WORK BASED LEARNING DALAM PELAYANAN PRIMER
Ni Putu Wardani
DEPARTMENT OF MEDICAL EDUCATION FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena dengan asung kerta wara nugrahanya, penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Work-based Learning dalam Pelayanan Primer. Makalah ini berisi tentang penjabaran work-based learning (WBL) dan aplikasinya pada pembelajaran kedokteran.
WBL sesungguhnya merupakan sebuah konsep pembelajaran yang sudah dilakukan oleh pengajar di kedokteran selama berpuluh-puluh tahun. Akan tetapi umumnya pengajar dan mahasiswa hanya mengetahui metode ini secara superficial. Padahal, dalam penjabarannya, banyak hal yang bisa dipelajari dalam WBL ini, yang mungkin masih jarang diajarkan oleh para pendidik kedokteran, misal cara memperlakukan pasien agar mereka dapat berkontribusi dengan baik pada pendidikan kita. WBL sendiri juga memberikan penjelasan bagaimana agar teori yang kita dapatkan dapat diaplikasikan dan dievaluasi dengan sesuai kompetensi yang diharapkan.
Penulis berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan mahasiswa dan juga dosen mengenai model pembelajaran ini dan penerapannnya dalam sehari-hari. Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang disusun ini bermanfaat bagi seluruh civitas akademika di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Denpasar, Desember 2019 Penyusun
Work Based Learning Dalam Pelayanan Primer
Ni Putu Wardani
Department of Medical Education, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Abstrak
Work Based Learning merupakan sebuah bentuk pembelajaran yang menggabungkan antara teori dan aplikasinya pada lingkungan pekerjaan. Pembelajaran ini memungkinkan seorang mahasiswa menerapkan teori yang didapatkan sehingga mereka dapat mengetahui kekurangan dalam keterampilannya dan mencari sumber informasi untuk memperbaikinya.
WBL dapat dilakukan dalam 3 metode yaitu experiental approach, deliberate approach, dan dissemination approach. Pembelajaran ini akan berguna tidak hanya mengembangkan kompetensi pribadi (personal learning) tetapi juga kompetensi orang lain (collaborative learning). Berbagai hambatan terjadi dalam pelaksanan WBL, sehingga dukungan dari orang-orang yang terlibat (pasien, pembelajar dan pendidik) sangat diperlukan.
Kata kunci: work based learning, personal learning, collaborative learning
Work Based Learning in Primary Health Care Ni Putu Wardani
Department of Medical Education, Faculty of Medicine, Udayana University Abstract
Work Based Learning is a form of learning that combines theory and its application in a work environment. This learning allows a student to apply the theory obtained so that they can identify deficiencies in their skills and find sources of information to correct them.
WBL can be done in 3 methods, namely experiential approach, deliberate approach, and dissemination approach. This learning will be useful not only to develop personal competence (personal learning) but also the competencies of others (collaborative learning). Various obstacles occur in the implementation of the WBL, so the support of the people involved (patients, learners and educators) is needed.
Keywords: work based learning, personal learning, collaborative learning
DAFTAR ISI
Hal Kata Pengantar ………...
Abstrak ………...
2 3
Daftar isi ……… 4
Pendahuluan ………... 5 Tinjauan Pustaka ……… 7 Konsep Work Based Learning ………
WBL – experiental approach ……….
WBL – deliberate approach ………...
WBL – dissemination approach ……….
Karakteristik layanan kesehatan sebagai tempat pelaksanaan WBL ………..
Keuntungan WBL ………...
Pembelajaran dari Pasien ………
Sistem Magang dalam WBL ………...
Teknik pengajaran dalam WBL ………..
Collaborative dan personal learning dalam WBL ……….
Inter-professional Education dalam WBL ………..
Hambatan pelaksanaan WBL ………...…...
Cara pengembangan dan perbaikan WBL ………..
Simpulan ………
7 9 10 11 12 13 14 15 17 18 22 24 25 28 Daftar Pustaka ……….... 30
PENDAHULUAN
Work Based Learning (WBL) merupakan salah satu metode pembelajaran yang
dianggap paling efektif untuk menerjemahkan teori medis ke dalam praktik klinis.1 Walaupun hal ini telah lama dilakukan di tingkat profesi, akan tetapi strategi ini dapat digunakan pada mahasiswa sarjana pada tahap clerkship. Ada banyak tantangan dalam pembelajaran ini seperti lingkungan fisik yang tidak menguntungkan, kurangnya minat pengajar dan kurangnya motivasi siswa. Seorang pengajar dapat membantu menjembatani kesenjangan ini dan meningkatkan proses pembelajaran melalui upaya tim individu dan kolaboratif. Pengetahuan tentang berbagai teori dan prinsip pendidikan serta penerapannya di tempat kerja dapat meningkatkan pembelajaran dan motivasi siswa. Berbagai kegiatan belajar mengajar dapat digunakan dan disesuaikan sesuai dengan kebutuhan. Refleksi diri aktif oleh mahasiswa dan umpan balik konstruktif dari dokter dapat menjadi suatu proses pembelajaran yang efektif.2
Work Based Learning juga sering disebut sebagai 'Pembelajaran situasional' dan dapat didefinisikan sebagai pembelajaran melalui pengalaman yang memungkinkan mahasiswa untuk menerapkan teori yang didapat dan menjalankan peran profesional dengan pengawasan pengajar pada tempat kerja nyata. Rumah sakit, klinik dan komunitas menyediakan platform pembelajaran yang ideal, di mana mahasiswa memiliki kesempatan untuk menerapkan pengetahuan ke praktik dan mengembangkan kompetensi. Jika direncanakan dengan baik, hal ini dapat meningkatkan motivasi siswa, membantu membangun kepercayaan diri dalam interaksi dokter-pasien dan menanamkan budaya refleksi dan penilaian diri. Kelemahannya, yaitu adanya tantangan yang harus dihadapi
