• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM PERTANAHAN DALAM OTONOMI DAERAH | Hatta | IUS CONSTITUTUM 94 180 1 SM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUKUM PERTANAHAN DALAM OTONOMI DAERAH | Hatta | IUS CONSTITUTUM 94 180 1 SM"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

HUKUM PERTANAHAN DALAM OTONOMI DAERAH

DR.Moh . Hatta SH MKn

Dosen FH Uiversitas 17 Agustus 1945 Jakarta

ABSTRACT

This research is expected to answer some academical questions. The questions are, what is the relation in law between the Government of Region System and the Indonesia Land Law; how to syncronize the Government of Region System and Indonesian Land Law; and, what are the juridical problems that occure in effort to syncronize the Government of Region System and the Indonesian Land Law.

The method of this dissertation is juridic normative prioritizing reference study to obtain the main data, and field research was done to compliment the data which was done by interviewing sources. All the data was then analized using the descriptive qualitative method. This research was completed in Special Capital City of Jakarta, Central Java Province, and Yogyakarta Special Territory.

This research was based on three theories; first, the law nation theory as the grand theory which was used to study the background of the local autonomy policy; second, the separation of power theory as the middle range theory which was used to operate the relationship of state function; and third, the desentralization theory was used to study the division of authority between central and local governments especially in Land Law.

The result of the research showed that the relation in law between the Government of Region System and the Indonesian Land Law is not clear enough. The research was also found some factors that become juridical problem in the effort to syncronize the Government of Region System and the Indonesian Land Law.

The strategy that needs to be developed consists of several aspects, for example the necessity to emphasize the definition of the right of authority, and the necessity to syncronize the law of Government of Region System and the Indonesian Land Law.

+

Keyword: Government of Region System,Land Law.

ABSTRAK

Penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan, bagaimana hubungan hukum antara Sistem Otonomi Daerah dengan Hukum Pertanahan Indonesia, bagaimana upaya untuk menciptakan sinkronisasi antara Sistem Otonomi Daerah denga Hukum Pertanahan Indonesia, dan kendala yuridis apakah yang terjadi dalam upaya untuk menciptakan sinkronisasi antara Sistem Otonomi Daerah dan Hukum Pertanahan Indonesia.

Penyusunan disertasi ini menggunakan metode yuridis normatif dengan mengutamakan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data utamanya, dan penelitian lapangan dilakukan sebagai pelengkap, yang secara operasional dilakukan dengan wawancara. Seluruh data kemudian dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif.Adapun lokasi penelitian adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta,Propinsi Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

(2)

2 theory digunakan teori pemisahan kekuasaan yang digunakan untuk mengoperasionalkan hubungan fungsi negara; dan ketiga, teori desentralisasi dipergunakan untuk mengkaji pembagian kewenangan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,terutama dalam kaitannya dengan hak menguasai Negara dan pelimpahan kewenangan di bidang pertanahan kepada pemerintah daerah.

Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak begitu nampak dan tidak tersurat adanya hubungan hukum antara Sistem Otonomi Daerah dengan Hukum Pertanahan Indonesia; dan ditemukannya beberapa faktor yang menjadi kendala yuridis dalam upaya meningkatkan sinkronisasi antara Sistem Otonomi Daerah dengan Hukum Pertanhan Indonesia.

Strategi yang perlu dikembangkan terdiri dari beberapa aspek,antara lain perlu dilakukan upaya untuk mempertegas pengertian hak menguasai negara dan dilakukannya sinkronisasi antara Undang-Undang yang mengatur Otonomi Daerah dengan UUPA yang berkaitan dengan pelimpahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

(3)

3 BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ketidak merataan hasil pembangunan nasional sejak awal masa kemerdekaan Negara

Indonesia telah menumbuhkan perasaan tidak adil bagi masyarakat di berbagai daerah.1

Seiring dengan berjalannya waktu perasaan tidak adil tersebut tumbuh semakin besar.

