JUDUL: KAJIAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN BILYET GIRO SEBAGAI SARANA TRANSAKSI ANJAK PIUTANG DI INDONESIA
NAMA: NICO THAMRIN PUTRA NRP: 0988007
ABSTRAK
Saat ini alat pembayaran terus berkembang dari alat pembayaran tunai (cash based) ke alat pembayaran non tunai (non cash based), yaitu pembayaran yang dilakukan tanpa menggunakan uang tunai seperti bilyet giro. Dalam transaksi bisnis dimasyarakat saat ini, tanpa disadari bilyet giro lebih unggul dibandingkan dengan cek. Transaksi anjak piutang adalah satu bentuk fasilitas yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah yang berkaitan dengan penyerahan jaminan berupa surat berharga atau dikatakan juga sebagai alat bayar meskipun bilyet giro tidak memenuhi unsur sebagai surat berharga, tetapi hukum itu perlu hidup dan berkembang mengikuti fenomena dimasyarakat.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan penelitian yuridis normatif, analisis data dirumuskan secara kualitatif, menghasilkan data deskriptif analitis, dengan bahan penelitian menggunakan data sekunder dengan metode ini bertujuan mengkaji dan memahami kedudukan hukum bilyet giro sebagai sarana alat bayar dalam perekonomian di Indonesia.Untuk mengkaji dan memahami bilyet giro dapat dijadikan jaminan dalam transaksi anjak piutang dan bagaimana kedudukan hukum bilyet giro sebagai surat berharga Untuk mengetahui perlindungan hukum pihak kreditor anjak piutang atas bilyet yang tidak dapat dicairkan dalam pelunasan anjak piutang.
Hasil penilitian menunjukan bahwa Bilyet giro tidak dapat memenuhi jika disebut sebagai surat berharga, karena bilyet giro tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain, akan tetapi secara fakta dilapangan, alat bayar dengan cara pembindahbukuan pada bank yang sama atau melalui lembaga kliring, selain itu kedudukan bilyet giro sangat sulit dikategorikan sebagai jaminan dalam pranata hukum jaminan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), melainkan diakui dalam praktek bilyet giro ini dapat dijadikan sebagai jaminan berdasarkan perkembangan dimasyarakat, jadi kalau bilyet giro tersebut dijadikan sebagai jaminan dalam anjak piutang oleh pihak bank tentu deposito dalam bilyet giro tersebut harus isi yang nantinya dapat dicairkan untuk melunasi hutang nasabahnya. Oleh karenanya perlindungan hukum bagi anjak piutang, masih cukup riskan atau belum melindungi kerugian yang ditimbulkan apabila bilyet giro dijadikan jaminan karena bisa saja tidak cair atau tidak memiliki dana cukup, maka lebih baik sebagai jaminan yang utama bagi anjak piutang jika saja nasabah lari (kabur), beritikad buruk, maka harus ada jaminan-jaminan kebendaan lain yang sifatnya lebih mengikat secara hukum dan memiliki marketable (berharga) yang tinggi misalnya jaminan kebendaan yang dapat diikat dengan fidusia seperti contoh jaminan berupa sertifikat hak milik (SHM) tanah dan bangunan jadi dapat diletakan hak tanggunan oleh anjak piutang.
JURISDICTION STUDY OVER TRANSFER FORM AS a TOOL of FACTORING TRANSACTIONS IN INDONESIA
NICO THAMRIN PUTRA 0988007
ABSTRACT
Nowadays, payment method evolve from cash payment instrument (cash based) to a non-cash means of payment ( non- cash based), such as replace cash into
transfer form . In today’s business transaction culture, transfer form widely use as a
payment method rather than cash. Factoring transaction is one of the facilities provided by the bank to customers associated with the delivery of securities or be referred to, even though transfer form did not meet the elements as securities , but the law should be there to follow the phenomenon of society.
This research was conducted by using a normative juridical research approach, qualitative data analysis, generate data descriptive analysis , with using secondary data as a subject material. This method aims to study and understand the legal position of Transfer Form as one of the legal tender in Indonesia. For further understanding of transfer form as a payment assurance in factoring transaction and the legal position of transfer form as securities to understand legal protection of the factoring creditors over the rejected slips.
The result showed that the transfer form can not be consider as securities, for transfer form is not transferable to any other party, but only to move some amount at the same bank or through a clearing house, in addition to the position of transfer form can not describe as a guarantee in the legal institution guarantee as set on the Code of Civil Law (Civil Code), in fact, transfer form can be used as an assurance based on business cultural development, so if the transfer form role as an assurance for factoring transaction, a bank should check the account condition to do payment. Therefore, legal protection for factoring still have risk of losses for does not have sufficient funds, then it is better to have assurance in physical form that legally binding and valuable material that higher than factoring value just in case of the worst such as something that can be tied with a fiduciary like ownership certificates of land and buildings so it can be placed as an encumbrance by factoring.
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Identifikasi Masalah ……….………...………. 10
C. Tujuan Penelitian ……….………..…….. 10
D. Kegunaan Penelitian ………..……….………...…... 11
E. Kerangka Pemikiran ……….………... 12
F. Metode Penelitian ……….………..……...…… 21
BAB II BANK SEBAGAI LEMBAGA INTERMEDIASI DALAM LALULINTAS KEGIATAN PERNIAGAAN ……….. 26
A. Bank Sebagai Lembaga Keuangan Di Indonesia 1. Bank Sebagai Lembaga Keuangan ………...…………...……. 26 2. Bank Sebagai Lembaga Intermediasi ……….………... 29
