• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Konteks Masalah - Hiperrealitas dalam Trilogi Film Huner Games (Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari Dalam Trilogi Film Hunger Games)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Konteks Masalah - Hiperrealitas dalam Trilogi Film Huner Games (Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari Dalam Trilogi Film Hunger Games)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

1. 1 Konteks Masalah

Perkembangan film memiliki perjalanan cukup panjang hingga pada akhirnya menjadi seperti film di masa kini yang kaya dengan efek, dan sangat mudah didapatkan sebagai media hiburan. Perkembangan film dimulai ketika digunakannya alat kinetoskop temuan Thomas Alfa Edison yang pada masa itu digunakan oleh penonton individual. Film awal masih bisu dan tidak berwarna. Pemutaran film di bioskop untuk pertama kalinya dilakukan pada awal abad 20, hingga industri film Hollywood yang pertama kali, bahkan hingga saat ini merajai industri perfilman populer secara global. Pada tahun 1927 teknologi sudah cukup mumpuni untuk memproduksi film bicara yang dialognya dapat didengar secara langsung, namun masih hitam-putih. Hingga pada 1937 teknologi film sudah mampu memproduksi film berwarna yang lebih menarik dan diikuti dengan alur cerita yang mulai populer. Pada tahun 1970-an, film sudah bisa direkam dalam jumlah massal dengan menggunakan videotapeyang kemudian dijual. Tahun 1980-an ditemukan teknologi laser disc, lalu VCD dan kemudian menyusul teknologi DVD. Hingga saat ini digital movie yang lebih praktis banyak digemari sehingga semakin menjadikan popularitas film meningkat dan film menjadi semakin dekat dengan keserarian masyarakat modern.

(2)

kedua The Hunger Games: Catching Fire mencetak yang lebih tinggi lagi, 158 juta dolar AS serta 123 juta dolar AS, hal ini cukup untuk menjadikan The Hunger Games: Mockingjay Part 1 sebagai film dengan pembukaan terbesar 2014 setelah mengalahkan Transformers: Age of Extinction yang mampu membuka dengan 100 juta dolar AS.

Kesuksesan film ini juga terjadi saat banyaknya penonton yang ikut terpengaruh pada isi cerita ketiga Film yang bercerita tentang Pemberontakan pada Capitol. Seperti yang terjadi baru-baru ini di Thailand. Menurut pemberitaan Liputan 69(dot)com edisi tanggal 20 November 2014 telah terjadi penangkapan 5 mahasiswa di Thailand Rabu 19 November 2014 kemarin. Mereka melakukan salam yang terinspirasi dari Film "The Hunger Games" di depan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha–sebuah tindakan yang dianggap melanggar hukum darurat militer (martial law).

Phavinee Chumsri, pengacara dari Thai Lawyers for Human Rights mengatakan, para mahasiswa ditangkap setelah melakukan salam tiga jari di tengah pidato sang perdana menteri di wilayah timur laut Thailand. Mereka berdiri di dekat podium, saat perdana menteri berpidato, kelimanya lantas membuka baju mereka, mempertontonkan kaus bertuliskan 'Menolak Kudeta' dan langsung mengacungkan 3 jari mereka ke atas. "Pada saat kejadian, 5 orang yang berasal dari Provinsi Khon Kae --450 km timur laut Bangkok -- juga mengenakan kaus bertuliskan 'Menolak kudeta militer'," kata Phavinee seperti Liputan6.com kutip dari CNN, Kamis (20/11/2014).

Phavinee menambahkan, para mahasiswa Khon Kaen University dibawa ke fasilitas militer, Kamp Sri Patcharin. Di sana mereka dilaporkan menolak menandatangani kesepakatan untuk tak lagi berpartisipasi dalam aktivitas politik. Saat insiden terjadi, PM Prayuth Chan-ocha dilaporkan bersikap tenang. "Apakah ada lagi yang ingin protes," kata dia di podium, seperti dikutip dari BBC. Dia menambahkan, para pemrotes bisa mengajukan keluhan ke kantor pemerintah setempat.

(3)

militer -- mengumumkan Mei 2014 lalu bahwa Thailand berada di bawah kontrol militer. Sejak saat itu, pemerintahan junta militer memberlakukan sejumlah aturan ketat yang diklaim bertujuan mengembalikan ketertiban dan menyelesaikan krisis, di antaranya adalah sensor bahkan pelarangan media, jam malam, dan larangan berkumpul.

Hollywood punya peran dalam gerakan sipil di Thailand. Diawali pemimpin protes, Sombat Boonngamanong yang rajin menggunakan salam tiga jari di Twitter dan di manapun, untuk menyebarkan pesannya. Dalam film "The Hunger Games" yang dibintangi Jennifer Lawrence yang berperan sebagai Katniss Everdeen, salam tiga jari adalah simbol revolusi melawan tirani penguasa.

Awal simbol tiga jari ( salam kemenangan tiga jari ) dikeluarkan oleh Jennifer Lawrence, yang berperan sebagai Katniss Everdeen pada Film Hunger Games yang pertama. Adegan ini terjadi pada waktu pemutaran 1:43:48. Pada saat itu Sekutu Katniss, Rue yang berasal dari distrik 11 meninggal dunia. Saat itu, Katniss menaburkan bunga pada jasad Rue lalu melemparkan salam tiga jari ke udara. Salam tiga jari ini dimaksudkan sebagai tanda kehilangan pada orang yang disayang.

