• Tidak ada hasil yang ditemukan

Grafik 1. Distribusi TDI berdasarkan gigi permanen yang terlibat 8

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Grafik 1. Distribusi TDI berdasarkan gigi permanen yang terlibat 8"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Distribusi Trauma Gigi

Trauma gigi atau yang dikenal dengan Traumatic Dental Injury (TDI) adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras dan atau periodontal karena sebab mekanis.

TDI umumnya melibatkan gigi anterior, terutama insisivus sentralis dan insisivus lateralis rahang atas, berlaku baik pada gigi sulung maupun gigi permanen.1,2 Trauma gigi dapat melibatkan kerusakan atau kehilangan dari gigi yang terlibat dan akan dapat mempengaruhi fisik, estetik dan psikologi anak.Jika trauma gigi terjadi pada saat anak mulai menyadari tentang penampilan, maka keadaan tersebut akan mengurangi rasa percaya diri anak sehingga anak akan mencoba untuk tidak tersenyum dikarenakan hal tersebut.4,5 Trauma yang mengenai gigi anterior juga akan membuat anak susah untuk menggigit, kesulitan dalam mengucapkan kalimat yang jelas dan akan merasa malu untuk memperlihatkan giginya.6,7

TDI biasanya terjadi hanya pada satu gigi, tetapi pada beberapa kejadian seperti trauma saat berolahraga, berkelahi, dan kecelakaan lalu lintas dapat menyebabkan terjadi pada beberapa gigi. Penelitian yang dilakukan oleh Jokic et al.

menunjukkan hasil bahwa gigi permanen yang paling sering mengalami trauma gigi adalah gigi insisivus sentralis rahang atas dengan distribusi sebesar 42,4 % pada insisivus sentralis kanan atas dan 38 % pada insisivus sentralis kiri atas.8,9

Grafik 1. Distribusi TDI berdasarkan gigi permanen yang terlibat8

(2)

Berdasarkan jenis kelamin, distribusi angka kejadian trauma mengalami perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi perbedaan ini tidak begitu terlihat pada anak dengan usia di bawah 13 tahun. Hal ini disebabkan karena pada usia tersebut tidak terlalu banyak perbedaan tipe permainan yang dilakukan anak laki-laki dan perempuan. Namun, semakin besar usia anak trauma gigi anterior pada anak laki- laki cenderung dua kali lebih banyak dibanding pada anak perempuan, hal ini terjadi akibat aktifitas anak laki-laki yang lebih aktif berpartisipasi dalam permainan olahraga dibandingkan dengan anak perempuan.10,11 (Grafik 2).

Grafik 2. Distribusi TDI berdasarkan usia dan jenis kelamin8

2.2 Etiologi dan Prevalensi 2.2.1 Etiologi

Berbagai literatur telah melaporkan mengenai etiologi dan epidemiologi dari trauma gigi berdasarkan kepada tipe, lokasi, prevalensi, dan penyebab dari terjadinya injuri. Terdapat keragaman hasil yang diperoleh oleh berbagai literatur tersebut. Hal ini dapat dimaklumi karena literatur-literatur tersebut mengumpulkan informasi dari berbagai kelompok yang bervariasi baik dalam faktor lingkungan, geografis, iklim, maupun kondisi sosial ekonomi.10

Trauma gigi dapat terjadi disepanjang hidup, tetapi paling sering mengenai anak. Trauma gigi pada anak sering dikarenakan terjatuh, berolahraga, kecelakaan

(3)

lalu lintas dan beberapa disebabkan oleh kekerasan. Trauma gigi yang disebabkan oleh terjatuh meliputi antara 26% hingga 82% dari keseluruhan trauma gigi yang terjadi. Kecelakaan ketika bermain atau berolahraga umumnya menempati tempat kedua sebagai penyebab dari trauma gigi.10,11 Berbagai literatur menunjukkan bahwa anak usia sekolah yaitu usia 7-15 tahun merupakan risiko tinggi terhadap trauma gigi permanen.7,12 Besarnya overjet dengan protrusi gigi insisivus sentralis maksila dan penutupan bibir yang tidak sempurna merupakan keadaan rongga mulut yang menjadi faktor predisposisi terhadap terjadinya trauma gigi. Studi melaporkan bahwa trauma gigi terjadi dua kali lebih sering pada anak dengan protrusi gigi insisivus dibandingkan anak dengan oklusi normal.2,7

