• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Kapitalisme Dalam Film The Hunger Games (Analisis Wacana Kritis) T1 362009073 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Kapitalisme Dalam Film The Hunger Games (Analisis Wacana Kritis) T1 362009073 BAB I"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Ketika manusia mulai menghitung segalanya dengan untung-rugi, produk adalah sesuatu hasil dari kreativitas menusia yang bisa dipertukarkan dengan prinsip mencari keuntungan dan bukan kegunaan” (Suwardi, 2011, p. 196). Begitulah Era Kapitalisme dijelaskan dalam buku Pengantar Cultural Studies oleh Sandi Suwardi. Di Indonesia sendiri kapitalisme mulai terjadi saat zaman Penjajahan Belanda - VOC (1511), dimana kepemilikan modal / kekayaan dimiliki oleh tuan tanah. Belanda menggunakan birokrasi tradisional kerajaan di Indonesia untuk menerapkan sistem kapitalisme guna keuntungan sebesar-besarnya.

Jauh setelah masa penjajahan Belanda - VOC, Perkembangan kapitalisme yang sekarang ini terjadi adalah salah satu anak yang tumbuh besar dari era globalisasi, sehingga disebut dengan Kapitalisme Global. Globalisasi sendiri ditandai dengan perkembangan Teknologi dan Komunikasi. Dengan adanya Teknologi dan Komunikasi yang canggih, maka hal ini mempengaruhi segala aspek kehidupan dimana memudahkan terjadinya pertukaran budaya, mempererat jaringan hubungan ekonomi bahkan hubungan international tanpa memandang batas wilayah.

Dari beberapa sumber sepakat dampak dari kapitalisme adalah mendorong motivasi dan persaingan dari para pelaku bisnis dari berbagai aspek kehidupan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Masyarakat kapitalisme global dibangun di atas iklim persaingan yang tinggi (Piliang, 2011, p. 208). Adanya persaingan „siapa yang

dapat menguasai pasar‟ ini menandakan Industri Budaya mulai marak terjadi. Industri

budaya yang paling nyata dalam dunia hiburan adalah rumah produksi (production house) didalamnya terdapat produser yang dalam hal ini berperan sebagai kapitalis sekaligus menggaji pegawainya - pekerja media, selebritis dan lainnya (Suwardi, 2011, p. 212).

(2)

dan dipahami masyarakat melalui penayangannya di media dengan simbol-simbol tertentu. Ketika produk media telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan maka perusahaan media memang menjadi tidak dengan industri sepatu yang tidak tidak punya idealisme untuk mengabdi pada kepentingan publik namun hanya berfikir bagaimana memproduksi sepatu yang disukai konsumen (Junaedi, 2005, p. 174).

Hal ini mengakibatkan terjadinya budaya konsumerisme, dimana meningkatnya kebutuhan manusia untuk mengkonsumsi yang bukan disebabkan semata karena fungsi dan manfaat barang (produk), melainkan aspek emosi dan larutnya individu dalam budaya massa yang dipicu oleh iklan dan rayuan untuk membeli komoditas yang dilakukan secara masif (Suwardi, 2011, p. 203). “Kapitalisme membangun dan menciptakan model-model hasrat, dan keberlangsungannya sangat bergantung pada keberhasilkan menanamkan model-model ini pada massa yang dieksploitasinya” dikatakan Felix Guattari dalam buku Molecular Revolution :Psychiatry and Politics (Piliang, 2011, p. 115)

Keadaan pasca revolusi industri ini dikatakan marxisme sebagai akar penindasan dan dominasi oleh kaum kapitalis (pemilik modal), kaitannya dengan kesadaran palsu akan suatu realitas. Masyarakat terpengaruh dan menganggap proses dominasi tersebut sebagai suatu yang normal-normal saja dalam kehidupan sehari-hari, bahkan tidak

jarang „kemasannya‟ dibuat menyenangkan. Pengaruh Marx dalam dalam kajian

komunikasi terutama bersumber dari analisanya mengenai industri kapitalis dimana terjadi pertentangan antara kaum proletar dan buruh. Masyarakat yang tertindas mengalami keterasingan (alienasi) karena tidak memiliki hak atas barang, melainkan hanya dimanfaatkan oleh orang asing sebagai milik pribadinya. Bahkan mereka bukan saja terasing dari barang ciptaannya tapi juga lingkungannya. Penguasaan teknologi oleh kapitalis berarti menguasai ekonomi dan karena itu pula dapat mendeterminasi kesadaran masyarakat.

