10 2.1 Konsep Laparatomi
2.1.1 Definisi Laparotomi
Laparatomi adalah salah satu pembedahan mayor dengan melakukan penyayatan pada lapisan lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian organ yang bermasalah. Laparotomi adalah operasi yang dilakukan untuk membuka abdomen (bagian perut).
Kata “laparotomi” pertama kali digunakan untuk merujuk operasi semacam ini pada tahun 1878 oleh seorang ahli bedah Inggris, Thomas Bryan. Kata tersebut berbentuk dari dua kata Yunani
“lapara” yang berarti bagian lunak dari tubuh terletak diantara tulang rusuk dan pinggul sedangkan “tome” berarti pemotongan (Kamus Kedokteran, 2011)
Laparotomi adalah insisi pembedahan melalui pinggang atau lebih umum melalui setiap dinding perut (Dorlan, 2012 dalam Erlin &
Natalia, 2016). Laparotomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara membuka dinding abdomen untuk mencapai isi rongga abdomen (Jitowiyono, 2010 dalam Neli, 2017).
Laparotomi adalah insisi pembedahan menuju rongga abdomen dimana operasi yang dapat dilakukan dengan prosedur laparotomi pada bagian digestive antara lain herniotomi, gasterktomi, kolesisduodenostomi, hepatektomi, splenoktomi, appendiktomi, kolostomi, selain itu , pada bagian obstetri dan ginekologi tindakan laparotomi sering kali juga dilakukan pada histerektomi dan splingo-
ooferektomi (Dorland, 2010; Sjamsuhidayat & Jong, 2010 dalam Dwi et al, 2018).
2.1.2 Indikasi Operasi Abdomen
Indikasi dilakukan tindakan operasi abdomen menurut ( Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010) adalah karena disebabkan oleh beberapa hal yaitu trauma abdomen (tumpul atau tajam), peritonitis, perdarahan saluran pencernaan, sumbatan pada usus halus dan usus besar, masa pada abdomen, perforasi usus, pancreatitis, dan cholelithiasis. Pembedahan/
operasi dilakukan karena beberapa alasan seperti diagnostik ( biopsi, laparotomi eksplorasi), kuratif (eksisi massa tumor, pengangkatan apendiks yang mengalami inflamasi) reparatif, rekonstruksi, dan paliatif. Pembedahan juga dapat diklasifikasikan sesuai dengan tingkat urgensinya, dengan penggunaan istilah-istilah kedaruratan, urgen, diperlukan, elektif, dan pilihan (Sri Wahyuni, 2017)
2.1.3 Macam Macam Operasi Abdomen
Sjamsuhidajat (2010) membagi jenis-jenis operasi abdomen diantaranya adalah laparotomi, appendiktomi, seksio sesaria, histerektomi, kolesistektomi, kolektomi, nephrektomi, hepatektomi, splenektomi, kolostomi, perbaikan hernia, gastrektomi, dan fistulektomi dan lain-lain. Pembedahan menurut jenisnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu bedah mayor dan minor.
Indikasi yang dilakukan dengan tindakan bedah mayor antara lain kolesistektomi, nefrektomi, kolostomi, histerektomi, mastektomi, amputasi dan operasi akibat trauma ( Sri Wahyuni, 2017)
2.1.4 Diagnosa Medis Pasien Bedah Digestif
Diagnosa medis pasien bedah digestif adalah sebagai berikut : trauma tajam abdomen, trauma tumpul abdomen, cedera limpa, trauma hepar (cedera hepar), karsinoma rekti, karsinoma lambung, karsinoma kolon, karsinoma pancreas, radang gralunomatik usus, hernia, apendisitis, kolestasis, hemoroid, fistula perianal, dan peritonitis umum ( Sukardja, 2002 dalam Solikin, 2010)
2.2 Cara Insisi Pembedahan 2.2.1 Metode Incision
Metode insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat dibuka maupun ditutup, serta tidak memotong ligament dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis insisi ini adalah terjadinya hernia cikratialis. Indikasinya pada eksplorasi gaster, pancreas, hepar, dan lien serta dibawah umbilicus untuk eksplorasi ginekologis, rektosigmoid, dan organ dalam pelvis.
