• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penyesuaian Diri

1. Definisi penyesuaian diri

Calhoun dan Acocella (1990) mengartikan penyesuaian diri sebagai interaksi yang kontinu antara diri individu itu sendiri dengan orang lain dan dunianya. Diri sendiri yang dimaksud dari kalimat di atas adalah jumlah keseluruhan dari apa yang telah ada pada diri individu, sesuatu yang dihadapi setiap detiknya. Menurut Atwater (1983) penyesuaian diri terdiri atas perubahan pada diri sendiri dan lingkungan sekitar kita yang dibutuhkan untuk mencapai hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitar kita. Daradjat (1983) mengatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamika yang digunakan individu untuk mengatasi tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya. Apabila usaha mengatasi tekanan tersebut berjalan dengan baik, maka akan tercipta kepribadian yang sehat. Akan tetapi apabila usaha mengatasi tekanan tersebut kurang memadai, maka akan tampak pada kepribadian individu berbagai tingkat patologis. Lebih lanjut Daradjat (1983) mengatakan bahwa orang yang dalam tahap-tahap pertumbuhannya menghadapi tekanan keras dan kejam lebih daripada kebisaan orang lain akan sulit baginya untuk melakukan penyesuaian diri dan tekanan tersebut sering terjadi dalam kehidupan individu. Kegagalan dalam penyesuaian diri adalah akibat tekanan-tekanan tersebut yang telah menghimpit kehidupannya

(2)

Gunarsa dan Gunarsa (1992) menjelaskan teori penyesuaian diri sebagai suatu bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan atau situasi yang baru dengan cara melakukan penyesuaian diri secara psikologis. Penyesuaian diri yang dimaksud disini adalah penyesuaian yang terjadi secara terus menerus dan berkesinambungan dalam berbagai hal.

Selanjutnya, menurut Weiten dan Lloyd (2006) penyesuaian diri merupakan proses psikologis yang dilakukan oleh individu dalam mengatur atau mengatasi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupannya sehari-hari. Penyesuian diri berhubungan dengan bagaimana individu mengatur atau mengatasi berbagai kebutuhan dan tekanan.

Penyesuaian diri merupakan proses yang terjadi sepanjang rentang kehidupan (lifelong process). Manusia harus berusaha menemukan dan mengatasi rintangan, tekanan dan tantangan untuk mencapai pribadi yang seimbang. Respon penyesuaian baik atau buruk adalah hal yang wajar terjadi untuk menjaga keseimbangan (Sundari, 2005).

Tujuan dari proses penyesuaian adalah untuk mendapatkan keseimbangan (Patty & Johnson, 1953). Kesehatan mental dalam arti yang luas mencakup kemampuan untuk menyesuaikan dengan diri sendiri, dan penyesuaian diri dengan orang lain dalam keluarga, pekerjaan, dan masyarakat luas (Daradjat, 1983).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses dinamika yang dilakukan individu untuk mengatasi tekanan-tekanan yang terjadi dan dialami seseorang secara kontinu atau sebagai suatu keadaan yang tengah atau

(3)

terus berlangsung sehingga tercapai suatu hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.

2. Aspek-aspek penyesuaian diri

Penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial (Daradjat, 1983). Untuk lebih jelasnya kedua aspek tersebut akan diuraikan sebagai berikut :

a. Penyesuaian pribadi

Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Individu menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung jawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.

Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan.

Gap inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian diri.

(4)

b. Penyesuaian Sosial

Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang individu patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum.

Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam proses interaksi dengan masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.

(5)

Kedua hal tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses penyesuaian sosial, berfungsi seperti pengawas yang mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan. Boleh jadi hal inilah yang dikatakan Freud sebagai hati nurani (super ego), yang berusaha mengendalikan kehidupan individu dari segi penerimaan dan kerelaannya terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri

Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) mengatakan bahwa penyesuaian diri seorang individu dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:

a. Stres

Stres adalah tekanan yang disebabkan oleh tuntutan fisik terhadap tubuh (seperti kondisi sakit, latihan, temperatur ekstrim, dan lain-lain) atau disebabkan oleh situasi sosial atau lingkungan yang dianggap membahayakan, tidak dapat terkontrol atau melewati batas kemampuan seseorang untuk menghadapinya. Penyesuaian diri menjadi penting ketika tuntutan untuk menyesuaikan diri sudah mendekati atau melewati ambang batas kemampuan individu untuk melakukannya.