(3)

dominan dalam masyarakat melestarikan dominasinya dan mengamankan „persetujuan

spontan‟ kelompok-kelompok subordinat, termasuk kelas pekerja melalui penciptaan

negosiasi konsesus politik maupun ideologis (Strinati, 2009, pp. 254-255). Hegemoni bekerja pada ranah kesadaran dan representasi, membuat hal-hal yang bersibat dominasi masuk secara natural dan masuk akal.

Di era Posmodern ini, kapitalisme hadir di berbagai bidang dengan berbagai wajah. Salah satu alat yang digunakan kapitalis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya adalah media, Industri Media. Kekuatan media massa disadari sangat besar pengaruhnya berhubungan dengan dinamika sosial, politik dan budaya. Pada mulanya, media menjalankan fungsinya sebagai sebuah institusi sosial untuk melayani kepentingan publik dalam memperoleh informasi. Dalam perkembangannya, institusi media mengalami pergeseran idealisme, bahwa semata-mata bukan hanya menjadi sebuah institusi sosial namun juga institusi ekonomi dan institusi politik (Junaedi, 2005, p. 165)

Menurut McQuail (1987, p. 40) salah satu ciri-ciri institusi media massa adalah institusi media dikaitkan dengan industri pasar, karena ketergantungan pada imbalan kerja, teknologi, dan kebutuhan pembiayaan. Dalam hal ini industri pasar dapat diartikan dengan kapitalisme. Dalam konteks inilah media massa kapitalis sebagai media yang berorientasi pasar sangat memegang peranan dan menjadi saluran utama memopulerkan budaya baru atau budaya pop kepada masyarakat. Budaya pop merupakan suatu bentuk budaya yang terbentuk akibat adanya suatu realitas yang terkonstruksi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu identitas tertentu di mana dengan adanya identitas tersebut manusia dapat menguasai dan merekonstruksi pikiran orang lain dengan menanamkan berbagai macam ideologi yang dimilikinya demi kepentingan individu dan golongan tertentu (Piliang, 2003)

(4)

dalam waktu yang bersamaan kapitalis memperoleh keuntungan dan melakukan aksi sosialnya (Piliang, 2011, pp. 118-120) .

Pada Media Televisi, „Rating’ adalah ideologi kapitalistik yang harus selalu

ditingkatkan, kalau perlu dengan melabrak batas-batas yang ada (Pikiran Rakyat, 2003:1). Televisi pemerintah yang fondasinya bukan kapital menjadi kurang diminati, sebaliknya televisi swasta yang dalam tayangannya menampilkan atau mengupas wilayah tabu, terlarang, haram, amoral adalah wilayah komersial yang berpotensi menghasilkan provokasi, kejutan dan kontroversi (Sujarwa, 2010, p. 2)

Fenomena kapitalisme media ini juga dapat ditandai dengan semakin hilangnya ruang publik, kebangkitan infotainment, turunnya jurnalisme investigasi, dan tendensi adanya homogenisasi (Devereux, 2003, p. 57). Dalam konteks reality show, media sebagai tangan kanan kapitalisme tentunya melihat masalah tersebut sebagai uang, sehingga hal-hal yang privat tersebut dikomodifikasi ke dalam sebuah tayangan berbentuk reality show- sebuah realitas yang didalamnya terdapat konsep Hiperrealitas (Baudrillard)1. Tetapi di lain pihak, masyarakat juga sangat menyukai hal-hal privat milik orang lain, sehingga media massa merasa sah-sah saja menayangkan dan diuntungkan darinya (Junaedi, 2005, p. 77).

Hiperrealitas Media menciptakan model komunikasi satu arah yang didalamnya

terbentuk massa sebagai „mayoritas yang diam‟, yaitu massa yang tidak mempunyai

daya resistensi dan daya kritis terhadap tanda-tanda yang dikomunikasikan pada mereka, dikarenakan berbaurnya realitas/ simulacrum, kebenaran/ kepalsuan, fakta/ rekayasa (Piliang, 2010, p. 143).