2.2.2 Paramedian
Yaitu sedikit ketepi dari garis tengah (± 2.5 cm), panjang (12.5 cm) terbagi atas dua yaitu, paramedian kanan dan kiri dengan indikasi ppada jenis operasi lambung, eksplorasi pancreas, oergan pelvis, usus bagian bawah, serta plenoktomi.
Paramedian insicion memiliki keuntungan antara lain : merupakan bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligament saraf, dan insisi mudah diperluad kearah atas dan bawah.
2.2.3 Transverse upper abdomen incision
Yaitu insisi bagian atas, misalnya pembedahan colesistomy dan spleknotomy
2.2.4 Transverse lower abdomen incision
Yaitu insisi melintang dibagian bawah ± 4 cm diatas antetior spinal illiaka, misalnya; pada operasi appendectomy. ( Yunichristi, 2008 dalam Neli 2017).
2.3 Perawatan Post Operasi Laparatomi
Perawatan post laparotomi adalah bentuk pelayanan yang diberikan pada pasien pasien yang telah menjalani operasi pembedahan abdomen. Tujuan perawatan laparotomi adalah mengurangi komplikasi akibat pembedahan, mempercapat penyembuhan, mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi dan mempersiapkan pasien pulang. Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan nafas dan batuk efektif, serta mobilisasi dini dapat dilakukan pada 8 jam pertama dengan general anastesi sedangkan pada anastesi spinal boleh dilakukan tindakan mobilisasi dini pada 24 jam pertama post operasi (Jitowiyoto, 2010 dalam Neli 2017).
2.4 Konsep Mobilisasi Dini
2.4.1 Definisi Mobilisasi Dini
Mobilisasi dini adalah kemampuan untuk bergerak bebas berirama dan terarah dilingkungan (Kozier, et all, 2011 dalam Erlin & Natalia, 2016). Mobilisasi dini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien pasca operasi dimulai dari bangun tidur, duduk disisi tempat tidur sampai pasien turun dari tempat tidur dan mulai belajar untuk berjalan (Brunner &
Suddart, 2013; Hidayat, 2006 dalam Umi et al, 2016).
Mobilisasi dini dapat menyebabkan terjadinya perstaltik otot polos usus. Kontraksi otot polos terjadi sebagai respon terhadap masuknya kalsium berikatan dengan ion kolmoduin (protein
pengatur). Kombinasi kalmodulin – ion kalsium kemudian bersambungan dengan sekaligus mengaktifkan myosin kinase yaitu suatu enzim yang melakukan fosforisasi. Salah satu rantai ringan dari setiap kepala myosin yang diebut kepala pengatur mengalami fosforilasi, kepala memberi kemampuan untuk berikatan dengan filament aktin dan bekerja melalui seluruh siklus sehingga menghasilkan konstraksi usus (Guyton, 2014 dalam Erlin & Natalia, 2016).
Mobilisasi dini penting dilakukan pada periode pasca bedah guna mencegah berbagai komplikasi khususnya untuk merangsang Peristaltik usus dan pergerakan usus, sehingga gas dan udara dalam usus dapat terbuang (memudahkan terjadinya flatus, mencegah konstipasi, distensi abdominal, nyeri akibat gas dan ileus Peristaltik) (Barbara, 2009 dalam Erlin & Natalia 2016).
