BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
Genre musik hardcore adalah sebuah bentuk budaya tandingan terhadap budaya mainstream yang tersedia di masyarakat, yang berada dalam sebuah kancah alternatif dan menarik pengikutnya dengan hal-hal yang dianggap memberontak. Mereka mendapat sebuah wadah yang sama dimana keberadaan mereka dapat diterima.
Hardcore berkembang sebagai sebuah budaya tandingan atas
budaya dominan yang sedang berlangsung di Amerika pada pertengahan dekade 80-an. Sebuah jawaban atas kematian musik punk di dalam kancah musik alternatif, yang mengalami kemunduran karena dominasi gelombang pop-elektronik saat itu. Lebih daripada warna musik yang terkandung di dalamnya, genre ini muncul sangat bertepatan dengan kebijakan-kebijakan politik luar negeri presiden Amerika Serikat saat itu, yakni Ronald Reagan, terhadap permasalahan perang dingin dan perang Irak yang pertama.
Genre musik metal, punk, maupun hardcore secara tegas mengakui adalah sebuah bentuk counter-culture terhadap budaya mainstream yang tersedia di masyarakat. Berada dalam sebuah kancah alternatif membuat para pengikutnya tertarik dengan hal-hal yang dianggap “memberontak”. Para pengikut kancah tersebut tidak merasa asing, dikarenakan perilaku memberontak mereka mendapat sebuah wadah yang sama, dimana mereka tidak merasa asing di dalamnya. Sejalan dengan apa yang dipaparkan,
punk, metal, maupun hardcore memiliki sebuah ideologi
“pemberontakan” yang identik dengan nafas genre masing-masing (Robbyansyah, 2011 : 341).
pada medio 2000-an, genre ini berkembang sangat luas di Jakarta, Bandung, Semarang, Malang, Surabaya, dan bahkan sampai ke Salatiga. Di kota kecil seperti Salatiga pun, scene hardcore mulai terbentuk satu-persatu hingga akhirnya menjadi hal yang sangat familiar terutama di kalangan pelajar. Band-band dengan genre hardcore mulai mendominasi panggung underground dan indie di Salatiga. Kaos band, jaket, dan topi ber-atributkan hardcore, menjadi barang yang paling dicari oleh pelajar SMP dan SMA.
Dengan cepat film Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes menjadi refrensi wajib untuk anak-anak di dalam
scene-scene hardcore lokal, yang bahkan sebagian besar berumur dibawah
18 tahun. Distorsi ada dalam bentuk tidak tersedianya terjemahan atau subtitle dengan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, maka fokus film
ini akan jatuh pada citra kekerasan yang ditampilkan. Sedikit banyak film Boston Beatdown Vol. II See The World Through Our Eyes ini
mempengaruhi pemikiran dan tindakan dari anak-anak dalam scene hardcore.
Pada tahun 2004, beberapa anggota Friend Stand United (FSU) membuat film dokumenter berjudul Boston Beatdown Vol. II “See The World Through Our Eyes” yang mendokumentasikan perilaku agresif,
dan white power. Menurut Theodor Adorno dalam homogenisasi musik yang berorientasi sebatas komoditas dan hiburan, selalu masih ada beberapa pihak yang menggunakan musik sebagai sesuatu yang lebih. Adorno menyebutnya “Elitisme”. Adorno menerangkan elitisme disini sebagai sebagian kecil dari mereka yang terpilih dan tercerahkan, dengan cara melaksanakan praktek intelektual dan kultural dalam musik mereka, dan bisa memisahkan diri dari aktivitas massa sehingga bisa melawan kekuatan industri budaya, atau bisa disebut musik sebagai media resistensi.
Perkembangan media membantu film ini menyebar sampai ke Indonesia, khususnya mereka yang berada dalam komunitas – komunitas serupa yang ada di berbagai kota bahkan Salatiga. Kebanyakan dari mereka mengadopsi mentah – mentah apa yang terlihat di film tersebut tanpa mengerti maksud dan pesan sebenarnya dibalik isi kekerasan yang secara terang – terangan didokumentasikan dalam film ini, karena beberapa distorsi yang terjadi seperti tidak tersedianya sub-title dalam film dan tingkatan umur penonton yang rata – rata masih berstatus pelajar sekolah.
