• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Departemen Antropologi

ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology

ISSN: 1693-167X

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013

Vol. 34 No. 1 Januari-Juni Totua Ngata dan Konflik 2013

(Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat di Kecamatan Marawola)

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti:

Suatu Penjelasan Budaya

(2)

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

Dewan Penasihat

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Ketua Departemen Antropologi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi,

Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Pemimpin Redaksi

Semiarto Aji Purwanto

Redaksi Pelaksana

Dave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri Paramita Budi Utami.

Manajer Tata Laksana

Ni Nyoman Sri Natih

Administrasi dan Keuangan

Dewi Zimarny

Distribusi dan Sirkulasi

Ni Nyoman Sri Natih

Pembantu Teknis

Rendi Iken Satriyana Dharma

Dewan Redaksi

Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler,, University of Frankfurt

Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University

Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden

Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia

Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia

(3)

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: 1 Suatu Penjelasan Budaya

Muhammad Nasrum

Totua Ngata dan Konflik 15

(Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat di Kecamatan Marawola)

Hendra

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi 29 Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman

Lucky Zamzami

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi 41 Tasrifin Tahara

Marapu: Konstruksi Identitas Budaya 59

Orang Sumba, NTT Purwadi Soeriadiredja

‘Memanusiakan Manusia’ 75

dalam Lingkungan yang Tangguh:

Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’?

Yunita T. Winarto

Budaya Penjara: 91

Arena Sosial Semi Otonom

di Lembaga Pemasayarakatan “X”

A. Josias Simon Runturambi

Daftar Isi

(4)

M

arapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT

Purwadi Soeriadiredja1

Program Studi Antropologi Universitas Udayana

Abstrak

Artikel ini mengkaji bagaimana orang Sumba mengonstruksi identitas budaya mereka berkai- tan dengan keagamaannya yang berhadapan dengan proses pendiskriminasian di sekitar mereka.

Orang Sumba yang memeluk Marapu menjadi terdiskriminasi bukan karena identitas budaya yang melekat padanya, akan tetapi akibat pencitraan negatif terhadapnya. Kategori diskriminatif dengan semua atribut dan peran yang melekat padanya bukanlah konstruk alamiah, melainkan suatu produk sejarah dan produk representasi.

Identitas budaya orang Sumba merupakan hasil interaksi antara kekuatan dari “uar” dan prak- tik kehidupan sehari-hari mereka. Marapu merupakan agama dan merupakan identitas budaya Sumba, yang menjadi dasar pedoman atau nilai-nilai yang mengatur kehidupan mereka. Bahkan bagi orang-orang yang tidak mengikuti agama Marapu. Pengertian Marapu bagi mereka terbatas pada adat istiadat nenek moyang saja, dan bukan sebagai keyakinan yang mereka anut. Bagi orang Sumba, beralih agama adalah kompromi, yang merupakan bentuk “strategi perlindungan budaya”, yang dapat mengurangi ketakutan dan agresi yang timbul antara individu dan masyarakat. Sifat budaya kompromi ini diaktifkan melalui lembaga-lembaga tradisional yang selalu tetap mengede- pankan musyawarah dan menjunjung tinggi konsep kebersamaan dan solidaritas.

Kata kunci: Marapu, konstruksi, identitas budaya, diskriminasi

Abstract

This article examines how the people of Sumba construct their cultural identity associated with their religiosity in the face of discriminatory processed around them. The Sumbanese with their Marapu religion are discriminated againts because of the cultural identity attached to it, but due to their negative image. Discriminatory categories with all the attributes and roles attached to ithemare not natural constructs, but a history and representation.

The cultural identity of the Sumbanese is the result of the interaction between the forces from the "outside" and the practices of their daily life. Marapu is a religion that serve as is the cultural identity of the Sumbanese, and becomes the basis of guidelines or values that organize their lives.

Even for the people who do not following the Marapu religion. For them the Marapu is limited to the customs of ancestors only, and not as a faith they profess. For some of the Sumbanese, switch- ing religion are a compromise, which is one form of "cultural protection strategy" that can reduce fear and aggression that arise between the individuals and society. The nature of this compromise culture is activated through the traditional institutions that always put through deliberation and uphold the concepts of togetherness and solidarity.

Key words: Marapu, construction, cultural identity, discrimination.

1 Purwadi Soeriadiredja, staf pengajar pada Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya dan Sastra, Universitas Udayana, Denpasar. E-mail:

kuyahambu@yahoo.com.

(5)

Prawacana

Di negara multikultural seperti Indone- sia, keagamaan merupakan masalah krusial, dan memprihatinkan ketika agama dikaitkan dengan fenomena diskriminasi serta dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan.

Padahal Republik Indonesia ini bukan negara yang berdasarkan pada agama tertentu, melain- kan berdasarkan pada kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu berarti bahwa semua agama dan kepercayaan yang ada dihormati kedudukannya serta seluruh warga negara bebas memeluk agama dan ke- percayaannya serta bebas untuk melaksanakan ibadatnya masing-masing.

Akan tetapi, bagaimana rumusan semacam itu bisa diwujudkan dalam praktik sehari-hari, karena bagaimanapun bagi para penganutnya agama yang dianutnya itu merupakan suatu kebenaran mutlak. Ajaran-ajaran yang ber- dasarkan pada agamanya merupakan pegangan hidup yang diyakini penuh akan kebenarannya.

Karenanya agak sulit untuk bisa memahami ajaran-ajaran atau pandangan agama lain. Apa- lagi bila berhadapan dengan suatu agama yang masih dianggap “terbelakang” atau “kafir”.

Dalam upaya mengenal dan memahami salah satu kehidupan beragama di Indonesia, perlu diketahui keberadaan salah satu ”agama asli”

yang masih hidup dan dianut oleh sebagian orang Sumba, Nusa Tenggara Timur, yaitu agama Marapu2 yang sekaligus merupakan identitas budaya mereka.

Sebenarnya tidak ada batasan obyektif untuk menentukan siapa orang Sumba itu.

Kepustakaan klasik yang berkaitan dengan kehidupan orang Sumba, menggambarkan mereka sebagai kelompok yang suka berperang, pengayau, pemuja arwah leluhur (animistis), pemalas dan terbelakang, dalam arti nyaris tak tersentuh peradaban. Misalnya saja pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, orang Sumba dianggap bodoh, suka bertakha- yul, malas, tidak berharga dan diabaikan (Fox

2 Agama Marapu ialah sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur (ancestor worship).

1996: 218; lihat juga Kruyt 2008), suka ber- perang dan pengayau (Hoskins 1996). Sering pula pekabar Injil memandang mereka sebagai orang yang keras hati, primitif, kafir yang be- rada di jalan menuju kebinasaan dan kegelapan (Wellem 2004: 2; lihat juga Venema, 2006:

18--19).3 Pencitraan semacam itu memberikan gambaran bahwa ada kekuatan-kekuatan yang membentuk pandangan tentang ”orang Sumba”.

Pembentukan konstruksi Barat (kolonial) tentang orang Sumba tersebut pada giliran- nya mempengaruhi pula sikap pemerintah Indonesia pada masa kemerdekaan, sehingga citra merendahkan orang Sumba itu tidak hilang hingga sekarang. Suatu hal berbeda dengan pandangan orang Sumba sendiri yang menganggap diri mereka sebagai bagian dari masyarakat beradab (Adams 1969; Soeria- diredja 1983).

Bagi orang Sumba ada tiga hal utama berkaitan dengan identitas budaya mereka, yaitu tatanan berdasarkan keyakinan beraga- ma (Marapu), tatanan berdasarkan tempat kediaman (Paraingu), dan tatanan berdasarkan ikatan kekeluargaan (Kabihu). Ketiga macam tatanan tersebut merupakan pedoman, nilai- nilai, atau aturan-aturan dalam hidup berma- syarakat orang Sumba. Dari ketiga tatanan tersebut, tatanan berdasarkan agama Marapu itulah menjadi penanda identitas terpenting.

Identifikasi keagamaan ini merupakan sebuah konstruksi yang menekankan pada perbedaan bahwa “inilah agama kita”, yang mana orang Sumba secara aktif melabelkan diri mereka sendiri dengan melakukan berbagai kegiatan keagamaannya.

