• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENAMBAHAN SLUDGE DAN PENGECILAN UKURAN BAHAN PADA KONVERSI SAMPAH ORGANIK PASAR MENJADI BIOGAS SKRIPSI YUMIYATI F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENAMBAHAN SLUDGE DAN PENGECILAN UKURAN BAHAN PADA KONVERSI SAMPAH ORGANIK PASAR MENJADI BIOGAS SKRIPSI YUMIYATI F"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENAMBAHAN SLUDGE DAN PENGECILAN

UKURAN BAHAN PADA KONVERSI SAMPAH ORGANIK

PASAR MENJADI BIOGAS

SKRIPSI

YUMIYATI

F34070047

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

INFLUENCE OF SLUDGE ADDITION AND PARTICLES SIZE REDUCTION ON MARKET ORGANICS WASTE CONVERSION TO BIOGAS

Muhammad Romli, Suprihatin, and Yumiyati

Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Bogor, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone +62 251 960 6741, e-mail: yatiyumi@yahoo.com

ABSTRACT

The principal problems which have become the main focus of society are environmental problem and energy scarce. The main cause of the problems is the high consumption of fossil fuels. The purpose of this research is to find out effect of sludge composition and particle size reduction on organic waste convertion to biogas. The fermentation were conducted with 1.5 L reactors and fermentation during 21 days. Composition of organic waste from traditional market were banana leaf 7.5%, corn husk 24.2%, bitter melon 14.8%, cabbage 19.9%, chicory 6.2%, water spinach 8.0%, mustard greens 8.0%, carrots 11.5% (w/w). The maximum gas production was reached 14.414 L/kg TS in 1st running and 22.028 L/kg TS in 2nd running or 0.005215 L/g VS (1st running) and 0.005172 L/g VS (2nd running) with COD value was 0.459 g/kg by composition 3:5 and size 0.1 to 0.5 cm. All treatments had a pH interval 4.80 to 6.67. The highest phosphate levels produced by sludge 5:3 (0.1 to 0.5 cm) was1.97 %, the carbon highest in sludge 3:5 (1.5 to 2 cm) was 10.25 %, and nitrogen in sludge 5:3 (1.5 to 2 cm) was 2.20 %.

(3)

Yumiyati. F34070047. Pengaruh Penambahan Sludge dan Pengecilan Ukuran Bahan pada

Konversi Sampah Organik Pasar Menjadi Biogas. Dibawah bimbingan Muhammad Romli dan

Suprihatin. 2011.

RINGKASAN

Salah satu permasalahan utama yang kini menjadi fokus bersama adalah lingkungan hidup dan kelangkaan energi. Perubahan iklim yang tidak menentu (global warming) serta ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil menjadi penyebab utamanya. Gas karbon, metan, nitrous oxide,

sulfur heksa fluorida, HFC, dan PFC yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil merupakan 6 gas emisi

rumah kaca menurut International Panel on Climate Chance. Ketergantungan yang tinggi ternyata tidak diimbangi oleh ketersediaannya.

Konsekuensi yang harus diambil yaitu mencari serta memanfaatkan bahan lain sebagai upaya penyeimbang kebutuhan dan ketersediaan sumber energi. Biogas memberikan solusi alternatif sumber energi terbarukan. Biogas merupakan gas yang dilepaskan oleh bahan-bahan organik (kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam, dan daun-daun hasil sortiran kayu) yang mengalami proses metanisasi (Hambali, et al. 2007). Biogas tidak hanya menjawab permasalahan krisis energi tetapi juga menjawab permasalahan lingkungan hidup. Berdasarkan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) diketahui secara molekuler efek rumah kaca metana 20 kali lebih kuat daripada karbondioksida. Namun dengan pemakaian biogas sebagai bahan bakar berarti mengkonversi metana menjadi karbondioksida yang lebih rendah efeknya terhadap pemanasan global.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan sludge dan pengecilan ukuran bahan pada konversi sampah organik menjadi biogas. Sampah pasar yang digunakan untuk percobaan terdiri dari daun pisang 7.5%, kulit jagung 24.2 %, pare 14.8 %, kol 19.9 %, saosin 6.2 %, kangkung 8.0 %, sawi 8.0 %, dan wortel 11.5 % (W:W) dirajang dengan dua ukuran yaitu 0.1-0.5 cm dan 1.5-2 cm. Activated sludge digunakan sebagai substrat tambahan dengan dua komposisi yaitu 225 g (3:5) dan 375 g (5:3). Penelitian dilakukan secara batch selama 21 hari di dalam botol AMDK 600 ml dan dibuat terendam dalam aquarium dengan suhu terkontrol (32 °C). Parameter harian yaitu volume gas, 3 hari sekali (TS-TVS, COD, pH digestat dan lindi), dan berkala (Kadar C, N, dan P di awal dan akhir proses). Rancangan penelitian yang digunakan yaitu RAL dengan dua faktorial (komposisi dan ukuran) serta dua kali ulangan.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap fermentasi anaerobik sampah organik dengan starter

sludge yang berasal dari instalasi pengolahan limbah cair (IPAL) industri dengan dua ukuran bahan

serta dua komposisi starter yang berbeda terhadap parameter volume, TS-TVS, COD, pH, kadar C, kadar N, dan kadar P didapatkan hasil sebagai berikut:

Gas terbesar dihasilkan oleh komposisi 3:5 ukuran 0.1-0.5 cm yaitu 14.414 L/kg TS pada proses 1 dan 22.028 L/kg TS pada proses 2 atau 0.005215 L/g VS (proses 1) dan 0.005172 L/g VS (proses 2) dengan nilai COD sebesar 0.459 g/kg. Adapun gas yang dihasilkan oleh penelitian Wildan (2011) dengan bahan yang sama yaitu sampah sayuran menghasilkan gas sebesar 4500 ml/kg biomassa. Pada penelitian ini ternyata menghasilkan gas yang melebihi hasil tersebut. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kondisi sludge yang telah mengalami berbagai proses di dalam unit pengelolaan limbah. Sama halnya dengan kotoran yang telah mengalami pemasakan di dalam perut ruminansia.

(4)

Sludge banyak mengandung zat pengurai yang baik untuk menghidrolisis bahan yang masih baru serta

kondisi bahan yang lebih berair berpengaruh pada peningkatan produksi gas. Kondisi sampah yang telah busuk juga berdampak pada peningkatan produksi gas ditambah lagi dengan adanya pengecilan ukuran karena berarti mengurangi kerja mikroorganisme dalam fase aklimatisasi (penyesuaian). Namun berdasarkan padatan yang menguap, gas yang diproduksi tidak optimum dikarenakan banyaknya air yang terkandung pada bahan serta lingkungan yang semakin asam seiring bertambahnya waktu.

Pupuk organik dengan kadar fosfat tertinggi dihasilkan oleh lindi komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm yaitu 1.97 %, karbon tertingi pada digestat komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm yaitu 10.25 %, dan nitrogen pada lindi komposisi 5:3 ukuran 1.5-2 cm yaitu 2.20 %. Hal ini masih jauh dari syarat mutu pupuk organik yang dianjurkan. Oleh karena itu diperlukan sistem composting lanjutan untuk mendapatkan mutu pupuk organik yang sesuai. Dengan begitu sludge bisa dijadikan alternatif substrat dalam fermentasi anaerob dimana perlakuan terbaik terdapat pada komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm.

Pupuk organik dengan kadar fosfat tertinggi dihasilkan oleh lindi komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm yaitu 1.97 %, karbon tertingi pada digestat komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm yaitu 10.25 %, dan nitrogen pada lindi komposisi 5:3 ukuran 1.5-2 cm yaitu 2.20 %. Hal ini masih jauh dari syarat mutu pupuk organik yang dianjurkan. Oleh karena itu diperlukan sistem composting lanjutan untuk mendapatkan mutu pupuk organik yang sesuai.

(5)

PENGARUH PENAMBAHAN SLUDGE DAN PENGECILAN

UKURAN BAHAN PADA KONVERSI SAMPAH ORGANIK

PASAR MENJADI BIOGAS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departeman Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

YUMIYATI

F34070047

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH PENAMBAHAN SLUDGE

DAN PENGECILAN UKURAN BAHAN PADA KONVERSI SAMPAH ORGANIK PASAR MENJADI BIOGAS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departeman Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh YUMIYATI

F34070047

Dilahirkan di Jakarta, 04 Januari 1989 Tanggal Lulus :

Disetujui, Bogor, 4 Agustus 2011

Prof. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc.St Dosen Pembimbing I

Prof. Dr-Ing. Ir. Suprihatin Dosen Pembimbing II

(7)

Judul Skripsi : Pengaruh Penambahan Sludge dan Pengecilan Ukuran Bahan pada Konversi Sampah Organik Pasar Menjadi Biogas

Nama : Yumiyati NIM : F34070047

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Muhammad Romli, M.Sc. St. Prof. Dr. -Ing. Ir. Suprihatin NIP 19601205 1986091 1 001 NIP 19631221 199003 1 002

Mengetahui : Ketua Departemen,

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP 19621009 198903 2 001

(8)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh

Penambahan Sludge dan Pengecilan Ukuran Bahan pada Konversi Sampah Organik Pasar Menjadi Biogas adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 4 Agustus 2011 Yang membuat pernyataan

Yumiyati F34070047

(9)

© Hak cipta milik Yumiyati, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

(10)

BIODATA PENULIS

Penulis bernama Yumiyati dilahirkan di Jakarta pada tanggal 04 Januari 1989. Anak ke-5 dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Sugirno (alm) dan Ibu Raning ini menempuh pendidikan formalnya di SDN 17 Pagi Jakarta pada tahun 1995-2001, SMPN 67 Jakarta pada tahun 2001-2004, dan SMAN 26 Jakarta pada tahun 2004-2007.