Penyebab trauma bisa dibagi menjadi dua kategori utama yaitu trauma yang tidak disengaja (unintentional trauma) dan trauma yang disengaja (intentional trauma).10 Unintentional trauma dapat terjadi karena terjatuh, kecelakaan saat berolahraga, kecelakaan lalu lintas, penggunaan gigi yang tidak pada tempatnya seperti menggigit pena, dan membuka tutup botol. Intentional trauma terjadi karena kekerasan fisik yang terjadi pada anak dan prosedur iatrogenik.10,13

2.2.2 Prevalensi

Hasil penelitian yang dilakukan dua lembaga survei nasional di Amerika mengindikasikan bahwa sekitar 1 dari 6 orang remaja dan 1 dari 4 orang dewasa pernah mengalami TDI. Di Inggris, O’Brien menyatakan bahwa 1 dari 5 orang anak pernah mengalami TDI pada gigi permanennya sebelum lulus dari Sekolah Menengah Atas. Hasil ini berbanding lurus dengan hasil penelitian yang dilakukan Andreasen dan Ravn, yang pada tahun 1972 melaporkan bahwa 22% dari anak yang mereka teliti pernah mengalami TDI pada gigi permanennya.Prevalensi TDI pada gigi permanen cukup tinggi di berbagai belahan dunia. Berdasarkan statistik dari berbagai negara menunjukkan bahwa seperempat dari seluruh anak usia sekolah dan sepertiga orang dewasa pernah mengalami trauma pada gigi permanennya.2,11

Penelitian yang dilakukan oleh Kaste et al. di Amerika Serikat pada tahun 1996 menunjukkan bahwa 18,4% dari individu yang berumur antara 6 – 20 tahun

(4)

mengalami setidaknya 1 kali TDI pada gigi permanennya. Malikaew et al. cited in Glendor U, juga melakukan penelitian prevalensi TDI pada gigi permanen di Thailand terhadap 2725 anak yang berusia antara 11 – 13 tahun dan menunjukkan hasil bahwa 35% dari sampel yang diperiksa pernah mengalami TDI.2

Penelitian lainnya juga dilakukan di Brazil untuk melihat prevalensi TDI pada anak dibawah usia sekolah antara tahun 2002 hingga tahun 2006. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa prevalensi TDI adalah sebesar 9,4% pada tahun 2002, 12,9% pada tahun 2004, dan 13,9% pada tahun 2006. Hasil ini menunjukkan terdapat peningkatan yang signifikan dari prevalensi TDI yang terjadi dari tahun ke tahun.3

2.3 Klasifikasi Trauma

Salah satu klasifikasi yang terbaik yang telah diterima secara internasional adalah klasifikasi Andreasen yang diadopsi oleh WHO. Klasifikasi ini dianggap lebih baik karena memiliki format yang deskriptif dan didasari oleh pertimbangan klinis dan anatomis. WHO mengklasifikasikan menjadi 4 garis besar yang meliputi kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa; kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa dan tulang alveolar; kerusakan pada jaringan periodontal; serta kerusakan pada gusi atau jaringan lunak rongga mulut.13,14

2.3.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

a. Retak mahkota (enamel infraction), yaitu suatu fraktur yang tidak sempurna pada enamel tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal atau vertikal.

b. Fraktur enamel (enamel fracture) yaitu suatu fraktur yang hanya mengenai lapisan enamel saja.

c. Fraktur enamel-dentin (uncomplicated crown fracture), yaitu fraktur pada mahkota gigi yang hanya mengenai enamel dan dentin saja tanpa melibatkan pulpa.

d. Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture), yaitu fraktur yang mengenai enamel, dentin, dan pulpa.

(5)

e. Fraktur mahkota-akar yang tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture), yaitu fraktur yang mengenai enamel, dentin, dan sementum tetapi tidak melibatkan jaringan pulpa.

f. Fraktur mahkota akar yang kompleks (complicated crown-root fracture), yaitu fraktur yang mengenai enamel, dentin, sementum, dan melibatkan pulpa.

g. Fraktur akar (root fracture), yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum, dan pulpa. 10,13,14,15

A B C

D E F

Gambar 1.Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa: A. retak mahkota B. fraktur enamel C. fraktur email-dentin D. fraktur mahkota kompleks E. fraktur mahkota akar F. fraktur akar .14

2.3.2 Kerusakan pada Jaringan Periodontal

a. Konkusi yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi yang menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi.

