• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat (HR)

2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Hutan Rakyat

Pengertian hutan rakyat menurut UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Dalam Kemenhut No.49/Kpts-II/1997, hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar, sedangkan pada Permenhut No.P26/Menhut-II/2005 hutan rakyat tidak didefinisikan karakteristiknya secara jelas melainkan merujuk pada status kepemilikan lahannya, yaitu hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang dibuktikan dengan hak atas tanah, yang lazim disebut hutan rakyat yang diatasnya didominasi oleh pepohonan dalam suatu ekosistem yang ditunjuk oleh bupati/walikota.

Karakteristik hutan rakyat berdasarkan status lahan tempat tumbuhnya yaitu dapat berada di lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (Awang 2007), sedangkan berdasarkan jenis tanamannya hutan rakyat dapat terdiri dari hutan rakyat yang murni ditanami kayu-kayuan; hutan yang ditanami kayu- kayuan dan buah-buahan; dan hutan yang ditanami tanaman kayu-kayuan, buah- buahan, empon-empon, dan sayuran (Jariyah et al. 2008; Winarno dan Waluyo 2007).

Berdasarkan aspek pengelolaan karakteristik hutan rakyat adalah luasan yang dikelola sempit dan tersebar, skala usaha kecil, pola tanaman dengan jenis campuran, dikelola individual oleh keluarga (household management), tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten, teknik silvikultur sederhana, kontinuitas dan dipandang sebagai tabungan bagi pemiliknya (Winarno dan Waluyo 2007; Awang 2007). Berdasarkan pola pengembangannya dapat dikelompokkan dalam (1) hutan rakyat pola swadaya, yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok/ perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga kerja dari kelompok perorangan itu sendiri; (2) hutan rakyat pola subsidi, yaitu hutan

(2)

rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian/keseluruhan biaya pembangunannya; (3) hutan rakyat pola kredit usaha, yaitu hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan (Winarno 2007).

2.1.2 Pemikiran Mengenai Hutan Rakyat

Awang (2005), mengemukakan bahwa konstruksi pengetahuan tahap pertama sudah meletakkan "tinta emas" dalam pengembangan hutan rakyat di Indonesia (tahun 1930-2004). Tetapi kita tidak boleh berpuas diri dengan situasi itu, sebab untuk hutan Indonesia masa yang akan datang, pengetahuan tentang hutan rakyat harus lebih luas dari pemikiran generasi pertama tersebut.

Karakteristik hutan rakyat sampai saat ini bersifat individual, oleh keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten, dan dipandang sebagai tabungan bagi keluarga pemilik hutan rakyat.

Karakteristik seperti ini bagi perkembangan ke depan kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri, tidak dapat menjamin sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutannya (Awang, 2005).

Konstruksi pemikiran generasi kedua tentang hutan rakyat adalah membongkar pengetahuan dan pemahaman sekaligus semua kebijakan yang membatasi atau menyempitkan pengertian hutan rakyat tersebut. Kontruksi baru ini mendorong agar pengetahuan tentang hutan rakyat diperluas sama luasnya dengan fungsi hutan itu sendiri. Hutan rakyat adalah hamparan lahan yang ditumbuhi (alam dan buatan) tanaman keras dan tanaman semusim oleh individu maupun kelompok masyarakat di atas lahan milik, lahan komunal, lahan perusahaan, dan lahan yang dikuasai negara.

Selanjutnya Awang (2005) menyatakan dukungan terpenting yang sangat diperlukan untuk mengembangkan hutan rakyat dalam bingkai konstruksi baru di Indonesia pada masa yang akan datang adalah antara lain:

1. Departemen kehutanan harus membuat kebijakan yang memungkinkan agar kawasan hutan yang dikuasai perusahaan dan yang dikuasai negara dapat

(3)

diakses dan dibuka peluang berusahanya untuk berkolaborasi dengan masyarakat.

2. Secara serius dan berkesinambungan pemerintah mengalokasikan dana reboisasi untuk kegiatan pembangunan hutan rakyat (fisik dan non fisik, penanaman, pemeliharaan, pengolahan hasil, dan pemasaran hasil). Dana ini dapat berupa bantuan cuma-cuma, kredit langsung oleh rakyat, dan model kemitraan usaha hutan rakyat.

3. Komoditas yang dikembangkan dalam hutan rakyat harus mencakup kayu, non kayu, dan jasa lingkungan.

4. Pemerintah harus memberikan reward kepada pemilik dan pengelola hutan rakyat yang telah menyelamatkan lingkungan, pemerintah jangan menciptakan kebijakan yang disinsentif (misal membuat Perda yang memberatkan petani hutan rakyat).

5. Semua pihak mendorong setiap pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah yang berkaitan dengan pengumpulan dana publik dari pengguna jasa lingkungan untuk kepentingan pemeliharaan dan pengembangan hutan rakyat.

6. Semua pihak agar mengembangkan pengetahuan dan pemikiran dan disosialisasikan kepada publik Indonesia bahwa hutan rakyat mampu berfungsi sebagai kawasan penyerap CO2, pemeliharaan satwa, dan konservasi flora, tanah dan air.

2.1.3 Luas dan Potensi Hutan Rakyat

Luasan hutan rakyat di Pulau Jawa setiap tahunnya berbeda-beda. Zain (1998) menyatakan bahwa luas hutan rakyat di Pulau jawa pada tahun 1995 adalah  228.520 hektar, sedangkan pada tahun 2004 adalah  725.237,86 hektar.

