A. Data Pribadi
Nama : Reza Pramono
Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 5 Juni 1990
Nomor Induk Mahasiswa : 41808854
Program Studi : Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jalan Cikampek 7 No. 34 RT 02 RW 07
Antapani, Bandung 40291
Berat Badan : 60 Kg
Tinggi Badan : 167 cm
No HP : 085720156974
1. TK Aisyah Bandung Tahun 1995 - 1996
2. SD Negeri Griba 13/1 Bandung Tahun 1996 - 2002
3. SMP Negeri 37 Bandung Tahun 2002 - 2005
4. SMA Kartika Siliwangi Bandung Tahun 2005 - 2008
5. Universitas Komputer Indonesia Tahun 2008 - 2014
C. Pengalaman Kerja
The Hunger Games)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1) pada Program Studi Ilmu
Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik
Oleh :
REZA PRAMONO NIM : 41808854
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG
vi Assalammualaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan hanya kepada Tuhan Yang Maha
Esa, yang mana atas segala berkat dan anugerah-Nya yang telah memberikan
kekuatan, kesehatan, keyakinan dan jalan serta kesabaran bagi peneliti dalam
menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Representasi Kapitalisme dalam Film The Hunger Games” (Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Kapitalisme dalam Film The Hunger Games).
Peneliti sangat meyadari bahwa adanya peran berharga dari orang-orang
hebat disisi peneliti yang bersedia membagi hidupnya untuk bersama-sama
merasakan apa yang peneliti alami, hadapi dan rasakan. Dengan segala
kerendahan hati, peneliti ucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada kedua
orang tua ku, Bapak dan Ibu atas segala cinta, kasih dan sayang mewarnai kehidupan peneliti dan selalu setia mendukung peneliti, memberikan kekuatan
moril dan memenuhi kebutuhan materil peneliti.
Peneliti sadari sepenuhnya bahwa tanpa adanya dukungan, dorongan dan
bimbingan serta bantuan dari beberapa pihak dalam proses penyusunan karya
ilmiah ini. Untuk itu pada kesempatan ini, dengan segala ketulusan dan
kerendahan hati peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih yang
vii
surat administrasi lainnya yang diajukan penulis.
2. Yth. Bapak Drs. Manap Solihat M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Unversitas Komputer Indonesia sekaligus Dosen Wali
penulis, yang telah memberikan nasihat, saran serta motivasi selama
peneliti serta mengikuti perkuliahan.
3. Ibu Melly Maulin, S.Sos., M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer
Indonesia. Selaku dosen Program Studi Ilmu Komunikasi yang banyak
memberikan ilmunya kepada peneliti melalui proses perkuliahan.
4. Bapak Olih Solihin, S.Sos., M.I.Kom selaku dosen pembimbing peneliti yang pada penulisan karya ilmiah ini telah banyak memberikan masukan,
arahan dan saran kepada peneliti melalui proses bimbingan, serta
memberikan semangat agar peneliti dapat menyelesaikan penulisan ini
dengan baik.
viii
perkuliahan, memberikan semangat dan masukan kepada peneliti.
6. Jajaran staf sekretariat Program Studi Ilmu Komunikasi. Ibu Astri Ikawati AMd.Kom Terima kasih atas kemudahan proses administrasi. 7. Sekertaris Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Komputer Indonesia. Ibu Ratna Widiastuti, A.Md Terima kasih peneliti ucapkan kemudahan proses administrasi.
8. M. Reza Supriatna (berserta keluarga), Yogi Febrian (beserta keluarga), Fajar Nugraha (beserta keluarga), Hassy Ayodhia Putra (beserta keluarga). Terimakasih atas kesediaan sarana untuk menyelesaian skripsi ini. Salam untuk keluarga.
9. Rekan-rekan Jurnalistik dan Humas Universitas Komputer Indonesia. Ergan Raedi, Yehezkiel, Ragil Wisnu, Rifan Rudiana, dan yang lainnya. Terimakasih atas kebesamaan selama perkuliahan.
10.Rekan-rekan yang kami beri nama “Laskar Skripsi Ganjil”. Terimakasih atas semangat dan diskusinya.
11.Rekan-rekan alumni. Boril, Reno Kurniawan, Bayu Rizki, Keluarga Besar Kelas IK-Jurnal 2. Terimakasih atas diskusi dan telah banyak membantu memberi semangat.
ix
mengharapkan koreksi dan saran dari pembaca serta menerima masukan dan kritik
tersebut dengan hati terbuka, sehingga dimasa yang akan datang penelitian ini
dapat menjadi bahan yang lebih baik, menarik dan lebih bermanfaat lagi. Amin.
Bandung, Februari 2014
Peneliti
Reza Pramono
x 1.1 Latar Belakang Masalah ...
1.2 Rumusan Masalah ...
1.2.1 Rumusan Masalah Makro...
1.2.2 Rumusan masalah Mikro...
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...
xi
2.1.3 Tinjauan Tentang Komunikasi Massa...
xii
3.1 Objek Penelitian...
3.1.1 Sinopsis Film The Hunger Games...
3.1.2 Sequence Film The Hunger Games...
3.2 Metode Penelitian...
3.2.6 Lokasi dan Waktu Penelitian...
3.2.6.1 Lokasi Penelitian...
3.2.6.2 Waktu Penelitian...
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………...
xiii
4.3 Pembahasan………..………
4.3.1 Level Realitas………..……….
4.3.2 Level Representasi………
4.3.3 Level Ideologi………...
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ……….
5.1 Simpulan………..……….
5.2 Saran……….
DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………..….
104
108
110
112
114
114
117
119
xiv
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ...
Tabel 3.1 Sequence film The Hunger Games ...
Tabel 3.2 Informan Penelitian ...
Tabel 3.3 Waktu Penelitian ...
Tabel 4.1 Sequence Prolog ……….
Tabel 4.2 Sequence Ideological Content ………
Tabel 4.3 Sequence Epilog ……….………
10
61
70
76
82
94
xv
Gambar 3.1 Cover Film The Hunger Games...
Gambar 3.2 Kode-kode Televisi John Fiske ...
Gambar 4.1 Penampilan dan Kostum………
Gambar 4.2 Perbedaan Lingkungan………...
Gambar 4.3 Gerakan dan Ekspresi……….
Gambar 4.4 Gerakan dan Ekspresi……….
Gambar 4.5 Gerakan dan Ekspresi Penduduk………
56
67
84
86
87
88
119
A. BUKU
Ardianto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi : Strukturalisme Marxis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta : Jalasutra.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta : Jalasutra.
Donny Gahral Adian. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer; Sebuah Pengantar Komprehensif. Jakarta: Jalasutra.
Effendy, Onong Uchjana. 2006. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensif.Yogyakarta: Jalasutra.
Fiske, John.1987. Television Culture.E-book :British Library Cataloguing in Publication Data
Moleong, Lexy J. 2007, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex . 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta
B. KARYA ILMIAH
Reno Kurniawan. Representasi Kekerasan dalam Film Crows Zero, Universitas
Komputer Indonesia, Bandung 2013
M. Bashir Alfattah. Pesan Inspiratif Untuk Penyandang Tuna Rungu Dalam Film
The Hammer, Universitas Komputer Indonesia, Bandung 2013
Astri Nur Afidah. Representasi Konflik Ideologi Antar Kelas dalam Film The
Help, Universitas Diponegoro, Semarang 2013
C. INTERNET SEARCHING
http://elib.unikom.ac.id
http://id.scribd.com/doc/23139348/Kapitalisme-Sejarah-an-Dan-Dampaknya
http://eprints.undip.ac.id/37738/
http://id.wikipedia.org/wiki/The_Hunger_Games_(film)
http://www.imdb.com/title/tt1392170/?ref_=nv_sr_3
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kapitalisme yang tergambarkan adanya pertentangan dan perjuangan
kelas-kelas antara pemilik modal (borjuis) dan kaum buruh (proletar) oleh
Capitol yang ingin seluruh distrik mengikuti peraturan yang dibuat oleh
Capitol itu sendiri dengan maksud untuk memiliki kekuasaan sepenuhnya.
