• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hiperrealitas dalam Trilogi Film Huner Games (Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari Dalam Trilogi Film Hunger Games)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hiperrealitas dalam Trilogi Film Huner Games (Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari Dalam Trilogi Film Hunger Games)"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

HIPERREALITAS DALAM TRILOGI FILM HUNGER

GAMES

SKRIPSI

NABILAH ADZHANI

110904025

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

HIPERREALITAS DALAM TRILOGI FILM HUNGER

GAMES

(Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari Dalam Trilogi Film Hunger Games)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata I (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

NABILAH ADZHANI

110904025

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Nabilah Adzhani NIM : 110904025

Departemen : Ilmu Komunikasi (HUMAS)

Judul : HIPERREALITAS DALAM TRILOGI FILM HUNGER GAMES

(Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari Dalam Trilogi Film Hunger Games)

Medan, Juni 2015

DosenPembimbing KetuaDepartemen

Drs, HendraHarahap, M.Si Dra. FatmaWardyLubis, M.A NIP. 196710021994031002 NIP. 196208281987012001

Dekan

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Nabilah Adzhani

NIM :110904025

Departemen : Ilmu Komunikasi

JudulSkripsi : Hiperrealitas Dalam Trilogi Film Hunger Games

(Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari Dalam Trilogi Film Hunger Games)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

KetuaPenguji : : (……….)

Penguji : (……….)

PengujiUtama : (……….)

Ditetapkan di :

(5)

Penelitian ini berjudul “Hiperrealitas Dalam Trilogi Film Hunger Games.” Sebuah studi analisis semiotika scene simbol pemberontakan salam tiga jari pada trilogi film Hunger Games yaitu The Hunger Games, The Hunger Games Catching Fire, dan The Hunger Games Mocking Jay-1. Film ini dianalisis dengan menggunakan semiologi Roland Barthes agar diketahui makna dan mitos di baliknya dan kemudian digunakan untuk melihat hiperrealitas yang terjadi di dalam maupun di luar film ini. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivis dan pisau analisis semiologi Rholan Barthes, yaitu analisis leksia dan lima kode pembacaan Barthes. Melalui analisis ini, dapat dilihat konstruksi yang dilakukan film ini dalam memaknai simbol pemberontakan salam tiga jari ini. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah Hunger Games membuat suatu simbol yang dapat dijadikan simbol pemberontakan yaitu salam tiga jari, yang mana simbol ini memiliki efek hiperrealitas kepada masyarakat.

(6)

This study entitled "hyperreality In Trilogy Hunger Games Film". A study of semiotic analysis symbol of rebellion three fingers scene in the Hunger Games trilogy Movie such as The Hunger Games, The Hunger Games Catching Fire, and The Hunger Games Mocking Jay -1. This film has been analyzed using Rholand Barthes semiologique in order to know the meaning and myth behind it and then used to see the happening hyperreality inside and outside the film. Qualitative research as a method, with constructivist paradigm and Rholand Barthes semiology analysis helped the researcher to dig deep down inside of meaning and myth, namely analysis leksia and five Barthes reading codes. Through this analysis, it can be seen that the construction of this film made in defining symbol of these rebellion three fingers. The conclusion of this study is the Hunger Games create a symbol that can be used as a symbol of rebellion which regards the three fingers, which this symbol has a hyperreality effect to the public.

(7)

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (Plagiat) maka saya bersedia diproses

sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : NabilahAdzhani Nim : 110904025 Tanda Tangan :………

(8)

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nabilah Adzhani NIM : 110904025 Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Hiperrealitas Dalam Trilogi Film Hunger Games (Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari Dalam Trilogi Film Hunger Games).

Beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap menyantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

(9)

Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillahirabbil’alamin. Tasydid, Tahmid dan Takbir tak hentinya saya lantunkan untuk Allah SWT atas tak terhitungnya rezeki yang telah Ia berikan secara cuma-cuma kepada seluruh hambaNya, kepada saya (peneliti), sehingga saya mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam saya limpahkan pada Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliah kezaman yang terang benderang.

Skripsi ini disusun untuk menambah kajian ilmu komunikasi di bidang semiotika khususnya Hiperrealitas dan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana (S1) di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Hiperrealitas Dalam Trilogi Film Hunger Games (Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari Dalam Trilogi Film Hunger Games).

Terima kasih yang tak terhingga untuk (Ayah) tercinta, Imam terbaik untuk istri dan anak-anaknya Zainuddin dan (Ibu) yang tanpa lelah selalu mengingatkan saya untuk menyelesaikan skripsi ini, Erna Asmayani. Terima kasih atas doa dan restu yang selalu diberikan di setiap detiknya. Terima kasih pula untuk (adik) Muhammad Farhan Zain yang sebentar lagi akan memasuki dunia perkuliahan di Malang (adik) Muhammad Faiz Ihsan Zain yang telah menjadi pelipur lara kapanpun dan dalam situasi apapun. Allah membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan.

Tanpa bantuan berbagai pihak, skripsi ini tidak akan mungkin dapat diselesaikan. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. FatmaWardyLubis, MA. Selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi atas segala dukungannya bagi peneliti.

(10)

kemudahan yang abang berikan kepada peneliti dari awal hingga akhir penulisan skripsi.

5. Ibu Rusni selaku Dosen Pembimbing Akademik Peneliti yang membimbing dengan penuh kasih sayangnya.

6. Kak Maya yang telah banyak membantu peneliti sepanjang menjadi mahasiswa

7. Bapak dan Ibu Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Terima kasih untuk segala ilmu pengetahuan yang telah kalian bagi selama peneliti menjadi mahasiswa

8. Seluruh Dosen FISIP, Bang Ara, Bang Fernanda, Bang Lagut, Bang Fuad, Bang Bimby dll yang selalu mengikut sertakan peneliti dalam berbagai kegiatan kampus, Menjadikan peneliti MC Professional dan mengantarkan peneliti untuk bertemu idola peneliti “Gita Wirjawan.”

9. Muhammad Zahrawi, terima kasih telah menjadi pembimbing skripsi kedua peneliti, yang membimbing mulai dari judul hingga berakhirnya skripsi ini. Serta membimbing peneliti untuk lebih mengenal Allah.

10.Wahyu Oetama, atas doa, hiburan, semangat, tenaga, materi, alat pendukung untuk menyelesaikan skripsi ini, hingga kesabaran dalam menghadapi emosi peneliti setiap harinya.

11.Helmy Adiputra, Business Development Manager Garuda Hotel Group, Bos terbaik yang pernah peneliti miliki terima kasih atas pengertian, doa dan selalu memberikan kebebasan waktu di sela-sela jam bekerja untuk peneliti menyelesaikan skripsi ini.

