• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

1. Pengertian Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan

dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.8

Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa atau fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum

antara para pihak.9

Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :

8 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004),

hlm.140

(2)

14 1) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak

disangkal.

2) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

3) Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam

amar putusan.10

2. Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim Putusan hakim merupakan puncak klimaks dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh seorang hakim. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :

1) Keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

2) Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana.

3) Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.11

Peraturan perundang-undangan Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan :

“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan dan menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Pasal 1 butir 11 KUHAP menyebutkan bahwa:

“putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.”

Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum. Syarat sah nya suatu putusan hakim mencakup dua hal yaitu memuat hal-hal yang diwajibkan dan diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum. Hal itu harus dipenuhi oleh hakim dalam setiap

10 Ibid, hlm142

(3)

15 proses pengambilan keputusan. Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat 1 KUHAP yang menentukan

“jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga, dalam persidangan semuanya diperlakukan sama.”

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tugas Hakim untuk mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan dan menegakkan hukum. Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau memihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 UUD Negara RI Tahun 1945, yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hakim dalam menjatuhkan putusan mempertimbangkan hal-hal berikut :

1) Faktor Yuridis, yaitu Undang-Undang dan eori-teori yang berkaitan dengan kasus atau perkara.

2) Faktor Non Yuridis, yaitu melihat dari lingkungan dan berdasarkan hati nurani dari hakim itu sendiri.

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, dimana dalam perkara pidana hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif (negative wetterlijke), yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik

B. Putusan Pengadilan

1. Pengertian Putusan Pengadilan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RB dalam Undang – Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman apabila pemeriksaan perkara

(4)

16 selesai, Majelis Hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Proses pemeriksaan dianggap selesai, apabila telah menempuh tahap jawaban dari tergugat sesuai Pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik dari penggugat berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik dari tergugat, dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian dan konklusi. Jika semua tahap ini telah tuntas diselesaikan, Majelis menyatakan pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan putusan. Mendahului pengucapan putusan itulah tahap musyawarah bagi Majelis untuk menentukan

putusan apa yang hendak dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.12

Putusan pada uraian ini adalah putusan peradilan tingkat pertama. Dan memang tujuan akhir proses pemeriksaan perkara di Peradilan Agama, diambilnya suatu putusan oleh hakim yang berisi penyelesaian perkara yang disengketakan. Berdasarkan putusan itu, ditentukan dengan pasti hak maupun hubungan hukum para pihak dengan objek yang disengketakan. Sehubungan dengan itu, dapat dikemukakan berbagi segi yang berkaitan dengan putusan.

Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupu oleh tergugat selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan, maka

hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut.13

12 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.797

(5)

17

2. Asas Putusan

Pembahasan mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, dalam Undang – Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004 (dulu dalam Pasal 18 UU No. 14

Tahun 1970 tentang kekuasaan Kehakiman).14

1) Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan Asas kedua, digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG, dan Pasal 50 Rv.

2) Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan 3) Diucapkan di Muka Umum

C. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP 1. Pengertian Pembunuhan

W.J.S Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengemukakan bahwa

“membunuh artinya membuat supaya mati, menghilangkan nyawa, sedangkan pembunuhan berarti perkara membunuh, perbuatan atau hal

membunuh”.15

Bertitik tolak dari referensi pembunuhan itu sendiri, secara umum dapat dikatakan bahwa pengertian pembunuhan tercakup dalam Pasal 338 KUHP yang dinyatakan sebagai berikut:

“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebut sebagai suatu pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa orang lain, seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat meninggalnya orang lain dengan syarat bahwa kesengajaan dari pelakunya harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain.

14 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.797

(6)

18 Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu delik materiil yang artinya delik baru dapat dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki oleh Undang-Undang. Dengan demikian, belum dapat dikatakan terjadi suatu tindak pidana pembunuhan jika akibat berupa meninggalnya orang lain belum timbul.

2. Jenis-Jenis Pembunuhan yang Diatur dalam KUHP

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dimuat dalam Bab XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas Pasal, yaitu dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 KUHP. Kejahatan tersebut dikualifikasikan sebagai pembunuhan, yang terdiri dari:

1) Pembunuhan Biasa

Menurut P.A.F. Lamintang, Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana dalam bentuk pokok (Doodslag In Zijn Grondvorm), yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua

unsur-unsurnya. 16

Pasal 338 KUHP berbunyi :

“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”

Pasal 340 KUHP menyatakan:

“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa Pembunuhan dengan Pemberatan (Gequalificeerde Doodslag) Pasal 339 KUHP berbunyi sebagai berikut :

“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan

(7)

19 melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”

Perbedaan pembunuhan di Pasal 338 KUHP ialah adanya kata: “diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan.”

