• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN LITERATUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN LITERATUR"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2.1 Kerangka Teori

Lambatnya perkembangan pertumbuhan pangsa dana pihak ketiga atau pertumbuhan penjualan produk perbankan syariah merupakan masalah yang harus segera dicari jalan keluarnya karena pangsa pasar bank syariah (baik dari sisi aset, deposit, dan pembiayaan) merupakan refleksi penerimaan masyarakat terhadap sistem perbankan islam. Sehingga total asset bank syariah terhadap total asset perbankan nasional yang masih rendah mengindikasikan masih rendahnya keinginan sebagian besar masyarakat untuk menggunakan sistem perbankan syariah. Rendahnya pangsa pasar bank syariah dapat ditinjau dari segi penerapan kegiatan pemasaran yang diterapkan oleh bank syariah dan pengaruhnya terhadap ekuitas merek bank syariah.

Ekuitas merek memiliki peranan yang penting untuk dapat meningkatkan pangsa dana bank syariah. Pitta dan Katsanis dalam Yoo et.al (2000) menyatakan bahwa ekuitas merek dapat meningkatkan probabilitas pemilihan merek dan mengarahkan konsumen untuk loyal terhadap satu merek tertentu.

Yoo, Donthu dan Lee (2000) menyatakan bahwa ekuitas merek sangat dipengaruhi oleh dimensi-dimensi yang membentuknya. Sedangkan di sisi lain, dimensi-dimensi ekuitas merek tersebut juga sangat dipengaruhi oleh bauran pemasaran. Dalam penelitiannya, Yoo et.al., 2000 menjelaskan bahwa ekuitas merek sangat dipengaruhi oleh dimensi-dimensi yang membentuknya yaitu: (1) Perceived Quality / Persepsi kualitas, (2) Brand Loyalty / loyalitas merek dan (3) Brand Awareness / Kesadaran merek. Sementara disisi lain, dimensi-dimensi ekuitas merek sangat dipengaruhi oleh bauran pemasaran yang diterapkan oleh perusahaan pemilik merek tersebut. Dalam penelitiannya ini, Yoo et.al., 2000 menggunakan sebagian bauran pemasaran yang ditetapkan untuk menjadi objek dalam penelitian ini yaitu: (1) Price / harga, (2) Store Image / Citra toko (3) Distribution intensity / intensitas distribusi (4) Price Deal / Potongan Harga. (5)

15

(2)

Advertising / Iklan. Dengan kerangka teori ini Yoo et.al, 2000 meneliti mengenai pengaruh beberapa aktivitas bauran pemasaran terhadap ekuitas merek.

Ekuitas merek adalah nilai tambah (incremental utility) suatu produk yang diberikan melalui nama mereknya seperti misalnya Coke, Kodak, Levi’s dan Nike (Farquhar, Han, dan Ijiri, 1991 dalam Yoo et al., 2000). Para peneliti menduga bahwa ekuitas merek bisa diukur dengan mengurangi utilitas atribut fisik produk dari total utilitas suatu merek. Sebagai aset yang penting bagi perusahaan, ekuitas merek bisa meningkatkan cash flow bagi bisnis (Simon dan Sullivan dalam Yoo et.al, 2000). Dari sisi perilaku, ekuitas merek penting untuk memberikan diferensiasi yang mampu menciptakan keunggulan kompetitif berdasarkan persaingan non harga (Aaker dalam Yoo et.al., 2000).

Aaker dalam Keller (2007) telah membuat kerangka konseptual ekuitas merek sebagai berikut:

Gambar 2.1

Kerangka Konseptual Ekuitas Merek

Bauran Pemasaran Dimensi Ekuitas Merek Ekuitas Merek Nilai bagi perusahaan Nilai bagi konsumen

Kerangka konseptual ekuitas merek diatas menjelaskan bahwa (1) ekuitas merek menciptakan nilai untuk perusahaan dan konsumen (2) Nilai untuk konsumen akan menguatkan nilai perusahaan (3) Ekuitas merek terdiri dari beberapa dimensi.

Ekuitas merek yang kuat dapat memberikan keuntungan sebagai berikut: (1) meningkatkan keinginan konsumen untuk membayar harga premium (2) meningkatkan kemungkinan lisensi merek (3) meningkatkan efisiensi komunikasi pemasaran (4) meningkatkan keinginan toko untuk berkolaborasi dan menyediakan bantuan atau sarana pendukung (5) meningkatkan elastisitas konsumen atas potongan harga (6) meningkatkan inelastisitas konsumen atas kenaikan harga dan mengurangi kerapuhan perusahaan atas kegiatan pemasaran

16

(3)

pesaing (Barwise dalam Yoo et.al, 2000). Secara umum, dapat dikatakan bahwa ekuitas merek merepresentasikan sumber keuntungan kompetitif yang berkesinambungan (Pitta dan Katsanis dalam Yoo et.al., 2000).

Untuk dapat menciptakan ekuitas merek yang kuat, maka pemasar harus mampu mengintegrasikan bauran pemasaran yang diterapkannya. Menurut Kotler dan Keller (2006), setiap bauran pemasaran memiliki kekuatan yang berbeda-beda dan dapat dicapai dengan cara yang berbeda pula. Hal ini kemudian menjadi penting karena dengan mengetahui peran dari setiap bauran pemasaran maka kita dapat mengetahui pula langkah apa yang harus ditempuh untuk menciptakan ekuitas merek yang kuat.

2.1.1 Merek

Merek menurut American Marketing Associations (AMA) dalam Kotler (2000, hal 404) merupakan nama, istilah, tanda, simbol disain, ataupun kombinasinya yang mengidentifikasikan suatu produk/jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Identifikasi tersebut juga berfungsi untuk membedakannya dengan produk yang ditawarkan oleh perusahaan pesaing. Menurut Durianto (2004, hal 1) merek merupakan nilai tangible dan intangible yang terwakili dalam sebuah trademark (merek dagang) yang mampu menciptakan nilai dan pengaruh tersendiri di pasar bila diatur dengan tepat. Sedangkan Keller (2007, hal 3) menyatakan bahwa merek merupakan sebuah usaha untuk menciptakan awareness/kesadaran, reputation/reputasi,dan prominence/dikenal dalam pasar.

Merek yang kuat adalah asset bagi perusahaan. Pembahasan mengenai ekuitas merek menjadi hal yang penting bagi perusahan, karena ekuitas merek menggambarkan kekuatan sebuah merek dalam pasar (Keller, 2003). Ekuitas merek yang tinggi diyakini dapat meningkatkan pilihan merek dan perhatian pembelian (Walgren et.al. 1995).

Beberapa prinsip dasar merek dan ekuitas merek menurut sebagian besar pemasar dalam Keller (2007, hal 38) adalah:

1. Perbedaan timbul dari added value/nilai tambah yang melekat dari sebuah produk sebagai hasil dari kegiatan pemasaran yang telah dilakukan.

17

(4)

2. Nilai tambah ini dapat diciptakan untuk sebuah merek dengan berbagai cara.

3. Ekuitas merek dapat mengindikasikan strategi pemasaran dan menilai kekuatan sebuah merek.

4. Ada berbagai cara untuk memanifestasikan nilai sebuah merek sebagai keuntungan bagi perusahaan.

Hedlund (2003) merangkum beberapa definisi merek dari sudut pandang pelanggan yang antara lain Lagergren (1998) mendefinisikan merek dari sudut pandang pelanggan bahwa merek adalah jaminan dari kualitas. Kapferer (1997) juga mendefinisikan merek sebagai jaminan kualitas. Dolak (2001) mendefinisikan sebuah merek adalah identifiable entity yang membuat janji-janji yang spesifik dari nilai yang ditawarkan.