(11)

14.IMAJINASI USU, Divisi ROHIS atas ilmunya

15.Kak Debi, Kak Dina, Pak Iskandar, Pak Fadil , Pak Purwanto dan rekan-rekan kerja saya lainnya di Garuda Plaza Hotel yang membentuk saya menjadi pribadi yang lebih dewasa.

16.Suzzane Collins, terima kasih untuk buku Hunger Gamesmu.

Peneliti menyadari masih sangat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, terutama karena keterbatasan waktu yang harus dibagikan untuk skripsi dan tanggung jawab pekerjaan. Peneliti menerima kritik dan saran membangun demi perkembangan penelitian-penelitian selanjutnya. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi siapapun yang membacanya. Terimakasih

Medan, Juni 2015

(12)

LEMBAR PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN

ABSTRAK ……….……i

ABSTRACT ……….ii

PERNYATAAN ORISINALITAS KATA PENGANTAR ……….iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….…….iv

KATA PENGANTAR ……….……….v

II.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa ………...…….11

II.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol ………...16

II.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu ………..…....17

II.2.4 Semiotika ………...………..18

III.6 Teknik Analisis Data ....… ………...59

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisis Data ………..………...62

IV.1.1 Analisis Scene pada The Hunger Games ……….…62

(13)

BAB V KESIMPULAN

V.1 Kesimpulan ………86 V.2 Saran ………..88

DAFTAR PUSTAKA ……….……89

(14)

Gambar 1.1 ……….………..……….4

Gambar 1.2 ……….……….…………..5

Gambar 1.3 ………6

Gambar 2.1 ………..………31

Gambar 2.2 ……….……….34

Gambar 2.3 ……….……….35

Gambar 2.4 ………..36

Gambar 2.5 ………..39

Gambar 2.6 ………..39

Gambar 2.7 ………..…40

Gambar 2.8 ………..41

Gambar 2.9 ………..41

Gambar 2.91 ……….………...47

Gambar 2.92 ………48

Gambar 4.1 ………..65

Gambar 4.1.1 ………...66

Gambar 4.1.2 ………...67

Gambar 4.1.3 ………...67

Gambar 4.1.4 ………...71

Gambar 4.1.5 ……….…..73

Gambar 4.1.6 ………...……73

Gambar 4.1.7 ………...…………74

Gambar 4.1.8 ………...78

Gambar 4.1.9 ………...………79

Gambar 4.2 ………..80

Gambar 4.2.1 ………...80

Gambar 4.2.2 ………...80

(15)

Tabel 2.1 ………...28

(16)

Penelitian ini berjudul “Hiperrealitas Dalam Trilogi Film Hunger Games.” Sebuah studi analisis semiotika scene simbol pemberontakan salam tiga jari pada trilogi film Hunger Games yaitu The Hunger Games, The Hunger Games Catching Fire, dan The Hunger Games Mocking Jay-1. Film ini dianalisis dengan menggunakan semiologi Roland Barthes agar diketahui makna dan mitos di baliknya dan kemudian digunakan untuk melihat hiperrealitas yang terjadi di dalam maupun di luar film ini. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivis dan pisau analisis semiologi Rholan Barthes, yaitu analisis leksia dan lima kode pembacaan Barthes. Melalui analisis ini, dapat dilihat konstruksi yang dilakukan film ini dalam memaknai simbol pemberontakan salam tiga jari ini. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah Hunger Games membuat suatu simbol yang dapat dijadikan simbol pemberontakan yaitu salam tiga jari, yang mana simbol ini memiliki efek hiperrealitas kepada masyarakat.

(17)

This study entitled "hyperreality In Trilogy Hunger Games Film". A study of semiotic analysis symbol of rebellion three fingers scene in the Hunger Games trilogy Movie such as The Hunger Games, The Hunger Games Catching Fire, and The Hunger Games Mocking Jay -1. This film has been analyzed using Rholand Barthes semiologique in order to know the meaning and myth behind it and then used to see the happening hyperreality inside and outside the film. Qualitative research as a method, with constructivist paradigm and Rholand Barthes semiology analysis helped the researcher to dig deep down inside of meaning and myth, namely analysis leksia and five Barthes reading codes. Through this analysis, it can be seen that the construction of this film made in defining symbol of these rebellion three fingers. The conclusion of this study is the Hunger Games create a symbol that can be used as a symbol of rebellion which regards the three fingers, which this symbol has a hyperreality effect to the public.

(18)

PENDAHULUAN

1. 1 Konteks Masalah

Perkembangan film memiliki perjalanan cukup panjang hingga pada akhirnya menjadi seperti film di masa kini yang kaya dengan efek, dan sangat mudah didapatkan sebagai media hiburan. Perkembangan film dimulai ketika digunakannya alat kinetoskop temuan Thomas Alfa Edison yang pada masa itu digunakan oleh penonton individual. Film awal masih bisu dan tidak berwarna. Pemutaran film di bioskop untuk pertama kalinya dilakukan pada awal abad 20, hingga industri film Hollywood yang pertama kali, bahkan hingga saat ini merajai industri perfilman populer secara global. Pada tahun 1927 teknologi sudah cukup mumpuni untuk memproduksi film bicara yang dialognya dapat didengar secara langsung, namun masih hitam-putih. Hingga pada 1937 teknologi film sudah mampu memproduksi film berwarna yang lebih menarik dan diikuti dengan alur cerita yang mulai populer. Pada tahun 1970-an, film sudah bisa direkam dalam jumlah massal dengan menggunakan videotapeyang kemudian dijual. Tahun 1980-an ditemukan teknologi laser disc, lalu VCD dan kemudian menyusul teknologi DVD. Hingga saat ini digital movie yang lebih praktis banyak digemari sehingga semakin menjadikan popularitas film meningkat dan film menjadi semakin dekat dengan keserarian masyarakat modern.

(19)

kedua The Hunger Games: Catching Fire mencetak yang lebih tinggi lagi, 158 juta dolar AS serta 123 juta dolar AS, hal ini cukup untuk menjadikan The Hunger Games: Mockingjay Part 1 sebagai film dengan pembukaan terbesar 2014 setelah mengalahkan Transformers: Age of Extinction yang mampu membuka dengan 100 juta dolar AS.

Kesuksesan film ini juga terjadi saat banyaknya penonton yang ikut terpengaruh pada isi cerita ketiga Film yang bercerita tentang Pemberontakan pada Capitol. Seperti yang terjadi baru-baru ini di Thailand. Menurut pemberitaan Liputan 69(dot)com edisi tanggal 20 November 2014 telah terjadi penangkapan 5 mahasiswa di Thailand Rabu 19 November 2014 kemarin. Mereka melakukan salam yang terinspirasi dari Film "The Hunger Games" di depan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha–sebuah tindakan yang dianggap melanggar hukum darurat militer (martial law).