Film sebagai salah satu jenis media massa yang menjadi saluran berbagai macam gagasan, konsep, serta dapat memunculkan dampak dari penayangannya. Ketika seseorang menonton sebuah film, maka pesan yang tersirat secara eksplisit maupun implisit oleh film tersebut secara tidak langsung akan berperan dalam pembentukan persepsi seseorang terhadap maksud pesan dalam film. Seorang pembuat film merepresentasikan ide-ide yang kemudian dikonversikan dalam sistem tanda dan lambang untuk mencapai efek yang diharapkan.
konvensi – konvensi dan ideologi dari kebudayaan. Film sebagai sebuah konsep representasi memiliki beberapa definisi fungsi, yaitu menunjuk, baik pada proses maupun produksi pemaknaan suatu tanda. Representasi juga menjadi penghubung makna dan bahasa dengan kultur. Lebih jauh lagi, makna dikonstruksi oleh sistem representasi dan diproduksi melalui sistem bahasa yang fenomenanya bukan hanya melalui ungkapan – ungkapan verbal tapi juga visual. (Hall, 1997 : 68).
Elgin Nathan James adalah salah satu aktor utama pendiri FSU, seorang ber-ras afro-amerika yang dibesarkan di lingkungan yang penuh dengan alkoholik dan pemadat (ganja). Namun ironisnya James teguh membentuk mental dan sikap untuk tidak mengkonsumsi zat-zat tersebut. James juga menolak keyakinan pasif warisan dari orang tuanya (yang telah mengikuti Martin Luther King Jr) dan mulai mempelajari tulisan-tulisan Malcolm X, Stokley Carmichael dan Huey P. Newton, menggabungkan
pemikiran mereka dengan cita-cita punk yang agresif (Catalano, 2003 : 14-16). Pada awal periode 2000-an, James mendokumentasikan perkembangan FSU di Boston pada periode 1990-an dalam beberapa film dokumenter, dan salah satunya yang sangat terkenal adalah Boston Beatdown Volume II. Bertajuk See The World Through Our Eyes, James
menunjukan bagaimana scene ini berjuang mempertahankan ideologi mereka dengan cara mereka sendiri meskipun sedikit ekstrim.
Untuk memfokuskan penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi penulis untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas pada kajian ini. Agar pembahasan dalam skripsi ini jelas terarah, penulis mengambil analisis wacana model Teun A. Van Dijk, yang membagi secara teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah wacana film dokumenter Boston Beatdown Vol. II “See The World Through Our Eyes” dilihat dari teks (struktur
makro, superstruktur, dan struktur mikro)?
2. Bagaimanakah wacana film dokumenter Boston Beatdown Vol. II “See The World Through Our Eyes” dilihat dari sudut kognisi
sosial?
3. Bagaimanakah wacana film dokumenter Boston Beatdown Vol. II “See The World Through Our Eyes” dilihat dari sudut konteks
sosial?
1.3 Tujuan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti bertujuan untuk :
1. Untuk menjelaskan kepada khalayak tentang bagaimana wacana film dokumeneter Boston Beatdown Vol. II “See The World Through Our Eyes” dilihat dari teks (struktur makro, superstruktur,
dan struktur mikro).
3. Untuk menjelaskan kepada khalayak tentang bagaimana wacana film documenter Boston Beatdown Vol. II “See The World Through Our Eyes” dilihat dari sudut konteks sosial.
1.4 Manfaat Penelitan
• Manfaat Teoritis
1. Memberi gambaran bagaimana latar belakang maupun ideologi yang mendasari gaya hidup scene FSU dalam film Boston Beatdown Vol. II.
2. Memperkaya wawasan tentang sub-kultur urban di masyarakat. 3. Menjadi landasan dan gambaran penelitian bagi peneliti
selanjutnya yang akan melakukan penelitian tentang semiotika film.
• Manfaat Akademis
Peneliti diharapkan mampu mengembangkan ilmu komunikasi berdasarkan teori komunikasi yang telah dipelajari dalam perkuliahan sebelumnya. Selain itu penelitian ini juga diharapkan mampu membalikan persepsi khalayak terhadap film dokumenter Boston Beatdown Vol. II “See The World Through Our Eyes” sebagai sebuah
film yang tidak hanya mendokumentasikan tentang kekerasan. • Manfaat Praktis