Berdasarkan Kajian BPKH XI dan MFP II (2009), Provinsi Banten memiliki taksiran luas hutan rakyat yang cukup besar yaitu seluas 322.153 ha atau sebesar 12,4% dari luas hutan rakyat yang ada di Pulau Jawa yaitu 2.209.250,55 ha.

Provinsi yang memiliki luas hutan rakyat terbesar adalah Provinsi Jawa Barat yang memiliki luasan hutan rakyat paling luas yaitu 942.698,13 ha atau 36,4%, kemudian Provinsi Jawa Tengah dengan luas 742.923,17 ha atau 28,7% dan Jawa Timur dengan luasan 523.629,25 ha atau 20,3%. Luas dan produksi hutan rakyat

(4)

di Kabupaten Bogor Tahun 2009 untuk jenis sengon (Paraserienthes falcataria) yaitu seluas 3.354,96 ha dengan produksi 18.795,44 m3 (BP4K 2009).

Dalam konteks potensi ekonomi kayu dari hutan rakyat, Winarno (2007) memperkirakan dengan potensi standing stock sekitar 40 juta m3 dan daur tanam 7 tahun maka produksi kayu dari hutan rakyat dapat mencapai 6 juta m3 per tahun.

Prakiraan BPKH XI dalam MFP-II (2009) menyimpulkan bahwa dengan luasan hampir 2,6 juta ha potensi total tegakan mencapai 74,77 juta m3 atau rata-rata 28,92 m3/ha, dan potensi produksi per tahun dapat mencapai 7,5 juta m3.

Dalam konteks potensi hutan rakyat pada aspek lingkungan, Awang (2007) menyatakan bahwa tujuan jangka pendek penghijauan (dalam pembangunan hutan rakyat) adalah untuk mencegah banjir, erosi tanah dan kekeringan, meningkatkan produktivitas tanah, sedangkan dalam jangka panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan sebarannya, lokasi hutan rakyat di Jawa sebagian besar (85%) berada pada bagian tengah dan hulu daerah aliran sungai atau DAS, dengan demikian menjadi sangat penting perannya dalam hal menjaga fungsi pengatur tata air dan pencegahan erosi serta longsor.

Dari hasil listing sensus pertanian 2003 (Badan Pusat Statistik 2004), menunjukkan bahwa di Indonesia tercatat sekitar 2,32 juta rumah tangga yang mengusai tanaman sengon dengan populasi pohon yang dikuasai mencapai 59,83 juta pohon atau rata-rata penguasaan per rumah tangganya sebesar 25,84 pohon.

Dari total sebanyak 59,83 juta pohon sengon, sekitar 24,61 juta pohon atau 41,14% diantaranya adalah merupakan tanaman sengon yang siap tebang. Hal ini memberikan indikasi bahwa tanaman sengon di Indonesia sebagian besar masih berumur muda.

Tanaman sengon di Jawa terkonsentrasi di tiga propinsi berturut-turut adalah di Jawa Tengah (34,84%), Jawa Barat (30,62%) dan Jawa Timur (10,88%), sementara di luar Jawa terdapat di dua propinsi yang cukup banyak yaitu di Lampung (3,86%) dan Kalimantan Timur (2,20%). Meskipun persentase jumlah rumah tangga yang mengusai tanaman sengon di Jawa jauh lebih besar dibanding di Luar Jawa yaitu mencapai 85,63% dari total Indonesia, tetapi rata- rata penguasaan tanaman per rumah tangga di Jawa hanya sekitar 25,25 pohon sedangkan di luar Jawa mencapai 29,33 pohon. Demikian juga dengan kondisi

(5)

tanaman, di Jawa persentase tanaman sengon yang siap tebang terhadap total jumlah pohon seluruhnya hanya 39,10% (BPS 2004). Produksi sengon di Wonosobo pada tahun 2007 bisa mencapai 769.970 m3 (BPS 2007).

2.1.4 Manfaat dan Tujuan Hutan Rakyat

Hutan rakyat mempunyai manfaat positif baik secara ekonomi maupun ekologi. Hutan rakyat secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan pemilik hutan rakyat, penyediaan lapangan kerja, dan memacu pembangunan ekonomi daerah, sedangkan secara ekologi hutan rakyat mampu berperan positif dalam mengendalikan erosi dan limpasan permukaan, memperbaiki kesuburan tanah, dan menjaga keseimbangan tata air (Mustari 2000).

Tujuan utama usaha hutan rakyat yakni meningkatkan kesejahteraan para petani, disamping manfaat lain seperti kayu dan hasil hutan lainnya; pengawetan tanah dan air; perlindungan tanaman-tanaman pertanian; dan perlindungan satwa liar (Hardjanto 2003). Awang (2007) menjelaskan tujuan pembangunan hutan rakyat diantaranya meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari; membantu meningkatkan keanekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat; membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan, bahan baku industri dan kayu bakar; meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya; dan memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS.

Rahayu dan Awang (2003) mengemukakan bahwa hutan rakyat memberi kepastian tambahan pendapatan harian dari tanaman berumur pendek dan tabungan dari tanaman berumur panjang; lebih mudah dan murah dipelihara daripada perkebunan atau areal tanaman semusim karena menyediakan pakan ternak atau kayu bakar serta tidak perlu pupuk dan disiangi; menguntungkan secara lingkungan karena bisa menumbuhkan siklus hara.