Penulis masuk IPB pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) dengan mayor Teknologi Industri Pertanian sebagai pilihan pertamanya dan diterima di mayor tersebut.

Selama kuliah di IPB penulis aktif di beberapa organisasi intra kampus seperti Musholla Asrama TPB (2007-2009), DPM TPB (2007-2008), LDK Al-Hurriyah (2007-2008), dan kegiatan kampus lainnya (IPB Green Festival, Red’s Cup, dan lainnya) serta menjadi penerima besiswa PPA IPB selama 2 tahun dan Tanoto Foundation selama 2 tahun.

Pada tahun 2010 penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT. Sinar Meadow International Indonesia, Jakarta dengan topik Pengelolaan Limbah Industri di PT. Sinar Meadow International Indonesia, Jakarta. Penelitian Tugas Akhir skripsi dilakukan di Laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan IPB dengan judul skripsi Pengaruh Penambahan Sludge dan Pengecilan Ukuran Bahan pada Konversi Sampah Organik Pasar menjadi Biogas.

(11)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT senantiasa dipanjatkan tak terbatas atas karunia dan limpahan rahmat iman, islam, serta sehat wal„afiat sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir skripsi dengan judul “Pengaruh Penambahan Sludge dan Pengecilan Ukuran Bahan pada Konversi Sampah Organik Pasar Menjadi Biogas.” Shalawat teriring salam akan selalu tercurah kepada Sang lentera zaman, Rasulullah SAW, beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang setia mengikuti syariatnya hingga zaman menemui akhir.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyelesaian Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan waktu, tenaga, dan pikiran dalam mengarahkan tugas akhir ini. 2. Bapak Prof. Dr-Ing. Ir. Suprihatin selaku pembimbing II yang telah bersedia

meluangkan waktu, pikiran, petunjuk, serta arahan kepada penulis.

3. Ir. Sugiarto,MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun dalam rangka perbaikan skripsi ini.

4. Seluruh staff dan laboran Departemen TIN yang tidak dapat disebutkan satu per satu. 5. Bapak Ferdisar Adrian, SE, MM dan Ibu Deviana Muchtar yang telah ikhlas

membiaya penelitian ini. May Allah reply the best.

6. Bapak Achyar Wahyu, SiP dan keluarga yang telah banyak membantu penulis. You

are my second family.

7. Sugirno (alm) dan Raning selaku kedua orangtua serta kakak dan adik tercinta yang selalu menyuntikkan semangat dan doa yang tiada putus untuk kebaikan dan kelancaran hajat kita semua. May Allah give the best future for us.

8. Dira, Ria, Gigii terima kasih untuk waktu yang terpaksa terkenang selama pertemuan kita. Maaf selalu merepotkan. Thanks for anything. You are my soul sister, hehehe. 9. „Iza‟ Nurzakiyah selaku teman satu bimbingan. Thx my sister. Akhirnya selesai juga. 10. Sinta, Nurul, Ana, Niar, Ratih, Dayu, Lala, Anti, Adi, Imam, Kyo dan teman-teman

TIN 44 yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas bantuan, kritik, dukungan, informasi, dan kebersamaannya selama ini. It’s difficult experience to find.

11. Teman-teman kostan “Marhamah” (Kak Dini, Mila, Danis, Karimah, Isti, Kak Caca, Dina, Kak Santi, Kak Nia, Kak Dya, Qori) atas kebersamaan, dukungan, bantuannya selama ini. Love you more. It’s the real’ ukhuwah’, hehehe.

(12)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. LATAR BELAKANG ... 1 1.2. TUJUAN ... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1. BIOGAS ... 3 2.2. KOMPOSISI BIOGAS ... 3

2.3. BAHAN BAKU BIOGAS ... 5

2.4. FERMENTASI ANAEROBIK ... 5

2.5. BAKTERI METANOGEN ... 6

2.6. MEKANISME PEMBENTUKAN BIOGAS ... 7

2.7. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI ... 8

2.8. SAMPAH ORGANIK ... 12

2.9. SLUDGE ... 13

2.10. PUPUK ORGANIK ... 15

3. METODE PENELITIAN ... 17

3.1. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 17

3.2. ALAT DAN BAHAN ... 17

3.3. TAHAPAN PENELITIAN ... 17

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL ... 20

4.2. PENGARUH KOMPOSISI SLUDGE DAN PENGECILAN UKURAN BAHAN ... 22

4.2.1. Produksi Biogas ... 22

4.2.2. Penurunan Padatan Organik TVS (db) ... 25

4.2.3. Perubahan COD ... 27

4.3. KARAKTERISTIK DIGESTAT DAN LINDI ... 28

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

(13)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi biogas ... 4

Tabel 2. Kesetaraan biogas dengan energi lain ... 4

Tabel 3. Aplikasi energi biogas ... 4

Tabel 4. Produksi biogas dan waktu tinggal dari berbagai bahan ... 5

Tabel 5. Karakteristik sampah buah dan sayuran ... 5

Tabel 6. Keuntungan dan kerugian fermentasi anaerobik ... 6

Tabel 7. Species bakteri metanogen ... 7

Tabel 8. Kandungan C dan N beberapa jenis bahan ... 10

Tabel 9. Kondisi pengoperasian proses anaerobik ... 10

Tabel 10. Syarat mutu pupuk organik cair dan padat ... 15

Tabel 11. Karakteristik sludge ... 20

Tabel 12. Karakteristik sayuran ... 20

Tabel 13. Karakteristik kualitatif beberapa jenis limbah ... 22

Tabel 14. Kondisi sludge biogas ... 28

Tabel 15. Kadar fosfat ... 29

Tabel 16. Kadar carbon ... 29

(14)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Grafik kompposisi sampah organik ... 17

Gambar 2. Bioreaktor terendam ... 18

Gambar 3. Diagram alir penelitian ... 19

Gambar 4. Produksi gas ... 23

(15)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur analisis kimia ... 34

Lampiran 2. Produksi gas komposisi 3:5 ukuran 0.1-0.5 cm (1st running) ... 36

Lampiran 3. Produksi gas komposisi 3:5 ukuran 0.1-0.5 cm (2nd running) ... 39

Lampiran 4. Produksi gas komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm (1st running) ... 42

Lampiran 5. Produksi gas komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm (2nd running) ... 45

Lampiran 6. Produksi gas komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm (1st running) ... 48

Lampiran 7. Produksi gas komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm (2nd running) ... 51

Lampiran 8. Produksi gas komposisi 5:3 ukuran 1.5-2 cm (1st running) ... 54

Lampiran 9. Produksi gas komposisi 5:3 ukuran 1.5-2 cm (2nd running) ... 57

Lampiran 10. Nilai TS komposisi 3:5 ukuran 0.1-0.5 cm (1st running) ... 60

Lampiran 11. Nilai TVS komposisi 3:5 ukuran 0.1-0.5 cm (1st running) ... 60

Lampiran 12. Nilai COD komposisi 3:5 ukuran 0.1-0.5 cm (1st running) ... 60

Lampiran 13. Nilai pH komposisi 3:5 ukuran 0.1-0.5 cm (1st running) ... 61

Lampiran 14. Nilai TS komposisi 3:5 ukuran 0.1-0.5 cm (2nd running) ... 61

Lampiran 15. Nilai TVS komposisi 3:5 ukuran 0.1-0.5 cm (1st running) ... 61

Lampiran 16. Nilai pH komposisi 3:5 ukuran 0.1-0.5 cm (2nd running) ... 62

Lampiran 17. Nilai COD komposisi 3:5 ukuran 0.1-0.5 cm (2nd running) ... 62

Lampiran 18. Nilai TS komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm (1st running) ... 63

Lampiran 19. Nilai pH komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm (1st running) ... 63

Lampiran 20. Nilai TVS komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm (1st running) ... 63

Lampiran 21. Nilai COD komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm (1st running) ... 64

Lampiran 22. Nilai TS komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm (2nd running) ... 64

Lampiran 23. Nilai TVS komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm (2nd running) ... 64

