• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga T2 752013029 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa: studi kasus pada gereja-gereja aliran Pentakosta di Kota Salatiga T2 752013029 BAB V"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

140 BAB V

PENUTUP

Pada bagian penutup ini akan disajikan kesimpulan yang didasarkan pada fokus penelitian serta paparan data yang ditemukan. Kesimpulan ditarik dari uraian bab-bab sebelumnya, terutama bab yang berisi hasil atau temuan penelitian. Selain kesimpulan, dalam bab V peneliti juga akan mencoba mengajukan beberapa rekomendasi atau saran.

5.1. Kesimpulan

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa dalam kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa, ditemukan beberapa gaya atau tipe kepemimpinan yang merupakan ciri yang dimiliki sebagai seorang pemimpin dalam membimbing, mengarahkan, mempengaruhi, menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya dalam rangka mencapai tujuan. Dari data yang diperoleh melalui wawancara maupun observasi berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan yang menekankan kepada tugas/kinerja dan relasi/kekompakan, maka ditemukan bahwa kedua subjek sebagai pemimpin menekankan adanya relasi/kekompakan yang tinggi sekaligus juga tidak mengabaikan upaya untuk membangun kinerja dengan kualitas yang tinggi. Sebagai pemimpin, subjek dalam kasus 1 (satu) maupun kasus 2 (dua), memahami dan menyadari bahwa untuk mencapai kualitas kinerja yang baik dan tinggi maka harus didasari terlebih dahulu dengan relasi atau kekompakan diantara pemimpin dengan orang-orang yang dipimpin.

(2)

141 telah dilansir dalam beberapa tulisan sebelumnya, yang menyatakan bahwa dalam gereja-gereja aliran pentakosta, peran pemimpin sangat dominan dan cenderung individual dan otoriter.

Pandangan tersebut muncul karena dalam struktur kepemimpinan gereja-gereja aliran Pentakosta menempatkan Pendeta (Gembala Jemaat) sebagai posisi atau kedudukan/jabatan teratas yang kemudian memberikan ruang yang luas dan cenderung bebas kepada Gembala jemaat dalam menentukan berbagai kebijakan dalam gereja. Hal ini tidak dipisahkan dari sejarahnya. Sebagai gerakan yang bersifat revival, pemimpin gereja aliran pentakosta mendapat wewenang sebagai pemimpin dari kharisma yang dimiliki seseorang. Hal tersebut memungkinkan munculnya sikap individual dan dominasi dari pemimpin yang cenderung berlebihan. Namun sikap yang cenderung individual dan otoriter serta dominasi yang berlebihan dari pemimpin tidak diperlihatkan dan ditunjukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa dalam kepemimpinan mereka.

Sebaliknya dalam kedua kasus, memperlihatkan bahwa keduanya subjek menunjukan gaya atau tipe kepemimpinan demokratis. Nilai-nilai demokratis dalam kepemimpinan tampak dari kebijakan pemimpin yang orientasinya pada hubungan manusiawi, berupa pengakuan yang sama dan tidak membeda-bedakan orang-orang yang dipimpin atas dasar warna kulit, ras, kebangsaan, agama, status sosial ekonomi, dan lain-lain. Pengimplementasian nilai-nilai demokratis di dalam kepemimpinan kedua subjek dilakukan dengan memberikan kesempatan yang luas pada anggota organsasi untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan sesuai dengan posisi dan wewenang masing-masing.

(3)

142 Sedangkan dalam kasus 1 (satu) terlihat subjek juga cenderung menunjukan gaya kepemimpinan yang disebut sebagai gaya kepemiminan situasional. Gaya kepemimpinan ini menekankan adanya keluwesan, yaitu kemampuan untuk menggunakan berbagai macam gaya kepemimpinan dengan baik. Inti utama dari kepemimpinan situasional adalah bagaimana pemimpin mengembangkan semaksimal mungkin kemampuan pengikut mereka sesuai dengan gaya tahapan dari pengikut yang ada. Hal ini bila ditelaah lebih lanjut merupakan prinsip utama dari servant leadership yaitu bagaimana pemimpin dapat melayani pengikutnya untuk perkembangan dan kemajuan bersama. Sehinga gaya atau tipe kepemimpinan yang subjek terapkan selama ini menyesuaikan dengan orang-orang yang dipimpin. Hal ini berangkat dari pemahamannya bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang terbaik. Secara kritis ketika melakukan tinjauan terhadap bagian yang berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan yang ditunjukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa maka peneliti juga menemukan adanya gaya atau tipe kepemimpinan transaksional.