2.1.5 Permasalahan Pengelolaan Hutan Rakyat

Darusman dan Hardjanto (2003) mengidentifikasikan beberapa masalah dalam pengelolaan hutan rakyat diantaranya, aspek produksi, berkaitan dengan

(6)

persoalan bagaimana mempertahankan produktivitas hutan; aspek pengolahan, berkaitan dengan semua tindakan mengubah bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi; aspek pemasaran, berkaitan dengan sistem distribusi, struktur pasar, penentuan harga, perilaku pasar, dan keragaan pasar; serta aspek kelembagaan yang berkaitan dengan perlunya penyempurnaan kelembagaan pada setiap subsistem pengusahaan hutan rakyat.

Sementara itu, beberapa kendala dalam pengembangan hutan rakyat berkelanjutan menurut BPKH XI dan MFP-II (2009), diantaranya: (1) pemenuhan kebutuhan dasar, berkaitan minimnya luas kepemilikan lahan untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga dan penanaman hutan rakyat; (2) hak kepemilikan lahan, berkaitan dengan pengambilan keputusan atas lahan; (3) antipati terhadap pohon tertentu, berkaitan dengan mitos di masyarakat atas jenis-jenis pohon tertentu yang tumbuh alami di lahan mereka; (4) lahan yang kritis, berkaitan dengan kondisi fisik lahan yang sukar diusahakan; (5) keterbatasan modal dan tenaga kerja; (6) konversi lahan hutan ke pertanian; (7) persepsi yang keliru, berkaitan dengan pengalaman masyarakat sebelumnya; dan (8) kelangkaan informasi khususnya dalam ketidakjelasan prospek pemasaran jenis kayu yang dianjurkan.

2.2 Konsep Kelestarian Hasil

Meyer et al. (1961) menyatakan terdapat beberapa tipe kelestarian hasil yaitu : (a) Integral yield (hasil integral), hutan terdiri dari pohon-pohon satu umur saja, ditanam pada saat yang sama dan ditebang pada saat yang sama pula, (b) Intermitten yield (hasil periodik), tegakan terdiri dari pohon-pohon dalam beberapa kelas umur, dengan demikian akan dapat ditebang dalam beberapa kali dalam interval waktu tertentu atau secara regulasi, dan (c) Annual yield (hasil tahunan), penebangan selalu siap dilakukan pada setiap tahun.

Menurut Simon (1994), kelestarian hasil hutan menuntut tingkat produksi yang konstan untuk intensitas pengelolaan hutan tertentu dimana antara pertumbuhan dan pemanenan harus seimbang. Hutan yang tertata penuh akan menghasilkan kayu yang sama tahunan atau selama periode tertentu.

(7)

Prinsip kelestarian hasil dalam pengusahaan hutan mensyaratkan diperolehnya hasil yang sedikitnya sama besar untuk satuan waktu dari suatu kesatuan pengusahaan hutan, karena satuan waktu yang biasa digunakan adalah tahun, maka secara operasional prinsip ini dapat diartikan sebagai diperolehnya hasil yang sama setiap tahun dari setiap kesatuan pengusahaan (Suhendang 1993).

Hasil tegakan lestari adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu yang besarnya sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung terus menerus (Davis dan Johnson 1987).

Awang et al. (2002) mengemukakan bahwa kelestarian hutan rakyat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah adanya kebutuhan ekonomi masyarakat, pandangan-pandangan, kebutuhan penyelamatan lingkungan, dan sebagainya. Lebih lanjut Awang et al. menyatakan bahwa pemanfaatan hutan rakyat yang seimbang antara kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan mengakibatkan hutan rakyat akan lestari yang mengakibatkan tidak lestarinya hutan rakyat adalah eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil hutan rakyat.

Suhendang (1993), menyatakan bahwa ukuran kelestarian hasil dikelompokkan ke dalam: (1) ukuran fisik (luas areal penebangan, volume kayu, massa dan volume batang) dan (2) ukuran ekonomis dalam bentuk nilai uang.

Ukuran kelestarian hasil dengan ukuran fisik terutama volume yang banyak digunakan karena kepraktisannya dibandingkan dengan nilai uang yang relatif rumit karena dipengaruhi oleh banyak hal seperti inflasi, suku bunga dan sebagainya. Akan tetapi, penentuan uang sangat penting sebagai pertimbangan dalam pemilihan pengaturan hasil.

Selanjutnya Iskandar et al. (2003) menyebutkan untuk mewujudkan kelestarian sumber daya hutan maka pengelolaan hutan harus mengandung tiga dimensi utama, yaitu kelestarian fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Dimensi tersebut berlaku pula dalam pengelolaan hutan rakyat.

Pengelolaan hutan berada pada keadaan kelestarian hasil apabila besarnya hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung secara terus menerus. Secara umum dikatakan bahwa jumlah maksimum hasil yang dapat diperoleh dari hutan pada suatu waktu tertentu adalah jumlah kumulatif pertumbuhan sampai waktu itu sedangkan jumlah maksimum hasil yang dapat dikeluarkan secara terus menerus

(8)

secara periode sama dengan pertumbuhan dalam periode waktu itu (Davis and Jhonson 1987).

Knuchel (1953) menerangkan bahwa suatu pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari bila dapat menyediakan suplai kayu selama bertahun-tahun dari tebangan yang dilakukan terhadap tegakan yang telah mencapai kondisi masak tebang. Kelestarian hutan tidak hanya memperhatikan volume hasil yang tetap jumlahnya, tetapi juga harus memasukkan bentuk dan kualita batang serta nilai uang yang dihasilkan.