Momentum jatuhnya Orde Baru pada tahun 1988 telah dimanfaatkkan oleh Gerakan

Reformasi di berbagai daerah untuk menggulirkan berbagai tuntutan, mulai dari permintaan

otonomi yang lebih luas, penerapan system feodal, hingga tuntutan untuk memisahkan diri

dari Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI).2

Pemerintah transisi Presiden B.J. Habibie menilai akumulasi berbagai tuntutan tersebut

harus segara direspon karena bukan tidak mungkin dapat berkembang sebagai ancaman

disintegrasi NKRI. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemudian merespon

dengan membentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah

menggantikan Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah.3

Jika dibandingkan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1974 terlihat kewenangan yang luas kapada Daerah untuk

menyelenggarakan otonomi daerah.4 Terlepas dari penilaian bahwa Undang-Undang No 22

tahun 1999 telah menggeser cara pandang sentralis menjadi desentralis, namun pada

tahun-tahun awal pelaksanaannya, implementasi undang-undang tersebut dianggap telah

melahirkan berbagai masalah akibat adanya kerancuan persepsi dalam beberapa kasus friksi

kewenangan antara Pusat dan Daerah atau antara sesama Daerah.

1“oe ardja , “elo, 9 Keti pa ga dala Pe a gu a : Pe gala a di I doe sia , dala : Juwo o

Sudarsono (ed), Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, PT. Gramedia, Jakarta, hlm 165-167.

2Ra ,Ta ra i, , Ke erdekaa , Oto o i atau Negara Federal : “uara Rakyat Daerah , dala : Ikrar Nusa

Bhakti dan Irine H. Gayatri (eds), Kontroversi Negara Federal : Mencari Bentuk Negara Ideal Indonesia Masa Depan, Mizan Media Utama, Bandung, hlm. 175.

3

Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembangian, dan Pemanfaatkan Sumber Daya Nasional yang Nerkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tersebut mengamanatkan untuk diselenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dengan prinsip demokrasi, keanekaragaman daerah, dan keadilan.

4

(4)

4

Berdasarkan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi

Kebijakan dalam membentuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah

sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999.5

Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 terlihat adanya peningkatan derajat

desentralisasi penyelenggaraan otonomi daerah yang membedakannya dengan

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya

kepada Daerah.6

Ditinjau dari pengaturan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,

kedua undang-undang tersebut meletakan sisa atau residu kewenangan pada daerah.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 menyebutkan bahwa kewenangan Daerah

mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam

bidang luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta

kewenangan bidang lain.7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berlandaskan prinsip

ontonomi yang seluas-luasnya menyebutkan Pemerintahan Daerah menyelenggarkan

urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini menjadi urusan Pemerinta.8

Cara pembagian dalam kedua Undang-Undang tersebut menyiratkan kesamaan dengan

system pembagian kekuasaan di Negara Federal yang meletakan sisa atau residu kekuasaan

pada Negara bagian. Di dalam bukunya yang mengulas tentang konstitusi-konstitusi politik

modern, C.F. Strong menyebutkan bahwa pembagian kekuasaan dalam negara federal, (the

federal authority) dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana diletakan sisa atau

residu kekuasaan yang tidak terinci diserahkan kepada negara-negara bagian.9 Contoh

negara-negara federal yang menerapkan system ini antara lain Amerika Serikat dan

Australia. Kedua, Konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara-negara

bagian, sedangkan sisa kekuasaan tidak terinci diserahkan kepada pemerintah federal.10

5

Konsideran Menimbang Huruf b Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam

Pe yele ggaraa Oto o i Daerah, e ye utka : Bahwa pe yele ggaraa oto o i daerah sela a i i

belum dilaksanakan sebagaimana diharapkan sehingga banyak mengalami kegagalan dan tidak mencapai sasaran yang ditetapkan. Kegagalan ini menimbulkan ketidakpuasan dan ketersinggungan rasa keadilan yang

elahirka a tara lai tu tuta keras agar oto o i daerah diti gkatka pelasaksa aa ya.

