• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Penelitian

2. Denotasi, Metabahasa dan Konotas

Roland Barthes mengatakan denotasi adalah first order of signification (tahapan pertama pada signifikasi. Sedangkan konotasi adalah second order of signification (tahapan kedua dari signifikasi). Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna

denotasi. Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada tanda (yang kemudian dianggap sebagai penanda). Pemaknaan baru inilah yang kemudian menjadi konotasi.

Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti sesuai dengan apa yang terucap (Sobur, 2004: 70).

Roland Barthes mengembangkan dua tingkat pertandaan (staggered systems), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat- tingkat yaitu tingkat denotasi dan konotasi.

Menurut Pilliang (dalam Christomy, 2004: 94) denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.

Konotasi menurut Piliang adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan kasih-sayang atau tanda tengkorak mengkonotasikan bahaya. Konotasi dapat menghasilkan makna berlapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut dengan makna konotatif.

Gambar 2.5 Signifikasi Dua Tahap Barthes First Order Second Order

Reality Sign Culture

Bentuk

Isi (Content)

Sumber: John Fiske (dalam Sobur, 2001: 127)

Denotasi merupakan sebuah hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal, disebut juga makna yang paling nyata dari tanda. Sedangkan konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua, signifikasi yang berubah dalam bentuk. Fiske (1990) (dalam Sobur, 2001: 128), memberi pengertian denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua.

Gambar 2.6 Tingkat Pertandaan

Dikutip dari Pilliang (dalam Christomy, 2004: 95) Tanda Denotasi Konotasi (Kode) Mitos

Denotasi ---Signifier

Signified

Konotasi

Secara lebih rinci Barthes mengatakan Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya. Konotasi dapat disebut juga dengan makna khusus (Hoed, 2011: 13). Denotasi adalah pemaknaan secara yang secara umum diterima dalam konvensi dasar sebuah masyarakat. Metabahasa merupakan pengembangan makna denotasi (makna ekspresi, “e”) dalam padanan kata yang memiliki makna yang sama tetapi bentuk berbeda, atau bisa disebut dengan sinonim. Gambar 2.7 Metabahasa E2 R2 C2 Sistem Sekunder METABAHASA E1R1 C1

Orang yang pandai Sistem Primer Mengobati secara DENOTASI spiritual Sumber: Hoed, 2011: 8 Dukun Paranormal Orang Pinter TANDA Dukun

Gambar 2.8 Konotasi

E1 R1 C1

Sistem Primer

Mercedes ‘mobil buatan Jerman DENOTASI Benz Mercedes Benz’

‘mobil mewah’ Sistem E2R2 C2 mobil orang kaya’ Sekunder

KONOTASI

‘mobil konglomerat’ ‘simbol status’

Sumber: Hoed, 2011: 86

Gambar 2.9

Teori Metabahasa dan Konotasi

“Metabahasa” “Konotasi”

Sistem Sekunder Denotasi Sistem Primer

Denotasi Sumber: Hoed, 2011: 45 Tanda E C E C E C E C

Secara ringkas, denotasi dan konotasi bisa dijelaskan sebagai berikut (Birowo, 2004: 57), yaitu :

1. Denotasi

Interaksi antara signifier (Penanda) dan signified (Petanda) dalam sign (tanda), dan antara sign, dengan referen dalam realitas eksternal. Denotasi dijelaskan sebagai makna sebuah tanda yang literal, terdefinisikan, jelas (mudah dilihat dan dipahami) atau commonsense. Dalam kasus tanda linguistik, makna denotasi adalah apa yang dijelaskan di kamus.

2. Konotasi

Interaksi yang muncul ketika signbertemu dengan perasaan atau emosi pembaca / pengguna dan nilai-nilai budaya mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Istilah konotasi, merujuk pada tanda yang memiliki asosiasi sosio-kultural.dan personal. Ini biasanya berkaitan dengan kelas, umur, gender, etnik dan sebagainya dari sang penafsir. Tanda lebih terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi. Semiotika konotatif akan ada manakala ada semiotika yang bidang ekspresifnya adalah semiotika yang lain. (Eco, 2009: 79). Yang membentuk sebuah konotasi adalah kode konotatif yang menyadarinya; sedangkan ciri kode konotatif adalah fakta bahwa signifikasi kedua dan seterusnya secara konvensional bersandar pada signifikasi pertama.

Makna denotasi suatu kata ialah makna yang bisa kita temukan dalam kamus. Sebagai contoh, di dalam kamus, kata mawar berarti sejenis bunga. Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata mawar itu. Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin ‘connotare’, “menjadi tanda” dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan bentuk- bentuk lain dari komunikasi). (Sobur, 2004: 263).

Denotasi adalah hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalama ujaran. (Lyons, dalam Pateda, 2001: 98). Makna Denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai

gambaran sebuah petanda (Berger, 2000b: 55). Harimurti Kridaklasana (2001: 40) mendefinisikan denotasi (denotation) sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan konvensi tertentu; sifatnya objektif.”

Konotasi diartikan sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal + X (Pateda, 2001: 112). Misalnya kata amplop ini adalah makna denotasi yang bermakna sampul tempat surat. Pada kalimat “berilah ia amplop agar urusanmu segera beres,” maka kata amplop telah berubah menjadi makna konotasi yang mempunyai pengertian berilah uang.

Devito (dalam Sobur, 2004: 263) mengatakan bahwa jika denotasi sebuah kata adalah objektif (umum) kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif (pergeseran makna umum karena ada penambahan rasa dan nilai) atau emosional. Arthur Asa Berger (dalam Sobur, 2004: 263) menyatakan bahwa kata konotasi melibatkan simbol-simbol historis, dan hal – hal yang berhubungan dengan emosional. Denotasi, kita merujuk pada asosiasi primer yang dimiliki sebuah kata bagi kebanyakan anggota masyarakat linguistik tertentu, sedangkan konotasi merujuk pada asosiasi sekunder yang dimiliki sebuah kata bagi seorang atau lebih anggota masyarakat.itu

Bila kita mengucapkan kata yang mempunyai konotasi tertentu, maka kita bermaksud bahwa kata tersebut mempunyai makna tambahan bagi makna denotatif-nya. Makna denotasi (Keraf, 1994: 28 )mempunyai berbagai istilah, seperti makna konseptual, makna referensial, makna denotasional, makna kognitif, makna ideasional dan proporsional. Disebut makna denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat dicerap panca indera (kesadaran) dan rasio manusia. Makna ini disebut juga makna proporsional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau

pernyataan-penyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata.

Konotasi disebut juga makna emotif, makna konotasional atau makna evalutif (Keraf, 1994: 29). Makna konotasional adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang – tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kara yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama (Sobur, 2004: 266)

Pada dasarnya, konotasi timbul disebabkan masalah hubungan sosial atau hubungan interpersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain. Bahasa manusia tidak sekedar menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional. Bahasa tidak hanya semata-mata menjadi alat untuk menyampaikan faktual (Palmer, 1997: 35-36). Makna konotatif sebuah kata juga dipengaruhi dan ditentukan oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan budaya (Sumarjo & Saini, 1994: 126). Lingkungan tekstual ialah semua kata di dalam paragraf dengan karangan yang menentukan makna konotatif. Pengaruh lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita kita meletakkan kata tertentu di dalam lingkungan budaya yang berbeda. (Sobur, 2004: 266)

Di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiakan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi bersifat opresif ini, Bathes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata- mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat ilmiah (Budiman dalam Sobur, 2004: 71).

Dokumen terkait