Konsep ekuitas merek sering digunakan untuk menggambarkan hubungan antara pelanggan dan merek. Ekuitas merek mempunyai tiga pengertian yang berbeda (Hedlund, 2003):

1. Brand Value; total nilai merek dilihat sebagai sebuah aset yang terpisah, ketika terjual atau dimasukkan dalam neraca keuangan.

2. Brand Strength; sebuah pengukuran dari kekuatan dari penambahan-penambahan oleh konsumen kepada merek, sinonim dengan brand loyalty. 3. Brand Description; penggambaran dari asosiasi dan keyakinan konsumen

terhadap merek, sama dengan brand image.

Hedlund (2003) menggambarkan hubungan antara tiga interpretasi tentang ekuitas merek ini sebagai rantai:

Gambar 2.2 Rantai Brand Equity

(Hedlund, 2003)

Brand Value Brand Strength

Brand Description

18

(5)

Rantai ini mulai dari brand description dimana disesuaikan untuk target pasar spesifik dengan menggunakan marketing mix. Performa dalam pasar ini menentukan brand strength, loyalty. Nilai dari sebuah merek ditentukan oleh loyalitas sejak jaminan future cash mengalir.

Aaker (1991, hal 15) menyatakan bahwa ekuitas merek merupakan seperangkat asset dan liability merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa baik pada perusahaan maupun pelanggan.

Dari pernyataan Aaker (1991, hal 15) diatas mengenai brand equity maka dapat diketahui bahwa (1) merek dapat menyebabkan efek positif maupun negatif (2) merek tidak sekedar sebuah nama, simbol atau bentuk-bentuk tangible saja, melainkan gabungan dengan bentuk-bentuk intangible lain seperti awareness, reputasi dan lain-lain yang dimiliki perusahaan untuk membedakan produk maupun perusahaannya dengan perusahaan lain.

Semua perusahaan di industri manapun mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat memiliki merek yang kuat. Perusahaan yang mampu menciptakan hubungan yang positif dengan konsumen dan memperhatikan keseimbangan antara penawaran kegunaan fungsional dan strategi emosi merek maka akan mempunyai nilai tambah untuk menciptakan hubungan yang erat dan menciptakan loyalitas pada pelanggan terhadap merek yang dimilikinya.

Merek biasanya tidak dibangun hanya dengan iklan. Merek yang sukses itu dibangun dari kualitas, pelayanan, inovasi dan diferensiasi (Hedlund, 2003). Meskipun merek tidak berdasarkan iklan, tetapi iklan tetap mempunyai peran penting dalam membangun merek. Hedlund (2003) menyatakan bahwa iklan memiliki dua fungsi dalam membangun merek yaitu: (1) iklan mempercepat proses komunikasi. Iklan mempercepat proses dari penciptaan awareness dan keinginan (interest). Sebuah merek bisa dibangun dengan menggunakan word-of-mouth, pengalaman pelanggan dan keberadaannya dipasar, tapi proses dari membangun merek tetap memakan waktu yang sangat lama, pada kasus tertentu. (2) iklan memposisikan brand values untuk menarik target pelanggan dan juga meningkatkan percaya diri pelanggan dalam proses pemilihan merek.

19

(6)

2.1.2 Dimensi Ekuitas Merek

Aaker dalam Keller (2007) menyatakan bahwa bahwa ekuitas merek adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa baik pada perusahaan maupun pada pelanggan. Agar aset dan liabilitas mendasari brand equity, maka asset dan liabilitas merek harus berhubungan dengan nama atau sebuah simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama dan simbol merek, beberapa atau semua asset dan liabilitas yang menjadi dasar brand equity akan berubah pula. Menurut Aaker dalam Keller (2007) brand equity memiliki 5 (lima) dimensi utama yaitu: perceived quality, brand loyalty, brand awareness, brand associations dan other proprietary brand assets.

Menurut Keller (12007) pemahaman pelanggan berdasar ekuitas merek menjadi critical view bagi pemasar. Keller (2007) mendefinisikan pelanggan berdasar ekuitas merek sebagai suatu pemahaman yang dimiliki konsumen terhadap suatu merek sebagai bentuk respon dari aktivitas pemasaran. Pelanggan berdasar ekuitas merek yang baik akan mempengaruhi tanggapan mereka secara positif terhadap suatu produk, harga atau komunikasi ketika merek tersebut diidentifikasi. Ekuitas merek menurut Keller (2007) dapat tercipta jika pelanggan memiliki brand knowledge yang kuat terhadap sebuah merek. Dimensi brand knowledge menurut Keller (2007) terdiri dari brand awareness dan brand image. Dibawah ini adalah gambar dimensi brand knowledge menurut Keller (2007).

20

(7)

Gambar 2.3

Dimensi Brand Knowledge (Keller, 2007)

Brand Recall Brand Recognition Non Product Related Product Related BRAND AWARENESS BRAND IMAGE Types of Brand Association Favorability of Brand Association Uniqueness of Brand Association Strength of Brand Associations Attributes Benefits Attitudes Functional Experential Symbolic BRAND Price KNOWLEDGE Packaging User Imagery Usage Imagery

Dalam kerangka diatas, Keller (2007) mengatakan bahwa brand knowledge merupakan kemampuan sebuah merek untuk muncul dalam benak konsumen ketika mereka sedang memikirkan kategori produk tertentu dan seberapa mudahnya nama tersebut dimunculkan. Dimensi pertama yang membentuk brand knowledge adalah brand awareness (kesadaran merek) yang merupakan dimensi dasar dalam ekuitas merek. Berdasarkan cara pandang konsumen, sebuah merek tidak memiliki ekuitas hingga konsumen menyadari keberadaan merek tersebut. Mencapai kesadaran akan merek adalah tantangan utama bagi merek baru. Mempertahankan tingkat kesadaran akan merek yang tinggi adalah tugas yang harus dihadapi oleh semua merek. Sedangkan dimensi pembentuk brand knowledge adalah brand recognition (kenal akan merek) dan brand recall (mengingat merek). Brand recognition mencerminkan tingkat kesadaran yang cenderung dangkal, sedangkan kemampuan untuk mengingat merek (brand recall) mencerminkan kesadaran yang lebih dalam. Konsumen dapat mengidentifikasi sebuah merek jika merek diberi daftar merek-merek atau diberi sedikit petunjuk

21

(8)

tentang merek tertentu. Namun, hanya sedikit konsumen yang dapat mengingat sebuah merek dari memori mereka tanpa bantuan suatu pengingat atau petunjuk. Melalui usaha komunikasi pemasaran yang efektif dan konsisten, beberapa merek menjadi sangat terkenal sehingga dapat diingat oleh setiap orang dengan tingkat kecerdasan standar.