Lampiran 24. Nilai COD komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm (2nd running) ... 65

Lampiran 25. Nilai pH komposisi 3:5 ukuran 1.5-2 cm (2nd running) ... 65

Lampiran 26. Nilai TS komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm (1st running) ... 65

Lampiran 27. Nilai TVS komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm (1st running) ... 66

Lampiran 28. Nilai pH komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm (1st running) ... 66

Lampiran 29. Nilai COD komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm (1st running) ... 66

Lampiran 30. Nilai TS komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm (2nd running) ... 67

Lampiran 31. Nilai TVS komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm (2nd running) ... 67

Lampiran 32. Nilai COD komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm (2nd running) ... 67

Lampiran 33. Nilai pH komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm (2nd running) ... 68

Lampiran 34. Nilai TS komposisi 5:3 ukuran 0.1-0.5 cm (1st running) ... 68

Lampiran 35. Nilai TVS komposisi 5:3 ukuran 1.5-2 cm (1st running) ... 68

Lampiran 36. Nilai pH komposisi 5:3 ukuran 1.5-2 cm (1st running) ... 68

Lampiran 37. Nilai COD komposisi 5:3 ukuran 1.5-2cm (1st running) ... 69

Lampiran 38. Nilai TS komposisi 5:3 ukuran 1.5-2 cm (2nd running) ... 69

Lampiran 39. Nilai TVS komposisi 5:3 ukuran 1.5-2 cm (2nd running) ... 69

Lampiran 40. Nilai COD komposisi 5:3 ukuran 1.5-2 cm (2nd running) ... 70

(16)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Salah satu permasalahan yang kini menjadi fokus bersama yaitu lingkungan hidup dan kelangkaan energi. Perubahan iklim yang tidak menentu (global warming) menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Seperti disimpulkan oleh kelompok peneliti di bawah naungan Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim atau disebut International Panel on Climate Change (IPCC), emisi 6 gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global (global warming) yaitu karbondioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksa fluorida, HFC, dan PFC. Emisi gas tersebut disebabkan oleh tingginya ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil, hanya saja tidak diimbangi dengan ketersediaannya. Ketersediaan bahan bakar fosil yang

irrenewable menjadi faktor utama kelangkaan energi.

Konsekuensi yang harus diambil atas permasalahan tersebut yaitu mencari serta memanfaatkan bahan lain sebagai upaya penyeimbang kebutuhan dan ketersediaan sumber energi. Biogas menjadi jawaban sebagai altenatif pilihan sumber energi. Biogas tidak hanya menjawab permasalahan krisis energi tetapi juga menjawab permasalahan lingkungan hidup. Berdasarkan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) diketahui secara molekuler efek rumah kaca metana 20 kali lebih kuat daripada karbondioksida. Dengan pemakaian biogas sebagai bahan bakar berarti mengkonversi metana menjadi karbondioksida yang lebih rendah efeknya terhadap pemanasan global. Secara teoritis dampak pemanasan global berkurang sebesar 87 % dengan pembakaran gas metana. Selain gas metan yang dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber energi, produk samping berupa digestat (bahan padat) dan lindi (leachete) juga memberikan keuntungan sebagai pupuk alami.

Biogas itu sendiri merupakan fase gas dari peristiwa degradasi bahan organik secara biologi yang berlangsung anaerobik. Polprasert (1989) mengatakan bahwa gas terbesar yang dihasilkan teknologi biogas yaitu metan dengan nilai kalor sebesar 1,012 BTU/ft3 (9005 kcal/m3) pada suhu 15.5 °C dan tekanan 1 atm. Nilai kalor biogas rata-rata 500-700 BTU/ft3 (4450-6230 kcal/m3). Ketersediaan bahan serta kemudahan untuk mendapatkannya menjadi keunggulan biogas lainnya. Pada dasarnya, tiga komponen yamg diperlukan untuk dapat memproduksi biogas yaitu enclosed reaction tank (reaktor), naturally occurring bacteria (biakan starter), dan organic material/sludge (limbah). Sampah kota, limbah pertanian, dan limbah peternakan merupakan material yang umum digunakan untuk menghasilkan biogas.

Sekitar 70 % dari total volume sampah Indonesia merupakan sampah organik (Pramono 2003). Sampah dikenal sebagai suatu produk yang tidak lagi bernilai ekonomis sehingga penanganannya harus dilakukan dan dikelola secara terintegrasi. Dalam management pengelolaan limbah dikenal hirarki limbah yaitu reduce, reuse, recycle,

recovery, treatment, dan dispose (landfill). Tindakan landfill merupakan hirarki terakhir,

bahkan tidak diinginkan. Hanya saja penanganan sampah masih sebatas pada penanganan konvensional yaitu diletakkan di tempat terbuka hingga membusuk dengan sendirinya. Kondisi sampah demikian berpotensi mencemari lingkungan dalam bentuk gas, padat, maupun cair.

(17)

2 Revolusi industri pada kenyataannya berkontribusi pada permasalahan lingkungan. Limbah (buangan) industri yang tidak dikelola dengan baik, berpotensi mengurangi kemampuan lingkungan. Limbah industri berupa sludge merupakan lumpur aktif yang berasal dari lubang pengeluaran unit pengelolaan limbah pada suatu industri. Tidak banyak industri yang memanfaatkan limbahnya menjadi produk-produk potensial, melainkan diserahkan kepada pihak lain. Pada umumnya lumpur dimanfaatkan terbatas untuk mengurug lahan. Namun sejauh ini telah dilakukan penelitian untuk memanfaatkan lumpur industri sebagai bahan bangunan seperti batako. Alternatif lain terhadap pemanfaatan sludge dengan mengelolanya menjadi biogas mengingat limbah tersebut adalah limbah organik.

1.2 TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan sludge dan pengecilan ukuran bahan pada proses konversi sampah organik pasar menjadi biogas.

(18)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BIOGAS

Biogas didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik (seperti kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam, dan daun-daun hasil sortiran sayur) difermentasi atau mengalami proses metanisasi (Hambali et al. 2007). Menurut Wahyuni (2009) biogas merupakan campuran gas yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang terjadi pada material-material yang dapat terurai secara alami dalam kondisi anaerobik.

Menurut Widodo et al (2006), teknologi biogas di Indonesia telah berkembang sejak lama namun aplikasi penggunaannya sebagai sumber energi alternatif belum berkembang secara luas. Beberapa kendalanya yaitu kekurangan technical expertise, reaktor biogas tidak berfungsi akibat bocor atau kesalahan konstruksi, desain tidak user friendly, penanganan masih secara manual, dan biaya konstruksi yang mahal. Kendala tersebut dapat disikapi dengan cara merawat unit instalasi biogas, diantaranya:

1. Mengaduk campuran kotoran dan air yang terdapat pada digester setiap hari dengan menggunakan bambu panjang agar kerak yang terdapat pada permukaan campuran tidak menghambat produksi gas.

2.

Agar digester dapat terus menghasilkan gas secara optimal, maka secara periodik digester perlu dikuras/dibersihkan. Pembersihan digester dapat dilakukan setiap 5 atau 6 tahun sekali. Pembersihan digester dilakukan dengan terlebih dahulu membuang gas metan dalam digester. Setelah tutup bagian atas dibuka, digester dikuras, kemudian ditutup kembali dan kotoran dapat dimasukkan kembali (Anonim 2009).

2.2 KOMPOSISI BIOGAS

Teknologi biogas menghasilkan gas yang sebagian besar mengandung gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2) serta beberapa kandungan gas lain yang jumlahnya kecil

diantaranya hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3), hidrogen (H2), dan nitrogen (N2).