6

Konsideran Menimbang Huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

7

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

8

Pasal 10 Undangh-Undang Nomor 32 Tahun 2004

9

Strong.C.F., 1952 Modern Political Constitucions : An Introduction to The Comparative Study of Their History Existing Form, sighwick & Jackson Limited, London, hal 100

10

(5)

5

Kanada merupakan salah satu contoh negara yang menerapkan system peletakan reserve of

powers-nya seperti ini, konstitusinya lebih mendekati konstitusi negara kesatuan.11

Adapun mengenai masalah pelaksanaan urusan pertanahan dalam era otonomi daerah

berawal dari Keppres RI No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Dibidang

Pertanahan yang lahir karena adanya Tap MPR RI tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional

Dibidang Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA). Substansi Keppres itu

memerintahkan agar BPN menyusun RUU Penyempurnaan UUPA dan Undang undang

tentang Hak Atas Tanah lainnya serta Peraturan Perundangan Undangan dibidang

pertanahan, pembangunan sistim informasi pertanahan dan manajemen pertanahan.

Masalah lain yang diatur dalam Keppres itu adalah penyerahan sebagian kewenangan

pemerintah dibidang pertanahan kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota yang meliputi 9

(sembilan) jenis kewenangan yaitu : a) pemberian ijin lokasi, b) penyelenggaraan Pengadaan

Tanah untuk Kepentingan Pembangunan, c) penyelesaian sengketa tanah garapan, d)

penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan untuk pembangunan, e) penetapan

Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah serta ganti rugi tanah kelebihan maksimum dan tanah

absentee, f) penetapan dan penyelesaian tanah ulayat, g) pemannfaatan dan penyelesaian

masalah tanah kosong, h) pemberian ijin membuka tanah, i) perencanaan dan penggunaan

tanah wilayah kabupaten/kota.

Pe eria 9 kewe a ga di ida g perta aha itu erupaka se a a ketidak tulusa

pemerintah pusat kepada daerah dalam pelaksanaan asas desentralisasi dibidang

pertanahan seperti diatur dalam UU No 22 Tahun 1999 maupun UU No 32 Tahun2004

tentang Pemerintahan Daerah.

Sebelumnya dalam Keppres No. 95 Tahun 2000 tentang BPN, Pasal 32 Ayat (2) disebutkan

bahwa Kantor BPN Kabupaten dan Kota tetap merupakan instansi vertikal dan dalam

menjalankan tugasnya, bekerja secara nasional, regional dan sektoral, yang jelas tidak

sejalan dengan prinsip otonomi yang luas.

Sementara itu Perpres No 10 tahun 2006 tentan BPN pada Pasal 3 Ayat (2) menyebutkan

adanya 21 (dua puluh satu) fungsi BPN yaitu :

a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;

b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;

11

(6)

6

c. Koordinasi kebijakan, perencanaan, dan program di bidang pertanahan;

d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;

e. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei,pengukuran, dan di bidang pertanahan;

f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;

g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;

h. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria, dan penataan wilayah-wilayah

khusus;

i. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan atau milik negara/daerah

bekerja sama dengan Departemen Keuangan

j. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;

k. Kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;

l. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan perencanaan dan program di bidang

pertanahan;

m. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;

n. Pengkajian dan penanganan masalah sengketa perkara dan konflik di bidang

pertanahan;

o. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;

p. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;

q. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;

r. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;

s. Pembinaan fungsional lembaga – lembaga yang berkaitan dengan bidang

pertanahan;

t. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan

hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan perutaran perundangan-undangan

yang berlaku;

u. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Kebijakan Perpres No 10 Tahun 2006 Pasl 2 tersebut diatas juga merupakan kebijakan

yang bersifat setengah hati dan dapat dikatakan tidak iklas, mengapa tidak seluruh

kewenangan pertanahan diserahkan saja kepada daerah sesuai dengan ketentuan Pasal

10 UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang jelas menyebutkan bahwa

(7)

7

luar negeri, b) pertanahan, c) keamanan, d) yustisi, e) moneter dan fiskal nasional, f)

agama.

