• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM

DEDDY FISH FARM

Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan usaha pembenihan ikan patin dalam bersaing dan memanfaatkan peluang pasar internasional. Alat analisis yang digunakan adalah Matriks Analisis Kebijakan (PAM) yang disusun berdasarkan data penerimaan, biaya produksi, dan biaya tataniaga yang dibagi dalam dua bagian yaitu harga finansial (privat) dan harga ekonomi (sosial).

Masing-masing biaya produksi pada harga finansial dan ekonomi dibagi menjadi tradable (asing) dan nontradable. Hasil perhitungan dari penerimaan, biaya

produksi, dan tataniaga dapat dilihat pada Lampiran 14. Setelah perhitungan- perhitungan tersebut dilakukan, maka disusunlah matriks PAM yang dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13.

Tabel 12. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2008 (Rp/Tahun)

Keterangan Penerimaan Biaya

Profit Tradable Inputs Nontradable

Harga finansial 166.500.000 23.899.010 78.106.910 64.494.080 Harga ekonomi 166.500.000 23.331.944 81.176.567 61.991.489

Dampak kebijakan 0 567.067 -3.069.657 2.502.591

Sumber : Pengolahan Data (2010)

Tabel 13. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF tahun 2009 (Rp/Tahun)

Keterangan Penerimaan Biaya

Profit Tradable Inputs Nontradable

Harga finansial 156.750.000 24.426.140 79.059.180 53.264.680 Harga ekonomi 156.750.000 22.158.616 76.958.262 57.633.122

Dampak kebijakan 0 2.267.524 2.100.918 -4.368.442

Sumber : Pengolahan Data (2010)

Setelah tabel PAM disusun, maka dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai-nilai yang akan menjadi indikator tingkat keuntungan yang

(2)

diperoleh dari ekspor komoditas benih ikan patin pada kondisi finansial dan ekonomi, nilai keunggulan komparatif dan kompetitif, serta nilai untuk mengukur pengaruh kebijakan pemerintah pada output dan input. Berdasarkan Tabel 12 dan Tabel 13, diperoleh indikator-indikator Policy Analysis Matrix yang disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Indikator-indikator dari Policy Analysis Matrix

Indikator 2008 2009

Keuntungan Privat - PP (Rp) 64.494.080 53.264.680

Rasio Biaya Privat – PCR 0,548 0,597

Keuntungan Sosial - SP (Rp) 61.991.489 57.633.122

Biaya Sumberdaya Domestik - DRC 0,567 0,572

Transfer Output - OT (Rp) 0 0

Koefisien Proteksi Output Nominal – NPCO 1 1

Tingkat Proteksi Ouput Nominal - NPRO (%) 0 0

Transfer Input - IT (Rp) 567.067 2.267.524

Koefisien Proteksi Input Nominal – NPCI 1,024 1,102 Tingkat Proteksi Input Nominal - NPRI (%) 2,4 10,2

Transfer Faktor - FT (Rp) -3.069.657 2.100.918

Koefisien Proteksi Efektif - EPC 0,996 0,983

Persentase EPC - EPR (%) -0,4 -1,7

Transfer Bersih - NT (Rp) 2.502.591 -4.368.442

Koefisien Keuntungan – PC 1,04 0,924

Rasio Subsidi Produsen – SRP 0,015 -0,028

Sumber : Pengolahan Data (2010) 6.1. Analisis Keuntungan

Analisis keuntungan terdiri dari keuntungan privat dan keuntungan sosial.

Keuntungan privat dilihat berdasarkan harga yang terjadi di pasaran. Keuntungan sosial dilihat berdasarkan harga bayangan.

6.1.1. Analisis Keuntungan Privat

Tabel PAM menunjukkan besarnya keuntungan privat yang diperoleh

tahun 2008 dan 2009 yaitu sebesar Rp 64.494.080/tahun dan Rp 53.264.680/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan patin

memiliki keuntungan privat. Tingkat keuntungan privat yang positif disebabkan

(3)

dikeluarkan dalam proses produksi komoditas benih ikan patin. Keuntungan privat tahun 2008 lebih besar dibandingkan tahun 2009. Hal ini disebabkan harga benih patin tahun 2008 lebih tinggi dibandingkan 2009 sehingga penerimaan tahun 2008 lebih besar daripada tahun 2009 walaupun kuantitas antara kedua tahun sama.

Penurunan harga benih patin pada 2009 disebabkan karena permintaan konsumen terhadap benih patin berkurang sehingga petani harus menurunkan harga. Selain itu biaya tahun 2009 lebih tinggi daripada 2008 karena harga-harga input tahun 2009 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya akibat adanya inflasi.