Adanya pandangan negatif terhadap orang Sumba jelas merupakan suatu konstruksi pihak-pihak tertentu untuk merendahkan mereka. Dari perspektif ini bisa terlihat cara kerja kuasa dalam proses pemberian stereo- tip atau pun citra untuk menyingkirkan atau

3 Venema (2006) menyatakan bahwa pada tingkat tertentu ada perasaan superior dalam kegiatan pemberitaan Injil. Pemberita Injil merasa dirinya superior karena berpikir ia harus memanusiakan orang kafir yang masih buta aksara dan primitif. Kata memanusiakan berarti mengembangkan atau memajukan orang yang masih hidup di zaman batu, seolah-olah mereka belum manusia.

(6)

mendiskriminasi kelompok lain dari tatanan sosial, simbolik dan moral. Konstruksi dis- kursif inilah yang memberi legitimasi pada se- jumlah intervensi terhadap kelompok tertentu.

Citra-citra, asumsi dan stereotip tentang orang Sumba telah mengilhami campur tangan negara dalam proyek-proyek “pengagamaan” yang ber- dampak serius bagi tatanan serta transformasi pencarian identitas budaya orang Sumba.

Sikap kesewenang-wenangan terjadi pula pada cara kalangan akademisi dalam melihat persoalan tersebut. Koentjaraningrat (1974), misalnya dalam menyusun konsep keagamaan di Indonesia, membuat tiga kategori mengenai keagamaan, yaitu agama, religi, dan keper- cayaan. Bagi Koentjaraningrat istilah agama dipakai untuk sistem keyakinan atau semua agama yang “diakui secara resmi” oleh negara;

religi ialah sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi. Sistem religi ini dibayangkan sebagai sistem keyakinan yang merupakan percampuran antara tradisi agama dan kreasi kebudayaan setempat. Sedangkan kepercayaan ialah komponen kedua dalam tiap agama maupun religi.

Implikasi dari wacana akademik sep- erti itu berakibat cukup jauh bagi keberadaan komunitas-komunitas lokal di Indonesia, yang sebagian besar telah dikategorikan sistem ke- agamaannya sebagai sistem religi. Misalnya, penggambaran-penggambaran orang luar terhadap orang Sumba telah memperlihatkan suatu keterlibatan aktif yang memberi mereka kedudukan sebagai kelompok yang terdis- kriminasi secara sosial-ekonomi dan politik.

Kategori diskriminatif dengan semua atribut dan peran yang melekat padanya bukanlah konstruk alamiah, melainkan suatu produk sejarah dan produk representasi. Orang Sumba yang memeluk Marapu menjadi terdiskriminasi bukan karena identitas budaya yang melekat padanya, tetapi akibat pencitraan negatif ter- hadapnya, baik oleh wacana ilmu pengetahuan maupun agama. Kaum agamawan bersama aparatus negara lainnya kemudian memiliki legitimasi untuk menginvasi mereka, baik

melalui pemaksaan maupun melalui cara-cara persuasif agar mereka bersedia mengubah pandangan keagamaan mereka yang dianggap belum sempurna.

Berdasarkan latar wacana seperti tersebut di atas, dalam penulisan ini dikaji bagaimana orang Sumba mengkonstruksi identitas budaya mereka berkaitan dengan keagamaannya, yaitu dengan mengungkapkan aspek-aspek yang berkaitan dengan representasi budaya dan masyarakat Sumba untuk memperoleh pema- haman tentang bagaimana orang Sumba telah direpresentasikan oleh orang-orang lain, dan bagaimana mereka menampilkan diri mereka sendiri kepada dunia luar.

Ruang lingkup pembahasan menyangkut ba- tasan tentang apa yang disebut sebagai “agama asli”, yaitu sistem keyakinan dan segala aspek yang meliputinya serta tata-cara peribadatan- nya didasarkan pada aturan-aturan atau nilai- nilai sosial-budaya yang berlaku dalam ma- syarakat bersangkutan, yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Di penulisan ini dikemukakan bagaimana iden- titas budaya dikonstruksi oleh orang Sumba ketika mereka berhadapan dengan “kekuatan- kekuatan” di sekitar mereka. Dalam hal ini para penganut Marapu dilihat sebagai individu- individu atau subyek yang aktif menjalankan proses dialektika kehidupan.

Identitas yang Dinamis

Suatu pergumulan internal yang sampai kini masih berlangsung di antara orang Sumba merupakan upaya meleburkan identitas mer- eka, yang telah dikonstruksi oleh representasi dan sejarah pada masa lalu. Hal itu memberi pengertian bahwa identitas bersifat dinamis.

Sehubungan dengan hal tersebut, Maunati dengan mengacu pendapat Kahn (1995, dalam Maunati 2004:24--31) menjelaskan bahwa kebu- dayaan merupakan sebuah konstruksi budaya.

Oleh karena itu, “kebudayaan sebaiknya dipan- dang sebagai produk dari proses-proses budaya sebelumnya dan sebagai sesuatu yang terbuka

(7)

bagi segala reinterpretasi dan gagasan-gagasan baru serta ausnya komponen-komponen lama.

Dalam kaitannya dengan konseptualisasi ke- budayaan ini, identitas budaya tak hanya con- structed, tetapi juga menemukan konteksnya”.

Demikian pula halnya dengan konsep identitas,

“dipandang sebagai akibat dari adanya sebuah interaksi yang dinamis antara konteks dengan construct”. Sifat kedinamisan itu pula yang membuat konstruksi identitas budaya bersifat kompleks, karena sebagian dari konstruksi ini merupakan salah satu produk sejarah. Identitas budaya itu sendiri bisa berubah dan diubah tergantung pada konteksnya, pada kekuasaan atau berbagai kepentingan yang bermain. Sifat penanda identitas yang situasional dan selalu dapat berubah itu tampak jelas dengan dima- sukkannya perbedaan-perbedaan yang bisa berasal dari kekhasan dalam adat istiadat atau agama pada budaya yang bersangkutan.

Pengertian identitas itu sendiri menurut Erikson (1989:18--189) adalah kesamaan dirinya dalam waktu, serta pengamatan yang berhubungan dengannya, yaitu bahwa orang lain pun mengakui kesamaan dan kontinuitas itu. Identitas berarti pertalian timbal-balik di mana terwujud baik kesamaan tetap dengan diri sendiri maupun milik bersama dari seje- nis watak dasar yang sama dengan orang lain.

Dalam hal ini Erikson bertolak dari fakta dasar bahwa setiap manusia berusaha membenarkan penegasannya bahwa “aku adalah seseorang”.

“Menjadi seseorang” berarti manusia men- galami diri sebagai “aku”, selaku oknum yang sentral, mandiri dan unik, yang mempunyai kesadaran akan kesatuan batiniahnya sendiri.

Identitas dialami sebagai suatu rasa subyektif tentang kesamaan dan kontinuitas dengan diri sendiri yang meningkat. Manusia sungguh- sungguh merasakan diri sebagai subyektivitas mendalam dan intensif yang bersifat aktif dan dinamis. Identitas tersebut berpangkal pada pengalaman langsung dengan kemandirian dan suatu gaya pribadi yang khas, yang bisa diterima dan diteguhkan oleh orang lain dan masyarakat sehingga dianggap oleh lingkungan-

nya sebagai orang yang tetap sama.

Pada hakikatnya identitas bersifat psiko- sosial, karena identitas adalah solidaritas batin dengan cita-cita dan identitas kelompok.

Pembentukan identitas adalah suatu proses yang terjadi dalam inti dari pribadi dan juga di tengah-tengah masyarakat. Sejak awal, proses identitas setiap individu seluruhnya diresapi oleh sejarah masyarakat, karenanya mengandung dimensi sosial dan budaya. Oleh karena itu, identitas ini adalah suatu rasa tetap tinggal sama dalam diri sendiri yang berkaitan dengan partisipasi tetap pada ciri-ciri khas watak, cita-cita, atau pada identitas yang sama dari kelompok tertentu. Seorang individu dan masyarakat menjadi korelatif, sehingga perkembangan identitas individu meliputi re- lasinya dengan konteks kebudayaannya.

