1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena pandemi COVID-19 yang masih berlangsung hingga sekarang ini tidak hanya berpengaruh pada sektor kesehatan dan ekonomi, namun juga berpengaruh pada sektor pendidikan. Pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang dilakukan pemerintah sebagai upaya mengurangi penyebaran virus COVID-19 mengakibatkan seluruh kegiatan belajar mengajar ikut berubah. Pembelajaran tatap muka atau pembelajaran secara langsung tidak dapat dilakukan dengan maksimal dan sebagai alternatifnya digantikan dengan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) atau istilah lainnya daring (dalam jaringan) melalui bimbingan orang tua. Pembelajaran tatap muka terbatas di masa pandemi COVID-19 masih dapat dilakukan di wilayah zona hijau dengan izin dari SATGAS COVID-19 wilayah tersebut dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan yang sudah ditentukan. Kondisi pembelajaran seperti ini pun dirasa masih belum efekif karena waktu pembelajaran tatap muka yang sangat terbatas sehingga siswa masih belum maksimal untuk menangkap pembelajaran dengan baik.
Pada saat seperti ini efektivitas pembelajaran menjadi berkurang, dikarenakan adanya pembatasan untuk melakukan kegiatan di luar rumah, juga jaringan internet yang ada di wilayahnya tidak cukup baik untuk dapat melakukan kegiatan pembelajaran secara daring, akibatnya banyak siswa yang merasa kesulitan ketika melakukan pembelajaran. Hal ini juga berdampak pada kecerdasan emosional siswa, dikarenakan siswa mengalami kecemasan akibat wabah ini yang berakibat pada berkurangnya kemampuan siswa menangkap materi pembelajaran (Fauziyah, 2020:8). Pembelajaran yang dilakukan selama pandemi ini menyebabkan rasa cemas atau stres pada sebagian siswa. Penyebab kecemasan ini adalah bahwa kurang mengertinya siswa pada topik pembelajaran, sulit menyusun tugas sekolah dengan benar
2 sesuai ketentuan, memiliki kendala pada saat membuka internet, yang pada akhirnya membuat siswa merasa khawatir ketika ia akan mengikuti pelajaran pada tahap berikutnya (Oktawirawan, 2020: 543).
Kegiatan belajar penting bagi setiap orang, karena melalui proses pembelajaran setiap orang dapat mengenal dan beradaptasi dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Nai (2017:9) mengungkapkan bahwa belajar adalah suatu bentuk usaha serta proses yang dikerjakan guna mendapatkan suatu perubahan sebagai akibat dari pengalamannya sendiri dalam berhubungan dengan lingkungan. Hakikat dari proses belajar itu sendiri adalah suatu proses dan usaha yang secara sadar dan berkesinambungan melalui berbagai aktivitas dan pengalaman untuk memperoleh pengetahuan baru dan baik dan mengarah pada perubahan tingkah laku. Perubahan tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, misalnya perubahan dalam hal pemahaman, pengetahuan, sikap, perilaku dan penerimaan (Supatminingsih dkk., 2020:1).
Perubahan yang terjadi pada individu tentunya tidaklah terjadi dengan sendirinya, sehingga untuk dapat mengetahui adanya perubahan yang terjadi perlu dilakukan sebuah penilaian. Adapun penilaian yang dilakukan di sekolah didapatkan dari hasil belajar siswa itu sendiri. Hasil belajar merupakan perubahan perilaku, baik peningkatan dalam hal pengetahuan, perbaikan sikap, maupun peningkatan keterampilan yang dialami siswa setelah menyelesaikan kegiatan pembelajaran (Pratiwi, 2015:80).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa dapat dikelompokkan dalam faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal meliputi faktor sosial termasuk hubungan siswa dengan guru, manjemen sekolah, kurikulum pendidikan serta sarana dan fasilitas sekolah. Sedangkan faktor internal meliputi motivasi, intelegensi, minat bakat, dan kondisi fisik (Susanty, 2007: 55). Adapun kecerdasan emosional merupakan bagian dari faktor internal yang dapat mempengaruhi keberhasilan belajar peserta didik (Asma, dkk., 2018: 181).
3 Kecerdasan intelektual (IQ) hanya memberikan kontribusi 20% bagi keberhasilan sedangkan 80% merupakan kontribusi dari faktor lain, termasuk kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yang berarti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengendalikan impuls, mengatur emosi, berempati dan kolaborasi dengan yang lain. Hal ini menunjukan bahwa IQ merupakan model pemahaman yang umum yang juga perlu mengembangkan kecerdasan emosional dan dapat memperkirakan hasil belajar individu (Novita dkk., 2015:80).