oleh dokter pengajar. Kendala waktu dan prioritas adalah sebuah tantangan. Selain itu, mereka perlu mempelajari metode pendidikan yang saat ini digunakan seperti, pendekatan pengajaran yang berpusat pada siswa, keterampilan penilaian berbasis kompetensi, profesionalisme dan etika untuk dapat menyeimbangkan semua peran mereka secara efisien.3
Banyak sekali hal yang masih menjadi hambatan dalam aplikasi work based learning pada proses pembelajaran seorang dokter. Legalitas praktik klinis, harapan masyarakat untuk pelayanan kesehatan dari seorang dokter yang sudah kompeten, kecukupan kasus untuk mencapai suatu skill yang diinginkan merupakan beberapa masalah yang harus dihadapi dalam pelaksanaan work based learning. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan untuk mahasiswa dan pengajar yang diharapkan dapat menambah informasi yang berguna dalam pelaksanaan pendidikan kedokteran.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Work Based Learning
Proses pembelajaran sering kali dipengaruhi pada apa yang kita dapatkan pada dunia kerja. Pengaruhnya tidak hanya karena pertemuan acak dengan para pasien, tetapi juga adanya perubahan pada pendekatan terapi dan pelayanan yang diharapkan. Konsep dari WBL tidak hanya pembelajaran yang berfokus pada teori kedokteran dan aplikasinya, akan tetapi mencakup kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dan hubungan dengan teman sejawat.4
Work Based Learning merupakan bagian dari lifelong learning, beberapa menyatakan bahwa kedua hal ini sama. Setiap tenaga kesehatan yang berada pelayanan primer telah menjalani WBL baik secara formal maupun informal. Konsep WBL awalnya berasal dari pendidikan tinggi, dimana seorang mahasiswa tidak hanya memperlajari teori, tetapi juga harus menerapkan teori yang didapatkan sebagai bagian dari kurikulum dan juga untuk mengasah keterampilannya. Sehingga, saat mehasiswa itu lulus, diharapkan mampu menghadapi dunia kerja dengan pengalaman yang telah didapatkan saat menjalani pendidikan tinggi.4
Definisi dari WBL yang sering digunakan oleh para ahli adalah definisi yang dikeluarkan oleh Seagraves. Seagraves mendefinisikan WBL sebagai belajar untuk, pada dan dari pekerjaan. Hal ini mendefinisikan bagaimana pembelajaran ini berlangsung.
Definisi lain lebih terhubung pada tujuan pembelajaran dari WBL, hubungan WBL dengan performa atau sebuah program pembelajaran yang digunakan untuk mengembangkan profesionalisme. Metode yang berlangsung pada pembelajaran WBL dapat dibagi menjadi 3 hal yaitu experiental approach, dissemination approach dan deliberate approach.
Metode yang paling banyak dilakukan pada pelayanan primer adalah experiental approach.5 Jika dirangkum, maka pembelajaran WBL mencakup hal-hal yang terdapat pada Gambar 1.
Gambar 1. Model pembelajaran WBL5
Dalam pelaksanaannya, keberhasilan WBL seringkali ditentukan oleh motivasi dari pembelajar (materi/keterampilan apa yang menarik), dan pengajar (materi yan harus dikuasi sesuai dengan kompetensi)
WBL – experiental approach
Sebagian besat kesempatan belajar didapatkan pada saat kita bekerja, walaupun tidak terbatas pada lokasi kerja, lingkungan sekitar juga dapat menjadi tempat pembelajaran yang berguna. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang menjalani stase pada pelayanan primer dapat mempelajari banyak hal saat berada di Puskesmas. Mahasiswa dapat belajar untuk melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang benar pada pasien yang asli, menerapkan teori tentang diagnosa dan terapi dan mungkin melakukan beberapa intervensi yang diijinkan. Selain itu, mereka bisa belajar tentang manajemen pelayan primer, bagaimana menjalankan fungsi preventif dengan cara promosi kesehatan dan penyuluhan, bahkan mereka bisa mempelajari cara berkomunikasi yang baik tidak hanya dengan pasien, tetapi sesame teman sejawat seperti perawat, apoteker, dokter lain dan masyarakat sekitar.6
Melalui metode ini, mahasiswa dapat melihat kekurangan akan teori dan keterampilan dari yang mereka punya untuk kemudian dapat merancang rencana pembelajaran selanjutnya. Melalui metode ini mereka juga akan menajamkan kemampuan untuk bekerja dalam grup, karena dalam pelayanan primer, mereka akan belajar bahwa pelayanan kesehatan itu bukanlah pekerjaan satu profesi saja, akan tetapi merupakan kerjasama dari berbagai profesi. Adanya grup belajar dari berbagai profesi akan sangat membantu proses pembelajaran, dimana masing-masing mahasiswa dari berbagai profesi dapat memberikan masukan mengenai pemecahan masalah, misalnya penatalaksanaan pasien stroke.6
Richard dalam penelitiannya menambahkan metode lain yang bisa dilakukan dengan experiental approach. Sistem yang dipakai disebut dengan PUN (Patients’ Unmeet Need) dan DEN (Doctors’ Educational Need). Pembelajar menggunakan sistem ini dengan cara menuliskan kejadian-kejadian selama pembelajaran dalam buku log. Hal ini seperti
