• Tidak ada hasil yang ditemukan

profil tokoh edisi 4

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "profil tokoh edisi 4"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Prof. DR. Dorodjatun Kuncoro : Pembangunan Berkelanjutan: Penerapan

Masa Lalu, Saat ini dan Ke Masa Datang

Kata sustainability (keberlanjutan) saat ini banyak dikaitkan dengan masalah lingkungan dan perencanaan wilayah dan kota. Akan tetapi Prof. DR. Dorodjatun, dengan latar belakang ekonomi dan keterlibatannya dalam banyak lembaga nasional, memiliki perspektif yang lebih luas dari itu. Prof. DR. Dorodjatun yang saat ini aktif menjadi penasehat lembaga ekonomi dan bank swasta nasional serta memberi kuliah di beberapa universitas seperti UI, pernah menjabat Menko Perekonomian pada Kabinet Gotong-Royong RI yang juga menjadi Ketua BKPRN (pada masa itu bernama BKTRN). Profesor yang mendapatkan gelar doktor di bidang Ekonomi Politik dari Universitas of California, Berkley, pada tahun 1980 ini lahir di Rangkasbitung pada 25 November 1939. Beliau adalah salah satu lulusan terbaik FEUI tahun 1964 dengan spesialisasi Moneter dan Keuangan Negara. Kemudian gelar MA-nya di bidang Financial Administration ia raih pada tahun 1969 di University of California di Berkeley. Mantan Dekan FEUI periode 1994-1997 ini sempat menjadi Dutabesar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Amerika Serikat pada periode 1998 – 2001 pada masa kepresidenan Presiden Soeharto, Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrachman Wahid. Lalu bagaimana pandangan beliau tentang pengertian sustainability? Dalam wawancara berikut, ia menguraikan permasalahan rencana tata ruang yang terkait erat dengan kapasitas organisasi, dan perlunya imajinasi dalam mewujudkan pembangunan wilayah dan perkotaan yag berkelanjutan di Indonesia.

Menurut Bapak, seperti apakah pengertian sustainable dalam konteks wilayah/regional ?

(2)

Soeharto. Program KB ini hasilnya cukup spektakuler. Kita berhasil mengerem laju pertumbuhan penduduk dari rata-rata 2,5% per tahun pada tahun 1950’an, lalu menjadi sekitar 1,3% per tahun pada saat ini. Ternyata untuk mencapai hal tersebut kita memerlukan waktu hampir satu generasi. Pada waktu itu mulai timbul kesadaran bahwa dengan mengendalikan jumlah penduduk, maka sumber-sumber terbatas yang kita miliki bisa dipergunakan untuk melaksanakan hal-hal yang lain di luar keperluan untuk mengurus penduduk, seperti yang secara historis kita lihat di negara-negara yang telah lebih dahulu berkembang seperti di Inggris dan di Eropa. Laju pertumbuhan penduduk di kawasan kelompok negara berkembang secara rata-rata lebih cepat dari negara di kawasan Eropa Barat pada saat mereka melakukan gerakan awal untuk pembangunan ekonomi yang berlandaskan industrialisasi. Pada waktu itu, PBB merasa, hal pertama yang harus dilakukan adalah pengendalian penduduk. Selanjutnya adalah pangan, maka hasilnya adalah green revolution. Jadi sustainability juga harus dilihat dari kemampuan suatu negara untuk meningkatkan produksi pangan yang mampu mengimbangi kecepatan laju pertumbuhan penduduk. Baru sesudah dua hal itu, kemudian kami melihat – walaupun pertumbuhan penduduk sudah direm – tetap saja laju pertumbuhan akan menimbulkan persoalan lain misalnya environmental atau lingkungan.

Persoalan lain seperti apa kira-kira, pak?

(3)

penduduk tadi. Toh, pada akhirnya, penduduk memerlukan pangan. Dan semakin modern suatu negara, kebutuhannya bukan hanya karbohidrat, tapi juga protein. Artinya kita perlu air lagi.