Pambudi (2008) menyebutkan bahwa energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana (CH4). Kandungan metana yang tinggi mempunyai energi (nilai kalor)

yang besar, sedangkan kandungan metana yang rendah mempunyai energi (nilai kalor) yang rendah. Pembentukan gas metan biasanya terjadi pada hari ke 10-14 sebesar 54 % dan karbondioksida (CO2) sebesar 27 %. Selanjutnya biogas dapat dimanfaatkan untuk

menyalakan kompor (Wahyuni 2009). Penjelasan mengenai komposisi biogas ditunjukkan oleh tabel berikut:

(19)

4 Tabel 1. Komposisi biogas

Sumber : Karellas et.al (2010)

Pemanfatan gas metan sebagai sumber energi berperan positif dalam upaya mengatasi masalah global (efek rumah kaca) yang berakibat pada perubahan iklim global. Kesetaraan energi dan pemanfaatannya yang dihasilkan oleh teknologi biogas dalam 1 m3 digambarkan oleh tabel berikut:

Tabel 2. Kesetaraan biogas dengan energi lain

Sumber energi Kapasitas

Elpiji 0.46 kg

Minyak tanah 0.62 liter Minyak solar 0.52 liter Bensin 0.80 liter Gas kota 1.50 m³ Kayu bakar 3.50 kg Sumber : Wahyuni (2009)

Tabel 3. Aplikasi energi biogas

Aplikasi 1m3 biogas setara dengan Penerangan 60-100 watt lampu bohlam selama 6 jam

Memasak dapat memasak 3 jenis masakan untuk keluarga (5-6 orang)

Pengganti bahan bakar tenaga

0.7 kg minyak tanah dapat menjalankan satu motor tenaga kuda selama 2 jam

Pembangkit tenaga listrik Dapat menghasilkan 1.25 kWh listrik Sumber: Kristoferson dan Bakalders 1991 dalam Hambali (2007)

Peningkatan kualitas biogas dapat dilakukan dengan beberapa parameter yaitu menghilangkan hidrogen sulfur, kandungan air, dan karbon dioksida. Hidrogen sulfur mengandung racun dan zat yang menyebabkan korosi. Apabila gas ini dibakar, maka akan membentuk senyawa baru bersama oksigen yaitu sulfur dioksida (SO2) atau sulfur trioksida

(SO3) dan pada saat yang sama akan membentuk sulfur acid (H2SO3) yaitu senyawa yang

lebih korosif. Konsentrasi hidrogen sulfur yang masih ditoleransi yaitu 5 ppm. Penghilangan karbondioksida bertujuan untuk meningkatkan kualitas biogas sehingga gas tersebut dapat

Komponen Jumlah Metana (CH4) 55-75%

Karbon dioksida (CO2) 25-45%

Karbon Monoksida (CO) 0-0,3% Nitrogen (N2) 1-5%

Hidrogen (H2) 0-3%

Hidrogen sulfida (H2S) 0,1-0,5%

(20)

5 juga digunakan untuk bahan bakar kendaraan, sedangkan kandungan air berpotensi pada menurunnya titik penyalaan biogas serta dapat menimbulkan korosif (Switenia, dkk 2008).

2.3 BAHAN BAKU BIOGAS

Pada umumnya semua bahan organik yang mudah membusuk seperti sampah organik yang memiliki rasio C/N sebesar 8-20, kotoran hewan, serta kotoran manusia dapat dijadikan biogas. Hanya saja biogas kotoran manusia terkendala pada aspek kepantasan (sosial). Kotoran unggas maupun hewan ternak dipilih karena ketersediaannya yang melimpah, memiliki keseimbangan nutrisi, mudah dicerna, dan relatif dapat diproses secara biologi.

Hardyanti (2007) menyebutkan bahwa biogas dengan zat penyusun yang berbeda (variasi bahan baku) akan menghasilkan nilai kalor yang berbeda pula, tergantung pada mutu substrat. Potensi biogas berbagai jenis bahan diperlihatkan oleh Tabel 4.

Tabel 4. Produksi biogas dan waktu tinggal dari berbagai bahan

Bahan Produksi Biogas (L/kg TS)

Kadar Metana (%)

Waktu Tinggal (hari)

Pisang (Buah dan daun) 940 53 15

Rumput 450-530 55-57 20

Jagung (batang secara keseluruhan) 350-500 50 20 Jerami (dicacah) 250-350 58 30 Tanaman rawa 380 56 20 Kotoran ayam 300-450 57-70 20 Kotoran sapi 190-220 68 20 Sampah (fraksi organik) 380 56 25 Sumber : Arati (2009), modifikasi. *)TS= total solids/ bahan kering

Bahan baku biogas yang berasal dari sampah buah-buahan dan sayur-sayuran menurut Alvarez dan Liden (2007) didominasi oleh kadar air yang tinggi. Penjelasan mengenai karakteristik dan komposisi kandungan dari sampah tersebut selengkapnya disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 5. Karakteristik sampah buah dan sayuran

Karakteristik Nilai Kadar Air (%) 87.30 Kadar Abu (%) 0.80 TS (%) 12.70 VS (%) 11.90 Phosphorus (% of TS) 0.20 Potasium (% of TS) 1.60 pH 4.9

2.4 FERMENTASI ANAEROBIK

Fermentasi anaerob berarti selama proses fermentasi tidak ada udara yang masuk di dalam reaktor. Analognya, proses ini meniru mekanisme proses yang terjadi pada perut

(21)

6 binatang yaitu proses pencernaan secara anaerobik. Produk akhir dari proses fermentasi ini adalah gas metana (CH4). Beberapa alasan yang dipakai untuk penggunaan proses anaerobik

dalam penanganan limbah antara lain tingginya laju reaksi dibandingkan dengan proses aerobik, kegunaan dari produk akhirnya, stabilisasi dari komponen organik dan memberikan karakteristik tertentu pada daya ikat air produk yang menyebabkan produk dapat dikeringkan dengan mudah (Jenie 1993). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Metcalf dan Eddy (2003) mengenai keuntungan dan kerugian fermentasi anaerob yaitu:

Tabel 6. Keuntungan dan kerugian fermentasi anaerobik

Keuntungan Kerugian

Energi yang dibutuhkan sedikit Membutuhkan waktu pembiakan yang lama Manfaat produk yang dihasilkan Membutuhkan penambahan senyawa alkalinity Nutrisi yang dibutuhkan sedikit Tidak mendegradasi senyawa nitrogen dan

fosfor Dapat menghasilkan senyawa metana

sebagai sumber energi potensial

Sangat sensitif terhadap efek perubahan temperature

Hanya membutuhkan reaktor dengan volume yang kecil

Menghasilkan senyawa yang beracun seperti H2S

2.5 BAKTERI METANOGEN

Jenie (1993) mengatakan bahwa saat ini telah dikenal berbagai jenis bakteri metana di alam. Namun pengetahuan mengenai mekanisme bakteri metana tersebut dalam proses metabolismenya masih belum terungkap secara rinci. Kesulitannya adalah melakukan pengisolasian dan mengidentifikasi karena karakteristik yang dimilikinya beragam. Bakateri metana yang telah berhasil diidentifikasi terdiri dari empat genus yaitu :

1. Methanobacterium, bakteri bentuk batang dan tidak berspora 2. Methanobacillus, bakteri bentuk batang dan berspora

3. Methanococcus, bakteri bentuk kokus atau kelompok koki yang membagi diri

4. Methanoosarcina, bakteri bentuk sarcina pada sudut 90° dan tumbuh dalam kotak yang terdiri dari 9 sel.

Bakteri metanogenik berkembang lambat dan sensitif terhadap perubahan mendadak pada kondisi-kondisi fisik dan kimiawi. Penurunan 2 oC secara mendadak pada

slurry mungkin secara signifikan berpengaruh pada pertumbuhannya dan laju produksi gas

(Langrange 1979). Tidak hanya itu, tingginya materi pereduksi seperti nitrit atau nitrat dapat menghambat pertumbuhan bakteri metanogen.

Yani dan Darwis (1990) menerangkan bahwa bakteri metanogen sangat restriktif terhadap alkohol dan asam organik, yang dijadikan sumber karbon. Oksidasi substrat secara tunggal oleh salah satu species bakteri seringkali tidak sempurna, Oleh karena itu produk degradasi parsial dapat dijadikan sumber substrat oleh species lainnya untuk pembentukan gas metana. Sejumlah species dan senyawa organik yang dapat berperan sebagai substrat serta produk (senyawa-senyawa) yang dihasilkan terdapat pada Tabel 7.

(22)

7 Tabel 7. Species bakteri metanogen

Bakteri Substrat Produk

Metanobacterium formicum CO2 CH4

M. mobilis Format CH4

M. propionicum H2O + CO2 CO2 + Asetat

M. sohngenii Propionat CH4

M. suboxydans Kaproat, Butirat CH4 + CO2

Metanococcus mazei Asetat, Butirat Asetat, Propionat

M. vanielii H20 + CO2, Format CH4 + CO2

Metanosarcina bakteri H2O + CO2, Metanol, Asetat CH4, CH4, CH4 + CO2

M. metanica Butirat CH4 + CO2

Sumber: Price dan Cheremisinoff (1981)

2.6 MEKANISME PEMBENTUKAN BIOGAS

Secara umum proses pembentukan biogas yaitu fermentasi bahan organik kompleks menjadi gas oleh mikroorganisme anaerob. Berdasarkan aliran bahan baku, reaktor biogas (biodigester) dibedakan menjadi:

1. Bak (batch) – Pada tipe ini, bahan baku reaktor ditempatkan di dalam wadah (ruang tertentu) dari awal hingga selesainya proses digesti. Umumnya digunakan pada tahap eksperimen untuk mengetahui potensi gas dari limbah organik.

2. Mengalir (continuous) – Untuk tipe ini, aliran bahan baku masuk dan residu keluar pada selang waktu tertentu. Lama bahan baku selama dalam reaktor disebut waktu retensi hidrolik (hydraulic retention time/HRT).