Seseorang dengan kecerdasan emosional memiliki lebih banyak pengalaman dan pengetahuan dibandingkan dengan mereka yang memiliki kecerdasan emosional lebih rendah. Individu dengan kecerdasan emosional tinggi akan lebih kritis dan rasional ketika menghadapi berbagai masalah.
Oleh karena itu, orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan mempertimbangkan kemungkinan konsekuensi di masa depan (Sipayung, 2010: 65).
Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang dipelajari pada tingkat pendidikan menengah atas (MA/SMA). Biologi adalah ilmu mengenai keadaan dan sifat dari makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Pada mata pelajaran biologi dipelajari pula sistem organ yang terdapat pada manusia salah satunya yaitu materi sistem ekskresi.
Sistem ekskresi merupakan salah satu diantara materi pelajaran di kelas XI IPA semester genap. Materi sistem ekskresi yaitu materi yang membahas tentang sistem pembuangan zat-zat sisa metabolisme dari dalam tubuh makhluk hidup. Menurut Sartono (2019) dalam Astuti (2020:3) menyebutkan bahwa sistem ekskresi merupakan suatu sistem saluran dalam tubuh manusia yang terdiri dari ginjal dan saluran pengeluarannya yang bertugas membersihkan tubuh dari zat-zat tidak dibutuhkan atau tidak berguna. Kemudian zat-zat sisa itu akan dibuang melalui organ-organ ekskresi yakni ginjal, paru-paru, hati dan kulit. Berdasarkan studi literatur, materi sistem ekskresi merupakan satu diantara materi yang sulit karena
4 banyaknya konsep yang harus dipelajari dan sulit dipahami oleh siswa (Prehtiningsih, dkk., 2015:40). Kesulitan belajar siswa ini dapat mengakibatkan hasil belajar siswa menjadi rendah. Selain itu menurut Simorangkir (2020:3) mengungkapkan bahwa materi sistem ekskresi merupakan materi yang dianggap sulit oleh siswa. Hal ini berdasarkan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa tingkat kesulitan belajar masuk dalam kategori sulit pada ranah kognitif. Dari hasil penelitiannya menunjukkan siswa mendapat nilai tes hasil belajar dibawah KKM dengan nilai rata rata 44,23.
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai
“Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Hasil Belajar Kognitif Siswa di Masa Pandemi Pada Materi Sistem Ekskresi”.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah tersebut, maka didapatkan rumusan masalah yaitu: “Bagaimana hubungan kecerdasan emosional dengan hasil belajar kognitif siswa di masa pandemi pada materi sistem ekskresi?”
Adapun beberapa butir pertanyaan dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana tingkat kecerdasan emosional siswa di masa pandemi?
2. Bagaimana hasil belajar kognitif siswa pada materi sistem ekskresi di masa pandemi?
3. Bagaimana hubungan kecerdasan emosional dengan hasil belajar kognitif siswa di masa pandemi pada materi sistem ekskresi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pemaparan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu:
1. Tujuan Umum
5 Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan hasil belajar kognitif siswa di masa pandemi pada materi sistem ekskresi.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khususnya dalam penelitian ini yaitu:
a. Menganalisis tingkat kecerdasan emosional siswa di masa pandemi.
b. Menganalisis hasil belajar kognitif siswa pada materi sistem ekskresi di masa pandemi.
c. Menganalisis hubungan kecerdasan emosional dengan hasil belajar kognitif siswa di masa pandemi pada materi sistem ekskresi.
D. Manfaat Penelitian
Adapun Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang hubungan antara kecerdasan emosional siswa dengan hasil belajar pada masa pandemi sehingga dapat digunakan kembali sebagai bahan referensi dan acuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah:
a. Bagi sekolah, dapat menjadi acuan yang baik bagi sekolah untuk meningkatkan proses pembelajaran.
b. Bagi guru, membantu dalam memahami kecerdasan emosional siswa dan digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan proses pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan
c. Bagi siswa, dapat melakukan penilaian diri sendiri dengan lebih baik sehingga dapat meningkatkan kecerdasan emosional dalam dirinya.
d. Bagi peneliti, dapat memberikan referensi untuk penelitian yang sedang dilakukannya.