Seperti yang terlihat jelas dalam film The Hunger Games ini bahwa kaum
borjuis atau penduduk Capitol hidup sejahtera dan bebas dari penindasan dan
ancaman kelaparan. Mereka biasa menyibukkan diri dengan fashion, berpesta,
berhura-hura, dan menikmati acara hiburan massa seperti The Hunger Games.
Kebanyakan penduduk Capitol digambarkan bersikap seolah-olah
mengabaikan, atau sama sekali tidak peduli terhadap kemiskinan dan keputus
asaan. Capitol sangat kaya dan berteknologi maju, dan penduduknya
menikmati standar hidup yang sangat tinggi. Penduduk distrik yang
berkunjung ke Capitol, yang selama ini biasa hidup dalam ancaman kelaparan,
akan terkejut melihat gaya hidup boros dan mewah para penduduk Capitol.
Kapitalisme yang terjadi dalam film ini membuat kaum proletariat
melakukan perjuangan atas hak yang seharusnya mereka miliki, kewujudan
kelas-kelas tersebut atas landasan ekonomi. Seperti yang ditegaskan oleh Karl
Marx bahwa perhubungan sosial dalam masyarakat kapitalis adalah
Keperluan asas yang dipentingkan dalam memahami ragam pengeluaran
kapitalis ialah kewujudan harta benda. (Dahrendorf, 1959 : 11)
Dalam sistem ekonomi kapitalis, status seorang individu ditentukan oleh
jumlah harta benda yang dimiliki. Masih menurut Marx dalam karya
Manifesto Komunisnya, sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas,
kelas yang „tinggi‟ akan selalu menindas kelas yang „rendah‟ dengan berbagai
cara, dan akan selalu seperti itu. Maka, untuk membebaskan segala bentuk
penindasan tersebut haruslah dilakukan melalui sebuah perjuangan kelas.
Film The Hunger Games bercerita tentang konflik dan kekuasaan yang
terjadi dalam negara yang bernama Panem. Panem sendiri merupakan sebuah
negara yang dulunya Amerika utara pernah berada, setelah bencana besar di
Bumi menjadi satu-satunya wilayah yang selamat. Capitol adalah ibu kota
Panem yang berkuasa dari distrik-distrik negara ini, Panem memiliki tradisi
disetiap tahunnya yaitu kopetisi yang diberi nama The Hunger Games.
Kompetisi ini diharuskan ada yang membunuh atau dibunuh dari setiap
distriknya. Hal tersebut diadakan untuk kepentingan-kepentingan pihak
pemilik modal yang dinamakan sponsor. Perolehan sponsor ini bergantung
pada kemampuan masing-masing kontestan untuk bertahan hidup dan
berfungsi untuk menyelamatkan diri dari beberapa kejadian maut. Tujuan
diadakan kompetisi ini adalah untuk merekatkan hubungan antar distrik,
sekaligus menyegarkan ingatan tentang mereka yang terbunuh akibat
seluruh penduduk betapa berkuasanya pemerintahan Panem yang dipimpin
oleh President Snow.
Dalam hal ini peneliti mengangkat sebuah film karya sutradara Gary Ross
yang berjudul The Hunger Games sebagai objek penelitian. The Hunger
Games adalah film fiksi ilmiah dengan durasi 142 menit diangkat dari sebuah
novel karya Suzanne Collins dengan judul yang sama. Film yang rilis 12
Maret 2012 ini bercerita tentang kompetisi bernama The Hunger Games, yang
diikuti oleh sepasang anak muda berusia antara 12-18 tahun dan dipilih dari 12
distrik yang ada di Panem. Kompetisi ini telah dilakukan selama 74 tahun
berturut-turut.
Film menyajikan berbagai macam gagasan yang dapat menimbulkan
dampak bagi penayangannya, baik positif maupun negatif. Oleh sebab itu,
film dapat menjadi media yang efektif untuk menyampaikan pesan yang dapat
memberikan pengaruh pada cara pandang terhadap cerita dalam film itu.
“Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramah-ceramah penerangan atau pendidikan. Kini banyak digunakan film sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan, bahkan filmnya sendiri banyak yang berfungsi sebagai medium penerangan dan pendidikan secara penuh, artinya bukan sebagai alat pembantu dan juga tidak perlu dibantu dengan penjelasan, melainkan medium penerangan dan pendidikan yang komplit”. (Effendy, 2003:209)
Tujuan Khalayak menonton film adalah ingin memperoleh hiburan. Akan
tetapi dalam film dapat terkandung nilai-nilai informatif maupun edukatif,
Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama
adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung
fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Dewasa ini, film tidak
hanya sebagai sebuah karya seni, yang diproduksi secara kreatif dan
memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika
(keindahan) yang sempurna, melainkan sudah menjadi sebuah bisnis yang
memberikan keuntungan, kadang-kadang menjadi mesin uang yang seringkali,
demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu sendiri (Dominick. 2000: 306).
Berhubungan dengan film yang sarat akan simbol dan tanda, maka yang
menjadi perhatian peneliti disini adalah dari segi semiotikanya, dimana
dengan semiotika ini akan sangat membantu peneliti dalam menelaah arti
kedalaman suatu bentuk komunikasi dan mengungkap makna yang ada di
dalamnya yang tersirat. Sederhananya semiotika itu adalah ilmu yang
mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda yang berada dalam film tentu saja
berbeda dengan format tanda yang lain yang hanya bersifat tekstual atau
visual saja. Begitu pun dengan tanda-tanda yang terdapat dalam film The
Hunger Games.
“Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni, menciptakan dibenak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda pertama. Tanda itu menunjuk sesuatu, yakni objeknya” (Fiske, 2007:60).
Menurut John Fiske, Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama:
dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. Kedua, kode atau
sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode
dilambangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk
mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
Ketiga, kebudayaan tempat tanda dan kode bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan
dan bentuknya sendiri. (Fiske, 2007:60)
Semiotika merupakan bagian dari cultural studies yang mengkonstruksi
kehidupan sehari-hari, terkait dengan budaya kontemporer, ideologi politik,
kelas, gender, etnis dan lain-lain. Cultural Studies memiliki unsur bagaimana
dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada kita.
John Fiske dalam bukunya Television Culture merumuskan teori “The Codes of Television” yang menyatakan peristiwa yang dinyatakan telah
di-enkode oleh kode-kode sosial. Pada teori The Codes of Television John Fiske
merumuskan tiga level proses pengkodean : 1) Level realitas 2) Level
representasi dan 3) Level Ideologi. Maka dari itu proses pengkodean Fiske
tersebut dapat menjadi acuan sebagai pisau analisa peneliti dalam mengungkap
representasi kapitalisme yang terkandung dalam film The Huger Games.
Menurut Fiske film bukan lagi representasi kedua dari realitas, maka film bisa
di katakan alat penyampaian atau representasi dari ideologi itu sendiri. Berbeda
dengan tokoh-tokoh semiotik yang lain, Fiske sangat mementingkan akan
dan kepopuleran budaya yang sangat mempengaruhi masyarakat dalam
memaknai makna yang di-encoding kan.