Dimensi kedua dari brand knowledge menurut Keller (2007) adalah brand image (citra merek). Citra merek dapat dianggap sebagai jenis asosiasi yang muncul di benak konsumen ketika mengingat sebuah merek tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul dalam bentuk pemikiran atau citra tertentu yang dikaitkan kepada suatu merek, sama halnya ketika kita berpikir mengenai orang lain. Merek seringkali dihubungkan dengan pemikiran atau asosiasi tertentu dalam memori kita. Asosiasi ini dapat dikonseptualisasi berdasarkan (1) jenis / types (2) dukungan / favorability (3) kekuatan / strength dan (4) keunikan / uniqueness. Asosiasi yang dikonseptualisasi berdasarkan jenis dapat dibuat dengan berbagai atribut , manfaat / benefit dan memiliki evaluasi yang memuaskan secara keseluruhan atau sikap (attitude) yang mendukung merek ini.

Dari kedua peneliti ini, menurut Yoo, Donthu, dan Lee (2000), dapat disimpulkan bahwa ekuitas merek terdiri dari empat dimensi utama yaitu perceived quality, brand loyalty, brand awareness, dan brand associations.

2.1.2.1. Perceived Quality

Aaker (1991) mengatakan bahwa perceived quality adalah salah satu dimensi kunci untuk mengukur brand equity. Perceived quality menurut Aaker (1991, hal 85) adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau superioritas dari sebuah produk atau jasa dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang relevan. Perceived quality juga merupakan sebuah penilaian global berdasarkan pada persepsi pelanggan atas inti kualitas produk dan seberapa baiknya penilaian terhadap merek. Level satisfaction dari perceived quality akan sulit dicapai bila perusahaan terus melakukan perbaikan dan penambahan fitur-fitur baru pada produk secara terus menerus karena hal itu membuat ekspektasi pelanggan akan terus naik terhadap kualitas produk (Keller, 2007).

22

(9)

Menurut Aaker (2000), perceived quality merupakan tipe yang khusus dari asosiasi terhadap merek, sebagian karena hal itu mempengaruhi brand associations di berbagai keadaan, dan sebagian karena secara empiris mempengaruhi profitabilitas perusahaan yang dapat diukur oleh ROI dan stock return (Aaker, 2000). Sedangkan Zeithaml (1988) mendefinisikan perceived quality sebagai penilaian subjektif pelanggan tentang keseluruhan keunggulan atau superioritas produk. Zeithaml (1988) juga mengatakan bahwa perceived quality (1) berbeda dengan kualitas aktualnya (2) memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi daripada atribut spesifik sebuah produknya (3) dalam sebuah penilaian global ia dapat merefleksikan perilaku (4) penilaian biasanya dibuat berdasarkan satu set persepsi konsumen. Perceived quality yang tinggi mempunyai arti bahwa melalui pengalaman yang panjang dengan merek, pelanggan dapat mengenali perbedaan dan superioritas merek itu terhadap merek lain. Perceived quality yang tinggi akan mengarahkan seorang pelanggan untuk memilih sebuah merek daripada merek yang lain (Yoo, et al., 2000).

Perceived Quality memiliki peranan yang penting dalam membangun suatu merek. Dalam banyak konteks perceived quality sebuah merek dapat menjadi alasan yang penting dalam proses keputusan pembelian konsumen. Menurut Aaker (1991, hal 86) Secara umum, perceived quality dapat menghasilkan nilai-nilai sebagai berikut:

1. Alasan untuk membeli

Keterbatasan informasi, uang dan waktu membuat keputusan pembelian seorang pelanggan sangat dipengaruhi oleh perceived quality suatu merek yang ada di benak konsumen, sehingga seringkali alasan keputusan pembeliannya hanya didasarkan kepada perceived quality dari merek yang akan dibelinya.

2. Differensiasi atau posisi

Salah satu karakteristik yang penting dari merek produk adalah posisinya dalam dimensi perceived quality, apakah merek tersebut merupakan yang terbaik? Atau sama baiknya dengan merek lainnya? Apakah merek tersebut ekonomis? Super optimum? Atau optimum?

23

(10)

3. Harga premium

Salah satu keuntungan dari perceived quality adalah memberikan ruang pilihan dalam menentukan premium price (harga premium). Premium price dapat meningkatkan laba yang secara langsung dapat meningkatkan profitabilitas. Jika harga berperan sebagai pengarah kualitas maka premium price cenderung memperkuat perceived quality. Peningkatan laba dapat menjadi sumber daya dalam reinvestasi merek tersebut. Sumber daya ini dapat digunakan dalam berbagai upaya membangun merek seperti menguatkan dan meningkatkan kesadaran konsumen, menguatkan asosiasi, dan semua aktivitas departemen pengembang untuk meningkatkan kualitas produk yang mengarah ke penguatan perceived quality. Pada saat informasi yang obyektif tentang merek produk tidak tersedia, perceived quality menjadi sangat berguna dalam memenuhi pendapat konsumen. Kesan yang diciptakan adalah ”pelanggan memperoleh komoditi sesuai dengan apa yang dibayar”. Sebagai kompensasi dari premium price adalah keunggulan-keunggulan dari produk/merek. Nilai tambah ini akan menghasilkan basis pelanggan yang lebih besar dengan loyalitas merek yang lebih tinggi disamping banyak lagi program pemasaran yan efektif dan efisien. Pada akhirya, perceived quality dapat meningkatkan tingkat ROI (Return On Investment) sejalan dengan pengembangan dan perluasan merek yang inovatif yang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan pelanggannya.

4. Perluasan saluran distribusi

Perceived quality mempunyai arti penting bagi para pengecer, distributor, dan saluran distribusi lainnya. Para pengecer dan distributor akan termotivasi untuk menjadi penyalur produk/merek dengan perceived quality yang tinggi, yang berarti dapat semakin memperluas distribusi dari merek produk tersebut.

5. Perluasan merek

Suatu merek produk dengan perceived quality kuat dapat dieksploitasi ke arah perluasan merek. Merek dengan perceived quality kuat dapat digunakan untuk memperkenalkan kategori produk baru, yang beraneka

24

(11)

macam. Produk dengan merek yang perceived quality kuat akan memiliki kemungkinan sukses yang lebih besar dibandingkan dengan merek yang perceived quality-nya lemah, sehingga perluasan produk dari merek dengan perceived quality kuat memiliki kemungkinan untuk mendapatkan perolehan pangsa pasar yang lebih besar lagi. Dalam hal ini perceived quality merupakan jaminan yang signifikan atas perlusan-perluasan merek tersebut.

2.1.2.2. Brand Loyalty

Oliver dalam Yoo, et al. (2000) mendefinisikan brand loyalty sebagai sebuah komitmen yang secara kuat dipegang pelanggan untuk kembali membeli atau terus berlangganan sebuah barang atau jasa secara konsisten dimasa yang akan datang. Pelanggan yang setia menunjukkan respon yang lebih menyenangkan terhadap suatu merek dibandingkan dengan pelanggan yang tidak loyal. Pelanggan yang setia terhadap sebuah merek akan melakukan pembelian secara rutin dan menolak untuk mengganti atau menukar dengan merek yang lain (Yoo, et al., 2000).

Dampak dari brand loyalty pada biaya pemasaran bersifat substansial. Karena biaya pemasaran akan lebih kecil ketika biaya tersebut digunakan untuk menjaga dan mengelola pelanggan lama daripada harus mencari pelanggan baru. Loyalitas dari pelanggan lama dan yang sudah ada juga menggambarkan sebuah substantial entry barrier terhadap kompetitor karena biaya untuk membujuk pelanggan untuk merubah atau mengganti merek sangat mahal (Aaker, 1996).