Dengan demikian terlihat tidak sinkronnya hubungan hukum dan pengaturan kewenangan

pemerintah di bidang pertanahan yang mengakibatkan timbulnya friksi antara pemerintah

pusat dan daerah.

Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan strategi

pembangunan yang di didang pertanahan disebut Triple Track Strategy. Strategi tersebut

adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan ekspor.

2. Menggerakkan sektor riil agar semakin tumbuh dan berkembang, dan

3. Melaksanakan revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan.

Strategi pertama dan kedua dimaksudkan untuk memacu perekonomian untuk tumbuh

lebih cepat dan stabil, sekaligus mengatasi masalah pengangguran. Strategi ketiga

dimaksudkan untuk mengurangi masalah kemiskinan. Penerapan strategi ini secara parsial

cenderung menyebabkan capaian hasil-hasil pembangunan yang satu sama lain tidak

berkaitan, sehingga stabilitas perekonomian yang sud`ah relatif baik (tataran makro) tidak

mampu mengatasi kedua masalah kritikal (tataran mikro).

Oleh karena itu, dperlukan suatu kebijakan yang sekaligus menerapkan ketiga unsur tripple

track strategy tersebut. Mengingat bahwa kedua masalah kritikal berada pada tataran

mikro, kebijakan dimaksud haruslah yang lansung menyentuh rakyat yang mengalami

kemiskinan dan pengangguran. Kebijakan seperti ini diperkirakan akan efektif menurunkan

kemiskinan dan pengangguran, dan di tataran makro sekaligus dapat meningkatkan

pertumbuhanserta memperkuat stabilitas perekonomian.

Kebijakan yang dipandang mampu mewujudkan semua itu adalah melakukan restrukturisasi

sumber-sumber kemakmuran – sepert tanah – secara lebih adil, yang lebih mampu

menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

B. Perumasan Masalah

(8)

8

1. Bagaimana hubungan hukum antara Otonomi Daerah dengan Hukum Pertanahan

Indonesia ?

2. Bagaimana upaya untuk lebih meningkatkan sinkronisasi antara Sistem Otonomi

Daerah dengan Hukum Pertanahan Indonesia ?

3. Kendala yuridis apakah yang terjadi dalam upaya meningkatkan sinkronisasi

antara Sistem Otonomi Daerah dengan Hukum Pertanahan Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Deskriptif

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan mejelaskan terjadinya

perubahan sistim pemerintahan di daerah sehubungan dengan diberlakukannya

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan hubungannya dengan

Hukum Pertanaan Indonesia. Perubahan tersebut berdampak pula pada perubahan tugas

pemerintahan daerah dalam bidang pertanahan, yang semula Kantor Badan Pertanahan

Nasioanl (BPN), maka dengan lahirnya Undang-Undang tersebut di atas sebagaimana

disebutkan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten ?kota yaitu tentang pelayanan

pertanahan.

Sementara itu, Keinginan Daerah Kabupatan dan Kota untuk menyelenggarakan

otonominya semakin kuat dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000

tentang Susunan dan Tata Kerja Perangkat Daerah sebagai peraturan pelaksanaan dari

Undang-Undang Pemerintah Daerah yang lama, banyak Daerah Kabupaten dan Kota yang

mengatur susunan organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah yang mencantumkan

kewenangan urusan di bidang pertanahan.

b. Tujuan Kreatif

Penelitian ini dilakukan untuk mencari jawaban mengenai kendala yuridis dalam upaya

menciptakan sinkronisasi antara pelaksanaan otonomi daerah dan Hukum Pertanahan

Indonesia,. Salah satu kendala yang mungkin dicermati adalah belum lengkapnya peraturan

pelaksanaan dari UUPA maupun Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Kemungkinan lain

adalah tidak tepatnya kebijakan Pemerintah dibidang Pertanahan seperti yang terjadi pada

zaman Orde Baru yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang semula diyakini

(9)

9

malah menyebabkan terjadinya penguasaan dan pemilikan tanah berskala besar oleh

perusahaan-perusahaan besar dan pemilik modal besar (investor).