Phavinee Chumsri, pengacara dari Thai Lawyers for Human Rights mengatakan, para mahasiswa ditangkap setelah melakukan salam tiga jari di tengah pidato sang perdana menteri di wilayah timur laut Thailand. Mereka berdiri di dekat podium, saat perdana menteri berpidato, kelimanya lantas membuka baju mereka, mempertontonkan kaus bertuliskan 'Menolak Kudeta' dan langsung mengacungkan 3 jari mereka ke atas. "Pada saat kejadian, 5 orang yang berasal dari Provinsi Khon Kae --450 km timur laut Bangkok -- juga mengenakan kaus bertuliskan 'Menolak kudeta militer'," kata Phavinee seperti Liputan6.com

kutip dari CNN, Kamis (20/11/2014).

Phavinee menambahkan, para mahasiswa Khon Kaen University dibawa ke fasilitas militer, Kamp Sri Patcharin. Di sana mereka dilaporkan menolak menandatangani kesepakatan untuk tak lagi berpartisipasi dalam aktivitas politik. Saat insiden terjadi, PM Prayuth Chan-ocha dilaporkan bersikap tenang. "Apakah ada lagi yang ingin protes," kata dia di podium, seperti dikutip dari BBC. Dia menambahkan, para pemrotes bisa mengajukan keluhan ke kantor pemerintah setempat.

(20)

militer -- mengumumkan Mei 2014 lalu bahwa Thailand berada di bawah kontrol militer. Sejak saat itu, pemerintahan junta militer memberlakukan sejumlah aturan ketat yang diklaim bertujuan mengembalikan ketertiban dan menyelesaikan krisis, di antaranya adalah sensor bahkan pelarangan media, jam malam, dan larangan berkumpul.

Hollywood punya peran dalam gerakan sipil di Thailand. Diawali pemimpin protes, Sombat Boonngamanong yang rajin menggunakan salam tiga jari di Twitter dan di manapun, untuk menyebarkan pesannya. Dalam film "The Hunger Games" yang dibintangi Jennifer Lawrence yang berperan sebagai Katniss Everdeen, salam tiga jari adalah simbol revolusi melawan tirani penguasa.

Awal simbol tiga jari ( salam kemenangan tiga jari ) dikeluarkan oleh Jennifer Lawrence, yang berperan sebagai Katniss Everdeen pada Film Hunger Games yang pertama. Adegan ini terjadi pada waktu pemutaran 1:43:48. Pada saat itu Sekutu Katniss, Rue yang berasal dari distrik 11 meninggal dunia. Saat itu, Katniss menaburkan bunga pada jasad Rue lalu melemparkan salam tiga jari ke udara. Salam tiga jari ini dimaksudkan sebagai tanda kehilangan pada orang yang disayang.

Salam tiga jari ini perubahan makna kembali pada film Hunger Games Catching Fire, dimana pada saat Katniss everdeen melakukan tur kemenangan ketiap – tiap distrik terjadi pemberontakan distrik-distrik tersebut kepada capitol dengan menyanyikan lagu (siulan burung mocking jay) dan mengacungkan tiga jari mereka keatas. Salam tiga jari ini pun menjadi simbol pergerakan distrik-distrik dalam melakukan pemberontakan pada capitol.

Sangkin populernya di Thailand, aparat memperingatkan mereka akan menahan siapapun dalam kerumunan yang melakukan salam 3 jari dan menolak untuk menurunkan tangannya jika diperintahkan. Film ketiga dari serial tersebut, "The Hunger Games: Mockingjay - Part 1,"akan diputar di sejumlah

(21)

Gambar 1.1

Sumber: Screen Capture Film The Hunger Games

Dalam film Hunger Games, mengacungkan tiga jari dilakukan oleh Katniss Everdeen yang menentang pemerintah Capitol yang totaliter yang dipimpin oleh Presiden Coriolanus Snow. Salam tiga jari Katniss pun menular menjadi simbol perlawanan yang diikuti oleh warga dari berbagai distrik.

Gambar 1.2

(22)

Gambar 1.3

Sumber : Liputan6.com edisi Games Mocking Jay 20 November 2014

Hal inilah yang menarik perhatian peneliti melihat bagaimana pemaknaan simbol pemberontakan salam tiga jari yang ada dalam trilogy film Hunger Games. Hiperrealitas sendiri dapat diartikan sebagai ketidakmampuan kesadaran kita untuk membedakan antara kenyataan dari fantasi terlebih pada era kemajuan teknologi budaya postmodern. Kita mungkin tahu bahwa sosok superhero seperti Spiderman itu sejatinya tidak ada, namun masih saja banyak orang yang tergila-gila dengan membeli sesuatu (misalnya DVD, merchandise, kostum, dan lain sebagainya) terkait dengan Spiderman, atau bahkan ingin bertemu dengannya secara langsung. Masyarakat sudah tidak bisa menentukan mana ilusi dan yang mana bukan ilusi, yang penting beli, agar bisa dianggap sebagai fans fanatic, dan kaum yang mengikuti perkembangan jaman.

(23)

Sementara itu, Jean Baudrillard mendefinisikan hiperrealitas sebagai sesuatu yang tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri, dalam hal ini salinan dan asli adalah obyek yang sama.Dunia hiperrealitas merupakan sebuah produk dari simulasi, representasi bukan merupakan prinsip pembentuk hiperrealitas. Dunia kita saat ini adalah dunia simulasi di mana keberadaan simulasi telah tersebar luas di berbagai media, termasuk film. Pandangan kritis postmodern melihat film ataupun tayangan televisi justru tidak mendasarkan pada realitas dasar (muncul simulasi yang sempurna).

Pada kondisi seperti ini, maka simulasi realitas pada dasarnya adalah sebuah tindakan yang memiliki tujuan tertentu, yaitu membentuk suatu persepsi yang cenderung palsu dimana seolah-olah mewakili realitas yang ada. Di satu sisi menyatakan keberadaan, di sisi lainnya tidak eksis. Maka, jika sebuah film menunjukkan visual yang tidak bisa lagi diterima sebagai fakta yang alami, maka substansi film tersebut telah disimulasikan dari obyek yang sesungguhnya ada atau tidak ada sama sekali.

Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan masyarakat dewasa ini. Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat yaitu kebudayaan postmodern yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol (Baudrillard, 1987: 20). Pemikiran Baudrillard tentang dunia simulasi dan gagasan tentang fenomena hiperrealitas dapat dijelaskan secara gamblang dan menjadi mudah dipahami melalui film, televisi dan video game (Baudrillard, 1987: 33). Dalam wacana televisi, film dan video game mengikuti Baudrillard bergumul pelbagai unsur: fiksi dan fakta, realitas dan ilusi, kebenaran dan kepalsuan, yang direkayasa, disimulasi sehingga seolah-olah nyata.