b. Tuntutan fisik

Tuntutan fisik adalah tuntutan yang berasal dari diri individu dalam menghadapi kondisi fisik dan lingkungan. Dalam hal ini sangat dituntut

(6)

penyesuaian diri dan juga responnya agar dapat bertahan hidup dalam lingkungan. Dalam kehidupan, individu perlu mempersiapkan diri melakukan tindakan pencegahan untuk mengendalikan kesehatan fisik, mempelajari lingkungan tempat individu hidup, mempelajari apa yang terjadi dan bagaimana mengantisipasinya untuk dapat menyesuaikan diri dan tetap dapat bertahan hidup.

c. Tututan sosial

Tuntutan sosial adalah tuntutan yang berasal dari individu disekitar kita. Seorang individu selalu dituntut untuk membawa peran sesuai usia dan bertingkah laku sesuai dengan masyarakat tempat tinggalnya.

Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menambahkan selain hal-hal tersebut penyesuaian diri individu terhadap suatu lingkungan juga cenderung berbeda antar individu, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti : a. Etnis atau latar belakang suku mempengaruhi hampir keseluruhan proses

pemikiran, perilaku dan penyesuaian diri seseorang. Latar belakang suku merupakan determinan utama dari keinginan manusia dan mempunyai pengaruh besar terhadap pola persepsi, perilaku dan penyesuaian diri individu. Orang yang berasal dari kultur yang berbeda mempunyai pandangan pemikiran dan perasaan yang berbeda pula.

b. Usia merupakan determinan yang kuat dalam penyesuaian diri karena mempengaruhi minat, emosi, dan kemampuan seseorang dalam penyesuaian diri semakin bertambah usia seseorang maka akan semakin baik kemampuannya untuk melakukan penyesuaian diri terhadap suatu hal.

(7)

c. Kelas sosial didefinisikan sebagai bagian yang berjenjang dari suatu masyarakat menjadi kelompok yang terpisah dan sejenis. Pendidikan dan status ekonomi sosial dapat mempengaruhi nilai dan cara pandang seseorang terhadap suatu masalah dan tekanan sosial. Semakin tinggi pendidikan dan tingkat ekonomi seseorang maka akan semakin baik penyesuaian dirinya terhadap suatu lingkungan atau hal baru.

4. Karakteristik penyesuaian diri yang efektif

Selama rentang kehidupan, manusia akan selalu mengalami perubahan. Penyesuaian diri yang efektif terukur dari seberapa baik seseorang mengatasi perubahan dalam hidupnya. Menurut Habber dan Runyon (1984), penyesuaian diri yang efektif adalah menerima keterbatasan-keterbatasan yang tidak bisa berubah dan secara aktif memodifikasi keterbatasan yang masih bisa diubah. Berikut akan dijelaskan karakteristik penyesuaian diri yang efektif menurut Habber dan Runyon (1984):

a. Persepsi akurat terhadap realita

Persepsi terkait dengan keinginan dan motivasi pribadi, sehingga terkadang persepsi tersebut tidak murni sama dengan realita dan lebih merupakan keinginan individu. Penyesuaian diri individu dianggap baik apabila ia mampu untuk mempersepsikan dirinya sesuai dengan realita. Selain itu, ia juga mempunyai tujuan yang realistis, mampu memodifikasi tujuan tersebut apabila situasi dan kondisi lingkungan menuntutnya untuk itu, serta

(8)

menyadari konsekuensi tindakan yang diambil dan mengarahkan tingkah laku sesuai dengan konsekuensi tersebut.

b. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan

Halangan yang dialami individu disetiap proses pemenuhan kebutuhan atau pencapaian tujuan, dapat menimbulkan kegelisahan dan stres. Penyesuaian diri dikatakan baik apabila mampu mengatasi halangan, masalah, dan konflik yang timbul dengan baik.

c. Citra diri yang positif

Individu harus mempunyai citra diri yang positif dengan tetap menyadari sisi negatif dari dirinya, dimana individu menyeimbangkan persepsinya dengan persepsi orang lain.

d. Kemampuan mengekpresikan perasaan

Individu yang sehat secara emosional mampu untuk merasakan dan mengekspresikan seluruh emosinya. Pengekspresian emosi dilakukan secara realistis, terkendali dan konstruktif, serta tetap menjaga keseimbangan antara kontrol ekspresi yang berlebihan dengan kontrol ekspresi yang kurang.

e. Mempunyai hubungan interpersonal yang baik

Individu yang penyesuaian dirinya baik, mampu untuk saling berbagi perasaan dan emosi. Mereka mempunyai kompetensi menjalin hubungan dengan orang lain, mampu untuk mencapai kadar keintiman yang layak dalam hubungan sosial, dan menyadari bahwa suatu hubungan tidaklah selalu mulus.