Dalam Film The Hunger Games ini peneliti ingin mencoba mencari
nilai-nilai kapitalisme yang terkandung dalam film tersebut. Kapitalisme dalam film
The Hunger Games ini peneliti melihat adanya pertentangan antar kelas antara
kaum borjuis dan kaum proletariat yang mengacu pada perjuangan kelas untuk
melawan eksploitasi terhadap suatu kaum yang tertindas.
1.2Rumusan Masalah 1.2.1 Pertanyaan Makro
Dari uraian dan latar belakang masalah diatas yang telah
dijelaskan, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut.
“Bagaimana representasi kapitalisme dalam film The Hunger Games”
1.2.2 Pertanyaan Mikro
Untuk memperjelas fokus masalah yang akan diteliti dalam penelitian
ini, maka peneliti menyusun rumusan masalah mikro sebagai berikut:
1. Bagaimana Level Realitas Kapitalisme dalam Film The Hunger Games?
2. Bagaimana Level Representasi Kapitalisme dalam Film The Hunger Games?
1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari peneliti dalam melakukan penelitian ini untuk
mengetahui Bagaimana Representasi Kapitalisme dalam Film The Hunger Games?
1.3.2 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Level Realitas Kapitalisme dalam Film The Hunger Games.
2. Untuk mengetahui Level Representasi Kapitalisme dalam Film The Hunger Games.
3. Untuk mengetahui Level Ideologi Kapitalisme dalam Film The Hunger Games.
4. Untuk mengetahui Representasi Kapitalisme dalam Film The Hunger
Games.
1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang
berkaitan dengan Ilmu Komunikasi, secara umum dibidang Jurnalistik
maupun secara khusus mengenai semiotika John Fiske yang terdapat
1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Bagi Peneliti
Kegunaan penelitian ini sangat bermanfaat bagi peneliti yakni, sebagai
sarana untuk menambah wawasan juga pengetahuan dalam
mengaplikasikan ilmu, yaitu mengkaji langsung mengenai analisis
semiotik yang terdapat dalam sebuah karya film.
2. Bagi Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat manambah pengetahuan dan
memberikan gambaran yang berguna sebagai referensi bagi mahasiswa
program studi ilmu komunikasi maupun Universitas Komputer
Indonesia dalam pengembangan dan penerapan ilmu komunikasi dan
sebagai perbandingan bagi penelitian sejenis sebagai literatur untuk
penelitian selanjutnya yaitu mengkaji langsung mengenai analisis
semiotik yang terdapat dalam sebuah karya film.
3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai
kajian semiotik secara menyeluruh terhadap sebuah pemaknaan yang
9
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Tinjauan penelitian terdahulu merupakan salah satu referensi untuk
melihat hasil karya ilmiah para peneliti terdahulu yang memiliki keterkaitan
serta relevansi dengan penelitian yang dilakukan, tentunya dengan melihat
hasil karya ilmiah yang memiliki pembahasan serta tinjauan yang sama.
Dari beberapa penelitian terdahulu, peneliti memasukan tiga
penelitian sebagai bahan reverensi. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat
kajian pustaka berupa penelitian yang ada. Selain itu karena pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang menghargai
berbagai perbedaan yang ada serta cara pandang mengenai objek-objek
tertentu, sehingga meskipun terdapat kesamaan maupun perbedaan adalah
suatu hal yang wajar dan dapat disinergikan untuk saling melengkapi.
Setelah peneliti melakukan tinjauan pustaka penelitian terdahulu
3 Representasi
2.1.2 Tinjauan Tentang Ilmu Komunikasi
Komunikasi merupakan satu dari disiplin ilmu yang cukup lama
namun yang paling baru. Orang Yunani kuno melihat teori dan praktek
komunikasi sebagai sesuatu yang kritis. Popularitas komunikasi merupakan
suatu berkah (a mixed blessing). Teori-teori resistant untuk berubah bahkan
dalam berhadapan dengan temuan-temuan yang kontradiktif. Komunikasi
merupakan sebuah aktifitas, sebuah ilmu sosial, sebuah seni liberal dan
sebuah profesi. Ilmu komunikasi merupakan hasil dari suatu proses
komunikasi dapat diterima baik di Eropa maupun di Amerika Serikat bahkan
di seluruh dunia, adalah merupakan hasil perkembangan dari publisistik dan
ilmu komunikasi massa. Hal ini dimulai oleh adanya pertemuan antara tradisi
Eropa yang mengembangkan ilmu publisistik dengan tradisi Amerika yang
mengembangkan ilmu komunikasi massa.
2.1.2.1 Pengertian Komunikasi
Kata atau istilah komunikasi (communication) berasal dari bahasa
latin (communicates, communication, communicate) yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik bersama” dengan demikian kata komunikasi
menurut bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk
mencapai kebersamaan (common).
Beberapa ahli yang mendefinisikan pengertian komunikasi,
diantaranya :
1. Webster New Collogiate Dictionary menyatakan bahwa :
“Komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi diantara
individu melalui suatu system lambang-lambang, tanda-tanda, atau
tingkah laku”.
2. Carl Houland, Janis & Kelley menyatakan bahwa :
“Komunikasi merupakan proses dimana seseorang atau komunikator
menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan
3. Harold D Laswswell menyatakan bahwa :
Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang
menjelaskan “siapa mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada
siapa, dan dengan akibat apa atau hasil apa” (Who Says What In
Which Channel to Whom and With What Effect).
4. Sedangkan menurut Barn Lund :
Komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk
mengurangi rasa ketidakpastian, bertindak secara efektif,
mempertahankan atau memperkuat ego. Effect = hasil akhir dari
kegiatan komunikasi.
2.1.2.2 Sifat Komunikasi
Onong Uchjana Effendy dalam bukunya “Ilmu Komunikasi Teori
dan Praktek” (2002:7) menjelaskan bahwa berkomunikasi memiliki
sifat-sifat. Adapun beberapa sifat komunikasi tersebut, yaitu:
1. Tatap muka (Face to face)
2. Bermedia (Mediated)
3. Verbal (Verbal)
- Lisan (Oral)
4. Non Verbal (Non-verbal)
- Gerakan/isyarat badaniah (Gestural)
- Bergambar (Pictorial)
Komunikator (pengirim pesan) dalam menyampaikan pesan
kepada komunikan (penerima pesan) dituntut untuk memiliki
kemampuan dan pengalaman agar adanya umpan balik (feedback) dari
komunikan itu sendiri, dalam penyampaian pesan komunikator bisa
secara langsung (face to face) tanpa menggunakan media apapun.
Komunikator juga dapat menggunakan bahasa sebagai lambang atau
simbol komunikasi bermedia kepada komunikan, fungsi media tersebut
sebagai alat bantu dalam menyampaikan pesannya.
Komunikator dapat menyampaikan pesannya secara verbal dan
non verbal. Verbal dibagi ke dalam dua macam, yaitu lisan (Oral) dan
tulisan (Written/printed).
Sementara non verbal dapat menggunakan gerakan atau isyarat
badaniah (gestural) seperti melambaikan tangan, mengedipkan mata,
dan sebagainya, ataupun menggunakan gambar untuk mengemukakan
ide atau gagasannya.