Salam tiga jari ini perubahan makna kembali pada film Hunger Games Catching Fire, dimana pada saat Katniss everdeen melakukan tur kemenangan ketiap – tiap distrik terjadi pemberontakan distrik-distrik tersebut kepada capitol dengan menyanyikan lagu (siulan burung mocking jay) dan mengacungkan tiga jari mereka keatas. Salam tiga jari ini pun menjadi simbol pergerakan distrik-distrik dalam melakukan pemberontakan pada capitol.

Sangkin populernya di Thailand, aparat memperingatkan mereka akan menahan siapapun dalam kerumunan yang melakukan salam 3 jari dan menolak untuk menurunkan tangannya jika diperintahkan. Film ketiga dari serial tersebut, "The Hunger Games: Mockingjay - Part 1,"akan diputar di sejumlah

(4)

Gambar 1.1

Sumber: Screen Capture Film The Hunger Games

Dalam film Hunger Games, mengacungkan tiga jari dilakukan oleh Katniss Everdeen yang menentang pemerintah Capitol yang totaliter yang dipimpin oleh Presiden Coriolanus Snow. Salam tiga jari Katniss pun menular menjadi simbol perlawanan yang diikuti oleh warga dari berbagai distrik.

Gambar 1.2

(5)

Gambar 1.3

Sumber : Liputan6.com edisi Games Mocking Jay 20 November 2014

Hal inilah yang menarik perhatian peneliti melihat bagaimana pemaknaan simbol pemberontakan salam tiga jari yang ada dalam trilogy film Hunger Games. Hiperrealitas sendiri dapat diartikan sebagai ketidakmampuan kesadaran kita untuk membedakan antara kenyataan dari fantasi terlebih pada era kemajuan teknologi budaya postmodern. Kita mungkin tahu bahwa sosok superhero seperti Spiderman itu sejatinya tidak ada, namun masih saja banyak orang yang tergila-gila dengan membeli sesuatu (misalnya DVD, merchandise, kostum, dan lain sebagainya) terkait dengan Spiderman, atau bahkan ingin bertemu dengannya secara langsung. Masyarakat sudah tidak bisa menentukan mana ilusi dan yang mana bukan ilusi, yang penting beli, agar bisa dianggap sebagai fans fanatic, dan kaum yang mengikuti perkembangan jaman.

(6)

Sementara itu, Jean Baudrillard mendefinisikan hiperrealitas sebagai sesuatu yang tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri, dalam hal ini salinan dan asli adalah obyek yang sama.Dunia hiperrealitas merupakan sebuah produk dari simulasi, representasi bukan merupakan prinsip pembentuk hiperrealitas. Dunia kita saat ini adalah dunia simulasi di mana keberadaan simulasi telah tersebar luas di berbagai media, termasuk film. Pandangan kritis postmodern melihat film ataupun tayangan televisi justru tidak mendasarkan pada realitas dasar (muncul simulasi yang sempurna).

Pada kondisi seperti ini, maka simulasi realitas pada dasarnya adalah sebuah tindakan yang memiliki tujuan tertentu, yaitu membentuk suatu persepsi yang cenderung palsu dimana seolah-olah mewakili realitas yang ada. Di satu sisi menyatakan keberadaan, di sisi lainnya tidak eksis. Maka, jika sebuah film menunjukkan visual yang tidak bisa lagi diterima sebagai fakta yang alami, maka substansi film tersebut telah disimulasikan dari obyek yang sesungguhnya ada atau tidak ada sama sekali.

Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan masyarakat dewasa ini. Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat yaitu kebudayaan postmodern yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol (Baudrillard, 1987: 20). Pemikiran Baudrillard tentang dunia simulasi dan gagasan tentang fenomena hiperrealitas dapat dijelaskan secara gamblang dan menjadi mudah dipahami melalui film, televisi dan video game (Baudrillard, 1987: 33). Dalam wacana televisi, film dan video game mengikuti Baudrillard bergumul pelbagai unsur: fiksi dan fakta, realitas dan ilusi, kebenaran dan kepalsuan, yang direkayasa, disimulasi sehingga seolah-olah nyata.

(7)

otonomi penonton televisi sebenarnya tak lebih dari pilihan semu. Otonomi yang dibatasi dan diatur oleh pilihan yang sudah ada (Baudrillard, 1987: 16).

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti “ Hiperrealitas dengan menggunakan metode analisis semiotika. Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh yang semakin kuat dan luas dalam satu dekade terakhir ini, termasuk di Indonesia. Sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai bidang, seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, mempunyai pengaruh pula pada bidang seni rupa, tari, seni, film, desain produk, arsitektur, termasuk desain komunikasi visual ( Pilliang, 2012 : 337 ).

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks di atas, maka fokus masalah yang akan diteliti lebih lanjut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah hiperrealitas simbol pemberontakan salam tiga jari dalam trilogi film Hunger Games.

2. Bagaimanakah pemaknaan simbol salam tiga jari sebagai ekspresi pemberontakan dalam film Hunger Games.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui makna simbol pemberontakan salam tiga jari sebagai simbol pemaknaan dalam film Hunger Games.

(8)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini mengkombinasikan semiotika khususnya semiotika signifikansi Roland Barthes dengan paradigma kritis. Hiperrealitas yang berada dibawah paradigma ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan kajian Ilmu Komunikasi. 2. Secara praktis, penelitian ini berguna agar pembaca dapat mengetahui dan

memahami pemaknaan di dalam sebuah film agar bisa dimaknai tidak hanya dari isi pesan yang tampak (manifest content), tetapi juga muatan pesan yang tersembunyi (Latent content).

Gambar

Gambar 1.1
Gambar 1.3

Referensi

Dokumen terkait