(9)

B. Poligami

1. Definisi poligami

Poligami berasal dari dari bahasa Yunani, poly atau polus berarti banyak dan

gamein atau gamis yang berarti kawin/perkawinan. Poligami sering kali dimaknai dengan pernikahan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan (Farida, 2008). Menurut DeGenova (2008) suatu keluarga poligami adalah sebuah keluarga yang didasarkan pada pernikahan satu orang dengan dua atau lebih pasangan. Jika pihak laki-laki yang memiliki lebih dari satu istri, hal ini disebut poligini, sedangkan jika pihak perempuan yang memiliki lebih dari satu suami, disebut poliandri. Selanjutnya kita menyebut poligini sebagai poligami.

Husein (2007) dalam bukunya Hitam Putih Poligami mengartikan poligami sebagai sistem perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap beberapa perempuan baik dalam waktu bersamaan maupun tidak.

2. Sebab-sebab poligami

Husein (2007) menyatakan banyak sebab yang menimbulkan keinginan seseorang untuk berpoligami, diantaranya adalah :

a. Istri mandul

Salah satu tujuan menikah adalah mendapatkan keturunan. Biasanya, rumah tangga yang belum dikaruniai anak rentan adanya cekcok atau perselisihan antar suami istri apalagi sudah mengarungi bahtera rumah tangga bertahun-tahun. Jika benar-benar menginginkan keturunan dan telah berusaha untuk

(10)

mendapatkannya namun tidak juga berhasil, maka salah satu caranya adalah dengan menikah kembali yang berarti melakukan poligami. Namun harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan istri.

b. Istri memiliki penyakit yang menyebabkannya tidak bisa melayani suami Seorang istri yang terkena penyakit berkepanjangan dan tidak dapat

melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai istri, seperti hubungan suami istri terkadang membuat istri merasa tidak berguna bagi suami. Hal ini bisa menjadi penyebab suami berpoligami bahkan bisa saja suami berpoligami atas perintah istri walau sebenarnya berat bagi sang istri.

c. Pekerjaan suami yang menyebabkan jauh dari istri dan keluarga

Suami yang memiliki pekerjaan yang menyebabkan jarak jauh dari keluarga akan jarang pulang menemui istri dan anak-anak bahkan bisa satu kali dalam satu tahun atau bahkan lebih. Secara batin, suami dan istri akan merasa tersiksa. Hal ini bukan dikarenakan masalah materi melainkan masalah ‘kebutuhan biologis’ yang layak dilakukan oleh pasangan suami istri. Adanya poligami merupakan solusi untuk mengatasi serta mencegah adanya perbuatan yang melanggar agama, seperti perzinaan dan perselingkuhan. d. Suami masih kelihatan muda, sedangkan istri sudah terlihat tua

Suami yang terlihat masih muda dan masih menginginkan ‘kebutuhan biologis’ sedangkan istri sudah terlihat tua dan tidak ‘berhasrat’ lagi dalam melakukan hubungan suami istri bisa menjadi penyebab terjadinya poligami. Karena salah satu tujuan pernikahan adalah tersalurnya ‘kebutuhan biologis’ dengan benar dan halal, tapi jika sang istri sudah tidak lagi mau melayani

(11)

suami karena sudah tidak berhasrat lagi, maka dianjurkan berpoligami bagi suami sebagai salah satu solusi untuk dapat menyalurkan hasrat suami tanpa harus menceraikan istri.

e. Ingin memiliki banyak keturunan

Setiap perempuan memiliki batas maksimal dan minimal dalam melahirkan anak. Dalam kehidupan, terkadang ada suami yang ingin memiliki banyak keturunan. Salah satu caranya adalah dengan berpoligami. Akan tetapi, keinginan untuk berpoligami haruslah didiskusikan dengan istri sebelum dilakukan poligami.

f. Istri tidak taat dan patuh pada suami

Kewajiban istri kepada suami adalah taat dan patuh kepada suami dalam kebaikan, jika suami memerintah dalam masalah kebaikan, istri harus melaksanakannya. Sering kali suami tidak betah di rumah karena istri tidak taat pada suami, jarang melayani, pergi tanpa izin, dan sering marah-marah tanpa penyebab yang jelas. Hal ini dapat menyebabkan suami berkeinginan untuk berpoligami. Akan tetapi, haruslah melalui musyawarah terlebih dahulu kepada istri. Apakah istri bersedia dipoligami atau memilih untuk bercerai.