Selain itu, kemungkinan telah terjadi disinkronisasi atau disharmonisasi antara

peraturan satu denga peraturan yang lain yang berhubungan dengan masalah pertanahan

dan masalah pelaksanaan Otonomi Daerah.

c. Tujuan Inovatif

Meskipun penelitian ini secara khusus mungkin tidak dapat memberikan sumbangan konkrit bagi perumus kebijakan di bidang hukum pertanahan maupun otonomi dareah,

namun temuan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perencana

dan pelaksana dalam menentukan kebijakan khusus dalam pembentukan peraturan

perundandang-undangan tentang masalah pertanahan dan otonomi daerah di masa

mendatang, khususnya yang berkaitan dengan upaya sinkronisasi antara sistim otonomi

daerah dan Hukum Pertanahan Indonesia.

Apabila ketentuan perundangan-undangan yang mengatur masalah pertanahan dan

otonomi daerah telah lengkap, tertib dan baik tentunya akan memudahkan penerapannya

dalam praktek (law in action) karena hukum yang baik atau ideal bagi masyarakat, bangsa

dan negara Indonesia merupakan aktualisasi nilai-nilai keadilan dan kebenaran.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang masalah pertanahan telah banyak dilakukan di Indonesia oleh para

penulis Hukum Pertanahan, baik melalui penelusuran sejarah maupun perbandingan

hukum. Penelitian tersebut antara lain :

Dilaksanakan oleh :

1. Muchsan (1991), mengadakan penelitian tentang Perolehan Hak Atas Tanah melalui

Lembaga Pelepasan Hak.

2. Yusriyadi (2003), mengadakan penelitian tentang Perubahan Konsep Fungsi Sosial

Hak Milik Atas Tanah di kalangan warga masyarakat sekitar Daerah Industri.

3. Sudjito (2004), mengadakan penelitian tentang Pengelolaan Irigasi (Suatu Percobaan

Untuk Melakukan Pengaturan secara Holistik).

4. B.F. Sihombing (2005), mengadakan penelitian tentang Evolusi Kebijakan Pertanahan

(10)

10

5. Nurhasan Ismail (2006), memgadakan penelitian tentang Perkembangan hukum

Pertanahan Indonesia, Suatu Pendekatan Ekonomi Politik.

Adapun penelitian yang akan dilakukan oleh penulis berkaitan dengan masalah

Hubungan Hukum Antara Sistem Otonomi Daerah dengan Hukum Pertanahan

Indonesia.

Ditinjau dari latar belakang permasalahan, metodologi serta cara dan tujuan

penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam Bab ini untuk kepentingan landasan teori penelitian dijabarkan antara lain :

A. Teori Negara Hukum.

B. Teori Pemisahan Kekuasaan.

C. Teori Otonomi Daerah.

D. Hukum Pertanahan Indonesia.

1. Pengertian Tanah dan Hukum Pertanahan.

2. Konsepsi Tentang Hukum Pertanahan Nasional/Indonesia.

3. Hak Menguasai Negara Atas tanah.

4. Penguasaan Masyarakat atas Tanah Menurut Hukum Adat.

5. Kedudukan Hukum Pertanahan.

6. Pembaruan UUPA.

E. Landasan Teori

Berdasarkan tinjauan terhadap hubungan teoritik antara seluruh topik pustaka

tersebut di atas, untuk memecahkan permasalahan secara garis besar penelitian ini

dilandasi oleh tiga teori.