Jadi peternakan itu sama seperti perkebunan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan, seperti kelapa sawit untuk minyak goreng. Karena semuanya memerlukan air, maka akhirnya air muncul di tiga bidang persoalan. Pertama adalah untuk penduduk, yang di undang- undang kita hal itu diutamakan. Yang ke dua adalah untuk pertanian. Ke tiga, untuk perkotaan dan perindustrian di sektor modern. Terlihatlah jika hal ini menyangkut tata ruang. Akibat pembukaan lahan dan sebagainya, watershed mengalami kerusakan, begitu pula daerah-daerah resapan hujan dari hilir sampai hulu. Inilah yang mengancam keberlanjutan. Kembali ke perkataan saya di awal, kalau tidak disertai pengereman laju pertumbuhan penduduk, peningkatan produktivitas pertanian lewat green revolution dengan hasil ton-tonan per hektar itu memang peningkatan yang signifikan. Pencapaian Orde Baru ada di dua hal itu. Yang pertama adalah KB dan yang ke dua adalah swasembada pangan. Tapi akhirnya semua terkendala masalah air dan air itu akhirnya menyangkut tata ruang. Jadi kita lihat perkembangannya di Jawa saja. Carrying capacity wilayah Pulau Jawa ini semakin lama semakin menurun, dan saya perhatikan makin kritis. Terlihat antara lain dari hilangnya (mungkin hampir) satu juta hektar atau lebih di Pantura dan tanah- tanah irigasi kelas satu yang sebagian pembangunannya didanai dengan pinjaman uang dari World Bank dan ADB. Lahan-lahan itu sekarang dilanda perluasan kota, kawasan industri, jalan tol, dan sebagainya. Jadi kalau Anda perhatikan, masalah carrying capacity di Jawa itu sudah sangat akut karena di hulu hutan ditebangi. Orang makin jauh bertanam ke daerah atas. Jadi di sekitar Jawa Barat bagian Selatan, kebon kubis dan sebagainya telah merambah ke atas gunung sehingga hutan pinus yang dulu ada di sana pun habis. Jadi akhirnya datanglah masalah tata ruang ini. Tapi itu merupakan pertemuan dari berbagai faktor yang saya bicarakan tadi.

Permasalahan lahan kritis, apa penyebab utamanya dan apa yang seharusnya dilakukan?

(4)

Jawa. Hal lain yang juga kurang diperhatikan ialah petani Jawa yang biasa bekerja di lahan pertanian, yang sekarang ini makin menghilang. Para petani itu merupakan tenaga kerja yang paling paham di dalam segala hal yang terkait dengan pertanian. Mereka bisa bekerja di perkebunan, perikanan darat, peternakan sampai tanaman pekarangan, gabah bahkan sampai membuat anyaman-anyaman. Sekarang kita sudah mulai kehilangan generasi petani yang serba bisa ini. Saya lihat hingga sekarang ini, usaha membuka lahan-lahan baru di luar Jawa tidak serius pelaksanaannya, dan memang tidak mudah. Karena bagaimana kita bisa membuka lahan, meskipun tata ruangnya mengijinkan, jika tidak didukung Infrastruktur jalan. Tanpa infrastruktur jalan kita tidak bisa membuat infrastruktur lainnya seperti irigasi. Yang menyebabkan pembangunan irigasi di Jawa relatif cepat antara lain adalah karena secara historis satu-satunya kerajaan di Indonesia yang membangun jalan raya adalah Mataram.

Sedangkan yang lainnya merupakan kerajaan pantai. Buktinya Sultan Agung bisa menyerbu Batavia dua kali. Tidak mungkin beliau membawa ratusan ribu tentara dari Jawa Tengah maupun Jogja dan daerah di antaranya tanpa keberadaan jalan. Kita juga tahu jika sawah-sawah di sepanjang koridor dari Jogja sampai ke Batavia, yang melewati Karawang, dibuka oleh Sultan Agung. Dapat dipastikan tanpa jalan tak mungkin ada irigasi, karena untuk membuka lahan kita harus memakai alat besar. Untuk mudahnya, kita bisa menghitung dari “berapa panjang jalan raya per seratus kilometer persegi”. Kalau di Jawa mungkin sudah sekitar 20-30 kilometer per seratus kilometer persegi, termasuk selatan Jawa. Tetapi kalau di Papua atau Kalimantan mungkin cuma sekitar 10 kilometer per seratus kilometer persegi saja sudah bagus. Sehingga dapat dimengerti bagaimana sulitnya membuka lahan pertanian di wilayah itu. Di luar Jawa, diperlukan pembangunan irigasi yang lebih maju daripada di Jawa yang relatif subur karena tanahnya tanah vulkanik. Jadi seyogyanya tata ruang itu tidak hanya melihat data geografi saja, tapi juga harus melihat geomorfologi atau geofisikanya. Makanya tiap kali melihat laporan pembukaan sistem irigasi zaman Belanda, selain mempelajari water level, juga ada penelitian soal mekanik, geomorfologi maupun geofisika. Saya mengetahui hal ini karena ayah saya pernah menjadi Kepala PU di Banten dan saya mengikuti ayah pada ada saat membuka sawah- sawah di Banten Selatan

Menurut Bapak, adakah hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk menjaga keberlanjutan?

