• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Penelitian

2.2 Uraian Teoritis

2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu

2.2.4.2 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir post-strukturalis yang mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Dalam studinya, Barthes menekankan pentingnya peran pembaca tanda (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi (Sobur, 2004: 63).

Roland Barthes melakukan analisa dalam membagi pertandaan. Tingkat pertama adalah denotatif atau denotasi. Tingkat pertama ini merupakan bagian pertandaan yang memiliki ciri umum, makna terlihat langsung, dan tanda dapat dimengerti secara umum. Denotatif terdiri dari dua bagian yaitu penanda dan petanda yang memiliki hubungan hingga menjadi tanda itu sendiri (baca : denotasi). Sementara konotasi merupakan tingkat pertandaan yang dimana terdapat perubahan dalam tingkat isi (C) yang tetap berawal dari dua sistem penanda dan petanda. Selain kedua bentuk analisa tersebut, terdapat satu

pertandaan yaitu mitos. Mitos merupakan sebuah perubahan makna konotasi yang telah menjadi pemahaman umum dan diyakini oleh suatu kebudayaan tertentu.

Di dalam kerangka pemikiran Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Budiman, 2001: 28). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan. Alasan Barthes memampatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman, 2001: 28).

Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan hanya berupa tuturan oral, namun tuturan itu bisa saja berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah segala yang mempunyai modus representasi. Artinya, paparan contoh di atas memiliki arti yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung (Iswidayanti, 2006).

Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five major code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes, yaitu (Sobur, 2004: 63 -66) :

1. Kode Hermeneutik (kode teka-teki)

Berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “ kebenaran “ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki penyelesaiannya di dalam cerita. Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban yang lain. (Tinarbuko, 2009: 18) 2. Kode Semik (kode konotatif atau kode semantik)

Proses pembacaan dengan menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan suatu konotasi, kita bisa menemukan suatu di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Bisa disebut juga dengan kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas dan maskulinitas atau dengan kata lain, kode semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, atau loyalitas. (Tinarbuko, 2009: 18).

3. Kode Simbolik

Merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau konsep Barthes pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa berasal dari oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan secara mitologi dapat dikodekan. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai- nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Disebut juga dengan kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduan, pertentangan dua unsur, atau skizofrenia. (Tinarbuko, 2009: 18).

4. Kode Proaretik (kode tindakan/ perlakuan)

Kode yang dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis menurut Barthes melihat semua lakuan (perlakuan) dapat dikodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan (perlakuan) karena kita dapat memahaminya. Disebut juga dengan kode yang mengandung cerita, urutan, narasi, atau antinarasi. (Tinarbuko, 2009: 18)

5. Kode Gnomik (kode kultural)

Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Kode yang memiliki ciri suara-suara yang bersifat kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni dan legenda. (Tinarbuko, 2009: 18)

Gambar 2.1 1. Signifier 2. Signified

(Penanda) (Petanda)

3.Denotative sign

4. Connotative Signifier 5. Connotative Signified (Penanda Konotatif ) (Petanda Konotatif) 6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Sumber : Cobley, Paul & Jansz , Litza. (1999). Introducing Semiotics. New York : Totem Books, Hal . 51

Dari peta tanda Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan Petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Makna konotatif tidak pernah bisa terlepas tanda tingkat pertama denotatif. Tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Bentuk ini merupakan penyempurnaan dari semiologi

Saussurean yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2004: 69).

Teori semiotika Barthes hampir secara harafiah diturunkan dari teori bahasa menurut Saussure. Khususnya pada kajian mengenai penanda dan petanda. Barthes mengembangkan teori penanda dan petanda menjadi sebuah kajian denotasi dan konotasi. Sesuatu objek dianggap sebagai tanda karena masing- masing sudah mendapat dan menentukan “makna”-nya sendiri dalam suatu jaringan relasi pembedaan yang terbentuk dalam ingatan (kognisi) anggota masyarakat yang bersangkutan. Tanda-tanda (komponen) tersusun dalam susunan (jukstaposisi) tertentu sesuai dengan “makna”-nya masing-masing.

Barthes mengembangkan model dikotomis penanda-petanda Saussure menjadi lebih dinamis. Ia mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Prancis contenu (C). Jadi sesuai dengan teori Saussure tanda adalah “relasi “ (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C, tingkat pertama (sistem pertama) atau lebih kita kenal dengan nama denotasi – makna yang dikenal secara umum (Hoed, 2011: 13). Pemakai tanda dapat mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut oleh Barthes sebagai sistem kedua. Pengembangannya terjadi pada segi E (ekspresi), bila pemakain tanda memberikan bentuk yang berbeda kepada E, tetapi dengan makna yang sama. Ini lebih dikenal dengan istilah metabahasa. Pengembangannya sepeti ini E ( E- R2- C )- R- C. Bila pengembangan itu berproses ke arah C (isi), yang terjadi adalah pengembangan makna baru yang disebut dengan konotasi, E- R- C ( E - R2 – C). Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya.

Barthes mengembangkan – terutama – menjadi teori konotasi yang justru dimiliki masyarakat budaya tertentu (bukan secara individual). Barthes mengkritik masyarakat dengan menyatakan semua yang dianggap sudah wajar di dalam suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil proses konotasi. Tekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos. Ia mengatakan bahwa dalam sebuah kebudayaan selalu terjadi “penyalahgunaan ideologi” yang mendominasi

pikiran anggota masyarakatnya. Dengan menulis buku kumpulan esai yang berjudul Mythologies (1957) ia membebaskan masyarakatnya dari “penyalahgunaan ideologi” itu dan memahami mengapa berbagai pemaknaan yang seolah-olah sudah berterima di masyarakat itu terjadi (Hoed, 2011: 18).

Dokumen terkait