(24)

otonomi penonton televisi sebenarnya tak lebih dari pilihan semu. Otonomi yang dibatasi dan diatur oleh pilihan yang sudah ada (Baudrillard, 1987: 16).

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti “ Hiperrealitas dengan menggunakan metode analisis semiotika. Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh yang semakin kuat dan luas dalam satu dekade terakhir ini, termasuk di Indonesia. Sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai bidang, seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, mempunyai pengaruh pula pada bidang seni rupa, tari, seni, film, desain produk, arsitektur, termasuk desain komunikasi visual ( Pilliang, 2012 : 337 ).

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks di atas, maka fokus masalah yang akan diteliti lebih lanjut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah hiperrealitas simbol pemberontakan salam tiga jari dalam trilogi film Hunger Games.

2. Bagaimanakah pemaknaan simbol salam tiga jari sebagai ekspresi pemberontakan dalam film Hunger Games.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui makna simbol pemberontakan salam tiga jari sebagai simbol pemaknaan dalam film Hunger Games.

(25)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini mengkombinasikan semiotika khususnya semiotika signifikansi Roland Barthes dengan paradigma kritis. Hiperrealitas yang berada dibawah paradigma ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan kajian Ilmu Komunikasi. 2. Secara praktis, penelitian ini berguna agar pembaca dapat mengetahui dan

memahami pemaknaan di dalam sebuah film agar bisa dimaknai tidak hanya dari isi pesan yang tampak (manifest content), tetapi juga muatan pesan yang tersembunyi (Latent content).

(26)

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Penelitian

Paradigma pada penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis. Menurut Guba (Wibowo, 2011: 136) paradigma adalah “Seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama, pandangan tentang dunia yang menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia.” Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia. Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. LittleJohn mengatakan bahwa teori-teori aliran konstruksionis ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya.

Paradigma konstruktivis melihat realitas pada saat ini merupakan hasil kreasi manusia. Paradigma kritis dimaknai sebagai sesuatu konsep kritis dengan latar belakang ideologi tertentu dalam mengkaji suatu fenomena sosial (Vardiansyah, 2008: 62).

Paradigma konstruktivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, gambar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara mengelola dunia sosial mereka (Wibowo, 2011: 162).

(27)

mengenai objek pengetahuan, sedangkan aksiologi menyangkut posisi value judgements. Filsafat ilmu komunikasi diartikan sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu komunikasi) dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya. Ontologi, apakah ilmu komunikasi? Epistomologi, Bagaimana proses yang memungkin ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu komunikasi? Aksiologi, untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan?

Bila dirunut ke belakang, pemikiran konstruktivisme – yang meyakini bahwa makna atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran(Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 153)berdasarkan teori Popper (1973). Popper membedakan tiga pengetahuan mengenai alam semesta: (1) dunia fisik atau keadaan fisik; (2) dunia kesadaran mental atau disposisi tingkah laku; dan (3) dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah. Bagi Popper objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan-batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran pengetahuan manusia. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Menurut Von Glossferld (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 154) konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif.

(28)

Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu arti orang harus menerjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus menguraikan konstruksi dari suatu pengertian / makna dan melakukan klarifikasi tentang apa dan bagaimana dari suatu arti dibentuk melalui bahasa serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor/pelaku.(Eriyanto, 2001 : 6).

Konstruktivis mengombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan cara manusia berpikir sambil berinteraksi dengan lingkungan sosial (konstruktivis) atau bagaimana makna diperoleh secara sosial dan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga konsekuensi etis dari pilihan manusia (kritis). Istilah konstruktivis pertama kali digunakan tahun 1960-an di bidang pendidikan dan kemudian di bidang psikologi (LittleJohn & Foss, 2009: 216). Konstruktivisme mengacu pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang diajukan dalam tradisi sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis.

2.2Uraian Teoritis

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot (Nawawi, 2007: 39). Maka, teori yang relevan untuk penelitian ini adalah:

2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa

Isi Media merupakan suatu bentuk konstruksi sosial. Media melakukan konstruksi terhadap terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisan-tulisan, gambar-gambar, suara, atau simbol-simbol lain melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai keinginan atau pun ideologi media itu. (Wibowo, 2011: 125).

(29)

Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksi. Berger dan Luckmann mengatakan : “institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif. Namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif sama” (Wibowo, 2011: 126).

Menurut penjelasan Berger dan Luckmann di atas, segala yang ada dalam institusi masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi. Setiap interaksi terjadi berdasarkan definisi subjektif dari tiap anggota masyarakat yang kemudian ditegaskan secara berulang-ulang dan menjadi suatu nilai objektif dalam masyarakat.

Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann adalah (dalam Wibowo, 2011: 125) pengetahuaan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadarn umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.

Berger dan Luckmann (dalam Wibowo, 2011: 126) membagi realitas sosial ke dalam tiga macam realitas, yaitu :

a. Realitas objektif yakni realitas terbentuk dari pengalaman dunia objektif yang berada di luar diri individu dan realitas itu dianggap sebagai suatu kenyataan.

b. Realitas simbolik yaitu ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk.

(30)

Menurut mereka realitas sosial ini terbentuk melalui tiga tahap, yaitu :

a. Eksternalisasi yakni individu melakukan penyesuaian diri dengan dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia.

b. Objektivasi yakni interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, produk sosial berada pada proses institusionalisasi. Individu memunculkan dirinya dalam produk-produk kegiatan manusia baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama dunia. Hal terpenting pada tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda – tanda sebagai isyarat bagi pemaknaan subjektif.

c. Internalisasi. yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.

Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa lepas konstruksi-konstruksi realitas sosial. Isi media menurut Alex Sobur pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya.

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda.’ Dengan demikian semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,telah dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Hal itu menjelaskan peranan tanda yang sangat hebat dimana tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekadar merefleksikan realitas yang ada (Bignell, 1997, dalam Listiorini, 1999).

(31)

sebagai kebenaran. Kesimpulannya, kebenaran ditentukan oleh media massa (Abrar, 1995: 59).

Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita (Tuchman, 1980).

Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa dalam perkembangan semiotika merupakan suatu alat atau suatu metode dalam mengembangkan pertandaan. Bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menenetukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa juga bukan sekadar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik. Akibatnya, media massa mempunya peluang yang sangar besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasikan dari realitas yang dikonstruksikan. Sesuai dengan perilakunya media massa yang menceritakan kembali sebuah peristiwa fakta, dimana proses penceritaan fakta tersebut disebut dengan pengonstruksian realitas (Sobur, 2001: 88).

