iv ABSTRAK
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sengketa antara dua lembaga negara, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, sering terjadi. Pada masa orde lama dan orde reformasi, khususnya, sengketa yang melibatkan dua lembaga negara tersebut sering berakhir pada ketidaksetujuan DPR terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dan dijalankan oleh Pemerintah. Bahkan, pada masa orde lama, sengketa yang terjadi pernah mengakibatkan jatuhnya kabinet. Sebagai contoh adalah jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno karena terjadi penolakan oleh Sidang Paripurna MPRS terhadap pidato pertanggungjawabannya yang berjudul “Nawaksara”. Penolakan tersebut juga dilakukan oleh DPR-GR dengan keluarnya pernyataan pendapat. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 diputuskan Ketetapan tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Pada masa reformasi, kasus pencopotan jabatan dua Menteri, Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla, oleh Presiden Abdurrahaman Wahid juga mendesak DPR untuk mengeluarkan hak menyatakan pendapat, yang berakhir pada peringatan kepada Presiden. Sementara itu, perjalanan kasus Century (2009) yang tidak kunjung selesai membuat pro-kontra di DPR agar menggunakan hak menyatakan pendapat. Namun, sebagian besar anggota DPR sepakat bahwa mereka belum menemukan urgensi penggunaan hak itu terkait kasus Century. Urgensi dan akibat penggunaan hak inilah yang menjadi daya tarik untuk diteliti lebih lanjut.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan historis, yaitu mengkaji kaidah-kaidah hukum yang berlaku yang erat kaitannya dengan hak menyatakan pendapat dan mengkaji hak ini dari sejarah berdirinya Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Analisis data dilakukan secara kualitatif.