Kata diikuti (gevold) dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain.

2) Pembunuhan Berencana (Moord)

Pasal 340 KUHP, unsur-unsur pembunuhan berencana adalah; unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu, unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain. Menurut M. Sudradjat Bassar, jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan

niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.17

3) Pembunuhan yang dilakukan dengan Permintaan yang Sangat dan Tegas oleh Korban Sendiri.

Jenis kejahatan ini mempunyai unsur khusus, atas permintaan yang tegas (uitdrukkelijk) dan sungguh-sungguh atau nyata (ernstig). Tidak cukup hanya dengan persetujuan belaka, karena hal itu tidak memenuhi perumusan Pasal 344 KUHP.

4) Pembunuhan tidak sengaja.

Tindak pidana yang di lakukan dengan tidak sengaja merupakan bentuk kejahatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku. Kejahatan ini menurut Pipin Syarifin, diatur dalam Pasal 359 KUHP. Terhadap

17 M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, Remaja Rosdakarya, Bandung,

(8)

20 kejahatan yang melanggar Pasal 359 KUHP ini ada dua macam hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelakunya yaitu berupa pidana penjara paling

lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.18

Berdasarkan perilaku sosial, tindak kejahatan menurut Saparinah Sadli, merupakan prilaku menyimpang, yaitu tingkah laku yang melanggar atau menyimpang dari aturan-aturan pengertian normatif atau dari harapanharapan lingkungan sosial yang bersangkutan. Dan salah satu cara

untuk mengendalikan adalah dengan sanksi pidana.19

Hakikat dari sanksi pidana menurut Andi Hamzah, adalah pembalasan, sedangkan tujuan sanksi pidana adalah penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu sendiri maupun pada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat. Selain itu juga bertujuan melindungi masyarakat dari

segala bentuk kejahatan dan pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat.20

D. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum Pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu hukum pidana menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada

yang melanggar larangan tersebut.21

18

Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 62.

19 Ibid. hlm. 23

20 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradya Paramita, Jakarta, 1989, hlm. 34. 21 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 60

(9)

21 Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari penegakan hukum. Penegakan hukum dapat diartikan pula penyelenggaraan hukum oleh petugas penegakan hukum dan setiap orang yang mempunyai kepentingan dan sesuai kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu sistem yang menyangkut suatu penyerasian antara nilai dan kaidah serta perilaku nyata manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya, perilaku atau sikap tindak itu bertujuan untuk

menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.22

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidak serasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku. Gangguan tersebut timbul apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma dalam kaidah-kaidah yang simpang siur dan pola perilaku yang tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup. Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan. Walaupun dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian. Sehingga pengertian Law Enforcement begitu populer. Bahkan ada kecenderungan untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksana keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan

(10)

22 peundang-undangan atau keputusan pengadilan, bisa terjadi malahan justru

mengganggu kedamaian dalam pergaulan hidup masyarakat.23

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif menegakkan hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Tahap-tahap tersebut adalah:

1) Tahap Formulasi Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislaif.

2) Tahap Aplikasi Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan-peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang, dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif.

3) aparat-aparat pelaksana pidana

(11)

23

E. Tujuan Pemidanaan

Tujuan diadakan pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dan dasar hukum dari pidana. Franz Von List mengajukan problematik sifat pidana di dalam hukum yang menyatakan bahwa "rechtsguterschutz durch rechtsguterverletzung" yang artinya melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan. Dalam konteks itu pula dikatakan Hugo De Groot "malum passionis (quod ingligitur) propter malum actionis" yaitu penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh

perbuatan jahat.24

Berdasarkan pendapat para ahli tampak adanya pertentangan mengenai tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan atau teori absolut (retributive/vergeldings theorieen) dan mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen), serta pandangan yang menggabungkan dua tujuan pemidanaan tersebut (teori gabungan/ verenigings theorieen).

Muladi mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theories dan teori gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan (theological retributivism) yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujuan yang theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran berdasarkan prinsip-prinsip keadilan,

(12)

24 misalnya bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang

selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana.25

Hakikatnya konsepsi dari teori-teori tentang tujuan pemidanaan tersebut tidak jauh berbeda, oleh karenanya uraian mengenai teor-teori tentang tujuan pemidanaan yang akan diuraikan di bawah ini, menggunakan kedua istilah tersebut secara bersamaan sebagai berikut:

1) Teori Absolut/Retributif

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori menganggap sebagai dasar hukum dari pidana atau tujuan pemidanaan adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergeldings). Di samping itu dikatakan pula oleh Johannes Andenaes, tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah "untuk memuaskan tuntutan keadilan" (to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruh-pengaruh yang menguntungkan adalah

sekunder.26

Pandangan penganut retributivism, pemidanaan atas perbuatan yang salah bersifat adil, karena akan memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan. Menurut Kant keseimbangan moral ini dinyatakan dalam bentuk suatu perbandingan antara kesejahteraan dan perbuatan baik. Orang yang baik

25 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Cet. 2, Semarang: Alumni, 1992, hlm. 49

26 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1998,

(13)

25 akan bahagia dan orang yang jahat akan menderita atas kelakuannya yang buruk. Oleh karena itu, ketidakseimbangan akan terjadi bilamana seorang penjahat gagal untuk menerima penderitaan atas kejahatannya. Keseimbangan moral yang penuh akan tercapai, bilamana penjahat dipidana dan si korban mendapatkan kompensasi. Hal ini keseimbangan antara kesejahteraan dan

perbuatan tidak tercapai.27

Kecendrungan untuk membalas pada diri manusia adalah suatu gejala sosial yang normal. Tetapi manusia bukan binatang karena ia mempunyai pikiran dan perasaan. Manusia mempunyai persepsi dan jangkauan penglihatan yang jauh ke depan.

Menurut Barda Nawawi, para penganut teori retributif dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu:

a) Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok dan sepadan dengan kesalahan si pembuat.

b) Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi dalam:

i. penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang berpendapat: pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok atau sepadan dengan kesalahan terdakwa;

ii. penganut teori retributif yang distributif (retribution in distribution), disingkat dengan sebutan teori "distributive" yang berpendapat: pidana

(14)

26 janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok atau sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip "tiada pidana tanpa kesalahan" dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal strict liability.

2) Teori Tujuan/Relatif

Para penganut teori ini memandang pidana sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mencapai manfaat, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah, misalnya menjadikannya sebagai orang yang lebih baik, maupun yang berkaiatan dengan dunia, misalnya dengan mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan menjadikan dunia tempat yang

lebih baik.28

Menurut teori ini pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat, sehingga dasar pembenaran dari teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan).

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan antara istilah prevensi umum (general deterrence) dan prevensi khusus (special deterrence). Dengan prevensi umum dimaksudkan pengaruh pidana terhadap

(15)

27 masyarakat pada umumnya, artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan dengan prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.

Anselm von Feurbach mengembangkan teori psychologischezwang, apabila setiap orang tahu dan mengerti bahwa melanggar peraturan hukum itu diancam dengan pidana, maka orang itu mengerti dan tahu juga akan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan. Dengan demikian tercegahlah bagi setiap orang untuk berniat jahat, sehingga di dalam jiwa orang masing-masing telah mendapat tekanan atas ancaman pidana. Walaupun demikian ada kemungkinan kejahatan dilakukan karena berbakat jahat, yang tidak akan terpengaruh atas ancaman pidana itu saja, melainkan harus disertai penjatuhan pidana secara

konkret dan melaksanakan pidananya secara nyata.29

Johannes Andenaes menyatakan bahwa pengertian general prevention tidak hanya tercakup adanya pengaruh pencegahan (deterrent effect) tetapi juga termasuk didalamnya pengaruh moral atau pengaruh yang bersifat pendidikan sosial dari pidana (the moral or social-pedagogical influence of punishment). Teori yang menekankan pada tujuan untuk mempengaruhi atau mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan, dikenal dengan sebutan teori deterrence. Dengan pengertian pencegahan (deterrence) yang sempit ini, maka menurut

(16)

28 Andenaes pengertian general prevention tidaklah sama dengan general deterrence.30

Berdasarkan prevensi umum dan prevensi khusus, Van Bemmelen memasukkan juga dalam golongan teori relatif ini apa yang disebutnya "daya untuk mengamankan" (de beveiligende werking). Dijelaskannya bahwa merupakan kenyataan, khususnya pidana pencabutan kemerdekaan, lebih mengamankan masyarakat terhadap kejahtan selama penjahat tersebut berada di

dalam penjara daripada kalau ia tidak berada dalam penjara.31

3) Teori Gabungan/Verenigings Theorien

Menurut aliran ini maka tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menghubungkan prinsip-prinsip tujuan dan prinsip-prinsip pembalasan dalam suatu kesatuan. Oleh karena itu teori demikian disebut dengan teori gabungan atau ada yang menyebutnya sebagai aliran integratif. Pandangan ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution dan yang bersifat "utilitarian" misalnya pencegahan dan rehabilitasi yang semuanya dilihat sebagai sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam rencana pemidanaan. Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan suatu cara tertentu diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali terpidana ke dalam masyarakat.