Brand loyalty adalah inti dari setiap nilai yang dimiliki merek. Konsepnya adalah untuk memperkuat ukuran dan intensitas dari setiap segmen yang loyal. Sebuah merek yang mempunyai pelanggan yang kecil namun sangat setia dapat memiliki ekuitas yang signifikan (Aaker dan Joachimsthaler, 2000). Aaker dalam Hananto (2006) juga mengatakan bahwa brand loyalty adalah keterikatan seorang pelanggan terhadap sebuah merek. Brand loyalty juga merupakan inti dari brand equity yang dapat menjadi dasar untuk menetapkan harga premium dan memberikan waktu bagi perusahaan untuk merespon tindakan kompetitor atau pun menyelamatkan perusahan dari persaingan harga yang dilancarkan kompetitornya.

25

(12)

Menurut Aaker (1991, hal 40) ada lima level sikap pelanggan terhadap merek dari yang terendah sampai yang tertinggi:

1. Pelanggan akan mengganti merek, terutama untuk alasan harga. Maka pelanggan yang berada dalam level ini tidak memiliki kesetiaan merek.

2. Pelanggan puas, sehingga ia tidak memiliki alasan untuk berganti merek. 3. Pelanggan puas dan merasa rugi bila berganti merek.

4. Pelanggan menghargai merek dan menganggap merek tersebut sebagai teman. 5. Pelanggan terikat kepada merek itu.

Dalam hal ini, maka ekuitas merek akan sangat berkaitan dengan seberapa banyak pelanggan yang berada dalam level 3, 4 dan 5. Aaker (1991, hal 41) menyatakan bahwa pelanggan yang berada di level 4 (empat) adalah mereka yang benar-benar menyukai sebuah merek. Pilihan mereka atas merek tersebut didasarkan pada asosiasi-asosiasi yang terkandung dalam merek tersebut. Sedangkan pelanggan yang berada di level 5 (lima) adalah mereka yang sangat terikat dengan sebuah merek. Mereka ini lah pelanggan yang memiliki kebanggaan dalam mengkonsumsi sebuah merek. Merek yang mereka gunakan menjadi sesuatu yang sangat penting bagi mereka, baik karena fungsi yang terkandung dalam merek produk tersebut atau karena merek tersebut dapat menggambarkan diri mereka (pelanggan).

2.1.2.3. Brand Awareness

Brand awareness dengan asosiasi yang kuat membentuk citra merek yang spesifik. Aaker (1991, hal 61) mengatakan bahwa Brand Awareness adalah kemampuan pembeli potensial untuk mengenali atau mengingat sebuah merek yang menjadi bagian dari kategori produk tertentu. Brand Awareness dihubungkan pada kuatnya kesan yang tersimpan dalam memori yang direfleksikan pada kemampuan pelanggan untuk mengingat kembali atau mengenali kembali sebuah merek di dalam kondisi yang berbeda. Brand awareness dapat dikarakteristikkan menurut kedalaman dan keluasannya. Kedalaman dari brand awareness berhubungan dengan kemungkinan sebuah

26

(13)

merek dapat diingat atau dikenali kembali. Keluasan dari brand awareness berhubungan dengan keanekaragaman situasi pembelian dan konsumsi dimana ketika sebuah merek diingat (Keller, 2007). Menurut Keller (2007, hal 54) brand awareness terdiri dari brand recognition dan performa brand recall. Brand recognition adalah kemampuan pelanggan untuk mengidentifikasi secara benar tentang sebuah merek yang pernah didengar sebelumnya. Sedangkan Brand recall adalah kemampuan pelanggan untuk mengembalikan ingatannya ketika ia diberikan sejumlah ciri yang terkait dengan kategori produk, kebutuhan yang dipenuhi oleh kategori produk, atau situasi pembelian. Brand recognition mencerminkan tingkat kesadaran yang cenderung dangkal, sebaliknya brand recall mencerminkan kesadaran yang lebih dalam. Shimp (2003) menyatakan bahwa konsumen dapat mengidentifikasi sebuah merek jika mereka diberi daftar merek-merek atau diberi sedikit petunjuk tentang merek tertentu (brand recognition). Namun, hanya sedikit konsumen yang dapat mengingat sebuah merek dari memori mereka tanpa bantuan suatu pengingat atau petunjuk (brand recall).

Aaker (1991:56) membagi brand awareness dalam beberapa tingkat, mulai dari tingkat yang terendah hingga yang tertinggi yaitu:

1. Unware of brand (tidak menyadari merek)

Merupakan tingkat yang paling rendah, karena pada tingkat ini konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek.

2. Brand recognition (pengenalan merek)

Tingkat ini merupakan tingkat minimal dari brand awareness. Hal ini penting pada saat seorang pembeli memilih suatu merek pada saat melakukan pembelian.

3. Brand recall (pengingatan merek)

Pada tingkat ini, konsumen dapat mengingat kembali merek tanpa adanya bantuan (unaided recall).

4. Top of mind (puncak pikiran)

Tingkat ini adalah tingkat tertinggi dari brand awareness dan merupakan pimpinan dari berbagai merek yang ada dalam pikiran konsumen.

27

(14)

Aaker (1991, hal 63) mengatakan bahwa brand awareness dapat menciptakan nilai dengan 4 (empat) cara yaitu:

1. Anchor to which other association can be attached, artinya suatu merek dapat digambarkan seperti suatu jangkar dengan beberapa rantai. Dalam hal ini rantai menggambarkan asosiasi dari merek tersebut.

2. Familiarity – Liking, artinya dengan mengenal merek maka akan menimbulkan rasa terbiasa terutama untuk produk-produk yang bersifat low involvement (keterlibatan rendah) seperti pasta gigi, tissue, dan lain-lain. Suatu kebiasaan dapat menimbulkan keterkaitan kesukaan yang kadang-kadang dapat menjadi suatu penolong dalam membuat keputusan. 3. Signal of Substance/Commitment. Kesadaran akan nama dapat

menandakan keberadaan, komitmen, dan inti yang sangat penting bagi suatu perusahaan. Secara logika, suatu nama dikenal karena beberapa alasan, mungkin karena program iklan perusahaan yang ekstensif, jaringan distribusi yang luas, eksistensi yang sudah lama dalam industri dan lain-lain. Jika kualitas dua merek sama, brand awareness akan menjadi faktor yang menentukan dalam keputusan pembelian konsumen.

4. Brand to be considered. Langkah pertama dalam suatu proses pembelian adalah menyeleksi dari suatu kelompok merek-merek yang dikenal untuk dipertimbangkan merek mana yang akan diputuskan dibeli. Merek yang memiliki top of mind yang tinggi mempunyai nilai yang tinggi. Jika suatu merek tidak tersimpan dalam ingatan, merek tersebut tidak akan dipertimbangkan di benak konsumen. Biasanya merek-merek yang disimpan dalam ingatan konsumen adalah merek yang disukai atau merek yang dibenci.

Yoo, et al. (2000) menunjukkan bahwa brand associations adalah akibat dari brand awareness dimana merek yang telah diketahui oleh pelanggan akan diasosiasikan sesuai dengan apa yang dicitrakan pelanggan terhadap merek. Oleh karena itu, brand awareness dan brand associations dapat disatukan dalam satu dimensi pengukuran.