3. Bentuk Lembaga Bank ………...………... 32
B. Aktivitas Kegiatan Bank 1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, deposito ………....……. 34
2. Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit …….… 47
ii
2. Kegiatan Kliring di Bank Indonesia ……….. 67
BAB III SURAT BERHARGA SEBAGAI SARANA TRANSAKSI
ANJAK PIUTANG ………. 75
A. Pengertian Surat Berharga Dalam Kegiatan Bisnis.
1. Pengertian Surat Berharga ………...….. 75
2. Pengelompokan Surat Berharga ……….……… 82
B. Cek Sebagai Sarana Alat Pembayaran
1. Cek Sebagai Surat Berharga Dalam Perhubungan Bisnis sebagai
Instrumen Bilyet Giro Dalam Alat Pembayaran………. 88
2. Fungsi Cek Sebagai Perintah Pembayaran ……….... 93
3. Daluwarsa Cek Sebagai Surat Berharga ……… 94
C. Bilyet Giro Sebagai Sarana Alat Pembayaran.
1. Pengaturan Bilyet Giro Sebagai Alat Pembayaran ………….……... 99
2. Syarat-Syarat Dalam Bilyet Giro (BG) ………….…………..……. 100
3. Daluwarsa Bilyet Giro ………. 105
BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN BILYET GIRO SEBAGAI SARANA TRANSAKSI ANJAK PIUTANG DI INDONESIA ……… 108
A. Kedudukan Hukum Bilyet Giro Sebagai Sarana Alat Bayar Dalam
Perekonomian Di Indonesia..………...… 108
B. Bilyet Giro Dapat Dijadikan Jaminan Dalam Transaksi Anjak Piutang Dan
Kedudukan Hukum Bilyet Giro Sebagai Surat Berharga ……….. 116
C. Perlindungan Hukum Pihak Kreditor Anjak Piutang Atas Bilyet Yang
iii
BAB V KESIMPULAN ………...……. 136
A. Kesimpulan ……… 136
B. Saran ……….. 139
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan pembangunan nasional diperlukan berbagai sarana penunjang,
antara lain berupa tatanan hukum yang mendorong, menggerakkan, dan
mengendalikan berbagai kegiatan pembangunan di bidang ekonomi. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 tentang Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial, Pasal 33 ayat 4 menyatakan berbunyi sebagai berikut :
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Sistem perekonomian nasional uang merupakan sebuah alat yang
penting untuk digunakan dalam melakukan transaksi-transaksi perdagangan.
Peran uang tidak terlepas dari fungsinya yang sangat krusial bagi kehidupan
setiap individu. Pengertian uang sendiri ialah sesuatu yang diterima secara
umum oleh masyarakat sebagai alat pembayaran di suatu wilayah tertentu dari
transaksi ekonomi yang dilakukan untuk pembelian barang atau jasa atau
untuk pembayaran hutang.
Perkembangan teknologi dan informasi pada masa sekarang ini
menyebabkan sebagian besar masyarakat lebih cenderung mengambil
langkah-langkah yang bersifat praktis. Termasuk juga alat pembayaran
berkembang dengan sangat cepat dan maju. Dahulu masyarakat menggunakan
barang maupun barang dengan jasa atau sebaliknya. Namun tidak ada
kepastian tentang standar dalam pertukaran, dan untuk itu diperlukan
kepastian nilai tukar dengan menciptakan satuan nilai tukar yang disebut uang.
Uang menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di
masyarakat khususnya transaksi dalam jumlah yang kecil. Namun penggunaan
uang mempunyai kendala dalam efisiensi waktu pembayaran serta
ketidakpraktisan membawa uang dalam jumlah yang besar. Selain itu, untuk
melakukan transaksi dalam jumlah besar ketika uang harus dibawa, dari segi
keamanan berisiko tinggi dari perbuatan orang-orang jahat, seperti pencurian,
dan perampokan. Akibatnya, kegiatan penggunaan uang tunai sebagai alat
pembayaran mulai berkurang. Saat ini alat pembayaran terus berkembang dari
alat pembayaran tunai (cash based) ke alat pembayaran non tunai (non cash
based), yaitu pembayaran yang dilakukan tanpa menggunakan uang tunai seperti cek, bilyet giro dan kartu kredit.
Penggunaan uang giral1 di Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari
kebijaksanaan Pemerintah terutama kebijaksanaan di bidang ekonomi serta
perkembangan perekonomian baik nasional maupun internasional.
Sebagaimana diketahui, untuk tetap menjaga laju pembangunan, Pemerintah
mengharapkan lebih banyak peranan sektor swasta untuk dapat memobilisasi
dana. Peranan sektor swasta itu antara lain dilaksanakan melalui
1
penghimpunan dana oleh perbankan.2 Dalam pelaksanaannya, pembangunan
di bidang keuangan telah diarahkan pada peningkatan kemandirian bangsa
melalui peningkatan kemampuan keuangan yang makin andal, efisien dan
mampu memenuhi tuntutan pembangunan, penciptaan suasana yang
mendorong tumbuhnya inisiatif dan kreativitas masyarakat, meluasnya peran
serta masyarakat dalam pembangunan serta melalui upaya untuk terus
meningkatkan tabungan nasional sebagai sumber utama pembiayaan.
Selanjutnya lembaga keuangan dapat dikategorikan yaitu bank dan lembaga
keuangan bukan bank, yang mempunyai peran strategis sebagai wahana yang
mampu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan
efisien kearah peningkatan taraf hidup rakyat3. serta fungsi dan peranannya
agar makin mampu menampung dan menyalurkan aspirasi dan minat
masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan.
Fungsi yang dimiliki bank sebagai lembaga keuangan. Fungsi bank
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:4
1. Bank sebagai lembaga yang menghimpun dana-dana masyarakat atau
penerima kredit. Dalam pengertian ini bank menerima dana-dana yang
berupa simpanan dalam bentuk tabungan, deposito berjangka dan rekening
giro. Dengan ini dapat dikatakan bahwa bank melaksanakan operasi
perkreditan secara pasif dengan menghimpun dana dari pihak ketiga.
2
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35357/4/Chapter%20I.pdf, diakses pada tanggal 10 April 2015, Jam 21.00 WIB.
3
Johannes Ibrahim. Bank Sebagai Lembaga Keuangan Intermediasi dalam hukum Positif. Bandung: CV.Utomo, 2004. Hlm. 36.
4
2. Bank sebagai lembaga yang menyalurkan dana dari masyarakat dalam
bentuk kredit atau sebagai lembaga pemberi kredit. Dengan ini dapat
dikatakan bahwa bank melaksanakan operasi perkreditan secara aktif.
3. Bank sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan
pembayaran uang.
Lembaga-lembaga lain di dalam sistem keuangan berkaitan dengan
moneter, yaitu otoritas moneter dan bank pencipta uang giral (BPUG) atau
bank-bank Umum dan lembaga-lembaga di luar sistem moneter, yaitu antara
lain Bank Perkreditan Rakyat (BPR), asuransi, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, lembaga penunjang Pasar Modal, pialang Pasar Uang, pegadaian
dan Pedagang Valuta Asing (PVA). Meskipun masing-masing lembaga
tersebut berdiri sendiri, saat ini dibina dan diawasi oleh satu badan yang
berfungsi sebagai pengawasan dan pembinaan dalam dunia perbankan yaitu
otoritas jasa keuangan (OJK).
Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 211 tentang
Otoritas Jasa Keuangan, berbunyi :
“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah
lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam UndangUndang ini”
Selanjutnya pada Pasal 6 point a yang menyatakan:
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun,
Guna menunjang kelancaran transaksi keuangan dalam perekonomian
nasional, pelaku ekonomi menggunakan sarana pembayaran, baik tunai
dengan uang kartal maupun dengan menggunakan instrumen pembayaran giral
atau non tunai. Masyarakat menginginkan agar transaksi-transaksi yang
dilakukan dengan partner usahanya dapat dilakukan dengan efektif, efisien,
aman dan praktis. Untuk transaksi-transaksi dalam jumlah besar, pelaku bisnis
cenderung menggunakan instrumen pembayaran giral, karena lebih efektif,
efisien, aman dan praktis.
Instrumen pembayaran ini merupakan surat berharga yang tidak
mendapat pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD),
sebab Bilyet giro5 adalah surat berharga yang tumbuh dalam praktek karena
adanya tuntutan kebutuhan dalam lalu lintas pembayaran secara giral.6
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 28/32/KEP/DIR, yang dimaksud dengan bilyet giro adalah:
“Surat perintah nasabah yang telah distandarisasi/dibakukan bentuknya kepada bank penyimpan dana untuk memindahbukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada pihak penerima yang disebut namanya pada bank yang sama atau berlainan”.
Alat pembayaran Bilyet giro adalah surat perintah dari nasabah kepada
bank penyimpan dana untuk memindahkan sejumlah dana dari rekening yang
bersangkutan kepada rekening pemegang yang disebutkan namanya, maka
dapat dikatakan bahwa bilyet giro merupakan semacam surat berharga yang
dapat dialihkan atau diperdagangkan serta ditukarkan dengan uang seperti
5
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 4/17/DASP tanggal 7 November 2002.
halnya cek. Sedangkan cek merupakan suatu instruksi dari penerbit ke bank
penerbit untuk mengirimkan uang dari rekening penerbit ke rekening orang
lain ketika orang tersbut menyetorkan cek yang. Oleh karena itu bilyet giro
sebagai sarana transaksi pembayaran yang diminati oleh pelaku usaha
perdagangan.
Bank Indonesia sebagai bank sentral mengatur dan memberi petunjuk
cara penggunaan Bilyet Giro. Bilyet Giro tidak lain merupakan surat perintah
nasabah yang telah dibekukan bentuknya kepada bank penyimpan dana untuk
memindahbukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada
pihak peneriman yang disebutkan namanya baik pada bank yang sama ataupun
bank yang berbeda. Dengan demikian, pembayaran dana Bilyet Giro tidak
dapat dilakukan dengan uang tunai dan tidak dapat dipindahtangankan.
Lembaga keuangan non bank yang sekarang ini sering digunakan oleh
pelaku ekonomi dalam kegiatan usahanya adalah lembaga Pembiayaan,
menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan didefinisikan sebagai badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Yang
meliputi perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, perusahaan
pembiayaan Infrastruktur dan anjak piutang.
Lembaga keuangan bukan bank adalah suatu badan yang melakukan
kegiatan di bidang keuangan berupa usaha menghimpun dana, memberikan
kredit, sebagai perantara dalam usaha mendapatkan sumber pembiayaan, dan
langsung melalui penghimpunan dana terutama dengan jalan mengeluarkan
kertas berharga, dengan demikian lembaga keuangan bukan bank beroperasi
lebih banyak di pasar uang dan modal.7
Perusahaan Anjak Piutang atau dikenal Factor adalah perusahaan yang
kegiatannya adalah melakukan penagihan atau pembelian, atau pengambil
alihan atau pengelolaan utang piutang suatu perusahaan dengan imbalan atau
pembayaran tertentu milik perusahaan. Ada tiga perbedaan antara Anjak
Piutang dan Pinjaman Bank. Pertama, penekanan Anjak Piutang adalah pada
nilai piutang, bukan kelayakan kredit perusahaan. Kedua, Anjak Piutang
bukanlah suatu pinjaman, melainkan pembelian suatu asset (piutang). Ketiga,
Pinjaman Bank melibatkan dua belah pihak, sedangkan Anjak Piutang
melibatkan tiga pihak8. Kegiatan anjak piutang menurut Budi Rachmat :9
“Pada prinsipnya merupakan pemberian kredit kepada supplier dengan
cara membeli piutang atau tagihannya kepada nasabahnya atau customer-nya.
Tumbuh dan berkembangnya lembaga pembiayaan anjak piutang
tentunya tidak terlepas dari peran para pelaku kegiatan perdagangan tersebut
yakni selaku perusahaan penyedia jasa pembiayaan anjak Piutang (factoring)
selanjutnya pihak perusahaan yang menggunakan jasa pembiayaan anjak
piutang (client), dan yang terakhir yakni nasabah (costumer) yang memiliki
hutang terhadap client. Kerjasama ketiga pelaku perdagangan tersebut
7 Muhammad Djumhana. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. hlm. 63.
8
http://dechis23.blogspot.com/, diakses pada tanggal 3 Mei 2015 jam 20.00 WIB.
9
bersinergi dan terharmonisasi mendorong tumbuh serta berkembangnya geliat
perdagangan pembiayaan anjak piutang.
Pihak factor adalah perusahaan atau pihak yang menawarkan jasa
anjak piutang memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran hutang dari
customer atas penjualan piutang client terhadap transaksi perdagangan anjak piutang (factoring) yang telah disepakati masing-masing pihak. Besarnya nilai
pembiayaan yang diberikan oleh factor atas faktur /tagihan yang ditawarkan
oleh client kepada factor biasanya dalam presentasi 80 % secara tunai.
Persentase yang diberikan oleh factor kepada perusahaan pembiayaan
cukup besar, seringkali perusahaan (client) dari penyedia jasa anjak piutang
(factor) tidak dan atau lalai dalam mengembalikan pembayaran kepada factor,
padahal dari pihak nasabah (costumer) sudah melakukan pembayaran.