Secara serentak, masyarakat menuntut agar kita melakukan individu tersebut juga dengan suatu yang juga dapat memuaskan permintaan atau

30 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 18 31 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 19

(17)

29 kebutuhan pembalasan. Lebih lanjut diharapkan bahwa perlakuan terhadap pelaku tindak pidana tersebut dapat menunjang tujuan-tujuan bermanfaat, yang manfaatnyaharus ditentukan secara kasuistis. Hal inilah yang sering

menimbulkan anggapan pidana sebagai seni (punishment as an art).32

Tokoh utama yang mengajukan teori gabungan ini adalah Pellegrino Rossi. Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu:

a) Guna menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas kebenaran;

b) Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki;

c) Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni

mempertahankan tertib hukum.33

Teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan yaitu disamping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga

32 Muladi, Op.Cit, hlm. 50 33 Muladi, Op, Cit, hal 19.

(18)

30 harus memberikan perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana.

G. Teori Keadilan Hukum

Hukum dan moral merupakan dua entitas yang memiliki tujuan yang sama untuk mencapai keadilan. Tetapi persoalannya adalah baik hukum, moral maupun

keadilan adalah sesuatu yang abstrak.34Hanya kaum positivistik dapat

mengkonkretkan hukum, moral dan keadilan melalui sekumpulan peraturan perundang-undangan.Sementara kaum Sofis, terutama mazhab hukum alam klasik hanya sampai pada pemahaman bahwa hukum dan moral memiliki nilai, yaitu nilai kebaikan, nilai kemanfaatan, dan nilai kebahagian demi pencapaian keadilan.Hal itu memang terbukti dengan telaah histori aliran pemikiran dalam ilmu. Hukum pada fase pertamanya semata-mata selalu dinarasikan sebagai keadilan. Pemahaman hukum yakni sesuatu yang abstrak. Titik tautnya hanya mampu diketemukan melalui penggalian pada hakikat dan makna segala dimensi kebaikan dan keburukan yang terpatri dalam rasio, baru kemudian diwujudkan dalam tindakan, perbuatan, hingga pada pergaualan sosial.

Kendatipun hukum sudah dianggap konkret dengan peraturan peundangan-undangan. Utang budi yang belum terbayar oleh penganut hukum positivistik; Seperti Hans Kelsen, John Austin dan HLA Hart terhadap mazhab hukum alam yang selalu membincangkan keadilan. Bahwa sekuat apapun hukum positif

membersihkan segala anasir nonhukum35 terhadap kepastian hukum, terutama

anasir hukum moral. Hukum sebagai peraturan perundang-undangan tidak akan

34 Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya. Moralitas Hukum.Yogyakarta: Genta Publishing 2014.

Hlm11-16.

(19)

31 terbentuk tanpa penalaran awal teori hukum yang digali dari seperangkat moral keabadian dan keadilan yang terdapat di alam rasio manusia.Pertautan hukum dan

keadilan dibangun berdasarkan maxim, principat, postulat, principle sehingga

hukum lahir secara concreto. Segala penyebutan medium tersebut sebagaimana apa yang disebut asas-asas hukum merupakan “beginsel”. Beginsel sendiri diartikan awal untuk memulai sesuatu. Sedangkan sesuatu di sini yang dicakup adalah hukum. Sehingga asas hukum yang mengikat daya keberlakukan hukum itulah

wujudnya dalam norm in concreto pada tujuannya untuk mencapai

keadilan.Hubungan hukum dan keadilan walaupun sifat dasarnya abstrak, seolah-olah hanya menjadi ruang lingkup telaah filsafat. Tetapi kelesatarian sebagai relafansi antara hukum dan keadilan selalu terjaga. Lintasan sejarah dari seluruh aliran pemikiran dalam ilmu hukum senantiasa memperjuangkan keadilan, entah dari sudut pandang manapun caranya memandang hukum, baik hukum dipdang sebagai objek, maupun hukum dipandang sebagai bagian dari subjek yang melekat dalam diri personal. Harus diakui segala analisis, pembongkaran, dekonstruksi, hingga kritik terhadap hukum dalam tataran implementatif semuanya terikat dengan kehendak untuk mewujudkan hukum dalam tujuannya untuk mencapai keadilan.