Brand Associations dimana merupakan akibat dari brand awareness secara positif berhubungan dengan ekuitas merek karena mereka dapat menjadi isyarat

28

(15)

dari kualitas dan komitmen dan membantu pelanggan untuk menentukan pilihan mereka dimana dipastikan melalui perilaku yang menyenangkan terhadap merek (Yoo, et al., 2000).

Aaker (1991, hal 109) mendefinisikan brand associations sebagai segala sesuatu yang dihubungkan dengan memori terhadap sebuah merek dan citra merek, biasanya dalam bentuk-bentuk yang mempunyai arti. Brand associations selain sangat rumit dan saling berhubungan juga terdiri atas beberapa ide, episode, contoh, dan fakta yang membentuk sebuah jejaring dari brand knowledge. Asosiasi-asosiasi itu akan semakin kuat ketika pengalaman pelanggan bertambah pula (Aaker, 1991). Asosiasi menurut Aaker (1991, hal 110) dapat memberikan nilai bagi merek, dipandang dari sisi perusahaan maupun dari sisi pengguna. Fungsi asosiasi tersebut adalah:

1. Help process/retrieve information (membantu proses penyusunan informasi)

2. Differentiate (membedakan) ; suatu asosiasi dapat memberikan landasan yang penting bagi upaya pembedaan suatu merek dari merek lain.

3. Reason to buy (alasan pembelian) ; brand association membangkitkan berbagai atribut produk atau manfaat bagi konsumen (customer benefits) yang dapat memberikan alasan spesifik bagi konsumen untuk membeli dan menggunakan merek tersebut.

4. Create positive attitude/feelings (menciptakan sikap atau perasaan positif) ; beberapa asosiasi mampu merangsang suatu perasaan positif yang pada gilirannya merembet ke merek yang bersangkutan. Asosiasi-asosiasi tersebut dapat menciptakan perasaan positif atas dasar pengalaman mereka sebelumnya serta pengubahan pengalaman tersebut menjadi sesuatu yang lain daripada yang lain.

5. Basis for extensions (landasan untuk perluasan) ; suatu asosiasi dapat menghasilkan landasan bagi suatu perluasan dengan menciptakan rasa kesesuaian (sense of fit) antara merek dan sebuah produk baru, atau denga menghadirkan alasan untuk membeli produk perluasan tersebut.

Sedangkan Shimp (2003) mengatakan bahwa ekuitas merek baru dapat dikatakan meningkat apabila konsumen sudah familiar dengan merek tersebut dan

29

(16)

memiliki asosiasi yang disukai (favorable), kuat (strong), dan unik (unique) tentang merek tersebut dalam benak mereka.

2.1.3 Bauran Pemasaran

Menurut Yoo, et al. (2000), ekuitas dari sebuah merek dapat diciptakan, dikelola dan diperluas dengan memperkuat dimensi-dimensi sebuah ekuitas merek. Bauran pemasaran, yang merupakan anteseden (pra kondisi) dari dimensi ekuitas merek, mempunyai potensi untuk mempengaruhi ekuitas sebuah merek karena hal itu merepresentasikan pengaruh dari akumulasi investasi pemasaran terhadap merek.

Dikenalnya nama merek dengan asosiasi yang kuat terhadapnya, kualitas yang didapatkan dari produk, dan kesetiaan terhadap merek bisa dibangun melalui investasi jangka panjang yang teliti dan berhati-hati. Kemudian ekuitas merek harus dikelola terus menerus dengan memelihara konsistensi merek, melindungi sumber-sumber ekuitas merek, membuat keputusan yang jelas dan pantas antara bertahan dan mengembangkan merek, dan menyesuaikan dengan program pemasaran pendukung (Keller, 2003).

Ketika membuat keputusan tentang bauran pemasaran, manajer harus mempertimbangkan potensi yang dimiliki yang akan berdampak terhadap ekuitas merek (Yoo, et al., 2000).

Pada penelitian ini, bauran pemasaran yang diteliti merupakan bagian dari bauran pemasaran tradisional ”4P”, antara lain harga, citra toko distribusi, iklan, dan promosi harga.

2.1.3.1 Price

Konsumen menggunakan harga sebagai sebuah indikator dari kualitas produk atau manfaat produk. Merek dengan harga yang tinggi seringkali dipersepsikan sebagai produk yang berkualitas tinggi dan kuat berkompetisi dalam persaingan harga. Rao dan Monroe dalam Yoo et. Al (2000) menemukan hubungan yang positif antara harga dengan perceived quality. Dengan meningkatnya perceived quality, maka berarti harga memiliki hubungan positif terhadap brand equity.

30

(17)

Pemasar memahami bahwa konsumen sering secara aktif memroses informasi harga, menginterpretasikan harga berdasarkan dari pengalaman pembelian sebelumnya. Konsumen sering membandingkan harga sebuah produk berdasarkan internal reference price (informasi harga dari pengalaman pribadi) atau sebuah external reference price contohnya yang harga digunakan oleh ritel (reguler retail price) (Kotler dan Keller, 2006). Harga merupakan suatu pengorbanan untuk mendapatkan manfaat yang terdapat dalam atribut sebuah produk (Lilien and Kotler, 1983). Dodds, et.al dalam Yoo et.al, (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa harga dapat dijadikan indikator jumlah pengorbanan yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan sebuah produk sekaligus juga menjadi salah satu indikator tingkat kualitas sebuah produk. Semakin tinggi harga sebuah produk maka semakin tinggi pula persepsi kualitas yang dimiliki oleh produk tersebut sehingga konsekuensi yang didapat dari kondisi ini adalah semakin tinggi pula keinginan yang terbentuk dalam pola pikir konsumen untuk membeli produk tersebut. Scitovszky dalam Dodds, et.al (1991) menyatakan bahwa menggunakan harga sebagai indikator kualitas produk adalah tindakan yang tidak rasional. Yang mungkin terjadi menurut Scitovszky adalah bahwa harga dapat merefleksikan sebuah keyakinan tentang harga di pasar yang ditentukan oleh permainan kekuatan penawaran dan permintaan. Selanjutnya, kekuatan tersebut akan menyebabkan kompetisi produk berdasarkan harga dan membentuk hubungan yang positif antara harga dan kualitas produk. Monroe dan Krishnan (1985) telah membuat kerangka konseptual mengenai hubungan antara harga yang tinggi, persepsi kualitas, dan keinginan yang tinggi untuk membeli sebuah produk.

31

(18)

Gambar 2.4

Hubungan konseptual dari Efek Harga (Monroe dan Krishnan, 1985)

Objective Price Perception of Price Perceived Quality Perceived Sacrifice Perceived Value + + + Willingness to buy -+

Dalam model di atas, Monroe et al., (1985) mengatakan bahwa harga aktual adalah objek karakteristik eksternal dari sebuah produk yang dipersepsikan oleh konsumen sebagai sebuah stimulus. Oleh karena itu, harga memiliki dua fungsi yaitu sebagai eksternal objek dan representasi subjektif internal yang dikendalikan oleh persepsi harga dan kemudian mencerminkan nilai tertentu bagi konsumen. Harga yang tinggi akan menciptakan perceived quality yang tinggi dan akhirnya adalah menciptakan keinginan untuk membeli yang besar. Dalam waktu yang sam

n pelanggannya. Konsumen mempersepsikan citra baik a, harga yang tinggi juga menggambarkan ukuran keuangan yang harus dikorbankan / dikeluarkan untuk dapat memperoleh suatu barang dan akhirnya dapat mengurangi keinginan untuk membeli. Pertukaran / tradeoff antara perceived quality dengan perceived sacrifice akan menghasilkan perception of value yang kemudian menjadi dasar bagi konsumen untuk membeli atau tidak membeli suatu barang.