6.1.2. Analisis Keuntungan Sosial

Tabel 12 dan 13 menunjukkan keuntungan sosial yang diperoleh tahun 2008 dan 2009 sebesar Rp 61.991.489/tahun dan Rp 57.633.122/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan patin memiliki keuntungan sosial.

Keuntungan sosial yang bernilai positif tersebut karena penerimaan sosial lebih besar dibandingkan dengan biaya produksi sosial. Selisih keuntungan sosial antara kedua tahun tidak besar karena walaupun penerimaan tahun 2008 lebih besar dibandingkan 2009, biaya sosial produksi tahun 2008 seperti bunga modal, garam, obat-obatan, dan pakan juga lebih besar daripada 2009.

Tingkat keuntungan sosial pada tahun 2008 lebih kecil dibandingkan tingkat keuntungan finansial tahun 2008. Hal ini disebabkan lebih tingginya harga sosial beberapa input seperti BBM dan upah tenaga kerja. Hal sebaliknya terjadi pada tahun 2009, tingkat keuntungan sosial pada tahun 2009 lebih besar dibandingkan tingkat keuntungan finansial tahun 2009. Hal ini disebabkan harga sosial beberapa input seperti induk patin, obat-obatan, pakan, peralatan, dan perlengkapan lebih rendah dibandingkan harga finansialnya.

(4)

6.2. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Analisis keunggulan kompetitif dilihat dari Rasio Biaya Privat (PCR).

Analisis keunggulan komparatif dilihat dari Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Suatu usahatani diharapkan memiliki nilai PCR maupun DRC kurang dari satu agar memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif.

6.2.1. Rasio Biaya Privat (PCR)

Tabel 14 memperlihatkan bahwa nilai PCR yaitu sebesar 0,548 dan 0,597.

Nilai tersebut menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah benih patin sebesar 100% diperlukan biaya faktor domestik sebesar 54,8% dan 59,7%. Nilai PCR kurang dari satu mencerminkan bahwa usaha pembenihan ikan patin DFF efisien secara privat dan memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR tahun 2008 lebih rendah dibandingkan 2009 karena biaya finansial produksi tahun 2008 lebih kecil dibandingkan 2009 dan penerimaan privat 2008 lebih besar daripada 2009.

6.2.2. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC)

Tabel 14 memperlihatkan nilai DRC tahun 2008 sebesar 0,567 dan tahun 2009 sebesar 0,572. Ini berarti untuk meningkatkan nilai benih patin sebesar 100% diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 56,7% pada 2008 dan 57,2% pada 2009. Berdasarkan nilai DRC tersebut, maka usaha pembenihan ikan patin efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Nilai DRC tahun 2008 lebih rendah dibandingkan 2009. Hal ini disebabkan faktor penyebut (penerimaan sosial dikurangkan dengan biaya sosial input tradable) pada tahun 2008 lebih besar dibandingkan 2009.

Tahun 2008 nilai PCR lebih kecil dibandingkan DRC karena biaya sosial produksi lebih besar dibandingkan biaya finansialnya. Artinya tahun 2008

(5)

keunggulan kompetitif lebih tinggi daripada keunggulan komparatif (kebijakan pemerintah berjalan efektif). Nilai PCR yang lebih besar dari nilai DRC pada 2009 disebabkan biaya sosial produksi lebih kecil dibandingkan biaya finansial produksi. Artinya keunggulan kompetitif lebih rendah dibandingkan keunggulan komparatif yang menggambarkan bahwa kebijakan yang ada tidak berjalan efektif. Hal ini mengakibatkan pengorbanan untuk mendapatkan tambahan satu satuan output pada analisis privat lebih besar dibandingkan analisis sosial.

6.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah

Analisis dampak kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap beberapa hal. Pertama kebijakan yang memengaruhi harga output. Kedua, kebijakan yang memengaruhi harga input. Ketiga, kebijakan yang memengaruhi baik harga input maupun output.

6.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output

Kebijakan pemerintah terhadap output dilihat dari beberapa hal. Pertama dari Transfer Output (OT). Kedua, dari Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Ketiga, dari Tingkat Proteksi Output Nominal (NPRO)

6.3.1.1.Transfer Output (OT)

Tabel 14 menunjukkan nilai OT yaitu sebesar 0. Nilai nol diperoleh karena tidak terdapat perbedaan antara penerimaan sosial dengan penerimaan privat.