Mobilisasi dini dapat membantu mencegah komplikasi sirkulasi paru paru, kardiovaskuler serta merangsan Peristaltik usus ( Barbara, 2009 dalam Erlin 2016)
2.4.2 Manfaat Mobilisasi Dini
Menurut beberapa literature manfaat mobilisasi dini adalah 2.4.2.1 Mengurangi insiden pasca operasi meliputi : sistem
kardiovaskuler; penurunanan curah jantung, hipertensi ortostatik, dan dan atelektasis, sistem respirasi;
penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi/
perfusi setempat, mekanisme batuk yang menurun, embolisme pulmonali Sistem perkemihan; infeksi saluran kemih. Iritasi kulit dan luka yang disebabkan oleh penekanan, sistem muskuloskeletal; atrofy otot, hilangnya kekuatan otot, kontraktur, hiperkalsemia,
hiperkalsiurie, osteoporosis. Sistem gastrointestinal;
paralitik illeus, konstipasi, stress ulser, anoreksia dan gangguan metabolism.
2.4.2.2 mengurangi komplikasi respirasi dan sirkulasi 2.4.2.3 mempercepat pemulihan peristaltik usus dari
kemungkinan distensi abdomen
2.4.2.4 mempercepat proses pemulihan pasca operasi 2.4.2.5 frekuensi nadi dan suhu tubuh kembali normal
(Potter & Perry, 2010 ; Kozier, Erb, Berman &
Snyder, 2010; Smeltzer Bare, Hinkle & Cheever, 2010; Lewis, Dirksen, Heitkemper & Bucher, 2014 dalam Sri Wahyuni, 2017 )
2.4.3 Tahapan Pelaksanaan Mobilisasi Dini 2.4.3.1 Latihan Tungkai
Latihan tungkai bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi dan mencegah statis vena serta diperkirakan dapat menurunkan resiko terjadinya tromboplebitis. Tekhnik latihannya adalah :
a. Mulai Menggerakkan tungkai dengan membengkokkan lutut dan naikkan kaki tahan selama beberapa detik, kemudian luruskan tungkai dan turunkan ketempat tidur.
b. Lakukan 5 kali untuk satu tungkai kemudian ulangi pada tungkai yang lain.
c. Kemudian buat lingkaran dengan kaki membengkokkan ke bawah, ke dalam
d. mendekat satu sama lain, keatas kemudian keluar e. Ulangi gerakan ini 5 kali
2.4.3.2 Perubahan Posisi ( Posisi Miring )
Tujuan pergerakan tubuh secara hati-hati pada pasca operasi adalah untuk memperbaiki sirkulasi, untuk mencegah statis vena, dan untuk menunjang fungsi pernafasan yang optimal. Pasien dibantu bagaimana cara untuk membalik dari satu sisi ke sisi lainnya dan cara untuk mengambil posisi lateral. Posisi ini digunakan pada pasca operasi dan dipertahankan setiap dua jam. Tehnik mengubah posisi :
a. Posisi diatur berbaring kesamping kanan / kiri.
b. Lengan yang dibawah tubuh diatur fleksi didepan kepala atau diatas bantal
c. Sebuah bantal dapat diletakkan dibawah
kepala dan bahu. (Potter & Perry, 2010 dalam Sri Wahyuni, 2017)
2.4.3.3 Latihan Duduk
a. Duduk di tempat tidur bersandar atau tidak (dapat menaikkan posisi kepala tempat tidur)
b. Duduk disisi tempat tidur menurunkan kedua kaki dari tempat tidur sambil digerak-gerakkan selama 15 menit.
2.4.3.4 Turun dari Tempat Tidur dan berjalan
Pasien pasca bedah diperkirakan dapat berisiko untuk terjadinya gangguan sirkulasi, pernafasan dan pencernaaan. Untuk menghindari hal tersebut pasien dianjurkan untuk turun dari tempat tidur sesuai kemampuan optimal yang dapat mereka lakukan. Sebaiknya pasien dianjurkan untuk turun dari tempat tidur tiap dua jam setelah bangun (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010 dalam Sri Wahyuni, 2017). Caranya adalah :
a. miring ke salah satu sisi
b. dorong bagian tubuh ke atas dengan satu tangan ketika mengayunkan tungkai turun dari tempat tidur. Kalau tidak terdapat pusing, perawat menyangga di bawah bahu serta lutut dan memutarnya sehingga kedua tungkai dan kakinya berada di samping tempat tidur. Klien meletakkan tangannya dipundak perawat dan perawat meletakkan tangannya di bawah ketiak klien. Klien dibiarkan berdiri sebentar disisi tempat tidur untuk memastikan bahwa ia tidak pusing, kalau tidak terasa pusing pasien dapat memulai untuk berjalan. Jika klien memerlukan bantuan sebaiknya perawat berjalan disampingnya dengan tangan dilengan klien (Sri Wahyuni, 2017)
2.4.4 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Mobilisasi Dini
2.4.4.1 Usia
Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya dibandingkan dengan seorang remajaserta berbeda juga persepsinya tentang pentingnya mobilisasi dini pasca bedah. Pasien anak cenderung lebih takut untuk bergerak dibandingkan pasien dewasa, karena persepsi ini cenderung dipengaruhi oleh orang tua.
