BAB IV
KORELASI HUKUM QI܇Ɩ܇ DAN HUKUM DI INDONESIA TENTANG
PEMBUNUHAN
A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Hukum Qi܈Ɨ܈
Dalam pembahasan ini akan dibahas tentang perkara yang mengharuskan
qiṣāṣ dan tentang pelaksanaan qiṣāṣ dan apa penggantinya jika qiṣāṣ mempunyai ganti. Perkara yang mengharuskan adanya qiṣāṣ dimulai dengan sifat pembunuhan dan pembunuhan yang mengharuskan adanya qiṣāṣ. Karena tidak semua pembunuhan harus dikenakan qiṣāṣ. Karena qiṣāṣ hanya berlaku untuk pembunuhan tertentu dengan cara pembunuhan tertentu dan korban tertentu. Karena yang dicari dalam hal
ini hanyalah keadilan. Maka pembunuh yang dikenai hukuman qiṣāṣ memiliki syarat harus berakal sehat, dewasa, menginginkan kematian korbannya, melakukan
pembunuhan dengan keinginannya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. 1
Dalam hal pembunuhan yang dipaksa oleh orang lain para Fuqaha berselisih pendapat. Ada yang berpendapat bahwa orang yang menyuruh dan orang yang
disuruh sama-sama dihukum mati. Pendapat kedua orang yang menyuruh dikenai
hukuman mati sedangkan orang yang disuruh tidak. Pendapat ketiga bahwa orng yang
disuruh dikena hukuman mati sedangkan orang yang menyuruh tidak.2 Bagi yang
tidak mengharuskan hukuman mati atas orang yang disuruh, maka mereka
memandang adanya unsur paksaan yang berpengaruh pada pengguguran hukuman,
karena orang yang dipaksa sama dengan orang yang tidak mempunyai pilihan. Akan
tetapi bagi yang mengharuskan hukuman mati bagi orang yang disuruh maka mereka
lebih menguatkan hukum adanya pilihan pada orang tersebut. Karena orang yang
dipaksa pada satu sisi sama dengan orang yang mempunyai pilihan, dan pada sisi lain
1 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj, M.A Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Bidayatul
Mujtahid,(Semarang: as-Syifa’ 1990), h. 528
dia adalah orang yang tidak berdaya sama sekali seperti halnya orang yang jatuh dari
tempat yang tinggi dan orang yang diterbangkan angin dari tempat yang satu
ketempat yang lain. Adapun yang berpendapat melaksanakan hukuman mati bagi
keduanya, maka mereka menolak alasan orang yang disuruh dengan paksaan dan
yang menyuruh tidak membunuh secara langsung. Pendapat yang mengharuskan
hukuman mati bagi yang menyuruh saja mereka menyamakan orang yang disuruh
dengan alat. Sedangkan pendapat yang mengharuskan hukuman saja untuk
sipenyuruh maka mereka berpendapat bahwa penyuruh tidak disebut sebagai
pembunuh kecuali hanya sebagai peminjam tangan.3
Mengenai orang yang sengaja ikut serta dalam melakukan pembunuhan maka
adakalanya pembunuhan dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja. Orang yang
melakukan pembunuhan pun adakalanya orang mukallaf dan tidak mukallaf.