Fakta tersebut termaktub dalam penggunaan bahasa tertentu yang secara jelas berimplikasi terhadap suatu kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realita turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad (2001: 57), bahasa bukan cuma mampu mencerminkan, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas.

(32)

intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.

Dalam buku tersebut Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik.

Dikatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun, masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan (Berger dan Luckmann, 1990: 61).

Lebih jauh lagi pengertian realitas adalah sebuah konsep yang kompleks, yang sarat dengan pertanyaan filosofis (Pilliang, dalam Slouka, 1999:15). Apakah yang kita lihat itu benar-benar nyata? Apakah musik yang kita dengar nyata atau hanya konsep. Ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah “realitas”, melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya yang tidak dapat kita tangkap. Menurut Zak van Straaten, yang dapat kita tangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas dibaliknya (Piliang, dalam Slouka, 1999: 15).

(33)

mempengaruhi makna peristiwa bagi penerimanya,.karenasetiap bahasa – setiap simbol – hadir bersamaan dengan ideologi, pilihan atas seperangkat simbol yang sengaja atau tidak, merupakan pilihan atas ideologi.

Volosinov menyatakan “whenever a sign present, ideology is present too (Hall, 1997, dalam Susilo, 2000). Media dilihat sebagai proses produksi dan pertukaran makna. Terlihat bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks di dalam kebudayaan. Pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan strukturalisme yang bisa dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linier (Fiske, 1990: 39).

Komunikasi massa adalah bentuk institusi sosial yang merupakan suatu kumpulan individu. Dennis McQuail (dalam Wibowo, 2011 : 127) mengatakan bahwa komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi. Pesan tersebut seringkali diproses, distandarisasi dan selalu diperbanyak. Pesan mempunyai nilai tukar dan acuan simbolik yang mengandung nilai kegunaan.

Menurut McQuail bahwa komunikator dari komunikasi massa dalam hal ini media massa bersifat organisasional yang artinya ada tujuan dari pesan-pesan yang disampaikan dimana pesan-pesan komunikasi massa punya kecenderungan mempunyai nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan kepentingan media.

Itulah sebabnya seperti dikatakan McQuail, dalam media sendiri terjadi standarisasi pesan dan pemrosesannya disinilah proses konstruksi pesan media terjadi. Sobur berpendapat bahwa isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya. Penelitian ini pada dasarnya ingin memberikan gambaran tentang realitas simbolik dalam proses konstruksi yang dilakukan oleh pembuat Ilustrasi di Harian Kompas.

2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol

(34)

dan lingkungan simbolik (bahasa, seni, dan mitos) seperti halnya manusia; manusia memiliki keunikan karena kemampuan menggunakan nalar (logika) serta dunia simboliknya. Hewan ketika diberikan makanan akan bereaksi dengan memakan makanan yang telah diberikan, sedangkan manusia akan menanggapinya dengan berbagai cara tergantung pada penafsirannya atas simbol-simbol yang ada.

Manusia menanggapi sesuatu tidak hanya secara naluriah. Manusia akan mengolah berbagai gagasan dulu, baik yang bersifat artistik, mistis ataupun religius, sebelum religius. Seperti yang dikatakan Epictetus, (dalam Rivers, 2003: 28) “Apa yang menyentak manusia bukanlah benda-benda, melainkan pendapat dan bayangannya sendiri tentang benda-benda tersebut.”

Realitas atau kenyataan mengandung hal-hal yang dapat diindera manusia; namun ada kerangka dan struktur tertentu dalam memahami hal-hal itu yang keberadaanya terkadang tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia. Untuk mengetahui hal tersebut itulah manusia menggunakan simbol-simbol. Manusia mengolahnya dengan pikiran, membuat citra-citra, konsep atau bayangan penafsiran tertentu sebagai simbol, dan setiap simbol memiliki makna tersendiri. Itulah sebabnya bagi manusia, sang pencipta simbol, dunia adalah sesuatu yang semu, suatu jaringan atau rangkaian simbol ciptaannya itu.

2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu

(35)

tidaknya tempat yang dikunjungi akan selalu didasarkan pada apa yang di tempat asal, dan pada apa yang sudah dibayangkan sebelumnya,” Walter Lippmann.

Proses penggambaran kenyataan di benak kita tentu saja juga dipengaruhi dari pernak-pernik pengalaman kita. Tetapi tetap saja dalam menafsirkan sesuatu kita bersandar pada pandangan awal, prasangka, motivasi dan kepentingan kita sendiri. Penafsiran dan pengembangan bayangan ini pula yang memunculkan stereotype, dan melandasi carapandang kita selanjutnya terhadap dunia luar. Lippman berpendapat bahwa prosesnya bisa berulang-ulang tanpa akhir.

Media massa sebagai sumber pengetahuan memiliki kemampuan menyajikan informasi dunia luar kepada orang-orang, yang kemudian menggunakannya untuk membentuk atau menyesuaikan gambaran mentalnya tentang dunia. Media massa juga bisa dianggap menciptakan lingkungan semu tersendiri di antara manusia dan dunia ‘nyata’. Sebagai institusi kontrol sosial yang dominan, media bisa dinilai memperkuat nilai-nilai dan pandangan lama disuatu masyarakat.

2. 2. 4. Semiotika

Paham mengenai semiotika atau “ilmu tentang tanda” ini telah menjadi salah satu konsep yang paling bermanfaat di dalam kerja kaum strukturalis sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Basisnya adalah pengertian tanda, yakni segala sesuatu yang secara konvensional dapat menggantikan atau mewakili sesuatu yang lain. Strukturalisme itu sendiri, menurut David A. Apter, merupakan pendekatan yang paling antardisiplin di antara pendekatan-pendekatan lain. Strukturalisme sendiri berasal dari linguistik, antropologi, filsafat, dan sosiologi (Apter, 1996:371). Strukturalisme sendiri berusaha menemukan agenda-agenda yang tersembunyi, aturan-aturan permainan yang menentukan aksi. Ia menyusun aktivitas manusia (Goffman, dalam Apter, 1996: 371).

(36)

sekaligus mencerabut studi ‘bahasa’ dari ruang kontingensi dan kontekstualnya. Parole adalah apa yang disebut Saussure sebagai “sisi eksekutif bahasa”, sementara langue adalah “sistem tanda-tanda yang di dalamnya cuma hal-hal esensial yang menjadi pemersatu makna dan citra-citra akustik” (Saussure, 1974).

Strukturalisme merupakan sebuah paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Peran linguistik Saussurean dalam hal ini sangat besar (dalam membangun filsafat para strukturalis), karena linguistik Saussurean memperkenalkan apa yang dinamakan sistem. Selanjutnya, kaidah-kaidah linguistik ini mereka coba untuk terapkan di lapangan penelitian masing-masing, yakni dengan menjadikannya semacam model yang paralel dengan realitas yang menjadi objek-objek kajian mereka (Kurniawan, 2001: 40).