Pembagian usia dapat dikategorikan dalam berbagai macam : bayi (0-1 tahun), toddler (1-3 tahun), pre sekolah (3-6 tahun), sekolah (6-12 tahun), dewasa muda (18-25 tahun), dewasa pertengahan (25-40 tahun) dan dewasa akhir (41-65 tahun).
2.4.4.2 Keparahan atau Proses Penyakit
Penyakit tertentu yang akan mempengaruhi mobilitasnya, misalnya seseorang yang menjalani operasi bedah akan kesulitan mobilitas secara bebas.
Demikian pula orang yang baru menjalani operasi karena adanya rasa sakit / nyeri yang menjadi alasan mereka cenderung untuk tidak melaksanakan mobilisasi dini. Keparahan dari penyakit pasien juga dapat mempengaruhi lama tidaknya operasi dilakukan, semakin parah proses penyakit maka akan menyebabkan semakin lama juga tindakan operasi dilakukan.
2.4.4.3 Kebudayaan
Kebudayaan atau asal daerah pasien dapat mempengaruhi pola dan sikapdalam melakukan aktivitas misalnya : pasien setelah operasi dilarang bergerak karena kepercayan kalau banyak bergerak nanti luka atau jahitan operasi tidak jadi.
2.4.4.4 Gaya Hidup
Gaya hidup sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pada pelaksanaan mobilisasi, semakin tinggi tingkat pendidikan pasien akan semakin mampu pasien memahami pentingnya mobilisasi. Demikian halnya dengan pengetahuan tentang mobilisasi, pasien akan mau melaksanakan mobilisasi pasca bedah sesuai dengan informasi yang diterima sebelumnya.
Pendidikan di interpretasikan dengan makna mempertahankan individu dengan kebutuhan- kebutuhan yang senantiasa bertambah dan merupakan suatu harapan untuk dapat mengembangkan diri agar
berhasil serta untuk memperluas,mengitensifkan elemen elemen yang ada disekitarnya.
2.4.4.5 Nutrisi
Keadaan luka bedah mengalami stress selama masa penyembuhan luka, stress akibat nutrisi yang tidak adekuat, gangguan sirkulasi, dan perubahan metabolisme akan meningkatkan resiko lambatnya penyembuhan luka (Potter & Perry, 2006 dalam Solikin 2010). Menurut hasil penelitian Haris (2006) dalam Solikin (2010) semakin adekuat kecukupan nutrisi yang diterima pasien pasca bedah maka semakin mempercepat proses penyembuhan luka, demikian pula sebaliknya semakin inadekuat kecukupan nutrisi yang diterima pasien maka proses penyembuhan luka pasien akan terganggu dan menyebabkan aktivitas mandiri pasien terganggu.