Mengenai pembunuhan yang berkelompok dan didalamnya ada unsur kesengajaan
atau pun ketidak sengajaan, orang mukallaf atau tidak mukalaf, seperti anak-anak
atau orang gila, orang merdeka atau hamba, dan hamba yang membunuh hamba lain.4
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang sengaja membunuh harus di qiṣāṣ, sedang orang yang tidak sengaja dan anak-anak masing-masing dikenai separuh diyat. Hanya saja Imam Malik membebaskan separuh diyat itu kepada keluarga. Sedangkan Imam Syafi’i membebaskan separuh diyat dari harta masing-masing dari kedua orang itu. Begitu juga tentang orang yang merdeka dan
hamba yang membunuh hamba yang lainnya. Yaitu hamba tersebut dihukum mati
dan orang merdeka dikenakan separuh diyat. Oleh karena itu apabila pembunuhan
dilakukan bersamaan oleh orang yang bisa dijatuhi hukuman qiṣāṣ dan yang tidak bisa dijatuhi qiṣāṣ maka keduanya tidak dikenai qiṣāṣ tetapi keduanya hanya dikenai diyat.5 Alasannya adalah bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang
3Ibid., h. 529-530 4Ibid.,h. 530
meragukan, karena dilakukan bersamaan. Sehingga hilangnya nyawa sikorban
merupakan perbuatan orang yang tidak bisa dikenai qiṣāṣ sehingga tidak bisa dikenai qiṣāṣ. Jika hukuman qiṣāṣ tidak bisa dilakukan maka diyatlah sebagai penggantinya. Ada juga yang berpendapat bahwa masing-masing dari keduanya melakukan
perbuatan itu sendiri-sendiri sehingga mereka menjalani hukuman sendiri-sendiri.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa pembunuhan itu ada tiga cara yang pertama adalah pembunuhan yang disenganja yang wajib padanya qiṣāṣ. Kedua adalah kesengajaan yang tidak ada padanya qiṣāṣ. Ketiga pembunuhan yang tersalah yang tidak wajib padanya qiṣāṣ.6 Pembunuhan secara sengaja terhadap jiwa yang dikenakan hukum qiṣāṣ bahwa seorang laki-laki membunuh dengan sengaja membunuh seorang laki-laki memakai senjata sehingga mengalirkan darah dan
menghilangkan dagingnya dan melakukan itu adalah orang yang berakal. Senjata
yang dipergunakan adalah besi yang ditempah seperti pedang, pisau, ujung tombak
dan seumpamanya. Apabila senjata itu dilempar atau dipukulkan kepada kulit atau
daging dapat melukai tanpa beratnya.7
Pembunuhan dengan sengaja selain jiwa adalah berbeda dengan pembunuhan
pada jiwa yang hakikatnya pada sebagian urusan mengenai kesengajaan. Maka kalau
seorang laki-laki sengaja merusak mata seorang laki-laki lain dengan telunjuknya lalu
dia mencungkilnya maka padanya wajib qiṣāṣ, karena telunjuk itu masuk kedalam mata sama dengan senjata yang merusak tubuh, bahkan telunjuk yang masuk kedalam
mata lebih parah akibatnya daripada senjata yang melukai tubuh. Dengan demikian
apabila seorang laki-laki memasukkan telunjuknya kedalam mata seseorang tidak
mencabutnya hingga mata orang itu buta maka padanya wajib qiṣāṣ. 8
Menurut asy-Syafi’i kalau seseorang memukul kepala seseorang dengan
sekali pukulan lalu kepala itu bengkak kemudian melebar dan terbelah maka tidak
6 Syafi’i, al-Umm, h.132 7Ibid.,
ada qiṣāṣ padanya. Karena yang biasa akibat-akibat pukulan sedikit yang berkibat seperti ini maka hukumnya tersalah. Kalau dia memukul dengan batu yang tajam atau
batu yang berat lalu pukulan itu membelah kepala atau mengakibatkan berdarah
kemudian menjadi luka yang seperti ini qiṣāṣ. Karena yang disifatkan bahwa batu bisa merusak yang semacam ini. Kalau alat pemukul itu berupa kerikil lalu ia
melemparkannnya lalu yang terkena lempar itu luka atau membengkak kemudian
membelah, maka kesalahan ini tidak dihukum qiṣāṣ melainkan harus membayar diyat yang penuh. Pembunuhan selain jiwa yang dihukum qiṣāṣ apabila seseorang memukul dengan sesuatu apbila ia memukul seperti biasa maka akan terluka parah
seperti yang diakibatkan oleh senjata besi dalam pembunuhan jiwa.9 Perbuatan
kriminal kepada jiwa atau nyawa seperti membunuh. Perbuatan kriminal kepada yang
bukan jiwa seperti melukai, memotong dan memukul tubuh.10
Adapun dari segi tujuannya kriminal tersebut bisa terjadi pada perbuatan
kriminal yang disengaja, seperti disengaja atau tersalah serta tidak disengaja.