Nilai ini menunjukkan tidak terdapat kebijakan pemerintah yang memengaruhi harga benih patin agar harganya lebih tinggi sehingga petani bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

(6)

6.3.1.2.Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO)

Berdasarkan Tabel 14, nilai NPCO sebesar 1 menunjukkan bahwa tidak terdapat kebijakan pemerintah yang memengaruhi harga benih patin. Petani mendapatkan penerimaan yang sama dengan yang seharusnya diterima bila tidak ada kebijakan. Kondisi ini mengakibatkan petani tidak mendapatkan insentif untuk meningkatkan produksinya karena tidak ada kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan.

6.3.1.3.Tingkat Proteksi Output Nominal (NPRO)

Nilai NPRO masing-masing tahun yaitu 0%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan harga yang diterima sama dengan yang seharusnya diterima tanpa ada kebijakan. Hal ini mengindikasikan tidak ada kebijakan pemerintah yang menguntungkan maupun merugikan petani.

6.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input

Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dilihat dari beberapa indikator. Pertama, dilihat dari transfer input (IT). Kedua, dari Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). Ketiga, dilihat dari Nilai Tingkat Proteksi Input Nominal (NPRI). Keempat, dari Transfer Faktor (FT).

6.3.2.1. Transfer Input (IT)

Berdasarkan Tabel 14 diperlihatkan bahwa nilai IT adalah sebesar Rp 567.067/tahun pada 2008 dan Rp 2.267.524/tahun pada 2009. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat subsidi negatif/pajak pada input yang menyebabkan biaya privat input tradable seperti pakan dan induk patin lebih tinggi dari biaya sosial input tradable. Artinya kebijakan pemerintah merugikan petani karena harus mengeluarkan biaya lebih tinggi dibandingkan saat tidak ada kebijakan.

(7)

6.3.2.2. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)

Berdasarkan Tabel 14, dapat dilihat bahwa besarnya NPCI yang diperoleh masing-masing tahun yaitu 1,024 dan 1,102. Nilai yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa pemerintah melindungi produsen input. Biaya privat input tradable yang dibayarkan oleh petani lebih tinggi 2,4% pada 2008 dan 10,2%

pada 2009 dibandingkan biaya sosial input tradable.

6.3.2.3. Nilai Tingkat Proteksi Input Nominal (NPRI)

Nilai Tingkat Proteksi Input Nominal (NPRI) dihitung berdasarkan nilai NPCI. Nilai yang diperoleh yaitu tahun 2008 sebesar 2,4% dan tahun 2009 sebesar 10,2%. Nilai NPRI yang positif menunjukkan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah maka petani pembenihan ikan patin akan membayar input tradable sebesar 2,4% dan 10,2% lebih tinggi dibandingkan input tradable secara

sosial.

6.3.2.4. Transfer Faktor (FT)

Berdasarkan Tabel 12 dan 13, nilai TF sebesar negatif Rp 3.069.657/tahun pada 2008 dan positif Rp 2.100.918/tahun pada 2009. Hasil negatif menunjukkan bahwa biaya input nontradable yang dikeluarkan pada tingkat harga privat lebih rendah dibandingkan dengan biaya input nontradable pada harga bayangan.

Petani membayar input nontradable lebih rendah dari yang seharusnya dibayarkan, sehingga petani mendapatkan keuntungan sebesar Rp 3.069.657/tahun pada 2008. Pada 2009 terjadi sebaliknya, nilai TF yang positif mengindikasikan bahwa terdapat pajak atau transfer dari petani kepada pemerintah dan produsen input domestik, sehingga petani harus membayar input domestik lebih tinggi dari harga sosialnya.

(8)

6.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah pada Input dan Output

Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dilihat dari beberapa indikator. Pertama, Koefisien Proteksi Efektif (EPC). Kedua, Tingkat Proteksi Efektif (EPR). Ketiga, Koefisien Proteksi (PC). Keempat, Transfer Bersih (NT).

Kelima, Rasio Subsidi Produsen (SRP).

6.3.3.1. Koefisien Proteksi Efektif (EPC)

Berdasarkan Tabel 14 diperoleh nilai EPC tahun 2008 dan 2009 masing- masing sebesar 0,996 dan 0,983. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa nilai tambah yang diperoleh petani (privat) sedikit lebih rendah daripada nilai tambah yang seharusnya diterima (sosial), yaitu sekitar 99,6% dan 98,3%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan yang ada tidak/kurang berpengaruh terhadap petani. Kebijakan proteksi yang diterapkan tidak berjalan efektif sehingga biaya privat input tradable sedikit lebih besar dibandingkan biaya sosial input tradable (sementara nilai penerimaan privat sama dengan penerimaan sosial).