2.1.3.2 Store Image

Di dalam saluran distribusi, perusahaan ritel berhadapan langsung dengan pelanggan dari sebuah merek. Maka dari itu, memilih dan mengelola perusahaan ritel yang sesuai dengan keinginan pelanggan merupakan tugas utama pemasaran untuk dapat memuaska

32

(19)

dari sebuah toko ketika konsep diri mereka sama dengan citra toko (Yoo et al., 000).

kan kepuasan yang lebih tinggi serta menstimulasi komunikasi word-of-mo

antuan dari ritel, perusahaan cenderung me istribusikan produknya secara eksklusif dan selektif dibandingkan secara

rris dalam Yoo et al., (2000) menyatakan bahwa onsumen akan lebih puas jika ia dapat memperoleh produk yang diinginkannya

awareness dan menciptakan brand associations yang kuat. Iklan yang berulang dapat meningkatkan 2

Dodds dalam Yoo et al.(2000) menemukan hubungan yang positif antara citra toko dengan persepsi kualitas. Distribusi produk lewat toko yang memiliki image baik akan menjadi tanda bahwa sebuah merek memiliki kualitas yang bagus pula (Dodds dalam Yoo et al., 2000). Toko yang memiliki citra yang baik lebih menarik perhatian dan lebih sering dikunjungi oleh pelanggan potensial dan memberi

uth yang aktif di antara pelanggan (Rao dan Monroe dalam Yoo et.al, 2000) Oleh karena itu Yoo et al., (2000) menyimpulkan bahwa mendistribusikan sebuah merek lewat outlet yang memiliki image baik akan menciptakan brand association yang lebih positif dibandingkan dengan mendistribusikan merek lewat outlet yang memiliki image buruk.

2.1.3.3 Distribution Intensity

Distribusi sebuah produk/jasa akan intensif ketika produk/jasa itu ditempatkan di banyak toko untuk memenuhi kebutuhan pasar. Untuk mengangkat citra produk/jasa dan memperoleh b

nd

intensif (Yoo et,al, 2000). Fe k

dengan mudah di banyak tempat. Distribusi yang intensif dapat mengurangi waktu pelanggan dalam mencari produk/jasa sehingga pelanggan memiliki rasa nyaman dalam mengkonsumsi sebuah produk/jasa.

2.1.3.4 Advertising

Advertising adalah bentuk apapun yang disponsori oleh nonpersonal berupa presentasi dan promosi dari ide, barang, atau jasa (Kotler dan Keller, 2006). Iklan memiliki peranan penting dalam meningkatkan brand

33

(20)

probabilitas terpilihnya sebuah merek. Hal ini terjadi karena iklan dapat enyederhanakan pilihan konsumen dan menjadikannya terbiasa untuk memilih

nya untuk menstimulasi penggunaannya. Jika kelas produk adalah baru, per

ositif. Iklan merupakan suatu bentuk komunikasi yang

intaan terhadap merek-merek yang telah

2.

permintaan bagi keseluruhan kategori produk. Namun iklan lebih sering m

sebuah merek (Hauser dan Wernerfeldt dalam Yoo et.al, 2000). Shimp dalam Yoo et.al (2000) juga menyatakan bahwa iklan memiliki hubungan yang positif terhadap brand loyalty karena iklan dapat membangun brand association yang kuat.

Tujuan periklanan merupakan tugas komunikasi yang spesifik dengan tingkatan pencapaian yang akan diselesaikan untuk konsumen yang spesifik pada waktu tertentu. Tujuan periklanan harus timbul dari sebuah analisis yang cermat dari situasi pasar saat ini. Jika kelas produk telah matang, perusahaan merupakan pemimpin pasar, tapi penggunaan merek rendah, maka iklan yang digunakan sebaik

usahaan bukan pemimpin pasar, tetapi mereknya merupakan superior, maka iklan sebaiknya meyakinkan pasar bahwa mereknya merupakan merek superior (Kotler et al., 2006).

Shimp (2000) menyatakan bahwa iklan memiliki fungsi komunikasi yang penting bagi perusahaan atau organisasi lainnya. Fungsi iklan tersebut adalah:

1. Informing (memberi informasi)

Iklan membuat konsumen sadar akan merek, mendidik merek tentang berbagai fitur dan manfaat merek, serta memfasilitasi penciptaan citra merek yang p

efektif karena dapat menjangkau khalayak luas dengan biaya per kontak yang relatif rendah. Iklan juga memfasilitasi pengenalan merek-merek baru, meningkatkan jumlah perm

ada, dan meningkatkan top of mind awareness (puncak kesadaran dalam benak konsumen) untuk merek-merek yang sudah ada dalam kategori produk matang. Persuading (mempersuasi)

Persuading (membujuk)

Iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan. Terkadang persuasi iklan dapat mempengaruhi permintaan primer – yakni menciptakan

34

(21)

digunakan untuk membangun permintaan sekunder – yakni permintaan bagi merek yang spesifik.

3. Reminding (mengingatkan)

membeli suatu merek yang tersedia. ilai tambah)

ng lebih bisa lebih unggul dari tawaran 5.

perwakilan penjualan. Iklan mengawali proses penjualan n dan memberikan pendahuluan yang bernilai Iklan menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen. Iklan yang efekti juga meningkatkan minat konsumen terhadap merek yang sudah ada dan pembelian sebuah merek yang mungkin tidak akan dipilihnya. Periklanan lebih jauh dilakukan untuk mempengaruhi brand switching (pengalihan merek) dengan mengingatkan para konsumen yang belum

4. Adding value (memberikan n

Ada tiga cara mendasar dimana perusahaan bisa memberi nilai tambah bagi penawaran-penawaran produk mereka yaitu lewat inovasi, penyempurnaan kualitas atau mengubah persepsi konsumen. Ketiga komponen nilai tambah tersebut benar-benar independen. Iklan dapat memberi nilai tambah pada merek dengan mempengaruhi persepsi konsumen. Iklan yang efektif menyebabkan merek dipanda

elegan, lebih bergaya, lebih bergengsi, dn pesaing.

Assisting (mendampingi)

Iklan hanyalah salah satu alat dalam bauran pemasaran. Ada satu saat dimana iklan dapat mencetak skor keberhasilan sebuah merek melalui dirinya sendiri. Namun, ada saat-saat lainnya peran utama iklan hanya sebagai pendamping yang memfasilitasi upaya-upaya lain dari perusahaan dalam proses komunikasi pemasaran. Peran penting lain dari iklan adalah membantu

produk-produk perusahaa

bagi wiraniaga sebelum melakukan kontak personal dengan para pelanggan yang prospektif. Upaya, waktu dan biaya periklanan dapat dihemat karena lebih sedikit waktu yang diperlukan untuk memberi informasi kepada prospek tentang keistimewaan dan keuntungan produk. Iklan juga melegitimasi atau membuat apa yang dinyatakan oleh perwakilan penjualan menjadi lebih kredibel (lebih dapat dipercaya).