Lalu lintas penyedia jasa dalam melakukan transaksi pembayaran
cukup besar berkaitan dengan anjak piutang selain dari pada dilakukan
pembayaran secara tunai oleh perusahaan pembiayaan, ada juga bilyet giro
yang dijadikn suatu alat jaminan yakni sebagai jaminan untuk transaksi anjak
piutang yang bertujuan menghindari kerugian pihak penyedia anjak piutang
(factoring). Sebagai contoh PT. IFS Capital Indonesia (IFSI) merupakan
perusahaan anjak piutang yang merupakan berbentuk multifinancial company
berfokus pada usaha kecil dan menengah di Indonesia. Persyaratan yang harus
dipenuhi UKM untuk menjadi client dari alternatif pembiayaan pada fasilitas
anjak piutang di PT.IFSI ialah telah memiliki usaha yang baik dan
dimana factor tidak menanggung risiko atau gagalnya pembayaran dari
customer, maksudnya adalah apabila customer gagal membayar, pailit atau
bangkrut, maka factor tidak menanggung risiko tersebut melainkan client yang
menanggungnya. Sebagai contoh apabila pada saat jatuh tempo tagihan terjadi
gagal bayar oleh customer, maka tagihan tersebut wajib dibayar oleh client
kepada factor.10
PT. International Factors Indonesia (“IFI”), sebelumnya bernama PT.
Niaga International Factors Indonesia, merupakan perusahaan pembiayaan
joint ventura yang berdiri sejak tahun 1990. Akhirnya Oktober 2005 Bank
Niaga, di Niaga Factor Indonesia melepas sahamnya di perusahaan tersebut.
Yang kemudian dikuasai oleh Singapura dibawah PT. IFS Capital
(International Factors Singapore). Dikarenakan peraturan pemerintah
bahwasannya perusahaan asing tidak boleh memiliki saham lebih dari 85 %
pada saham perusahaan publik maka sebesar 15 % saham dijual ke
perorangan. Persyaratan yang harus dipenuhi UKM untuk menjadi client dari
alternative pembiayaan pada fasilitas anjak piutang di PT. IFI ialah telah
memiliki usaha yang baik dan menguntungkan. Hal awal yang dilakukan yaitu
mengisi formulir permohonan fasilitas yang terdiri bagian A identitas
pemohon client dan bagian B pernyataa pemohon. Pada bagian B pernyataan
pemohonan berisi tentang pernyataan yang akan menunjang terciptanya
transaksi anjak piutang secara lancar.
10
Melihat permasalahan di atas bahwa dengan pemberian pembiayaan
modal secara tunai kepada perusahaan pembiayaan dan perusahaan
pembiayaan tidak mengembalikan lagi pembayaran kepada penyedia jasa
anjak piutang (pemberi modal) padahal pihak debitur sudah melakukan
pembayaraan, maka peran bilyat giro dalam transaksi anjak piutang ini sangat
diperlukan, sekaligus juga sebagai jaminan hutang bagi penyedia jasa anjak
piutang.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merasa tertarik untuk
menulis karya ilmiah serta membahasnya dalam bentuk tulisan dengan judul :
KAJIAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN BILYET GIRO SEBAGAI SARANA TRANSAKSI ANJAK PIUTANG DI INDONESIA
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas dalam karya ilmiah
ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan hukum bilyet giro sebagai sarana alat bayar dalam
perekonomian di Indonesia ?
2. Apakah bilyet giro dapat dijadikan jaminan dalam transaksi anjak piutang
dan bagaimana kedudukan hukum bilyet giro sebagai surat berharga ?
3. Bagaimana perlindungan hukum pihak kreditor anjak piutang atas bilyet
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas sebagaimana dikemukakan di
atas, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji dan memahami kedudukan hukum bilyet giro sebagai
sarana alat bayar dalam perekonomian di Indonesia.
2. Untuk mengkaji dan memahami bilyet giro dapat dijadikan jaminan dalam
transaksi anjak piutang dan bagaimana kedudukan hukum bilyet giro
sebagai surat berharga
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum pihak kreditor anjak piutang atas
bilyet yang tidak dapat dicairkan dalam pelunasan anjak piutang.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan pemahaman
sebagai bahan kajian lebih lanjut terhadap persoalan di bidang hukum
bisnis, khususnya bilyat giro dalam transaksi anjak piutang. Selanjutnya
agar digunakan sebagai literatur tambahan bagi yang berminat untuk
meneliti lebih lanjut tentang masalah yang akan dibahas dalam penelitian
ini.
2. Praktis
Kegunaan penulisan ini secara praktis adalah sebagai bahan masukan bagi
bagi perusahaan pembiayaan, sehingga tidak ada pihak-pihak yang
dirugikan.
E. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini harus dengan pemikiran-pemikiran yang teoritis. Teori
adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses
tertentu terjadi.11 Dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat secara
eksplisit ataupun implisit pandangan-pandangan dan nilai-nilai fundamental,
negara Indonesia adalah negara hukum disamping itu juga juga merupakan
konstitusi ekonomi (economic constitution), bahkan konstitusi sosial (social
constitution). Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah konstitusi negara secara substansi, tidak hanya terkait dengan pengaturan lembaga-lembaga
kenegaraan dan struktur pemerintahan semata. Namun Iebih dari itu, konstitusi
juga memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang
tertuang di dalam Pasal 33 UUD 1945.12 Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
sebagai landasan bagi sistem ekonomi Pancasila, yang lebih dikenal dengan
demokrasi ekonomi.
Roscoe Pound mengatakan bahwa hukum dilihat dari fungsinya dapat
berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of social
engeneering). Hukum dapat berperan di depan untuk memimpin perubahan dalam kehidupan mayarakat dengan cara memperlancar pergaulan masyarakat,
11 J.J.J.M. Wuisma. Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Jilid I. Jakarta: UI Press, 1996. hlm. 203. 12
mewujudkan perdamaian dan ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi
seluruh masyarakat.
Hukum berada di depan untuk mendorong pembaharuan dari
tradisional ke modern. Hukum yang dipergunakan sebagai sarana
pembaharuan ini dapat berupa undang-undang dan yurisprudensi atau
kombinasi keduanya, namun di Indonesia yang lebih menonjol adalah tata
perundangan. Supaya dalam pelaksnaan untuk pembaharuan itu dapat berjalan
dengan baik, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan
apa yang menjadi inti pemikiran Sociological Jurisprudence yaitu hukum
yang baik adalah hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebab jika ternyata
tidak, maka akibatnya secara efektif dan akan mendapat tantangan.13
Teori perjanjian (overeenkomst theorie) yang dikemukakan oleh
Thol dalam bukunya ”Das Handsrech” mengatakan; yang menjadi dasar
hukum mengikatnya adalah suatu perjanjian, yang merupakan perbuatan
hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu
orang atau lebih sesuai dengan pengertian dari Pasal 1313 KUH Perdata
tentang perjanjian.