Berdasarkan data Nielsen pada akhir November 2009, rating reality show di Amerika memperoleh data tertinggi sebagai acara yang diminati masyarakat , diikuti dengan acara olahraga dan beberapa acara bergenre Sci-Fiction.2

1 Hipperealitas diartikan sebagai suatu kondisi atau konsekuensi, yang didalamnya realitas telah diambil

alih oleh model-model atau simulasi realitas. (Piliang, 2009:72)

2 Nielsen Wire.

(5)

Top 10 TV Programs – Regularly Scheduled

RANK Program Network

% of Homes in U.S. (Rating)

1 American Idol-Wednesday FOX 14.4

2 American Idol-Tuesday FOX 13.8

3 Dancing with the Stars ABC 12

4 NBC Sunday Night Football NBC 11.7

5 Dancing with the Stars – Results Show ABC 9.9

6 NCIS: Los Angeles CBS 9.8

7 NCIS CBS 9.4

8 NFL Regular Season L ESPN 8.8

9 Sunday Night NFL Pre-kick NBC 8.8

10 The Good Wife CBS 8.5

Source: The Nielsen Company

Salah satu reality show yang cukup populer di Amerika hingga kini adalah ajang

pencarian bakat “American Idol” yang ditayangkan pada saluran televisi FOX pada

tahun 2010 – 2011 memperoleh rating tertinggi di musim yang sama.

2010-11 Season: Series Ranking In Total Viewers (in thousands)3

1 AMERICAN IDOL-WEDNESDAY FOX 25,864 2 AMERICAN IDOL-THURSDAY FOX 23,798

Acara reality show di Amerika berjasa dalam menyumbang pertambahan jumlah pemirsa ketika pasar lesu ada tahun 2004/2005 jaringan televisi berhasil mendapatkan pemasukan dari iklan sebesar USS9,3 miliar. Di musim penyiaran tahun itu, American Idol menetapkan harga iklan per 30 detik tertinggi (USS 658.000), dan lima dari sepuluh acara top dengan harga iklan per 30 detik tertinggi adalah reality show (Michael, 2006, pp. 33-34).

3 Full 2010-2011 TV Season Series Rankings:

(6)

Di Indonesia sendiri, acara reality show juga membantu mengisi kekosongan kreativitas para pekerja budaya TV (penulis naskah dan produser), selain itu reality show merupakan acara yang paling mudah dibuat, membutuhkan biaya kecil, tetapi mendatangkan keuntungan yang besar (Suwardi, 2011, p. 214). Pada tahun 2009, trend reality show belum tergoyahkan. Jika popularitas diukur dari jumlah penonton, maka berdasarkan riset AGBNielsen, reality show masih populer dibandingkan sinetron yang sempat menjadi primadona pada beberapa waktu yang lalu.

Pada September 2010, data Nielsen Audience Measurement mencatat Program Pencarian Bakat Menuai 1,5 juta Penonton TV. Rata-rata penonton program mencari bakat di bulan ini (1-27 September) lebih banyak 72% (1,5 juta orang usia 5 tahun ke atas) daripada perolehan di awal tahun ini yang hanya berjumlah 886 ribu orang. Dengan kata lain, perolehan rating program mencari bakat di usia 5 tahun ke atas naik dari rata-rata 1,8 menjadi 3,1.4

Sementara itu ketertarikan masyarakat terhadap acara infotainment yang menempatkan selebritis sebagai figur utama juga cukup besar. Umumnya infotainment identik dengan acara gosip, dimana menularkan gaya hidup dan membuat massa terhipnotis serta mau meniru gayanya. Kelas selebritis telah menjadi kekuatan yang membuat massa tidak sadar akan adanya penindasan ekonomi. (Suwardi, 2011, p. 208)

Dengan tayangan yang sifatnya ringan, trivial dan sensasional, tayangan infotainment di televisi selama tahun 2010 menempati urutan pertama dengan 24 persen dari seluruh pengaduan publik ke KPI.5 Di tahun 2012 ini pengaduan publik terbesar adalah program jurnalistik yakni berita dan talkshow. Secara berurutan, 15 besar jenis acara yang diadukan publik adalah berita, talkshow, reality show, iklan, komedi, sinetron seri, musik, program anak, program olahraga, variety show, azan, film

4

Nielsen. http://www.agbnielsen.net/whereweare/dynPage.asp?lang=local&id=321&country=Indonesia diakses pada 13/02/2013 pukul 07:48

5Academia.edu dalam ulasan mengenai “Infotainment & Celebrity Puclic Relation” oleh Rachmat

Kriyantono, Ph.D (Online)

(7)

lepas, infotainment, sinetron lepas/ FTV, dan features.6 Program Jurnalistik paling banyak diadukan karena menyalahi kaidah dan aturan jurnalistik. Walupun begitu, hingga tahun 2011, di Indonesia telah ada kurang lebih 40 judul infotainment yang memenuhi televisi dengan tayang kurang lebih 14 jam sehari dan mampu menyedot sekitar 10 juta penonton.7