Perbuatan kriminal yang disengaja yaitu pelaku kejahatan sengaja ingin membunuh
atau melukai seorang mukmin, dengan mendatanginya dan memukulnya dengan besi
tongkat, batu atau menjatuhkannya dari tempat yang tinggi, menenggelamkannya
kedalam air, membakarnya dengan api, mencekiknya atau memberinya racun sampai
meninggal, membuat cacat anggota tubuhya atau melukainya. Kejahatan seperti ini
wajib diberlakukan qiṣāṣ atas pelakunya.
Perbuatan kriminal seperti disengaja yaitu bahwa pelaku kejahatan tidak
bermaksud membunuh. Akan ntetapi hanya ingin membuatnya terluka ringan saja
pada sebagian anggota tubuhnya dengan sesuatu yang biasanya tidak membuat orang
menjadi terbunuh. Atau hanya memukulnya dengan tangannya saja, memukul
kepalanya, menceburkannnya kedalam air yang dangkal, menghardik ataupun
9Ibid., 138-139
mengancamnya sehingga orang itu meninggal karena perbuatannya itu. Hukuman
seperti ini diwajibkan diyat kepada sipelaku ataupun hukum kafarat.
Perbuatan kriminal yang tidak disengaja atau karena tersalah, yaitu bahwa
seorang muslim melakukan sesuatu tindakan yang diperbolehkan seperti memanah,
berburu atau memotong daging hewan. Tetapi alat yang dipergunakan meleset atau
mengenai seseorang sehingga menyebabkan kematian atau membuatnya terluka.
Hukuman atas perbuatan yang tidak disengaja ini adalah samaseperti ketentuan yang
kedua. Bahwa orang itu harus membayar denda, tetapi dendanya lebih ringan dan
pelakunya tidak berdosa. Berbeda dengan pelaku kejahatan seperti disengaja
dendanya lebih berat dan pelakunya berdosa.
Mengenai syarat-syarat yang mengharuskan qiṣāṣ berkenaan dengan orang
yang dibunuh maka korban tersebut harus sepadan dengan jiwa orang yang
membunuhnya. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan nilai jiwa
seseorang dengan orang lain adalah keislamannnya, kekafirannya, kemerdekaannya
kehambaan, kelelakian, kewanitaan, satu orang atau banyak.11 Para Ulama Fiqih
berpendapat bahwa apabila orang yang dibunuh sepadan dengan orang yang
membunuh dengan beberapa perkara tersebut maka sipembunuh harus dikenai qiṣāṣ.
Akan tetapi pada pembunuhan yang tidak sepadan para Ulama juga berbeda
pendapat.
Imam Malik, Syafii al-Laits, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa orang
merdeka yang membunuh hamba tidak dihukum mati. Imam Abu hanifah dan para
pengikutnya berpendapat orang merdeka akan dihukum mati apabila membunuh
hamba, kecuali hambanya sendiri. Segolongan Fuqaha berpendapat bahwa orang
merdeka akan dihukum mati apabila membunuh hamba baik itu hambanya sendiri
maupun hamba orang lain. Ada juga fuqaha yang berpendapat apabila orang merdeka
membunuh hamba maka dihukum mati. Mereka mengatakan bahwa membunuh
hamba itu sama haramnya seperti membunuh orang merdeka, maka seharusnya lah
dikenakan hukuman qiṣāṣ.
Apabila seorang hamba membunuh orang merdeka dikenai hukuman mati.