2.4.5 Kontraindikasi mobilisasi dini pasien bedah digestif
Kontraindikasi mobilisasi dini pasca bedah menurut Smeltzer &
Bare (2008) dalam Solikin (2010) dapat berupa :
2.4.5.1 Pasien dengan penyakit penyerta Infark Miokard Akut Infark miokard akut adalah suatu kondisi dimana injury pada otot jantung yang disebabkan karena kurangnya suplai oksigen. Pasien miokard akut tidak diperbolehkan untuk dilakukan mobilisasi dini sebagaimana pasien yang lain disebabkan karena keterbatasan kemampuan otot jantung dalam melakukan kompensasi terhadap peningkatan kebutuhsn oksigen yang diperlukan saat pasien melakukan mobilisasi dini. Pembatasan mobilisasi ini
diperlukan untuk mencegah perluasan injury yang sudah terjadi pada otot jantung.
2.4.5.2 Disritmia Jantung
Disritmia jantung adalah kondisi dimana irama denyut jantung yang tidak teratur yang disebabkan oleh kondisi , salah satu diantaranya adalah ketidakseimbangan elektrolit dan kondisi nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Pasien dengan disritmia tidak boleh dilakukan mobilisasi dini untuk mencegah terjadinya progesivitas disritmia yang dirasakan oleh pasien.
2.4.5.3 Adanya Kemungkinan Luka Pasca Bedah Akan Mengalami Sepsis (peradangan yang disebabkan oleh infeksi)
Pada pasien dengan sepsis atau ancaman sepsis yang menjadi prioritas penanganan adalah bagaimana mencegah terjadinya sepsis atau menyembuhkan sepsis yang amat mengancam kehidupan pasien. Pasien dengan kondisi sepsis yang harus menjadi perhatian adalah sedapat mungkin melakukan penghematan energi yang dimiliki oleh pasien untuk knsentrasi dalam pencegahan atau penyembuhan sepsisnya.
2.4.5.4 Pasien yang mengalami kelemahan umum dengan tingkat energy yang kurang
Pasien dengan kelemahan umum tidak dapat dilakukan mobilisasi dini disebabkan karena keterbatasan kemampuan pasien untuk turut berpartisipasi dalam mobilisasi yang dilakukan.
2.4.5.5 Trauma reversible pada sistem muskoluskeletal : dislokasi sendi tau fraktur tulang yang dialami pasien ( dilakukan 2 tindakan pembedahan yang berbeda)
Pasien dengan dislokasi sendi yang berulang menjadi kontraindikasi dalam mobilisasi namun tidak mutlak, pasien tetap dapat melakukan mobilisasi dengan intensitas dan proporsi sesuai dengan kemampuan dan kondisi persendian pasien.
2.5 Konsep Peristaltik Usus
2.5.1 Definisi Peristaltik Usus
Peristaltik usus adalah gerakan dasar mendorong (propulsive) pada saluran pencernaan yang menyebabkan makanan bergerak kedepan sepanjang saluran pencernaan dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi (Guyton, 2014 dalam Erlin & Natalia, 2016).
2.5.2 Aktivitas Peristaltik Usus
Manipulasi organ abdomen selama prosedur bedah dapat menyebabkan kehilangan peristaltik normal selama 24 sampai 48 jam, tergantung pada jenis dan lamanya pembedahan yang dipengaruhi oleh Anastesi. Anastesi adalah upaya untuk memblokir transmisi sistem syaraf, sehingga pasien tidak mengalami rasa sakit/nyeri selama pembedahan berlangsung (Perry & Potter 2006 dalam Umi et all 2016) salah satu anatesi yang dilakukan adalah anastesi umum atau general anastesi dimana general anastesi tersebut merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral desertai hilangnya kesadaran secara reversible (Muttaqin, 2009 dalam Umi et all 2016) .
Anastesi umum berpengaruh terhadap seluruh sistem fisiologi tubuh, terutama mempengaruhi sistem saraf pusat, sistem sirkulasi dan respiratori. Terhambatnya impuls saraf para
simpatis akan menyebabkan pelepasan asetikolin juga terhambat. Secara normal, asetilkolin dilepaskan oleh saraf para simpatik nervus vagus, dimana asetikolin yang dilepaskan terebut diterima oleh reseptor muskarinik pada plekus mienterikus intestinal (Guyton, 2007 dalam Sri Wahyuni, 2017).
Fungsi dari plekus mienterikus ini adalah mengatur aktivitas motorik disepanjang usus, dan apabila asetikolin dihambat pelepasannya maka akan terjadi penurunan kecepatan konduksi gelombang eksitatori disepanjang dinding usus halus sehingga dapat menurunkan motilitas usus (Sjamsuhidayat & Jong, 2010 dalam Sri Wahyuni, 2017). Disfungsi gatroentestinal seperti distensi abdomen pasca operasi, penurunan Peristaltik dan pengerasan feses dapat dicegah dengan meningkatkan hidrasi dan aktivitas yang adekuat (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010 dalam Sri Wahyuni, 2017)
2.5.3 Cara Auskultasi Peristaltik Usus
Mendengarkan Peristaltik usus dengan meletakkan diafragma stetoskop pada 4 kuadran perut yaitu kana atas, kanan bawah, kiri atas dan kiri bawah abdomen (pilih kudran perut yang tidak terdapat perban bekas operasi) dengarkan suara Peristaltik usus, hitung selama satu menit, Peristaltik normal orang dewasa adalah 5-35x/menit. Suara denting tinggi disertai oleh distensi perut menunjukan bahwa usus tidak berfungsi baik. Tanyakan apakah pasien telah flatus (membuang gas) yang menandakan bahwa fungsi usus telah kembali normal (Potter & Perry, 2010 dalam Sri Wahyuni, 2017)
2.6 Konsep Anastesi
2.6.1 Pengertian Anastesi
Anastesi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal
ini selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anastesi terdiri atas golongan senyawa kimia heterogen, yang mendepresi SPP secara reversible dengan spectrum yang hamper sama dan dapat dikontrol. (Munaf, 2008 dalam Neli 2017).
Obat anastesi dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena.
Obat anastesi yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting diantaranya adalah N2O, holotan, enfluran, metoksifluran. Obat anastesi yang diberikan secara intravena ( tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid, dan obat khusus seperti ketamin. (Munaf, 2008 dalam Neli 2017).
2.6.2 Tahap Anastesi 2.6.2.1 Analgesia
Dimulai dengan keadaan sadarcdan diakhiri dengan hilangnya kesadaran. Sulit untuk bicara, indra penciuman dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi, pendengaran dan penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini dikenal sebagai tahap induksi
2.6.2.2 Eksitasi atau delirium
Terjadi kehilangan kesadaran akibat penekanan korteks serebri, kekacauan mental atau delirium dapat terjadi waktu induksi singkat.
2.6.2.3 Surgical
Prosedur pembedahan dilakukan pada tahap ini 2.6.2.4 Paralisis Medular
Tahap toksik dari anastesi. Pernafasan hilang dan terjadi kolaps sirkular sehingga perlu diberikan ventilasi (E,B,C, et all., 2008 dalam Neli 2017. Anastesiologi edisi 10.
Jakarta: EGC)
2.6.3 Jenis Obat Anastesi 2.6.3.1 Natrium thiopental
Masa kerja singkat, dipakai untuk induksi cepat pada anastesi umum. Membuat pasien tetap hangat, dapat menekan pernafasan dan munkin perlu diberikan bantuan ventilasi.
2.6.3.2 Natrium thiamilal
Dipakai untuk induksi anastesi dan anastesi untuk terapi elektrosyok
2.6.3.3 Dorperidol
Dipakai sebagai obat paranestetik 2.6.3.4 Ketamin hidroklorida
Dipakai saat pembedahan jangka singkat atau untuk induksi pembedahan. Obat ini meningkatkab salvias, tekanan darah dan denyut jantung. ( Omoigui, S,. 2009 dalam Neli 2017. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11, Jakarta : EGC).
2.7 Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Variable Independent Variabel Dependent
2.8 Hipotesis Penelitian
Ada pengaruh mobilisasi dini terhadap Peristaltik usus pada pasien dengan post op laparatomi di RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2018
Mobilisasi Dini Peristaltik Usus