Sebagai salah satu instrumen globalisasi, televisi Indonesia dengan segala program tayangannya mempunyai peran penting dalam menghegemoni masyarakat. (Sujarwa, 2010, p. 8) Beranjak dari Infotainment dan Reality Show, muncul sebuah produk baru media, yakni Film. Dalam film Janji Joni, dikatakan bahwa“Film, mungkin anugerah seni terbesar yang pernah dimiliki manusia”. Kemunculan Film sebagai media baru sangat membantu proses penyampaian pesan dalam level komunikasi massa yang didalamnya selalu mengandung unsur budaya universal (Koentjaraningrat., 2003, p. 81). Lenin mengungkapkan bahwa Diantara berbagai kesenian, bagi kita, sinema adalah yang terpenting”. Begitu pula Goebbels, ia menyebut film sebagai salah satu dari media modern dan berjangkauan luas yang mampu mempengaruhi massa”. (Putra, 2008, p. 44)

Pada artikel ”Film Lebih Besar Pengaruhnya ketimbang Bom”8 dipaparkan bahwa terjadi demo besar-besaran oleh penduduk muslim dari berbagai negara untuk memprotes diedarkannya film berjudul Innocent of Muslims, yang trailer-nya disiarkan di Youtube. Bagi masyarakat muslim munculnya film ini dapat memberikan pesan yang dinilai itu tidak benar dan jika diteruskan akan memberikan citra yang tidak baik tentang muslim, oleh karenanya para orang muslim melakukan demo. Hal ini berkaitan dengan besarnya pengaruh film sebagai media penyampai pesan dan menciptakan sebuah stigma baru di masyarakat.

6

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/378164-berita-dan-talkshow-tv-paling-banyak-diadukan-ke-kpi diakses pada 15 Januari 2013 pukul 15.00

7

VivaNews.com (27 Desember 2009). Penonton Setia Infotainment 10 Juta

Orang.http://id.scribd.com/doc/91799496/Mengupas-Tayangan-Infotainment-dari-Kerangka-Industri-Media diakses pada 13/02/2013 pukul 09:34

8

Harian analisa, Film Lebih Besar pengaruhnya ketimbang Bom (Online)

(8)

Dikatakan pula film sebaiknya merepresentasikan wajah masyarakatnya” (Imanjaya, 2006, p. 39), yang juga merepresentasikan budaya. Oleh karenanya, diciptakannya sebuah film dapat memiliki tujuan untuk memvisualisasikan keadaan yang terjadi di dunia nyata dan dideskripsikan secara halus melalui gagasan yang dituangkan, simbolisasi figur-figur pemeran dan plot (alur cerita). Di Indonesia sendiri,

kemunculan film diawali dengan film, seperti „Eliana, Eliana’ (Riri Riza), Bendera

(Nan Achnas), Arisan! (Nia Dinata, dan Mengejar Matahari (Rudy Soedjarwo) sebagai perjuangan mencari identitas kultural dalam film Indonesia.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai era globalisasi yang ditandai dengan Perkembangan Teknologi dan Komunikasi yang pesat, maka bermunculan pula film-film yang menggabungkan jalan cerita dengan kecanggihan teknologi. Menandai terjadinya masa itu, munculah film Posmodern sebagai bentuk culture Amerika masa kini.9 Film Hollywood Posmodern yang terbilang cukup menghebohkan yaitu film 2012, film ini menampilkan prediksi keadaan manusia saat terjadinya hari kiamat pada tahun 2012. Hari kiamat yang hanya bisa dibayangkan oleh manusia, melalui film disempurnakan dengan Teknologi Industri Perfilman yang canggih. Film Posmodern lainnya, seperti Tomb Raider (2001), dan Matrix (1999) yang menawarkan pemikiran filosofis mengenai realitas semu (Audifax, 2006, p. 21).

Pada perkembangannya, film tidak hanya digunakan kapitalis sebagai alat memperoleh keuntungan, namun film, yang adalah bagian dari seni, juga sering kali digunakan untuk menyampaikan kritik sosial. Beberapa film Indonesia masa kini yang didalamnya terdapat pesan kritik sosial, seperti Alangkah Lucunya Negeri ini (2010) mencoba mengangkat potret nyata yang ada di kehidupan bangsa Indonesia, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta (2010) mengangkat realitas percintaan anak manusia yang terhalang oleh

9 Review Buku Posmodern Hollywood : What’s New in Film and Why It Makes Us Feel So Strange oleh

M Keith Booker.