Begitu pula orang yang lebih rendah derajatnya akan dihukum mati apabila
membunuh orang yang lebih tinggi derajatnya. Tentang orang Islam membunuh kafir Ẓimmi para Ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat bahwa apabila orang mukmin membunuh orang kafir tidak dikenai hukuman mati. Pendapat lain orang
mukmin yang membunuh orang kafir tidak dihukum mati kecuali ia membunuh
secara hianat. Pembunuhan secara hianat ialah apabila korban dibaringkan diatas
rusuknya kemudian disembelih, untuk mendapatkan hartanya. Ada juga yang
mengatakan bahwa orang mukmin yang membunuh orang kafir dihukum mati.
Orang banyak membunuh satu orang jumhur Ulama berpendapat bahwa
sekelompok orang bisa dihukum mati karena membunuh satu orang. Mereka juga
berpendapat bahwa tangan orang banyak akan dipotong apabila memotong satu
tangan. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa orang banyak tidak dihukum
bunuh karena menghilangkan satu nyawa. Tangan orang banyak tidak dipotong
karena memotong satu tangan. Sebagian Ulama juga berpendapat bahwa bebberapa
jiwa dapat dihukum mati karena membunuh satu jiwa. Akan tetapi tidak dilukai
anggota badan orang banyak karena melukai satu orang.
Alasan Ulama yang berpendapat menghukum mati orang banyak karena
membunuh satu orang adalah untuk kemaslahatan ummat. Karena kita telah
mengetahui bahwa hukuman mati di syariatkan ialah untuk meniadakan pembunuhan.
Oleh karena itu apabila orang banyak yang membunuh satu orang tidak dihukum mati
maka akan terjadi pembunuh dengan cara pengeroyokan akan semakin merajalela.
Seorang laki-laki membunuh perempuan Usman al-Batti berpendapat apabila
maka keluarga siperempuan yang dibunuh tersebut harus membayar setengah diyat.
Al-Qadi berpendapat bahwa seorang laki-laki yang membunuh perempuan harus
dihukum mati. Pendapat ini beralasan adalah untuk kemaslahatan masyarakat umum.
Imam Malik berpendapat bahwa ayah yang membunuh anaknya tidak dikenai
hukuman qiṣāṣ kecuali ketika membunuhnya ayah tersebut membaringkan anaknya
lalu menyembelihnya. Tetapi jika ayah membunuh anaknya dengan memukulnya
denga pedang atau tongkat maka ayah tersebut tidak dihukum mati. Demikian pula
kakek terhadap cucunya.12 Imam Malik berpendapat bahwa pembunuhan ayah kepada
anaknya itu buka pembunuhan yang disengaja akan tetapi mirip disengaja. Karena
perbuatan tersebut bukan merupakan pembunuhan secara hianat. Oleh karena itu
Imam Malik memandang bahwa seorang ayah sangat berkuasa untuk memberikan
pengajaran kepada anaknya karena kasih sayang kepada anaknya. Adapun
diartikannya perbuatan itu secara sengaja atau tidak sengaja tergantung kuatnya
tuduhan dan dugaan. Dalam hal ini Imam Malik tidak menuduh ayah sebagai
tersangaka karena kuatnya jalinan cinta seorang ayah terhadap anaknya. Apa yang
diniatkan seseorang tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah swt. semata.13
B. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam KUHP
Pembunuhan adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa orang
lain.Pembunuhan ini merupakan bentuk pokok dari kejahatan terhadap nyawa. Di
samping pembunuhan, tindak pidana yang berakibat hilangnya nyawa orang lain
adalah:
1. Pembunuhan berencana Pasal 340.
2. Pembunuhan bayi oleh ibunya Pasal 341.
3. Pembunuhan bayi berencana Pasal 342.
4. Pembunuhan atas permintaan yang bersangkutan Pasal 344.
5. Membujuk atau membantu orang agar bunuh diri Pasal 345.
12Ibid., h. 541
6. Pengguguran kandungan dengan izin ibunya Pasal 346.
7. Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya Pasal 347.
8. Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya Pasal
348.
9. Dokter, bidan atau tukang obat yang membantu pengguguran dan matinya
kandungan Pasal 349.