(4)

143 Dalam upaya tersebut, kedua subjek menunjukan karakter-karakter sebagai seorang pemimpin. Berdasarkan hasil analisa, karakter-karakter yang ditunjukan Pendeta beretnis Tionghoa, meliputi karakter yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang melayani. Ada beberapa karakter yang ditunjukan dalam kepemimpinan kedua Pendeta beretnis Tionghoa, yang menjadi instrument yang efektif dalam mempengaruhi orang-orang yang dipimpin oleh kedua subjek, antara lain: (a)melayani dengan tekun, (b) kerendahan hati (c) setia, (d) fokus, (e) pemberdayaan, (f) rajin, (g) percaya (h) tegas, (i) berani mengambil keputusan yang berisiko, (j) berintegritas, (k) empati, (l) mendengarkan, (m) disiplin, (n) rela berkorban.

Selain ditemukan adanya peranan dari karakter yang dimiliki Pendeta beretnis Tionghoa dalam kepemimpinannya, yang kemudian telah memberikan pengaruh yang signifikan dalam proses kepemimpinan kedua subjek. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa kedua subjek termasuk pemimpin yang bervisi. Temuan ini sesuai dengan penjelasan dari salah satu dimensi

dalam penjabaran tentang karakteristik kepemimpinan yang melayani,. Kedua subjek memiliki visi

yang jelas sebagai pemimpi dan adanya upaya untuk menterjemahkan visi secara jelas kepada orang-orang yang dipimpin secara terus menerus. Lebih dari itu ada upaya untuk menggerakan orang-orang yang dipimpinnya ke arah visi bersama yang dimiliki.

(5)

144 Dalam kasus 1 (satu) subjek dikenal sebagai pemimpin dengan etos kerja yang tinggi. Hal ini dinilai oleh subjek sendiri maupun informan pendukung merupakan hasil dari pengaruh kulturnya sebagai seorang beretnis Tionghoa. Subjek yang berasal dari keluarga yang anggota keluarganya berprofesi sebagai pengusaha dan pembisnis, terbiasa dididik untuk bekerja keras. Sehingga, bekerja keras menjadi bagian yang telah tertanam dalam pribadi subjek sejak awal sebelum ia menjadi Gembala jemaat.

Pengaruh positif dari kultur yang dimiliki terhadap kepemimpinan dalam jemaat juga dirasakan oleh subjek 2 (dua). Dalam wawancara bersama informan kunci, ditemukan bahwa dalam kulturnya ia dididik untuk memiliki apa yang ia sebut sebagai daya juang yang tinggi. Karakter ini menjadi sangat berperan dalam proses menjalankan kepemimpinannya selama 14 tahun. Dengan adanya semangat juang yang tinggi dalam dirinya sebagai pemimpin maka membuat dirinya menjadi pemimpin yang tidak mudah untuk menyerah ketika berhadapan dengan berbagai kesulitan dan tantangan. Sistem nilai sepeti kerja keras, ulet dan memiliki semangat juang yang tinggi adalah bagian-bagian yang menurutnya menjadi salah satu faktor yang kemudian membuat GBI Salatiga berhasil menyelesaikan pembangunan gedung gereja Bethel Indonesia (GBI) Salatiga dibawah kepemimpinannya.

(6)

145 sekolah, poliklinik, dan 2 (dua) radio, dll yang menunjukan gejala perkembangan secara terus menerus.