Perjanjian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
perundang-undangan, artinya perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan
mengikat mereka sebagai Undang-Undang apabila perjanjian yang dibuat
memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan
Pasal 1338 KUH Perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Ayat (1)
yang menyebutkan bahwa ”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”, Ayat (2) :
”perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang
dinyatakan cukup untuk itu”, Ayat (3) ”perjanjian-perjanjian itu harus
dilaksanakan dengan itikad baik”.
Makna yang terkandung dari Pasal 1338 Ayat (1) dari kalimat ”semua
perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan asas kebebasan berkontrak,
pada kalimat ”bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas
personalitas. Prinsip pacta sunt servanda, para pelaku harus
melaksanakan kesepakatan kesepakatan yang telah disepakatinya dan
dituangkan dalam kontrak.14
Surat berharga dikenal oleh Negara-negara Anglo Saxon sebagai
“negotiable instrument” dalam bahasa Belandanya disebut “waarde papier”.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang sendiri tidak memberitahukan secara
jelas pengertian surat berharga. Hanya dapat disimpulkan dari pasal-pasal
yang memuat syarat-syarat tentang surat berharga.
Surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan
sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran
sejumlah uang. Tetapi pembayaran itu tidak dilakukan dengan menggunakan
mata uang, melainkan dengan menggunakan alat bayar lain. Alat bayar itu
berupa surat yang di dalamnya mengandung suatu perintah kepada pihak
14
ketiga, atau pernyataan sanggup, untuk membayar sejumlah uang kepada
pemegang surat tersebut.15
Menurut Molengraff, seperti dikutip oleh H.M.N. Purwosutjipto, yang
dimaksud dengan surat berharga adalah akta atau surat bukti, yang menurut
keputusan/ kehendak penerbit atau ketentuan Undang-undang adalah
satu-satunya alat pengesahan, setidak-tidaknya diperlukan untuk penagihan, itu
disebut surat berharga atau surat yang berharga.16
Menurut H.M.N. Purwosutjipto, surat berharga itu surat bukti tuntutan
utang, pembawa hak dan mudah dijualbelikan. Terbitnya surat berharga
dilatarbelakangi oleh transaksi misalnya antara penjual dan pembeli yang telah
mengadakan kesepakatan bahwa dalam melaksanakan pembayaran akan
dibayar tidak secara tunai, melainkan dengan menerbitkan surat berharga.
Surat berharga yang diterbitkan oleh pembeli sebagai penerbit itu,
mempunyai nilai atau harga sebesar yang diperjanjikan dalam transaksi yang
telah mereka adakan sebelumnya. Timbulnya kewajiban membayar dengan
menerbitkan surat berharga karena adanya perjanjian terlebih dahulu di antara
para pihak, yang mana perjanjian tersebut disebut perikatan dasar.
Tanpa adanya perikatan dasar tidak mungkin diterbitkan surat
berharga. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa perikatan dasar
menjadi latar belakang diterbitkannya surat berharga oleh penerbit sebagai
pemenuhan isi perjanjian. Apabila pemegang surat berharga itu
15
Abdulkadir Muhammad. Hukum Dagang Tentang Surat – Surat Berharga. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007. hlm. 5.
memperalihkannya kepada pemegang berikutnya karena memenuhi fungsi
surat berharga itu, maka bagaimanakah keterkaitan antara penerbit dan
pemegang yang bukan pemegang pertama itu.
Secara fisik surat berharga hanyalah merupakan sepucuk surat, tetapi
mengapakah dia begitu kuatnya mengikat secara hukum. Adapun yang
merupakan causa yuridis, sehingga suatu surat berharga mempunyai kekuatan
mengikat sebagai dasar penerbitan surat berharga, yang didasarkan kepada
teori sebagai berikut:17
a. Teori Kreasi (creatietehorie)
Menurut teori ini, sebabnya surat berharga mengikat penerbitnya karena
tindakan penerbit menandatangani surat berharga tersebut. Karena
penandatanganan tersebut, penerbit terikat, meskipun pihak pemegang
surat berharga sudah beralih kepada pihak lain dari pemegang semula.
b. Teori Kepatutan (redelijk heidstheorie)
Teori ini hampir sama dengan teori kreasi, tetapi dengan pembatasan
tertentu. Menurut teori kepatutan ini, penerbit surat berharga terikat dan
harus membayar surat berharga kepada siapapun pemegangnya. Akan
tetapi, jika pemegang surat berharga tergolong “tidak pantas”, maka
penerbit surat berharga tidak terikat untuk membayar kepada orang
tersebut.
c. Teori Perjanjian (overeen konsttheori)
Menurut teori ini, sebabnya surat berharga mengikat penerbitnya karena
penerbit telah membuat suatu perjanjian dengan pihak pemegang surat
berharga tersebut, yakni perjanjian untuk membayarnya, termasuk jika
surat berharga tersebut dialihkan kepada pihak ketiga.
d. Teori Penunjukkan (vertoings theorie)
Menurut teori ini, sebabnya surat berharga mengikat penerbitnya, karena
pihak pemegang surat berharga menunjukkan surat berharga tersebut
kepada penerbit untuk mendapatkan pembayarannya. Sebelum surat
berharga tersebut ditunjukkan kepada penerbit, menurut teori ini,
keterikatan dari penerbit untuk membayar belum ada.
Secara yuridis surat berharga mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu:18
1. sebagai alat pembayaran (alat ukur uang).
2. Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (karena dapat
diperjualbelikan dengan mudah atau sederhana).
3. Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).
Syarat untuk dapat terlaksananya pembayaran dengan menggunakan
Bilyet Giro adalah adanya para pihak, yaitu penerbit dan penerima,
penerbit harus mempunyai rekening giro pada bank, sedangkan
penerima juga harus memiliki rekening giro atau rekening tabungan.
Rekening tersebut dapat tersimpan pada bank yang sama ataupun pada
bank lain.
Pasal 1 Undang – Undang N0.10 tahun 1998 tentang Perubahan
Undang – Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan dalam
bulir 10 sebagai berikut :19
Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya,atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim
diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang”
Surat berharga menurut undang – undang diatas adalah :
1. Umumnya diperdagangkan dalam dalam pasar modal dan pasar uang.
2. Dapat berupa tagihan utang ,surat berharga yang bersifat keangotaan
ataupun surat berharga yang bersifat kebendaan.