35

(22)

2.1.3.5 Pemasa produk penjual yang t cenderu yang mempunyai nilai.

Promosi pemasaran, dalam hal ini promosi harga, terdiri dari sekumpulan alat

ukan promosi harga, nilai yang telah dip

Price Deal

r menggunakan berbagai cara untuk meningkatkan ketertarikan dari yang ditawarkan dan meningkatkan penjualan seperti melakukan promosi

an. Simonson, Carmon dan O’Curry (1994) menyatakan bahwa konsumen idak pasti tentang pilihan mereka antara alternatif pilihan yang ada

ng untuk menghindari produk yang menawarkan promosi dipersepsikan tidak

insentif, sebagian besar jangka pendek, didesain untuk menstimulasi dengan pembelian yang lebih cepat atau lebih besar terhadap produk atau jasa oleh konsumen (Kotler, et al., 2006). Telah diketahui bahwa harga merupakan salah satu indikator kualitas dari sebuah produk. Namun, indikator harga ini tergantung dari ketersediaan variabel-variabel lainnya (Erickson dan Johansson, 1985). ketika sebuah merek terlalu sering melak

ersepsikan konsumen sebelumnya akan mengalami penurunan dan akan membeli kembali hanya ketika merek itu melakukan promosi harga. Kompetisi harga sering digunakan oleh merek yang kurang terkenal untuk memperluas pangsa pasar tapi itu kurang efektif dilakukan oleh pemimpin pasar untuk memperluas pasar. Promosi harga tidak dapat dijadikan sarana yang baik untuk membangun ekuitas merek karena cara ini dipercaya mudah untuk ditiru dan dapat disaingi oleh perusahaan kompetitor (Shimp, 2000). Gupta dalam Yoo et.al (2000) menyatakan bahwa promosi harga diyakini hanya mampu meningkatkan penjualan dalam jangka pendek saja dengan adanya perilaku brand switching yang dilakukan oleh konsumen untuk sementara waktu.

2.2 Penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian sebelumnya yang terkait dengan masalah hubungan bauran pemasaran dengan ekuitas merek adalah sebagai berikut:

1. Boonghee Yoo, Naveen Donthu, Sungho Lee (2000)

36

(23)

Dalam penelitiannya yang berjudul “An Examination of Selected Marketing d Equity” Yoo et.al melakukan penelitian yang berfokus pada masalah pengaruh bauran pemasaran terhadap ekuitas merek.

ty, advertising spending nsi-dimensi pembentuk

dan televisi berwarna. Dalam penelitiannya

t pembangunan dimensi-dimensi ekuitas merek yaitu brand

2.

alam penelitian ini, Kim et.al., melakukan investigasi atas 4 ari brand equity namely, brand Mix Elements and Bran

Menurut Yoo et.al, bauran pemasaran (dalam hal ini bauran pemasaran yang diteliti adalah price, store image, distribution intensi

dan price deal) memiliki hubungan dengan dime

ekuitas merek yang terdiri dari perceived quality, brand loyalty, dan brand awareness/brand association. Dengan adanya hubungan ini, maka Yoo et.al,menyatakan bahwa secara tidak langsung bauran pemasaran dapat mempengaruhi ekuitas merek.

Penelitian empiris yang dilakukan oleh Yoo et.al., ini menggunakan teknik analisis Structural Equation Model (SEM) dengan program LISREL, sedangkan untuk menguji reabilitas pengukuran digunakan metode Alpha Cronbach.

Penelitian Yoo et.al, dilakukan terhadap 3 (tiga) jenis kategori produk yaitu sepatu olah raga, kamera film

Yoo et.al., menyimpulkan bahwa bauran pemasaran (dalam hal ini adalah price, store image, distribution intensity, advertising spending dan price deal) dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan ekuitas merek sebuah produk lewa

loyalty, perceived quality dan brand awareness/associations yang berpengaruh positif terhadap penguatan brand equity. Namun, menurut Yoo et.al, price deal sebaiknya diterapkan dengan bijaksana, karena penerapan price deal yang berlebihan dapat menurunkan atau merusak ekuitas merek sebuah produk.

Woo Gon Kim dan Hong Bumm Kim (2004)

Permasalahan penelitian yang dilakukan oleh Kim et.al., adalah masalah hubungan ekuitas merek dengan kinerja perusahaan . Dalam penelitiannya yang berjudul “Measuring Customer-based Restaurant Brand Equity”, Woo et.al menjadikan 7 (tujuh) restoran cepat saji yang berada di sebagai objek penelitiannya. D

(empat) elemen ekuitas merek yang terdiri d

37

(24)

awareness, brand image, brand loyalty dan perceived quality serta pengaruhnya terhadap kinerja perusahaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa brand awareness memiliki hubungan langsung yang paling kuat terhadap revenue/pendapatan.

Edo Rajh (2005)

Rajh dalam penelitiannya yang berjudul “The Effects Of Marketing Mix Elements on Brand Equity” mengangkat masalah hubungan bauran pemasaran terhadap ekuitas merek. Penelitian yang merupakan replikasi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Yoo et.al (2000) ini menjadikan 3(tiga) kategori produk (minuman ringan, cokla

3.

t dan barang-barang elektronik) sebagai objek tode penelitian yang digunakan oleh Rajh adalah teknik

4.

enemukan bahwa harga, obral, cuci penelitiannya. Me

analisis SEM dengan LISREL. Kesimpulan dari penelitian Rajh ini adalah bahwa setiap bauran pemasaran memberikan dampak yang berbeda-beda terhadap ekuitas merek. Di akhir penelitiannya Rajh menyarankan kepada perusahaan untuk melakukan fokus penguatan ekuitas merek lewat pembangunan brand awareness dan positive brand image.

Yudho Baskoro, Fatchur Rahman, Djumilah Zain (2001)

Yudho Baskoro dkk melakukan penelitian untuk menguji model konseptual yang dibuat oleh Yoo et.al., (2000). Dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Antara Unsur-unsur Bauran Pemasaran Dengan Penciptaan Ekuitas Merek” ini Yudho dkk. meneliti hubungan antara unsur-unsur bauran pemasaran dengan dimensi ekuitas merek dan mereka m

promosi harga yang sering dilakukan seperti potongan

gudang dan usaha promosi harga lain yang sejenis dapat menurunkan ekuitas merek sebuah produk, sementara periklanan dan harga yang tinggi (sampai pada batas tertentu), citra toko yang baik dan intensitas distribusi yang tinggi (sesuai dengan tipe produk) dapat meningkatkan ekuitas merek. Adapun metode penelitian yang dilakukan oleh Yudho dkk adalah teknik analisis dengan SEM dengan software LISREL. Menurut Yudho dkk perusahaan perlu melakukan variasi usaha pemasaran untuk dapat membangun ekuitas merek yang kuat.