Pengelolaan hutan berkelanjutan atau Sustainable Forest Management (SFM) merupakan prinsip dalam mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang ditentukan menyangkut kontinuitas produksi hasil dan manfaat lain yang diinginkan tanpa mengakibatkan kemunduran nilai produktivitas hutan dimasa datang dan menimbulkan efek yang merugikan pada lingkungan fisik dan sosial (ITTO 1998).

LEI merujuk pada Goot (1994) tentang manfaat hutan, Upton dan Bass (1995) tentang prinsip-prinsip kelestarian, merumuskan kelestarian pengelolaan hutan dilihat pada tiga manfaat pokok hutan, yaitu kelestarian manfaat ekologis, sosial, dan ekonomis, sebagai berikut:

a) Kelestarian manfaat ekologis, mencakup pemeliharaan viabilitas, fungsi ekosistem hutan dan ekosistem di sekitarnya pada level yang sama atau lebih tinggi. Ekosistem hutan harus mendukung kehidupan organism yang sehat, tetap mempertahankan produktivitas, adaptabilitas, dan kemampuannya untuk pulih kembali. Hal ini menghendaki pelaksanaan pengelolaan hutan yang menghargai atau didasarkan atas proses-proses alami.

b) Kelestarian manfaat sosial, mencerminkan keterkaitan hutan dengan budaya, etika, norma sosial dan pembangunan. Suatu aktivitas dikatakan lestari secara sosial apabila bersesuaian dengan etika dan norma-norma sosial atau tidak melampaui batas ambang toleransi komunitas setempat terhadap perubahan.

c) Kelestarian manfaat ekonomi, menunjukkan bahwa manfaat dari hutan melebihi biaya yang dikeluarkan oleh unit manajemen dan modal yang ekuivalen dapat diinvestasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

(9)

2.3 Konsep Pengaturan Hasil Hutan

Pengaturan hasil dimaksudkan dengan tujuan mencapai kelestarian hasil yang diperoleh dari hasil hutan secara berkelanjutan dengan jumlah yang relatif sama atau lebih besar setiap tahunnya. Menurut Osmaston (1968), pengaturan hasil bertujuan untuk memperoleh hasil akhir yang berazaskan kelestarian.

Beberapa alasan penebangan dan pengaturan hasil dalam hubungannya dengan jumlah, mutu, tempat, dan waktu. Pengaturan hasil diterapkan karena berbagai alasan antara lain:

(a) penyediaan bagi konsumen dimana penebangan harus dilaksanakan agar tersedia jenis, ukuran, mutu, dan jumlah kayu sesuai permintaan pasar;

(b) pemeliharaan growing stock untuk mempertahankan dan mengembangkan produksi dalam bentuk serta kualitas yang baik secepat mungkin;

(c) penyesuaian jumlah dan bentuk tegakan persediaan agar lebih sesuai dengan tujuan pengelolaan;

(d) penebangan, perlindungan terutama dipergunakan dalam sistem silvikultur untuk melindungi tegakan dari angin, kebakaran hutan dan sebagainya.

Klasifikasi metode pengaturan hasil menurut Osmaston (1968) didasarkan pada:

1. Metode berdasarkan luas

2. Metode berdasarkan volume dan riap 3. Metode berdasarkan jumlah pohon

Menurut Suhendang (1996), pengaturan hasil secara garis besar dikelompokkan menjadi dua yaitu: (1) pengaturan hasil hutan seumur: (a) berdasarkan luas, (b) berdasarkan volume, dan (c) berdasarkan luas dan volume;

dan (2) Pengaturan hasil tidak seumur yaitu berdasarkan jumlah pohon.

Pengaturan hasil terkait dengan pengaturan tebangan tegakan hutan. Meyer et al. (1961) menyebutkan bahwa pengaturan tebangan merupakan tujuan penting manajemen hutan. Ada tiga permasalahan pengaturan tebangan yaitu penentuan jatah tebang, distribusi jatah tebang ke dalam blok dan kompartemen, serta penentuan waktu tebang pada masing-masing blok atau kompartemen.

Konsep pengaturan hasil yang berlaku sampai saat ini pada kegiatan pengelolaan hutan rakyat didasarkan pada jumlah batang. Oleh karena itu, metoda

(10)

yang mungkin bisa diterapkan pada pengaturan hasil hutan rakyat bisa didekati melalui Metode Brandis (The Brandis Method), tanpa mengabaikan sistem pengelolaan yang sudah berjalan saat ini, dengan kata lain harus mempertimbangkan kondisi sosial budaya lokal dan kapasitas petani hutan rakyat sebagai pengelola.

Pada tahun 1856 Brandis diberi tugas untuk memimpin pengelolaan hutan alam Jati di Pegu, Burma (sekarang Myanmar), dengan menggunakan sistem tebang pilih pada tegakan jati yang memiliki keliling batang setinggi dada yaitu 7 feet atau setara diameter diatas limit 67,9 cm (Osmaston 1968), membutuhkan informasi sebagai berikut:

1) Penentuan kelas-kelas diameter berdasarkan hasil inventarisasi.

2) Perhitungan jumlah pohon untuk tiap kelas diameter.

3) Perhitungan apa yang dinamakan jangka waktu lewat (the time of passage), yaitu waktu yang diperlukan oleh sebuah pohon untuk mencapai diameter limit setelah melewati berbagai kelas diameter.