Itulah sebabnya pembagian keadilan yang pernah dikemukakan oleh Aristoteles36 hingga sekarang tetap relevan untuk menyentuh terhadap segala tindakan untuk mempertahankan hukum dalam segala sisinya. Yakni, hukum dalam sisi menbentuk undang-undang merupakan pengikatan resmi terhadap keadilan distributif (mutlak; principa prima). Sedangkan pekerjaan hakim yang berfungsi untuk mempertahankan basis keadilan dalam perundang-undangan dituntut untuk

(20)

32 menjadi pengadil yang menegakan hukum dalam wujudnya sebagai keadilan kumutatif (relatif; principa secundaria).Baik hukum maupun moral dan keadilan merupakan sesuatu yang abstrak. Oleh karena itu wajar kiranya jika terjadi multipersepsi terhadap hukum dalam pendefenisiannnya.

Bahkan ahli hukum sekaliber van Apeldoorn sampai pada kesimpulan tidak memberikan satupun tentang defenisi hukum itu. Apeldoorn hanya menyatakan bahwa defenisi hukum itu sangatlah sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk

mengadakannya sesuai dengan kenyataan.37Dalam pendapat yang hampir serupa,

Immanuel Kant mengemukakan

‘Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht” Tidak ada seorang Yurispun yang dapat mendefenisikan hukum dengan tepat.

Meskipun demikian, tetap penting untuk dikemukakan pengertian hukum. Paling tidak sebagai dasar untuk memberi pemhaman awal agar dapat diidentifikasi sifat pembedaannya dengan ilmu sosial lainnya. Seperti ilmu sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, politik, dan sebagainya.Atas dasar penelitian yang pernah dilakukan Soerjono Soekanto mengidentifikasi paling sedikit sepuluh arti hukum

sebagai berikut:38

1) Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran;

2) Hukum sebagai disiplin yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atas gejala-gejala yang dihadapi;

3) Hukum sebagai kaidah, yakni sebagai pedoman atau patokan perilaku yang pantas dan diharapkan;

4) Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta berbentuk tertulis;

37 Damang. Tinjauan Psikologi Hukum terhadap Putusan Hak Asuh Anak. Skripsi. Makassar: Unhas 2009.

Hlm. 19

(21)

33 5) Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang

berhubungan erat dengan penegak hukum;

6) Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi;

7) Hukum sebagai proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan;

8) Hukum sebagai perilaku yang ajeg atau teratur;

9) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk;

10) Hukum sebagai seni (legal art).

Dalam menguraikan pengertian hukum di makalah ini, penting juga

dikemukakan defenisi hukum yang pernah diuraikan oleh Muchtar

Kusumatmadja.Dasar falsafatinya sehingga penting untuk diuraikan pendapat tersebut. Sebab Kusumaatmadja berhasil menggabungkan atau dengan kata lain mendamaikan semua aliran pemikiran dalam ilmu hukum sehingga teori hukum yang pernah dipertahankan oleh masing-masing mazhabnya bertemu dalam satu kesatuan pengertian sebagaimana Kusumaatmadja menyebutnya “sistem hukum”.Lengkapnya, bahwa hukum didefenisikan sebagai mazhab hukum Unpad “Law and Developmet” adalah seperangkat kaidah, asas-asas, lembaga

hukum dan setiap proses-proses yang mengikat daya keberlakuannya.39

Atas cakupan dari “kaidah, asas-asas dan lembaga” dalam pendefenisian hukum tersebut merupakan saluran pendefenisian yang merangkum mazhab hukum alam sekaligus mazhab hukum positivistik. Sedangkan “proses-proses yang mengikat daya keberlakuannya” tidak lain dari faktor nonhukum yang menjadi pusat kajian dari aliran sejarah hukum dan aliran realisme hukum.Selain dikemukakan pengertian hukum menurut Kusumaatmadja, penting pula diuraikan pengertian hukum menurut Achmad Ali, sebagaimana yang dikemukakan dalam

39 Mochtar Kusumaatmadja. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni 2006. Hlm

(22)

34 bukunya “Menguak Tabir Hukum” setelah beliau mengutip beberapa pendapat para ahli tentang pendefenisian hukum.

Achmad Ali bisa dkatakan cukup lengkap dalam merangkum pengertian hukum dari berbagai pakar, beliau merangkum semua pandangan para pemikir barat, pemikir timur hingga pemikir Islam lalu pada akhirnya beliau tiba pada kesimpulan “defenisi yang dapat mengartikulasikan hukum itu.”Achmad Ali memandang bahwa apa yang dimaksud sebagai hukum adalah yang dimanifestasikan dalam wujud yaitu:

1) Hukum sebagai kaidah (hukum sebagai sollen); 2) Hukum sebagai kenyataan (hukum sebagai sein).