38

(25)

5.

r-convenience goods yang terdiri dari 3 (tiga) kategori roduk utama yaitu mie instan, minuman ringan, dan sabun mandi. Metode

an oleh Romi adalah teknik analisis SEM dengan

6.

k syariah I tersebut tercipta karena adanya brand Romi Setiawan (2006)

Penelitian yang dilakukan oleh Romi Setiawan ini merupakan penelitian yang juga merujuk pada penelitian yang telah dilakukan oleh Yoo et.al (2000). Objek penelitian yang dilakukan oleh Setiawan ini adalah merek-merek pada kategori consume

p

penelitian yang dilakuk

program LISREL. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa: (1) bauran pemasaran memiliki pengaruh terhadap dimensi ekuitas merek yaitu: (a) Perceived Quality dipengaruhi secara positif oleh store image, advertising spending dan dipengaruhi secara negatif oleh price deal (b) Brand Loyalty dipengaruhi secara positif oleh distribution intensity (c) Brand Awareness dipengaruhi secara positif oleh store image, distribution intensity dan dipengaruhi secara negatif oleh price deal (2) dimensi ekuitas merek memberikan pengaruh terhadap ekuitas merek sebagai berikut: (a) Perceived quality berpengaruh secara positif terhadap overall brand equity (b) Brand Loyalty berpengaruh secara positif terhadap overall brand equity (c) Brand awareness berpengaruh secara positif terhadap overall brand equity.

Rika Ayuni dan Eva Z Yusuf (2006)

Rika Ayuni dan Eva Z Yusuf dalam penelitiannya yang berjudul “Pengukuran Brand Equity Tiga Bank Syariah di Indonesia” mengangkat masalah tentang pengukuran brand equity tiga bank syariah di Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut mereka menemukan bahwa Bank Muamalat Indonesia (BMI) memiliki nilai brand equity yang paling kuat diantara 2 (dua) ban

lainnya. Kekuatan brand equity BM

awareness, brand association, perceived quality dan loyalitas konsumen yang tinggi terhadap BMI. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perlunya manajemen strategi yang baik untuk mengembangkan bank-bank syariah di Indonesia, yaitu dengan terus melakukan aktivitas komunikasi pemasaran above the line, mempertahankan atribut islami dengan terus mempertahankan tingkat layanan yang ada, perbaikan purna jual, pembangunan infrastruktur

39

(26)

teknologi yang baik, dan terus melakukan strategi differensiasi yang tepat agar aktivitas membangun merek tidak terkesan me too.

Penerapan Teori dalam Pemecahan Masalah

Perkembangan perbankan syariah sejak awal berdiri pada tahun 1990 hingga un 2007 terlihat tidak terlalu menggembirakan. Ko

2.3

tah ndisi ini dapat terlihat dari

erkembangan aset perbankan syariah di akhir bulan Juli 2007 yang hanya sebesar erkembangan bisnis sebuah perusahaan atau industri dapat ditinjau dari usaha per

riah di Indonesia tidak akan bisa lepas dari pen

sebuah perusahaan dapat memiliki peluang untuk me

akan sangat terkait dengan penerapan bauran pemasaran yang tepat pada sebuah p

1,66% atas aset perbankan nasional. P

usahaan dalam mengembangkan merek atas produk atau jasa yang ditawarkannya. Merek merupakan aset penting bagi suatu perusahaan. Hal ini pun berlaku dalam perkembangan bisnis atau aset perbankan syariah. Perkembangan bisnis perbankan sya

gembangan merek atau brand sebagai intangible asset yang dapat mempengaruhi pertumbuhan perolehan dana, keuntungan dan aset yang dimilikinya. Oleh karena itu, untuk dapat mengembangkan bisnisnya maka sudah selayaknya perbankan syariah di Indonesia juga mencari cara untuk menciptakan ekuitas merek yang kuat.

Aaker dalam Yoo et.al, (2000) mengatakan bahwa merek memberikan nilai sehingga nilai total produk yang bermerek baik menjadi lebih tinggi dibandingkan produk yang dinilai semata-mata secara objektif. Aaker (1991, hal 15) menyebut nilai merek sebagai ekuitas merek (brand equity). Dengan memiliki ekuitas merek yang kuat berarti

nguasai pasar dan mendapatkan profit/keuntungan dari usahanya tersebut. Ekuitas merek menurut Aaker (1991, hal 16) terdiri dari 5 dimensi utama yaitu: (1) perceived quality, (2) brand loyalty, (3) brand awareness,(4) brand associations dan (5) other proprietary brand assets.

Selanjutnya untuk dapat meningkatkan ekuitas merek bank syariah, maka diperlukan juga sebuah usaha yang mampu meningkatkan dimensi-dimensi ekuitas merek. Sementara itu usaha untuk menciptakan ekuitas merek yang kuat

40

(27)

perusahaan. Menurut Yoo et.al., (2000) bauran pemasaran memiliki pengaruh terhadap dimensi-dimensi pembentuk ekuitas merek sehingga secara tidak lan

g cukup efektif untuk mendiferensiasikan produk dia

ekuitas merek bank syariah maka selanjutnya dapat dik

gsung juga mempengaruhi ekuitas merek. Dalam penelitian ini, bauran pemasaran yang akan diteliti adalah price, office image, distribution intensity, advertising dan price deal.

Penelitian ini merupakan penelitian yang mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Yoo et.al., 2000. Dalam penelitiannya Yoo et.al, 2000 menyimpulkan bahwa: (1) penggunaan strategi price deal/price promotion dapat menghancurkan ekuitas merek; (2) advertising yang tinggi terbukti menjadi alasan bertambah kuatnya ekuitas merek; (3) high price atau harga produk yang tinggi merupakan alat yan

ntara produk pesaing lainnya (4) distribution intensity/distribusi produk lewat store image/citra toko yang baik dapat menyebabkan sebuah produk memiliki ekuitas merek yang kuat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yoo et.al., tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bank syariah juga memiliki kemungkinan untuk dapat memiliki ekuitas merek yang kuat jika menerapkan strategi bauran pemasaran yang tepat. Untuk dapat mengetahui bagaimana pengaruh bauran pemasaran terhadap ekuitas merek bank syariah dan apakah strategi bauran pemasaran yang tepat untuk menciptkan

etahui dalam pembahasan pada bab III yaitu metodologi penelitian dan data.

41

Gambar

Gambar 2.2  Rantai Brand Equity

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis dalam penulisan skripsi ini untuk memberikan bahan-bahan masukan ilmu pengetahuan hukum batasanbatasan pelecehan seksual yang terjadi di

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti melakukan penelitian pada kumpulan puisi ini adalah karena kumpulan puisi Taufik Sandjojo ini masih baru dalam dunia karya

2. Hak asasi manusia itu berbeda dari pengertian hak warga negara. Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia. Hak asasi sifatnya

penelitian dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan profil pemecahan masalah antara peraih medali OSN yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.. Untuk itu, peneliti memilih

Dalam penelitian ini dibuat finial Franklin dengan jumlah variasi sudut keruncingan yang berbeda untuk setiap ukuran diameter finial yang berbeda dan selanjutnya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rasio Likuiditas dan Opini Audit Tahun Sebelumnya berpengaruh positif terhadap Opini Audit Going concern, sedangkan Rasio Utang,

Acara yang disajikan harus relevan dengan kepentingan khalayak, baik dari aspek sosio-kultural, sosio-ekonomi, dan sosio-religi maupun aspek-aspek lain yang terkait dengan

Analisis data yang dilakukan terdiri dari (i) analisis ketersediaan sumber daya ikan dengan menggunakan analisis CPUE (ii) analisis komoditas unggulan dengan