menjalankan sebuah refleksi diri tertulis. Melalui buku log ini, seorang mahasiswa dapat mempelajari hal-hal apa yang diinginkan oleh seorang pasien yang tidak dia miliki, misal informasi tentang suatu penyakit, cara berkomunikasi dokter pasien yang baik. Serta hal- hal yang harus dikuasai tetapi belum diketahui. Dalam penelitiannya, Richard juga membagi area-area pembelajaran yang mungkin dapat dievaluasi melalui buku log yaitu pengetahuan klinis, pengetahuan non klinis, keterampilan, sjikap dan kemampuan organisasi. Sebagai kesimpulan, experiental approach dapat dilakukan sebagai bagian dari pembelajaran mandiri atau pembelajaran dalam grup, bervariasi dalam kasus klnis atau non klinis, dan dapat dilakukan di, untuk dan dari tempat kerja.7
WBL – deliberate approach
Pendekatan ini memberikan kontribusi yang penting pada pelaksanaan WBL. Konsep pada pendekatan ini adalah mempelajari sebuat set keterampilan dalam waktu tertentu dalam sebuah workshop. Konsep ini berkembang karena adanya beberapa kondisi seperti kurangnya keterampilan seorang mahasiswa dikarenakan pada saat pembelajaran hanya terpapar pada kasus dengan jumlah yang minimal atau pada kasus dengan jumlah yang cukup akan tetapi karena jumlah mahasiswa yang banyak, sehingga kesempatan untuk berinteraksi dengan kasus tersebut menjadi lebih sedikit. Pada kondisi ini, pembelajaran menggunakan metode experiental approach mungkin tidak akan menghasilkan kompetensi minimal yang diinginkan.8
Pada suatu waktu, seorang dokter akan dihadapkan pada kasus-kasus umum, akan tetapi karena kondisi tersebut diatas, pengalaman akan penanganan kasus tersebut menjadi minimal. Disaat experiental epproach tidak bisa membantu untuk mendapatkan set keterampilan yang diinginkan, maka deliberate approach akan sangat membantu. Dengan
mengikuti sebuah kursus atau workshop, seorang dokter dapat menguasai sebuah set keterampilan dalam waktu tertentu dengan jumlah paparan kasus yang cukup. Kursus atau workshop ini sering kita sebut dengan program pendidikan berkelanjutan.8
Para ahli menyatakan bahwa deliberate approach ini sangat membantu pembelajar untuk mempelajari hal-hal baru dalam praktik klinis dan menanggulangi kekurangan dalam keterampilan saat akan menghadapi dunia kerja. Kadang kala perbedaan lokasi pembelajaran dapat menimbulkan hal ini. Mahasiswa yang saat pelatihan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit mungkin tidak akan terbiasa menghadapi kondisi berbeda seperti di Puskesmas atau praktik pribadi.
WBL – dissemination approach
Dissemination approach merupakan metode informal dari WBL. Dalam sebuah institusi, akan ada beberapa grup orang dengan kompetensi khusus tertentu dimana mereka dapat dijadikan bahan rujukan untuk kasus-kasus yang sesuai dengan kompetensi mereka.
Kadang kala, setelah seorang dokter mengikuti sebuah symposium atau workshop, maka dokter tersebut akan membagikan informasi baru yang didapatkan. Semua ini berjalan dengan informal, mungkin hanya berupa bincang-bincang saat istirahat.8
Metode ini dikatakan sebagai metode WBL yang tidak terstruktur dan paling rentan dalam transfer ilmu. Modelnya yang informal dan hanya berdasarkan pengetahuan si pembicara membuat transfer ilmu yang terjadi tidak maksimal dan sangat bergantung pada tingkat kognisi pemberi materi. Akan tetapi, dikatakan bahwa, simposium itu sendiri merupakan sebuah bentuk dissemination approach yang formal karena dilakukan secara melembaga dan diisi oleh pakar-pakar yang membagikan ilmunya dalam suasana formal.
Para ahli mengatakan bahwa metode ini merupakan metode yang paling banyak terjadi dalam WBL, karena hampir setiap hari mahasiswa dan dokter berinteraksi dalam sebuah laporan kasus, laporan pagi, dan pembacaan makalah.8
Karakteristik layanan kesehatan sebagai tempat pelaksanaan WBL
Lokasi pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pelaksanaan WBL. Rumah sakit dan puskesmas tentu akan memberikan pelayanan pembelajaran yang berbeda, karena jumlah dan jenis kasus yang berlainan, dan perbedaan besarnya organisasi dan program pelayanan kesehatan. Beberapa karakteristik yang seharusnya dimiliki oleh tempat layanan kesehatan agar dapat mendukung pelaksanaan WBL yaitu:9
1. Memiliki organisasi dengan etos kerja, dimana baik mahasiswa maupun pengajar (dosen) bisa menjalankan perannya dengan baik
2. Memberikan pengajaran yang berkualitas pada waktu yang telah direncanakan 3. Memperlihatkan adanya keseimbangan antara pelayanan kesehatan dan proses
pembelajaran
4. Menggunakan proses pembelajaran sebagai usaha untuk mengembangkan organisasi dalam bidang pelayanan, dan juga penelitian
5. Mengenali pentingnya pengembangan tim kesehatan dan kebutuhan akan pengembangan personal dan profesional pada semua anggota tim
6. Mampu memberikan pelayanan dengan standar yang tinggi
7. Mengenali kebutuhan pendekatan multiprofesi/multidisiplin dalam pembelajaran 8. Mengetahui bahwa kebutuhan akan pembelajaran medis dan non media bersifat
kontinyu
9. Memelihara kultur pembelajaran sepanjang hayat dan refleksi diri 10. Menggunakan penilaian dan bukti sebagai dasar pembelajaran 11. Berkomitmen untuk terus memperbaiki pelayanan dan berinovasi 12. Mengetahui resiko-resiko yang dihadapi dan menerima kesalahan
Keuntungan WBL
Work-based learning merupakan kunci pembelajaran sepanjang hayat bagi semua praktisi kesehatan, hal ini agar mereka dapat mengikuti perkembangan teknologi dalam dan ilmu pengetahuan. Melalui WBL, dokter diharapkan dapat menjaga dan mengembangkan keilmuan, mempelajari profesionalitas dan kerjasama dalam tim, serta pengembangan keterampilan untuk pelayanan yang berkualitas.10
Beberapa keuntungan WBL yang bisa didapatkan oleh mahasiswa antara lain:
1. WBL memberikan pendekatan kolaborasi antara institusi, tenaga kesehatan, manajemen dan pelajar untuk pelayanan kesehatan terbaik bagi pasien
2. WBL merupakan pembelajaran kolaborasi formal dan informal pada level praktek klinis
3. Pembelajaran pada tempat kerja disertai dengan sebuah sertifikasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kompetensi atau keahlian
4. Mengembangkan kerjasama tim dan pengembangan diri dalam organisasi
5. Memberikan keseimbangan antara kebutuhan tenaga kesehatan dan keinginan pasien dan institusi kesehatan
6. Memberikan pendekatan waktu, tempat, metode yang lebih fleksibel 7. Mengembangkan motivasi mandiri, berpikir kritis dan refleksi diri
8. Meningkatkan pemahaman mengenai kompleksitas tempat kerja dalam pelayanan kesehatan
Pembelajaran dari Pasien
Literatur yang membahas tentang bagaimana seorang dokter seharusnya belajar dari seorang pasien tidak banyak jumlahnya. Pada beberapa ahli, pembelajaran ini seharusnya menekankan pada kemampuan untuk berempati dengan baik, mendengarkan keluhan pasien, melakukan pertimbangan bersama-sama mengenai pilihan terapinya, dalam arti seorang dokter harus bisa mengenali kebutuhan pasien dengan baik. Akan tetapi pada kenyataannya, dalam praktik sehari-hari, dokter menempatkan diri pada posisi seseorang yang memiliki hak untuk memutuskan rencana terapi dan kebutuhan pasien. Beberapa ahli berpendapat, bahwa dalam hubungan dokter dan pasien, hal yang banyak terjadi adalah seorang dokter hanya mendengarkan keluhan mengenai penyakit pasien, sangat jarang terjadi interaksi dimana pasien dapat berkontribusi terhadap seberapa banyak dia menentukan rencana terapinya.11
Dalam pelaksanaan WBL, seorang mahasiswa diajarkan untuk memperlakukan pasien sebagai partner. Pasien merupakan fokus dalam pembelajaran, dan partner potensial yang dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tugas seorang pendidik adalah untuk mengajarkan bagaimana menghargai pasien sebagai sumber ilmu dan bekerja dengan professional. Terdapat beberapa prinsip inti dalam pembelajaran dari pasien, yang bertujuan untuk praktik klinis yang baik, antara lain:11
1. Mempersiapkan pasien dan pembelajar sebagai partner, hal ini berarti memberikan kesempatan bagi keduanya untuk memberikan pendapat dan perasaannya
2. Melibatkan pasien di awal pembelajaran agar dapat membantu pengembangan keterampilan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan
3. Memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk melakukan refleksi diri pada praktik personalnya dan mencoba bereksperimen dengan pengetahuan barunya 4. Menetapkan struktur pembelajaran yang jelas sehingga memberikan kenyamanan
pada pasien dan mahasiswa dan keterbukaan untuk perubahan dalam proses pembelajaran
5. Memotivasi pasien dan mahasiswa untuk terlibat sebaik mungkin dalam WBL dan agar saling mendukung dalam pelaksanaannya
6. Memastikan bahwa hasil pembelajaran merupakan persetujuan dari kedua belah pihak dan dievaluasi oleh pasien dan mahasiswa
Sistem Magang dalam WBL
Konsep magang sejak dahulu kala sama dengan konsep dalam WBL, yaitu belajar untuk, pada dan dari pekerjaan; sebuah keterampilan dipelajari oleh mahasiswa dengan bimbingan seorang pengajar. Sistem magang bukanlah sebuah sistem yang pasif, melainkan ini adalah sebuah sistem yang aktif. Hal ini dapat berjalan dengan efektif hanya jika mahasiswa menerima lingkungan pembelajarannya dan memutuskan untuk mendapatkan ilmu yang sebanyak-banyaknya dalam keseharian praktik klinisnya. Pada saat magang, pembelajaran terus-menerus tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa, tetapi juga pengajar. Dikatakan kesadaran dalam pembelajaran adalah sebuah keyakinan bahwa penguasaan akan ilmu dan keterampilan tidak akan pernah mencapai titik akhir, dan ini merupakan esensi dari pembelajaran.12
Dalam sistem magang, transfer ilmu terjadi secara osmosis. Seorang mahasiswa akan menyerap ilmu-ilmu yang diberikan oleh berbagai dosen yang ditemui dibandingkan menyerap ilmu hanya dari satu dosen saja. Agar magang dapat berjalan efektif, terdapat beberapa elemen penting yang harus ada pada saat magang, antara lain:12
1. Model (pengajar)
2. Pelatihan (dimana mahasiswa melakukan suatu keterampilan dan pengajar akan memberikan umpan balik)
3. Scaffolding (pemberian dukungan dan bantuan yang disesuaikan dengan
kebutuhan, semakin menurun jika mahasiswa telah menguasai keterampilan tersebut)
4. Artikulasi (melatih mahasiswa untuk menjelaskan tindakannya atau proses pemecahan masalah atas suatu kasus)
5. Refleksi (membandingkan penjelasan ilmiah atas suatu kasus dengan seorang ahli atau teman sebaya)
6. Eksplorasi (mahasiswa menyelesaikan suatu kasus tanpa bantuan)
Magang yang efektif dalam pelayanan kesehatan membutuhkan hubungan yang baik antara pengajar dan mahasiswa. Seperti kita ketahui bahwa transfer ilmu tidak akan terjadi jika komunikasi antara pengajar dan pembelajar berjalan dengan buruk, dan sebaliknya.
Para ahli menyatakan bahwa hubungan ini adalah hal yang paling penting untuk keefektifan dari sebuah magang. Seorang pengajar dalam sistem magang tidak hanya berfungsi sebagai seorang dosen, tapi dia juga berfungsi sebagai dokter dan praktisi pembelajaran. Dalam perannya sebagai dokter, seseorang harus menguasai pengetahuan yang sesuai, keterampilan dan sikap seorang dokter profesional. Sebagai seorang dosen,
seseorang harus menguasai teknik pengajaran yang baik, mampu melakukan persiapan, mampu mengorganisasikan pembelajaran dengan baik, dan menggunakan metode penilaian sebagai bentuk evaluasi. Sedangkan dalam perannya sebagai praktisi pembelajaran, seseorang harus mengetahui tentang sumber daya pendukung pembelajaran.13
Teknik pengajaran dalam WBL
Dalam pembelajaran WBL, seorang dosen harus mengetahui kebutuhan mahasiswanya, karena dengan ini, seorang dosen akan dapat membantu seorang mahasiswa untuk mengetahui kebutuhan pembelajarannya dan memberikan bantuan dalam pembelajaran mandiri. Terdapat beberapa teknik pengajaran dalam WBL, antara lain:14
1. Authotarian
Dalam bentuk ini, seorang pengajar bertindak sebagai satu-satunya sumber ilmu, pembelajaran yang terjadi hanya berupa transfer ilmu pasif dari pengajar pada mahasiswa. Seorang pengajar mungkin tidak memberikan kesempatan untuk mehasiswa bertanya.
2. Socratic
Dalam bentuk ini, pengajar selalu bertanya, dan mahasiswa selalu menjawab. Hal ini akan mencetuskan lebih banyak pertanyaan, dimana pengajar akan mendapatkan lebih banyak fakta dari usaha menjawab mahasiswa, yaitu area kekurangan dari mahasiswa tersebut
3. Heuristic
Mendorong mahasiswa untuk belajar dari apa yang mereka lakukan, sehingga mereka bertanggung jawab terhadap pembelajaran mandiri yang mereka jalani
4. Counseling
Bentuk ini menggunakan teknik pengarahan minimal yang bertujuan untuk mendorong mahasiswa untuk mengerti interaksi antara individu dengan materi yang sedang dipelajari
Collaborative dan personal learning dalam WBL
Dalam pelaksanaan WBL, ada 2 teknik pembelajaran yang umumnya terjadi, yaitu collaborative learning dan personal learning. Seperti kita ketahui, bahwa pembelajaran
dalam WBL memungkinan kita tidak hanya belajar untuk diri sendiri (personal learning), akan tetapi juga bisa terjadi pembelajaran bersama (collaborative learning) dengan mahasiswa dari profesi yang sama maupun mahasiswa profesi lain.7
Collaborative learning sering diartikan sebagai pembelajaran dalam konteks sosial, melibatkan interaksi dengan pihak lain, atau disebut juga pembelajaran bersama.
Collaborative learning berbeda dengan belajar kelompok. Pada belajar kelompok, masing-
masing individu memiliki tugas yang berbeda, sehingga interaksi yang terjadi minimal.
Perbedaan tugas juga menyebabkan penguasaan akan suatu materi berbeda sehingga fokus sebenarnya bukan pengembangan keterampilan dari semua individu akan tetapi sebuah produk yang ingin dihasilkan oleh kelompok tersebut. Collaborative learning dapat berjalan secara formal atau informal. Secara formal berarti melibatkan aturan tertulis yang berlaku, adanya kasus khusus yang dipelajari bersama-sama, memiliki metode yang harus diikuti semua anggota kelompok dan dievaluasi dengan metode penilaian yang terstandarisasi. Pada collaborative learning secara informal, bentuk pembelajarannya terjadi seperti pada percakapan sehari-hari dengan sejawat dari bidang lain, atau dengan sejawat dari bidang yang sama yang kita ketahui memiliki penguasaan lebih pada materi
tersebut. Model pembelajaran ini adalah model yang paling umum terjadi pada praktik sehari-hari. Secara singkat, pembelajaran ini dijelaskan pada Gambar 2.7
Gambar 2. Teknik collaborative learning
Sedangkan personal learning dapat diartikan sebagai pembelajaran yang dilakukan oleh seorang individu dengan tujuan pemenuhan kompetensi pribadi.9 Personal learning merupakan pembelajaran yang dianggap praktis, karena sistemnya akan disesuaikan dengan gaya belajar masing-masing individu. Lebih penting lagi, pembelajaran ini terbangun karena pengalaman pada saat menghadapi pasien, yang mungkin akan dinilai berbeda pada tiap orang. Pembelajaran ini dikatakan sangat efektif, karena mahasiswa
Meraih tujuan yang
sama
Pengumpulan Tugas
Kerjasama Tim
Berbagi materi dan bernegosiasi
Konstruksi ilmu pengetahuan Pendekatan
aktif terfokus pada mahasiswa
Collaborative Learning
akan mendorong dirinya sendiri untuk mengetahui lebih banyak tentang hal-hal yang dihadapi saat di lapangan.
Kedua pembelajaran ini saling berhubungan. Dikatakan bahwa keterampilan yang kita dapatkan dalam collaborative learning akan berguna untuk peningkatan personal learning, sedangkan pembelajaran yang kita dapatkan dari personal learning dapat menjadi bahan yang kita bagikan pada collaborative learning. Keterampilan-keterampilan yang kita dapatkan melalui refleksi diri saat personal learning akan menjadi lebih berguna saat dibagikan pada saat collaborative learning. Selain itu, pengakuan atau validasi orang lain atas keterampilan yang kita kuasai akan meningkatkan motivasi kita dalam proses pembelajaran. Dalam collaborative learning, seseorang akan mendapatkan dukungan dan opini yang obyektif tentang suatu keterampilan untuk pengembangan yang lebih baik.10 Kedua bentuk pembelajaran ini memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa karakteristik dalam collaborative learning yaitu melibatkan dua orang atau lebih, bersifat informal atau formal, satu orang dapat bertindak sebagai pembelajar dan pengajar dan memiliki peraturan yang khas pada tiap kelompok kolaborasi. Sedangkan dalam personal learning, merupakan pembelajaran yang dilakukan oleh diri sendiri, karakteristiknya
antara lain melibatkan pengetahuan atau pelatihan sebelumnya, berhubungan dengan cara pandang seseorang, kepercayaan dan pengalaman, dapat terstimulasi oleh tanggung jawab untuk memberi informasi pada orang lain. Teknik pembelajaran ini akan menghasilkan seorang dokter yang memiliki karakter pembelajar sepanjang hayat.10
Terdapat beberapa strategi agar personal learning dan collaborative learning dapat berjalan lebih efektif, antara lain :
1. Menjalankan keduanya dengan metode yang lebih terstruktur, disiplim dan sistematis
2. Mengenali keterbatasan diri sendiri dan orang lain
3. Memotivasi diri sendiri untuk selalu mengembangkan pembelajaran dan mendukung pembelajar lain dengan memahami perilakunya dan memberikan motivasi pada mereka
4. Memastikan bahwa personal learning dilaksanakan untuk pengembangan diri dalam diri dalam setiap materi atau keterampilan
Meskipun berbagai strategi diterapkan agar pembelajaran ini berjalan dengan baik, tetap ada beberapa hambatan dalam pelaksanaannya. Misalnya kesulitan mahasiswa untuk terlibat dalam collaborative learning, banyak hal dapat menjadi faktor penyebab antara lain, jumlah grup yang terlalu besar sehingga kesempatan masing-masing anggota untuk berkontribusi menjadi minimal, faktor internal berupa karakter mahasiswa yang sulit untuk berkomunikasi atau bekerja sama dalam kelompok. Hambatan lain yaitu buruknya performa pembelajaran akibat kurangnya pengetahuan atau kesalahan persepsi akan suatu kasus atau materi. Hal ini umumnya terjadi pada collaborative learning yang hanyamelibatkan 2 orang saja dan berlangsung secara informal. Anggota pada grup yang bertindak sebagai sumber informasi, dapat memberikan materi yang salah sehingga mengakibatkan mispersepsi pada anggota yang berperan sebagai pembelajar.10
Pada pembelajaran dengan metode personal learning, hambatan yang terjadi umumnya karena motivasi diri. Banyaknya tugas di bidang lain, hambatan dari faktor eksternal seperti kondisi keluarga dan dukungan sekitar dapat menurunkan motivasi dalam pembelajaran. Seorang mahasiswa harus mengalokasikan waktu khusus untuk pembelajaran ini, hal ini tentu dipengaruhi oleh karakter dan kebiasaan masing-masing individu.10
Inter-professional Education (IPE) dalam WBL
Work Based Learning adalah salah satu wadah dalam pelaksanaan inter-professional education. Dalam definisinya, inter-professional education (IPE) merupakan proses
pembelajaran yang melibatkan berbagai profesi kesehatan. Dalam WBL, masing-masing profesi kesehatan dapat bekerja dan belajar dalam grup sehingga masing-masing akan mengetahui tidak hanya kompetensi yang harus mereka kuasai, akan tetapi juga kompetensi profesi lain. Melalui WBL, mahasiswa dapat belajar untuk dapat bekerjasama, membangun komunikasi yang baik, untuk pelayanan kesehatan yang lebih baik. Saat pembelajaran, masing-masing mahasiswa dari profesi yang bebeda akan berbagi peran sesuai kompetensi mereka, diharapkan saat mereka terjun dalam dunia kerja, mereka akan mampu terus bekerjasama dengan pekerja dari profesi lain.11
Dalam pembelajaran IPE melalui metode WBL, terdapat 2 jenis pembelajaran, yaitu work-related learning dan work-located learning. Work-related learning merupakan
teknik pembelajaran IPE yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai profesi dan dilaksanakan di kampus atau tempat pelatihan yang dibuat khusus untuk penerapan metode ini. Sedangkan work-located learning adalah teknik pembelajaran yang melibatkan mahasiswa dari berbagai profesi yang berlokasi di tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit atau puskesmas. Keberhasilan dalam pelaksanaan IPE antara lain dukungan institusi, kesamaan status dari mahasiswa, harapan yang positif akan pembelajaran, atmosfer pembelajaran yang mendukung dan pengakuan atas kesamaan dan juga perbedaan dari masing-masing profesi yang terlibat.15
Konsep klasik dari work-related learning adalah untuk menyediakan waktu dan tempat agar mahasiswa dapat menjalankan IPE dengan asumsi hal tersebut tidak dapat sering dilakukan saat di tempat kerja. Banyak yang berpendapat, pelatihan IPE yang
dirancang di kampus atau tempat pelatihan akan memberikan mereka pengalaman dan pemahaman lebih baik tentang IPE sehingga tidak membutuhkan waktu yang banyak saat pelaksanaan IPE di tempat kerja (pelayanan kesehatan). Akan tetapi perbedaan dari kedua lingkungan tersebut tentu akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pembelajaran.15
Banyak metode dilaksanakan pada model pembelajaran work-related, seperti presentasi akan suatu kasus yang ditangani oleh satu kelompok yang terdiri dari berbagai profesi, dan pelaksanaan refleksi diri baik melalui diskusi grup kecil, atau melalui umpan balik dari pengajar dan mahasiswa lain. Hal-hal yang dapat menjadi pembahasan antara lain pengaruh masing-masing organisasi profesi pada peran profesi tersebut; perbedaan peran yang mengakibatkan kesulitan dan kesempatan; perbedaan dalam bahasa, kultur dan nilai; komunikasi dan negosiasi antara profesi yang berbeda dan kepemimpinan dalam proyek kesehatan.15
Pada metode work-located learning, bentuk pembelajarannya bisa berupa pembentukan tim atau pembelajaran melalui kasus. Banyak pertentangan akan bentuk apa yang paling baik dalam pembelajaran ini. Pada model pembentukan tim, keunggulannya adalah masing-masing peserta dididik untuk bekerjasama dan berkomunikasi dengan efektif, mereka berusaha untuk mempelajari karakter masing-masing profesi, perannya dan bagaimana cara mempertahankan keutuhan tim. Kerugiannya, peserta tidak dihadapkan pada kasus yang kemungkinan besar akan dihadapi pada saat bekerja, sehingga pemahaman akan aplikasi IPE pada kenyataan praktik klinis mungkin minimal. Sedangkan pada bentuk pembelajaran kasus, peserta berbeda profesi akan bergabung menjadi satu grup (bisa terdiri dari dokter, apoteker, fisioterapi, psikolog dan perawat) dan dipaparkan pada satu kasus yang mana mereka akan memberikan tatalaksana pada pasien sesuai dengan peran mereka masing-masing. Keunggulannya yaitu, mereka akan menjalankan
peran yang sesungguhnya, sehingga akan lebih mudah melihat bagian mana dari IPE yang sudah mereka kuasai dan bagian lain yang perlu diperbaiki. Kekurangannya, tanpa materi pembentukan tim sebelumnya, kemungkinan mereka akan mengalami hambatan dalam berkomunikasi, kepemimpinan dan berorganisasi. Pada gambar 3 terangkum komponen- komponen IPE yang dapat dipelajari menggunakan model WBL.16
Gambar 3. Komponen IPE
Hambatan pelaksanaan WBL
Pelaksanaan WBL dalam praktik pembelajarn sehari-hari memiliki banyak hambatan.
Tenaga kesehatan yang berperan sebagai pengajar harus mampu berbagi peran dalam melaksanakan praktik klinisnya bersama pasien, mendidik dan fungsi lainnya jika individu tersebut terlibat dalam sistem manajemen. Sebagai contoh seorang kepala puskesmas harus
Pemimpin collaborative
Kerjasama Tim
Pemecahan konflik
Perawatan berpusat pada pasien/keluarga/
komunitas
Pemahaman peran Komunikasi
Inter- profesional
IPE
berkutat dengan permasalahan akan sistem pelayanan, permasalahan pasien dan mendidik dokter muda yang bekerja di puskesmasnya. Sebuah sistem yang mumpuni harus dibuat agar individu tersebut dalam memberikan pelayanan yang maksimal pada ketiga fungsinya.12
Hambatan lain muncul juga dari sisi pembelajar. Saat ini isu-isu legalitas seorang pembelajar dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan sangat banyak terdengar. Seorang mahasiswa yang belum berglear dokter tentu saja tidak bisa bertanggung jawab untuk seorang pasien, sehingga sistem mentoring atau dokter penanggung jawab harus terlaksana dengan baik. Seorang mahasiswa mungkin dapat melakukan beberapa tindakan medis dalam pengawasan dan tindakan invasif lain dengan cara melihat mentornya melakukan tindakan tersebut.
Terlepas dari banyaknya hambatan dari pelaksanaan WBl, semua pihak patutnya melihat bahwa pelaksanaan WBL ini sebenarnya telah berjalan dalam keseharian kita, tanpa disadari atau tidak. Sehingga yang dapat kita lakukan adalah mendukung pelaksanaannya tanpa mengurangi kualitas pelayanan kesehatan.
Cara pengembangan dan perbaikan WBL
Berbagai hambatan dapat terjadi pada pelaksanaan WBL, oleh karena itu perencanaan yang tepat serta komunikasi yang baik mengenai tujuan pembelajaran, kompetensi dan keterampilan yang diharapkan sangat penting agar WBL dapat berjalan dengan efektif.
Pengajar memiliki peran utama dalam hal ini, karena pengajar yang antusias akan menjadi motivasi bagi mahasiswa. Selain itu, pengajar harus menetapkan waktu dan model pembelajaran yang tepat. Pengajar harus memiliki kemampuan untuk menelaah model- model yang sesuai dengan gaya belajar mahasiswa, membantu mahasiswa memilih model
pembelajaran dan evaluasi yang sesuai. Selain itu, memastikan lingkungan pembelajaran yang kondusif, membuat mahasiswa merasa dihargai dengan dorongan dan pujian atas pekerjaannya yang baik akan meningkatkan efektifitas pembelajaran.17
Dalam hal pengembangan profesionalisme, mahasiswa akan melihat pengajar dan tenaga kesehatan pada tempat kerja sebagai “role model”. Sehingga bermain peran dapat digunakan untuk mengembangkan kebutuhan akan profesionalisme. Pada kasus rawat jalan, evaluasi dapat dilaksanakan dengan metode one minute preceptor, sedangkan model simulasi dapat digunakan pada aplikasi kasus-kasus sulit atau akut.18
Semua aktivitas ini harus diikuti dengan kegiatan refleksi diri dan pemberian umpan balik. Pemberian umpan balik yang efektif meliputi umpan balik yang tidak menghakimi, spesifik, waktu yang tepat dan diberikan tepat setelah kegiatan berlangsung. Penilaian secara formatif dapat dilakukan untuk melihat hasil dari umpan balik yang sudah diberikan. Sedangkan refleksi diri dapat berupa penulisan dalam buku khusus, video atau rekaman setelah pelaksanaan suatu kasus atau keterampilan. Hasil dari refleksi diri dapat digunakan oleh individu untuk melakukan penilaian terhadap diri sendiri, tetapi juga sebagai bahan diskusi dengan mahasiswa lain atau pengajar untuk kemudian mendapatkan umpan balik yang efektif. Kedua teknik ini merupakan teknik penilaian yang saat ini sedang banyak diteliti dan dibahas. Portofolio yang saat ini juga menjadi salah satu bahan penilaian yang banyak dibahas merupakan salah satu bentuk refleksi diri.18
Sebagai sumber terakhir, institusi yang terlibat langsung dalam pembelajaran ini harus memiliki strategi-strategi inti untuk mendukung proses WBL. Untuk WBL yang efektif, mahasiswa harus menjadi proaktif dan terlatih melakukan refleksi. Pengajar harus menjadi pribadi yang antusias, observer yang tidak bersikap menghakimi, pendengar yang baik yang dapat memberikan pendapat yang sesuai. Sedangkan pasien harus diberikan
informasi bahwa bantuan mereka sangat diperlukan dan pembelajaran ini dilakukan tanpa mengurangi keselamatan dan privasi mereka.18
SIMPULAN
Work Based Learning (WBL) merupakan salah satu metode pembelajaran yang dianggap paling efektif untuk menerjemahkan teori medis ke dalam praktik klinis. WBL dapat dilakukan melalui 3 metode yaitu experiental approach, deliberate approach dan dissemination approach. Masing-masing metode ini memiliki tujuan dan fungsi yang
berbeda, tetapi saling melengkapi. Experiental approach lebih banyak menekankan pada aplikasi teori pada praktik klinis sehari-hari di tempat kerja/magang. Deliberate approach menekankan pada konsep WBL yang diterapkan pada kondisi-kondisi khusus seperti kebutuhan untuk penguasaan suatu materi atau keterampilan dalam waktu yang lebih singkat melalui sebuah workshop. Sedangkan dissemination approach menekankan pada WBL yang berjalan secara informal lewat percakapan sehari-hari, walaupun pada waktu- waktu tertentu dapat berjalan secara formal melalui pendidikan berkelanjutan.
Hal lain yang patut menjadi perhatian dalam pelaksanaan WBL adalah lokasi pembelajaran, dimana terdapat beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh pelayanan kesehatan tersebut. Selain lokasi, hal lain yang menjadi komponen dalam pelaksanaan WBL adalah pasien sebagai kasus pembelajaran. Dalam WBL, mahasiswa tidak hanya belajar mengenai tatalaksana sebuah kasus, tetapi juga belajar untuk berkomunikasi efektif dengan pasien dan rekan kerja. Pasien sebagai bahan pembelajaran harus diberikan informasi diawal dan juga kesempatan untuk berkontribusi dalam prosesnya. Hal lain yang harus dipersiapkan dalam pelaksanaan WBL adalah sumber daya manusia, metode penerapannya, dan materi pembelajaran.
Aplikasi WBL secara umum terlihat pada collaborative dan personal learning yang mana keduanya saling berhubungan. Keduanya harus berjalan beriringan agar mahasiswa
mendapatkan manfaat dari pembelajaran. Aplikasi penting lain dari WBL yaitu pada pelaksanaan IPE, dimana dalam pembelajaran ini, mahasiswa diajarkan untuk dapat bekerjasama dalam tim dari berbagai profesi yang berbeda.
Dalam pelaksanaannya, WBL membutuhkan banyak dukungan, tidak hanya dari pembelajar, akan tetapi pendidik dan institusi pelayanan primer. Ketiganya harus memiliki motivasi yang sama agar pelayanan dan pembelajaran dapat berjalan beriringan dan berkesinambungan. Tentunya dalam suatu proses selalu ada hambatan dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, dengan dukungan semua pihak, WBL akan dapat berjalan dengan baik dan bermanfaat bagi banyak pihak yang terlibat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mewen C. The value of workplace learning in the first year for university students from under-represented groups. Asia-Pacific J Coop Educ. 2014;15:55–67.
2. Bradley, D 2. Spencer J. Learning and teaching in the clinical environment. BMJ.
2003;326:591–594.
3. Harden RM, Laidlaw JM. Making the apprenticeship model and work-based learning more effective. Essential skills for a medical teacher. London: Elsevier Health Sciences; 2012: 99–103.
4. Boud D and Solomon N. Work based learning. A new higher education. Open University Press, Buckingham,2001
5. SeagravesL, Osborne N, Neal P et al. Learning in Smaller Companies, final report.
University of Stirling. Stirling. 1996
6. Hiew S and Sivananthan N. The partnership in progress in practice project. J Learning Workplace.3:6-10;2001
7. Eve R. Discovering learning needs with PUNs and DENs. J Learning Workplace.4:9-11.2002
8. Secretary of State for Health. Working together, learning together – a framework for lifelong learning in the NHS. HMSO. London.2001
9. Bennis W, Biederman P. Organizing Genius. The secrets of creative collaboration.
Addison-Wesley, Reading,1997
10. Burton J, Perkins J. Accounts of Personal Learning from Primary Care.2003 11. West L. Doctors in the Edge. Free Association Books. London. 2001
12. Chen HC, O’sullivan P, Teherani A, Fogh S, Kobashi B, Ten Cate O. Sequencing learning experiences to engage different level learners in the workplace: An interview study with excellent clinical teachers. Med Teach [Internet]. 2015;00:1–
8.
13. 5. Ramani S, Leinster S. AMEE Guide no. 34: Teaching in the clinical environment. Med Teach. 2008;30:347–364.
14. Harden RM, Laidlaw JM. Teaching and learning in the clinical context. Essential skills for a medical teacher. London: Elsevier Health Sciences; 2012:151–156.
15. Dornan T, Littlewood S, Margolis S, Scherpbier A, Spencer J, Ypinazar V. How can experience in clinical and community settings contribute to early medical education? A BEME systematic review. Med Teach. 2006;28:3–18.
16. Harden RM, Laidlaw JM. Be FAIR to students: four principles that lead to more effective learning. Med Teach. 2013;35:27–31.
17. Goldie J, Dowie A, Goldie A, Cotton P, Morrison J. What makes a good clinical student and teacher? An exploratory study. BMC Med Educ. 2015;15:1–8.
18. Norcini J, Burch V. Workplace-based assessment as an educational tool: AMEE Guide No. 31. Med Teach. 2007;29(31):855–871.