Umar Junus berpendapat semiotika merupakan sebuah perkembangan selanjutnya dari strukturalisme. Pendapat dari Dennis McQuail (1991: 191), “semiotika adalah ‘ilmu tentang tanda dan mencakup strukturalisme dan hal-hal lain yang sejenis, yang karenanya semua hal yang berkaitan dengan siginifikasi (signification), betapapun sangat tidak terstruktur, beraneka ragam dan terpisah-terpisah”. Konsep ‘sistem-tanda’ dan ‘signifikasi’ telah biasa dalam ilmu bahasa; strukturalisme dan semiotika terutama berasal dari de Saussure. Dimana tanda adalah setiap ‘kesan bunyi’ yang berfungsi sebagai ‘signifikasi’ sesuai yang ‘berarti’ –suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman yang kita ingin komunikasikan. Aliran strukturalisme modern pun menekan bahwa kehidupan kita ditopang oleh struktur-struktur, jauh dibawah kesadaran roh; struktur-struktur itu merupakan pola-pola, jaringan-jaringan yang memberikan arti dan makna kepada gambar material (van Peursen, 1991: 240). Strukturalisme yang memiliki kedekatan dengan lingustik (bahasa) dikembangkan oleh Saussure. Teorinya mengatakan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda.

(37)

unsur-unsur dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Pada hipotesa dari Saussure ini berkaitan dengan suatu hal yang bernama konvensi sosial (social convention), yaitu yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengombinasian, dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu, sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial.

Semiotika adalah teori dan analisis dari berbagai tanda (signs) dan pemaknaan (signification, dimana semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotika (tanda, pemaknaa, denotatum, intepretan, dasar, dan masih banyak lagi yang akan kita kenal pada kesempatan lain) dapat diterapkan pada semua bidangan kehidupan asalkan prasyaratnya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, ada intepretasi (van Zoest, 1993: 54).

De Saussure dan juga Barthes melihat tanda sebagai suatu konsep diadik (dua bagian yang berbeda tetapi berkaitan) dan sebagai sebuah struktur (susunan dua komponen yang berkaitan satu sama lain dalam suatu bangun) (Christomy, 2004: 54). Konsep diadik tersebut yang menghasilkan sebuah makna.

Charles Sanders Pierce (dalam Sobur, 2004: 13) mengatakan semiotika merupakan sebuah konsep tentang tanda; tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun - sejauh terkait dengan dengan pikiran manusia – seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungan dengan realitas.

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5). Jika kita runut jauh kembali ke masa lalu, semiotika atau ilmu tentang sistem tanda sudah ada ketika masa Greek Stoics. Semula berawal dari tanda yang diperdebatkan oleh penganut mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena, Yunani pada abad 300 SM. Inti perdebatan mereka berkaitan dengan perbedaan antara tanda natural (yang terjadi secara alami) dan tanda konvensional (yang khusus dibuat untuk komunikasi)

(38)

Signifikasi mempunyai pengertian semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tandadi dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu (dalam Sobur, 2004: viii). Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut sebagai signifikasi (signification). Umberto Eco mempunyai pengertian sendiri dalam Semiotika Komunikasi. Semiotika Komunikasi mempunyai penekanan dalam aspek produksi tanda (sign production), dibandingkan dengan Semiotika Signifikasi yang lebih menekankan sistem tanda (sign system). Menurut Eco (Sobur, 2004: xii) sebagai sebuah mesin produksi makna, semiotika komunikasi sangat bertumpu pada pekerja tanda (labor), yang memilih tanda dari bahan baku tanda-tanda yang ada, dan mengombinasikannya, dalam rangka memproduksi sebuah ekspresi bahasa bermakna.

Menurut Eco (dalam Sobur, 2004: xiv), ketika seseorang menuturkan kata (atau imaji), maka ia terlibat di dalam sebuah proses produksi tanda, yang sebagaimana pada umumnya konsep ekonomi yang melibatkan pekerja, pekerja tanda. Ia mempekerjakan tanda-tanda (memilih, menyeleksi, menata dan mengombinasikan dengan cara dan aturan main tertentu.). Semiotika Komunikasi menurut Eco lebih menekankan pada teori produksi tentang tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi, dan acuan.

Manusia merupakan mahluk pembuat simbol. Ketika dia berbicara, ketika menampilkan dirinya dengan segala perniknya menyimpulkan sebuah simbolisasi. Wanita yang menggunakan baju warna kuning dari atas hingga bawah ingin menampilkan sebuah makna, tanda, dan simbol keceriaan. Seperti kata Cassirer (Sobur, 2004: 14) “fungsi dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri keagungannya.

(39)

terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5).

Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata yang lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Bungin, 2007: 164).

Fiske (dalam Bungin, 2007: 167) mengatakan bahwa Semiotika mempunya tiga bidang studi utama yaitu:

a. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

b. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Dilain pihak, menurut LittleJohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi ke dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun penjelasan secara rincinya adalah sebagai berikut :

(40)

seorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29).

2. Sintaktik, berkenaan dengan kepaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara para tanda. Tanda dilihat sebagai bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara-cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009: 30).

3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan kata lain adalah studi mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi (Morrisan, 2009: 30).

Preminger mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. (Bungin, 2007: 165).

Konvensi atau kesetujuan mengenai pemaknaan suatu makna di suatu kebudayaan merupakan hal penting. Hal tersebut dikarenakan intepretan memainkan peran subjektif yang sangat strategis dalam proses pemaknaan tanda itu sendiri. (Bungin, 2007: 169). Maksud disini adalah latar belakang, pengalaman, field of reference & field of experience, dan kebudayaan menjadi faktor penting seseorang untuk memaknai sebuah tanda.

(41)

sedangkan kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanda adalah representasi (kegiatan mengaitkan suatu representamen dengan objeknya). (Hoed, 2011: 23).

Ferdinand de Saussure merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan ilmu semiotika. Teori yang paling terkenal adalah penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure, bahasa merupakan suatu sistem tanda (sign), dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure (dalam Sobur, 2004: 46) (signifier), sedang konsepnya adalah petanda (signified). Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas, semaunya), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Menurut Saussure, ini tidak berarti “bahwa pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara” namun lebih dari itu adalah “tak bermotif” yaitu arbitrer dalam pengertian penanda tidak ada mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Saussure, 1996, dalam Berger 2000b: 11).