Hasil penelitian Cook (2007) menyatakan bahwa poligami disalahkan atas masalah yang berhubungan dengan laju pertumbuhan populasi, yaitu masalah kekurangan bahan pangan dan malnutrisi yang terjadi di Ethiopia. Pada penduduk Afrika tradisional, poligami memungkinkan setiap wanita di desa untuk memiliki seorang suami agar memiliki penghasilan. Poligami juga memungkinkan suami

(12)

untuk memiliki istri ke dua jika istri pertamanya mandul atau tidak mampu memberikan suaminya seorang anak laki-laki. Poligami juga dijadikan simbol kekayaan. Poligami merupakan praktek yang adaptif di Afrika tradisional, memungkinkan semua wanita untuk menikah dan memiliki anak, dan berkontribusi terhadap kelangsungan komunitas karena tingginya angka kesuburan.

3. Dampak poligami

Setiap sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, ada negatif dan positifnya. Begitu juga dengan poligami, disatu sisi dianggap baik oleh sebagian kalangan karena dapat mengurangi perselingkuhan, perzinaan dan lain sebagainya. Di sisi lain adanya poligami diangga negatif oleh sebagiannya karena terkesan menyakiti perasaan wanita dan lainnya. Husein (2008) mengatakan beberapa akibat dari poligami, yaitu :

a. Istri merasa kecewa dan sakit hati

Adanya poligami bagi para wanita adalah seperti ’hantu’ yang menakutkan. Sudah sewajarnya, jika istri sakit hati dan kecewa kepada suami yang berpoligami walau sang istri mengizinkannya. Sebenarnya sangat berat hati seorang istri untuk menerima poligami walau ada sebab-sebab yang mengharuskan poligami.

b. Rumah tangga berantakan

Dalam kehidupan pasti selalu ada masalah yang terjadi apalagi dalam rumah tangga. Tidak selamanya suasana dalam rumah tangga tentram dan damai

(13)

seperti tidak ada masalah. Salah satu masalah yang terjadi dan sering membuat rumah tangga berantakan adalah poligami. Adanya poligami rentan menimbulkan konflik berkepanjangan dalam rumah tangga, seperti terjadinya pertengkaran antar suami istri atau percekcokan antara ayah dengan anak.

c. Adanya diskriminasi

Dengan adanya ketidakadilan dalam cinta dan kasih sayang pasti akan berakibat adanya ketidakadilan dalam materi, seperti rumah, gilir, pakaian, mobil, dan sebagainya. Dengan demikian, akan terjadi diskriminasi pada salah satu dari istri-istrinya.

d. Dibenci oleh saudara-saudara istri bahkan mertua

Biasanya, keputusan orang yang mau berpoligami sudah benar-benar matang dan segala apa yang akan terjadi sudah dipertimbangkan. Salah satu akibat dari poligami adalah sang suami akan dibenci oleh sanak saudara dari istri, seperti orang tua istri (mertua), kakak dan adik istri, serta lainnya.

e. Dapat mencegah perselingkuhan dan perzinaan

Saat ini, banyak terjadi perzinaan dan perselingkuhan. Masalah ekonomi, jumlah perempuan yang lebih banyak daripada laki-laki adalah salah satu penyebab timbulnya perzinaan dan perselingkuhan. Oleh karena itu, adanya poligami dapat menjadi solusi sosial untuk mengurangi jumlah perzinaan atau perselingkuhan.

(14)

f. Dapat menolong

Salah satu hikmah poligami adalah dapat menolong seseorang. Poligami dapat menolong para istri yang ditinggal mati oleh suaminya yang tidak memiliki ekonomi berkecukupan dan kehidupannya serba kekurangan. Dampak poligami juga dikemukakan oleh Cook (2007) yang menyatakan bahwa poligami memberikan dampak pada istri pertama dan anak-anaknya. Studi menunjukkan bahwa istri-istri pertama orang muslim di Timur Tengah tidak bahagia dengan pernikahan poligaminya dan ketidakbahagiaan tersebut menjelma dalam bentuk sakit secara fisik dan mental. Adanya poligami juga membuat para lelaki tidak menganggap serius sumpah yang diucapkan dalam pernikahannya.

Pernikahan tradisional di Afrika bagian Sahara (Afrika selatan, 1996) biasanya berbentuk poligami dan tidak diakui oleh pemerintah. Ketika seorang suami meninggal, istrinya tidak mendapatkan warisan, tidak mendapatkan hasil asuransi ataupun hak asuh anaknya. Selain itu poligami juga bisa berbahaya bagi anak-anak. Pollitt (dalam Cook, 2007) menyatakan, poligami pada orang-orang Mormon di Amerika Serikat dikaitkan dengan incest dan kekerasan terhadap anak. Pelaku poligami di Afrika dikaitkan dengan feminisasi terhadap kemiskinan dan laju penyebaran AIDS.

C. Gambaran Penyesuaian Diri terhadap Istri yang Dipoligami

Menikah adalah suatu hal yang dijadikan salah satu pilihan hidup dari sekian banyak pilihan dalam kehidupan (Lefrancois, 1993). Menurut Duvall dan Miller

(15)

(1985) pernikahan adalah suatu bentuk hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang meliputi hubungan seksual, legitimasi untuk memiliki keturunan (memiliki anak) dan penetapan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pasangan. Menurut Thalib (2008) terdapat dua model pernikahan. Model pertama adalah monogami yang merupakan perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan saja sebagai isterinya; dan seorang perempuan dengan seorang lelaki saja sebagai suaminya, tanpa ada perempuan lain yang menjadi madunya. Model kedua adalah poligami.

Poligami berasal dari dari bahasa Yunani, poly atau polus berarti banyak dan

gamein atau gamis yang berarti kawin/perkawinan. Poligami sering kali dimaknai dengan pernikahan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan (Farida, 2008). DeGenova (2008) menyatakan bahwa terdapat dua tipe poligami, yaitu poliandri dan poligini. Poliandri yakni ketika seorang perempuan menikahi lebih dari satu laki-laki. Konsep poligini yakni ketika seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri. Akan tetapi, bentuk poligami yang paling umum adalah poligini (Cook, 2007). Masyarakat juga cenderung mengartikan poligami sama dengan

poligini (suami memiliki banyak istri) sehingga istilah poligami yang kemudian lebih banyak dipakai (Farida, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Phillips (dalam Cook, 2007) di Timur Tengah menunjukkan bahwa istri pertama pada keluarga poligami tidak bahagia dalam pernikahannya dan ketidakbahagiaan tersebut dimanifestasikan dengan hadirnya penyakit fisik dan mental. Selain itu, penelitian yang dilakukan Achate et.al (dalam Elbedour, Bart, & Hektner, 2003) menunjukkan adanya rasa

(16)

kecemburuan, konflik, stres emosional, ketegangan, kegelisahan dan kecemasan yang besar pada istri dalam keluarga poligami. Yuliantini, dkk (2008) menyatakan konflik dalam pernikahan poligami merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Adanya perempuan lain dalam rumah tangga bisa menjadi salah satu sumber yang menyulut terjadinya konflik dalam pernikahan karena memicu munculnya rasa cemburu.

Berada dalam pernikahan poligami menurut Mohannadi (dalam Al-Qatari, 2009) membuat istri merasa tidak diinginkan, hal ini menyebabkan sejumlah stres pada seluruh anggota keluarga. Selanjutnya dikatakan hal ini biasanya terlihat dari cara istri memperlakukan anak-anaknya yang dapat menimbulkan ketidakstabilan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ozkan et.al, (2006) menemukan bahwa pernikahan dalam bentuk poligami berdampak negatif terhadap para istri dalam pernikahan tersebut. Penelitian tersebut mengatakan bahwa istri yang berasal dari keluarga poligami cenderung mengalami distres psikologis (gangguan somatisasi) terutama pada istri pertama. Semua dampak ini tentu saja bervariasi pengaruhnya pada individu yang satu dengan yang lainnya, tergantung seberapa baik proses penyesuaian yang individu lakukan (Wallerstein & Kelly dalam Huges, 1985).

Penyesuaian diri merupakan proses yang akan terjadi ketika individu mengalami perubahan dalam kehidupannya. Perubahan dalam kehidupan menurut Holmes dan Holmes (dalam Calhoun & Acocella, 1990) akan memunculkan berbagai masalah yang kalau tidak diselesaikan akan memunculkan keputusasaan dan krisis psikologis lainnya. Holmes dan Richard (dalam Calhoun & Acocella,

(17)

1990) menemukan bahwa peristiwa perkawinan, pertambahan anggota keluarga baru, dan perubahan kondisi kehidupan merupakan peristiwa hidup yang membutuhkan penyesuaian diri.