(6)

b. Subluksasi yaitu kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi gigi akibat trauma pada jaringan pendukung gigi.

c. Luksasi, merupakan perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan gigi ke arah labial, palatal maupun lateral, hal ini menyebabkan kerusakan atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut.

d. Luksasi ekstrusi (partial displacement), yaitu keluarnya sebagian gigi dari soketnya. Ekstrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih panjang.

e. Luksasi intrusi yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar, dimana dapat menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar. Luksasi intrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih pendek.

f. Avulsi (hilang atau ekstrartikulasi) yaitu lepasnya seluruh gigi ke luar dari soket.10,13,14,15

A B C

D E F

Gambar 2. Kerusakan pada jaringan periodontal:

A. konkusi B. Subluksasi C. luksasi D. luksasi ekstrusi E. luksasi intrusi F. avulsi.14

(7)

2.3.3 Kerusakan pada Jaringan Tulang Pendukung

a. Communition of the maxillary alveolar socket adalah kerusakan dan kompresi dari soket alveolar pada rahang atas. Hal ini dapat juga dilihat pada intrusif dan luksasi lateral.

b. Communition of the mandibular alveolar socket adalah kerusakan dan kompresi dari soket alveolar pada rahang bawah. Hal ini dapat juga dilihat pada intrusif dan luksasi lateral.

c. Fraktur dinding soket alveolar maksila adalah fraktur tulang alveolar pada rahang atas yang melibatkan dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari dinding soket.

d. Fraktur dinding soket alveolar mandibula adalah fraktur tulang alveolar pada rahang bawah yang melibatkan dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari dinding soket.

e. Fraktur prosesus alveolar maksila adalah fraktur yang mengenai prosesus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi pada rahang atas.

f. Fraktur maksila adalah fraktur pada maksila yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.

g. Fraktur mandibula adalah fraktur pada mandibula yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.10,13-15

2.3.4 Kerusakan pada Gusi atau Jaringan Lunak Rongga Mulut

a. Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang disebabkan oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka tersebut berupa robeknya jaringan epitel dan subepitel.

b. Kontusio yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya daerah mukosa.

c. Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan atau goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah atau lecet.10,13-15

(8)

2.4 Riwayat, Pemeriksaan Klinis, dan Diagnosis

Seorang anak yang mengalami trauma gigi dan dibawa ke dokter gigi perlu dilakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan lukanya dan menanyakan keterangan yang berhubungan agar perawatan dapat direncanakan dengan baik.15 Data keterangan kesehatan umum maupun kesehatan gigi dan mulut merupakan suatu informasi penting yang dapat mempengaruhi diagnosis dan perawatan. Riwayat kesehatan lengkap hanya dimiliki oleh anak yang melakukan perawatan rutin ke dokter giginya, namun pada beberapa anak dokter gigi haruslah menanyakan tentang riwayat kesehatan secara langsung kepada anak ataupun orang tua.11,16

Riwayat kesehatan umum yang berhubungan dan dapat mempengaruhi perawatan gigi adalah penyakit jantung, kelainan pembuluh darah, alergi obat-obatan, kelainan syaraf, dan status profilaxis tetanus. Pertanyaan yang terpenting untuk menggali informasi kesehatan gigi dan mulut anak adalah mengenai kapan, dimana, dan bagaimana kecelakaan itu terjadi.11,16

Pemeriksaan pasien yang mengalami fraktur terdiri dari pemeriksaan darurat dan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan darurat meliputi pengumpulan data vital, riwayat kesehatan pasien, dan keluhan pasien, sedangkan pemeriksaan lanjutan meliputi pemeriksaan kembali klinis lengkap yang terdiri dari pemeriksaan ekstra oral dan intra oral serta dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiografis untuk dapat melihat ukuran pulpa dan jarak garis fraktur, dan kelainan pada jaringan pendukung.17

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang berupa radiografi, tes elektrik dan uji termal. Pada fraktur yang dapat terlihat secara klinis yaitu seperti fraktur enamel, fraktur mahkota, avulsi, displacement umumnya dapat ditegakkan hanya dengan riwayat dan pemeriksaan klinis. Kasus fraktur yang diperkirakan terjadi dibagian akar gigi atau tulang alveolus membutuhkan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiografi untuk memastikannya.9,11,16 Dalam proses menegakkan diagnosis, dokter gigi harus mencatat semua data yang relevan yang berhubungan dengan penyakit anak dalam

(9)

sebuah formulir yang dianjurkan. Formulir ini nantinya akan berfungsi sebagai bantuan untuk dokter dalam melakukan perawatan selanjutnya.9

2.5 Penanganan Darurat

Prognosa trauma gigi akan menjadi lebih baik jika orang tua dan masyarakat menyadari langkah – langkah pertolongan pertama dan kebutuhan untuk mencari pengobatan segera. Riwayat kesehatan anak, pola tingkah laku anak dan bentuk trauma gigi yang terjadi pada anak harus dipertimbangkan dalam melakukan penanganan darurat untuk menentukan perawatan yang tepat.18

Trauma gigi anak sering disertai dengan luka terbuka dari jaringan mulut, abrasi jaringan wajah atau bahkan luka tusukan. Tindakan darurat yang harus dilakukan seperti debridement luka, penjahitan, kontrol perdarahan dari luka jaringan lunak, dan pemberian anti tetanus serum bila ada kemungkinan luka yang didapat sepsis.16

Pada trauma gigi yang hanya mengenai enamel atau hanya menyebabkan retaknya enamel, selain prosedur diagnostik yang lengkap, perawatan dilakukan dengan menghaluskan struktur gigi yang kasar saja dan dikontrol setelah 2 minggu dan 1 bulan setelah terjadi trauma. Trauma gigi yang mengenai enamel dan dentin memerlukan restorasi sementara, atau indirect pulp capping . Trauma gigi yang mengenai pulpa dan atau saluran akar memerlukan perawatan dengan tujuan untuk mempertahankan vitalitas pulpa. Jenis perawatan yang dapat dilakukan adalah direct pulp capping, pulpotomi, ataupun pulpektomi.1,16 Pada gigi yang mengalami avulsi, penanganan darurat yang dapat dilakukan adalah dengan menyimpan gigi yang avulsi tersebut di dalam cairan susu yang dingin sebelum kemudian dibawa ke dokter gigi untuk ditanamkan kembali sesegera mungkin. Cairan susu dipilih sebagai media penyimpanan karena susu memiliki osmolalitas yang paling mirip dengan darah manusia sehingga dapat membantu mempertahankan vitalitas dari jaringan ligamen periodontal. Susu dianggap lebih baik menjadi media penyimpanan dibanding saliva karena pada saliva terdapat banyak bakteri. Media lain yang juga dapat digunakan untuk penyimpanan adalah cairan saline fisiologis dan albumin telur.19

(10)

2.6 Kerangka Teori

Anak

Etiologi Predisposisi

Trauma Gigi Pencegahan

Pemeriksaan Perawatan

Klasifikasi trauma Andreasen yang diadopsi oleh WHO:

• Kerusakan pada jar. Keras gigi dan pulpa

• Kerusakan pada jar. Periodontal

• Kerusakan pada tulang

pendukung

• Kerusakan pada gingiva atau jar.

lunak

(11)

2.7 Kerangka Konsep

Anak SMP Prevalensi trauma gigi permanen anterior.

Berdasarkan :

• Klasifikasi trauma gigi Andreasen yang diadopsi oleh WHO

• Elemen gigi permanen anterior yang terkena trauma

• Usia anak

• Jenis Kelamin

• Etiologi

• Lokasi terjadinya trauma

Referensi

Dokumen terkait

Populasi dalam penelitian tentang “Analisis Implementasi Kebijakan Pemberian Sanksi Pelanggaran Hukum Keimigrasian” ini adalah pejabat imigrasi sebagai implementor kebijakan

Kegiatan belajar mengajar (KBM) pada siklus 1, memiliki kendala dalam proses KBM seperti awal masuk kelas para siswa belum terlihat aktif dalam merespon

Untuk penurunan Nilai IHD arus yang dihasilkan sudah mengalami penurunan pada fasa S, terlihat pada Gambar 18 menunjukan spektrum harmonisa setiap orde kelipatan

Indeks LLA/U merupakan indikator yang baik untuk menilai KEP (Kekurangan Energi Protein). Faktor yang dapat mempengaruhi kekurangan gizi anak sekolah dasar antara lain:

SKRIPSI UJI LAJU DISOLUSI PIROKSIKAM

Perpindahan Panas dan Massa, Teknik Kimia ini, salah satunya adalah mengembangkan metode packed sieve tray column, dengan menambahkan packing di atas tiap sieve tray

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari ketujuh variabel independen yang diteliti ternyata hanya variabel uku- ran aset, dan variabilitas keuntungan yang berpengaruh

Hasil penelitian ini menunjukkan sebelum diterapkan pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu siklus I sampai dengan siklus II sudah diterapkan pembelajaran