perpu a quo harus memenuhi syarat hal ikhwal kegentingan memaksa, dan setidak- tidaknya harus berpacu pada pendapat ahli yang telah dirumuskan sebagai gambaran hal ikhwal kegentingan memaksa, yakni : keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu; ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau reasonable necessity; waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu; tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut; tidak bisa digantikan dengan tindakan lain; tindakan tersebut bersifat sementara; dan ketika tindakan diambil, parlemen tidak bisa secara nyata dan sungguh-sungguh. Sehingga jika secara materil maka presiden belum dapat mengeluarkan Perpu a quo, karena tidak dalam hal ikhwal kegentingan memaksa sebagaimana yang menjadi kriteria kegentingan memaksa tersebut. Rumusan hal ikhwal kegentingan memaksa tersebut merupakan tindakan untuk menghindari adanya kesewenangan dari penguasa dan sebagai konsekuensi sebagai negara hukum.
2. Presiden Republik Indonesia sebagai kepala negara yang memiliki hak untuk mengeluarkan Perppu dalam hal ikhwal kegentingan memaksa.
Namun jika ditiinjau dari makna yang terkandung dalam kalimat hal ikhwal kegentingan memaksa dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maka presiden dalam menngeluarkan Perppu tersebut tidak memenuhi unsur yang di kategorikan sebagai “hal ikhwal kegentingan memaksa” karena berupa dugaan korupsi yang dilakukan di lingkungan Mahkamah Konstitusi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan tidak dilakukan secara massif oleh seluruh anggota atau staf yang ada, padahal masih ada 8 (delapan) anggota Hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak cacat etika dan masih dipercaya oleh masyarakat.
106 DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Ashiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara darurat, Edisi ke-1, PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta. 2007.
Ashiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Penerbit : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI : Jakarta.
2006.
Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara, Cetakan Pertama, Gama Media kerja sama Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia : Yogyakarta. 1999.
Jaya, Nyoman Serikat Putra, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Program Magister Ilmu Hukum : Semarang. 2008.
Manan, Bagir, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co : Jakarta, 1992.
Na’a, Suprin, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Cetakan ke 1, PT. Alumni : Bandung, 2008.
Sihombing, Herman, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, Djambatan : Jakarta, 1996.
Thaib, Dahlan, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty:Yogyakarta, 2000, hal. 18
Yani, Ahmad, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Responsif, Konstitusi Pers : Jakarta, Maret 2013.
Artikel/Majalah Hukum
Huda, Ni’matul, Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 7 Nomor 5, Oktober 2007.
Mawuntu, J. Ronald, Eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum Unsrat, Vol. XIX/No. 5/Oktober-Desember/2011.
Nazriyah, Riri, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal Hukum No. 3 vol. 17 Juli 2010: 383 – 405
Peraturan Perundang-Undangan
107
Undang-Undang Dasar Negara Kdesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Website/Internet
http://www.metrotvnews.com http://www.suaramerdeka.com http://www.gatra.com
http://www.tribunnews.com http://www.antaranews.com http://id.wikipedia.org
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id http://www.ristek.go.id