Paparan mengenai identitas tersebut mem- beri pengertian bahwa terdapat tiga bentuk identitas, yaitu identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya. Identitas pribadi meru- pakan pengakuan terhadap seseorang berdasar- kan pada keunikan pribadinya dan serangkaian ciri-ciri menyeluruh yang menandainya sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu. Ciri-ciri pribadi tersebut merepresentasikan siapa diri individu itu sebenarnya, sehingga menurut Afif (2012: 21) identitas pribadi atau identitas personal ini “berkontribusi lebih besar bagi terciptanya hubungan interpersonal yang intim dan tahan lama dengan individu lain”. Identitas sosial merupakan identitas yang terbentuk dari keterlibatan individu sebagai bagian dari ke- lompok sosialnya. Dengan demikian, ciri-ciri, cita-cita atau nilai-nilai yang menjadi acuan kelompok sosial tersebut menjadi identitas individu yang bersangkutan. Antara kedua identitas tersebut mempunyai perbedaan dalam kepentingan terbentuknya. Identitas pribadi menekankan pada kepentingan subyektifnya, misalnya selera pribadi atau kemampuan in- telektual dsb., sedangkan identitas sosial pada kepentingan kelompoknya. Adapun persa- maannya adalah bahwa baik identitas pribadi maupun identitas sosial terbentuk oleh identitas

(8)

budaya. Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang karena dia adalah ba- gian dari kelompok etnik tertentu yang telah menerima proses belajar tentang tradisi, adat is- tiadat, nilai-nilai, bahasa, sistem keyakinan dan lainnya dalam kebudayaan kelompok tersebut.

Berkaitan dengan identitas budaya, Liliweri (2005: 43--53) mengemukakan bahwa yang terpenting bagaimana persepsi kita diletak- kan dalam struktur kebudayaan, karena setiap kebudayaan mengajarkan nilai-nilai dan harga diri bagi para pendukungnya. Dalam hal ini,

“kebudayaan bertindak sebagai identitas sosial yang mempengaruhi konsep diri, dan untuk mempertahankannya kita akan sering bersikap tertentu terhadap kelompok lain”.

Menurut Liliweri kini sedang terjadi trans- formasi identitas etnik, dan konsep tentang kemajuan serta modernisasi telah meningkat- kan pandangan tentang kebebasan, termasuk kebebasan berekspresi. Bermacam perubahan dalam kehidupan sosial-budaya telah menuntut adanya pemaknaan baru dalam menanggapinya.

Adanya suatu perubahan pemaknaan terhadap identitas itu disebabkan oleh adanya perubahan pemahaman individu tentang konsep diri dan kelompoknya seiring dengan perkembangan jaman. Dengan demikian, dalam batas-batas tertentu pemaknaan etnik secara kontekstual dalam masyarakat yang multikultur masih dibutuhkan.

Isu-Isu Perubahan: Kekuatan Politik dan Ekonomi

Perjalanan hidup orang Sumba telah men- jalani suatu proses sejarah di mana mereka ti- dak pernah benar-benar menjadi pelaku utama.

Serangkaian gelombang kekuatan yang lebih kuat dari “luar” telah mengambil alih peran tersebut, yang kemudian menjadikan mereka sebagai peran pelengkap bahkan penderita.

Orang Sumba, khususnya para penganut agama Marapu, dalam proses yang panjang tersebut secara sistematis tersingkir ke luar panggung dan semakin terasing justru di tanah leluhur

mereka sendiri.

Sistem kapitalisme dunia, dengan pelaku utamanya silih berganti yang menguasai perekonomian Sumba, dan pemusatan kekua- saan yang menerapkan sistem administrasi pemerintahan baru, berlangsung sejak jaman VOC dalam rangka melindungi monopoli perdagangan. Kemudian pemerintah kolonial Belanda yang mengurangi bahkan menghapus kekuasaan para penguasa tradisional setempat.

Selain itu membatasi pula pengaruh lembaga- lembaga adat yang menjadi tiang utama dari tatanan masyarakat Sumba. Otonomi penguasa wilayah secara adat dikurangi dengan cara menggabungkan dengan wilayah-wilayah lain- nya menjadi satu wilayah administratif menu- rut hukum kolonial. Hal itu dilakukan untuk memudahkan pengawasan atas wilayah yang dikuasai. Demikian pula pada masa adminis- trasi pemerintah Republik Indonesia, di mana otonomi pemerintahan daerah setempat dan lembaga adat hanya berfungsi sebagai pelak- sana ritus seremonial. Penguasa tradisional setempat tetap dipertahankan hanya untuk kepentingan politis tertentu belaka.

Terpaan gelombang terbesar tiba pada saat agama-agama besar mulai memaksakan nilai- nilai yang mereka bawa kepada penduduk setempat. Pemaksaan nilai-nilai baru ini paling menonjol dilakukan oleh para pengabar Injil yang menganggap semua bentuk dan sistem kepercayaan asli setempat sebagai terbelakang dan kafir. Mereka menganggap diri mereka se- bagai pembawa kebenaran mutlak, yang mem- bebaskan dari dunia kegelapan. Para penganut agama leluhur dianggap tidak beragama dan harus diagamakan. Semua proses tersebut su- dah tentu saling berkaitan dan memmengaruhi satu sama lainnya, yang secara keseluruhan melingkupi kehidupan orang Sumba, adat istia- dat dan tradisi mereka. Namun hal yang tera- khir ini pun mulai tersisih, karena sumber dari nilai-nilai yang mereka pegang teguh selama ini, yaitu agama Marapu, mulai tergantikan oleh agama baru. Namun apakah identitas bu- daya mereka itu seiring dengan perkembangan

(9)

jaman, sekulerisasi dan penyebaran pendidikan akan menghilang? Tampaknya dengan ad- anya perubahan atau modernisasi justru mem- perjelas posisi identitas tersebut. Proses-proses komodifikasi kebudayaan, diskriminasi dan isu tentang kekafiran tidak meluluh-lantakan identitas dan kebudayaan Sumba. Walaupun hal-hal tersebut bisa merupakan potensi kon- flik karena ada bermacam kepentingan yang bermain di dalamnya.

Arena Pembentukan Identitas Budaya Baru Peran kekuatan politik dan ekonomi mem- punyai arti yang penting dalam pembentukan identitas budaya orang Sumba, karena hal itu berhubungan pula dengan relasi-relasi kekua- saan. Seperti yang terjadi di Sumba menun- jukkan identitas pemeluk Marapu dibentuk berdasarkan hubungan yang kooperatif antara kelompok pemeluk Kristen Sumba dengan dunia luar. Pada panggung politik identitas Sumba yang lebih luas, pemeluk Marapu dianggap sebagai pelaku-pelaku aktif, tetapi sering pula sebagai obyek-obyek perwakilan yang tak berdaya. Mereka telah diwakili oleh orang-orang Sumba lain yang lebih kuat, yang memberi mereka kedudukan sebagai kelompok pinggiran secara politik.

Ada hubungan yang saling bertentangan antara politik formal dengan pembentukan identitas orang Sumba. Misalnya, konstruksi- kontruksi tentang orang Sumba penganut Marapu sebagai kelompok yang masih “kafir”

dan membutuhkan program “pengagamaan”, bertentangan dengan dipromosikannya orang Sumba di dalam konteks pariwisata dan program-program pembangunan lainnya agar dapat mewakili “kebudayaan Sumba” yang justru menampilkan ke-Marapu-an mereka.