(42)

2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual

Sebelum lebih jauh, Semiotika Komunikasi Visual merupakan pisau pembedah tanda-tanda dalam desain komunikasi visual. Menurut Widagdo (dalam Tinarbuko, 2009: 23), desain komunikasi visual adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas, dilandasi pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Tinarbuko (Tinarbuko, 2009: 23) mengatakan desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi, dan layout. Dalam pandangan Sanyoto, desain komunikasi visual memiliki pengertian secara menyeluruh, yaitu rancangan sarana komunikasi yang bersifat kasat mata. T. Susanto menyatakan bahwa desain komunikasi visual (DKV) senantiasa berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dicerap orang banyak dengan pikiran maupun perasaaan.

Pesan atau informasi yang terdapat hasil karya desain komunikasi visual, yang menjadi objek kajian semiotika komunikasi visual. Pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran dalam bentuk tanda.

Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan, dan objektivitas macam itu, melainkan dibangun oleh ‘pengetahuan’ yang lebih terbuka bagi aneka intepretasi. Logika semiotika adalah logika di mana intepretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya; intepretasi yang satu lebih masuk akal daripada yang lain.

(43)

Semiotika dalam hal ini menjadi disiplin ilmu penopang desain komunikasi visual. Sebab, desain komunikasi visual mengandung tanda-tanda komunikatif. Lewat bentuk-bentuk komunikasi visual seperti itulah pesan tersebut menjadi bermakna.

Fungsi utamanya adalah komunikasi, tetapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification), yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi, atau makna. Fungsi signifikasi adalah fungsi dimana penanda (signifier) yang bersifat konkret dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna yang secara umum disebut petanda (signified).

Pada dasarnya, desain komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Sebagai produk kebudayaan, ia terkait dengan sistem ekonomi dan sosial. Di samping itu, desain bersahabat dengan sistem nilai yang sifatnya abstrak dan spiritual. (Tinarbuko, 2009: 6).

Karya desain komunikasi visual merupakan saksi sejarah atas perkembangandinamika sosial politik bangsa Indonesia (Tinarbuko, 2009 : 8). Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama, tren karya desain komunikasi visual tidak bisa lepas dari kondisi sosial politik yang ada di masyarakat. Ketika zama Orde Lama, desain yang muncul tentu akan berbeda dengan masa kejayaan Orde Baru ataupun zaman Reformasi. Desain merepresentasikan keadaan realitas.

(44)

Di dalam bidang desain pada khususnya, semiotika digunakan sebagai sebuah “paradigma”—baik dalam “pembacaan”—maupun “penciptaaan “ (creating)—disebabkan ada kecenderungan akhir-akhir ini dalam wacana desain untuk melihat objek-objek desain sebagai sebuah fenomena bahasa, yang di dalamnya terdapat tanda (sign), pesan yang ingin disampaikan (message), aturan atau kode yang mengatur (code) serta orang-orang yang terlibat di dalamnya sebagai subjek bahasa (audience, reader, user) (Christomy, 2004: 88).

Berdasarkan perkembangan paradigma baru tersebut, penggunaan semiotika sebagai sebuah “metode” dalam penelitian desaian harus berangkat dari sebuah prinsip, bahwa desain sebagai sebuah objek penelitian tidak saja mengandung berbagai aspek fungsi utilitas, teknis produksi dan ekonomis, tetapi juga aspek komunikasi dan informasi yang di dalamnya desain berfungsi sebagai medium komunikasi.

Ada berbagai macam metode pembacaan semiotika untuk diaplikasikan dalam penelitian semiotika desain, salah satunya dari metode seorang ahli bernama CS Morris. CS Morris menjelaskan tiga dimensi dalam analisis semiotika, yaitu dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik, yang ketiganya saling berkaitan satu sama lainnya. Sintaktis (syntactic) berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara individual maupun kombinasinya, khususnya analisis yang bersifat deskriptif mengenai tanda dan kombinasinya. Semantika (semantics) adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signfikasi atau maknanya. Dalam konteks semiotika struktural, semantik dianggap merupakan bagian dari semiotika. Pragmatik (pragmatics) adalah studi mengenai relasi antara tanda dan penggunanya (interpreter), khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkret dalam berbagai peristiwa (discourse) serta efek atau dampaknya terhadap penguna. Ia berkaitan dengan nilai (value), maksud, dan tujuan dari sebuah tanda, yang menjawab pertanyaan: ‘untuk apa’ dan ‘kenapa’, serta pertanyaa mengenai pertukaran (exchange) dan nilai utilitas (kegunaan) tanda bagi pengguna.

(45)

kombinasi tanda), tingkat semantik (makna sebuah tanda atau teks) atau tingkat pragmatik (penerimaan dan efek tanda pada masyarakat).

Tabel 2.1 Perbandingan Analisis Morris

Level Sintaksis Semantik Pragmatik

Sifat penelitian tentang

Dikutip oleh Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 1995: 50

2.2.4.2 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir post-strukturalis yang mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Dalam studinya, Barthes menekankan pentingnya peran pembaca tanda (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi (Sobur, 2004: 63).

(46)

pertandaan yaitu mitos. Mitos merupakan sebuah perubahan makna konotasi yang telah menjadi pemahaman umum dan diyakini oleh suatu kebudayaan tertentu.

Di dalam kerangka pemikiran Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Budiman, 2001: 28). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan. Alasan Barthes memampatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman, 2001: 28).

Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan hanya berupa tuturan oral, namun tuturan itu bisa saja berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah segala yang mempunyai modus representasi. Artinya, paparan contoh di atas memiliki arti yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung (Iswidayanti, 2006).

Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes, yaitu (Sobur, 2004: 63 -66) :

1. Kode Hermeneutik (kode teka-teki)

(47)

Proses pembacaan dengan menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan suatu konotasi, kita bisa menemukan suatu di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Bisa disebut juga dengan kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas dan maskulinitas atau dengan kata lain, kode semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, atau loyalitas. (Tinarbuko, 2009: 18).

3. Kode Simbolik

Merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau konsep Barthes pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa berasal dari oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan secara mitologi dapat dikodekan. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Disebut juga dengan kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduan, pertentangan dua unsur, atau skizofrenia. (Tinarbuko, 2009: 18).

4. Kode Proaretik (kode tindakan/ perlakuan)

(48)

5. Kode Gnomik (kode kultural)

Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Kode yang memiliki ciri suara-suara yang bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni dan legenda. (Tinarbuko, 2009: 18)

Gambar 2.1

1. Signifier 2. Signified (Penanda) (Petanda)

3.Denotative sign

4. Connotative Signifier 5. Connotative Signified (Penanda Konotatif ) (Petanda Konotatif)

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Sumber : Cobley, Paul & Jansz , Litza. (1999). Introducing Semiotics. New York : Totem Books, Hal . 51

(49)

Saussurean yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2004: 69).