Bahwa hukum sebagai kenyataan merupakan hal yang paling utama tetapi tidak berarti bahwa hukum sebagai kaidah dapat diabaikan, sebab hukum sebagai kenyataan tetap bersumber dari hukum sebagai kaidah. Hanya saja lebih konkretnya hukum sebagi kaidah tidak saja yang termuat dalam hukum positif belaka, tetapi keseluruhan kaidah sosial yang diakui keberlakuannya oleh otoritas tertinggi yang ada dalam masyarakat. Lebih jauh lagi, Achmad Ali mengemukakan bahwa hukum

adalah:40

“Seperangkat kaidah atau aturan yang tersusun dalam suatu sistem yang menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia seebagi warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui keberlakuannya oleh otorias tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat (sebagai suatu keseluruhan) dalam kehidupannya, dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.”

Pada dasarnya terdapat kesamaan pandangan antara Kusumaatmadja melihat hukum dalam dua susut pandang, yakni hukum dipandang sebagai kaidah atau

(23)

35 norma dan hukum dipandang keberlakuannya dalam kenyataan. Das sein yang dimaksudkan oleh Achmad Ali sebenarnya itulah yang dipahami oleh Kusumaatmadja sebagai “segala proses yang mengikat daya keberlakuan hukum itu.” Hukum dalam kenyataan sama halnya dengan segala proses eksternal yang mempengaruhi hukum yang dijalankan bedasarkan ketentuannya.Tentunya baik hukum dalam kenyataan (law in action) maupun hukum dalam wujud sebagai kaidah sebagaimana yang terdapat dalam perundang-undangan (law in book), sisi ideal yang hendak dicapai sebagai pencapaian paling tertinggi sebagai hukum yang dicita-citakan (ius conctituendum) sudah pasti tujuan hukum untuk mencapai keadilan.

Letaknya keadilan sendiri yaitu “hukum” untuk mencapai kepastian dan kemafaatan Jawabannya sudah pasti terdapat dalam hukum sebagai kaidah dan hukum sebagai kenyataan.Oleh karena itu tujuan hukum sebagai kepastian maupun tujuan hukum dalam sisi manfaat hal demikian lebih cocok dikatakan sebagai proses atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai keadilan dari hukum itu sendiri.Hanya saja pekerjaan mereka yang berkecimpung di bidang filsafat kendati selalu berusaha mencari pendefenisian tentang makna keadilan itu sendiri, tindakan mereka semata-mata untuk memberikan gambaran “justice in concreto.”

Dalam berbagai literatur terdapat berbagai pandangan para ahli yang mencoba memberikan defenisi tentang keadilan. Diantaranya Soerjono Koesoemo Sisworo, Suhrawardi K. Lubis, Thomas Aquinas, Aristoteles, Achmad Ali, dan NE.

Algra.Menurut Soejono Koesoemo Sisworo41

41 Nursidik. “Kebenaran dan Keadilan dalam Putusan Hakim”, Dalam Jurnal Mimbar Hukum dan

(24)

36 “keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan kebenaran, yang beriklim toleransi dan kebebasan.”

Selanjutnya, Thomas Aquinas42 seorang tokoh filsuf hukum alam,

mengelompokkan keadilan menjadi dua, yaitu:

1) Keadilan umum, yaitu keadilan menurut kehendak Undang-Undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.

2) Keadilan khusus, yaitu keadilan yang didasarkan pada asas kesamaan atau proposionalitas.

Jauh hari sebelumnya Aristoteles juga pernah mengemukakan keadilan. Aristoteles menguraikan:

“justice is political virtue, by the rules of the state is regulated and these rules the eterion of what is righ.”

Aristoteles pulalah sebenarnya yang pertama kali meletakkan dua pembagian keadilan secara proporsional yang terbagi menjadi keadilan distributif, keadilan

kumutatif dan keadilan vendikatif. 43

Pertama, keadilan distributif (justitia distributive) adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Kedua, keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi. Ketiga, keadilan vendikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindakan pidana yang dilakukannya.

Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia44kata adil mempunyai arti;

tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, dan berpegang

42

Nursidik. OP.Cit. Hlm. 139

43 Bandingkan pula dengan jenis keadilan (diantaranya: Keadilan prosedural, keadilan distributive dan

keadilan interaksional) sebagaimana yang dikemukakan oleh Faturrochman.. Keadilan Perspektif Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002. Hlm. 22-49.

(25)

37 teguh pada kebenaran. Sedangkan keadilan merupakan sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil.

Achmad Ali lebih melihat keadilan dalam tujuan hukum semata, bahwa keadilan tidaklah dapat dijadikan satu-satunya tujuan hukum. Sebab bagaimanapun nilai keadilan selalu subjektif dan abstrak. Achmad Ali lebih setuju jika keadilan bersama-sama dengan kepastian dan kemanfataan dijadi kan tujuan hukum secara prioritas, sesuai dengan kasus in concreto. Tampaknya, pandangan Achmad Ali demikian dalam memotret tujuan hukum lebih dominan pada ajaran dari tujuan hukum secara kasuistis.