Bila diaplikasikan ke penulisan ini, pemak- naan konsep diri orang Sumba dalam konteks kekinian menjadi suatu strategi untuk memper- tahankan sekaligus mengubah identitas budaya orang Sumba yang dalam situasi dan kondisi tertentu dapat dilagakan dalam arena kehidu-

pan sosial. Orang Sumba dengan ke-Sumba-an dan ke-Marapu-annya, kini setelah mengalami proses kesejarahan. Kehidupan keagamaan mereka terpecah menjadi dua kelompok, yaitu pemeluk agama Marapu dan pemeluk agama Kristen (Kristen Sumba)4. Identitas pemeluk Marapu tetap bertahan dengan ke-Marapu-an mereka, sedangkan pemeluk Kristen Sumba dengan identitas mereka yang baru. Adanya pembedaan itu bisa dikatakan sebagai pe- ngakuan atas diri masing-masing pihak bahwa mereka menjadi bagian dari kelompoknya masing-masing berdasarkan ciri-ciri yang melekat padanya. Perubahan identitas yang dilakukan pemeluk Kristen Sumba itu mem- berikan pemahaman bahwa identitas dapat bertransformasi dalam bentuk lain yang dapat menembus batas-batas yang selama ini dijadi- kan pembeda antara suatu individu, kelompok atau kebudayaan dengan yang lainnya. Dengan kata lain, identitas bersifat dinamis, selalu berkembang dan senantiasa berubah sepanjang jalan hidup individu maupun kelompok. Proses identitas merupakan proses diferensiasi yang semakin meningkat dan inklusif. Masing-ma- sing pihak akan mempertahankan argumennya untuk mendapat pengakuan dari pihak lain, dan mereka mempunyai konsep-konsep yang berisi pengetahuan atau keyakinan tentang kebenaran yang subyektif. Konsep-konsep yang subyektif itu menurut Suparlan (2005: 27) sering digu- nakan sebagai acuan bertindak dalam meng- hadapi kelompok lain dalam bentuk stereotip yang dapat berkembang menjadi prasangka.

Seperti halnya dengan orang Sumba, khusus- nya pemeluk Marapu, yang menerima posisi sosial rendah sebagai kelompok yang masih kafir, bodoh dan malas. Hal tersebut berkaitan erat dengan pemberian label negatif kepada suatu kelompok tertentu.

4 Istilah “Kristen Sumba” ini saya gunakan untuk menunjuk kepada para pemeluk agama Kristen berasal dari suku Sumba yang mengadopsi ke-Kristen-an dengan konteks budaya mereka, dalam arti bahwa keyakinan yang universal itu menjadi operasional dalam kehidupan masyarakat bersangkutan mengacu pula pada kebudayaannya, yang membedakannya dengan pemeluk Kristen dari suku-suku lainnya, misalnya Kristen Jawa, Kristen Sunda, Kristen Batak dsb., dan hal tersebut disesuaikan pula dengan nama sebutan gereja mereka yaitu Gereja Kristen Sumba (GKS).

(10)

Pemberian label yang merendahkan dari pemeluk Kristen Sumba kepada pemeluk Mar- apu mendapat lampu hijau yang dilegitimasi oleh negara bahwa pemeluk Marapu “belum beragama”, karena tidak termasuk “agama res- mi” sehingga hanya dianggap sebagai “aliran kepercayaan” saja. Hal tersebut menjadi senjata paling ampuh bagi pemeluk Kristen Sumba untuk membuat pemeluk Marapu merasa tidak nyaman, karena akan berhadapan pula dengan kekuatan Negara.

Strategi Pengembangan Ke-Kristen-an Tugas utama Gereja Kristen Sumba (GKS) adalah memberitakan Injil dan meningkatkan pelayanan. Pekerjaan pekabaran Injil semakin intensif dan meluas di Sumba. Para pendeta utusan diinstruksikan untuk mendidik pemban- tu-pembantu pekerja pribumi sehingga mereka bisa bekerja sebagai guru jemaat dan guru sekolah. Kurikulum sekolah ditekankan pada tafsiran Alkitab dan dogmatik serta tidak ada mata pelajaran yang secara khusus membahas konteks masyarakat Sumba. Penyajian tentang agama Marapu ditempatkan dalam kelompok agama-agama palsu berhadapan dengan agama Kristen sebagai satu-satunya agama yang benar. Para calon guru Injil dibentuk untuk mempertahankan kebenaran ajaran-ajaran yang bertumpu pada Alkitab, tetapi sikap negatif terhadap agama Marapu tetap diteruskan.

Secara umum ada kecenderungan untuk menerima murid yang berasal dari keturunan bangsawan. Kebijaksanaan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa bila seorang anak bangsawan menjadi guru Injil, maka ia akan mempunyai pengaruh besar pada masyarakat.

Selain itu agar Injil tidak dipandang hina karena diberitakan oleh seorang keturunan bang- sawan. Para tamatan sekolah ini diangkat dan mendapat sebutan “guru Injil” yang bertugas memimpin kebaktian, mengadakan kunjungan dan memberitakan Injil.

Hubungan konflik antara Kristen Sumba dengan Marapu sering timbul pula meskipun ti-

dak selamanya tegas terekspresikan. Hubungan konflik itu tampaknya bersumber pada karakter ritual keagamaan Marapu yang membutuhkan partisipasi total dari seluruh warga masyarakat.

Hal itu berkaitan dengan kepentingan seluruh warga paraingu dan para kabihu yang terhim- pun di dalamnya. Ritual keagamaan Marapu mengharuskan keikutsertaan setiap individu dalam komunitas. Solidaritas dalam komunitas adalah unsur yang mendasar dari sistem ritual keagamaan. Adanya unsur ke-Kristen-an yang bermakna “pembebasan” bagi setiap anggota komunitas kabihu dari kewajiban-kewajiban kultural keagamaan berikut sangsi-sangsi kul- turalnya, dengan sendirinya akan melahirkan golongan non-partisipan yang memerosotkan nilai sakral dari ritual keagamaan yang ada.

Karena alasan itulah mudah dimengerti apabila penolakan terhadap hal yang dianggap asing (termasuk gagasan Kristen), terutama yang bisa melahirkan golongan masyarakat non- partisipan menjadi kuat.

Sifat kemutlakan (dalam sistem ritual keagamaan orang Sumba yang menolak ad- anya golongan dan budaya non-partisipan) itu akan terguncang oleh pendekatan gereja yang menempatkan Marapu sebagai “lawan” yang harus “ditaklukan.” Demikian pula dengan menempatkan agama Marapu beserta rang- kaian upacara keagamaan yang melekat dalam budaya Sumba sebagai “kafir” dan karenanya harus “dibina” atau “diagamakan” akan men- ciptakan kesulitan tersendiri dalam relasi antara keduanya.

Kebijakan diskriminatif terhadap penga- nut Marapu berlangsung hingga masa ke- merdekaan. Parahnya hal tersebut dilegitimasi oleh negara. Penetapan pemerintah yang hanya mengakui enam “agama resmi” di Indonesia, dan begitu gencarnya pengabaran Injil me- nyebabkan banyak penganut Marapu memilih untuk menjadi Kristen. Terlebih lagi ketika jaman Orde Baru, para penganut Marapu ban- yak beralih atau mengaku dirinya beragama Kristen karena takut dikira tidak beragama dan terlibat kegiatan Partai Komunis Indo-

(11)

nesia (PKI). Menganut agama resmi tertentu menjadi suatu keharusan. Adanya kata-kata yang merendahkan atau menghina dengan sebutan “kafir” bagi pemeluk Marapu sudah menjadi hal biasa untuk diucapkan. Begitu pula strereotip-stereotip lain seperti malas dan bodoh, yang selanjutnya akan menyulitkan mereka untuk mendapat pendidikan formal dan memperoleh pekerjaan di kantor pemerin- tahan. Situasi tersebut diperparah lagi dengan situasi ekonomi yang tidak menentu sehingga menimbulkan kelaparan di berbagai wilayah di Sumba. Kesempatan tersebut membawa berkah bagi para pengabar Injil, karena selain mereka mengadakan banyak kegiatan sosial untuk membantu masyarakat, sekaligus “memanen”

jemaat-jemaat baru.

Kemerosotan kepercayaan terhadap agama Marapu semakin buruk karena memudarnya kepemimpinan karismatik tradisional. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya penataan dan penerapan sistem administrasi pemerin- tahan baru yang tidak lagi tergantung pada pemerintahan adat. Seorang pemimpin tidak lagi berdasarkan keturunannya, tetapi pada tingkat pendidikan dan kemampuannya. Kon- sekuensinya, masyarakat harus bisa menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi.