4) Penentuan apa yang dinamakan The causalty per cent utuk setiap kelas diameter, yaitu persen jumlah pohon per kelas diameter yang mati, roboh karena angin atau ditebang sebelum mencapai umur tebang.

Di Myanmar, Brandis menamakan kelas diameter I adalah diameter paling besar adalah diameter diatas limit 7 kaki. Dengan demikian untuk pohon dengan diameter lebih kecil dimasukkan ke kelas II (6 – 7 kaki). Kelas III (4,5 – 6 kaki). - Kelas IV (3 – 4,5 kaki). Kelas V (1,5 – 3 kaki). Pohon-pohon yang berdiameter dibawah 1,5 kaki tidak di inventore karena tidak perlu dimasukkan di dalam perhitungan. Dari hasil inventore kemudian dapat dihitung berapa jumlah pohon untuk tiap kelas. Siklus tebang yang dipergunakan 30 tahun, rencana kegiatan akan disusun setiap 10 tahun. Dalam rencana tabangan 10 tahun pertama, separuh target tebangan akan diambil dari kelas I, dan separuh sisanya diambil dari kelas II. Akan tetapi komposisi kelas I dan kelas II yang ditebang setiap tahun dibuat sedemikian rupa sehingga pada tahun pertama penebangan hanya dilakukan terhadap pohon kelas I. Tahun ke II sepersepuluh target tebang diambil dari kelas II dan sisanya kelas I. Demikian seterusnya secara berangsur-angsur porsi kelas I

(11)

menurun sampai akhirnya pada tahun ke sepuluh tinggal persen kelas I dan sisanya pohon kelas II.

Rencana tebangan seperti ini pada awalnya memang konservatif karena tidak hanya menebang pohon-pohon yang terbesar saja agar diperoleh volume tebangan yang besar pula. Tetapi pada siklus tebangan berikutnya volume etat akan meningkat yang berarti ada perbaikan potensi dan kualitas tegakan.

2.4 Pengelolaan Hutan Lestari

Menurut Manan (1997) pengelolaan hutan sama dengan manajemen hutan yaitu penerapan metode bisnis dan prinsip-prinsip teknis kehutanan dalam pengurusan suatu hutan. Tujuan pengelolaan hutan adalah tercapainya manfaat ganda (multiple use) yaitu menghasilkan kayu, mengatur tata air, tempat hidup margasatwa, sumber makanan ternak dan manusia, dan tempat rekreasi. Sebagai kegiatan manajemen, dengan demikian kegiatan pengelolaan hutan termasuk pengelolaan hutan rakyat meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya dan kawasan hutan, serta perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam yang pada tataran pelaksanaannya mengedepankan terciptanya kelestarian hutan.

Pengelolaan hutan berada pada keadaan kelestarian hasil apabila besarnya hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung secara terus menerus. Secara umum dikatakan bahwa jumlah maksimum hasil yang dapat diperoleh dari hutan pada suatu waktu tertentu adalah jumlah kumulatif pertumbuhan sampai waktu itu sedangkan jumlah maksimum hasil yang dapat dikeluarkan secara terus menerus secara periode sama dengan pertumbuhan dalam periode waktu itu (Davis and Jhonson 1987).

Suhendang (2000) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan hutan secara lestari adalah pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini tidak boleh mengorbankan daya dukung hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai-nilai yang sama untuk generasi yang akan dating. Konsep pengelolaan hutan lestari mencakup pemahaman bahwa hutan memiliki fungsi ekonomi, fungsi ekologis, dan fungsi sosial budaya.

(12)

Fungsi ekonomi adalah keseluruhan hasil hutan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia dalam melakukan berbagai tindakan ekonomi. Hal ini berarti sumberdaya hutan diharapkan memberikan manfaat dan menyokong pendapatan masyarakat serta dapat menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

Fungsi ekologis adalah berbagai bentuk jasa hutan yang diperlukan dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan seperti untuk mengendalikan erosi, memelihara kesuburan tanah, habitat flora dan fauna, dan fungsi-fungsi hutan untuk mengendalikan penyakit tanaman. Artinya sumberdaya hutan diharapkan dapat menopang terciptanya keseimbangan dan kestabilan (enabling condition) sehingga hutan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya.

Fungsi sosial budaya adalah barang dan jasa yang dihasilkan oleh hutan yang dapat memenuhi kepentingan umum terutama bagi masyarakat di sekitar hutan untuk beragai kepentingan dalam pemenuhaan kebutuhan hidupnya, misalnya penyediaan lapangan pekerjaan, penyediaan kayu bakar, penyediaan lahan untuk bercocok tanam, serta untuk berbagai fungsi yang diperlukan dalam rangka melaksanakan kegiatan pendidikan, pelatihan, serta untuk kegiatan budaya dan keagamaan. Fungsi sosial budaya dari sumberdaya hutan dengan demikian adalah untuk menampung tenaga kerja masyarakat dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang mengedepankan aspek keadilan, kesejahteraan, dan keberlanjutan.

Pengelolaan hutan berkelanjutan atau Sustainable Forest Management (SFM) merupakan prinsip dalam mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang ditentukan menyangkut kontinuitas produksi hasil dan manfaat lain yang diinginkan tanpa mengakibatkan kemunduran nilai produktivitas hutan dimasa datang dan menimbulkan efek yang merugikan pada lingkungan fisik dan sosial (ITTO 1998).