Dengan adanya pengalaman tersebut subjek tampil menjadi Pendeta yang tidak hanya mengetahui tentang hal-hal yang berkaitang dengan Teologi. Namun ia juga memiliki kemampuan pengolahan atau manajemen yang lebih karena adanya pengalaman masa lalu sebagai seorang dosen dan pembisnis. Kondisi ini membuat ia mampu membangun komunikasi dan hubungan dengan jemaat yang sebagaian besarnya adalah para pengusaha dan pembisnis. Dalam menjalankan kepemimpinnya, ia bahkan menggunakan kemampuannya dalam berbisnis yang tentu dalam penerapannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Alkitab dalam rangka mengembangkan gereja. Sampai saat ini Gereja Bethany telah memiliki banyak unit pendukung. Keunggulan lain adalah sebagai seorang pembisnis ia telah memiliki keuangan secara pribadi yang lebih mapan sebelum menjadi Pendeta. Sehingga ia tidak sepenuhnya tergantung pada keuangan gereja. Selain itu latar belakangnya yang bukan lulusan teologi ketika menjadi Gembala jemaat, mempengaruhi dalam ia menyajikan khotbah-khotbah yang sifatnya lebih praktis dan realistis, yang disukai orang dewasa pada umumnya.

5.2. Saran

Dengan merujuk pada hasil penelitian, beberapa saran dan rekomendasi dapat dikemukakan sebagai berikut:

5.2.1. Kepada Para Pendeta

(7)

146 memiliki wawasan dan pengetahuan yang relevan selain pengetahuan dan wawasan tentang ilmu Teologi. Hal ini diperlukan sebagai upaya dari pemimpin untuk dapat memahami pergumulan dan kebutuhan umat yang terus berubah dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, terutama hal-hal yang bersifat praktis. Para Pendeta juga perlu memiliki kemampuan yang lebih dalam pengelolaan atau manajemen gereja, sebagai upaya pengembangkan gereja.

5.2.2. Kepada orang-orang beretnis Tionghoa

Bagi orang-orang beretnis Tionghoa seharusnya tidak membatasi diri untuk terlibat pada sektor atau bidang lain selain sektor ekonomi. Selain itu diharapkan mampu menciptakan hubungan atau relasi yang sederajat, dalam hal ini dapat membaur dengan orang-orang pribumi (orang non-etnis Tionghoa) dan menghilangkan prasangka-prangka negatif yang dapat menciptaka jarak antara orang-orang beretnis Tionghoa dan yang non-etnis Tionghoa.

5.2.3. Kepada Orang-orang non etnis Tionghoa

Bagi orang-orang non etnis Tionghoa hendaknya mampu mengeleminir streotipe negative berkaitan dengan keberadaan orang-orang etns Tionghoa, yang dipahami hanya memiliki kemampuan dibidang ekonomi semata. Serta mampu menciptakan hubungan atau relasi yang sederajat dalam kesempatan menjalani kepemimpian dalam berbagai lembaga atau pun organisasi di berbagai sektor, termasuk pada lembaga keagamaan seperti gereja.

5.2.4. Kepada Gereja

(8)

147 memberikan dukungan terhadap keterlibatan orang-orang beretnis Tionghoa ketika memimpin dalam jemaat.

5.2.5. Kepada Lembaga Masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

Media sudah tidak sigap dalam melaporkan peristiwa yang harusnya diketahui masyarakat, memberitakan secara sembrono,. dangkal, tidak akurat, dan tidak cover both side , serta

value attribution theory ” contain aspects of value as well as expectancy...

Sehubungan dengan pelelangan pekerjaan paket tersebut diatas, maka Pokja memerlukan klarifikasi dan verifikasi terhadap Dokumen Penawaran dan Kualifikasi saudara

Jean William Fritz Piaget (1896–1980) and.. Lev Semyonovich Vygotsky

[r]

Kata ‘memberdayakan’ mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekedar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh guru, tetapi pengetahuan tersebut juga menjadi muatan nurani

[r]

Sementara itu tim robot tuan rumah gelaran KRI dan KRCI, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sudah menyiapkan empat robot terbaiknya.. Masing-masing untuk divisi KRI diberi