2.1.2.3 Komunikasi Verbal
Dalam film, pesan verbal merupakan pesan yang lebih mudah
yang disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang dilancarkan secara
lisan maupun tulisan. Tubbs (1998:8) mengemukakan bahwa pesan verbal
adalah semua jenis komunikasi lisan yang menggunakan satu kata atau
lebih. Selanjutnya Tubbs mengemukakan bahwa pesan verbal terbagi atas
dua kategori yakni (1) Pesan verbal disengaja dan (2) pesan verbal tidak
disengaja.
Pesan verbal yang disengaja adalah usaha-usaha yang dilakukan
secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Pesan
verbal yang tidak disengaja adalah sesuatu yang kita katakan tanpa
bermaksud mengatakan hal tersebut. Salah satu hal yang penting dalam
pesan verbal adalah lambang bahasa. Konsep ini perlu dipahami agar dapat
mendukung secara positif aktivitas yang dilakukan seseorang.
Liliweri (1994:2) mengatakan bahwa bahasa merupakan medium
atau sarana bagi manusia yang berpikir dan berkata tentang suatu gagasan
sehingga dikatakan bahwa pengetahuan itu adalah bahasa. Bagi manusia
bahasa merupakan faktor utama yang menghasilkan persepsi, pendapat dan
pengetahuan.
Rakhmat (2001:269) mendefinisikan bahasa secara fungsional dan
formal. Definisi fungsional melihat bahasa dari fungsinya, sehinggga
bahasa diartikan sebagai “alat yang dimiliki bersama untuk
mengungkapkan gagasan” karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada
menggunakannya. Definisi formal menyatakan bahasa sebagai semua
kalimat yang terbayangkan yang dapat dibuat menurut peraturan tata
bahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus
disusun dan dirangkai supaya memberikan makna.
2.1.2.4 Komunikasi Non verbal
Didalam film, akan banyak ditemui adegan-adegan yang
mengandung pesan tertentu tanpa adanya kata-kata atau ucapan. Tubbs
(1996:9) mengemukakan bahwa pesan nonverbal adalah semua pesan yang
kita sampaikan tanpa kata-kata atau selain dari kata yang kita pergunakan.
Dalam kaitannya dengan bahasa, pesan-pesan nonverbal masih
dipergunakan karena dalam praktiknya antara pesan verbal dan nonverbal
dapat berlangsung secara serentak atau simultan.
Pesan merupakan salah satu unsur dalam komunikasi. Menurut
Knapp (1997:177-178) komunikasi nonverbal ada beberapa fungsi utama,
yaitu :
1. Untuk menekankan. Komunikasi nonverbal digunakan untuk
menekankan atau menonjolkan beberapa bagian dari pesan
verbal.
2. Untuk melengkapi. Komunikasi nonverbal digunakan untuk
3. Untuk menunjukkan kontradiksi. Pesan nonverbal digunakan
untuk menolak pesan verbal, atau memberikan makna lain
terhadap pesan nonverbal.
4. Untuk mengatur. Komunikasi nonverbal digunakan untuk
mengendalikan atau mengisyaratkan keinginan komunikator
untuk mengatur pesan verbal.
5. Untuk mengulangi. Pesan ini digunakan untuk mengulangi
kembali gagasan yang sudah dikemukakan secara verbal.
Adapun, menurut DeVito (1997:187-216)
“Komunikasi nonverbal dapat berupa gerakan tubuh, gerakan wajah, gerakan mata, komunikasi ruang kewilayahan, komunikasi sentuhan, parabahasa dan waktu. Seorang komunikator dituntut kemampuannya dalam mengendalikan komunikasi nonverbal yang diamati adalah gerakan tubuh (gerakan tangan, anggukan kepala dan bergegas), gerakan wajah (tersenyum, cemberut, kontak mata) dan parabahasa (suara lembut, merendahkan suara dan menaikan suara).
Sedangkan menurut Stewart dan D‟Angelo (1980) dalam Mulyana
(2005:112-113), berpendapat :
“Bahwa bila kita membedakan verbal dan nonverbal dan vokal dan nonvokal, kita mempunyai empat kategori atau jenis komunikasi. Komunikasi verbal/vokal merujuk pada komunikasi melalui kata yang diucapkan. Dalam komunikasi verbal/nonvokal kata-kata digunakan tapi tidak diucapkan.
2.1.3 Tinjauan Tentang Komunikasi Massa
Film merupakan salah satu bentuk penyampaian pesan melalui media
komunikasi massa. Film tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni, tetapi
sekarang film lebih sebagai “praktik sosial” serta “komunikasi massa”.
Komunikasi Massa sendiri adalah komunikasi yang terjadi melalui media massa
seperti surat kabar, film, radio dan televisi. Jadi dalam artian yang lain
komunikasi massa adalah penyebaran pesan dengan menggunakan media yang
di tujukan kepada masyarakat yang abstrak, yaitu sejumlah orang yang tidak
tampak oleh penyampai pesan (Effendy, 2002).
Komunikasi yang menggunakan media massa yang dikelola oleh suatu
lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar
orang yang tersebar di banyak tempat, anonim dan heterogen. Pesan-pesannya
bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak, selintas (kuhususnya media
elektronik). Komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi
organisasi berlangsung juga dalam proses untuk mempersiapkan pesan yang
disampaikan media massa ini (Mulyana, 2000).
Menurut Wright (1959) Definisi komunikasi massa juga dapat didefinisikan ke
dalam tiga ciri:
1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar, heterogen
2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum. Sering dijadwalkan untuk bisa
mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan
sifatnya sementara.
3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi
yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar.
2.1.3.1 Fungsi Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah salah satu aktivitas sosial yang berfungsi di
masyarakat. Fungsi komunikasi massa menurut Dominick dalam Ardianto,
Elvinaro. (2007: 14). Komunikasi Massa Suatu Pengantar Terdiri dari:
1. Surveillance (Pengawasaan)
2. Interpretation (Penafsiran)
3. Linkage (Pertalian)
4. Transmission of Values (Penyebaran nilai-nilai)
5. Entertainment (Hiburan)
Surveillance (pengawasaan) Fungsi pengawasan komunikasi massa
dibagi dalam bentuk utama: fungsi pengawasan peringatan terjadi ketika
media massa menginformasikan tentang suatu ancaman; fungsi pengawasan
instrumental adalah penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki
Interpretation (penafsiran) Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting.
Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa
yang dimuat atau ditayangkan. Tujuan penafsiran media ingin mengajak para
pembaca, pemirsa atau pendengar untuk memperluas wawasan.
Linkage (pertalian) Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat
yang beragam, sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan
kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.
Transmission of Values (penyebaran nilai-nilai) Fungsi penyebaran nilai
tidak kentara. Fungsi ini disebut juga socialization (sosialisasi).
Sosialisasi mengacu kepada cara, di mana individu mengadopsi perilaku dan
nilai kelompok. media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu
ditonton, didengar dan dibaca. Media massa memperlihatkan kepada kita
bagaimana mereka bertindak dan apa yang mereka harapkan. Dengan kata
lain, Media mewakili kita dengan model peran yang kita amati dan harapan
untuk menirunya.
Entertainment (hiburan) Radio siaran, siarannya banyak memuat acara hiburan, Melalui berbagai macam acara di radio siaran pun masyarakat dapat
menikmati hiburan. meskipun memang ada radio siaran yang lebih
mengutamakan tayangan berita. fungsi dari media massa sebagai fungsi
khalayak, karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tayangan
hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali.
2.1.3.2 Karakteristik Komunikasi Massa
Karakteristik komunikasi massa menurut Ardiantio Elvinaro. (2007:6)
Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Sebagai berikut:
1. Komunikator terlambangkan
2. Pesan bersifat umum
3. Komunikannya anonim dan heterogen
4. Media massa menimbulkan keserempakan
5. Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan
6. Komunikasi massa bersifat satu arah
7. Stimulasi alat indera terbatas
8. Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan tidak langsung (indirect)
Komunikator terlambangkan, Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya, Komunikasi massa itu melibatkan lembaga dan
komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks. Pesan bersifat
umum, Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu
ditujukan untuk semua orang dan ditujukan untuk sekelompok orang tertentu.
Komunikannya anonim dan heterogen, Dalam komunikasi massa, komunikatornya tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya
menggunakan media dan tidak tatap muka. Disamping anonim, komunikan
komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan
masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan faktor:
usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang, budaya, agama,
dan tingkat ekonomi.
Media massa menimbulkan keserempakan, Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan jenis komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran
khalayak atau komunikan yang dicapainya relative banyak dan tidak terbatas.
Bahkan lebih dari itu, komunikannya yang banyak tersebut secara serempak
pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.
Effendy (1981) mengartikan keserempakan media massa itu sebagai
keserempakan konteks dengan sejumlah besar penduduk dalam jumlah yang
jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya dalam
keadaan terpisah.
Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan, Salah satu prinsip komunikasi adalah bahwa komunikasi mempunyai dimensi isi dan
dimensi hubungan. Dimensi isi menunjukan muatan atau isi komunikasi,
yaitu apa yang dikatakan, sedangkan dimensi hubungan menunjukan
bagaimana cara mengatakannya, yang juga mengisyaratkan bagaimana
Dalam konteks komunikasi massa, komunikator tidak harus selalu kenal
dengan komunikannya, dan sebaliknya. Yang terpenting, bagaimana seorang
komunikator menyusun pesan secara sistematis, baik sesuai dengan jenis
medianya, agar komunikannya bisa memahami isi pesan tersebut.
Komunikasi massa bersifat satu arah, Karena komunikasinya melalui media massa, maka komunikatornya dan komunikannya tidak dapat
melakukan kontak langsung. Komunikatornya aktif menyampaikan pesan,
komunikan pun aktif menerima pesan namun diantara keduanya tidak dapat
melakukan dialog. Dengan kata lain, komunikasi massa itu bersifat satu arah.
Stimulasi Alat Indera Terbatas, Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indera bergantung pada jenis media massa. Pada radio siaran dan rekaman
auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film,
kita menggunakan indera penglihatan dan pendengaran.
Umpan Balik Tertunda (Delayed) dan tidak langsung (Inderect), Dalam proses komunikasi massa, umpan balik bersifat tidak langsung
(indirect) dan tertunda (delayed). Artinya, komunikator komunikasi massa
tidak dapat dengan segera mengetahui bagaimana reaksi khalayak terhadap
pesan yang disampaikannya. Komponen umpan balik atau yang lebih populer
dengan sebutan feedback merupakan faktor penting dalam proses komunikasi
massa. Efektivitas komunikasi sering dapat dilihat dari feedback yang
2.1.4 Tinjauan Tentang Film
Film yang pertama kali diperkenalkan kepada publik Amerika Serikat
adalah The Life of an American Fireman dan film The Great Train Robbery
yang dibuat oleh Edwin S. Potter pada tahun 1903 (Hiebert, Ungurait, Bohn,
1975 : 246). Film Amerika diproduksi di Hollywood. Film yang dibuat di
Hollywood membanjiri pasar global dan mempengaruhi sikap, perilaku dan
harapan-harapan orang di belahan dunia.
Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa
visual di belahan dunia ini. Lebih dari ratusan juta orang menonton film di
bioskop, film televisi dan film video laser setiap minggunya. Di Amerika
Serikat dan Kanada lebih dari satu juta tiket film terjual setiap tahunnya. Film
lebih dahulu menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi.
Menonton film ke bioskop ini menjadi aktivitas popular bagi orang Amerika
pada tahun 1920-an sampai 1950-an.
Industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah menggeser
anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang
diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan
memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna.
Meskipun pada kenyataannya adalah bentuk karya seni, industry film
adalah bisnis yang memberi keuntungan, kadang-kadang menjadi mesin uang
yang seringkali, demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu sendiri.
2.1.4.1 Sejarah Film
Dalam buku Ardiantio Elvinaro (2007:143) Komunikasi Massa Suatu
Pengantar. Film atau motion pictures ditemukan dari hasil pengembangan
prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Film yang pertama kali diperkenalkan
kepada publik Amerika Serikat adalah The Life of an American Fireman dan
film The Great Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S. Porter pada tahun
1903 (Hiebert, Ungurait, Bohn, 1975:246). Tetapi film The Great Train
Robbery yang masa putarnya hanya 11 menit dianggap sebagai film cerita
pertama, karena telah menggabarkan situasi secara ekspresif, dan menjadi
peletak dasar teknik editing yang baik.
Tahun 1906 sampai tahun 1916 merupakan periode paling penting dalam
sejarah perfilman di Amerika Serikat, karena pada dekade ini lahir film feature,
lahir pula bintang film serta pusat perfilman yang kita kenal sebagai
Hollywood. Periode ini juga disebut sebagai the age of Griffith karena David
Wark Griffith lah yang telah membuat film sebagai media yang dinamis.
Diawali dengan film The Adventures of Dolly (1908) dan puncaknya film The
Birth of a Nation (1915) serta film Intolerance (1916). Griffith memelopori
gaya berakting yang lebih alamiah, organisasi cerita yang makin baik, dan yang
paling utama mengangkat film sebagai media yang memiliki karakteristik unik,
dengan gerakan kamera yang dinamis, sudut pengambilan gambar yang baik,
Pada periode ini pula perlu dicatat nama Mack Sennet dengan Keystone
Company, yang telah membuat film komedi bisu dengan bintang legendaris
Charlie Chaplin.
Apabila film permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927
di Broadway Amerika Serikat muncul film bicara yang pertama meskipun
belum sempurna (Effendy, 1993:188).
2.1.4.2 Jenis-Jenis Film
Dalam jenisnya, film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film
berita, film dokumenter dan film kartun.
1. Film Cerita (Story Film)
Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita, yaitu
yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang
filmnya yang tenar. Film jenis ini didistribusikan sebagai barang dagangan
dan diperuntukkan semua publik dimana saja.
Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau
berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik,
baik dari jalan ceritanya maupun dari segi gambar yang artistik.
2. Film Dokumenter (Documentary Film)
Robert Flaherty mendefinisikan film dokumenter sebagai “karya
ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality).” Film
dokumenter merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai
kenyataan tersebut, dengan sedikit merekayasanya agar dapat
menghasilkan kualitas film cerita dengan gambar yang baik. Biografi
seseorang yang memiliki karya pun dapat dijadikan sumber bagi
dokumenter.
3. Film Berita (News Reel)
Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang
benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan
kepada publik harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita
itu adalah penting dan menarik. Film berita dapat langsung terekam
dengan suaranya, atau film beritanya bisu, pembaca berita yang
membacakan narasinya. Bagi peristiwa-peristiwa tertentu, perang,
kerusuhan, pemberontakan dan sejenisnya, film berita yang dihasilkan
kurang baik. Dalam hal ini terpenting adalah peristiwanya terekam secara
utuh.
4. Film Kartun (Cartoon Film)
Film kartun pada awalnya memang dibuat untuk konsumsi anak-anak,
namun dalam perkembangannya kini film yang menyulap gambar lukisan
berat pembuatan film kartun adalah seni lukis, dan setiap lukisan
memerlukan ketelitian. Satu per satu dilukis dengan saksama untuk
kemudian dipotret satu per satu pula. Apabila rangkaian lukisan itu setiap
detiknya diputar dalam proyektor film, maka lukisan-lukisan itu menjadi
hidup. (Effendy, 2003:216)
5. Film-film Jenis Lain
a. Profil Perusahaan (Corporate Profile)
Film ini diproduksi untuk kepentingan institusi tertentu
berkaitan dengan kegiatan yang mereka lakukan. Film ini sendiri
berfungsi sebagai alat bantu presentasi.
b. Iklan Televisi (TV Commercial)
Film ini diproduksi untuk kepentingan penyebaran informasi,
baik tentang produk (iklan produk) maupun layanan masyarakat
(iklan layanan masyarakat atau public service announcement/PSA).
c. Program Televisi (TV Program)
Program ini diproduksi untuk konsumsi pemirsa televisi. Secara
umum, program televisi dibagi menjadi dua jenis yakni cerita dan
d. Video Klip (Music Video)
Dipopulerkan pertama kali melalui saluran televisi MTV pada
tahun 1981, sejatinya video klip adalah sarana bagi para produser
musik untuk memasarkan produknya lewat medium televisi.
(Effendy, 2006:13-14).
2.1.5 Tinjauan Tentang Semiotika
Kata semiotika disamping kata semiology sampai kini masih dipakai.
Selain istilah semiotika dan semiology dalam sejarah linguistik ada pula
digunkan istilah lain seperti semasiology, sememik, dan semik untuk merujuk
pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti suatu tanda atau lambang
(Sobur, 2004:11).
Secara etimologis, istilah semiotika atau semiologi berasal dari bahasa
Yunani, Semeion yang berati “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai
sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat
dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16 dalam Sobur, 2006:95).
Sedangkan secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh
kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979:6 dalam Sobur, 2006:95).
Secara sederhana, semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi
melakukan komunikasi dengan sesamanya. Semiotika adalah suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita
pakai dalam upaya dalam berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah
manusia dan bersama-sama manusia. Suatu tanda menandakan sesuatu selain
dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau
idea dan suatu tanda (Littlejohn, 1996:64). Konsep dasar ini mengikat bersama
seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan
bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda
berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum,
studi tentang tanda merujuk kepada semiotika.
Charles Sanders Pierce (dalam Littlejohn, 1996:64) mendefinisikan
semiosis sebagai “a relationship among a sign, an object, and a meaning (suatu
hubungan diantara tanda, objek, dan makna).” Charles Morris (dalam Segers,
2000:5) menyebut semiosis ini sebagai suatu “proses tanda, yaitu proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organisme”. Tanda tidak mengandung
makna atau konsep tertentu, namun tanda memberi kita petunjuk-petunjuk yang
semata-mata menghasilkan makna melalui interpretasi. Tanda menjadi bermakna
mana kala diuraikan isi kodenya (decoded) menurut konvensi dan aturan budaya
yang dianut orang secara sadar maupun tidak sadar (Sobur, 2003:14).
Melihat sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama
yaitu Charles Sander Pierce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de
Saussure yang mewakili tradisi Eropa. Keduanya tidak pernah saling bertemu,
penerapan konsep-konsep dari masing-masing, namun keduanya seringkali
mempunyai perbedaan penting mungkin karena keduanya berangkat dari disiplin
yang berbeda. Pierce adalah seorang guru besar filsafat dan logika sedangkan
Saussure merupakan seorang ahli linguistik.
Pusat perhatian semiotika pada kajian komunikasi adalah menggali apa
yang tersembunyi dibalik bahasa. Saussure mendefinisikan semiotika adalah
ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Dalam
konteks sastra, (Teeuw, 1928:18 dalam Sobur, 2006:96) memberi batasan
semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi.
Ia kemudian menyempurnakan batasan semiotik itu sebagai model sastra
yang mempertanggung jawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk
pemahaman gejala sastra sebagai alat komunikasi yang khas didalam masyarakat
mana pun.
2.1.6 Tinjauan Tentang Representasi
Representasi adalah bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan sosial,
dalam perkembangannya ada dua teori dalam teori pengetahuan sosial yaitu apa
yang disebut kongnisi sosial, representasi adalah suatu konfigurasi atau bentuk
atau susunan yang dapat menggambarkan, mewakili atau melambangkan sesuatu
dalam suatu cara. Tujuan dalam menerapkan ilmu pengetahuan untuk
memahami bagaimana interpersonal, understanding, moral judgement.
Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi
(peta konseptual), representasi mental merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua,
“bahasa”, berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak
yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam “bahasa” yang lazim,
supaya dapat menghubungkan konsep dan ide-ide tentang sesuatu dengan tanda
simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk
representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk pada bagaimana
seseorang atau suatu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan
dalam pemberitaan. (Wibowo, 2011:113).
Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Marcel Danesi dalam bukunya
yang berjudul Understanding Media Semiotics mengungkapkan bahwa
representasi adalah proses merekam ide, pengetahuan, atau pesan dalam
beberapa cara fisik disebut representasi. Ini dapat didefinisikan lebih tepat
sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan, meniru
sesuatu, yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam bentuk
fisik.
2.1.7 Tinjauan Tentang Kapitalisme
Kapitalisme secara etimologis berasal dari Bahasa Latin, caput, yang artinya
kepala, kehidupan, dan kesejahteraan. Makna modal dalam capital kemudian
diinterpretasikan sebagai titik kesejahteraan. Dengan makna kesejahteraan,
definisi kapital mulai dikembangkan dengan arti akumulasi keuntungan yang
diperoleh setiap transaksi ekonomi. Sehingga, interpretasi awal dari kapitalisme
Dalam definisi ini kapitalisme memiliki definisi yang konstruktif-humanis
karena setiap orang pasti memiliki keinginan dasar untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dalam hidup sehari-hari. Kapitalisme dapat dipahami sebagai suatu
ideologi yang mengagungkan kapital milik perorangan atau milik sekelompok
kecil masyarakat sebagai alat penggerak kesejahteraan manusia. Kepemilikan
kapital perorangan atau kepemilikan kapital oleh sekelompok kecil masyarakat
adalah dewa diatas segala dewa, artinya semua yang ada di dunia ini harus
dijadikan kapital perorangan atau kelompok kecil orang untuk memperoleh
keuntungan melalui sistem kerja upahan, dimana kaum perkerja (buruh) sebagai
produsen ditindas, diperas dan dihisap oleh kaum kapitalis (Arif Purnomo, 2007:
28).
Kapitalisme merupakan sebuah paham ekonomi yang bertujuan untuk
mendapatkan sebesar-besarnya keuntungan dan modal (kapital). Kapitalisme
dapat pula diartikan sebagai susunan ekonomi yang berpusat pada keuntungan
perseorangan. Pada paham kapitalisme uang atau modal memegang peran
penting dalam pelaksanaan politik atau kebijakan kapitalisme.
Kapitalisme tidak memiliki suatu definisi universal yang bisa diterima secara
luas. Secara umum, definisi kapitalisme merujuk pada satu atau beberapa hal
berikut (1) sebuah sistem yang mulai terinstitusi di Eropa pada masa abad 16
hingga abad 19 yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa,
dimana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu
badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda
sebuah pasar bebas dimana harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran,
demi menghasilkan keuntungan dimana statusnya dilindungi oleh negara melalui
hak pemilikan serta tunduk kepada hukum negara atau kepada pihak yang sudah
terikat kontrak yang telah disusun secara jelas kewajibannya baik eksplisit
maupun implisit serta tidak semata-mata tergantung pada kewajiban dan
perlindungan yang diberikan oleh kepenguasaan feodal; (2) Teori yang saling
bersaing yang berkembang pada abad 19 dalam konteks Revolusi Industri, dan
abad 20 dalam konteks Perang Dingin, yang berkeinginan untuk membenarkan
kepemilikan modal, untuk menjelaskan pengoperasian pasar semacam itu, dan
untuk membimbing penggunaan atau penghapusan peraturan pemerintah
mengenai hak milik dan pasaran; (3) Suatu keyakinan mengenai keuntungan dari
menjalankan hal-hal semacam itu (Sutarjo Adisusilo, 1994).
Ruth Mc Vey (1998) mendefinisikan konsep kapitalisme sebagai sebuah
sistem yang menggunakan alat-alat produksi berada ditangan sektor swasta
untuk menciptakan laba dan sebagian besar dari laba itu ditanamkan kembali
guna memperbesar kemampuan menghasilkan laba. Quesnay dan Adam Smith
dalam Donny Gahral Adian (2005: 69-70) menyatakan bahwa kapitalisme
adalah paham yang membebaskan manusia untuk berekonomi secara bebas dan
mengejar laba bebas dari tekanan agama maupun negara. Sementara itu, Karl
Marx mendefinisikan kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang berprinsipkan
hak milik pribadi dan kompetisi bebas (Donny Gahral Adian, 2005:6).
Dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli, kapitalisme
dimiliki oleh individu (individual ownership), (2) barang dan jasa
diperdagangkan di pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif, (3) modal
kapitalis (baik uang maupun kekayan lain) diinvestasikan ke dalam berbagai
usaha untuk menghasilkan laba (Ebenstein dan Fogelman, 1987).
A. Kemunculan dan Perkembangan Kapitalisme
Kemunculan kapitalisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni
faktor budaya dan faktor struktural (Wasino, 2007: 3-4). Teori tentang
budaya sebagai faktor yang mendorong munculnya kapitalisme ini
dikemukakan oleh Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and
The Spirit of Capitalism. Weber menyatakan bahwa kapitalisme yang ada
di Eropa dan di Amerika bersumber pada nilai-nilai Protestan. Lebih jauh
lagi kebelakang hal ini disebabkan adanya gerakan individualisme,
sehingga menimbulkan adanya reformasi (Ebenstein dan Folegeman,
1987:148).
Berkaitan dengan nilai-nilai Protestan sebagai pendorong munculnya
kapitalisme, Weber menjelaskan bahwa dalam ajaran Protestanisme tidak
dianjurkan bagi orang-orang beriman untuk melupakan duniawi dan
mengasingkan diri dalam biara atau berkonsentrasi pada kegiatan meditasi
atau berdoa serta aktivitas untuk mempersiapkan diri menghadapi
kematian seperti yang banyak dilakukan oleh ajaran Katolik, tetapi dalam
hidup di dunia ini harus dilakukan dengan kerja keras dan ketekunan.
kapitalisme didukung dengan adanya ajaran dari Luther yang mengubah
arti dari pekerjaan dari yang bersifat keagamaan menjadi keduniawian, dan
ajaran dari Calvin tentang “suratan nasib ganda”.
Faktor lain selain faktor budaya yang mendorong terjadinya kapitalime
adalah faktor struktural. Konsep ini didukung oleh pemikiran dari Karl
Marx yang menyatakan bahwa faktor struktural adalah terjadinya suatu
perubahan cara produksi dari masyarakat feodal ke masyarakat kapitalis.
Perubahan ini seperti diungkapkan Tom Bottomore dalam Theories of
Capitalism, berlangsung dalam waktu yang cukup panjang yang diawali
dengan (1) meningkatnya keterasingan produsen kecil dari produksinya,
(2) tumbuhnya kota-kota, (3) tansformasi petani menjadi buruh, (4)
munculnya proletariat perkotaan, (5) perluasan melalui laut yang berakibat
perluasan kapital secara cepat (Arif Purnomo, 2007:35).
Dalam perubahan struktural cara produksi masyarakat itu yang
terpenting bagi tumbuhnya kapital menurut Anthony Giddens seperti
dikutip Purnomo (2007) adalah faktor akumulasi. Akumulasi ini
merupakan suatu produksi kapitalis yang dibangun sebagai konsekuensi
akibat kemajuan teknologi, kompetisi diantara pada kapitalis secara
individual, dimana peristiwa ini mendrong untuk menabung dan
berinvestasi. Berkembangnya kapitalisme tidak lepas dari adanya
pandangan dari tokoh-tokoh Adam Smith, Keynes, Rostow, dan
sebagainya. Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ideologi kapitalisme
bangsa-bangsa akan tercapainya melalui ekonomi persaingan bebas, artinya
ekonomi tanpa campur tangan negara. Menurut Adam Smith, kapitalisme
merupakan paham yang membebaskan manusia untuk berekonomi secara
bebas dan mengejar laba bebas dari tekanan agama dan negara. Prinsip
yang menancap kuat pada waktu itu adalah laissez faire, yaitu sebuah
prinsip yang melarang otoritas eksternal untuk turut campur dalam
masalah ekonomi. Smith berkeyakinan bahwa apabila manusia dibebaskan
untuk mengejar profit, maka akan ada kompetisi, dan melalui kompetisi
inilah stabilitas masyarakat akan terjaga (seolah-olah ada tangan yang tak
kelihatan yang mengatur masyarakat di luar pengatahuan pelaku-pelaku
ekonomi) (Donny Gahral Adian, 2005:70).
Ideologi kapitalisme kemudian diperbaharui dan dikembangkan oleh
Keynes dengan teorinya “campur tangan negara dalam ekonomi”
khususnya dalam menciptakan kesempatan kerja menetapkan tingkat suku
bunga, tabungan, dan investasi. W.W Rostow kemudian mengemukakan
teorinya The Five Stage Scheme, Harrod-Domar dengan teori tentang
tabungan dan investasi, Mc Celland dengan teori The Need for
Achievment, Reagan dan Tacher dengan teori Neo-Liberalism atau
globalisasi pasar bebas atau teori kedaulatan pasar bebas (Arif Purnomo,
2007:28).
Pada perkembangan selanjutnya, kapitalisme terutama kapitalisme
industrial, menurut Dillard dibagi menjadi beberapa fase, yakni periode
kapitalisme lanjut. Namum demikian, sebelum adanya kapitalisme
industrial ada pula yang disebut dengan kapitalisme purba. Kapitalisme
purba adalah tahapan awal pembentukan kapitalisme yang ditemukan
dalam bibit-bibit pemikiran masyarakat feodal yang berkembang di
Babilonia, Mesir, Yunani, dan Kekaisaran Roma. Para ahli ilmu sosial
menamai tahapan kapitalisme ini dengan sebutan commercial capitalism.