LEI merujuk pada Goot (1994) tentang manfaat hutan, Upton dan Bass (1995) tentang prinsip-prinsip kelestarian, merumuskan kelestarian pengelolaan hutan dilihat pada tiga manfaat pokok hutan, yaitu kelestarian manfaat ekologis, sosial, dan ekonomis, sebagai berikut:

(13)

a) Kelestarian manfaat ekologis, mencakup pemeliharaan viabilitas, fungsi ekosistem hutan dan ekosistem di sekitarnya pada level yang sama atau lebih tinggi. Ekosistem hutan harus mendukung kehidupan organism yang sehat, tetap mempertahankan produktivitas, adaptabilitas, dan kemampuannya untuk pulih kembali. Hal ini menghendaki pelaksanaan pengelolaan hutan yang menghargai atau didasarkan atas proses-proses alami.

b) Kelestarian manfaat sosial, mencerminkan keterkaitan hutan dengan budaya, etika, norma sosial dan pembangunan. Suatu aktivitas dikatakan lestari secara sosial apabila bersesuaian dengan etika dan norma-norma sosial atau tidak melampaui batas ambang toleransi komunitas setempat terhadap perubahan.

c) Kelestarian manfaat ekonomi, menunjukkan bahwa manfaat dari hutan melebihi biaya yang dikeluarkan oleh unit manajemen dan modal yang ekuivalen dapat diinvestasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Salah satu lembaga akreditasi di dunia yang merupakan sebuah sistem sertifikasi yang menetapkan standard dan proses sertifikasi yang diakui secara internasional. FSC telah memiliki 16 lembaga sertifikasi tingkat internasional yang diakreditasi oleh FSC, diantaranya TUV di Indonesia (Putera et al.2011).

Forest Stewardship Council (FSC), menciptakan istilah hutan-hutan yang dikelola dengan intensitas rendah dan berskala kecil (Small and Low Intensity Managed Forest (SLIMF), yaitu hutan tanaman dan non hutan tanaman yang ditetapkan sebagai area yang luasnya kurang dari 1000 ha dan kriteria yang harus dipenuhi menurut standard FSC (Hinrichs et al 2008; Putera et al 2011), yaitu:

1. Luas wilayah hutan yang dikelola tidak lebih dari 100 ha, atau 2. Hutan dikelola untuk hasil hutan bukan kayu

3. Hutan dikelola untuk hasil hutan kayu dengan ketentuan tingkat pemanenan kurang dari 20% dari riap rata-rata tahunan pada seluruh wilayah hutan produksi yang dikelola dan total pemanenan tidak lebih dari 5000 m3/tahun.

Sertifikasi FSC hanya diberikan kepada unit-unit usaha pengelolaan hutan dan turunannya, yang dikelola secara benar berdasarkan prinsip dan kriteria FSC yang telah dilakukan penilaian independen oleh lembaga sertifikasi (certifier).

FSC adalah sebuah lembaga internasional non profit, independen, non pemerintah,

(14)

yang didirikan untuk mempromosikan tanggung jawab pengelolaan terhadap hutan dunia secara berkelanjutan (Putera et al. 2011).

Terdapat tiga tipe sertifikat FSC yang dapat dikeluarkan, diperpanjang atau dicabut oleh lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi oleh FSC yaitu:

1. Sertifikat pengelolaan hutan, yaitu sertifikat untuk kegiatan pengelolaan hutan yang telah memenuhi prinsip dan kriteria FSC, yang didasarkan pada penilaian aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi.

2. Sertifikat controlled wood (diberikan hanya untuk pengelola hutan), diberikan untuk kayu yang berasal dari hutan yang belum mendapat sertifikasi FSC, tapi telah memenuhi lima kriteria sebagai berikut:

a) Tidak dipanen secara illegal.

b) Kegiatan pemanenannya tidak menimbulkan pelanggaran terhadap hak- hak sipil dan tradisional.

c) Tidak dipanen dari wilayah dengan nilai konservasi tinggi (daerah yang layak dilindungi) yang kegiatan pemanenannya mengancam keberadaan wilayah tersebut.

d) Tidak dipanen dari hasil hutan alam konservasi

e) Tidak dipanen dari wilayah yang terdapat penanaman pohon hasil rekayasa genetik.

3. Sertifikat lacak balak (chain of custody/ CoC), ditujukan bagi industri dan organisasi perdagangan yang memproses dan memperdagangkan hasil hutan.

Ketiga tipe sertifikasi diatas dapat dilakukan pada dua bentuk sertifikasi yaitu perorangan dan kelompok. Terdapat tiga tipe sertifikasi berkelompok menurut standar FSC, yaitu:

1) Tipe klasik, yaitu wadah kelompok hanya memiliki tanggung jawab dalam hal penanganan administrasi anggota kelompok yang meliputi penjualan dan pemasaran.

2) Tipe campuran, yaitu wadah kelompok berbagai tanggung jawab dengan anggota kelompok yang meliputi kegiatan perencanaan, silvikultur, pemanenan, dan pemantauan agar masing-masing pemilik lahan tetap memenuhi aturan kelompok.

(15)

3) Tipe pengelola sumberdaya (resource manager), yaitu pengelola sumberdaya bertanggung jawab pada semua kegiatan operasional kelompok yang mengatasnamakan anggota kelompok.

2.5 Motivasi

Hasibuan (1999), motivasi adalah dorongan individu untuk mau bekerja keras dengan segenap kemampuan dan keterampilan untuk mencapai tujuan hidup, selanjutnya Leagens dan Loomis (1971) mengemukan bahwa keinginan manusia dimodifikasi oleh pengalaman dan pola perkembangan kepribadiannya yang bersifat fluktuatif.