Bapat et al. (2006) di dalam Prasetio (2010) menambahkan satu jenis fermentasi yaitu feed

batch. Fermentasi feed batch merupakan proses fermentasi dengan penambahan nutrien pada

interval waktu tertentu dan tak ada media yang dipindahkan, berbeda dengan fermentasi kontinyu yang dilakukan penambahan feed secara terus-menerus serta produknya dipindahkan secara bersamaan.

Menurut Haq dan Soedjono (2009) penguraian bahan-bahan organik menjadi biogas dibagi menjadi 4 tahap yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis yang berlangsung terus secara berantai sampai pada suatu keadaan dimana tidak ada lagi bahan organik yang dapat dihidrolisa.

1. Hidrolisis

Grup mikroorganisme hydrolytic mengurai senyawa organik kompleks menjadi molekul-molekul sederhana dengan rantai pendek. Senyawa tersebut diantaranya adalah glukosa, asam amino, asam organik, etanol, karbon dioksida, dan hidrokarbon yang dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan energi bagi bakteri untuk melakukan fermentasi. Proses hidrolisis dikatalis oleh enzim yang dikeluarkan bakteri seperti selullase, protease, dan lipase.

Bakteri selulotik memecah atau memotong molekul selulosa yang merupakan molekul dengan berat yang tinggi menjadi selulobiose (glukosa-glukosa) dan menjadi glukosa bebas (free glucose). Glukosa kemudian difermentasi secara anaerob menghasilkan bermacam-macam produk fermentasi seperti asetat, propionat, butirat, H2,

dan CO2.

Protein dan lemak juga dapat mengalami proses fermentasi anaerob yang menghasilkan metana. Meskipun kandungan protein dan lemak lebih sedikit daripada

(23)

8 karbohidrat, tetapi metana yang dihasilkan dari fermentasi protein dan lemak dapat menambah jumlah metana yang digunakan untuk biogas. Semakin banyak kandungan bahan organik yang terdapat dalam slurry maka mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta semakin banyak bahan organik yang dapat diubah menjadi metana.

2. Asidogenesis

Tahap hidrolisis segera dilanjutkan oleh pembentukan asam pada proses asidogenesis. Pada proses ini bakteri acidogenesis mengubah hasil dari tahap hidrolisis menjadi bahan organik sederhana (kebanyakan dari rantai pendek, keton, dan alkohol). 3. Asetogenesis (Tahap Pembentukan Asam)

Pada tahap ini terjadi pembentukan senyawa asetat, CO2, dan hidrogen dari

molekul-molekul sederhana yang tersedia oleh bakteri aseton penghasil hidrogen. Bakteri pembentuk asam antara lain Pseudomonas, Escherichia, Flavobacterium, dan Alcaligenes yang mendegradasi bahan organik menjadi asam-asam lemak (Radar Tarakan online 2008). Asam lemak yang teruapkan dari hasil asidogenesis akan digunakan sebagai energi oleh beberapa bakteri obligat anaerobik. Tetapi bakteri-bakteri tersebut hanya mampu mendegradasi asam lemak menjadi asam asetat. Salah satunya adalah degradasi asam propionate oleh Synthophobacter wolinii (Weismann 1991).

4. Metanogenesis (Tahap Pembentukan Metan)

Tahapan metanogenesis merupakan tahapan konversi anaerobik terakhir dan paling menentukan, yaitu dilakukan penguraian dan sintesis produk tahap sebelumnya untuk menghasilkan gas methana (CH4). Hasil lain dari proses ini berupa karbon

dioksida, air, dan sejumlah kecil senyawa gas lainnya. Bakteri yang terlibat pada proses ini yaitu bakteri metanogenik dari sub divisi acetocalstic methane bacteria yang terdiri atas Methanobacterium, Methanosarcina, dan Methanococcus (Radar Tarakan online 2008). Pada proses di dalam reaktor, pertumbuhan bakteri ini bergantung pada temperatur, keasaman, serta jumlah material organik yang akan dicerna. Pada tahap awal pertumbuhannya, bakteri metanogenik bergantung pada ketersediaan nitrogen dalam bentuk ammonia dan jumlah substrat yang digunakan. Bakteri metanogenik mensintesis senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi, misalnya bakteri ini menggunakan hidrogen, CO2, dan asam asetat untuk membentuk

metana dan CO2 (Amaru 2004). Haq dan Soedjono (2009) menyebutkan bahwa bakteri

ini memiliki pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan bakteri yang ada pada tahap satu dan dua. Bakteri methanogen sangat tergantung pada bakteri lainnya yang terdapat pada tahap sebelumnya untuk menghasilkan nutrien dalam bentuk yang sesuai. Bakteri methanogen secara alami dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti: air bersih, endapan air laut, sapi, kambing, lumpur (sludge) kotoran anaerob ataupun TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

2.7 FAKTOR–FAKTOR YANG MEMENGARUHI TEKNOLOGI PROSES

BIOGAS

Menurut Wahyuni (2009), proses fermentasi mengacu pada berbagai reaksi dan interaksi yang terjadi diantara bakteri metanogen dan non-metanogen serta bahan yang diumpankan ke dalam digester sebagai input. Hal ini adalah phisiko-kimia yang kompleks dan proses biologis yang melibatkan berbagai faktor dan tahapan bentuk dan dinamakan

(24)

9 sebagai faktor abiotis. Faktor-faktor yang memengaruhi proses fermentasi bahan organik menjadi biogas meliputi:

1. Starter

Starter yang mengandung bakteri metana diperlukan untuk mempercepat proses fermentasi anaerob. Beberapa jenis starter antara lain:

 Starter alami, yaitu lumpur aktif sebagai lumpur kolam ikan, air comberan atau cairan septic tank, sludge, timbunan kotoran, dan timbunan sampah organik.

 Starter semi buatan, yaitu dari fasilitas biodigester dalam stadium aktif.

 Starter buatan, yaitu bakteri yang dibiakkan secara laboratoriun dengan media buatan.

2. Komposisi nutrien

Menurut Hartono (2009), parameter penting pada proses anaerobik adalah total bahan organik yang merupakan ukuran suatu material seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Seluruh substrat itu dapat dikonversi menjadi asam-asam teruapkan dan metan. Ketersediaan nutrisi yang cukup berpengaruh pada gas metan yang akan dihasilkan. 3. Ukuran Bahan

Laju produksi biogas dapat ditingkatkan melalui pemberian pretreatment substrat. Maksudnya yaitu menghancurkan struktur organik kompleks menjadi molekul sederhana sehingga mikroorganisme lebih mudah mendegradasi bahan tersebut. Bahan dengan ukuran lebih kecil akan lebih cepat terdekomposisi daripada bahan dengan ukuran yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan bahan dengan ukuran lebih kecil memiliki luas kontak permukaan yang lebih besar dibandingkan bahan berukuran besar (Sulaeman 2007). Mshandete et al. (2006) menguatkan bahwa degradasi dan potensi produksi biogas dari limbah berserat dapat secara signifikan meningkat dengan perlakuan awal yaitu memperkecil ukuran partikel.

4. Rasio C/N

Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen yang terdapat pada bahan organik dinyatakan dalam rasio karbon/nitrogen (C/N). Apabila rasio C/N sangat tinggi, nitrogen akan dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri metan sampai batas persyaratan protein dan tidak lama bereaksi ke arah kiri pada kandungan karbon pada bahan. Sebagai akibatnya produksi metan akan menjadi rendah, sebaliknya apabila rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan bebas dan akan terakumulasi dalam bentuk amonia (NH4) yang berdampak

pada meningkatnya pH pada digester (Wahyuni 2009).

Syarat ideal C/N untuk proses digesti sebesar 25–30. Oleh karena itu, untuk mendapatkan produksi biogas yang tinggi, maka penambangan bahan yang mengandung karbon (C) seperti jerami atau N (misalnya urea) perlu dilakukan untuk mencapai rasio C/N tersebut. Berikut tabel yang menunjukkan kadar N dan rasio C/N dari beberapa jenis bahan organik:

(25)

10 Tabel 8. Kandungan C dan N beberapa jenis bahan

Bahan organik Rasio C/N Kadar N (%) Kekeringan bahan (%) Kotoran ayam 15 6.3 25

Kotoran kuda 25 2.8 - Kotoran sapi, kerbau 18 1.7 18

Tinja manusia 6-10 5.5-6.5 11 Buangan BPH 2 7-10 - Sampah kota 54 1.05 - Jerami jelai 68 1.05 - Sayuran 12 3.6 - Rumput muda 12 4 - Sumber : Case (2011)

Dalam sistem biodigesti yang bekerja dengan baik, karbon adalah satu-satunya unsur yang hilang dalam jumlah besar. Nitrogen dan fosfor akan tersisa dalam jumlah yang sama tapi dalam konsentrasi yang lebih tinggi karena bahan lain sudah terdigesti (Bui dan Preston, 1999).