10.Matinya seseorang karena kesalahan Pasal 359 KUHP.14
Bentuk kesalahan tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain ini dapat
berupa sengaja dan tidak sengaja. Kesengajaan adalah suatu perbuatan yang dapat terjadi dengan direncanakan terlebih dahulu atau tidak direncanakan. Tetapi yang
penting dari suatu peristiwa itu adalah adanya niat yang diwujudkan melalui
perbuatan yang dilakukan sampai selesai. Kalau di lihat dari segi kesengajaan maka
tindak pidana terhadap nyawa ini terdiri atas:
1. Dilakukan dengan sengaja
2. Dilakukan dengan sengaja disertai kejahatan berat.
3. Dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu.
4. Atas keinginan yang jelas dari yang dibunuh.
5. Menganjurkan atau membantu orang untuk membunuh.
Bentuk pokok dari kejahatan terhadap nyawa yakni adanya unsur kesengajaan
dalam pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang baik sengaja biasa maupun
sengaja yang direncanakan. Sengaja biasa yakni maksud atau niatan untuk membunuh
timbul secara sepontan, dan sengaja yang direncanakan yakni maksud dan niat
maupun kehendak membunuh direncanakan terlebih dahulu, merencanakannya dalam
keadaan tenang serta dilaksanakan secara tenang pula. Unsur-unsur pembunuhan
sengaja biasa adalah : perbuatan menghilangkan nyawa, dan perbuatannya dengan
sengaja, sedangkan unsur-unsur sengaja yang direncanakan adalah perbuatan
14 Agung Pranowo, “Perbandingan Tindak Pidana Pembunuhan Antara Kitab
menghilangkan nyawa dengan direncanakan dan perbuatannya dengan sengaja.
Adapun sanksi pembunuhan sengaja biasa dikenakan sanksi pidana penjara paling
lama 15 tahun, dan sanksi pembunuhan sengaja direncanakan dikenakan sanksi
pidana mati atau penjara seumur hidup selama-lamanya 20 tahun,seperti apa yang
disebutkan dalam Pasal 340 KUHP yang berbunyi “ Barangsiapa sengaja dan
dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Ketidaksengajaan adalah suatu perbuatan tertentu terhadap seseorang yang
berakibat matinya seseorang. Bentuk dari ketidaksengajaan ini dapat berupa
perbuatan pasif maupun aktif. Contoh perbuatan yang pasif misalnya penjaga palang
pintu kereta api karena tertidur pada waktu ada kereta yang melintas dia tidak
menutup palang pintu sehingga mengakibatkan tertabraknya mobil yang sedang
melintas. Bentuk ketidaksengajaan penjaga palang pintu ini berupa perbuatan yang
pasif karena tidak melakukan apa-apa. Sedangkan contoh perbuatan yang aktif
misalnya seseorang yang sedang menebang pohon ternyata menimpa orang lain
sehingga matinya orang itu karena tertimpa pohon. Bentuk ketidak sengajaan dari
penebang pohon berupa perbuatan yang aktif. sanksi tindak pidana ini diatur dalam
C. Pemidanaan
Menurut pendapat Muladi dan Barda Nawawi dalam bukunya “Teori-teori dan Kebijakan Pidana“ terdapat beberapa teori yang mengemukakan mengapa suatu kejahatan dikenakan suatu pidana antara lain adalah sebagai berikut:
1). Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Menurut teori absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak
boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seorang mendapatkan pidana oleh karena telah
melakukan kejahatan. tidak dilihat akibat-akibat apa yang mungkin timbul dari
dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan apa dengan demikian masyarkat mungkin
akan dirugikan. Hanya dilihat kemasa lampau, tidak dilihat ke masa depan.
Pembalasan oleh banyak orang dikemukakan sebagai alasan untuk mempidana suatu
kejahatan, kepuasan hatilah yang dikejar,sedangkan yang lainnya tidak.