Pertama, sebagai grand theory digunakan teori Negara Hukum. Teori ini

digunakan untum menelaah latar belakang munculnya kebijakan sistem otonomi

(11)

11

Kedua, sebagai middle range theory digunakan teori pemisahan dan pembagian

kekuasaan. Teori ini digunakan untuk :

Mengoperasionalkan hubungan fungsi negara dan desentralisasi terhadap

pemisahaan/pembagian kekuasaaan/pelimpahan kewenangan dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Menelaah pelimpahan kewenangan di bidang Hukum Pertanahan kaitannya dengan

hak menguasai negara dan pelimpahan sebagian kewenangan di bidang pertanahan

kepada pemerintah daerah.

Ketiga, sebagai appplied theory digunakan teori Otonomi Daerah. Teori ini

digunakan sebagai pisau analisis untuk menelaah hubungan hukum antara sistem

otonomi daerah yang berpedoman pada desentralisasi dan Hukum Pertanahan

Indonesia yang didalamnya terdapat hak menguasai negara dan pelimpahan

sebagian kewenangan di bidang pertanahan kepada pemerintah daerah. Dalam

hubungan hukum antara sistem otonomi daerah dan Hukum Pertanahan Indonesia

terjadi dissinkronisasi yang menyebabkan harus dilakukannya upaya-upaya

sinkronisasi.

F. Kerangka Berpikir

Sebagaimana telah diuraikan pada latar belakang masalah di atas, maka pada

dasarnya sistem otonomi daerah diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 32

tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya dianut prinsip

desentralisasi atau pelimpahan sebagaian kewenangan dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah.

Menurut Undang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah Daerah

berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sendiri dengan menggunakan prinsip

otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan

mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah

pusat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Hukum Pertanahan Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraris (UUPA)

menganut asas Hak Menguasai Negara sebagaimana ditentukan termasuk kekayaan

(12)

12

negara. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah pusat mempuanyai hak untuk

mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaannya dan menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas

(bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu, serta menentukan dan mengatur

hubungan-hubungan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Dengan diterapkannya sistem otonomi daerah yang menitik beratkan pada

desentralisasi dan hukum pertanahan yang berpedoman pada hak mengusai negara

tersebut di atas, maka dalam pelaksanaannya terjadi dissinkronisasi antara

keduanya. Dissinkronisasi tersebut antara lain adalah :

1. Pasal 10 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menentukan bahwa pemerintah daerah

menyelenggarakan urusan pemerintahan kecuali urusan yang oleh

undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Yang menjadi urusan

pemerintahan pusat tersebut meliputi : politik luar negeri, pertahanan

keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Berdasarkan hal

tersebut, maka seharusnya seluruh kewenangan selain yang disebut dalam

pasal 10 Ayat (3) menjadi kewenangan pemerintah daerah. Akan tetapi

dalam kenyataannya menurut Bab XVI Penutup Pasal 237 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Penjelasannya

menyebutkan bahwa semua ketentuan peraturan perundangan-undangan

yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib

menyesuaikan dengan undang-undang ini. Artinya UUPA juga harus

menyesuaikan dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebagaimana

dimuat dalam penjelasan dari Pasal 237 tersebut, Padahal Pasal 2 Ayat (2)

UUPA menyebutkan adanya Hak Menguasai Negara yang logikanya

merupakan wewenang pusat.

2. Pasal 32 ayat (2) Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional

di Bidang Pertanahan, menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat hanya

melimpahkan 9 (sembilan) jenis kewenangan pemerintah di bidang

pertanahan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Derah Kota, Perpres

Nomor 10 Tahun 2006 Pasal 3 menyebutkan adanya 21 (dua puluh satu)

(13)

13

10 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah yang menyatakan bahwa seluruh urusan pemerintahan selain yang

disebut dalam Pasal 10 Ayat (3) merupakan urusan Pemerintahan Daerah.