5. Temperatur

Hampir seluruh aktivitas biologi dipengaruhi oleh temperatur. Temperatur dapat menghambat atau mempercepat pertumbuhan mikroba, penguraian bahan organik, produksi gas, penggunaan substrat, dan banyak aktivitas biologi lainnya. Salah satu alasannya adalah karena berbagai aktivitas biologi melibatkan reaksi-reaksi berbantuan enzim, sedangkan enzim sangat sensitif terhadap perubahan temperatur (Hartono 2009).

Hartono (2009) menyatakan bahwa berdasarkan temperatur operasinya, proses anaerob secara garis besar diklasifikasikan menjadi tiga yaitu psycrofil, mesofil, dan termofil. Pada umumnya digester anaerob beroperasi pada temperatur mesofil yaitu 20-45°C. Kondisi ini dipilih karena mikroba-mikroba di alam lebih banyak yang bersifat mesofil daripada psychrofil dan termofil. Selain itu, sludge retention time (SRT) dalam digester mesofil (4-6 minggu) juga lebih pendek daripada dalam digester psychrofil (12 minggu) dengan suhu 5-25°C, sedangkan temperatur termofil yaitu 50-70°C. Laju degradasi bahan organik pada temperatur termofil lebih cepat daripada sistem psychrofil dan mesofil. Oleh karena itu SRT termofil juga sangat singkat, namun pengendalian temperatur termofil lebih sulit dan mahal daripada mesofil dan psycrhofil. Kondisi pengoperasian proses anaerobik tersebut diperlihatkan oleh Tabel 9.

Tabel 9. Kondisi pengoperasian proses anaerobik Parameter Nilai Suhu

Mesofilik 35 °C Termofilik 54 °C

pH 7-8

Waktu retensi 10-30 hari

Laju pembebanan 0.15-0.35 kg VS/m3/hari Hasil biogas 4.5-11 m3/kg VS Kandungan metana 60-70 % Sumber : Engler et al. (2000)

(26)

11 Dalam seluruh jenis temperatur anaerob, sangat penting untuk menjaga konsistensi temperatur di seluruh bagian tangki. Jika terjadi variasi temperatur, maka akan menghambat atau menonaktifkan bakteri anaerob tertentu termasuk bakteri metanogen yang memiliki rentang adaptasi temperatur sangat sempit.

7. Nilai pH

Perubahan pH akan membawa perubahan pada sistem biologis. Hal ini karena aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh pH. Pada umumnya mikroba anaerob beraktivitas pada pH optimum antara 6-7.5. Rentang pH ini dapat dikontrol oleh buffer alami berupa amonium (NH+4) dan bikarbonat (HCO-3). Ion amonium diperoleh dari deaminasi asam-asam amino dan material yang mengandung nitrogen dan amino lainnya seperti DNA, RNA, Adenosin Tri Phosphat (ATP), dan enzim. Ion bikarbonat diperoleh dari karbondiokasida yang diproduksi selama hidrolisis, pembentukan asam dan metanogenesis (Hartono 2009).

Wahyuni (2009) menyebutkan bahwa derajat keasaman (pH) di dalam digester merupakan fungsi waktu di dalam digester tersebut. Pada tahap awal proses fermentasi, asam organik dalam jumlah besar diproduksi oleh bakteri pembentuk asam, sehingga pH di dalam digester bisa mencapai di bawah 5. Kemudian proses pencernaan berlangsung dan nilai pH berangsur normal seiring dengan pembentukan NH4 hasil dari penguraian

nitrogen. 8. Kadar Air

Menurut Haq dan Soedjono (2009), dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tergantung kadar air. Kelembaban 36-99 % akan menaikkan produksi gas 67 %. Kenaikan tersebut dicatat pada rentang kelembaban 60-78 % dan cenderung sama pada kelembaban yang lebih tinggi. Sisa kelembaban dapat menghambat aktivitas methanogen. Menurut Harahap (1998), bahan umpan yang baik mempunyai kandungan padatan 7 %-9 %.

Rahman (2007) mengatakan bahwa mikroorganisme pembusuk akan tumbuh subur pada bahan yang memiliki kadar air sekitar 90%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan sangat mudah mengalami proses pembusukkan atau pendegradasian secara mikrobiologi.

9. Inhibitor

Menurut Wahyuni (2009), ion mineral, logam berat, dan detergen merupakan beberapa material racun yang memengaruhi pertumbuhan bakteri. Bakteri metanogen lebih sensitif terhadap racun daripada bakteri penghasil asam. Amonia (NH4) pada

konsentrasi 50-200 mg/l dapat merangsang pertumbuhan mikroba. Namun apabila konsentrasinya diatas 1500 mg/l akan mengakibatkan keracunan.

10. Pengadukan

Proses pengadukan ditujukan untuk mendapatkan campuran substrat dan bakteri fermentasi yang homogen dengan ukuran partikel yang kecil. Pengadukan selama proses dekomposisi untuk mencegah terjadinya benda-benda mengapung pada permukaan cairan. Di samping itu, pengadukan akan memberikan kondisi temperatur yang seragam untuk proses tersebut.

11. Waktu tinggal di dalam digester

Waktu tinggal di dalam digester adalah rata-rata periode waktu saat input masih berada dalam digester dan proses fermentasi oleh bakteri metanogen. Waktu tinggal juga

(27)

12 dipengaruhi oleh suhu. Suhu di atas 35 °C mengakibatkan produksi gas menjadi rendah (Wahyuni 2009). Anonim (2006) menyebutkan bahwa pada umumnya biogas masing-masing variasi mulai terbentuk pada hari pertama setelah pengisian dan terus meningkat secara signifikan hingga akhirnya mencapai kondisi statis. Pengetahuan mengenai waktu pencapaian kondisi statis berimplikasi pada pengetahuan waktu tinggalnya (HRT). Hal ini berguna untuk jadwal pengisian substrat jika akan diaplikasikan di lapangan.

2.8 SAMPAH ORGANIK

Menurut Murjito (2010), sampah merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena dalam penanganannya baik untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar.

Masalah yang seringkali muncul dalam penanganan sampah kota adalah masalah biaya operasional yang tinggi dan semakin sulitnya ruang pembuangan yang layak. Oleh karena itu kebanyakan kota-kota di Indonesia hanya mampu mengumpulkan dan membuang 60 % dari seluruh produksi sampahnya dengan cara yang tidak saniter, boros, bahkan mencemari. Efektivitas dan efisiensi penanganan sampah kota ini dapat ditingkatkan melalui pengelolaan yang harus cukup layak diterapkan sekaligus disertai upaya pemanfaatannya sehingga diharapkan mempunyai keuntungan berupa nilai tambah. Hal tersebut dapat dicapai dengan memilih cara dan teknologi yang tepat serta partisipasi aktif dari masyarakat sumber sampah berasal dan mungkin perlu dilakukan kerjasama antar lembaga pemerintah yang terkait.

Menurut Suprihatin (1999) di dalam Nisandi (2007), berdasarkan asalnya sampah padat dapat digolongkan menjadi dua yaitu sampah organik dan anorganik. Sampah organik merupakan sampah yang terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam, atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau yang lainnya. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar sampah organik, meliputi sampah dari sisa dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan daun.

Sampah anorganik yaitu sampah yang berasal dari sumber daya alam tak terbaharui seperti mineral dan minyak bumi atau dari proses industri. Beberapa bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan alumunium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diurakan dalam waktu yang lama. Sampah jenis ini di tingkat rumah tangga meliputi botol kaca, botol plastik, tas plastik, dan kaleng.

Penanganan dan pengelolaan sampah di perkotaan baru 11.25 % diangkut oleh petugas, 63.35 % ditimbun atau dibakar, 6.35 % dibuat kompos, dan 19.05 % dibuang ke sungai atau sembarang tempat. Penanganan sampah di pedesaan sekitar 19 % diangkut oleh petugas, 54 % ditimbun dan dibakar, 7 % dibuat kompos, dan 20 % dibuang ke sungai atau sembarang tempat (Hambali et al. 2007). Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup (2008), jika dilihat komposisinya, sampah di Indonesia didominasi oleh sampah organik sebesar 65 %, kertas 13 %, plastik 11 %, kayu 3 %, dan sisanya adalah tekstil, karet, logam, gelas dan keramik masing-masing sebesar 1 %.

Xin dan Guang-Qian (Emejuaiwe, 1981) telah membuktikan bahwa sampah organik yang sudah membusuk (kompos) memiliki kecepatan pembentukan biogas lebih

(28)

13 cepat dibanding sampah organik segar. Sampah padat mengandung senyawa-senyawa selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Di dalam kompos terdapat makronutrien (nitrogen dan fosfor) dan mikronutrien yang terdiri atas besi dan nikel (1-5 bpj) serta Se (sekitar 0.05 bpj). Mengingat hal itu, menjadi peluang besar untuk memanfaatkan sampah menjadi biogas sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil. Sampah sayur dan buah merupakan substrat yang baik untuk menghasilkan biogas seperti layaknya kotoran ternak. Kandungan gas metan yang besar dalam sampah organik berpotensi untuk dijadikan sumber energi serta pupuk organik yang berkualitas tinggi dari biomassnya.