Daradjat (1983) mengatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamika yang digunakan individu untuk mengatasi tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya. Penyesuaian diri (Daradjat, 1983) memiliki dua aspek yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Penyesuaian sosial adalah bagaimana individu mampu mengikuti ketentuan dan kaidah-kaidah kelompoknya, atau kemampuannya dalam membuat hubungan sosial yang menyenangkan dengan orang yang berhubungan dengannya.

Menurut Weiten dan Lloyd (2006) penyesuaian diri merupakan proses psikologis yang dilakukan oleh individu dalam mengatur atau mengatasi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupannya sehari-hari. Penyesuian diri berhubungan dengan bagaimana individu mengatur atau mengatasi berbagai kebutuhan dan tekanan. Daradjat (1983) mengatakan individu yang dalam tahap pertumbuhannya menghadapi tekanan lebih daripada kebiasaan orang lain akan membuatnya kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri. Selanjutnya dikatakan bahwa kegagalan dalam penyesuaian diri adalah akibat tekanan-tekanan yang telah menghimpit individu.

Sundari (2005) mengatakan individu yang gagal dalam menyesuaikan diri akan menjadi tidak tenang bila menghadapi suatu masalah, tidak mampu

(18)

mengendalikan emosi, mengalami frustasi, konflik atau kecemasan. Individu yang mampu menyesuaikan diri akan mampu menyeimbangkan antara kebutuhan internal dan eksternal, mampu memecahkan masalah dengan rasio dan emosi yang terkendali serta bersikap realistis dan objektif (Sundari, 2005).

Tujuan dari proses penyesuaian adalah untuk mendapatkan keseimbangan (Patty & Johnson, 1953). Kesehatan mental dalam arti yang luas mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri, dan penyesuaian diri dengan orang lain dalam keluarga, pekerjaan, dan masyarakat luas (Daradjat, 1983).

Penelitian Al-Krenawi dan Nevo (2006) mengenai keberhasilan dan kegagalan pada keluaga poligami memuat beberapa pokok-pokok penting seperti faktor-faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses penyesuaian diri istri yang dipoligami yaitu faktor agama, keyakinan bahwa poligami sebagai aturan dari Tuhan atau takdir, sikap adil suami dalam berbagi, faktor tempat tinggal, dan sikap saling menghargai antar istri.

Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) mengatakan bahwa penyesuaian diri seorang individu dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: stres, tuntutan fisik, dan tuntutan sosial. Selanjutnya Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menambahkan selain hal-hal tersebut penyesuaian diri individu terhadap suatu lingkungan juga cenderung berbeda antar individu, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti : Etnis atau latar belakang suku, usia, dan kelas sosial.

(19)

C. Paradigma Penelitian

Keterangan :

: terdiri dari : menghasilkan

: memiliki atau di dalamnya terdapat

DAMPAK PSIKOLOGIS Perubahan Komposisi Keluarga POLIGAMI PENYESUAIAN DIRI PRO KONTRA TERIMA TIDAK Perubahan terhadap pribadi Istri kedua Anak tiri Stres psikologis Cemburu, konflik, cemas Tidak bahagia,

sakit fisik dan mental

Referensi

Dokumen terkait

terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur, oleh karena itu dalam usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi maka cara yang dapat dilakukan adalah

Kerbau rawa (Bubalus bubalis) atau disebut kerbau kalang merupakan plasma nuftah Provinsi Kalimantan Selatan dan mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai

Alur dalam melakukan analisa terhadap proses injeksi dan blow molding menggunakan indeks kapabilitas proses Cpk adalah sebagai berikut: (1) Pengukuran

Diagram venn adalah diagram yang menunjukkan gambaran suatu himpunan atau gambaran himpunan dalam hubungannya dengan himpunan yang lain... Contoh

Sarwono (2012:30-31) menjelaskan bahwa remaja akhir (late adolescence) merupakan masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal,

Hasil belajar akan memberikan pengaruh dalam dua bentuk: (1) Peserta didik akan mempunyai perspektif terhadap kekuatan dan kelemahannya atas perilaku yang

Cerpen (cerita pendek sebagai genre fiksi) adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antartokoh atau dalam diri tokoh