SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
guna Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Oleh:
DIAN AYU NOVIANTY NIM 10417141028
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL
v
“barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan berhasil”
“
Besarnya sukses anda ditentukan oleh seberapa kuat keinginan anda;
ditentukan oleh seberapa besar mimpi anda; dan ditentukan oleh
kecakapan anda dalam mengatasi kekecewaan yang
anda alami” (Robert T.
Kiyosaki)
“
Dia yang tidak pernah melakukan kesalahan, maka dia tidak pernah
mencoba sesuatu yang baru” (Albert Einstein)
vi
karya ini saya persembahkan untuk:
“Bapak dan Ibuku tercinta”
vii Oleh:
Dian Ayu Novianty NIM 10417141028
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga serta untuk mengetahui hambatan dan upaya mengatasi hambatan dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga.
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Subyek penelitian meliputi instansi yang menjadi pelaksana kebijakan pengadaan tanah kota Salatiga serta masyarakat pemegang hak tanah di kecamatan Sidorejo dan Tingkir. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur, observasi, dan dokumentasi. Teknik triangulasi sumber digunakan untuk mengecek keabsahan data penelitian. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan pengadaan tanah berjalan lancar, pemegang hak tanah bersedia mengikuti prosedur yang ada. Dibalik kelancaran implementasi pengadaan tanah ini juga muncul kendala pada proses musyawarah yang susah mencapai mufakat. Persoalan tersebut menyebabkan proses pelaksanaan pembebasan lahan menjadi tertunda. Faktor pendukung implementasi kebijakan pengadaan tanah menurut Edward III yaitu sumber daya manusia maupun sumber daya anggaran serta kewenangan yang memadai, adanya sikap dukungan positif implementor kebijakan dan efisiensi birokrasi. Faktor penghambat implementasi kebijakan pengadaan tanah yaitu komunikasi yang tidak dilakukan secara rutin sumber daya peralatan yang masih terbatas.
viii
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pengadaan Tanah dalam Pembangunan Tol Semarang-Solo (ruas jalan Bawen-Salatiga) tanpa halangan yang berarti.
Kota Salatiga merupakan salah satu akses penghubung kota-kota besar disekitarnya seperti kota Semarang dan Solo. Oleh sebab itu, kota Salatiga menjadi salah satu kota yang akan dilaksanakan proyek pembangunan tol Trans Jawa di Pulau Jawa. Dalam pembangunan jalan tol Semarang-Solo maka perlu diadakan pembebasan lahan sebagai sarana pembangunan jalan tol tersebut. Alasan peneliti mengambil penelitian tersebut ialah karena peneliti tertarik akan persoalan mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo. Kota Salatiga yang wilayahnya sebagian besar masih berupa persawahan menyebabkan berbagai permasalahan dalam hal pembebasan lahan. Namun pada kenyataannya, proses pembebasan lahan di kota Salatiga tidak banyak menimbulkan persoalan yang berarti. Masyarakat kota Salatiga yang sebagian besar masih bergantung pada lahan mereka dengan besar hati merelakan tanah mereka diambil alih pemerintah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo. Dengan demikian, proses pelaksanaan pengadaan tanah di kota Salatiga dalam rangka pembangunan tol Semarang-Solo diharapkan bisa terlaksana dengan baik sesuai tujuan yang hendak dicapai yaitu memenuhi kebutuhan fasilitas umum bagi masyarakat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat cepat selesai berkat bantuan serta dorongan bagi berbagai pihak, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A., Rektor Universitas Negeri Yogyakarta.
ix
5. Ibu Sugi Rahayu M. Pd, M. Si, Penguji Utama Skripsi yang telah mengarahkan dan memberikan ilmunya untuk menyempurnakan skripsi ini menjadi lebih baik.
6. Bapak Argo Pambudi, M. Si, Sekretaris Penguji Skripsi dan Dosen Pembimbing yang selalu dengan sabar dan bijaksana membimbing penulis selama penyusunan skripsi ini.
7. Seluruh dosen jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial UNY yang telah menambah ilmu dan wawasan penulis.
8. Bapak Yuwantoro, S.sos selaku Kasubsi Pengaturan Tanah Pemerintah Kantor Pertanahan Kota Salatiga, Ibu Dra. Tatik Rusmiati, M.Kes selaku Kepala Tata Pemerintahan Kota Salatiga, Bapak Cansio Xavier selaku Staf Kantor Tata Pemerintahan Kota Salatiga, Bapak Heru Budi Prasetyo, SH sebagai Kepala Tim Pengadaan Tanah ruas Bawen-Salatiga, Bapak Sutikno, A.Md Sekretaris Tim Pengadaan Tanah ruas Bawen-Salatiga serta Bapak Pri, Bapak Reno dan Ibu Lita selaku staf kantor Tim Pengadaan Tanah yang telah banyak membantu penulis dan meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau dengan memberikan data-data sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
9. Lurah dan segenap masyarakat Kelurahan Bugel, Kauman Kidul, Kutowinangun dan Tingkir Tengah yang telah membantu penulis dan meluangkan waktu untuk memberikan informasinya. Bapak Drs. Noegroho Agoes S dan Bapak Okto Risang Bambang P, SH, MT.
10.Bapak dan Ibu tercinta atas doa, dukungan dan bimbingan yang tiada henti selalu menyertai perjalanan hidup penulis, semoga tulisan ini menjadi awal untuk membahagiakan bapak ibu.
11.Mbah putri yang selalu memberikan doa yang terbaik.
x
dari awal kuliah hingga terselesainya skripsi ini.
15.Teman-teman terdekatku selama kuliah Febri, Rima, Okta, Erlin, Irma, Sekar, Gilang, Latif, Rosid dan Mas Pur. Terimakasih atas persahabatan kalian selama ini. Semua teman-teman AN yang tidak bisa disebut satu persatu. Terimakasih banyak.
16.Sahabatku Pandu Kusumadewi dan Rya Amalia terimakasih untuk semangat dari kalian.
17.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih banyak atas bantuan yang diberikan selama ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik sangat penulis harapkan.
Yogyakarta, 19 Mei 2014 Penulis
xi
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Pembatasan Masalah ... 7
D. Rumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 7
F. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori ... 10
1. Kebijakan Publik ... 10
a. Proses Kebijakan Publik... 12
2. Implementasi Kebijakan Publik ... 15
a. Faktor Pendukung dan Penghambat ... 17
3. Kebijakan Pengadaan Tanah ... 28
a. Faktor Kelancaran Pengadaan Tanah ... 30
b. Prosedur/Tahap Pengadaan tanah... 34
4. Ketentuan Hukum yang Mengatur Pengadaan Tanah ... 37
B. Penelitian Relevan ... 39
C. Kerangka Berfikir... 39
D. Pertanyaan Penelitian ... 41
xii
E. Jenis dan Sumber Data ... 45
F. Teknik Pengumpulan Data ... 47
G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 49
H. Teknik Analisis Data ... 51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 55
1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 55
2. Deskripsi Data Penelitian ... 57
a. Lahan yang Dibebaskan ... 57
b. Tata Cara / Tahapan Pengadaan Tanah ... 58
c. Badan Khusus Pelaksanaan Pengadaan Tanah ... 64
d. Implementasi Kebijakan Pengadaan Tanah ... 69
1) Sosialisasi ... 69
2) Inventarisasi ... 73
3) Musyawarah dan Ganti Rugi ... 76
3. Hambatan Pengadaan Tanah dan Upaya Penyelesaiaannya ... 91
4. Faktor Pendukung dan Penghambat ... 95
a. Komunikasi ... 95
b. Sumber Daya ... 101
c. Disposisi ... 107
d. Struktur Birokrasi ... 109
B. Pembahasan ... 110
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 118
B. Implikasi ... 121
xiv
xv
xvi
1. Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelakanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelakanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
2. Keputusan Gubernur Jateng No. 620/52 tahun 2012
3. Keputusan Gubernur Jateng No. 620/1/2012 tentang Perpanjangan Persetujuan Penetapan Lokasi Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa di Provinsi Jawa Tengah
4. Keputusan Walikota Salatiga No. 590-05/341/2012 tentang Panitia Pengadaan Tanah
5. Keputusan Sekda kota Salatiga No.590-05/54/2012 tentang Satuan Tugas Pengadaan Tanah
Dian Ayu Novianty NIM 10417141028
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga serta untuk mengetahui hambatan dan upaya mengatasi hambatan dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga.
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Subyek penelitian meliputi instansi yang menjadi pelaksana kebijakan pengadaan tanah kota Salatiga serta masyarakat pemegang hak tanah di kecamatan Sidorejo dan Tingkir. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur, observasi, dan dokumentasi. Teknik triangulasi sumber digunakan untuk mengecek keabsahan data penelitian. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan pengadaan tanah berjalan lancar, pemegang hak tanah bersedia mengikuti prosedur yang ada. Dibalik kelancaran implementasi pengadaan tanah ini juga muncul kendala pada proses musyawarah yang susah mencapai mufakat. Persoalan tersebut menyebabkan proses pelaksanaan pembebasan lahan menjadi tertunda. Faktor pendukung implementasi kebijakan pengadaan tanah menurut Edward III yaitu sumber daya manusia maupun sumber daya anggaran serta kewenangan yang memadai, adanya sikap dukungan positif implementor kebijakan dan efisiensi birokrasi. Faktor penghambat implementasi kebijakan pengadaan tanah yaitu komunikasi yang tidak dilakukan secara rutin sumber daya peralatan yang masih terbatas.
1 A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan upaya manusia dalam mengolah dan
memanfaatkan sumber daya yang dipergunakan bagi pemenuhan kebutuhan
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat umum. Penduduk yang semakin
bertambah dengan tingkat kemakmuran semakin membaik, tentunya
membutuhkan fasilitas umum sebagai penunjang kehidupannya.
Pembangunan terutama untuk fasilitas umum, pastinya memerlukan
tanah sebagai sarananya. Tanah yang luas akan mempermudah dalam
pembangunan fasilitas umum. Tanah merupakan salah satu sumber daya alam
yang penting untuk kelangsungan hidup manusia. Namun persoalannya tanah
merupakan sumber daya alam yang terbatas dan saat ini semakin terus
berkurang. Tanah sudah banyak yang menjadi hak milik seseorang (swasta)
dan tanah milik negara pun saat ini sudah sangat terbatas.
Masalah tanah erat sekali hubungannya dengan manusia sebagai
pemenuhan kebutuhannya demi kelangsungan hidupnya. Bagi masyarakat
Indonesia hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya merupakan
hukum yang penting, namun apabila benar-benar diperlukan dapat dilakukan
pencabutan dan pembebasan hak tersebut untuk kepentingan pembangunan.
Soedharyo Soimin ( 2004: 81), mengemukakan bahwa masalah tanah
disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah
kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna kepentingan umum.
Kegiatan ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah dengan mendapat ganti
rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau
fasilitas lain.
Menurut Perpres No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pada saat ini sudah
mulai susah untuk melakukan pembangunan untuk kepentingan umum di atas
tanah negara, dan sebagai jalan keluar yaitu dengan memperoleh tanah-tanah
hak. Kegiatan “mengambil” tanah inilah disebut dengan “Pengadaan Tanah”.
Pengadaan tanah dapat dikatakan merupakan salah satu kebijakan
pemerintah guna mendukung keberlangsungan pembangunan.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dikeluarkan dalam bentuk
peraturan-peraturan yang telah memiliki dasar hukum yang jelas dan diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah digariskan dan memecahkan
permasalahan-permasalahan yang muncul di masyarakat.
Pembangunan untuk memenuhi kepentingan umum dalam realitasnya
diwujudkan dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang dalam
pelaksanaannya menuntut tersedianya lahan/tanah yang memadai sehingga
pembangunan dapat dilakukan dengan baik dan lancar, dan karena bertujuan
untuk kepentingan umum, maka hasil-hasil pembangunan yang dilaksanakan
oleh pemerintah ini tetap harus berorientasi pada hakikat ideal dari
infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah di atas tanah milik rakyat ini
harus mampu memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas dan adanya
akses masyarakat akan pemanfaatan program-program pembangunan, tidak
hanya kepada kepentingan dan manfaat sebagian kelompok atau kepentingan
pemerintah saja.
Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di
dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan
pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti
bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas. Cara yang dapat
ditempuh untuk mendapatkan tanah adalah dengan membebaskan tanah milik
masyarakat, baik yang telah di kuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat
maupun hak-hak lainnya menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
Penulis mengambil studi di Kota Salatiga khususnya di Kecamatan
Sidorejo dan Kecamatan Tingkir, yang menjadi sasaran pembangunan Jalan
Tol Semarang-Solo karena banyak terdapat areal persawahan yang sangat
subur dan menjadi mata pencaharian utama masyarakat sekitar. Adanya
rencana pembebasan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo,
membuat resah para pemilik lahan. Sebagai warga negara Indonesia yang baik
harus mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi, hal
ini dinyatakan dengan kerelaan untuk mengorbankan tanah mereka untuk
Purwokerto
OPERASI SEBELUM INFRASTRUCTURE SUMMIT 2005 OPERASI SETELAH INFRASTRUCTURE SUMMIT 2005 KONSTRUKSI JARINGAN JALAN TOL DI P. JAWA
Gambar 1: Peta Jaringan Tol Semarang-Solo
Pemerintah wajib mengindahkan asas peran-serta masyarakat
sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dalam rangka pengadaan tanah untuk memenuhi kebutuhan
perubahan sosial ke arah yang lebih positif. Musyawarah atau perundingan
harus dilakukan secara terbuka antarpara warga masyarakat dengan
pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab memfasilitasi lahirnya fasilitas
institusi independen bagi musyawarah tersebut. Di sini pemerintah
memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih apakah akan diambil-alih
atau tidak hak milik tanahnya, dan memberikan akses yang luas kepada
masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan tanah.
Proses pembebasan lahan untuk pembangunan yang dilakukan tim
Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Pemerintah Kota dan Kabupaten, sering
menimbulkan sengketa yang berbuntut pada persoalan hukum. Beberapa kasus
ketidaklengkapan dokumen. Jika konflik tanah ini sampai menjadi sengketa di
antara para pihak terkait, maka penyelesaiannya menjadi sulit.
Secara umum, peraturan yang merupakan pengganti dari Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia
(BPNRI) Nomor 1 Tahun 1994 tersebut sudah memuat masalah pertanahan
secara rinci dan detail. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia
(BPNRI) ini merupakan peraturan operasional dari Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang telah diubah menjadi Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2006. Diakuinya, kesulitan yang sering
dihadapi oleh tim P2T Pemerintah Kota/Kabupaten adalah adanya perbedaan
harga pasar dan harga yang telah ditetapkan dalam nilai jual objek pajak
(NJOP). Dalam berbagai kasus, sering terjadi harga tanah merupakan hasil
musyawarah antara tim Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dan pemilik tanah yang
meminta harga lebih tinggi dari nilai jual objek pajak (NJOP). Padahal, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai otoritas pemeriksaan, akan menganggap
sebagai temuan indikasi korupsi, jika harga tanah yang disepakati dalam
musyawarah jauh di atas nilai jual objek pajak (NJOP).
Pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan
peran dan fungsi tanah dalam kehidupan manusia serta prinsip penghormatan
terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian pengadaan tanah
ditempuh dengan jalan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas
tanah.
Dalam hal ini, salah satu contoh ialah kasus yang terjadi di Kota Salatiga
sebagai lokasi penelitian. Daerah tersebut merupakan wilayah yang dilakukan
pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan
Bawen-Salatiga sebagai sarana umum. Peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian di wilayah tersebut karena lokasi tersebut merupakan daerah yang
masih berupa lahan persawahan yang luas yang akan dibangun jalan tol, selain
itu kota Salatiga merupakan jalur penghubung kota-kota besar sekitarnya
seperti Semarang-Solo sehingga akan terjadi proses pembebasan lahan.
Pembangunan tersebut dilatarbelakangi oleh kebutuhan masyarakat akan
transportasi yang mudah dan cepat, serta bertujun untuk meningkatkan
perekonomian bagi masyarakat sekitar jalan tol. Dengan adanya kegiatan
pelaksanaan pembebasan lahan di daerah tersebut, maka penulis ingin
mengadakan penelitian dengan judul : “Implementasi Kebijakan Pengadaan
Tanah dalam Pembangunan Tol Semarang-Solo (Ruas Jalan Bawen-Salatiga)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diidentifikasikan beberapa
masalah, yakni :
1. Terbatasnya lahan Negara sehingga dilakukan pengadaan tanah guna
melaksanakan pembangunan.
2. Besarnya ganti rugi dalam pengadaan tanah di sekitar Jalan Tol Kota
3. Susahnya mencapai mufakat antara pemilik hak tanah dengan petugas
Panitia Pengadaan Tanah dalam menetapkan besarnya ganti rugi.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, terdapat beberapa masalah yang
bisa diteliti. Namun peneliti membatasi dalam melakukan penelitian karena
beberapa keterbatasan. Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian mengenai
proses pelaksanaan pengadaan tanah, serta hambatan dan upaya dalam
pengadaan tanah dalam rangka pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo kota
Salatiga. Penelitian dilakukan di wilayah kota Salatiga pada bulan Januari 2014
– April 2014.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian batasan masalah diatas, maka rumusan masalah yang
diajukan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan
Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan
pengadaan tanah dan bagaimana upaya mengatasi hambatan tersebut?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan, maka peneltian ini
bertujuan :
1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk
2. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan
upaya mengatasi hambatan pelaksanaan pengadaan tanah untuk
pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai pengadaan tanah dalam pembangunan kepentingan
umum ini diharapkan memberikan gambaran yang jelas dan bermanfaat bila
dilihat dari teoritis maupun praktis, yakni:
1. Manfaat secara teoritis
Agar dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi ilmu pengetahuan
khususnya Ilmu Administrasi Negara yang berkaitan dengan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum sesuai dengan prinsip penggunaan tanah.
2. Manfaat secara praktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini sebagai persyaratan tugas akhir dan dengan penelitian
ini, peneliti dapat menerapkan ilmu-ilmu yang sudah dipelajari
sebelumnya kedalam suatu permasalahan yang nyata sehingga
bermanfaat bagi peneliti dalam mengembangkan wawasan.
b. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan maupun koreksi bagi
pemerintah daerah, agar mampu melaksanakan kebijakan pengadaan
tanah sesuai dengan ketentuan/ kebijakan yang ada.
Agar dapat memberikan gambaran dan informasi kepada masyarakat
tentang pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam
10
Kajian pustaka akan menjadi petunjuk bagi penulis dalam menganalisis
permasalahan penelitian untuk membantu dan merumuskan dan diharapkan
dalam pembahasan akan memudahkan membuat uraian dan pemecahan
permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kajian pustaka juga
diperlukan bagi penelitian ini, sehingga arah, tujuan dan konsep penelitian ini
menjadi jelas. Penulis menggunakan kajian pustaka sebagai berikut :
A. Diskripsi Teori
1. Kebijakan Publik
Istilah kebijakan dalam bahasa Inggris “policy” yang dibedakan dari kata wisdom yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Kebijakan merupakan pernyataan umum perilaku daripada organisasi. Menurut
pendapat Alfonsus Sirait dalam bukunya Manajemen mendefinisikan kebijakan, sebagai berikut: “Kebijakan merupakan garis pedoman untuk
pengambilan keputusan” (Sirait, 1991:115). Kebijakan merupakan sesuatu
yang bermanfaat dan juga merupakan penyederhanaan system yang dapat
membantu dan mengurangi masalah-masalah dan serangkaian tindakan
untuk memecahkan masalah tertentu, oleh sebab itu suatu kebijakan
dianggap sangat penting.
William N. Dunn menyebut istilah kebijakan publik dalam
berikut: “Kebijakan Publik (Public Policy) adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung,
termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh
badan atau kantor pemerintah” (Dunn, 2003:132).
Kebijakan publik sesuai apa yang dikemukakan oleh Dunn
mengisyaratkan adanya pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung
satu dengan yang lainnya, dimana didalamnya keputusan-keputusan untuk
melakukan tindakan. Kebijakan publik yang dimaksud dibuat oleh badan
atau kantor pemerintah. Suatu kebijakan apabila telah dibuat, maka harus
diimplementasikan untuk dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang
memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia, serta dievaluasikan
agar dapat dijadikan sebagai mekanisme pengawasan terhadap kebijakan
tersebut sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.
Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan kebijakan publik
sebagai tindakan yang diambil pemerintah, antara lain dikemukakan oleh
Riant Nugroho yang merumuskan definisi kebijakan publik secara
sederhana yakni : “Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat negara,
khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara
yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar
masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi,
Leo Agustino dalam bukunya Dasar-Dasar Kebijakan Publik membuat satu kesimpulan dari beberapa karakteristik utama dari suatu
definisi kebijkan publik :
Pertama, kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak. Kedua, kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah-pisah. Ketiga, kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengontrol inflasi. Keempat, kebijakan publik dapat bersifat positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan; secara negatif, kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan. Kelima, kebijakan publik paling tidak secara positif, didasarkan pada hukum dan merupakan tindakan yang bersifat memerintah (2008:6).
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan
bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau
tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu
guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik
untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan. Kebijakan publik
biasanya tertuang dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan
perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat
dan memaksa.
A. Proses Kebijakan Publik
Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas
Aktivitas politik tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Sedangkan
aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.
Hal ini sesuai dengan proses kebijakan publik William N. Dunn
(1994:17) yang dapat kita lihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2: Proses Kebijakan Publik
Penyusunan agenda
Formulasi kebijakan
Adopsi kebijakan
Implementasi kebijakan
Penilaian kebijakan Evaluasi
Monitoring Rekomendasi
Sementara itu dalam pandangan Ripley (dalam Subarsono 2005:11)
tahapan kebijakan publik digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3: Tahapan Kebijakan Publik
Michael Howlet dan M. Ramesh seperti yang dikutip Subarsono
(2005:13-14) menyatakan bahwa proses kebijakan publik terdiri dari lima
tahapan yakni sebagai berikut:
1) Penyusunan agenda(agenda setting), yakni suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah.
3) Pembuatan kebijakan (decicion making), yakni proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak
melakukan suatu tindakan.
4) Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.
5) Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.
2. Implementasi Kebijakan Publik
Program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif
pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh
badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah.
Hersel Nogi S. Tangkilisan mengutip pengertian implementasi menurut
Patton dan Sawicki dalam buku yang berjudul Kebijakan Publik yang Membumi bahwa : ”Implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini
eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan
menerapkan kebijakan yang telah diseleksi” (Dalam Tangkilisan, 2003:9).
Berdasarkan pengertian di atas, implementasi berkaitan dengan
berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana
pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir. Seorang
eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya,
unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta
petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang
dilaksanakan. Dunn mengistilahkan implementasi dengan lebih khusus
dengan menyebutnya implementasi kebijakan (policy implemtation) adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun
waktu tertentu (Dunn, 2003:132).
Budi Winarno dalam bukunya Kebijakan Publik Teori dan Proses (2007:145) mengutip apa yang disampaikan oleh Ripley dan Frangklin
dalam Bureucracy and Policy Implementation (1982:4) yang berpendapat bahwa:
Implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh pejabat pemerintah. Implementasi mencangkup tindakan-tindakan (tanpa tindakan) oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk program berjalan.
Sebuah Implementasi kebijakan merupakan tahapan penting dalam
proses kebijakan publik. Sebuah kebijakan sebagai hasil proses politis
harus diterjemahkan ke dalam kegiatan nyata dan tindakan melalui proses
implementasi agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan.
Setelah melalui tahap formulasi kebijakan, pernyataan kebijakan (policy statement) yang termuat dalam sebuah kebijakan yang diputuskan akan dilaksanakan melalui langkah-langkah konkrit yang disebut implementasi.
Implementasi menurut Van Metter dan Van Horn (1975) (dalam Budi
Implementasi kebijakan dipandang dalam arti yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang, implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.
.
Dari berbagai pandangan para ahli tentang konsep implementasi,
maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu
tahapan yang sangat penting dalam serangkaian proses yang berupa
tindakan-tindakan dari berbagai aktor untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya, dengan adanya aktivitas pencapaian tujuan
sehingga mencapai adanya hasil kegiatan.
a. Faktor-faktor penghambat dan pendukung Implementasi
Dalam implementasi kebijakan publik dikenal ada beberapa model
implementasi. Penggunaan model ini untuk keperluan analisis, tergantung
pada kompleksitas permasalahan kebijakan yang dikaji serta tujuan dan
analisis itu sendiri. Implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel
atau faktor penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau
faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik
serta guna penyederhanaan pemahaman. Terdapat 4 model implementasi
kebijakan menurut para ahli, yakni model implementasi kebijakan Van
Metter Van Horn, model George Edward III, serta model Merille S.
1) Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Model pendekatan implementasi kebijakan yang
dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu kebijakan yang
pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja
implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam
hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan
politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini
menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa
variabel yang saling berkaitan, secara rinci variable-variabel
tersebut yaitu:
a) Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan
kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat
keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang
bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level
pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan sasaran kebijakan
terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan
(Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam
Widodo, 2007) mengemukakan untuk mengukur kinerja
sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana
kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan
penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran
tersebut.
b) Sumber daya
Keberhasilan implementasi kebijakan sangat
tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya
yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang
terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu
implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi
menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas
sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan
yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya
manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi
perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi
kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks
(dalam Van Mater dan Van Horn, 1975) bahwa:”New town study suggest that the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the program”. c) Karakteristik organisasi pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi
organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat
karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat
dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para
agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks
kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan
dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada
konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis
dan persuasif. Selain itu, cakupan atau luas wilayah menjadi
pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana
kebijakan.
d) Komunikasi antar organisasi
Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan
efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo
2007) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh
para individu(implementors). Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar
dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana.
Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi
kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi
standar dan tujuan harus konsisten dan seragam
(consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.
Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn (dalam
Agustino 2006): ”sikap penerimaan atau penolakan dari
agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang
dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang
mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka
rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifattop down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak
mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan,
keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.
f) Lingkungan sosial, politik, dan ekonomi
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai
kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana
lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan
kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari
kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu,
upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi
lingkungan eksternal yang kondusif. Secara skematis,
model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan
Gambar 4:Skema Model Implementasi Kebijakan Publik Van Meter Dan van
Horn
2) Model Implementasi Kebijakan George Edward III
Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan
publik maka perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Untuk itu, diperlukan suatu model kebijakan
guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi
kebijakan. Edward melihat implementasi kebijakan sebagai suatu
proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling
berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan.
Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana
pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi.
Edward mengajukan empat faktor yang berperan penting
dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi
(resources), disposisi (disposition), dan struktur birokrasi (bureucratic structure)(Edward dalam Widodo, 2007:96-110).
a) Komunikasi
Menurut Edward III dalam Widodo (2007:97),
komunikasi diartikan sebagai “proses penyampaian
informasi komunikator kepada komunikan”. Informasi
mengenai kebijakan publik menurut Edward III dalam
Widodo (2007:97) perlu disampaikan kepada pelaku
kebijakan agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui apa
yang harus mereka persiapkan untuk menjalankan kebijakan
tersebut sehingga tujuan dan sasaran kebijakan dapat
dicapai sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut Edward III dalam Widodo (2007:97)
komunikasi kebijakan memiliki beberapa dimensi antaralain
dimensi transmisi, kejelasan dan kosistensi.
i. Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publik tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung.
iii. Dimensi konsistensi diperlukan agar kebijakan yang diambil tidak simpang siur sehingga membingungkan pelaksana kebijakan, target group dan pihak-pihak yang bekepentingan.
b) Sumber daya
Edward III dalam Widodo (2007:98) mengemukakan
bahwa faktor sumber daya mempunyai peran penting dalam
implementasi kebijakan. Menurut Edward III dalam
Widodo (2007:98) bahwa sumber daya tersebut meliputi :
i. Sumber daya manusia ii. Sumber daya anggaran iii. Sumber daya peralatan iv. Sumber daya kewenangan
c) Disposisi
Pengertian disposisi menurut Edward III dalam
Widodo (2007:104) dikatakan sebagai “kemauan,
keinginan, kecenderungan para pelaku kebijakan untuk
melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh-sungguh
sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat
diwujudkan”. Edward III dalam Widodo (2007:104-105)
menyatakan bahwa :
Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III
dalam Agustino (2006:159-160) mengenai disposisi dalam
implementasi kebijakan terdiri dari:
i. Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan masyarakat.
ii. Insentif merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif. Pada dasanya orang bergerak berdasarkan dirinya sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
d) Struktur Birokrasi
Ripley dan Franklin dalam Winarno (2007:149-160)
mengidentifikasi enam karakterisitik birokrasi sebagai hasil
pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat yaitu :
i. Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-keperluan publik.
ii. Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hirarkinya.
iv. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas.
v. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu jarang ditemukan birokrasi yg mati.
vi. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh pihak luar.
Meskipun sumber - sumber untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan cukup dan para
pelaksana mengetahui apa dan bagaimana, serta mempunyai
keinginan untuk melakukannya, namun Edward III dalam
Widoodo (2007:106) menyatakan bahwa “implementasi
kebijakan bisa jadi masih belum efektif karena
ketidakefisienan struktur birokrasi”. Struktur birokrasi ini
menurut Edward III dalam Widodo (2007:106) mencakup
aspek-aspek seperti struktur birokrasi, pembagian
kewenangan hubungan antar unit-unit organisasi dan
sebagainya.
Secara skematis, model implementasi kebijakan
menurutEdward III adalah sebagai berikut:
Dalam pengadaan tanah ini, peneliti menggunakan
model kebijakan menurut Edward III yaitu komunikasi,
sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Peneliti
mengacu pada model implementasi Edward III karena
sangat berkaitan dengan apa yang diteliti dan dapat
dianalisis sesuai dengan hasil penelitian. Dari hasil analisis
indikator-indikator tersebut maka akan menghasilkan
masukan bagi proses implementasi dari kebijakan tersebut.
3) Model Implementasi Kebijakan Merille S. Grindlle
Menurut Grindlle (1980) dalam Wibawa (1994),
implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks
implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan.
Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan b) Jenis manfaat yang akan dihasilkan
c) Derajat perubahan yang diinginkan d) Kedudukan pembuat kebijakan e) Pelaksana program
f) Sumber daya yang dikerahkan
Sementara itu, konteks implementasinya adalah :
a) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat b) Karakteristik lembaga dan penguasa
Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks
kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor,
sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor
implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang
diperlukan.
3. Kebijakan Pengadaan Tanah
Supriadi (2008:88) mengemukakan, salah satu kebijakan
pemerintah yang paling mendasar di bidang pertanahan dan mendapat
perhatian yang serius dari pemerintah adalah penyelenggaraan pengadaan
tanah untuk kepentingan pembangunan. Sebab penyelenggaraan
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan merupakan salah satu
kebijakan pemerintah dari 9 (sembilan) kebijakan yang dikeluarkan oleh
Presiden tahun 2003 dalam bentuk Keputusan Presiden.
Menurut Supriadi (2008:75) kebijakan pemerintah terhadap
pengadaan tanah merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan
pengadaan tanah demi kepentingan umum. Dalam artian bahwa tanah yang
telah diambil dari warga masyarakat peruntukannya benar-benar untuk
kepentingan pembangunan. Sebab esensi yang terkandung didalamnya
adalah masyarakat telah melepaskan haknya tersebut sehingga tidak ada
lagi hubungan hukum dengan pemiliknya.
Kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan
umum ini menggunakan perumusan model kelembagaan, yang pada
dilakukan lembaga pemerintah. Formulasi kebijakan bersifat topdown sebagaimana kebijakan ini ditetapkan, disyahkan, dan dilaksanakan serta
dipaksakan berlakunya oleh lembaga pemerintah. Dalam pengadaan tanah
untuk pembangunan jalan tersebut berpegang pada prinsip bahwa semua
tanah yang ada dalam wilayah negara kita adalah tanah bersama seluruh
rakyat Indonesia yang bersatu menjadi Bangsa Indonesia dan dikuasai oleh
Negara.
Pengadaan tanah sebagai suatu perbuatan hukum yang dilakukan
oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah bagi kepentingan tertentu
dengan cara memberikan ganti kerugian kepada si empunya (baik
perorangan atau badan hukum) tanah menurut tata cara dan besaran
nominal tertentu. Pengadaan tanah mempunyai maksud dan tujuan yaitu
untuk mengadakan atau menyediakan tanah untuk pelaksanaan
pembangunan umum atau fasilitas sosial dengan memberikan ganti rugi
kepada yang berhak atas tanah, bangunan atau tanaman dan/atau
benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang terkena proyek tersebut.
Menurut Sitorus (2004:5), aktivitas pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan secara teoritik didasarkan pada azas/ prinsip
tertentu dan terbagi menjadi dua subsistem:
1) pengadaan tanah oleh pemerintah karena kepentingan umum 2) pengadaan tanah oleh pemerintah karena bukan kepentingan
umum (komersial).
Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua)
1) Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah (pembebasan hak atas tanah) ;
2) Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
Diperjelas dalam uraian yang lain Soemardjono (2008:249-252)
menyatakan bahwa dari sisi hukum dimensi keadilan (justice) harus dikedepankan artinya makna fungsi sosial terjadinya keseimbangan antara
kepentingan umum dan kepentingan perorangan. Tegasnya hak-hak yang
sah (legal) dari subyek hak atas tanah harus dilindungi dan dihargai. Di sisi lain, keikhlasan pemegang hak demi kepentingan masyarakat yang
lebih luas juga sepantasnya dihargai oleh pemerintah/ pemerintah daerah
dan panitia pengadaan tanah.
a. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kelancaran Pengadaan
Tanah
Masalah pengadaan tanah untuk proyek pembangunan bagi
kepentingan umum sering menghadapi berbagai kendala yang
kompleks, apalagi bagi kota-kota yang padat penduduknya
termasuk Kota Salatiga yang lahannya sangat terbatas.
Pembangunan proyek-proyek untuk kepentingan umum karena
berbagai pertimbangan sering kali harus menggunakan tanah yang
telah dihuni dan menjadi milik warga masyarakat, sehingga secara
ekstrim kemudian timbul istilah “penggusuran”. Sebagai upaya
menangani masalah ini memerlukan kebijakan dan kearifan
banyak. Oleh sebab itu demi kelancaran terlaksananya pengadaan
tanah untuk pembangunan, maka perlu adanya pemberian ganti
rugi serta musyawarah dengan para pemegang hak tanah agar
bersedia “menyerahkan” tanahnya untuk pembangunan.
1) Pemberian Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah
Dalam bukunya, Supriadi (2008:80) mengemukakan
bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah penggantian terhadap
kerugian baik yang bersifat fisik dan/ atau nonfisik sebagai
akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah,
bangunan, tanaman dan/ atau benda-benda lain lain yang
berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan
hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi
sebelum terkena pengadaan tanah.
Ganti rugi merupakan hal yang paling penting untuk
diperhatikan dalam pelaksanaan pengadaan tanah karena
menyangkut kepentingan dua belah pihak khususnya pihak
pemegang hak atas tanah, yang mana dengan penetapan ganti
rugi tersebut diharapkan tidak ada yang merasa dirugikan
nantinya baik dari pihak pemerintah maupun dari pihak
masyarakat yang tanahnya dikenai pengadaan tanah.
Dalam menetapkan besarnya ganti rugi menurut
Abdurrahman (1996 : 53) harus diperhatikan :
b) Bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah dan atau fasilitas lainnya.
c) Yang berhak atas ganti rugi itu adalah mereka yang berhak atas tanah/ bangunan/ tanaman yang ada diatasnya, dengan berpedoman kepada hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria dan kebijaksanaan pemerintah.
Adapun bentuk dari ganti rugi dapat berupa :
a) Uang ; dan/ atau
b) Tanah pengganti ; dan/ atau Pemukiman kembali
Apabila dari ketiga bentuk diatas, pemegang hak atas
tanah tidak menghendaki, maka dapat diberikan kompensasi
berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2) Musyawarah
Supriadi (2008:92), mengemukakan bahwa pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka
memperoleh kesepakatan mengenai :
a) pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut;
b) bentuk dan besarnya ganti rugi.
Dengan demikian, kesepakatan mengenai besarnya
ganti rugi hanya dapat dilakukan melalui musyawarah. Namun
ganti rugi, maka ganti rugi dapat dititipkan ke Pengadilan
Negeri.
Musyawarah dipimpin oleh ketua Panitia Pengadaan
Tanah dan dilakukan secara langsung antara pemegang hak,
instansi yang memerlukan tanah dan panitia. Dalam hal jumlah
pemegang hak tidak memungkinkan terselenggaranya
musyawarah secara efektif, dilakukan dengan perwakilan
melalui kuasa. Penunjukkan kuasa dilakukan secara tertulis,
bermaterai dan diketahui Kepala Desa/pejabat yang
berwenang.
Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang
tidak dapat dialihkan/dipindahkan secara teknis tata ruang ke
tempat lain/lokasi lain, maka musyawarah dilakukan selama
120 (seratus dua puluh) hari kalender sejak tanggal undangan
pertama. Apabila setelah diadakan musyawarah tidak tercapai
kesepakatan, Panitia Pengadaan Tanah menetapkan besarnya
ganti rugi dan menitipkan ganti rugi uang kepada Pengadilan
Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang
bersangkutan. Demikian halnya apabila terjadi sengketa
kepemilikan setelah penetapan ganti rugi, maka panitia
menitipkan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri.
Musyawarah yang dilakukan antara pemegang hak atas
apabila tercapai kesepakatan maka panitia mengeluarkan
keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi sesuai
kesepakatan.
b. Prosedur / Tahap Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Tata cara atau prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan
umum telah diatur secara jelas dalam UU PTUP dan peraturan
pelaksananya, mulai dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan,
tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71
Tahun 2012 sebagai berikut :
1) Tahap Perencanaan
Setiap instansi yang memerlukan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, agar menyusun
Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah, yang sedikitnya
memuat: (1) maksud dan tujuan rencana pembangunan, (2)
kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah
(RTRW) dan Prioritas Pembangunan, (3) letak tanah, (4) luas
tanah yang dibutuhkan, (5) gambaran umum status tanah, (6)
perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah dan
pelaksanaan pembangunan, (7) perkiraan nilai tanah, dan (8)
rencana penganggaran.
Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah tersebut
survei sosial ekonomi, (2) kelayakan lokasi, (3) analisis
biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan
masyarakat, (4) perkiraan harga tanah, (5) dampak
lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat
pengadaan tanah dan bangunan, serta (6) studi lain yang
diperlukan.
Dokumen Perencanaan tersebut selanjutnya diserahkan
oleh instansi yang memerlukan tanah kepada Gubernur yang
melingkupi wilayah dimana letak tanah berada.
2) Tahap Persiapan
Dalam tahapan pelaksanaan, Gubernur membentuk Tim
Persiapan dalam waktu paling lama 10 hari kerja, yang
beranggotakan: (1) Bupati/Walikota, (2) SKPD Provinsi
terkait, (3) instansi yang memerlukan tanah, dan (4) instansi
terkait lainnya. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Tim
Persiapan, Gubernur membentuk sekretariat persiapan
Pengadaan Tanah yang berkedudukan di Sekretariat Daerah
Provinsi. Adapun tugas Tim Persiapan sebagai berikut:
a) Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan
b) Melakukan pendataan awal lokasi rencana pengadaan
c) Melaksanakan Konsultasi Publik rencana pembangunan
d) Menyiapkan Penetapan Lokasi Pembangunan
f) Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum yang ditugaskan oleh Gubernur.
3) Tahap Pelaksanaan
Berdasarkan Penetapan Lokasi Pembangunan untuk
kepentingan umum, instansi yang memerlukan tanah
mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah kepada Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah dengan dilengkapi/dilampiri
Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah dan Penetapan
Lokasi Pembangunan.
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah
diserahkan kepada Kepala BPN, yang pelaksanaannya
dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah (dengan pertimbangan efisiensi,
efektifitas, kondisi geografis dan sumber daya manusia,
dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor Pertanahan).
4) Tahap Penyerahan hasil
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan
hasil pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan
tanah disertai data Pengadaan Tanah paling lama 7 hari kerja
sejak pelepasan hak Objek Pengadaan Tanah dengan berita
instansi yang memerlukan tanah wajib melakukan
pendaftaran / pensertifikatan untuk dapat dimulai proses
pembangunan
4. Ketentuan Hukum yang Mengatur Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Pengadaan tanah pada dasarnya merupakan suatu usaha penyediaan
tanah dalam rangka pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum. Berbagai pengaturan pengadaan
tanah yang pernah atau sedang berlaku adalah:
a. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 tentang
Ketentuan-Ketentuan mengenai Pembebasan Tanah;
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1976 tentang
Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentiangan
Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta;
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1985 tentang Tata
Cara Pengadaan Tanah untuk Keperluan Proyek Pembangunan di
Wilayah Kecamatan;
d. Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan
peraturan pelaksanaannya Peraturan Menteri Negara Agraria No. 1
Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Keputusan
berlakunya Keppres ini maka dinyatakan tidak berlaku lagi
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1976 dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 2 Tahun 1985;
e. Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan
peraturan pelaksananya Peraturan Kepala BPN No.3 tahun 2007
tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden No. 36 Tahun
2005. Dengan berlakunya Perpres No. 36 Tahun 2005 ini maka
dinyatakan tidak berlaku lagi Keppres No. 55 Tahun 1993;
f. Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Perpres no. 36
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan umum yang memperbaharui
Perpres no. 36 Tahun 2005.
Peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam Pelaksanaan
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo di Kota
Salatiga adalah Perpres No. 36 Tahun 2005 junto Perpres No. 65 Tahun
2006 dan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Pelaksana Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 sebagaimana telah
diubah dengan Perpres no. 65 Tahun 2006 karena peraturan tersebut
adalah peraturan yang berlaku pada saat proyek pembangunan Jalan Tol
B. Penelitian yang relevan
Tesis dari Dwi Agus Purwanto, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
dengan judul “Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Dalam Pembangunan Jalan Lintas Selatan Pulau Jawa di Kabupaten
Wonogiri”, tahun 2008.
Peneliti memilih penelitian tersebut sebagai peneltian yang relevan
karena peneliti merasa bahwa dari penelitian tersebut, menjelaskan bahwa
pengadaan tanah menjadi sebuah pelaksanaan dari kebijakan publik yang
dalam prosesnya juga menimbulkan beberapa konflik kepentingan. Penelitian
inilah yang menjadi sorotan dimana dalam hal ini peneliti juga membahas
proses pelaksanaan kebijakan pengadaan tanah serta konflik yang terdapat
dalam pelaksanaan kebijakan pengadaan tanah dalam pembangunan Jalan Tol
Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga.
C. Kerangka Pikir
Tanah merupakan modal dasar dalam pembangunan, oleh karena itu
tanah memiliki peran penting dalam pembangunan. Segala kegiatan
pembangunan baik untuk kepentingan umum maupun sektor swasta selalu
membutuhkan tanah sebagai media dalam melaksanakan pembangunan. Pada
kondisi saat ini kebutuhan tanah sangat meningkat sedangkan persediaan
tanah sudah sangat terbatas, terutama tanah negara. Hal ini bisa menimbulkan
konflik antara perorangan sebagai pemegang hak tanah dengan kepentingan
umum. Maka dari itu perlu adanya kebijakan atau peraturan yang berguna
jika nantinya terjadi pelepasan hak atas tanah (pengadaan tanah) pada
masyarakat pemilik tanah guna pembangunan untuk kepentingan umum.
Kebijakan yang mengatur tentang pengadaan tanah yaitu Perpres No. 36
tahun 2005, Perpres No. 65 tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN RI No. 3
tahun 2007.
Salah satu upaya untuk mengurangi konflik dalam pengadaan tanah,
maka perlu adanya implementasi kebijakan/ peraturan yang mengatur ganti
rugi terhadap pengadaan tanah tersebut. Panitia Pengadaan Tanah (P2T)
melakukan musyawarah kepada warga sekitar yang tanahnya akan dipakai
dalam pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga.
Mereka nantinya akan sepakat dengan harga/ bentuk ganti rugi yang akan
diberikan sebagai bentuk timbal balik atas pelepasan hak tanah mereka.
Musyawarah ini bertujuan agar muncul kesepakatan antara Panitia
Pengadaan Tanah (P2T) dengan masyarakat pemegang hak atas tanah akan
ganti rugi yang hendak diberikan. Hal ini diharapkan agar terwujud kepuasan
bersama terutama kepuasan masyarakat yang tanahnya akan dipakai untuk
pembangunan tol Semarang-Solo ruas jalan Bawen-Salatiga.
Dalam implementasi kebijakan pengadaan tanah perlu memperhatikan
indikator-indikator sesuai model implementasi kebijakan. Dalam pengadaan
tanah ini, peneliti menggunakan model kebijakan menurut Edward III yaitu
komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Peneliti mengacu
pada model implementasi Edward III karena sangat berkaitan dengan apa
analisis indikator-indikator tersebut maka akan menghasilkan masukan bagi
proses implementasi dari kebijakan tersebut.
Terlaksananya proses implementasi kebijakan tersebut akan
menentukan keberhasilan proses terlaksanya kebijakan pengadaan tanah guna
mencapai tujuan yang diinginkan.
Gambar 6 : Kerangka Pikir
D. Pertanyaan Penelitian
1. Komunikasi
a. Bagaimana proses penyampaian informasi tentang adanya kebijakan
pengadaan tanah?
Rencana pembangunan tol
membutuhkan tanah sebagai sarana, baik tanah negara maupun masyarakat
b. Apakah maksud, tujuan, dan substansi kebijakan pengadaan tanah
dijelaskan secara jelas?
c. Apakah komunikasi yang disampaikan sudah konsisten?
2. Sumber daya
a. Siapa saja pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan
pengadaan tanah?
b. Berapa anggaran yang tersedia untuk kebutuhan pelaksanaan
kebijakan pengadaan tanah?
c. Peralatan apa saja yang menunjang pelaksanaan pengadaan tanah?
d. Bagaimana kewenangan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya
yang tersedia?
3. Disposisi
a. Bagaimana kinerja para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan
tugas dalam rangka pembebasan lahan?
b. Apakah ada anggaran khusus bagi para pelaksana kebijakan dalam
melakukan tugas mereka?
4. Struktur birokrasi
43
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif.
Menurut Sugiyono (2003:11) penelitian deskriptif adalah penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau
lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara
satu variabel dengan variabel lainnya.
Alasan peneliti menggunakan pendekatan deskriptif karena penelitian ini
bertujuan untuk mendiskripsikan kondisi yang terjadi, menjelaskan proses
peristiwa, serta menjawab pertanyaan tentang kondisi yang terjadi terhadap
pelaksanaan kebijakan pengadaan tanah dalam pembangunan Jalan Tol
Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga, keterangan-keterangan tersebut
nantinya dianalisis berdasarkan fakta-fakta yang ada.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi di Kecamatan Tingkir
dan Kecamatan Sidorejo, Kantor Tata Pemerintahan Kota Salatiga, Kantor
Tim Pengadaan Tanah (TPT) serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota
Salatiga. Penelitian dilaksanakan bulan Januari 2014 – April 2014.
Penelitian dilakukan di Badan Pertanahan Nasional, kantor Tim
Pengadaan Tanah dan kantor Tata Pemerintahan karena Badan ini merupakan
daerah di bidang pertanahan, pajak serta tata kota dan memilih studi kasus di
Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga karena dekat dengan
domisili peneliti sehingga ikut merasakan dampak dari pelaksanaan kebijakan
tersebut.
C. Subyek Penelitian
Dalam Sukandarumidi (2002:65) yang dimaksud subyek penelitian
adalah sesuatu, baik orang, benda ataupun lembaga (organisasi), yang sifat
keadaannya akan diteliti. Dengan kata lain subyek penelitian adalah sesuatu
yang di dalam dirinya melekat atau terkandung obyek penelitian.
Subyek penelitian dalam hal ini sejumlah 14 orang antara lain :
1. Bapak Yuwantoro, S.sos, Kasubsi Pengaturan Tanah Pemerintah Kantor
Pertanahan Kota Salatiga;
2. Ibu Dra. Tatik Rusmiati, M.Kes, Kepala Tata Pemerintahan Kota Salatiga;
3. Bapak Cansio Xavier, Staf Kantor Tata Pemerintahan Kota Salatiga;
4. Bapak Heru Budi Prasetyo, SH, Kepala Tim Pengadaan Tanah ruas
Bawen-Salatiga;
5. Bapak Sutikno, A.Md, Sekretaris Tim Pengadaan Tanah ruas
Bawen-Salatiga;
6. Bapak Reno, staf Tim Pengadaan Tanah ruas Bawen-Salatiga;
7. Bapak Lurah Bugel, Kauman Kidul, Kutowinangun, Tingkir Tengah kota
8. Masyarakat yang terkena pembebasan lahan di wilayah kelurahan Bugel,
Kauman Kidul, Kutowinangun, dan Tingkir Tengah kota Salatiga
sejumlah 4 orang.
D. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menjadi instrumen atau alat penelitian itu
sendiri. Peneliti bertindak sebagai pengumpul data dan sebagai instrumen aktif
dalam upaya mengumpulkan data di lapangan. Lexy J. Moleong (2010:168)
menjelaskan “peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data,
penganalisa, penafsir data, dan pada akhirnya peneliti menjadi pelapor hasil
penelitiannya”. Sedangkan instrumen pengumpulan data yang lain selain
manusia adalah berbagai bentuk alat bantu (kamera, alat tulis, alat perekam)
dan berupa dokumen-dokumen yang dapat digunakan untuk menunjang
keabsahan hasil penelitian, namun berfungsi sebagai instrumen pendukung.
Peneliti secara langsung terjun ke lapangan untuk melihat proses
pembayaran ganti rugi pembebasan lahan untuk pembangunan Jalan Tol
Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga. Dalam proses penelitian, peneliti
menggunakan alat bantu pengumpulan data yaitu berupa pedoman wawancara,
pedoman observasi, serta laporan/bukti catatan lapangan.
E. Jenis Data dan Sumber Data
1. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah berupa hasil wawancara.