Dengan adanya dissinkronisasi antara sistem otonomi daerah dan Hukum

Pertanahan Indonesia tersebut di atas, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk dilakukan

sinkronisasi antara sistem otonomi daerah dan Hukum Pertanahan Indonesia. Namun

demikian dalam pelakasanaan sinkronisasi ditemui beberapa kendala yuridis yang dapat

menghambat pelaksanaan sinkronisasi, sehingga diperlukan langkah-langkah sebagai solusi

dalam upaya sinkronisasi yang merupakan kesimpulan dari disertasi ini.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hubungan Hukum Antara Sistem Otonomi Daerah Dengan Hukum Pertanahan.

1. Data Pustaka

2. Data lapangan

3. Pembahasan

B. Langkah-Langkah Penyelesaian Dalam Upaya Sinkronisasi Pelaksanaan Otonomi

Daerah dengan Hukum Pertanahan.

1. Prinsip Dasar Kebijakan Pertanahan

2. Tujuan Umum

3. Tujuan Khusus

4. Arah Kebijakan dan Rencana Tindak

C. Kendala Yuridis Dalam Upaya Sinskrinisaai Antara Pelaksanaan Otonomi Daerah

dengan Hukum Pertanahan.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian

(14)

14

disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam

disertasi ini sebagai berikut :

1. Tidak nampak dan tidak tersurat dengan jelas adanya hubungan hukum antara

Sistem Otonomi Daerah dengan Hukum Pertanahan Indonesia, mengakibatkan

terjadinya dissinkronisasi dalam hal urusan pemerintahan di bidang pertanahan

antara pemerintah di pusat dan di daerah.

2. Upaya yang dapat dilakukan untuk lebih meningkatkan sinkronisasi antara sistem

otonomi daerah dengan hukum pertanahan Indonesia adalah apabila dewasa ini

telah ada gagasan untuk mengadakan revisi baik undang-undang tentang

pemerintahan daerah maupun hukum pertanahan Indonesia hendaknya

diupayakan untuk lebih meningkatkan sinkronisasi dan hubungan hukum antara

undang-undang tentang otonomi daerah dengan hukum pertanahan Indonesia.

3. Adapun mengenai upaya yang harus dilaksanakan untuk memnghindari

terjadinya kendala yuridis adalah disejogyakan untuk lebih mengarah kepada

adanya kebersamaan pola berpikir antara pejabat pemerintah pusat dan daerah

khususnya mengenai kewenangan tugas pemerintahan di bidang pertanahan.

B. Saran

Bertalian dengan kesimpulan diatas maka saran yang perlu direkomendasikan adalah

:

1. Merivisi pasal – pasal atau ayat – ayat dalam peraturan perundangan-undangan

tentang pemeritahan daerah yang tidak sejalan dengan hukum pertanahan

Indonesia.

2. Karena peraturan pelaksanaan hukum pertanahan Indonesia sudah cukup banyak

sedang peraturan pelaksanaan dari undang-undang tentang pemerintahan

daerah dapat dikatakan masih belum memadai maka perlu segera disusun

peraturan pelaksanaan dari undang-undang tentang pemerintahan daerah

dengan memprioritaskan hal-hal yang berpotensi menimbulkan perbedaan tafsir

atau ketidakjelasan antara berbagai pihak.

3. Agar supaya para stake holder di bidang pertanahan memperhatikan dan

berusaha mengimplementasikan tripple track strategy yang diamanatkan oleh

(15)

15

Jakarta, 13 April 2014

(16)

16 DAFTAR PUSTAKA

I. Buku, Makalah, Artikel

Ari Sukanti Sumantri, Pidato Pengukuhan Guru Besar FHUI, Jakarta, 17

September 2003, Jakarta.