Faktor lain yang menunjang ke-Kristen- an ialah adanya perluasan pendidikan dan peluang kerja. Berkembangnya pendidikan di daerah Nusa Tenggara Timur umumnya, dan khususnya di Sumba, sejak awal tidak terlepas dari usaha pengembangan agama Katolik dan Kristen Protestan. Hal tersebut berkaitan den- gan kedatangan bangsa Portugis dan Belanda yang selain bertujuan untuk berdagang, juga menyebarkan agama yang mereka anut. Untuk kepentingan penyebaran agama, pada tahun 1875 dibuka sekolah dasar di Kambaniru, dan tahun 1892 di Melolo (Umalulu), karena di kedua daerah itu pekabaran Injil telah dirintis sejak tahun 1877.

Para pengabar Injil berusaha keras agar anak-anak Sumba dapat disekolahkan, karena pada saat itu masyarakat pribumi dianggap

memiliki tingkat peradaban rendah. Awalnya usaha tersebut banyak mengalami hambatan, karena tidak ada seorang pun anak Sumba yang masuk sekolah. Namun setelah dibuka Sekolah Rakyat (Volksschool) pelayanan di bidang pen- didikan mengalami perkembangan yang pesat.

Pada masa kemerdekaan, setelah Gereja Kristen Sumba (GKS) terbentuk pada tahun 1947, kepengurusan sekolah berada di tangan Zending. Kemudian pada tahun 1950 dibentuk Yayasan Pendidikan Masehi Sumba (Yapmas) yang dipimpin oleh orang Sumba untuk me- nyelenggarakan sekolah-sekolah milik GKS.

Yapmas inilah yang membuka sekolah-sekolah dasar baru, sekolah menengah umum, sekolah kejuruan di seluruh Sumba. Pada sekolah- sekolah itu anak-anak Sumba belajar agama Kristen dan hidup dalam suasana ke-Kristen- an. Tampaknya ekspansi sistem pendidikan yang disponsori negara dan gereja membawa konsekuensi ke arah konversi dari agama Marapu ke agama Kristen. Hal tersebut di- mungkinkan karena akses ke pendidikan meng- haruskan seseorang memeluk salah satu agama resmi yang ada. Bila tidak, konsekuensinya tidak dapat mengikuti pendidikan. Beragama resmi merupakan suatu keharusan. Iklim ke- bijaksanaan pendidikan itulah yang membuat anak-anak Marapu tetap mendapat tudingan

“kafir” atau “tidak beragama” hingga pada era reformasi sekalipun.

Agama masih terjebak dalam formalisme, pola pendidikan terpolusi oleh kepentingan- kepentingan politik sesaat yang menyebab- kan kepercayaan terhadap ajaran agama Marapu memudar. Orang Sumba yang telah mendengar atau mengikuti pemberitaan Injil mulai menyadari bahwa agama Marapu tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Pendidikan membuat mereka menjadi kritis terhadap agama Marapu. Orang yang telah mengenyam pendidikan berpandangan tidak pantas lagi untuk tetap menganut agama Marapu, sehingga ada pemahaman bahwa agama Marapu merupakan agama orang yang

(12)

tidak berpendidikan. Pemahaman tersebut dikonstruksikan oleh pengajaran pendeta utusan pekerja GKS sendiri yang menyatakan bahwa agama Marapu adalah agama primitif.

Banyaknya orang tua yang dianggap tidak turut menunjang pendidikan anaknya pun menjadi permasalahan tersendiri. Saling salah menyalahkan antara orang tua murid dan pihak sekolah kerap terjadi. Misalnya dengan adanya

“Sekolah Minggu”, yang juga menyita waktu anak-anak untuk mengikuti kegiatan pengaja- ran agama Kristen di sekolah atau di gereja.

Padahal anak-anak ini diperlukan juga oleh orang tua mereka untuk membantu bekerja.

Adanya penyebaran agama Kristen Protestan dan Katolik serta campur tangan pemerintah kolonial Belanda menyebabkan sistem pemerintahan tradisional pun mengala- mi perubahan. Untuk menciptakan perkemban- gan masyarakat yang lebih baik, pemerintah kolonial Belanda memberi bantuan finansial kepada gereja untuk mengadakan pendidikan bagi masyarakat. Hal tersebut menghasilkan suatu kelas baru dalam masyarakat, seperti pegawai pamong praja, guru dan pendeta, yang kerap bekerjasama dengan penguasa setempat (raja,bangsawan). Dapat dikatakan mereka mempunyai hak istimewa di antara warga masyarakat lainnya. Mereka inilah yang di- prioritaskan untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. Untuk merasion- alisasikan struktur administrasi, pemerintah kolonial Belanda mengatur posisi pemimpin tradisional atau para elite lokal dalam susunan birokrasi sebagai jalan untuk memasukkan pengaruh mereka di tengah-tengah penduduk setempat.

Para pendeta utusan yang bertugas mendi- dik dan menyiarkan ajaran Kristen di Sumba, umumnya tidak bisa bekerja sendiri. Oleh karena itu, mereka mendidik penduduk pribumi untuk membantu di berbagai bidang, seperti pekabaran Injil, sekolah dan pengobatan. Pem- bantu-pembantu pribumi ini didatangkan dari luar daerah, misalnya dari Sawu, Timor, dan Ambon serta dididik dan dipekerjakan sebagai

guru-guru penyebar Injil atau guru sekolah.

Bekerja sebagai guru mempunyai peranan penting dalam pemberitaan Injil. Guru-guru itu menjadi pengantara antara pendeta utusan dengan masyarakat, sehingga mereka banyak dikenal dan dihormati. Mereka inilah menjadi tangan kanan pendeta utusan dan memandang dirinya lebih tinggi kedudukannya dari orang Sumba serta dengan mudah menduduki berb- agai jabatan di pemerintahan.

Di lapangan perdagangan, sudah sejak lama bidang ini didominasi orang Belanda, Bugis, Cina, dan Arab. Keadaan itu membuat penduduk pribumi hanya berperan pada lapisan bawah saja. Penduduk pribumi kehilangan ke- sempatan untuk ambil bagian dalam aktivitas perekonomian. Satu-satunya yang masih ber- nilai ekonomis tinggi bagi mereka ialah hasil penjualan kain tenun tradisional, tapi itu pun sudah dikuasai para tengkulak yang membeli dengan harga murah.

Pada jaman kemerdekaan, di bawah pemer- intahan Republik Indonesia sekalipun ma- salah kesempatan kerja ini, khususnya di kantor-kantor pemerintahan, bagi para pen- ganut Marapu bukan suatu hal yang mudah.

Kendalanya masih tetap sama, yaitu masalah kurangnya pendidikan formal yang diperoleh warga pribumi. Mereka kalah bersaing dengan warga pendatang yang relatif berpendidikan.

Mereka menghadapi lingkaran setan yang tak habis-habisnya. Untuk mendapat pekerjaan yang layak mereka harus berpendidikan. Untuk memperoleh pendidikan mereka harus menang- galkan ke-Marapu-an mereka.

Ke-Marapu-an yang dijadikan dasar iden- titas ke-Sumba-an tampaknya menguatkan kebijakan pemerintah tentang keagamaan agar orang Sumba yang masih menganut Marapu harus “diagamakan”. Selain itu ke-Marapu-an selalu diidentikan dengan kekafiran. “Kafir”

adalah sebuah kata yang merendahkan, meng- hina kepada orang-orang yang dianggap tidak beragama5. Tentang kekafiran ini di Sumba su-

5 Kafir” adalah orang yang tidak meyakini atau memeluk keyakinan

(13)

dah dihembuskan sejak jaman kolonial duhulu hingga sekarang ini. Bukan saja oleh orang luar, tetapi oleh orang Sumba sendiri yang sudah beralih agama lain.

Stereotip terhadap penganut Marapu yang selalu diidentikan dengan kekafiran itu, selan- jutnya berkembang menjadi stereotip-stereotip lainnya, misalnya; bodoh, malas, jorok, suka berjudi dan bermabuk-mabukan. Kemudian berkembang pula menjadi prasangka-prasangka yang sering ditimpakan kepada mereka, misal- nya sebagai pencuri, pembuat onar, pembunuh dan sebagainya yang sangat menyudutkan para penganut Marapu dalam hidup bermasyara- kat. Stereotip-stereotip semacam itulah yang berkembang dalam masyarakat Sumba.