Teori semiotika Barthes hampir secara harafiah diturunkan dari teori bahasa menurut Saussure. Khususnya pada kajian mengenai penanda dan petanda. Barthes mengembangkan teori penanda dan petanda menjadi sebuah kajian denotasi dan konotasi. Sesuatu objek dianggap sebagai tanda karena masing-masing sudah mendapat dan menentukan “makna”-nya sendiri dalam suatu jaringan relasi pembedaan yang terbentuk dalam ingatan (kognisi) anggota masyarakat yang bersangkutan. Tanda-tanda (komponen) tersusun dalam susunan (jukstaposisi) tertentu sesuai dengan “makna”-nya masing-masing.

Barthes mengembangkan model dikotomis penanda-petanda Saussure menjadi lebih dinamis. Ia mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Prancis contenu (C). Jadi sesuai dengan teori Saussure tanda adalah “relasi “ (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C, tingkat pertama (sistem pertama) atau lebih kita kenal dengan nama denotasi – makna yang dikenal secara umum (Hoed, 2011: 13). Pemakai tanda dapat mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut oleh Barthes sebagai sistem kedua. Pengembangannya terjadi pada segi E (ekspresi), bila pemakain tanda memberikan bentuk yang berbeda kepada E, tetapi dengan makna yang sama. Ini lebih dikenal dengan istilah metabahasa. Pengembangannya sepeti ini E ( E- R2- C )- R- C. Bila pengembangan itu berproses ke arah C (isi), yang terjadi adalah pengembangan makna baru yang disebut dengan konotasi, E- R- C ( E - R2 – C). Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya.

(50)

pikiran anggota masyarakatnya. Dengan menulis buku kumpulan esai yang berjudul Mythologies (1957) ia membebaskan masyarakatnya dari “penyalahgunaan ideologi” itu dan memahami mengapa berbagai pemaknaan yang seolah-olah sudah berterima di masyarakat itu terjadi (Hoed, 2011: 18).

1. Penanda dan Petanda

Tanda adalah hasil asosiasi antara signified (petanda) dan signifier (penanda). Hubungan keduanya digambarkan dengan dua anak panah, saling melengkapi. Petanda bukanlah ‘benda’ melainkan representasi mental dari ‘benda’ (Barthes, 2012: 36). Konsep petanda dari lembu bukanlah hewan lembu, melainkan citra atau imaji mentalnya (penjelasan ini penting untuk pembahasan selanjutnya mengenai hakikat tanda). Petanda ialah ‘sesuatu’ yang dimaksudkan oleh orang-orang yang menggunakan tanda tertentu.

Setiap sistem penanda (leksikon) terjadi korepodensi, diranah petanda, antara praktik dan teknik; kumpulan petanda-petanda ini menyiratkan dari pihak pengguna sistem (pembaca tanda) tingkat pengetahuan yang berbeda (sesuai dengan kekhasan dalam ‘budaya’ mereka), yang menjelaskan mengapa leksi yang sama (atau satuan bacaan yang lebih besar) dapat dipahami secara berlainan sesuai dengan kehendak individu (Barthes, 2012: 41)

Satu-satunya perbedaan antara penanda dan petanda adalah bahwa penanda merupakan penghubung/mediator; ia membutuhkan materi. Substansi dari penanda selalu material (bunyi, objek, citra). Barthes (dalam Barthes, 2012: 43) mengatakan penandaan dapat dipahami sebagai sebuah proses; penandaan adalah tindakan mengikat penanda dengan petanda, tindakan yang hasilnya adalah tanda. Penanda adalah merupakan mediator (material) bagi petanda.

(51)

tanpa arti (petanda) atau arti (petanda) tanpa suara (penanda). Bagi Saussure, penanda dan petanda adalah murni psikologis. Psikologis dalam arti: tanda linguistik bukanlah penghubung antara sebuah benda dengan sebuah nama, tapi antara sebuah konsep (petanda) dengan sebuah pola suara (penanda). (Birowo, 2004: 46). Penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep, disebut juga petanda adalah aspek mental bahasa (Bertens, 2001: 180).

Gambar 2.2

Sumber: Birowo, 2004: 46

Meskipun penanda digunakan untuk ‘mewakili’ petanda. Para pakar semiotika Saussurean menekankan bahwa tidak ada hubungan yang mendasar, intrinsik, langsung maupun pasti (tak terelakkan) antara penanda dan petanda. Saussure menekankan adanya sifat kesewenangan atau arbitrer (arbitrariness) pada hubungan penanda dengan petanda. Sebagai gambaran, tidak ada hubungan langsung tulisan atau citra suara ‘kursi’ dengan konsep mental kita tentang ‘kursi’ – yakni sebuah benda yang bisa digunakan untuk duduk. Aristoteles pernah mengatakan bahwa “tidak bisa ada hubungan natural antara bunyi suatu bahasa dengan benda yang ditandainya.” Shakespeare memberikan pernyataan juga bahwa segala apa nama yang kita torehkan pada sekuntum mawar merah, aromanya tetaplah semerbak.” (Birowo, 2004: 50).

Setiap tanda selalu terdiri atas penanda dan petanda. Dalam teori ini, tanda adalah sesuatu yang terstruktur karena terdiri atas komponen-komponen (dalam hal ini ada dua) yang berkaitan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan (Hoed, 2011: 44). Tanda bahasa terdiri dari dua unsur yang tidak terpisahkan, yakni unsur citra akustik (bentuk) (signifiant/penanda) dan unsur konsep

Petanda

(52)

(signifie/petanda). Hubungan antara penanda dan petanda, yakni antara bentuk dan makna, didasari konvensi dalam kehidupan sosial. Kedua unsur tersebut terdapat dalam kongnisi para pemakai bahasa. (Hoed, 2011: 54).

Penanda adalah “bunyi” yang bermakna atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001: 180). Menurut Saussure, penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut :

Gambar 2.3

Elemen-Elemen Makna Saussure

Sign

Composed of

Signification

Signifier Plus Signified External Reality of The Meaning

Sumber: John Fsiske, IntroductiontoCommunicationStudies, 1990, hlm. 44 (Sobur, 2004: 125)

Gambar

Gambar 1.2
Gambar 1.3
Tabel 2.1 Perbandingan Analisis Morris
Gambar 2.2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Awalnya film hanya digunakan sebagai media untuk pengisi waktu luang, namun pada kenyataannya film dijadikan sebagai media transformasi pesan yang efektif. Salah satu film yang

Selain scene masalah keimanan, di film ini juga menceritakan tetang fenomena yang terjadi di masyarakat yang lebih banyak percaya pada orang yang memiliki kekuatan

Simbol rasisme yang ada pada film the great debaters ini mempunyai banyak makna yang baik tersirat atupun tersurat. Peneliti menggunakan model Roland Barthes