Badan Pertanahan Nasional, REFORMA AGRARIA, Jakarta 2007

B.F. Sihombing, 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah

Indonesia, PT. Toko Buku Gunung Agung Tbk., Jakarta

Boedi Harsono, 1987, Hukum Agraria Nasional dalam Pendidikan Tinggi di

Indonesia dan Pembangunan Nasional, Pidato Pengukuhan Guru Besar

Hukum Agraria Trisaksi Jakarta

Brahmana Adhi dan Hasan Basri Nata Menggala, 2001, Reformasi Pertanahan,

Mandar Maju, Bandung

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS, 2002, Diskusi Terfokus

Pengembangan Kebijakan Pertanahan Dalam Era Desentralisasi dan

Penigkatan Pertanahan Kepada Masyarakat ya g disele ggaraka oleh

Direktorat tata Ruang dan Pertanahan BAPPENAS pada tanggal 12

September 2002, Jakarta.

Herman Soesangobeng, Materi Perkuliahan Hukum Agraria Lanjutan, Program

S2 Magister STIH IBLAM Jakarta.

Muhammad Hasan Wargakusumah, 2001, Penguasaan Tanah dalam Hukum

Tanah Nasional dan Penerapannya di Kawasan Industri, Disertasi UGM,

Yogyakarta

Muhammad Hatta, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara

Kesatuan, Media Abadi, Yogyakarta

Muchsan, 1991, Perolehan Hak Atas tanah melalui Lembaga Pelepasan Hak,

Disertasi UGM, Yogyakarta

Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia, Suatu

Pendekatan Ekonomi Politik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

II. Peraturan Perundang-Undangan

Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang GBHN Bab IV huruf f Ekonomi

(17)

17

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Keputusan Presiden No. 95 Tahun 2000 tentang BPN.

Keputusan Presiden No.10 Tahun 2001 tentan Pelaksanaan Otonomi di Bidang

Pertanahan.

Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Pertanahan.

Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi

(18)
(19)

19

ABSTRAK

Pelaksanaan urusan pertanahan dalam era otonomi daerah berawal dari Keppres RI No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Dibidang Pertanahan yang lahir karena adanya Tap MPR RI tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Dibidang Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA). Substansi Keppres itu memerintahkan agar BPN menyusun RUU Penyempurnaan UUPA dan Undang undang tentang Hak Atas Tanah lainnya serta Peraturan Perundangan Undangan dibidang pertanahan, pembangunan sistim informasi pertanahan dan manajemen pertanahan.

Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah pusat mempuanyai hak untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya dan menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu, serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dengan diterapkannya sistem otonomi daerah yang menitik beratkan pada desentralisasi dan hukum pertanahan yang berpedoman pada hak mengusai negara tersebut di atas, maka dalam pelaksanaannya terjadi dissinkronisasi antara keduanya.

Referensi

Dokumen terkait

Model pembelajaran isu-isu kontroversial kebijakan publik yang dikembangkan telah memenuhi prinsip-prinsip pengembangan model pembelajaran, serta dapat menemukan

Karena itu, lahirlah apa yang disebut masyarakat terbuka ( open society ) dimana terjadi aliran bebas informasi, yakni manusia, perdagangan, serta berbagai bentuk-bentuk

sebagai alternatif sumber belajar yang digunakan oleh siswa kelas XI IPS SMAN. 1 Muaro Jambi dalam mata pelajaran ekonomi, baik di sekolah maupun di

Demikianlah surat keterangan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan saya bersedia dituntut dimuka pengadilan serta bersedia menerima tindakan yang diambil oleh

Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan peta informasi bidang tanah dengan peta dasar yang didapatkan melalui pemetaan secara fotogrametri dengan metode foto

Masing-masing P i hak harus melindungi , dalam wilayahnya , hak kekayaan intelektual Pihak lain sesuai dengan hukum nasional yang berlaku pada masing - masing

Sample of solution from fly ash mixed with distilled water was analyzed for pH, agitation time, boron concentration and temperature.. It was revealed that fly ash