Menurut Engler (2000), limbah sayuran mempunyai rasio C/N yang tinggi dibandingkan limbah kotoran ternak sehingga perlu ditambahkan sumber nitrogen. Limbah sayuran menghasilkan biogas delapan kali lebih banyak dibandingkan limbah kotoran ternak. Campuran limbah kotoran ternak dan limbah sayuran merupakan campuran yang ideal untuk menghasilkan biogas, dengan perbandingan jumlah limbah sayuran yang lebih banyak.

2.9 SLUDGE

Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomi. Namun berdasarkan nilai ekonomisnya, limbah dibedakan menjadi limbah yang mempunyai nilai ekonomis dan limbah yang tidak memiliki nilai ekonomis. Limbah yang memiliki nilai ekonomis yaitu limbah yang melalui suatu proses lanjut sehingga memberikan suatu nilai tambah, sedangkan limbah non-ekonomis adalah suatu limbah walaupun telah dilakukan proses lanjut dengan cara apapun tidak akan memberikan nilai tambah kecuali sekedar untuk mempermudah sistem pembuangan. Limbah yang mengandung bahan polutan yang memiliki sifat racun dan berbahaya dikenal dengan limbah B-3 yang dinyatakan sebagai bahan yang dalam jumlah relatif sedikit tetapi berpotensi untuk merusak lingkungan hidup dan sumber daya (Kristanto 2002).

Limbah padat industri pangan terutama terdiri dari bahan-bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, dan air merupakan bahan-bahan yang mudah terdegradasi secara biologis dalam sebuah bioreaktor baik secara aerob maupun anaerob serta menyebabkan pencemaran lingkungan, terutama menimbulkan bau busuk.

Limbah organik yang akan diterima pada umumnya berupa lumpur endapan dari proses pengolahan air limbah industri. Lumpur banyak mengandung zat pengurai sehingga sangat baik untuk memakan bahan organik yang masih baru (Kristanto, 2002). Menurut Fair

et al. (1967) sludge merupakan endapan padat yang secara alami berada di dalam air dan air

limbah, atau benda yang bukan endapan padat tetapi secara pengentalan kimia dan flokulasi biologi dapat mengendap dan dialirkan dari tangki pembuangan limbah. Sementara menurut Sugiharto (1987), lumpur (sludge) yang dihasilkan dari pengolahan limbah cair perlu dilakukan pengolahan secara khusus agar lumpur tersebut dapat dimanfaatkan kembali untuk keperluan kehidupan manusia.

Sistem pengolahan air limbah aerobik secara konvensional dengan menggunakan lumpur aktif merupakan pengolahan air limbah yang paling populer dilakukan baik pada instalasi pengolahan air limbah domestik atau pada industri. Namun proses pengolahan ini kurang begitu menguntungkan karena menghasilkan banyak lumpur aktif dan hingga saat ini belum ada penyelesaian secara terintegrasi. Biasanya lumpur dikeringkan dan selanjutnya dibuat sebagai tanah urukan atau dibakar. Sehingga pembuangan lumpur aktif dari tahun ke tahun semakin meningkat, padahal lahan yang dipergunakan untuk menampung buangan

(29)

14 lumpur aktif (landfill) sangat terbatas. Pengolahan lumpur aktif dengan pembakaran biasanya menggunakan alat incinerator yang membutuhkan biaya mahal (Park, et al. 2002). Disamping itu proses aerobik memerlukan lahan yang luas, capital cost tinggi (sistem mekanik atau aerasi dilakukan dengan sistem difusi), dan biaya operasional tinggi (kebutuhan nutrien dan kebutuhan energi selama aerasi adalah tinggi). Pengolahan limbah secara anaerobik dapat menghasilkan gas yang terdiri atas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2)

yang dikenal sebagai biogas.

Di samping limbah cair, industri juga menghasilkan limbah padat. Berdasarkan sifatnya, pengolahan limbah padat industri terbagi menjadi dua yaitu limbah padat dengan pengolahan dan limbah padat tanpa pengolahan. Limbah padat tanpa pengolahan dapat dibuang ke tempat tertentu yang difungsikan sebagai tempat pembuangan akhir karena limbah tersebut tidak mengandung unsur kimia yang beracun dan berbahaya. Berbeda dengan limbah padat yang mengandung senyawa kimia berbahaya dan beracun atau yang setidak-tidaknya menimbulkan reaksi baru, limbah semacam ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir. Selain itu, secara garis besar limbah padat dapat diklasifikasikan sebagai berikut: limbah padat yang mudah terbakar, limbah padat yang sukar terbakar, limbah padat yang mudah membusuk, debu, lumpur (sludge), dan limbah yang dapat di daur ulang (Kristanto 2002).

Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba tersuspensi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4, serta sel biomassa baru. Proses ini menggunakan udara yang

disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki penjernihan. Kemampuan bakteri dalam membentuk flok menentukan keberhasilan pengolahan limbah secara biologi, karena akan memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Semua air buangan yang biodegradable dapat diolah secara biologi. Pengolahan secara biologi (pengolahan sekunder) dipandang sebagai pengolahan yang paling murah dan efisien (Anonim 2011).

Lebih dari 300 jenis bakteri yang dapat ditemukan dalam lumpur aktif. Bakteri tersebut bertanggung jawab terhadap oksidasi material organik dan tranformasi nutrient. Bakteri juga menghasilkan polisakarida dan material polimer yang membantu flokulasi biomassa mikrobiologi. Genus yang umum dijumpai adalah Zooglea, Pseudomonas,

Flavobacterium, Alcaligenes, Bacillus, Achromobacter, Corynebacterium, Comomonas, Brevibacterium, dan Acinetobacter. Di samping itu ada pula mikroorganisme berfilamen

yaitu Sphaerotilus dan Beggiatoa, Vitreoscilla. Jumlah bakteri aktif aerobik menurun karena ukuran flok meningkat yang disebabkan oleh tingkat oksigen dalam difusi terbatas (Hanel, 1988). Bagian dalam flok yang relatif besar membuat kondisi berkembangnya bakteri anaerobik seperti metanogen. Kehadiran metanogen dapat dijelaskan dengan pembentukan beberapa kantong anaerobik didalam flok atau dengan metanogen tertentu terhadap oksigen (Wu et al., 1987). Oleh karena itu lumpur aktif cukup baik dan cocok untuk material bibit bagi pengoperasian awal reaktor anaerobik.

Sludge memiliki manfaat yang sama dengan pupuk kandang terutama dalam

memperbaiki struktur tanah dan memberikan kandungan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Sludge memiliki kelebihan lain yaitu setelah keluar dari digester biasanya sludge telah matang karena telah mengalami proses penguraian di dalam alat (Setiawan 1996).

(30)

15

2.10 PUPUK ORGANIK

Sampah organik dapat digunakan langsung pada tanah karena mengandung nutrient organik. Namun, nutrien tersebut tidak langsung memberikan hasil yang optimal pada tanah dalam bentuk inorganik seperti nitrat (NO3-) dan fosfat (PO3-) melainkan perlu aktivitas bakteri untuk memecah nutrient organik kompleks menjadi sederhana dan akhirnya menjadi nutrient inorganik (Polprasert, 1989). Fermentasi anaerobik tidak menghilangkan banyak nutrien dari sampah organik maupun peternakan tetapi menyediakan nutrien yang dibutuhkan. Menurut Kristanto (2002), bahan kimia yang terdapat di dalam limbah diuraikan secara biokimia, sehingga menghasilkan bahan organik baru yang lebih bermanfaat.

Menurut Murbandono (2002), pupuk merupakan bahan-bahan yang diperlukan tanah baik langsung maupun tidak langsung. Hasil pengomposan dapat digunakan untuk pupuk tanaman yang dikenal sebagai pupuk organik. Secara umum, pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan-bahan organik yang didegradasi secara organik. Pengomposan banyak dilakukan terhadap limbah yang mudah membusuk, limbah padat perkotaan, buangan industri, lumpur pabrik, dan sebagainya. Zuzuki et al. (2001) menyatakan bahwa sludge yang berasal dari biogas sangat baik untuk dijadikan pupuk karena mengandung berbagai mineral yang dibutuhkan oleh tumbuhan seperti fosfor (P), magnesium (Mg), kalsium (Ca), kalium (K), tembaga (Cu), dan seng (Zn).

Berdasarkan bentuknya pupuk organik dibedakan menjadi dua yaitu pupuk organik padat dan pupuk organik cair. Pupuk organik cair yang merupakan keluaran (effluent) dari instalasi biogas baik digunakan untuk tanaman darat maupun tanaman air (Capah, 2011). Pupuk organik yang baik memiliki beberapa ciri yaitu N harus berada dalam bentuk persenyawaan organik, tidak meninggalkan sisa asam organik di dalam tanah, dan mempunyai persenyawaan C yang tinggi (Sutejo, 1995). Syarat mutu pupuk organik padat dan cair yang direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian, Departemen Pertanian RI, diperlihatkan pada tabel berikut.