Anjak Piutang (factoring) dalam KUHPerdata tidak dikenal, namun
keberadaannya dimungkinkan dalam sistem hukum Indonesia yaitu hukum
perdata dalam hukum perjanjian menghormati kebebasan para pihak dan
menganut asas kebebasan berkontrak, dengan memberikan kepastian hukum
berupa kekuatan mengikat dari perjanjian tersebut, yaitu asas pacta sun
servanda yang termuat di dalam Pasal 1338 KUHPerdata “Semua persetujuan
yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilakukan dengan itikad
baik”. Artinya semua pihak harus menaati perjanjian yang dibuatnya, karena
perjanjian tersebut mengikat, seperti undang-undang bagi yangmembuatnya
dan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pihak untuk
mengadakan perjanjian tentang apa saja asalkan tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Sepanjang perjanjian
factoringtidak bertentangan dengen prinsip-prinsip hukum yang berlaku atau
memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320
KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
c. Mengenai suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Perjanjian pembiayaan konsumen itu mengikat secara penuh bagi para
pihak, artinya para pihak wajib menghormati isi perjanjian yang dibuatnya dan
wajib melakasanakan kewajiban atau prestasinya dengan baik. Hukum
Perdata Indonesia yang menganut asas kebebasan berkontak atau freedom of
contract yaitu di antara dua pihak yang mempunyai kedudukan seimbang dan
kedua pihak berusaha mencapai kesepakatan yang diperlukan, bagi terjadinya
perjanjian itu diperlukan proses negosiasi diantara para pihak.20
Perjanjian pada lembaga keuangan, adalah suatu hal yang umum
terdapat salah satu pihak yang memiliki bargaining position yang lebih kuat,
yaitu posisi salah satu pihak yang karena hal-hal tertentu dapat dipaksakan
lebih kuat, yaitu posisi salah satu pihak yang karena hal-hal tertentu dapat
dipaksakan kehendaknya agar para pihak yang lain menerima
20
klausula yang diinginkan, sehingga perjanjian tersebut dapat menguntungkan
pihak tersebut dan di lain pihak merugikan pihak lawan.
Perjanjian anjak piutang (factoring agreement) sendiri merupakan
dokumen hukum utama (legal document) dibuat secara sah memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukum
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
perusahaan anjak piutang dan client (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata). dan
tidak dapat dibatalkan secara sepihak (unilateral unvoidable). Perjanjian
anjak piutang berfungsi sebagai dokumen bukti yang sah. Disamping itu,
perjanjian anjak piutang juga berfungsi melengkapi dan memperkaya hukum
perdata tertulis.
Hukum yang ideal adalah memberikan keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum, sehingga sudah seharusnya hukum memberikan keadilan
kepada para pihak dalam perjanjian anjak piutang (factoring), khususnya yang
tertuang dalam klausula-klausula perjanjiannya. Karena asas kebebasan
berkontrak diakui dan diatur dalam KUHPerdata, dan diakui pula bahwa tidak
ada kebebasan berkontrak yang mutlak, maka diperlukan penentuan
klausul-klausul yang dilarang atau diwajibkan dalam perjanjian factoring/ anjak
piutang. Sehingga kedudukan yang seimbang dalam rangka mewujudkan
keadilan bagi para pihak dapat tercapai.
Perspektif hukum perlindungan, client pada perjanjian anjak piutang
(factoring) dapat dikategorikan sebagai “ konsumen’’ dari sisi factor, karena
membiayai usahanya. Undang-undang perlindungan konsumen No. 8 Tahun
1999 mengatur hak-hak konsumen, dimana hak client yang erat dengan
perjanjian factoring adalah hak atas kenyamanan dan keamanan, hak untuk
mendapatkan jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan, hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan jasa, hak untuk didengar pendapat dan keluhan, hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut, hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif dan/ atau penggantian, apabila
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya
dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebaliknya kewajiban client sebagai konsumen yang diatur dalam
undang-undang perlindungan konsumen adalah beritikad baik dalam melakukan
transaksi jasa, membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, mengikuti
upaya penyelesaian sengketa hukum perlindungan konsumen secara patut.21
F. Metode Penelitian
Penelitian untuk menyusun karya ilmiah ini, penulis menggunakan
metode penelitian yuridis normatif yaitu metode pendekatan yang menyatakan
bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu
konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat
otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.22 Berkaitan dengan
metode tersebut, dilakukan pengkajian secara logis terhadap kedudukan bilyat
giro dalam transaksi anjuk piutang dalam hal ini penyedia jasa piutang.
Penyusunan karya ilmiah ini menggunakan sifat, jenis data teknik
pengumpulan data dan analisis data sebagai berikut :
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini juga menggunakan tipe Deskriptif Analistis yaitu
penelitian disamping memberikan gambaran, menuliskan dan melaporkan
suatu obyek atau suatu peristiwa juga akan mengambil kesimpulan umum
dari masalah yang dibahas. penelitian ini menggambarkan mengenai
fakta-fakta berupa data dengan bahan hukum primer dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang terkait dan bahan hukum sekunder
(doktrin-doktrin, pendapat para pakar hukum terkemuka) serta bahan hukum tersier.
2. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian dalam sebuah penelitian mempunyai peranan yang
sangat penting karena dapat dipergunakan sebagai pedoman guna
mempermudah dalam mempelajari, menganalisa dan memahami
permasalahan yang sedang diteliti. Metode pendekatan yang digunakan
adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)23,
Pendekatan Kasus (Case Approach)24 dan Pendekatan Konseptual
(Conceptual Approach) dengan tujuan mendekatkan kepada gambaran
22
Rony Hanitijo Soemitro. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghala Indonesia, 1988. hlm. 1.
23
Johny Ibrahim. Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum. Surabaya: Putra Media Nusantara dan ITS Press, 2009. hlm. 302-303.
masalah serta mempermudah dalam analis penyelesaian masalah menjadi
komprehensif dan akurat. Pendekatan perundang-undangan digunakan
berkenaan dengan kedudukan bilyet giro sebagai sarana transaksi anjak
piutang di Indonesia. Kemudian pendekatan kasus digunakan untuk
menelaaah kasus-kasus yang relevan, termasuk didalammnya kasus-kasus
dalam anjak piutang, dan pendekatan konseptual untuk menelaah
konsep-konsep yang berkaitan dengan teori-teori perlindungan hukum terhadap
factoring dalam pemberian jasa anjak piutang.
3. Jenis Data
Sumber Data dari penelitian ini dikumpulkan dengan cara mempergunakan
data sekunder, yaitu dikumpulkan dari tangan kedua atau dari
sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan. Sumber
sekunder meliputi komentar, interpretasi, atau pembahasan tentang materi
original.25
4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data
a. Teknik Pengumpulan Data
Data Sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan. Studi
kepustakaan dilakukan untuk mencari konsepsi – konsepsi, teori-teori,
pendapat-pendapat yang berkenaan dengan permasalahan yang diteliti.