Strategi Mempertahankan Ke-Marapu-an Orang Sumba yang menganut agama Marapu sering dilihat sebagai “manusia yang hidup dalam gelap, sesat dan tidak benar”.

Akan tetapi, apakah mereka menyerah be- gitu saja? Sampai kini orang Sumba mungkin merupakan kasus yang paling menarik tentang bagaimana agama-agama resmi belum mampu menaklukan mereka sepenuhnya, walaupun usaha tersebut sudah dilakukan dalam beberapa periode. Orang Sumba mempunyai ikatan kuat dengan adat istiadat yang berakar pada keyaki- nan mereka, Marapu. Marapu itulah identitas budaya mereka.

Orang Sumba pemeluk Marapu memiliki sikap militan untuk mempertahankan tradisi keagamaannya berhadapan dengan kelompok- kelompok lain. Riwayat keberadaan mereka yang jauh lebih tua daripada negara Republik Indonesia cukup membuktikan kesanggupan mereka menghadapi berbagai tantangan histo- risnya. Untuk memperoleh kesetaraan mereka mempunyai strategi tertentu yang dilakukan.

Salah satu strategi yang mereka lakukan ialah memberdayakan peran lembaga adat.

Untuk mewujudkan visi masyarakat Sumba yang mandiri, salah satu aspek pendukungnya adalah ketahanan budaya, yaitu meliputi agama

dan adat istiadat. Oleh karena itu, strategi pembangunan sektor budaya dan agama ini diarahkan pada upaya (1) meningkatkan peran lembaga adat, (2) meningkatkan peran tokoh- tokoh adat dalam perumusan kebijakan, (3) meningkatkan kapasitas situs-situs budaya dan kesenian, (4) meningkatkan peran pemuda me- lalui forum pemuda lintas agama, (5) mening- katkan sarana dan prasarana rumah ibadah, dan (6) meningkatkan peran tokoh agama dalam bentuk kemitraan dalam pembangunan daerah.

Lembaga adat di Sumba tercakup dalam dua pengelompokan yang merupakan satu kesatuan, yaitu secara teritorial (paraingu), dan secara geneologis (kabihu). Paraingu merupakan suatu perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa kabihu yang berhimpun di dalamnya. Sedangkan kabihu merupakan kelompok kekerabatan yang merasa diri berasal dari seorang nenek moyang dan antara satu dengan lainnya terikat melalui garis keturunan laki-laki saja. Setiap kabihu tidak pernah berdiri sendiri dan selalu mempunyai hubungan dengan kabihu-kabihu lain. Hubungan tersebut dimungkinkan karena di antara kabihu-kabihu itu mungkin berasal dan satu leluhur, ada hubungan kekerabatan atau karena ada sangkut paut dengan sejarah leluhurnya.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan tata hidup dan kehidupan bermasyarakat un- tuk kepentingan kabihu-kabihu dalam satu paraingu selalu dibicarakan dalam suatu musyawarah adat yang disebut Pulu pamba, Bata bokulu (perbincangan besar). Di dalam musyawarah adat inilah ditetapkan segala keputusan yang dibutuhkan dalam menghadapi berbagai permasalahan. Orang Sumba sangat menghormati segala keputusan yang diambil dalam musyawarah. Di dalam musyawarah setiap kabihu dalam paraingu diwakili oleh para pemuka masing-masing untuk memberi- kan pendapatnya.

Pemberdayaan lembaga adat merupakan peluang baru bagi para pemuka masyarakat Sumba untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam politik lokal. Orang Sumba beru-

(14)

saha untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam politik daerah yang membawa sebuah di- mensi baru bagi konstruksi publik tentang “ke- Sumba-an” mereka. Mereka berusaha melawan representasi-representasi lama dengan menolak pandangan-pandangan eksternal mengenai tradisi mereka yang dianggap terbelakang.

Sejalan dengan itu mempertahankan identitas mereka yang unik dalam kerangka kebudayaan mereka, sekaligus mencitrakan diri sebagai masyarakat yang maju, dan diharapkan agar seluruh warga masyarakat tetap bersatu dalam kebersamaan. Masyarakat jangan terpecah hanya karena ada perbedaan agama atau per- bedaan aliran politik. Bermusyawarah meru- pakan suatu kewajiban yang sudah ditetapkan oleh Marapu. Tidak ada permasalahan yang tidak dipecahkan melalui musyawarah.

Dominasi kekuasaan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru sudah berhasil mengin- ternalisasikan suatu pendekatan kekuasaan kepada seluruh jajaran pengelola pendidikan, yang telah melumpuhkan inisiatif dan kreati- fitas masyarakat bersangkutan. Mereka hanya bisa pasrah menerima keadaan bahwa menjadi pemeluk Marapu akan sulit memperoleh pendi- dikan formal. Suatu tantangan berat yang harus dihadapi untuk memperoleh pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan mereka.

Di Sumba, anak-anak sejak kecil sudah dilatih untuk membantu orang tuanya bekerja, di rumah, di kebun atau di padang pengemba- laan. Namun pendidikan yang diterima dalam keluarga dirasa belum mencukupi. Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan pembangunan pendidikan, mereka meningkatkan kapasi- tas pendidikan dan usaha-usaha pelatihan keterampilan yang sesuai dengan minat dan bakat anak didik. Pendidikan diarahkan pada pelatihan praktis yang memungkinkan mer- eka untuk mendapat pekerjaan atau membuka lapangan kerja baru. Namun sejauh ini usaha tersebut belum berjalan lancar karena baru dilaksanakan secara perorangan dalam ke- lompok kecil, dan belum merupakan lembaga pendidikan formal.

Sebenarnya bukan tidak ada inisiatif dari masyarakat Sumba untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri yang berbasiskan ajaran Marapu. Namun banyak kendala yang harus dihadapi, seperti adanya berbagai aturan yang mengharuskan untuk mengikuti agama resmi tertentu, tidak tersedianya tenaga pendidik keagamaan, dan berbagai fasilitas penunjang lainnya.

Selain itu, para penganut Marapu mengu- kuhkan solidaritas di antara mereka. Danda duangu-dendi ukurungu (memikul berdua dan mengangkat bersama) adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kebersamaan mereka dalam menghadapi segala persoalan.

Partisipasi setiap warga kabihu dalam suatu paraingu dalam melakukan suatu kegiatan bersifat mutlak. Rasa solidaritas komunitas harus selalu dijaga keutuhannya untuk keru- kunan. Oleh karena itu, sifat kemutlakan akan menolak adanya golongan dan budaya non- partisipan.

Walaupun pernah mengalami berbagai tekanan dari banyak pihak, danda duangu- dendi ukurungu sebagai simbol solidaritas orang Sumba tetap bertahan. Fungsi pengikat erat rasa kebersamaan ini terasa kuat di pede- saan, tapi mulai mengendur di antara mereka yang tinggal di perkotaan ketika persaingan kerja di perkantoran makin meningkat. Wa- laupun demikian bila ada pesta dan upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan kabihu, mereka berusaha menyempatkan diri untuk menghadirinya.

Bagaimanapun orang Sumba tetap erat ber- pegang pada adat istiadat dan keyakinan Mar- apu. Sekalipun sudah mendapat pendidikan di sekolah Kristen dan memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang Alkitab, serta sering menghadiri kebaktian, tetapi dia belum tentu mau dibaptis menjadi orang Kristen. Hal itu disebabkan mereka masih mempunyai tang- gung jawab secara adat terhadap keluarganya yang masih menjadi penganut Marapu. Bagi orang Sumba, mengikuti setiap kegiatan yang merangkul seluruh warga kabihu adalah suatu

(15)

keharusan yang sulit ditolak. Penolakan untuk bekerja bersama dalam suatu kegiatan meru- pakan hal yang aib bagi keluarga.