6 E. Batasan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan, maka dibuat batasan masalah agar penelitian ini lebih jelas dan terarah pada hal-hal berikut:
1. Kecerdasan emosional diukur berdasarkan pendapat Goelman yang mencakup lima wilayah yaitu kesadaran diri, mengelola emosi, memotivasi diri, empati dan membina hubungan.
2. Hasil belajar yang adalah hasil belajar ranah kognitif C1-C6.
3. Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah materi sistem ekskresi.
F. Kerangka Berpikir
Keberhasilan siswa didalam kegiatan pembelajaran tidak sebatas terpengaruhi oleh faktor dari kecerdasan saja, namun diperlukan juga rasa percaya diri, semangat serta motivasi. Jika seseorang menginginkan kesuksesan agar dapat mencapai hasil belajar yang maksimal tentunya diperlukan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional yang baik. Jika seseorang memiliki kecerdasan emisional yang baik tentunya akan dapat mengelola emosi menjadi sebuah kekuatan guna meraih prestasi terbaik serta mampu memotivasi diri sendiri.
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan emosi, antara lain kemampuan untuk mengendalikan diri, daya tahan ketika menghadapi suatu masalah, mampu mengontrol impuls, menginspirasi diri sendiri, mampu mengatur emosi, dan kemampuan membangun hubungan dengan orang lain (Goleman, 2009 dalam Akbar dan Masykur, 2018: 160). Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh faktor lingkungan, tidak permanen, dan dapat berubah-ubah sewaktu-waktu (Asteria, 2014: 15). Menurut Goleman (2007) sebagaimana dikutip Nurjaya (2015: 109-110) mengungkapkan, adapun yang menjadi indikator EQ meliputi: 1) Self Awarenes, yaitu kemampuan untuk mengenali emosi atau memahami atas apa yang dirasakan, 2) Self Regulation, yaitu kemampuan mengatur emosi dan kekuatan pendorong yang ada pada diri mereka, 3) Self Motivation, yaitu kemampuan bertahan dalam
7 menghadapi kegagalan serta memiliki tingkat komitmen yang tinggi, 4) Empathi, yaitu kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, dan 5) Social Skill, yaitu kemampuan berinteraksi dengan orang lain dan menuntun emosi orang lain.
Tingkat kecerdasan emosional dalam penelitian ini diukur menggunakan kuesioner yang disusun berdasarkan ciri-ciri kecerdasan emosional dari Goleman yang mencakup lima wilayah dari kecerdasan emosional antara lain mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan. Kuesioner atau angket yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dengan menggunakan pendekatan skala likert. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat serta persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Situmorang, 2010:5). Skala ini banyak digunakan karena dapat memberi peluang kepada responden untuk mengekspresikan perasaan mereka dalam bentuk persetujuan terhadap suatu pernyataan (Simamora, 2005:23).
Hartatik (2017:71) mendefinisakan hasil belajar siswa yang pada hakikatya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotorik. Lebih jauh Sinar (2018:
22) mengungkapkan bahwa, hasil belajar merupakan hasil belajar seseorang dari berbagai mata pelajaran. Hasil tes membuktikan hal tersebut dalam bentuk hasil belajar. Penyelesaian belajar ini dapat berupa hasil dalam satu pokok bahasan. Adapun penelitian ini dikhususkan pada hasil belajar kognitif yang meliputi perilaku yang menekankan pada aspek intelektual seperti pengetahuan, pemahaman dan keterampilan berpikir.
Hasil belajar kognitif adalah perubahan perilaku yang terjadi dalam rentang kognisi. Tidak hanya satu kemampuan yang dibahas, tetapi kemampuan yang menyebabkan perubahan perilaku dalam domain kognitif yang mencakup beberapa tingkatan antara lain C1 (pengetahuan/mengingat), C2 (pemahaman), C3(penerapan), C4(analisis), C5(sintesis atau menilai), C6- berkreasi/mencipta. (Anderson & Krathwohl, 2001 dalam Pertiwi, dkk., 2019:136). Tujuan dari pengukuran ranah kognitif ialah untuk mendapatkan
8 informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa pada ranah kognitif khususnya pada tingkat hapalan pemahaman, penerapan, analisis, sintesa dan evaluasi (Nurbudiyani, 2013:16).