Dengan sifat keadilan yang abstrak tersebut, NE. Algra45pun akhirnya

mengemukakan

“Bahwa apakah sesuatu itu adil (rechtvaarding), lebih banyak tergantung pada rechmatigheid (kesesuaian dengan hukum), pandangan pribadi seorang penilai. Kiranya lebih baik mengatakan itu tidak adil, tetapi itu mengatakan hal itu saya anggap adil. Memandang sesuatu itu adil, terutama merupakan suatu pendapat mengenai nilai secara pribadi.”

Antara Hukum dan Keadlian memang saling terkait seperti dua sisi mata uang, hukum tanpa keadilan ibarat badan tanpa jiwa, sedangkan keadilan tanpa hukum akan dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi yang di dalam mengambil keputusan mempunyai ruang lingkup diskresi yang luas serta tidak ada keterkaitanya dengan perangkat aturan.

a) Hubungan Hukum dan Keadilan

44 Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka

2002. Hlm. 130

45

(26)

38 Summum Ius Summa Injuria/ Summa Lex Summa Crux. Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi. Demikianlah hukum yang selalu mencita-citakan keadilan maka selama itu pula pasti dalam perwujudannya akan terhenti untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya.

Hal ini benar adanya, in qasu putusan pengadilan selalu saja menyisakan ada ketidakadilan di sana. Masih terdapat bebarapa orang yang merasakan bahwa putusan hakim yang diwajibkan untuk memutus demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa oleh komunitas tertentu, ada kalanya menganggap putusan hakim tidaklah memenuhi rasa keadilan bagi dirinya.

Tetapi tidak berarti bahwa timbulnya respon atau reaksi dari partisipan hukum yang dikenai pemberlakuan hukum. Kita dengan serta merta mengambil kesimpulan bahwa antara hukum dan keadilan tidak ada gunanya, bahkan tidak ada hubungannya. Oleh karena keadilan memang hanya sesuatu yang

dicita-citakan.46 Ibarat penilaian baik dan benar tidak ada yang bisa menggambarkan

sejelas-jelas mungkin. keadilan sudah dikatakan dari awal adalah sifatnya abtrak dan memang keadilan hanyalah tujuan akhir. Niscaya manusia terbatas untuk menggapainya.

Pun kalau ada yang mengatakan dapat dicapai keadilan dengan hati nurani. Itu juga hanya dalam wilayah tingakatan rasa sekaligus naluri yang diusahakan sepadan dengan naluri orang lainnya.

Kalau demikian, bukankah hukum yang didentikan sebagai perundang-undangan tidak lain dari rasa kebaikan, rasa kebenaran, kejahatan, dan keburukan

46 Purnadi Purbacakara dan Ridwan Halim. 1986. Hak Milik Keadilan dan kemakmuran, Tinjauan Falsafah

(27)

39 yang kemudian diberlakukan secara imperatif. Maka terdapatlah bangunan rasa dan naluri sepadan, universal melalui konsensus moral sejawat kesepahaman.Maka bersandar, berdasarkan seluruh analogi tersebut, dari situlah hukum dan keadilan terjadi keterakaitan yang tidak dapat dipsahkan satu dengan lainnya.

Bahwa “itu moral” dan apa yang dikehendaki oleh moral sudah pasti kebaikan. Kebaikan otomotasi satu haluan dengan keadilan. Segala pekerjaan untuk mengkonkretisasi hukum identik dengan moral, hukum identik dengan keadilan akan terejawantakan dalam prinsip-prinsip hukum.Dalam konteks ini, dalil ketiga

hukum dalam pengembanan sebagaimana yang dikemukakan oleh Mewissen47 akan

menjadi satu kesatuan terhadap seluruh abstraksi teoritikal atas gejala hukum tersebut. Baik ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum merupakan “sentral” untuk melahirkan banyaknya jumlah keadilan melalui banyaknya jumlah asas-asas hukum dalam setiap lapangan ilmu hukum.Antara filsafat hukum yang terpusat pada keadilan kemudian melahirkan sekumpulan teori hukum, maka dalam tataran itulah teori hukum dan keadilan akan menurunkan asas hukum, lalu menciptakan sejumlah ketentuan yang dipahami sebagai kaidah hukum.

Asas hukum dalam “pemainan” moral dan keadilan ini dapat dikatakan wadah yang berada di tengah-tengah untuk mencari konsesensus publik sehingga hukum benar-benar imparsial, integral, hingga tercapai sisi keadilannya.