6.3.3.2. Tingkat Proteksi Efektif (EPR)

EPR yang dihitung berdasarkan nilai EPC yang diperoleh masing-masing tahun 2008 dan 2009 yaitu -0,4% dan -1,7%. Nilai negatif menunjukkan terdapat ketidakefektifan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradabel maupun output yaitu sebesar -0,4% dan -1,7%. Petani mengalami kerugian 0,4%

dan 1,7% lebih besar dibandingkan jika tidak ada kebijakan.

6.3.3.3. Koefisien Proteksi (PC)

Nilai PC yang diperoleh tahun 2008 dan 2009 masing-masing sebesar 1,04 dan 0,924. Artinya keuntungan produsen bila ada intervensi dari pemerintah sebesar 1,04 kali dan 0,924 kali atau petani menerima keuntungan sebesar 4%

(9)

lebih tinggi pada tahun 2008 dan 7,6% lebih rendah pada 2009 dibandingkan keuntungan yang diterima petani tanpa adanya campur tangan pemerintah. Tahun 2008 kebijakan pemerintah berjalan dengan efektif karena dapat memberikan keuntungan yang benar-benar diterima petani lebih tinggi dibandingkan keuntungan sosial sedangkan pada 2009 terjadi hal sebaliknya.

6.3.3.4. Transfer Bersih (NT)

Berdasarkan Tabel 14, nilai NT berturut-turut yaitu Rp 2.502.591/tahun dan negatif Rp 4.368.442/tahun. Nilai positif diperoleh karena keuntungan privat lebih besar dibandingkan keuntungan sosial yang menunjukkan bahwa petani diuntungkan. Hal itu terjadi karena dengan adanya kebijakan pemerintah, surplus produsen/petani menjadi bertambah. Sebaliknya nilai negatif diperoleh karena keuntungan privat lebih kecil dibandingkan keuntungan sosial. Petani mengalami kerugian karena dengan adanya kebijakan pemerintah, surplus petani menjadi berkurang.

6.3.3.5. Rasio Subsidi Produsen (SRP)

Nilai SRP yang diperoleh yaitu 0,015 dan -0,028. Nilai 0,015 menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku menyebabkan petani mengeluarkan biaya produksi 1,5% lebih kecil daripada biaya imbangan untuk berproduksi. Jadi kebijakan pemerintah secara keseluruhan menguntungkan produsen pembenihan ikan patin. Sedangkan nilai -0,028 ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan petani pembenihan ikan patin mengeluarkan biaya produksi 2,8% lebih besar daripada biaya imbangan untuk berproduksi. Jadi kebijakan pemerintah merugikan petani pembenihan ikan patin.

Gambar

Tabel 14. Indikator-indikator dari Policy Analysis Matrix

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini mengindikasikan beberapa hal, diantaranya adalah bahwa: Penyerahan tampuk kepe- mimpinan (suksesi) perusahaan keluarga menjadi berita utama karena disajikan di halaman 1

Adapun faktor ancaman tersebut meliputi jumlah pesaing, perkembangan fasilitas kesehatan yang dimiliki pesaing, Regulasi/aturan yang membatasi dokter untuk

Suatu kajian penyelidikan itu merupakan tatacara yang teratur yang digunakan oleh masyarakat untuk menambah ilmu pengetahuan atau menyelesaikan suatu masalah yang

Kusumahadi Santosa dari hasil penelitian bahwa implementasi perjanjian kerja, hak dan kewajiban para pihak, peraturan-peraturan yang berlaku diperusahaan dan

Perhatian sangatlah penting dalam mengikuti kegiatan dengan baik, dan hal ini akan berpengaruh pula terhadap minat siswa dalam belajar. Menurut Sumadi Suryabrata

Kelompok Jabatan Fungsional dalam melaksanakan tugasnya berkoordinasi dengan sekretaris dalam hal teknis, operasional yang menjadi tugas pokoknya serta melaksanakan rapat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur dan komposisi vegetasi tumbuhan bawah di RPH Kebasen berjumlah 32 jenis yang terdiri dari 23 famili, yang didominasi oleh Polyscias

Peran ini berfokus pada penyatuan strategi dan sumberdaya manusia dengan strategi bisnis. Untuk memainkan perannya, profesional sumberdaya manusia bertindak sebagai