Ada dua cara untuk mengukur ranah kognitif yaitu melalui tes subjektif dan objektif. Tes subjektif biasanya biasanya dilakukan dalam berbentuk uraian, namun pada kenyataannya tes tersebut tidak dapat mencakup semua materi yang akan diujikan. Oleh karena itu, instrumen dalam penelitian ini tidak menggunakan tes subjektif, akan tetapi menggunakan tes objektif yaitu untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari tes uraian, karena saat menggunakan tes objektif jumlah soal yang diajukan jauh lebih banyak dari pada tes esay. Ada beberapa macam tes objektif, antara lain: tes benar dan salah, tes pilihan ganda, mencocokkan dan tes isian. Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan tes pilihan ganda. Multiple choice test terdiri atas bagian keterangan (stem) dan bagian kemungkinan jawaban atau alternative (options). Adapun kemungkinan jawaban (option) terdiri atas satu jawaban yang benar yaitu kunci jawaban dan beberapa pengecoh (distractor) (Nugroho, 2015:25).
Salah satu pembahasan di bidang biologi yaitu sistem ekskresi. Materi ini membahas mengenai struktur organ yang berperan dalam sistem ekskresi manusia dan proses metabolisme di dalam tubuh yang akan dikeluarkan melalui organ-organ ekskresi. Selain membuang zat-zat sisa metabolisme, sistem ekskresi juga bisa mengatur konsentrasi garam dan air di dalam tubuh (Zikra, dkk., 2016:104). Materi sistem ekskresi ini membutuhkan daya hafalan dan pemahaman yang cukup karena siswa akan dikenalkan pada organ-organ ekskresi, fungsi sistem ekskresi, upaya menjaga kesehatan sistem ekskresi dll Emelia, (2018:3). Hafalan dan pemahaman adalah dua aspek penilaian kognitif, yaitu pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, rumus-rumus, dll, tetapi tidak mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya (Djazari dan Sagoro, 2011: 105).
9 Pemahaman (comprehension), yaitu kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat.
Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seseorang dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata- katanya sendiri. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan berfikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan (Djazari & Sagoro, 2011: 106).
Adapun kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar Bagan 1.1 berikut ini:
Gambar 1.1 Bagan Kerangka Berpikir Analisis KI dan KD
Kecerdasan Emosional ( Variabel X)
1. Mengenali emosi sendiri 2. Mengelola emosi 3. Memotivasi diri sendiri 4. Mengenali emosi orang lain 5. Membina hubungan (Saputra dan Munaf,2020:185)
Hasil Belajar Siswa Materi Sistem Eskresi
(Variabel Y)
Aspek Kognitif : 1. C1-mengingat 2. C2- memahami 3. C3-menerapkan 4. C4-menganalisis 5. C5-menilai
6. C6-berkreasi/mencipta
(Anderson & Krathwohl, 2001 dalam Pertiwi, dkk., 2019:136)
Siswa Materi Sistem Ekskresi
Analisis Korelasi
Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosional dengan Hasil Belajar Kognitif Siswa pada Materi Sistem Ekskresi
Kuesioner Soal Tes
10 G. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ho : p = 0 : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan hasil belajar kognitif siswa pada materi sistem ekskresi
Ha : p ≠ 0 : Terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan hasil belajar kognitif siswa pada materi sistem ekskresi
H. Hasil Penelitian yang Relevan
Sebelum peneliti terjun ke lapangan, langkah paling penting yang harus dilakukan adalah melakukan kajian kepustakaan atau penelusuran penelitian terdahulu yang memiliki kaitan langsung atau tidak dengan permasalahan yang diangkat (Suprayogo dan Tabroni, 2001: 10). Adapun hasil penelitian yang relevan dalam kaitannya dengan penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:
1. Stepanili (2018:84) mengungkapkan bahwa realitas kecerdasan emosi siswa kelas X SMAN 26 Bandung yang menjadi objek penelitiannya termasuk ke dalam kategori cukup dan realitas hasil belajar siswa terutama pada mata pelajaran PAI termasuk ke dalam kategori sangat baik yang artinya bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel X (kecerdasan emosi) dan variabel Y (hasil belajar siswa).
2. Budiarta, dkk (2014:9) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar. Pada hasil penelitiannya diperoleh bahwa kecerdasan emosional berkontribusi sebesar 84,64% terhadap prestasi belajar IPA.
3. Seuselu (2015:1) menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan hasil belajar siswa pada mata pelajaran biologi di kelas X AP SMK Negeri 1 Batuda. Hal ini dapat terlihat dari nilai koefisien korelasi sebesar 0,16 dan uji keberartian koefisien korelasi dengan uji t diperoleh thitung (0,93) < (ttabel 2,04) pada
11 taraf nyata α = 0,05. Menurutnya hal ini terjadi disebabkan karena: (1) instrumen kecerdasan emosional berupa angket kurang tajam; dan (2) hasil belajar siswa (nilai raport) sudah akumulasi dari semua nilai.
4. Asma, dkk (2018:189) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dengan hasil belajar biologi peserta didik kelas XI MIA SMA Negeri 3 Makassar, menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan emosioanal dengan hasil belajar yang dibuktikan dengan angka koefisien korelasi < 0.05 yaitu sebesar 0.000. Nilai koefisien korelasinya sebesar 0.692 yang menunjukkan bahwa kategori hubungannya adalah kuat.
5. Puspitasari (2016:54) berdasarkan hasil penelitiannya pada siswa Kelas V SDN Kelurahan Penjaringan Jakarta Utara menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan belajar siswa kelas V SDN Kelurahan Penjaringan Jakarta Utara. Pada penelitian ini arah hubungan adalah positif, artinya jika siswa memiliki kemampuan kecerdasan emosional, maka dapat meningkatkan hasil belajar IPA, begitu pula sebaliknya.
6. Pratama dan Corebima (2016:8084) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan hasil belajar siswa. Siswa yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi di sekolah dan di masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara EQ dengan pembelajaran kognitif Biologi. EQ memiliki kontribusi terhadap hasil belajar sebesar 5,2%.
7. Yuksel dan Geban (2014:166) mengungkapkan bahwa padapenelitiannya, teridentifikasi bahwa pola kecerdasan emosional sangatlah penting. Hal ini terlihat pada struktur variabel kecerdasan emosional yang terdiri dari berbagai dimensi dan subdimensi yang tercermin dalam keberhasilan akademik terutama dalam fisika, kimia, biologi dan matematika. Pada penelitiannya terdeteksi juga bahwa tingkat hubungan kecerdasan
12 emosional dengan mata pelajaran seperti fisika, kimia, biologi, dan matematika adalah berbeda.
8. Leasa dan Aloysius (2017:554) mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya diketahui terdapat tingkat korelasi yang rendah antara kecerdasan emosional dan hasil belajar. Kontribusi dari kecerdasan emosional terhadap hasil belajar adalah sebanyak 4,8%, sedangkan sisanya 95,2% adalah kontribusi faktor lain. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk terus menumbuhkan atau mengembangkan emosi siswa dalam belajar, seperti mengorganisir dan mengelola kepribadian dan emosi guru, serta menggunakan proses pembelajaran berdasarkan pembelajaran model/strategi yang mengembangkan intrapersonal siswa atau keterampilan interpersonal.
9. Ms Ramana dan Devi., (2018:34) menyebutkan bahwa Individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi dapat menyadari emosi mereka sendiri dan orang lain, mampu mengatur perasaannya dan mampu menggunakan emosi tersebut untuk pertumbuhan dan perkembangan diri dan kepribadiannya. Studi tentang hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi akademik berfokus pada: pentingnya keterampilan EI (Emotioal Intelegent) dalam peningkatan akademik dalam sistem pendidikan kontemporer. Siswa dengan tingkat pengetahuan emosional yag tinggi lebih mampu berkonsentrasi pada keterampilan pemecahan masalah yang dapat meningkatkan kemampuan mereka pada wilayah kognitif.
10. Babelana dan Moenikia (2010:1162), berdasarkan penelitiannya mengenai hubungan antara kcerdasan emosional dalam pendidikan jarak jauh menyebutkan bahwa hubungan kecerdasan emosional dalam pendidikan jarak jauh berindikasi positif. Pembelajaran jarak jauh didasarkan pada kemandirian pembelajaran dan penekanan pada intrapersonal bukan penekanan pada komunikasi interpersonal.
11. Widiyawati (2015:79) mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh antara religiusitas terhadap tingkat kecerdasan emosional. Semakin baik religiusitas seseorang, maka akan semakin tinggi pula tingkat kecerdasan
13 emosionalnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa koefisien korelasi yang diperoleh adalah sebesar 0,877sehingga korelasi antara kedua variabel termasuk kategori yang kuat atau tinggi.