Hubungan hukum dan keadilan pula dapat diamati pada setiap tujuan hukum. Mulai dari tujuan hukum ajaran etis, ajaran prioritas baku hingga ajaran kasusistis. Satupun dari ajaran tersebut tidak ada yang dapat melepaskan diri dari tujuan

47 Mewissen. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. Terj. Bernard Arief

(28)

40 hukum pada sisi keadilannya. Hanya saja dilengkapi dengan tujuan hukum lain seperi kepastian, kemanfaatan, dan predictibility.Termasuk pula bagi pembentuk perundang-undangan sekalipun konsisten untuk melepaskan diri dari sisi keadilan sebagai salah satu tujuan hukum, pada hakikatnya masih dituntut untuk merumuskan teori hukum berdimensi keadilan yang dapat mendukung pentingnya undang-undang tertentu dilembagakan dalam lembaga negara. Bahwa dalam setiap perundang-undangan selalu dilengkapi dengan konsideran menimbang, mengatur, menetapkan. Perlu diketahui di dalam konsideran menimbang tersebut, terdapat pertimbangan filsufis yang mencatat tujuan hukum sebagai keadilan atas

pembentukan Undang-Undang itu.48

Hingga sampai pada hakim pengadilan maupun hakim konstistusi yang berfungsi sebagai aparatur penegak hukum, dalam upayanya untuk melakukan penegakan hukum, menjaga sisi keadilan hukum. Hakim diwajibkan pula untuk

mengutamakan keadilan dalam melahirkan putusan-putusannya.49 Hakim

diwajibkan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar hukum tetap konsisten untuk selalu memperjuangkan keadilan.

Upaya hakim untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya tat kala perkara-perkara hukum hendak dikonstatir dalam perundang-undangan, lalu perundang-undangan ternyata tidak cukup memberinya pengaturan. Hakim dalam posisi demikian dapat melakukan penafsiran dan konstruksi hukum. Pekerjaaan hakim di sini untuk melakukan penafsiran atas ketentuan hukum yang kabur, pada dasarnya menjadi pekerjaan untuk mengakomodasi kaidah-kaidah tidak tertulis

48 Soedikno Mertokusumo. 2005. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty 2005. Hlm. 78.

(29)

41 yang diakui keberadaannya dalam masyarakat, agar pencapaian keadilan untuk masyarakat, diharapakan hakim dapat mewujudkannya.

Atas dasar itu kemudian menjadi pembenaran saat Roland

Dworkin50 mempopulerkan teori hukumnya sebagai “moral reading”. Moral

reading yang dimaksud oleh Dworkin, gugatan terhadap perundang-undangan yang tidak lengkap. Perundang-undangan yang belum mampu mengakomodasi segala kepentingan hukum primer yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena itu menjadi pekerjaan hakim kosnstitusi dalam kasus ini, untuk kembali menciptakan hukum dari hukum yang terpencar di luar, dengan menyesuaikannya dalam ground norm sekaligus dengan constitutional norm.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa analisis jalur pengaruh langsung memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan pengaruh tidak langsung, hal ini menunjukkan dengan

a) TTG bidang irigasi merupakan teknologi keirigasian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sederhana, mudah dilaksanakan, murah biaya dan ramah lingkungan. b) Pelaksanaan

Pengamatan pada umur 6 bulan meliputi tinggi tanaman, skor gejala serangan tungau merah ( Tetranycus , sp), kutu putih ( Phenacoccus manihoti ), penyakit bercak daun coklat dan jumlah

Adalah berat jenis yang memperhitungkan volume partikel saja tanpa memperhitungkan volume pori yang dapat dilewati air.Atau merupakan bagian relative density dari bahan padat

Hasil pengamatan histopat pankreas pada kelompok mencit diabetes yang diberi perlakuan pemberian minuman fungsional berbasis ekstrak daun kumis kucing, baik minuman dengan atau tanpa

Sedangkan berdasarkan peta positioning Smartphone berdasarkan atribut, Smartphone Samsung memiliki keunggulan pada atribut Memori dan Baterai, sedangkan untuk Smartphone

Ya paling saya kasih tahu, kalau adiknya nakal sama kakaknya ya saya Cuma bilang “hayo, itu kakak mu lo..?. harus ngalah to sama mbak Erika, saudara tu yang

Berdasarkan hasil karakterisasi sifat listrik lapisan CSZ menggunakan LCR meter diketahui bahwa peningkatan waktu deposisi menurunkan nilai konduktivitas ionik lapisan CSZ