2). Teori relatif
Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu
pidana. Untuk ini tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, melainkan harus
dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si
penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga masa
depan. Dengan demikian teori ini juga disebut dengan teori tujuan. Tujuan dari
pemidanaan ini adalah untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat dengan cara
menciptakan peraturan perundang-undangan pidana yang bersifat menakut-nakuti
sehingga pelaku kejahatan menjadi jera dan tidak akan menggulangi lagi
perbuatannya serta masyarakat tidak melakukan tindak kejahatan mengingat ancaman
pidana yang berat tersebut.
3). Teori Gabungan
Apabila ada dua pendapat yang berbeda, maka biasanya ada pendapat yang
berdiri sebagai penengahnya yang dalam hal ini disebut dengan teori gabungan. Teori
ini mendasarkan pidana sebagai pembalasan dan mempertahankan tata tertib dalam
satu unsur, tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun memberatkan pada semua
unsur yang ada.
D. Jenis Sanksi Pidana
Mengenai sanksi pidana ini terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Dalam pasal
tersebut disebutkan mengenai sanksi pidana, yang terdiri atas :15
1. Pidana Pokok.
Pidana pokok terdiri atas empat macam pidana, pidana tersebut terdiri dari :
a. Pidana Mati
Pidana mati hanya dijatuhkan untuk tindak pidana yang sangat berat. Salah
satu tindak pidana yang diancam dengan pidana mati adalah tindak pidana
pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP.16 Pidana mati dijalankan
oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang
gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana
berdiri.
b. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah suatu bentuk tindak pidana terhadap perampasan
kemerdekaan. Lamanya pidana penjara dapat seumur hidup atau untuk sementara
waktu diberikan batasan jangka waktu yang jelas, yaitu minimal satu tahun dan
maksimal lima belas tahun. Pembatasan pidana penjara maksimal dua puluh tahun
adalah mutlak, hal ini disebutkan dalam Pasal 12 ayat 4 KUHP.
c. Pidana Kurungan
Pidana kurunga n adalah bentuk pidana badan yang kedua, yang lebih ringan daripada
pidana penjara. Pidana kurungan berlaku untuk pidana kejahatan yang dilakukan
dengan ketidaksengajaan dan untuk hukuman terbarat dari tindak pidana pelanggaran.
Pidana kurungan juga dapat merupakan pengganti dari pidana denda yang tidak
15 Soenarto Soerodibro, KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Dengan Yudisprudensi Mahkamah
Agung Dan Hoge Raad, (Jakarta: Raja Grafindo, 2011), cet ke 15, h. 16
dibayar. Batas waktu pidana kurungan pengganti pidana denda adalah minimal satu
hari dan maksimal delapan bulan.
d. Pidana Denda
Pidana denda adalah pidana dimana terpidana diwajibkan untuk membayar
sejumlah uang yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan kepada Negara.
Apabila terpidana tidak dapat memenuhinya, maka terpidana dapat menggantinya
dengan menjalani pidana kurungan pengganti denda.
e. Pidana Tutupan
Pidana tutupan adalah pidana yang diancamkan kepada pelaku tindak pidana
di bidang politik.
2. Pidana Tambahan
Disamping pidana pokok, ketentuan hukum pidana Indonesia juga mengenal
adanya pidana tambahan. Pidana tambahan terdiri dari:
a. Pencabutan hak-hak tertentu
Pencabutan tersebut dapat dilakukan terhadap hakhak tertentu, yaitu :
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu
2. Hak memasuki angkatan bersenjata
3. Hak memilih atau dipilih dalam pemilihan yang berdasarkan aturan
umum.
4. Hak menjadi penasehat menurut hukum, hak menjadi wali dan sebagainya
terhadap anak yang bukan anaknya Hak menjalankan kekuasaan bapak
atau pengampuan atas anak sendiri.
5. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.
b. Perampasan beberapa barang tertentu
Perampasan merupakan pidana tambahan yang sering dilakukan. Barang yang
dapat dirampas adalah barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari
kejahatan atau sengaja digunakan untuk melakukan kejahatan. Perampasan ini juga
c. Pengumuman putusan hakim
Pada hakikatnya semua putusan hakim telah diucapkan di depan umum, akan
tetapi bila dianggap perlu maka putusan itu dapat disiarkan lagi dengan jelas dan
dengan cara-cara yang ditentukan oleh hakim. Jadi pidana tambahan berupa
pengumuman putusan hakim ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang
ditentukan dalam Undang-Undang.17
E. Kejahatan Terhadap nyawa
Pasal 338
Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 339.
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana,
yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari
pidana bila tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang
diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Pasal 340
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun.
Pasal 341
Seorang ibu yang karena takut akan diketahui bahwa ia melahirkan anak
dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan atau
tidak lama kemudian, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 342
Seorang ibu yang untuk melaksanakan keputusan yang diambilnya karena
takut akan diketahui bahwa ia akan melahirkan anak, menghilangkan nyawa anaknya
pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama kemudian, diancam karena melakukan
pembunuhan anak sendiri dengan berencana, dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
Pasal 343
Bagi orang lain yang turut serta melakukan, kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 341 dan pasal 342 dipandang sebagai pembunuhan atau pembunuhan anak
dengan berencana.
Pasal 344
Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
Pasal 345
Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal 346
Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
Pasal 347
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuan wanita itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun. Bila perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, ia
Pasal 348
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuan wanita itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun enam bulan. Bila perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal,
ia diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349
Bila seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatantersebut dalam Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan
salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal-pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut
haknya untuk menjalankan pekerjaannya dalam mana kejahatan itu dilakukan.
Pasal 350
Dalam hal pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan berencana,
atau karena salah satu kejahatan tersebut dalam Pasal 344, 347, dan 348, dapat
dijatuhkan pencabutan hak-hak tersebut dalam Pasal 35 nomor 1-5.
Pasal 359
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360
1. Barang siapa karena kesalahannya yang menyebabkan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.
2. Barang siapa karena kesalahannya yang menyebahkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda
Pasal 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan
suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditamhah dengan sepertiga dan yang
bersalah dapat dicahut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan
kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.18
F. Analisis Penulis
Dari pemaparan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kejahatan
merupakan masalah sosial dan pemerintah telah melakukan berbagai macam cara
untuk mengatasinya. Salah satu cara yang dapat mencegah dan mengendalikannya
adalah dengan menggunakan hukum pidana yang sanksinya berupa pidana. Hukum
pidana sering disebut sebagai hukum dengan sanksi istimewa karena hukum pidana
mengatur tentang perbuatan apa yang diancam pidana serta dimana aturan pidana itu
menjelma.
Salah satu bentuk sanksi hukum pidana yang paling berat adalah pidana mati.
Didalam hukum Islam pidana mati sering juga diasebut dengan qiṣāṣ. Dimana qiṣāṣ ini adalah salah satu bentuk hukuman yang diperintahkan oleh Allah yang harus
dilaksanakan oleh ummat Islam adalah Hukum qiṣāṣ. Hukum ini pada esensinya
memberi hak kepada orang yang dirugikan untuk membalas kepada yang
merugikannya dengan kadar yang seimbang atau setara. Kata qiṣāṣ dapat berarti pembalasan, pembunuhan dibalas pembunuhan, melukai dibalas dengan melukai,
pemenggalan dibalas pemenggalan.
Sumber hukuman qiṣāṣ adalah Alquran dan hadis, Didalam Alquran hukum qiṣāṣ dijelaskan pada beberapa surat. Seperti Q.S Baqarah/178-179,Q.S Al-Maidah/45 dan Q.S al-Isra’ ayat 33. Dalam menjelaskan ayat qiṣāṣ ini para Ulama Tafsir berbeda-beda pendapat sebagaimana telah dijelaskan pada bab tiga.