(9)

perbedaan Agama, Minggu Pagi di Victoria Park (2010) sebuah kritik sosial akan potret suka duka TKW di Hongkong dan berbagai film lainnya.10

Kritik Sosial melalui film juga ada dalam film Hollywood, yaitu film The Tall Man (2012) sebuah kritik sosial melalui mitos. Film ber-genre horror / thriller / mystery/ crime ini menitikberatkan kritik sosial pada pemerintah yang tidak dapat mengatasi masalah sosial, seperti perekonomian yang kurang baik, penggangguran, kemiskinan, pelecehan terhadap anak serta masalah pengawasan anak. Dalam movie Review disampaikan bahwa film ini adalah film horror yang dekat dengan realitas nyata (khususnya di Amerika). 11

Kritik Sosial menandakan bahwa masyarakat / konsumen sekarang ini bersifat aktif terhadap segala bentuk informasi. Melihat realitas yang terjadi sekarang ini mengenai pertarungan antar kelas, serta maraknya aksi eksploitasi, konstruksi serta komodifikasi media maka munculah film The Hunger Games untuk mengkritisi segala bentuk pengemasan media yang terjadi. Sang penulis, Suzzane Collins mengungkapkan bahwa ide cerita The Hunger Games muncul ketika ia sedang memilah-milah saluran televisi, lalu ia menemukan persamaan antara berita yang sifatnya mempertontonkan adegan kekerasan dan program reality show yang penuh dengan drama. Hal ini pula

yang terjadi dalam kehidupan nyata sekarang ini. “Bukan saja menyajikan aksi namun

juga menyelipkan tema kritik sosial akan gaya hidup manusia”.12

Film yang diadaptasi dari sebuah novel trilogi oleh Lions Gate Entertaiment dan dirilis pada tahun 2008 ini, terbukti berhasil memikat kaum remaja (khususnya di Amerika) hingga masuk jajaran New York Best Seller13 seiring dengan pasca berakhirnya rangkaian film Harry Potter dan akan berakhirnya saga Twilight. Walaupun dinilai banyak memasukan unsur kekerasan, drama, aksi, reality show, percintaan remaja dan politik ini, namun hal itu tidak mengurangi esensi pesan yang ingin

10 10 Film Indonesia Terbaik 2010.

http://www.kapanlagi.com/film/indonesia/2010-in-review-10-film-indonesia-terbaik-2010.html diakses pada 12/02/2013 pukul 14.15

11 Movie Review : The Tall Man

http://www.huffingtonpost.com/marshall-fine/movie-review-ithe-tall-ma_b_1853836.html diakses pada 11/11/2013 pukul 12:55

12

Rubrik Musik dan Film pada Koran Jakarta (versi Digital).

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/86816 diakses pada 19/02/2013 pukul 12:44

(10)

disampaikan. Tidak hanya itu, akreditasi yang diberikan oleh para novelis fiksi kondang seperti Stephen Meyer, Stephen king terhadap saga The Hunger Games ini sangatlah positif. Hal ini yang menggiring banyak penghargaan, antara lain Publishers Weekly’s Best Books of the Year (2008), The New York Times Notable Children’s Book (2008), Golden Duck Award in the Young Fiction Category (2009), Cybill Winner (2008), Booklist Editors’ choice (2008), California Young Reader Medal (2011), dan An American Library Association Top Ten Best Book for Young Adult Selection.

Setalah diadaptasi ke film, pada awal tahun 2012, film The Hunger Games selama dua minggu telah menduduki puncak Box Office film Amerika. Film ini dinilai telah menyuguhkan isu global yang bisa ditarik ke konteks sosial di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, yang dikemas seca ra menghibur, atau bisa juga dianggap secara hyper-realitas”.14

Setelah memborong penghargaan MTV Movie Awards pada Juni 2012 lalu, di awal Januari 2013, Film fantasi The Hunger Games kembali dibanjiri dengan penghargaan People's Choice Award. Keputusan ini diambil berdasarkan pemungutan suara 475 penggemar yang memilih di situs resmi penyelenggara untuk kategori film, televisi dan musik. Total ada lebih dari 40 kategori yang dikategorikan. Film ini mengalahkan film lainnya seperti The Avengers, The Amazing Spider-Man, The Dark Knight Rises dan Snow White and The Huntsman.15 Masih pada tahun yang sama, The Hunger Games kembali memenangkan penghargaan Critics Choice Award.