Identitas Budaya Baru

Keberlangsungan hubungan antar-warga Sumba, baik pemeluk Marapu maupun peme- luk Kristen Sumba, dalam kurun waktu yang lama telah mengalami pasang surut. Pada suatu kurun waktu tertentu, para pemeluk Marapu pernah dalam posisi sosial yang tak tergoyah- kan. Namun dengan berjalannya waktu, peme- luk Kristen Sumba sebagai “pendatang baru”

secara perlahan telah merebut posisi istimewa itu. Jika dahulu pemeluk Kristen Sumba dipan- dang rendah dan dianggap berkhianat karena memeluk agama para kolonialis asing, kini hal sebaliknya menimpa para pemeluk Marapu yang tetap dipandang sebagai kaum kafir dan bodoh. Stereotip tentang kebodohan itu sebagai akibat adanya ketimpangan atau ketidakseta- raan dalam memperoleh pengetahuan melalui pendidikan formal yang pada gilirannya me- nyangkut pula perolehan peluang kerja. Setiap pihak tentunya tidak mau memiliki posisi “ti- dak setara” dalam “pertarungan” ini. Dengan adanya “kesetaraan”, semua pihak dalam kelompok sosial itu akan berusaha menampil- kan dan mengembangkan segala kemampuan terbaiknya sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak. Dengan demikian, relasi yang bertentangan di antara kedua kontestan dan ketegangan yang dihasilkan dari kontestasi serta negosiasi antar-warga Sumba dapat dilihat sebagai gerak dinamis dalam rangka memban- gun hubungan yang harmonis.

Pemeluk Marapu : Sikap Mengalah

Pendidikan dan lapangan kerja merupakan faktor kritis dalam menentukan tingkat par- tisipasi orang Sumba di dalam politik lokal dan lapangan kerja di pemerintahan. Bagi para penganut agama Marapu pada masa lalu mungkin tidak terlalu sulit untuk mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan

oleh para pendeta utusan penyebar Injil. Asal- kan mereka mau bersekolah dan menerima ajaran Kristen. Namun mereka sulit melakukan hal itu karena tidak diijinkan oleh orang tua mereka untuk bersekolah. Pada gilirannya hal tersebut ikut menentukan kurangnya partisipasi mereka dalam lapangan kerja di pemerintahan.

Hal itu masih berlaku hingga masa kini, karena bagi penganut agama Marapu baru akan bisa mengenyam pendidikan bila mereka menang- galkan ke-Marapu-annya. Pencantuman salah satu agama resmi yang diakui negara adalah syarat utama untuk mendapatkan pendidikan.

Tidak ada pilihan lain, selain “mengalah” untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan. Mereka harus merelakan diri dan juga anak-anaknya untuk beralih agama agar dapat memperoleh kesetaraan dalam bidang pendidikan dan pe- kerjaan yang dianggap layak.

Sikap mengalah merupakan salah satu si- kap hidup orang Sumba dalam berhubungan dengan sesama manusia lainnya. Sikap hidup kemanusiaan ini merupakan nilai dasar yang diturunkan Marapu dan wajib dijadikan tun- tunan moral dalam hidup bermasyarakat yang selaras. Keselarasan ini dikatakan Na katala hamu lingu – na nggaha ori angu (gong besar bersuara selaras, gong sedang berirama serasi) yang mempunyai makna tentang kesadaran pribadi manusia sebagai makhluk ciptaan Na Mawulu Tau-Na Majii Tau (Yang Membuat Manusia dan Pencipta Manusia, Tuhan YME) yang berhubungan dengan manusia lain dalam hidupnya, juga berhubungan dengan alam seki- tarnya, dan mengembangkan sikap mengasihi satu sama lain. Selanjutnya dari sikap kasih ini berkembang sikap yang suka menolong dan bertenggang rasa. Bersikap toleran kepada siapa saja dan selalu berusaha mendahulukan kepentingan bersama. Untuk itu, setiap manu- sia diharapkan lebih banyak mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri. Karenanya, apa salahnya mempunyai sikap mengalah untuk kepentingan bersama yang lebih utama.

(16)

Pemeluk Kristen Sumba: Turut Berparti- sipasi

Unsur pengikat ke-Sumba-an, bagi orang Sumba adalah “bahasa” Sumba dan (dahulu) ke-Marapu-an. Namun bagaimana dengan orang Sumba yang sudah beralih agama menjadi Kristen, apakah mereka berarti tidak menjadi orang Sumba lagi? Menjadi orang Sumba dengan ke-Sumba-annya bukan berarti harus memeluk Marapu, tapi orang Sumba yang Kristen. Ke-Kristen-an di sini dalam arti keyakinan yang dianut berdasarkan ajaran- ajaran Kristiani, sedangkan ke-Marapu-an merupakan adat istiadat yang diwariskan dari nenek moyang. Selama adat istiadat tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani maka adat istiadat itu akan tetap eksis dalam kehidupan orang Sumba. Menjadi orang Kris- ten dalam konteks kebudayaan Sumba.

Adanya penggabungan antara ke-Sumba-an dengan Marapu dan juga Kristen perlu dipa- hami dari proses perkembangan budaya Sumba sejak jaman kolonial. Perlawanan terhadap penetrasi bangsa Belanda beserta misi ke- agamaannya telah menggalang kesatuan kesu- kuan dengan mengaktifkan simbol keagamaan yang masih melekat dalam budaya orang Sumba. Bagi sebagian orang Kristen Sumba, ke-Marapu-an atau ke-Kristen-an orang Sumba tidak perlu dipermasalahkan lagi, yang terpent- ing adalah bagaimana para penganut agama itu mengamalkan ajaran agama mereka dengan benar untuk menunjang kesejahteraan dan keselarasan hidup bermasyarakat. Dalam hal ini bagi orang Sumba yang beragama Kristen, mereka harus dapat membedakan hal mana yang menyangkut agama dan hal mana pula yang bersangkutan dengan tradisi. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang umum kita jumpai bila seseorang secara formal menempatkan Kristen sebagai agama yang mereka anut, tetapi secara substansial ritual keagamaan Marapu menjadi bagian dari perilaku mereka juga.

Hal tersebut berkaitan erat pula dengan sikap hidup mereka yang mengutamakan ke-

bersamaan dan persatuan. Sikap hidup berma- syarakat yang disebut Naluri hakahaungu ini timbul dari rasa kebersamaan dan penekanan bahwa mereka masih saudara seketurunan.

Hal itulah yang selalu dipelihara dan dian- jurkan oleh para pemuka adat orang Sumba.

Partisipasi setiap warga paraingu dalam setiap kegiatan sangat diharapkan, yang mana hal itu akan menjalin erat tali kekerabatan dan rasa persatuan di antara mereka. Seluruh warga masyarakat yang tergabung dalam kabihu-nya masing-masing merupakan kesatuan tekad untuk hidup bersama terlepas dari perbedaan yang ada untuk mencapai cita-cita dan tujuan bersama. Sikap hidup ini tertuang dalam salah satu ungkapan tradisional mereka, Kadu uma pera – Toku uma nduangu (tanduk rumah yang sejajar, tongkat rumah yang sepasang), yang mempunyai pengertian agar setiap kabihu yang menyembah Marapu jangan merendahkan pihak lain karena satu sama lain mempunyai tujuan yang sama yaitu kepada Yang Maha Kuasa. Sikap inilah yang menjadi sikap toleransi beragama orang Sumba.

Kesimpulan

Proses pembentukan identitas merupakan hal yang kompleks. Dalam mengkaji dinamika pembentukan identitas budaya orang Sumba tidak dapat hanya difokuskan pada kehidupan mereka sebagai individu atau kelompok saja.

Namun ada hal-hal lain yang juga memenga- ruhi sehingga proses pembentukan identi- tas menjadi lebih kompleks. Identitas orang Sumba tampil dalam ekspresi yang berbeda, dalam arti bukan sesuatu yang stabil, tidak ada jaminan bahwa identitas mereka akan tetap sama dengan berjalannya waktu dan peristiwa.