Berkenaan dengan metode yuridis normative yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini maka penulis melakukan penelitian dengan
memakai studi kepustakaan yang merupakan data sekunder yang
berasal dari literature, dengan bahan-bahan hukum sebagai berikut :
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan
pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun pengertian
baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai gagasan atau
ide. Bahan hukum primer ini mencakup peraturan perundangan
antara lain, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, Undang-Undang nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK.012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan, Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.
4/17/DASP tanggal 7 November 2002.
2) Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang bersumber dari
pendapat ilmiah para sarjana dan buku-buku literature yang
mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan
memberikan petunjuk kemana penelitian akan mengarah26. Dalam
penulisan ini, seperti : hasil karya dari kalangan hukum yang
berupa buku-buku teks tentang hukum, pendapat dari media masa,
jurnal, dan sebagainya ; dan
3) Bahan hukum tersier adalah yaitu data ataupun bahan yang
member petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, yang dapat diperoleh dari
kamus, ensiklopedia, dan sebagainya.27
b. Teknik Analistis Data
Teknik analisis data yaitu pengolahan, analisis dan kontruksi data yang
diperoleh dari studi literature atau dokumen. Teknik analisis terhadap
data yang ada menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dengan
melakukan penemuan konsep-konsep yang terkandung di dalam
bahan-bahan hukum tersebut, mengelompokan konsep-konsep atau
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kedudukan bilyet giro
sebagai sarana transaksi dalam anjak piutang.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini,
sistematika penulisan dibagi menjadi lima bab sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
BAB II BANK SEBAGAI LEMBAGA INTERMEDIASI DALAM
LALULINTAS KEGIATAN PERNIAGAAN
BAB III SURAT BERHARGA SEBAGAI SARANA TRANSAKSI
ANJAK PIUTANG
BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN BILYET GIRO SEBAGAI
SARANA TRANSAKSI ANJAK PIUTANG DI INDONESIA
BAB V PENUTUP
136 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kedudukan Hukum Bilyet Giro Sebagai Sarana Alat Bayar Dalam Perekonomian Di Indonesia.
Surat berharga secara aturan harus memenuhi unsur-unsur sebagai
alat pembayaran (alat tukar uang), sebagai alat untuk dipindahtangankan,
sebagai surat bukti hutang yang telah ada. Dalam transaksi perekonomian
saat ini pada kenyataannya alat pembayaran yang digunakan masyarakat
tidak hanya berbentuk uang tunai akan tetapi alat pembayarannya juga bisa
dalam bentuk non tunai salah satunya adalah dengan cek atau bilyet giro.
Bilyet giro tidak dapat memenuhi jika disebut sebagai surat
berharga, karena bilyet giro tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak
lain, akan tetapi secara fakta dilapangan banyak yang menggunakan bilyet
giro sebagai sarana alat bayar bahkan lebih tinggi penggunaannya
dibandingkan dengan cek. Maka ternyata jelas bilyet giro secara teori
bukan merupakan surat berharga akan tetapi sebagai alat bayar dengan
cara pembindahbukuan pada bank yang sama atau melalui lembaga
kliring.
Pranata hukum jaminan di Indonesia mengenal 2 (dua) jaminan
yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Adapun jenis-jenis
jaminan yang berciri kebendaan tersebut dapat dikemukakan disini adalah
gadai, Fidusia, cessie piutang. Sedangkan jaminan perorangan tidak
memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya
dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin
pemenuhan perikatan yang bersangkutan.
Kedudukan bilyet giro sangat sulit dikategorikan sebagai jaminan
dalam pranata hukum jaminan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), melainkan dialam praktek transaksi bisnis
dimasyakarat bilyet giro ini dijadikan sebagai jaminan berdasarkan
perkembangan dimasyarakat.
Kaitan dengan jaminan dalam transaksi anjak piutang dimana satu
bentuk fasilitas yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah yang
berkaitan dengan penyerahan jaminan berupa surat berharga atau
dikatakan juga sebagai alat bayar yang artinya surat berharga tersebut
dapat ditagihkan dan nanti cair pada waktunya, artinya kalau bilyet giro
tersebut dijadikan sebagai jaminan dalam anjak piutang oleh pihak bank
maka depositonya harus isi yang nantinya dapat dicairkan untuk melunasi
hutang nasabahnya, oleh karenanya dalam hal bilyet giro dijadikan
jaminan pihak bank mensyaratkan, bilyet giro tersebut harus memiliki
dana minimal berapa persen dengan fasilitas yang diterima oleh nasabah
3. Perlindungan Hukum Pihak Kreditor Anjak Piutang Atas Bilyet
Yang Tidak Dapat Dicairkan Dalam Pelunasan Anjak Piutang.
Sebagai perlindungan hukum, tindakan preventif bagi kreditor
dalam anjak piutang adalah dengan cara menggunakan prinsip-prinsip
dalam perbankan yaitu melihat prinsip kepercayaan, kehati-hatian,
mengenal nasabah, supaya jangan sampai jaminan bilyet giro yang
diberikan oleh nasabah tidak bisa semuanya cair, berarti supaya pihak
bank (kreditor) memiliki keyakinan dan percaya kepada nasabah,
sebaiknya harus menganalisa terlebih dahulu nasabahnya, misalkan
dengan melihat dari siapa bilyet giro itu diterbitkan, apakah orang tersebut
memiliki kredibilitas baik diperbankan dengan analisa bahwa orang
tersebut tidak pernah tercatat namanya dalam daftar nama hitam
diperbankan, atau juga penarik nya dikenal, kemudian tertarik nya adalah
bank yang memiliki reputasi baik dalam perbankan.
Sebagaimana diuraikan diatas, apabila bilyet giro dijadikan
jaminan dalam anjak piutang, sepertinya masih cukup riskan atau belum
dapat memberikan perlindungan jika timbul kerugian, karena bisa saja
bilyet giro tersebut tidak cair atau tidak memiliki dana cukup, oleh
karenanya lebih baik sebagai jaminan yang utama bagi anjak piutang
adalah jaminan-jaminan kebendaan yang sifatnya lebih mengikat secara
hukum dan memiliki marketable (berharga) yang tinggi misalnya jaminan
kebendaan yang dapat diikat dengan fidusia seperti contoh jaminan berupa
tanggunan oleh anjak piutang, termasuk juga barang-barang bergerak yang
bernilai yang dapat dijual/dilelang langsung dengan diikat fidusia, karena
dikhawatirkan jika saja nasabah lari (kabur), beritikad buruk, jaminan yang
utama tersebut dapat diajukan sita eksekusi oleh pihak anjak piutang
kepada pengadilan atau badan-badan lain yang diperbolehkan untuk itu,
yang bergunai menutupi kerugian yang ditimbulkan, dan kalaupun bilyet
giro dijadikan jaminan juga, bisa saja hanya dianggap sebagai jaminan
tambahan, disamping adanya jaminan utama tersebut dari klien.