Penulis secara pribadi, tertarik untuk mengkaji film The Hunger Games, film karangan Suzzane Collins ini terkesan ingin memvisualisasikan sebuah potret yang terjadi pada masyarakat sekarang ini mengenai carut marut praktik kuasa dan praktik kerja media Industri (wacana kapitalisme).

14 Hunger Games : Ketika Nyawa Pun Bisa Dijadikan Komoditas Hiburan (Bisnis Indonesia Jabar)

http://www.bisnis-jabar.com/index.php/berita/hunger-games-ketika-nyawa-pun-bisa-jadi-komoditas-hiburan diakses pada 12/02/2013 pukul 12:56

15 http://www.merdeka.com/artis/peoples-choice-nobatkan-the-hunger-games-jadi-film-terfavorit.html

(11)

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Wacana Kapitalisme disampaikan dalam film The Hunger Games?

1.3 Tujuan Penelitian

Menggambarkan dan menjelaskan Wacana Kapitalisme dalam film The Hunger Games.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Memberikan tambahan pengetahuan atas media film sebagai media sebagai kritik sosial. Selain itu juga menambah referensi kepustakaan dengan menggunakan Analisis Wacana Kritis terhadap perfilman.

1.4.2. Manfaat Praktis

Memberikan pengetahuan tersendiri bagi penulis akan Wacana Kapitalisme yang di gambarkan melalui film yang didalamnya terkesan terdapat konsep kuasa serta praktik Industri Media, serta menyajikan kepada pembaca penelitian yang dapat menambah referensi pembaca yang kaitannya dengan penelitian dengan menggunakan Analisis Wacana Kritis.

1.5 Kerangka Pikir

Munculnya Film sebagai media baru sangat membantu proses penyampaian pesan dalam konteks Komunikasi Massa. Film juga sebagai media untuk kritik sosial dengan menampilkan potret sebuah realitas

(12)

masyarakat dengan aspek-aspek dalam kehidupan (ekonomi, politik, sosial) disertai dengan ketimpangan kelas.

Untuk menjawab rumusan masalah, maka penulis mengkaji film ini dengan menggunakan Analisis wacana model Fairclough yang berhubungan dengan praktik kuasa dan Industri Media, disertai dengan penjelasan konsep Kapitalisme Karl Marx, serta Kuasa & Ilmu Pengetahuan oleh Michael Foucault.

Globalisasi : Perkembangan Teknologi dan Komunikasi

Kapitalisme

Posmodernisme : Media massa sebagai Industri + Gambaran Kapitalisme yang terjadi

Media Film

Film

The Hunger

Games :

sebagai media kritik sosial pada realita kaitannya dengan Kuasa dan praktik

Industri Media (Wacana Kapitalisme

Metode Analisis Wacana Kritis model Fairclough

Konsep Kuasa & Ilmu Pengetahuan

( Michael Foucault)

Menjelaskan

Wacana

Kapitalisme

dalam film The

Hunger Games

Penggolongan kapitalisme berdasarkan

Referensi

Dokumen terkait

hanya karena kurangnya informasi tentang komunitas BMX Boyolali, oleh karena. itu penulis merancang solusi dengan membuat film dokumenter

isi film yang menyangkut kekerasan yang ditampilkan dalam film 9 Naga. Dengan rumusan masalah sebagai

Dengan menggunakan tehnik analisis data Analisis Wacana Kritis, penulis menemukan bahwa Film Tanda Tanya “?” tidak berhasil memberikan makna toleransi yang

Skripsi ini berjudul “Analisis Kritik Sosial Pada Film Warkop DKI Reborn (Menggunakan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough)”.. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

Kritik Sosial Dalam Film Komedi (study khusus tujuh film nya Abbas Akup).. Bandung: Mizan

Penulis ingin menggunakan tiga cara dalam pembuatan musik yang ditujukan untuk produksi film Sekapur Sirih Tempo Hari.. Cara pertama adalah dengan merekam, cara

Penelitian ini membahas penokohan karakter gay dalam film Negeri Van Oranje , dengan didasarkan pada semakin berkembangnya penokohan karakter dan tokoh gay. dalam

Awal simbol tiga jari ( salam kemenangan tiga jari ) dikeluarkan oleh Jennifer Lawrence, yang berperan sebagai Katniss Everdeen pada Film Hunger Games yang