Pelaksanaan qiṣāṣ dilakukan tergantung korban apakah mau memaafkan pelakunya atau melaksanakan hukum qiṣāṣ. Dalam hal ini apabila korban memafkan pelaku maka pelaku tersebut harus membayar diyat berupa ganti rugi. Untuk pembayaran
diyat ini pelaku dan korban harus mempunyai kesepakatan. Jadi apabila sikorban
telah menetapkan jumlah ganti rugi maka sipelaku tidak boleh mengurangi atau
menangguhkan pembayaran diyat tersebut. Akan tetapi dalam hal memaafkan ini
Imam Malik berbeda pendapat dengan para fuqaha yang lain menurut beliau apabila
korban telah memaafkan pelaku maka tidak perlu mengambil diyat dari pelaku
tersebut, kecuali jika pelaku para wali dari pelaku tersebut memberikan diyat secara
suka rela. Secara garis besar orang yang berhak memberikan pemaafan bagi pelaku
adalah para ahli waris atau orang yang bertanggung jawab kepada korban. Apbila
salah seorang dari para ahli waris tersebut telah memaafkan pelaku maka gugurlah
hukum qiṣāṣ bagi pelaku tersebut.
Hukum Islam memberikan hak pengampunan kepada korban atau walinya
berdasarkan pertimbangan yang logis dan praktis karena pada dasarnya hukuman
ditetapkan untuk memeberantas tindak pidana, tetapi banyak keberadaan hukuman
yang tidak selalu dapat mencegah terjadinya tindak pidana. Sedangkan pengampunan
sering kali mencegah terjadinya tindak pidana ini. Karena pengampunan akan terjadi
setelah adanya perdamaian dan kebersihan hati kedua belah pihak dan unsur-unsur
yang menyebabkan terjadinya tindak pidana. Dalam hal ini pengampunan dapat
menjadikan tugas hukuman dan mewujudkan hasil yang tidak dapat dilakukan oleh
hukuman itu sendiri. Inilah sisi praktis pemberian hak pengampunan. Adapun dari
sisi logika tidak pidan pembunuhan dan perlukaan terjadi oleh perseorang dan berasal
motif perseorangan pula. Tindak pidana ini menyentuh kehidupan pribadi korban
daripada masyarakat luas. Karean itu selama suatau tindakan memiliki kaitan
perseorangan maka penjatuhan hukumannya menjadi hak korban.
Hukum Islam mengakui sistem pengampunan pada sebagian tindak pidana.
dalam tindak pidana yang sama. Ini dikarenakan sebagian hukum konvensional
mengakui adanya hak suami sebagai korban untuk memberikan pengampunan kepada
istrinya yang telah berzina. Yaitu dengan cara menarik kembali pengaduannya
sebelum pengadilan dimulai. Hukum Islam tidak mendatangkan ketentuan yang aneh
ketika mengakui sistem pengampunan tetapi justru mendatangakan prinsip yang
diakui oleh hukum modren pada masa kini sehingga hukum Islam lebih unggul
daripada hukum konvensional karena memilih logika dalam penerapan sistem
pengampunan tersebut dengan baik.
Cara pelaksanaan qiṣāṣ pada pembunuhan Ulama berbeda pendapat ada yang mengatakan bahwa apabila seseorang membunuh dengan sengaja maka ia akan
dibunuh seperti apa ia membunuh korbannnya, misalanya apabila pelaku membunuh
korbannya dengan cara menenggelamkannya maka pelaku tersebut di hukum qiṣāṣ dengan cara menenggelamkannnya juga. Apabila pelaku pembunuhan membunuh
korbannya dengan memukul batu maka pelaku tesebut dihukum qiṣāṣ dengan
memukulnya dengan batu sampai mati. Sebagian ulama berpendapat bahwa apabila
seperti demikian akan terkesan seperti menyiksa dan akan berlangsung lama maka
membunuh dengan pedang akan lebih baik. Dalam hal pelaksanaan hukum qiṣāṣ adalah wali korban yang didampingi oleh hakim. Karena apabila hanya wali korban
saja tanpa adanya hakim yang mendampinginya maka dikhawatirkan hukuman qiṣāṣ