Proses belajar dalam diri seseorang pada umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor internal (aliran fungsional) dan berbagai faktor eksternal (aliran behavioral). Hal ini berarti keberadaan motivasi untuk berpartisipasi dan kemampuan petani dalam mengelola hutan ditentukan oleh berbagai peubah yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat (Seng 2001).

Sardiman (2000) menyatakan bahwa motivasi adalah daya penggerak yang menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/ mendesak, dan sumber motivasi dapat berasal dari dalam diri/intrinsik dan juga dari luar diri/ekstrinsik. Terdapat dua macam motivasi, yaitu:

1. Motivasi intrinsik yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena di dalam setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.

2. Motivasi ekstrinsik yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.

Gibson et al. (1996), menyatakan bahwa teori motivasi terbagi ke dalam dua kategori yaitu:

1. Teori kepuasan (content theory), pada dasarnya teori ini memusatkan perhatian pada faktor-faktor di dalam individu yang mendorong, mengarahkan, mempertahankan dan menghentikan perilaku seseorang. Teori ini mencoba menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kebutuhan

(16)

yang diperlukan seseorang untuk mencapai kepuasan dan dorongan yang menyebabkan seseorang berperilaku.

2. Teori proses (process theory) pada dasarnya teori ini menekankan usaha untuk menggambarkan penjelasan dan menganalisa bagaimana perilaku digiatkan, diarahkan, dipertahankan dan dihentikan. Dalam teori ini ditekankan pada usaha untuk memberi jawaban atas pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana seseorang bisa dimotivasi dan dengan tujuan apa seseorang tersebut bisa dimotivasi.

Teori keseimbangan atau teori kebutuhan menurut Wahjosumidjo (1994), merupakan teori yang banyak dianut orang. Teori ini beranggapan bahwa tindakan manusia pada hakekatnya adalah memenuhi kebutuhan.

Widjaya (1986), menjelaskan adanya perbedaan motivasi yang ada di dalam diri seseorang dipengaruhi oleh tingkat kematangan, latar belakang kehidupan, usia/umur, keunggulan fisik, mental dan pikiran, sosial budaya, dan lingkungan.

Nur (2005), dalam mengukur tingkat motivasi petani dalam pengelolaan kahuma di areal hutan rakyat, di Kecamatan Sawerigadi, Kabupaten Muna menggunakan pedekatan melalui karakteristik internal dan eksternal, yang terdiri dari faktor/variabel sebagai berikut:

a) Karakteristik internal: umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha tani, status sosial petani, sifat kosmopolit petani, kebutuhan rumah tangga, persepsi.

b) Karakteristik eksternal: Kepemilikan sarana produksi, kepemilikan tenaga kerja, luas lahan, pendapatan, kemudahan dalam pemasaran, intensitas penyuluhan, jumlah tanggungan keluarga, peluang kerja diluar kahuma, jarak lahan ke areal hutan.

Sedangkan pendekatan motivasi didasarkan kepada aspek ekonomi, aspek ekologi dan aspek sosial, sesuai tujuan manfaat yang ingin diperoleh dari pengelolaan hutan rakyat lestari yaitu manfaat ekonomi, ekologi dan sosial.

2.6 Agroforestri

Di Indonesia konsep agroforestri sudah dikenal sejak lama. Oleh karena tidak dibicarakan dalam bahasa “ilmiah” maka seakan-akan menjadi kurang terkenal (Andayani 2005). Konsep agroforestri merupakan salah satu bentuk

(17)

pembangunan kehutanan yang berorientasi pada masyarakat. Agroforestri adalah suatu metode penggunaan lahan secara optimal megkombinasikan system-sistem produksi biologis yang berorientasi pendek dan panjang (kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan asas kelestarian secara bersamaan, berurutan, di dalam dan di luar kawasan hutan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (Hairiah et al. 2003).

Lundgreen dan Raintree (1982), mendefinisikan bahwa agroforestri adalah sebuah nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan hutan dan teknologi dimanan tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, palm-palman, bambu- bambuan, dan sebagainya) ditanam bersama tanaman pertanian dan atau hewan dengan satu tujuan tentang dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal dan didalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan. Definisi ini menunjukan bahwa:

normalnya agroforestry melibatkan dua atau lebih jenis tanaman dengan salah satunya adalah tumbuhan berkayu, sistem agroforestry selalu menghasilkan dua atau lebih output, siklus agroforestry lebih dari satu tahun, biasanya sistemnya lebih kompleks secara ekologi dan secara ekonomi dari pada sistem monokultur

Selanjutnya dikatakan bahwa agroforestry dapat dipraktekan untuk berbagai macam sasaran dalam kombinasi untuk menghasilkan berbagai produk atau keuntungan dari unit pengelolaan yang sama. Tiga sifat yang harus di miliki oleh semua sistem agroforestry adalah:

1. Produktifitas: sistem agroforestry sebagian besar bertujuan uneuk mempertahankan atau menambah hasil produksi dan produktivitas lahan, yaitu melalui penambahan output hasil pohon, memperbaiki kualitas lahan yang mendukung tanaman, mengurangi output sistem tanaman dan menambah efisiensi tenaga kerja.