Tabel 10. Syarat mutu pupuk organik padat dan cair

No Parameter Satuan Kandungan Pupuk Organik Padat Cair

1 C-Organik % Min 15 ≥ 4.5

2 C/N ratio 12-25 -

3 Bahan ikutan (karikil, beling, plastik) % Maks 2 -

4 Kadar air % 20 ≤ x ≤ 35 - 5 Logam berat : Pb Cd Hg As ppm ppm ppm ppm ≤ 100 ≤ 20 ≤ 2 ≤ 20 ≤ 100 ≤ 20 ≤ 2 ≤ 20 6 pH ≥ 4 - ≤ 8 ≥ 4 - ≤ 8

7 Kadar total (N + P2O5 + K2O) % Dicantumkan Dicantumkan 8 Mikroba pathogen (E. coli, Salmonella) cell/ml Dicantumkan Dicantumkan 9 Unsur mikro (Zn, Cu, Mn, Co, Fe) ppm Dicantumkan Dicantumkan

(31)

16 Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk meningkatkan kandungan unsur hara, baik pada pupuk padat melalui ekskresi metabolisme cacing tanah, ataupun pada pupuk organik cair melalui penambahan kandungan nitrogen dengan penggunaan urin ternak. Polprassert (1980) menyebutkan bahwa di dalam sludge gas bio terdapat 50% nitrogen (N) berada dalam bentuk ammonia, dan unsur hara fosfor serta kalium tidak mengalami perubahan.

(32)

17

III. METODE PENELITIAN

3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor dan dimulai pada bulan April 2011 sampai Juni 2011.

3.2 ALAT DAN BAHAN

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampah organik padat yang diambil dari salah satu rumah makan dan pasar tradisional di lingkar kampus IPB Dramaga. Serta sludge (lumpur) yang diambil dari unit pengolahan limbah (effluent tank) PT. Sinar Meadow International Indonesia, Jakarta.

Bahan uji yang digunakan adalah H2SO4 0,02N, NaOH 6N, Asam Borat 2%,

CuSO4.5H2O, K2SO4, H2SO4 pekat, larutan amonium molibdat, larutan SnCl2, larutan

K2Cr2O7 0.0167 M, reagen H2SO4, larutan FAS 0.1 M, indikator ferroin, larutan buffer 4,

larutan buffer 7, dan aquades.

Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini meliputi reaktor biogas kapasitas 1.5 liter (botol AMDK), akuarium, selang akuarium, tali rafia, pemberat, dan thermostat (heater). Peralatan uji yang digunakan pH meter, gelas ukur, gelas piala, erlenmeyer, buret, pipet, alat destilasi, labu ukur, labu kjeldhal, oven, tanur, cawan, desikator, gegep, dan timbangan digital.

3.3 TAHAPAN PENELITIAN

Analisis awal dilakukan untuk mengetahui karakteristik bahan yang digunakan yaitu sludge dan sampah sayuran yang terdiri atas kadar air, kadar abu, dan rasio C/N yang ditujukan untuk menentukan variasi komposisi bahan. Setelah didapat formula bahan yang tepat, dilanjutkan dengan persiapan campuran kedua bahan tersebut. Sampah organik padat dengan komposisi daun pisang 7.5 %, kulit jagung 24.2 %, pare 14.8 %, kol 19.9 %, saosin 6.2 %, kangkung 8.0 %, sawi 8.0 %, dan wortel 11.5 % (W:W) dirajang dengan ukuran 0.1-0.5 cm (ukuran 1) dan 1.5-2 cm (ukuran 2). Gambar 1 menunjukkan komposisi sampah organik yang digunakan.

Gambar 1. Komposisi sampah organik Daun pisang 8% Kulit jagung 24% Pare 15% Kol 20% Sosin 6% Kangkung 8% Sawi 8% Wortel 11%

Komposisi (W:W)

(33)

18 Komposisi ini didasarkan pada penelitian Wildan (2011) mengenai “Konversi sampah organik pasar dengan sistem fermentasi media padat menjadi biogas dan pupuk organik” yang diketahui menghasilkan biogas paling besar dibandingkan bahan lainnya yaitu 4500 ml/kg biomassa.

Selanjutnya bahan dicampur dengan lumpur (activated sludge) hasil pengolahan limbah pada unit effluent tank industri minyak goreng dengan perbandingan 5:3 dan 3:5 berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anonim (2011) dengan basis limbah cair dan lumpur aktif sebanyak 15 liter : 9 liter menghasilkan penurunan COD terbesar yaitu 15.83 %. Campuran ditambahkan kotoran sapi segar sebanyak 200 g yang dimaksudkan untuk memperoleh rasio C/N yang sesuai. Campuran sampah organik, lumpur aktif, dan kotoran sapi bertujuan agar bakteri dapat tumbuh dan hidup sehingga dapat menguraikan senyawa organik yang nantinya menghasilkan metana. Banyaknya kotoran sapi yang ditambahkan didasarkan pada penelitian Hardyanti (2007).

Proses berlangsung secara anaerob pada botol 1,5 liter dan suhu operasi dibuat konstan yaitu 32 oC dengan menggunakan thermostat yang diletakkan di dalam akuarium. Botol dibuat terendam di dalam akuarium. Gas yang terbentuk dialirkan ke dalam gelas ukur yang diletakkan terbalik berisi air penuh, sehingga jumlah gas yang terbentuk adalah jumlah ruang udara yang terdapat di dalam gelas ukur tersebut. Setiap harinya dilakukan pengukuran gas yang terbentuk. Pengukuran produksi biogas harian dilakukan untuk mengetahui perlakuan komposisi sludge dan ukuran bahan yang dapat menghasilkan gas terbanyak atau optimum.

Setiap 3 hari sekali dilakukan pengukuran pH lindi dan bahan padat, COD (Chemical Oxygen Demand) lindi dan bahan padat, serta TS (Total Solids)-TVS (Total

Volatile Solids) untuk mengetahui tingkat degradasi bahan organik. Analisis kadar karbon,

nitrogen, dan fosfat dilakukan pada awal dan akhir proses. Proses akan berlangsung secara

batch selama 21 hari, mengacu pada penelitian Margono, dkk mengenai “Kinetika

Biodegradasi Anaerobik pada Slurry hasil pengomposan limbah cair tahu secara batch. Asumsi substrat yang digunakan dianggap substrat tunggal dan pertumbuhan biomassa yang teramati merupakan pertumbuhan neto (net growth) total untuk semua jenis bakteri. Rancangan bioreaktor akan diperlihatkan pada Gambar 2 dan diagram alir penelitian dijelaskan pada Gambar 3.

Gambar 2. Bioreaktor terendam

(34)

19 Gambar 3. Diagram alir penelitian

Sampah organik pasar

Bahan baku 600 g (wb)

Biogas

Fermentasi anaerobik pada suhu 32oC selama 21 hari Pengecilan ukuran : 0.1-0.5 cm dan 1.5-2 cm

Pengukuran jumlah biogas yang terbentuk setiap hari

Pengukuran TS-TVS, COD, pH bahan padat dan lindi setiap 3

hari sekali

Kompos dan pupuk cair

Pengukuran kadar karbon, nitrogen, dan fosfat (awal

Gambar

Tabel 4. Produksi biogas dan waktu tinggal dari berbagai bahan
Gambar 4. Produksi gas
Tabel 15. Kadar fosfat

Referensi

Dokumen terkait

Putusan Nomor 405/Pdt/2015/PT.Bdg, Halaman 15 dari 30 Bahwa dengan adanya ketentuan tersebut di atas, maka pengajuan gugatan yang diajukan Penggugat kepada peradilan umum in

Kekhawatiran Meningkatnya Jumlah Pengungsi dan Kejahatan Lintas Batas Negara (Transnasional). Jika kedua rezim pengungsi tersebut diratifikasi, pemerintah berkewajiban

 Menganalisis dan menarik kesimpulan dari data yang dikumpulkan terkait kerajaan-kerajaan maritim Indonesia pada masa Islam dalam sistem pemerintahan, sosial, ekonomi, dan

pengolahan dari data menjadi informasi sangat dibutuhkan untuk.. menghadapi persaingan

[r]

Pengertian umum Gardu Distribusi tenaga listrik yang paling dikenal adalah suatu bangunan gardu listrik berisi atau terdiri dari instalasi Perlengkapan Hubung Bagi Tegangan Menengah

Pengetahuan konsumen adalah semua informasi yang dimiliki oleh konsumen mengenai berbagai macam produk dan jasa serta pengetahuan lainnya yang terkait dengan

UPAYA MENGEMBANGKAN NILAI KERJASAMA DAN KELINCAHAN MELALUI PEMBELAJARAN PERMAINAN TRADISIONAL GALAHASIN. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |