PENGARUH KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN DANA PERIMBANGAN TERHADAP BELANJA MODAL
(Studi Pada Kabupaten/Kota se-Bali)
SKRIPSI
Oleh:
LUH AYU RATIH PURNAMASARI NIM: 1206305143
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA
i
PENGARUH KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN DANA PERIMBANGAN TERHADAP BELANJA MODAL
(Studi Pada Kabupaten/Kota se-Bali)
SKRIPSI
Oleh:
LUH AYU RATIH PURNAMASARI NIM: 1206305143
Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana Denpasar
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetujui oleh Pembimbing, serta diuji pada tanggal:
Tim Penguji: Tanda tangan
1. Ketua : Dr. A A N B Dwirandra, SE., M.Si., Ak
2. Sekretaris : Ni Made Adi Erawati, SE., M.Si
3. Anggota : Eka Ardhani Sisdyani, SE., M.Com., Ak
Mengetahui,
Ketua Jurusan Akuntansi Pembimbing
Dr. A.A.G.P Widanaputra, SE., M.Si., Ak Ni Made Adi Erawati, SE, M.Si
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik disuatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur – unsur plagiasi, saya bersedia diproses sesuai dengan pertauran perundang – undangan yang berlaku.
Denpasar, 17 Februari 2016
Mahasiswa
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan kasih-Nya, skripsi yang berjudul “Pengaruh Kemandirian Keuangan dan Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal (Studi Pada Kabupaten/Kota se-Bali)” dapat diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
2. Ibu Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE., M.S selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
3. Bapak Dr.A.A.G.P Widanaputra, SE., M.Si., Ak dan Dr. I Dewa Nyoman Badera, SE., MSi., masing – masing sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
4. Bapak Dr. Gerianta Wirawan Yasa, SE., M.Si selaku pembimbing akademik (PA) atas waktu, bimbingan serta motivasi yang tiada henti selama saya menempuh studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana. 5. Ibu Ni Made Adi Erawati, SE., M.Si selaku dosen pembimbing yang selalu
meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta arahan dan motivasinya selama penyelesaian skripsi ini.
6. Ibu Eka Ardhani Sisdyani, SE., M.Com., Ak selaku dosen pembahas yang selalu meluangkan waktu dan memberikan arahan kepada penulis.
7. Seluruh Dosen, Staf dan Segenap Civitas Akademika Universitas Udayana yang telah membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
8. Orang tua tercinta, I Putu Gede Pujangga dan Ni Made Agustini Harmini yang selalu memberikan dukungan, perhatian dan kasih sayang serta doanya yang tulus dan tiada hentinya, saudara-saudara saya Luh Putu Mas Purnama Dewi, Luh Diah Utari, dan Luh Putri Oktaviani serta semua keluarga besar atas dukungan serta doanya yang tulus selama saya menempuh studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
9. Teman baikku Pujiastini Utari, Dayu Trisna, Prawira Kurniawan, Sintya Surya, Sri Arthini, Ayu Sidney, Hiwa Sawaka, Dayu Agung Sukma, Kania Putri, Dwi Indahyani, Ruth Ginting, Astri Artini, Mahadewi, dan Adi Mulia Sanjaya serta yang telah banyak membantu dan memberikan doa dan dukungan serta semangat kepada penulis.
v
11. Teman – teman KKN Desa Belimbing, Pupuan yang telah berbagi keceriaan dan memberikan pengalaman hidup baru kepada penulis selama sebulan. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa dan
bantuannya dalam proses penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Meskipun demikian, penulis tetap bertanggung jawab terhadap semua isi skripsi. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Denpasar, 17 Februari 2016
vi
Judul :Pengaruh Kemandirian Keuangan dan Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal (Studi Pada Kabupaten/Kota se-Bali)
Nama : Luh Ayu Ratih Purnamasari NIM : 1206305143
Abstrak
Belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah. Belanja modal digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Aset tetap yang dimiliki pemerintah daerah sebagai akibat adanya belanja modal merupakan syarat utama dalam memberikan pelayanan publik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh dan lebih spesifik pengaruh kemandirian keuangan daerah dan dana perimbangan terhadap belanja modal pada delapan kabupaten dan satu kota di Bali.
Populasi dalam penelitian ini adalah delapan kabupaten dan satu kota di Bali.periode 2010 – 2014. Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh, sehingga sampel dalam penelitian ini adalah seluruh anggota populasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari dokumen Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, yaitu Laporan Realisasi APBD, dan didukung dengan data primer dari hasil wawancara kepada Kasubag Pembukuan di Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Denpasar. Data penelitian dianalisa dengan analisis regresi linear berganda.
Hasil pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal dan dana perimbangan tidak berpengaruh terhadap belanja modal.
vii BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. 1.1 Latar Belakang Masalah ... Error! Bookmark not defined. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.3 Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.4 Kegunaan Penelitian... Error! Bookmark not defined. 1.5 Sistematika Penulisan ... Error! Bookmark not defined. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined.
2.1. Landasan Teori ... Error! Bookmark not defined. 2.1.1 Teori Keagenan ... Error! Bookmark not defined. 2.1.2 Teori Fiscal Federalism... Error! Bookmark not defined. 2.1.3 Kemandirian Keuangan ... Error! Bookmark not defined. 2.1.4 Pendapatan Asli Daerah ... Error! Bookmark not defined. 2.1.5 Dana Perimbangan ... Error! Bookmark not defined. 2.1.6 Belanja Modal ... Error! Bookmark not defined. 2.2. Hipotesis Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
2.2.1 Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal Error! Bookmark not defined.
2.2.2 Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal ... Error! Bookmark not defined.
viii
3.2 Lokasi dan Ruang Lingkup Wilayah Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
3.3 Obyek Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 3.4 Identifikasi Variabel ... Error! Bookmark not defined. 3.5 Definisi Operasional Variabel ... Error! Bookmark not defined. 3.6 Jenis dan Sumber Data ... Error! Bookmark not defined. 3.7 Populasi, Sampel, dan Metode Penentuan Sampel ... Error! Bookmark not defined.
3.8 Metode Pengumpulan Data ... Error! Bookmark not defined. 3.9 Teknik Analisis Data ... Error! Bookmark not defined. 3.9.1 Statistik Deskriptif ... Error! Bookmark not defined. 3.9.2 Uji Asumsi Klasik ... Error! Bookmark not defined. 3.9.3 Uji Hipotesis ... Error! Bookmark not defined. BAB IV DATA DAN HASIL PEMBAHASAN PENELITIANError! Bookmark not defined.
4.1. Deskripsi Sampel Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.2. Analisis Statisktik Deskriptif ... Error! Bookmark not defined. 4.3. Uji Asumsi Klasik ... Error! Bookmark not defined. 4.4. Uji Hipotesis ... Error! Bookmark not defined. 4.5. Pembahasan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.5.1 Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah pada Belanja Modal . Error! Bookmark not defined.
4.5.2 Pengaruh Dana Perimbangan pada Belanja Modal... Error! Bookmark not defined.
ix
DAFTAR TABEL
No. Tabel Halaman
2.1 Kemampuan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah ... 10
4.1 Hasil Statistik Deskriptif ... 28
4.2 Hasil Uji Normalitas ... 30
4.3 Hasil Uji Multikolinearitas ... 30
4.4 Hasil Uji Autokorelasi... 31
4.5 Hasil Uji Heterokedastisitas ... 32
x
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Halaman
xi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Halaman
1. Daftar Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali ... 45
2. Hasil Tabulasi Data ... 46
3. Hasil Statistik Deskriptif Data Uji ...48
4. Hasil Output Uji Asumsi Klasik ... 49
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem otonomi daerah. Awal dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah sejak diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Otonomi daerah adalah bagian dari
desentralisasi. Pola hubungan yang cenderung sentralisasi berubah pada pola desentralisasi yang memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah dalam mengatur pemerintahan daerahnya.
Sumarmi (2008) menyatakan bahwa kebijakan otonomi daerah tersebut bisa dilihat dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah tantangan, yang
kedua adalah peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda). Hal tersebut dikarenakan,
dalam UU tersebut diamanatkan suatu kewenangan otonomi yaitu agar daerah melaksanakan pembangunan disegala bidang, terutama untuk pembangunan sarana
dan prasarana publik (public service).
Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
sarana utama dalam menjalankan otonomi daerah. Dalam APBD tersebut terkandung unsur pendapatan dan belanja. Belanja modal digunakan untuk
2
pendapatan yang sah. Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk
anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah yang manfaatnya melebihi satu tahun
anggaran dan akan menambah aset dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan biaya pemeliharaan. Belanja modal dapat dikategorikan dalam belanja modal tanah, belanja modal gedung dan bangunan,
belanja modal peralatan mesin, belanja modal jalan, irigasi dan bangunan serta belanja modal fisik lainnya. Belanja modal pemerintah daerah mempunyai peran
strategis dalam memicu pertumbuhan ekonomi di daerah nersangkutan. Belanja modal bersifat produktif dan bersentuhan langsung dengan kepentingan public
sehingga dapat menstimulus perekonomian di daerah bersangkutan. Rasio belanja modal tiap tahunnya hanya mengalami sedikit peningkatan pada setiap kabupaten, padahal belanja modal pemerintah daerah mempunyai peran strategis dalam
memicu pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Semakin tinggi nilai rasio belanja modal maka semakin tinggi pula diharapkan dampaknya terhadap perkembangan perekonomian di daerah tersebut (BPS, 2015).
Penelitian Zielinski (2001) dalam Kolomycew (2014) menyebutkan bahwa unsur penting dari desentralisasi adalah memberikan kemandirian keuangan pada
daerah itu sendiri. Secara khusus, kemandirian keuangan sangat penting untuk pengembangan pemerintahan daerah. Ketergantungan pada subsidi dari anggaran pusat bertentangan dengan prinsip dari desentralisasi.
3
keuangan. Daerah diberi kewenangan yang lebih besar untuk mengurus dan
mengatur rumah tangganya sendiri. Tujuan kewenangan tersebut adalah untuk lebih
mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat
untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari APBD, dan
untuk menciptakan persaingan yang sehat antardaerah, serta mendorong timbulnya
inovasi. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan mampu menggali
sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan
pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui pendapatan asli daerah.
Pendapatan yang berasal dari daerah tersebut dikenal dengan pendapatan asli
daerah. Pendapatan asli daerah ini dapat menunjukkan kemandirian keuangan daerah itu sendiri. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama
pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, dan demikian sebaliknya. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam
membayar pajak dan retribusi daerah, yang merupakan komponen utama dari pendapatan asli daerah. Semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan infrastruktur daerah yang semakin berkembang. Menurut Assyurriani (2015) menyatakan bahwa
kemandirian keuangan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh pendapatan asli daerah dalam memenuhi seluruh kebutuhan belanja pemerintah, baik belanja
4
daerah, maka semakin rendah tingkat kemandirian suatu daerah. Guna
meningkatkan kemandirian keuangan setiap daerah berupaya meningkatkan pendapatan asli daerahnya untuk mengurangi ketergantungan dari pemerintah
pusat. Penelitian yang dilakukan oleh Silitonga (2009) yang menemukan bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah tidak berpengaruh signifikan positif terhadap belanja modal. Begitu pula dengan penelitian Ardhini (2011) bahwa
rasio tingkat kemandirian daerah tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Sebaliknya, penelitian Kadafi (2013) menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah
dan dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.
Pelaksanaan otonomi daerah menitikberatkan pada daerah kabupaten dan
kota ditandai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Sesuai dengan teori keagenan (agency theory) bahwa hubungan principal dan agen dapat dilihat dari kewenangan yang diserahkan oleh
pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah pemerintah daerah harus menggali potensi-potensi sumber pendapatan sehingga mampu
meningkatkan pendapatan asli daerah. Menurut Undang-undang No.33 tahun 2004, pelaksanaan perimbangan keuangan dilakukan melalui dana perimbangan
yang terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Pemberian dana perimbangan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik
5
eksternal dalam pembiayaan pembangunannya semakin menurun setiap tahunnya
namun masih di bawah 50 persen. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu untuk membiayai seluruh kegiatannya karena sebagian besar
pendapatan daerah dalam APBD masih berasal dari pihak eksternal, termasuk untuk pembangunan infrastruktur daerah. Handayani (2009) menyatakan bahwa dana perimbangan berpengaruh positif terhadap belanja modal pada daerah
Sumatera Utara. Wibowohadi (2011) juga menunjukkan bahwa Dana Perimbangan berpengaruh terhadap belanja modal.
Tingginya pendapatan pada suatu daerah baik itu pendapatan dari daerah itu sendiri maupun transfer dari pihak eksternal menyebabkan pemerintah daerah
mampu mengalokasikan anggarannya untuk belanja modal lebih besar. Belanja modal pemerintah daerah mempunyai peran strategis dalam memicu pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Semakin tinggi nilai rasio belanja modal
maka semakin tinggi pula diharapkan dampaknya terhadap perkembangan perekonomian di daerah tersebut (BPS, 2015).
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini memiliki tujuan untuk
mengetahui lebih jauh dan lebih spesifik pengaruh kemandirian keuangan daerah dan dana perimbangan terhadap belanja modal pada delapan kabupaten dan satu
kota di Bali. Penelitian ini bermaksud mereplikasi dan mengeksplorasi penelitian yang dilakukan oleh Silitonga (2009) yang meneliti mengenai Pengaruh Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Terhadap Belanja Modal Pemerintah
6
Silitonga (2009) adalah adanya penambahan variabel dana perimbangan sebagai
variabel bebas dan juga pada lokasi penelitian.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Apakah Kemandirian Keuangan Daerah berpengaruh terhadap Belanja
Modal?
2) Apakah Dana Perimbangan berpengaruh terhadap Belanja Modal?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal.
2) Untuk mengetahui pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal. 1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal. Disamping itu, diharapkan
7
dan penyempurnaan dari penelitian – penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya.
2) Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah daerah mengenai Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan
Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan dan disusun dengan sistematika penyajian sebagai berikut.
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menguraikan latar belakang masalah yang mendorong dilakukannya penelitian, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II : Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian
Bab ini berisi mengenai landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini, hasil penelitian sebelumnya serta hipotesis dari penelitian yang dilakukan.
Bab III : Metode Penelitian
8 Bab IV: Pembahasan Hasil Penelitian
Bab ini memaparkan tentang deskripsi sampel penelitian, analisis data serta pembahasan hasil penelitian berdasarkan output SPSS.
Bab V : Simpulan dan Saran
9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1.
Landasan Teori2.1.1Teori Keagenan
Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah
persetujuan (kontrak) di antara dua pihak, yaitu prinsipal dan agen, dimana prinsipal memberi wewenang kepada agen untuk mengambil keputusan atas nama prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). Dalam teori keagenan terdapat perbedaan
kepentingan antara agen dan prinsipal, sehingga mungkin saja pihak agen tidak selalu melakukan tindakan terbaik bagi kepentingan prinsipal. Teori keagenan
merupakan cabang dari game theory yang mempelajari suatu model kontraktual yang mendorong agen untuk bertindak bagi prinsipal saat kepentingan agen bisa saja bertentangan dengan kepentingan prinsipal. Prinsipal mendelegasikan
pertanggungjawaban atas pengambilan keputusan kepada agen, dimana wewenang dan tanggung jawab agen maupun prinsipal diatur dalam kontrak kerja atas
persetujuan bersama. Sesuai dengan teori keagenan ini bahwa hubungan prinsipal dan agen dapat dilihat dari kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri.
2.1.2 Teori Fiscal Federalism
Teori Fiscal Federalism merupakan teori yang dikembangkan oleh Hayek
10
oleh pusat kepada daerah untuk mengatur rumah tangga pemerintahan daerahnya
sendiri atau sering disebut dengan otonomi daerah. Teori fiscal federalism terbagi atas dua perspektif teori yakni menurut traditional theories (first generation
theory) dan new perspective theories (second generation theories).
Traditional theories (first generation theory) dikemukakan oleh Hayek (1945) yang menekankan keuntungan alokatif dari desentralisasi. Dari pandangan
ini terdapat dua pendapat yang menekankan keuntungan alokatif desentralisasi. Pertama, tentang penggunaan knowledge in society mengenai proses pengambilan
keputusan yang terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang efisien karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakatnya. Kedua, memperkenalkan dimensi persaingan dalam pemerintah dan kompetisi antar
daerah tentang alokasi pengeluaran public memungkinkan masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan
masyarakat. Sementara new perspective theories (second generation theories), dikemukakan oleh Musgrave (1959) dan Oates (1972) lebih menekankan pada bagaimana desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap perilaku pemerintah daerah.
Apabila pemerintah daerah mempunyai kewenangan membuat peraturan tentang ekonomi lokal, maka campur tangan pemerintah pusat dalam perekonomian
daerah dibatasi.
2.1.3 Kemandirian Keuangan
Kemandirian keuangan daerah pada dasarnya adalah kemampuan dari
11
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber
pendapatanyang diperlukan daerah (Halim, 2008:232). Menurut Munir dkk (2004:105) dalam Sijabat dkk (2013), ciri utama yang menunjukkan suatu daerah
mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah, artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang
cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi tingkat kemandirian keuangan suatu daerah berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam
membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen pendapatan asli daerah. Kemandirian keuangan daerah dapat diukur menggunakan rasio kemandirian. Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap
sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian daerah, tingkat ketergantungan terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, begitu pula sebaliknya (Dwirandra, 2006). Kemampuan
keuangan, tingkat kemandirian daerah dan pola hubungan dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 2.1 Kemampuan Keuangan, Tingkat Kemandirian Daerah dan Pola Hubungan
Kemampuan Keuangan Rasio Kemandirian (%) Pola Hubungan
Rendah Sekali 0 – 25 Instruktif
Rendah >25 – 50 Konsultatif
Sedang >50 – 75 Partisipatif
Tinggi >75 – 100 Delegatif
12
Pola hubungan yang terdapat dapat Tabel 2.1 menunjukkan hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim (2008:189) mengemukakan pola hubungan
tersebut sebagai berikut.
a. Pola hubungan instruktif, yaitu peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah tidak mampu melaksakan
otonomi daerah secara financial).
b. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah
mulai berkurang dan lebih banyak pada pemberian konsultasi karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah.
c. Pola hubungan partisipatif, yaitu pola dimana peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah otonom bersangkutan mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
d. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada lagi karena daerah telah benar – benar mampu dan mandiri dalam melaksakan urusan otonomi daerah. Pemerintah pusat siap dan dengan
keyakinan penuh mendelegasikan otonomi keuangan kepada pemerintah daerah.
2.1.4 Pendapatan Asli Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah pemerintah daerah sering terlalu bergantung
13
sumber daya daerah dan meningkatkan potensi masyarakatnya sehingga akan
berdampak pada peningkatan pendapatan asli daerahnya. Peningkatan pendapatan asli daerah diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah daerah dari
dana transfer pemerintah pusat untuk menciptakan kemandirian serta memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 33 Tahun 2004, pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang
dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pendapatan asli
daerah bersumber dari: 1) Pajak Daerah, 2) Retribusi Daerah, 3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan 4) Lain-lain PAD yang sah.
a. Pajak Daerah
Berdasarkan penjelasan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran
wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan undang-undang tersebut pajak daerah terbagi menjadi dua yaitu: pajak provinsi dan pajak
kabupaten. Pajak provinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh Pemerintah Daerah tingkat provinsi, pajak yang masih berlaku sampai saat ini. Pajak kabupaten/kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh
14 b. Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau untuk
diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Adapun jenis retribusi daerah sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2000 adalah.
1) Retribusi jasa umum, antara lain pelayanan kesehatan, persampahan/kebersihan, pengganti cetak KTP/akta catatan sipil,
pemakaman dan pengabuan mayat, parkir di tepi jalan umum, pelayanan pasar, pengujian kendaraan bermotor, pemeriksaan alat
pemadam kebakaran, penggantian cetak peta, pengujian kapal perikanan.
2) Retribusi jasa usaha, antara lain pemakaian kekayaan daerah, pasar
grosir/pertokoan, tempat pelelangan, terminal, tempat khusus parkir, tempat penginapan/pesanggrahan/vila, penyedotan kakus, rumah potong hewan, pelayanan pelabuhan kapal, tempat rekreasi dan olah
raga, penyeberangan di atas air, pengolahan limbah cair, penjualan produksi usaha daerah.
15
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan
Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, yang dimaksud hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, meliputi: 1) bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; 2) bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMN; 3) bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat.
d. Lain – lain Pendapatan yang Sah
Menurut Markifah dalam Wibowohadi (2011) menjelaskan bahwa sumber pendapatan lain-lain PAD yang sah adalah pendapatan yang berasal
dari dinas-dinas daerah serta pendapatan-pendapatan lainnya yang diperoleh secara sah oleh pemerintah daerah. Lain-lain PAD yang sah berdasarkan
penjelasan UU No 33 Tahun 2004 terdiri dari 1) hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan; 2) jasa giro; 3) pendapatan bunga; 4)
keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
2.1.5 Dana Perimbangan
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2005 menyatakan bahwa dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan ini terdiri atas
16 a. Dana Bagi Hasil
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2005 menyatakan bahwa dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil dianggarkan untuk membiayai kegiatan yang
berkaitan dengan sumber daya alam, seperti perairan, kehutanan, dan cukai.
Dana bagi hasil ini bersumber dari pajak dan kekayaan daerah. Berdasarkan
Pasal 11 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil yang berasal dari
pajak terdiri dari : “1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), 2) Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), 3) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan
Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21”.
Sedangkan pada pasal 11 ayat 2 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Dana
Bagi Hasil yang berasal dari sumber daya alam terdiri dari 1) kehutanan; 2)
pertambangan umum; 3) perikanan; 4) pertambangan minyak bumi; 5)
pertambangan gas bumi; dan 6) pertambangan panas bumi.
b. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan
kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan,
17
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum ini akan digunakan untuk pembayaran gaji pegawai dan tunjangan serta lain-lain
pada belanja pegawai. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, dana alokasi umum bersifat “Block Grant” yang berarti
penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan
kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka otonomi daerah.
c. Dana Alokasi Khusus
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun
2005 menyatakan bahwa dana alokasi khusus adalah adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Sesuai dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah, kegiatan khusus yang dimaksud adalah: 1)
Kegiatan dengan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan rumus
alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan suatu daerah tidak sama dengan
kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan
beberapa jenis investasi / prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan
terpencil, serta saluran irigasi primer, dan 2) kebutuhan yang merupakan
komitmen atau prioritas nasional. Dana alokasi khusus digunakan untuk
18
jalan, pasar, irigasi, dan air bersih. Dana alokasi khusus digunakan sepenuhnya
sebagai belanja modal oleh pemerintah daerah.
2.1.6 Belanja Modal
Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja
Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja operasional.
Belanja modal digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Aset tetap yang dimiliki
pemerintah daerah sebagai akibat adanya belanja modal merupakan syarat utama dalam memberikan pelayanan public (Arsa, 2015). Penambahan aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal
dalam APBD. Setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintah daerah sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak
jangka panjang secara finansial.
Belanja modal diklasifikasikan dalam dua kelompok, kelompok pertama adalah belanja publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat langsung dinikmati
masyarakat misalnya: pembangunan jembatan, pembelian mobil ambulan untuk umum dan Iain-lain. Kelompok kedua adalah belanja aparatur yaitu belanja yang
manfaatnya tidak dinikmati langsung oleh masyarakat tetapi dapat dirasakan langsung oleh aparatur misalnya: pembangunan gedung dewan, pembelian mobil
19
Belanja Modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya (Permendagri No. 13 tahun 2006). Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran
belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk
kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah maupun untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Belanja modal pemerintah daerah mempunyai peran strategis
dalam memicu pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Rasio antara belanja modal terhadap total belanja daerah menunjukkan proporsi belanja daerah yang dialokasikan untuk belanja modal. Semakin tinggi nilai rasionya maka
semakin tinggi pula diharapkan dampaknya terhadap perkembangan perekonomian di daerah tersebut (BPS, 2015).
2.2. Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal Kemandirian keuangan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dalam memenuhi seluruh kebutuhan belanja pemerintah, baik belanja operasional maupun belanja modal. Semakin banyak kebutuhan yang dapat dipenuhi maka semakin tinggi tingkat kemandirian suatu daerah, demikian
20
2015 dan Kadafi, 2013). Dari uraian di atas maka dapat diajukan hipotesis sebagai
berikut:
H1: Kemandirian Keuangan Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Modal
pada Kabupaten/Kota se-Bali.
2.2.2 Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal
Sumber Anggaran dalam belanja daerah selain PAD adalah dana
perimbangan dari pemerintah pusat. Sehingga dana perimbangan ini memiliki keterkaitan dengan belanja daerah, khususnya belanja modal. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2009) menyatakan bahwa dana perimbangan berpengaruh positif terhadap belanja modal pada daerah Sumatera
Utara. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian dari Kadafi (2013) bahwa dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal pada pemerintah Kota Bandung. Berdasarkan uraian di atas maka dapat diajukan
hipotesis sebagai berikut:
H2: Dana Perimbangan berpegaruh positif terhadap Belanja Modal pada