Kapitalisme komersial berkembang dan membutuhkan sistem ekonomi
untuk menjamin fairness perdagangan ekonomi yang dilakukan oleh para
pedagang, tuan tanah, kaum rohaniwan. Max Weber mengatakan bahwa
akar kapitalisme berawal dari sistem Codex Luris Romae sebagai aturan
main ekonomi yang kurang lebih universal dipakai oleh kaum pedagang
Eropa, Asia Barat, serta Asia Timur dan Afrika Utara. Aturan main
ekonomi ini sebetulnya dimanfaatkan untuk memapankan sistem pertanian
feodal. Sehingga, dari aturan ini muncul istilah borjuis yang
mengelompokkan sistem feodalisme yang disempurnakan dengan sistem
hukum ekonomi itu. Kaum borjuis merupakan sebutan bagi golongan tuan
tanah, bangsawan, dan kaum rohaniawan yang mendiami biara yang luas
dan besar. Perkembangan selanjutnya merupakan perkembangan
kapitalisme yang disebut dengan tata cara dan “kode etik” yang dipakai
kaum merkantilisme, yaitu kaum pedagang yang berkumpul di pelabuhan
Genoa, Venice dan Pisa. Hal ini menyebabkan perkembangan kompetisi
dalam sistem pasar, keuangan, tata cara barter serta perdagangan yang
inilah, wacana tentang keuntungandan profit menjadi bagian integral
dalam kapitalisme sampai abad pertengahan.
Setelah kapitalisme purba, muncullah kapitalisme industri. Kapitalisme
industri muncul ketika berkembang pandangan merkantilis dan
perkembangan pasar berikut sistem keuangan yang telah mengubah cara
ekonomi feodal yang semata-mata bisa dimonopoli oleh para tuan tanah,
bangsawan dan kaum rohaniawan.
Ekonomi mulai bergerak menjadi bagian dari perjuangan kelas
menengah dan mulai menampakan pengaruh pentingnya. Ditambah lagi
rasionalisasi filosofis abad modern yang dimulai dengan era renaissance
dan humanisme mulai menjalari bidang ekonomi. Tokoh-tokoh yang
memberikan pengaruh kapitalisme yaitu Thomas Hobbes dengan
pandangan egoisme etisnya yang pada intinya meletakan sisi ajaran bahwa
setiap orang secara alamiah pasti akan mencari pemenuhan kebutuhan
dirinya. John Locke, dia menekankan sisi liberalisme etis, dimana salah
satu adagiumnya berbunyi bahwa manusia harus dihargai hak kepemilikan
personalnya. Adam Smith dan David Ricardo yang menjatuhkan
pandangan kedua tokoh diatas dengan filsafat laissez faire (ungkapan
penyifat) dalam prinsip pasar dan ekonomi. Pandangan ini menekankan
bahwa sistem pasar bebas diberlakukan sistem kebebasan kepentingan
ekonomi tanpa campur tangan pemerintah. Akselerasi kapitalisme semakin
terpicu dengan timbulnya revolusi industri. Industrialisasi di Inggris dan
modernnya akan memicu kolonialisme dan imperialisme ekonomi,
sehingga tidak mengherankan terjadi Exploitation I’homme par I’homme.
Situasi penindasan yang timbul mengakibatkan munculnya reaksi alamiah
dari orang-orang yang memiliki keperdulian kolektif yang mengalami
trade-off dalam era industri, salah satunya adalah Karl Marx, menurutnya
sistem yang tidak beres dalam kapitalisme cenderung menafikan individu
dalam konteks sosial.
Pada periode awal kapitalisme industri (1500-1750), kapitalisme ini
bertumpu pada industri tekstil yang ada di Inggris pada abad 16-18.
Perkembangan industri di Inggris pada abad 16-18 disebabkan terdapat
adanya surplus sosial yang didayagunakan secara poduktif yang
menjadikan kapitalisme mampu mengungguli semua sistem ekonomi
sebelumnya. Adanya surplus tersebut digunakan untuk berbagai usaha
seperti perkapalan pergudangan, bahan-bahan mentah, barang-barang jadi,
dan berbagai bentuk kekayaan lainnya. Dengan demikian, surplus sosial
ini telah berubah menjadi perluasan kapasitas produksi (Arif Purnomo,
2007:37).
Pada fase kedua (1750-1914) terjadi pergeseran pembangunan kapitalis
dari perdagangan ke industri. Pada masa ini akumulasi modal terjadi
secara terus-menerus selama tiga abad. Perkembangan yang pesat dalam
bidang teknologi telah mempermudah proses ekonomi. Mesin-mesin
produksi massal digunakan dalam berbagai industri yang menyebabkan
kapitalisme. Pada masa ini, perdagangan bebas menjadi fakor utama dalam
kegiatan ekonomi yang belum penah terjadi sebelumnya. Fase ketiga
ditandai dengan adanya momentum perang Dunia I sebagai titik balik
perkembangan sistem kapitalisme. Fase ini ditandai dengan adanya
pergeseran hegemoni kapitalisme dari Eropa ke Amerika Serikat dan
bangkitnya perlawanan bangsa-bagsa Asia dan Afrika terhadap
kolonialisme Eropa.
B. Kapitalisme dan Dampakya
Kapitalisme berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, terutama
masyarakat desa. Karl Marx mengemukkan bahwa dalam sistem
kapitalisme, petani pedesaan akan menglami pucak kematian. Petani yang
semula memproduksi barang dengan alat prduksinya sendiri, secara
perlahan berubah menjadi kapitalis kecil disatu pihak dan berubah menjadi
buruh upahan dipihak lain. Dalam perjalanan kapitalisme ini, mayoritas
petani akan berubah menjadi proletariat. Konsepsi Marx ini kemudian
diperjelas oleh Lenin yang menyebutnya sebagai proses diferensiasi
petani. Diferensiasi ini muncul karena makin berkembangnya kelas
menengah pedesaan disatu pihak dan kelas proletariat pedesaan dilain
pihak. Kelas proletariat ini tidak memiliki tanah dan hanya bekerja sebagai
buruh upahan. Oleh karena masih ada kegiatan produksi dalam bentuk
produksi rumah tangga, maka kelas yang terakhir ini dikatakan oleh
Bernste sebagai proletariat semu (disgudied proletariat) (Harris dalam Arif
Namun demikian pendapat Marx dan Lenin tidak selamanya diakui
oleh para ahli, seperti Kautzky yang tidak sependapat dengan konsepsi
Marx ataupun Lenin. Menurut Kautzky, kapitalisme pedesaan memang
dapat meingkatkan prduksi pertanian, tetapi tidak harus menggusur petani
kecil. Dalam kasus Eropa barat, industri pertanian tidak dengan sendirinya
menghancurkan pertanian rakyat. Kedua jenis produksi itu justru saling
menunjang (Harris dalam Arif Purnomo, 2007:36). Sementara itu,
Theodore Shanin mendukung pernyataan Lenin bahwa kapitalisme telah
menyebabkan diferensiasi dan ketidakadilan sosial ekonomi di pedesaan.
Proses ini terjadi dalam pengertian mobilitas rumah tangga petani dalam
periode tertetu. Ciri khas dari berbagai mobilitas petani adalah mobilitas
siklus dan mobilitas ke segala arah yang memiliki tingkatan tidak dalam
bentuk polarisasi. Ernesto Laclau, menyatakan bahwa berasarkan
penelitiannya di Amerika Latin, kapitalisme justru masih melanggengkan
cara produksi kapitalis. Antara dua cara prduksi ini saling terkait yang ia
namakan “subordinasi”, yakni cara produksi prakapitalis menjadi
subordinasi cara produksi kapitalis. Masyarakat petani tidak mengalami
kehancuran akibat perkembangan kapitalisme kolonial, tetapi terintegrasi
dalam hubungan subordinasi. Masyarakat petani menjadi sumber tenaga
kerja murah untuk perkebunan dan sekaligus menghasilkan komoditas
untuk pasar kolonial (Hashim dalam Arif Purnomo, 2007:37).
Berkaitan dengan masalah kapitalisme dan kolonialisme, pada