2. Sustainabilitas: melalui pengawetan produksi sumberdaya potensial tumbuhan berkayu yang bermanfaat pada pengawetan tanah, yang dapat dicapai dalam waktu yang tidak terbatas dengan tujuan konservasi dan kesuburan tanah

3. Adoptabilitas: dapat diterima oleh masyarakat.

(18)

Kriteria yang paling jelas dan mudah dipakai dalam pengklasifikasian sistem agroforestry adalah pengaturan secara spasial dan temporal dari komponen-komponen, kepentingan dan peranan komponen-komponen, tujuan produksi atau output dari sistem ini dan bentuk sosial ekonomi, yang berhubungan dalam struktur sistem, fungsi output, sosial ekonomi, dan penyebaran secara ekologi Raintree (1984), Young (1984), Lundgreen (1982), sebagai berikut:

1. Berdasarkan struktur sistem: mengacu kepada komposisi dan komponen- komponen termasuk pengaturan spasial dari komponen berkayu, stratifikasi vertikal dari seluruh komponen dan pengaturan temporal dari komponen yang berbeda.

2. Berdasarkan fungsi output: mengacu kepada fungsi pokok atau peranan dari sistem biasanya dilengkapi dengan komponen-komponen berkayu, hal ini mungkin berkaitan dengan jasa atau proteksi alam seperti terpaan angin, sabuk perlindungan, konservasi tanah.

3. Berdasarkan sosial ekonomi: mengacu pada tingkat input (rendah maupun tinggi) dari pengaturan atau intensitas/skala dari manajemen dan tujuan komersial (subsisten, komersial, intermediate).

4. Berdasarkan ekologi: mengacu pada kondisi lingkungan dan kesesuaian ekologi terhadap sistem, didasari dengan asumsi bahwa tipe tertentu dari sistem dapat lebih layak untuk kondisi ekologi tertentu (daerah gersang, semi gersang, dataran tinggi tropis, dataran rendah tropis yang lembab dan sebagainya)

2.7 Kelompok Tani

Kelompok tani merupakan suatu kelembagaan yang merupakan kumpulan petani yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi dan sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Departemen Pertanian (2007), mengemukakan bahwa kelompok tani adalah organisasi non formal di perdesaan yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk petani.

(19)

Kelompok tani pada dasarnya adalah organisasi non formal di pedesaan yang ditumbuhkembangkan dari, oleh dan untuk petani, memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Ciri kelompok tani: saling mengenal; saling percaya; memiliki kesamaan dalam pandangan, kepentingan, tradisi, pemukiman, hamparan usaha, jenis usaha, status ekonomi maupun sosial, pendidikan dan ekologi; memiliki tugas dan tanggung jawab sesama anggota.

2. Unsur pengikat kelompok tani: ada kepentingan yang sama, adanya kawasan usaha dan kader tani yang berdedikasi, manfaat yang dirasakan sebagian besar petani, adanya dorongan dari tokoh masyarakat setempat.

3. Fungsi kelompok tani: merupakan wadah belajar, wahana kerja sama, secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha untuk mencapai skala ekonomi dari segi kuantitas, kualitas, maupun kontinuitas.

Penumbuhan kelompok tani didasarkan kepada prinsip-prinsip kebebasan, keterbukaan, partisipatif, keswadayaan, kesetaraan, kemitraan. Setiap individu bebas memilih kelompok tani yang mereka kehendaki sesuai kepentingannya dan tanpa atau menjadi anggota satu atau lebih kelompok tani. Penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara terbuka antara penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha. Semua anggota berhak dan wajib terlibat dalam mengembangkan dan mengelola seperti merencanakan, melaksanakan dan menilai kinerja kelompok tani. Mampu mengembangkan potensi sendiri para anggota dalam penyediaan dana dan sarana serta pendayagunaan sumberdaya untuk mewujudkan kemandirian kelompok tani. Antara penyuluh, pelaku utama dan pelaku usaha harus merupakan mitra sejajar, saling menghargai, saling membutuhkan, saling memperkuat melalui fasilitasi penyuluh.

Referensi

Dokumen terkait

Electrolarynx yang bebas genggam ( hands-free ) dengan kontrol on/off otomatis menjadikan EL lebih praktis dan akan membuat pasien lebih fleksibel. Beberapa penelitian

Tes ini penting karena strategi yang memiliki hasil backtest yang baik di pasar yang berbeda biasanya memiliki keuntungan lebih stabil pada masa akan datang dari strategi

Dalam rangka berkontribusi terhadap permasalahan dan solusi lalu lintas sepeda motor di Indonesia dan untuk melanjutkan penelitian terakhir tersebut, maka studi ini berupaya

PerguruanTinggi adalah sebuah tempat bagi mahasiswa menempuh pendidikan untuk mendapatkan pengetahuan dibidang ilmu tertentu.Orang tua menitipkan anaknya yang

Merupakan honorarium yang diberikan kepada seseorang yang diberi tugas melaksanakan kegiatan administratif untuk menunjang kegiatan tim pelaksana kegiatan. Sekretariat

Kemudian Google mengambil source code Chromium proyek tersebut untuk membuat browser baru dengan menambah beberapa fitur tambahan, termasuk juga tambahan nama,

Dari hasil penelitian ini akan terlihat bagaimana mahasiswa menerapkan peraturan tata guna lahan pada hasil tugas SPA 3 sesuai ketentuan yang telah diatur dalam RTRW

Beberapa keuntungan pengendalian hama dengan menggunakan agens ha- yati seperti yang dikemukakan oleh Steinhaus (1956) dalam Hall (1973) antara lain: 1) patogen