Untuk menentukan siapa orang Sumba seba- gian besar terletak pada orang yang bersang- kutan sebagai “orang dalam”, walaupun hal tersebut tidak pula mengabaikan pandangan

“orang luar” terhadap mereka. Seperti yang direpresentasikan oleh orang Sumba sendiri bahwa mereka juga beragama dan percaya pada

(17)

Tuhan YME serta menyukai keharmonisan hidup.

Identitas budaya orang Sumba adalah hasil dari suatu proses dan intersubyektif sejarah yang di dalamnya orang Sumba berpartisipasi dengan sikap mendua, yaitu bersaing dan seka- ligus bekerjasama. Sebenarnya sikap mereka tersebut merupakan tindakan mencari “aman”

sebagai jalan yang “kompromistis”. Bagi para pemeluk Marapu untuk menghindari tekanan pihak pemerintah yang mengharuskan mereka agar “beragama” dan tuduhan sebagai atheis, kafir, primitif, tidak mendukung program pembangunan, dapat mengakibatkan putra- putrinya tidak diterima masuk sekolah dan sebagainya. Sedangkan bagi pemeluk Kristen Sumba menghindari konflik dengan sesama saudara dan tetap menghormati adat sebagai warisan orang tuanya. Sikap dan tindakan yang kompromistis itu merupakan proses inversi pada masyarakat yang pada kebudayaannya mempunyai prinsip atau nilai-nilai yang tidak dapat menerima pertentangan-pertentangan yang tajam, karena awalnya berakar pada kebu- dayaan yang dihayati bersama secara kolektif.

Kemudian di antara kedua lingkungan yang bertentangan itu tumbuh suatu media penen- gah yang bersifat ambivalen, yang merupakan panggung tempat penganut Marapu dan Kristen

Sumba berkontestasi dan bernegosiasi. Suatu media yang merupakan sumber serta gagasan keseimbangan yang bersifat kompromistis, yang pada gilirannya membentuk compromised cultural identity mereka yang baru.

Adanya keseimbangan yang bersifat kom- promistis tidak berarti bahwa setelah hal itu tercapai orang Sumba menjadi stagnant.

Namun untuk merancang masa depan yang diantisipasi. Bagi orang Sumba, beralih agama merupakan salah satu bentuk “perlindungan budaya” atau “penyesuaian diri” yang dapat meredam ketakutan dan agresi yang timbul di antara individu dan masyarakat. Di satu pihak mereka ingin tetap dengan agama dan tradisi mereka, tetapi di pihak lain mereka ingin pula melepaskan belenggu adat atau kepercayaan yang dianggap usang, sehingga mereka terbuka pula dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya. Budaya yang bersifat komprom- istis ini diaktifkan melalui lembaga adat yang tetap selalu mengedepankan musyawarah dan memegang teguh konsep kebersamaan dan solidaritas. Hal itu menjadi sesuatu yang utama dalam mengedepankan segala tuntutan orang Sumba akan pengakuan publik atas hak-hak mereka berdasarkan kekhasan budayanya.

Salam sejahtera bagi para Marapu.

Daftar Pustaka Adams, Marie Jeanne

1969 System and Meaning in East Sumba Textile Design: A Study in Traditional Indonesian Art.

New Haven: Yale University.

Afif, Afthonul

2012 Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri. Depok: Penerbit Kepik.

Erikson, Erik H.

1989 Identitas dan Siklus Hidup Manusia, Bunga Rampai I. Jakarta: PT. Gramedia.

Fox, James J.

1996 Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Fox, James J. (Peny.)

(18)

1980 The Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia. Cambridge: Harvard University Press.

Harris, Sam

2006 Terbenamnya Iman: Agama, Teror, dan Masa Depan Nalar. Jakarta: Penerbit Abdi Tandur.

Hoskins, Janet

1996 Headhunting and the Social Imagination in Southeast Asia. Standford California: Standford University Press.

Kahn, Joel S.

1995 Culture, Multiculture, Postculture. London: SAGE Publications.

Kapita, Oemboe Hina

1976 Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Koentjaraningrat

1974 Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Kruyt, A. C.

1922 De Soembaneezen, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Netherlandsch-Indie.

LXXVIII: pp. 446-608.

2008 Keluar dari AgamaSuku Masuk ke Agama Kristen, terjemahan Th. Van den End, edisi kedua. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Liliweri, Alo

2005 Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta:

LKiS.

Maunati, Yekti

2004 Identitas Dayak: Komoditas dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS.

Soeriadiredja, P.

1983 Simbolisme dalam Desain Kain di Watupuda, Sumba Timur. Bandung: Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran.

2002 Prinsip-Prinsip Struktural dalam Rumah Tradisional Sumba di Umalulu. Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada.

2004 Marapu: Agama Asli Orang Sumba dalam Budaya Sana-Sini. Denpasar: Labant – FS UNUD.

Suparlan, Parsudi

1983 Kata Pengantar dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, C. Geertz, hlm.

Vii-xiv, Terj. A. Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya.

2005 Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa, edisi kedua. Jakarta: YPKIK Press.

Venema, Henk

2006 Hidup Baru: Orang Kristen dalam Konteks Kebudayaan Setempat. Jakarta: Yayasan Ko- munikasi Bina Kasih/ OMF

Wellen, F. D.

2004 Injil dan Marapu, Suatu Studi Historis-Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan Ma- syarakat Sumba pada Periode 1876-1990. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

(19)
(20)

copyright © 2013 ANTROPOLOGI INDONESIA

• Panduan Penulisan untuk Kontributor

Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan bu- daya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil pene- litian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat ba- gian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia;

Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keter- libatan penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pemban- gunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terha- dap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya.

Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri.

Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email journal.ai@gmail.com dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan uku- ran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon.

Sistematika penulisan harus dibuat dengan men- cantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada ba- gian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:

Geertz, C.

1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Hlm. 246–274.

Koentjaraningrat.

1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.

Jakarta: Penerbit Djambatan.

Manoppo-Watupongoh, G.Y.J.

1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.

• Guidelines for contributors

Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; sec- ond, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years.

Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail.

com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article.

Article should meet the following structures:

introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper for- mat. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article.

Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjust- ment as follow:

Gilmore, D.

1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.

If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.

Geertz, C.

1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaran- ingrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia.

Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274.

Marvin, G.

1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70.

(21)

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: 1 Suatu Penjelasan Budaya

Muhammad Nasrum

Totua Ngata dan Konflik 15

(Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat Di Kecamatan Marawola)

Hendra

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi 29 Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman

Lucky Zamzami

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi 41 Tasrifin Tahara

Marapu: Konstruksi Identitas Budaya 59 Orang Sumba, NTT

Purwadi Soeriadiredja

‘Memanusiakan Manusia’ 75

dalam Lingkungan yang Tangguh:

Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’?

Yunita T. Winarto

Budaya Penjara: 91

Arena Sosial Semi Otonom

di Lembaga Pemasayarakatan “X”

A. Josias Simon Runturambi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Pasal 55 Undang- Undang Perbankan Syariah dan penjelasannya, dapat dipahami bahwa Undang-Undang Perbankan syariah telah mereduksi kewenangan Pengadilan

Partisipasi merupakan salah satu teknik manajemen yang efektif karena para manajer dapat menerima dan melaksanakan secara penuh tanggung jawab atas anggaran yang

1) Organizational entry, berkaitan dengan pemilihan karyawan akan organisasi yang akan dimasuki. Dengan demikian akan mencakup kesesuaian karir individu dalam

Dari hasil pemetaan geologi permukaan dan didukung pengukuran lintasan jalur bor, batas litologi terutama antara endapan gambut dan litologi sekitarnya dapat diketahui lebih

Dan seperti juga teman yang lain, saya berusaha untuk meningkatkan karir serta keahlian saya dengan cara mencari tempat kerja baru yang membutuhkan keahlian saya dan tentunya

Pada penelitian Widhianningrum (2012) tentang perataan laba dan variabel-variabel yang mempengaruhinya menyebutkan bahwa hanya variabel penyebaran kepemilikan dan

Penutup  2.  Mengundang  pertanyaan/tanggapan  maupun komentar.  3.  Memberikan beberapa buah  pertanyaan secara acak  kepada beberapa mahasiswa. 

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Current Ratio (CR) dan Return on Assets (ROA) Terhadap Return