(5)

pada pembangunan institusi tadi itu. Maka organisasi itu sangat penting. Ke tiga, political resources. Apa kita bisa menghimbau rakyat? Kalau bisa berarti Anda tidak perlu insentif. Apa pada zaman sekarang Anda bisa melakukan non-price insentif? Saya rasa agak sulit.

Lebih konkritnya pak?

Jadi sebenarnya, ketiga unsur ini adalah tiga dimensi dan setiap upaya untuk mengatur tata ruang memerlukan waktu yang lama. Dalam ilmu ekonomi kita tahu kalau segalanya mengikuti rumus bunga kumulatif. Pertumbuhannya merupakan suatu garis seperti huruf ‘S’. Tidak ada yang melonjak-lonjak lewat garis lurus. Di dalam ilmu ekonomi tidak ada garis linier. Semua itu dimulai dengan lambat dulu baru kemudian ada semacam akselerasi. Apabila sudah cocok dari ketiga resources itu, maka akhirnya pasti akan melambat kembali. Perlambatan itu memang bisa terjadi karena organisasinya sudah sampai ke batas kemampuan atau memang lahan sudah tidak ada. Sehingga harus pindah dari yang boros penggunaan lahan ke kegiatan yang semakin intensif penggunaan lahannya. Dulu, pada 1800, penduduk Jawa masih jarang, sehingga dalam keadaan semacam itu kita bisa meramalkan kenaikan produksi pangan hanya sekadar dengan menambah areal. Sekarang hampir tidak mungkin karena tanah harus digunakan sepanjang tahun. Akan tetapi air yang menjadi persoalan. Jadi pertumbuhan institusi itu tidak garis lurus, tidak linier, tapi merupakan sebuah huruf ‘S’ tadi. Ada lead time- nya, ada ketika akselerasi dan ada perlambatannya. Saya khawatir tata ruang kalau tidak dapat diselesaikan dalam lima tahun, akhirnya tidak bisa sama sekali. Apalagi daerah-daerah yang dulunya hanya kecamatan tapi sekarang menjadi kabupaten karena pemekaran. Kemampuan organisasinya, khan, tidak ada. Meskipun diberikan dana dari Jakarta lewat DAU/DAK atau dana otonomi khusus seperti Papua dan Aceh, tetap kemampuan organisasinya tidak ada. Apalagi seperti Papua. Kecamatan saja belum ‘jalan’, karena mereka masih merupakan suku-suku sehingga tidak mudah. Ada kasus yang bagus sekali yang namanya nagari di Minangkabau, Sumatera Barat. Sayangnya apa yang terjadi pada sistem sentralisasi, dengan segala eksesnya waktu Orde Baru, beserta prakarsa yang sering muncul di nagari itu kemudian mati. Karena mereka kemudian merasa, buat apa? Menggantungkan diri saja ke APBN dari pusat. Jadi kemampuan organisasi itu bisa berubah-ubah. Kita inginnya bertambah kuat. Tapi di tengah jalan karena perubahan-perubahan sistem pemerintahan, malah terjadi kemerosotan bukan peningkatan. Kelemahannya sebenarnya ada di organization capacity.

Bagaimana pendapat bapak, apakah tata ruang bisa menjadi solusi?

(6)

sangat bagus pada program KB maupun, BIMAS, INMAS – sekarang semakin minim. Karena masyarakat tidak lagi bisa dihimbau, jadi tidak berhasil dengan non-price insentive. Hampir semua membicarakan insentif dalam bentuk financial resources. Mungkin karena zamannya sudah berubah.

Jadi menurut Bapak, itu hanya formalitas saja?

Ya, makanya sekarang banyak yang lari ke public private partnership misalnya. Karena yang punya uang dan kapasitas berorganisasi itu kebanyakan swasta. Jadi jangan kaget kalau ada rencana mau membuka sekitar puluhan ribu hektar sawah di Merauke misalnya. Atau tentang pengurusan air yang tidak lagi oleh PDAM sendiri tapi juga ditemani oleh swasta. Bahkan sekarang sudah mulai banyak PDAM yang dilelangkan dengan mengikutsertakan swasta sebagai investornya. Jadi ke depannya, tata ruang akan diurus oleh mereka yang memiliki kapasitas organisasi yang tidak lagi non-price.

Artinya, pak?

Terpaksa Anda berbicara mengenai tarif, atau return on investment. Banyak yang protes karena yang akan terjadi adalah komersialisasi air. Jadi mengalirkan air ke sawah atau ke kebun sekarang ada harganya. Air bukan lagi sumber daya alam yang bebas seperti dulu. Apalagi dengan harga beras yang terus naik. Dan sebagai catatan, hari-hari ini kita melihat bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, harga beras lebih mahal dari harga bensin premium. Jadi bagaimana tidak terjadi kompetisi di dalam penggunaan lahan? Maka semua menuntut karena lahan hanya bisa dipakai kalau air dapat dituntut sesuai dengan kebutuhannya. Dan hal itu menjadi persoalan karena air yang dipakai untuk taman bunga (cut flower/ buah) misalnya, tidak sama dengan padi dan kebutuhan lainnya.

Menurut Bapak, adakah solusi alternatif untuk hal-hal tersebut ?

(7)

perbankan, kadang-kadang berupa surat obligasi negara. Ketika orang memerlukan uangnya, misalkan untuk membuat pabrik, pemerintah kemudian memberikan matching fund sesuai kebutuhannya. Jadi dia dipaksa menjadi industrialis. Karena itulah industri kecil banyak muncul di Korea dan Taiwan, sehingga pertanian dan industri (industri kecil) sama-sama maju. Di Indonesia, tanah adalah komoditas bukan alat produksi. Seharusnya tanah dipaksa menjadi alat produksi. Kita lihat tanah banyak dipakai sebagai bahan spekulasi. Mungkin puluhan ribu hektar dibiarkan saja menunggu harganya naik, tapi selama itu tidak dipakai. Jadi sebetulnya pajak dan subsidi di sektor pertanian, kalau dilakukan secara baik lewat perhitungan yang baik, dengan sendirinya akan menimbulkan tata ruang yang teratur. Kenapa? Karena dikelola oleh mereka yang benar- benar mempunyai kepentingan untuk mengelola tanah itu secara produktif dan itu adalah petani. Sehingga terjadi komersialisasi untuk keuntungan petani, bukan komersialisasi yang dikuasai sistem distribusi oleh pedagang monopoli.

(8)

adalah watershed, dan mereka membangun deposit air di dalam tanah dari beton (cistern). Di Jakarta kita punya di Tanjung Priok yang dibuat oleh Belanda.

Menurut Bapak, bagaimana keadaan kota-kota di Indonesia sekarang ini?

Saya tidak tahu berapa lama sustainability kota-kota di Indonesia tanpa air. Sekarang mulai terlihat, orang-orang yang di hulu semakin sadar bahwa daerah perkotaan mempunyai kebutuhan air yang semakin meningkat, dan air yang mereka kirim itu dilihat dari patokan harga sebotol air mineral. Ini, khan terlalu murah. Saya mengantisipasi bahwa kota-kota atau kabupaten- kabupaten yang di hulu itu akan memasang tarif air yang dikirim ke Jakarta untuk ledeng sesuai dengan harga komersial yang tadi atas dasar kelangkaan. Bisa kita bayangkan berapa harganya nanti di Jakarta? Karena pendapatan mereka dari situ. Jadi kota- kota atau kabupaten-kabupaten yang di hulu, suatu hari akan betul-betul memanfaatkan ketergantungan kota terhadap air, dengan mempenalti kota dengan harga komersial. Jadi untuk ke depan dengan otonomi daerah dan pemekaran kabupaten ini, daerah-daerah yang berada di hulu sumber air itu tidak akan lagi melepas air semurah seperti sekarang ini dan akan menuju kepada harga kelangkaannya. Maka seharusnya kota- kota sadar. Seperti kota-kota di Amerika mempunyai reservoir penampungan air hujan sebagai tempat persediaan air. Jakarta harusnya bisa mempunyai tempat penampungan-penampungan air hujan (embung) seperti itu. Di kota kita, yang terjadi justru sebaliknya. Situ- situ yang harusnya diperluas malah ditimbun. Jadi sustainability kota sangat tergantung kepada manajemen tata ruang. Antara lain karena tanpa air tidak ada peradaban manusia yang namanya kota. Itu kenapa banyak kota yang dibangun di pinggir sungai. Jadi kalau saya lihat ke depan, komersialisasi tu sudah tidak bisa dihentikan. Karena semakin air susah dicari, akan terjadi komersialisasi di situ. Salah satu contoh adalah Kepulauan Riau dengan teluk-teluk kecil (cove) di setiap pulaunya. Di teluk itu bisa dibuat DAM, kemudian air lautnya dikeluarkan, tapi bukit yang di belakangnya tidak boleh ditebang. Jadi kalau hujan, air tawar akan masuk ke dalam teluk kecil itu, dan lama-kelamaan akan menjadi estuary reservoir. Di Indonesia banyak sekali kemungkinan seperti itu. Jadi di masa depan, yang akan menjadi persoalan bukan hanya energi. Sekarang kita membuat kota-kota yang berenergi efisien. Misalnya kita tidak perlu lagi terlalu sering menggunakan kendaraan bermotor di dalam kota. Hal ini sudah dilaksanakan di Hongkong dan Singapura, dimana gedung- gedung disambung dengan jembatan- jembatan yang tertutup dan ber-AC. Coba lihat di Jakarta. Sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman malah memecah Jakarta menjadi dua.

(9)

imajinasi itu lebih mahal dari knowledge. Yang paling mahal di dunia itu imajinasi, seperti membuat jembatan penghubung antar gedung tadi. Sebenarnya kita tahu permasalahannya tapi yang mati adalah imajinasinya. Saya khawatir kalau begini terus maka kota-kota yang ada di Indonesia menjadi unliveable, bukan hanya un- sustainable: semakin tidak nyaman sebagai tempat kerja atau tempat tinggal. Sudah ada kota-kota di dunia yang unliveable, contohnya (hampir saja) Bangkok. Sekarang sudah bagus ada subway dan monorel di sana. Manila juga. Kalau diperhatikan Jakarta mirip Manila, tapi saya masih lebih senang di Jakarta. Mexico city, Buenos Aires juga tidak ada penghubung. Jalan rayanya bisa mencapai delapan sampai 10 lane, tapi akibatnya kota itu pecah. Yang liveable banyak yang kita contoh, misalnya Bogota. Busway-nya kita contoh.

Menurut Bapak bagaimana keterkaitan sustainability dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025?

Pembangunan yang direncanakan tanpa peduli terhadap perkembangan yang sungguh-sungguh terjadi di masyarakat tidak akan bisa kelar dan terwujud dalam 20 tahun. Hal ini dikarenakan masyarakat mempunyai dinamismenya sendiri. Saya khawatir, perencanaan yang dibuat tidak didasarkan pada kenyataan, dan ini banyak terjadi saat ini. Jadi sebetulnya konsep membangun yang paling bagus itu, meskipun idenya koridor tapi harus tetap mengikuti apa yang berkembang di lapangan dan masyarakat. Bukan memaksakan ide baru di atasnya. Kalau membangun di atas wilayah yang tidak ada apa-apa akan susah. Sebaiknya harus tetap ada jangkarnya. Contohnya jembatan Balerang yang dibuat sebagai sebagai penghubung dari Batam ke Rempang dan Galang. Hingga hari ini, khan, tidak terjadi apa-apa di sana. Demikian juga Lapangan terbang Hang Nadim. Walaupun landasannya paling panjang di Indonesia, tetap saja tidak bisa menyaingi Changi. Bahkan kalau kita mau ke Singapura tetap saja naik ferry. Jadi keberadaan lapangan terbang itu mubazir.

Akan tetapi konsep koridor ekonomi itu, khan, membangun daerah yang sudah berkembang yang diharapkan menjadi pendorong pertumbuhan wilayah sekitarnya?

(10)

yang benar-benar sudah menunjukkan potensi. Kalau dibuat di daerah yang belum ada apa- apa, akan sia-sia seperti yang kita sudah lihat Barelang contohnya.

Harapan Bapak ke depan tentang pembangunan wilayah dan perkotaan di Indonesia?

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Analisis regresi adalah studi mengenai hubungan antara variabel terikat (variabel dependent, Respon, Y) pada satu atau lebih variabel bebas (variabel independent, pediktor,

Indomobil Sukses Internasional Tbk Lampiran 8: Model ARMA Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Lampiran 9: Correlogram ARMA. Lampiran 10:

Laporan Praktek Kerja Lapangan ini dapat terselesaikan dengan banyaknya berbagai dukungan, bantuan serta doa dari berbagai pihak sehingga saya ingin mengucapkan

Menurut FASB, kewajiban dalam rerangka konseptual adalah (SFAC No. 35) : Menurut FASB, kewajiban dalam rerangka konseptual adalah (SFAC No. 35) : kewajiban adalah pengorbanan

pelaksanaannya terdapat beberapa perubahan, diantaranya perubahan kelas dalam mengajar dikarenakan status guru yang bersangkutan. Keterbatasan ini menyebabkan praktikan

Badan Kepegawaian Daerah Kota Mataram yang mempunyai tugas pokok membantu Walikota dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang kepegawaian

Menurut Puntodewo (2003), yang dikutip oleh Kusumadewi (2009), data yang akan diolah dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) terdiri atas dua bentuk yaitu data

Bersama-sama dengan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Sekretaris Komisi merumuskan bahan penetapan kebijakan teknis penaggulangan HIV-AIDS dalam manifestasi pelaksanaan