B. Saran
Saran penulis mengenai kedudukan bilyet giro sebagai sarana transaksi
anjak piutang di indonesia adalah
1. Bagi Akademisi
Hasil Penelitian menunjukan bahwa kedudukan bilyet giro sebagai sarana
transaksi anjak piutang di Indonesia, belum dapat dikategorikan surat
beharga tetapi sebagai alat bayar dengan cara pemindahbukuan atau
melalui kliring, dan belum dapat dikatergorikan sebagai jaminan artinya
masih cukup riskan digunakan sebagai jaminan dalam anjak piutang, perlu
adanya jaminan lain yang utama yang sifatnya mengikat dan dapat
dilakukan eksekusi melalui pengadilan untuk mengcover kerugian jika
bilyet gironya tidak cair, sebagai masukan guna kemajuan ilmu hukum
2. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat dalam hal ini nasabah yang menggunakan fasilitas kredit
di Bank seharusnya jika memiliki itidak baik karena telah dibantu oleh
Bank dalam menggunakan fasilitas kreditnya, sebaiknya memberikan
jaminan yang sifatnya mengikat secara hukum, agar bank lebih percaya
sehingga pemberian fasilitas kreditnya pun setidaknya dapat dipermudah
oleh Bank.
3. Bagi Pemerintah
Pemerintah dalam hal ini Kementrian Keuangan Republik Indonesia perlu
membuat ketentuan aturan yang seragam dan mengikat seluruh bank-bank
di Indonesia mengenai syarat-syarat seseorang (nasabah) membuat
rekening giro misalnya diwajibkan terlebih dahulu depositonya berisikan
dana berapa banyak dengan jangka waktu berapa lama, supaya manakala
bilyet giro dijadikan sebagai jaminan atau alat bayar dalam transaksi
bisnis, para pembisnis terjamin dan mengetahui kepastian dana dari BG
141
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku.
Abdulkadir Muhammad. Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga. cetakan kedua. Alumni Bandung: 1984.
---. Hukum Dagang Tentang Surat – Surat Berharga.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.
Adolf Huala. Dasar-dasarHukum Kontrak Internasional. Rafika Aditama. Bandung: 2006.
Budi Rachmat. Multi Finance Handbook (Leasing. Factoring, PT. Consumer Finance) Indonesian Perspective Paramita. Jakarta, 2004.
C.S.T.Kansil dan Christine S.T. Kansil. Pokok –pokok pengetahuan Hukum
Dagang Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Dahlan Siamat. Manajemen Lembaga Keuangan Kebijakan Moneter dan Perbankan Edisi Ke-Lima. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 200l.
Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman. Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Emmy Pangaribuan Simanjuntak. Hukum Dagang Surat-Surat Berharga. Seksi Hukum Dagang FH UGM. Yogyakarta, 1982.
Farida Hasyim. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
H. Boerhanoeddin S.Batoeah. Surat-Surat Berharga dan Artinya Menurut Hukum. Binacipta. Jakarta: 1980.
H.M.N. Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2008.
Imam Prayogo Suryohadibroto. Surat pembayaran dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
J.J.J.M. Wuisma. Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. Jilid I. Jakarta: UI Press, 1996.
---. Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum. Surabaya: Putra Media Nusantara dan ITS Press, 2009.
---. Cross Default dan Cross Colateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Bandung: Aditama, 2004.
Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: cetakan ke- 11, RajaGrafindo Persada. 2012.
Munir Fuady. Jaminan Fidusia cetakan kedua revisi. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Sinungan M. dalam Johannes Ibrahim. Bank Sebagai Lembaga Intermediasi dalam Hukum Positif. Bandung: CV.Utomo, 2003.
Muhammad Djumhana. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
R.Otje Salman. Ikhtisar Filsafat Hukum. Amrico. Bandung: cetakan Ketiga, 1999.
Rony Hanitijo Soemitro. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta, Ghala Indonesia, 1988.
Triandaru. Sigit dan Totok Budisantoso. Bank dan Lembaga Keuangan Lain Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Ulber Silalahi. Metode Penelitian Sosial, Bandung: Replika Aditama, 2009.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2006.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum dan Wesel. Cek. dan Aksep di Indonesia. Penerbit Sumur Bandung. Bandung: 1961.
Widjanarto. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta: 1993.
B. Peraturan Perundang-Undangan
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
c. Undang – Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang –
Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
e. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
f. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
g. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/Pbi/2005 Tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum.
h. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/16/Pbi/2005 Tentang Penyimpanan
Sekuritas, Surat Yang Berharga Dan Barang Berharga Pada Bank
Indonesia.
i. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/30/DPM Tahun 2013.
j. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) tertanggal 24 Januari 1972 Nomor
4/670 UPPB/PBB.
C. Internet
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35357/4/Chapter%20I.pdf
diakses pada tanggal 10 April 2015, Jam 21.00 WIB.
http://dechis23.blogspot.com/,diakses pada tanggal 3 Mei 2015 jam 20.00
WIB.
http://fitrimunfarijah.blogspot.com/2013/12/paper-anjak-piutang-manajemen-lembaga.html, diakses pada tanggal 18 April 2015, pada jam 19.00
https://boele21.wordpress.com/2011/03/22/fungsi-dan-peranan-bank-secara-umum/, diakses pada tanggal 15 September 2015, jam 19.30 WIB.
http://www.bi.go.id/id/perbankan/ssk/peran-bi/peran/Contents/Default.aspx,
diakses pada tanggal 19 September 2015, jam 19.00 WIB.
http://prima-yulivani28211028.blogspot.co.id/2013/11/mekanisme
kliring.html, diakses pada tanggal 16 Okober 2015, jam 19.00 WIB.
http://www.masodah.staff.gunadarma.ac.id diakses tanggal 19 September
2015 pukul 15.00 WIB.
http://rahmiarrahman.blogspot.co.id/2012/05/surat-surat-berharga.html.
diakses pada tanggal 2 November 2015. jam 20.00 WIB.
http://www.academia.edu/9218297/Hukum_Surat_Berharga_Surat_Berharga_