• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGADAAN TANAH DALAM PEMBANGUNAN TOL SEMARANG-SOLO (RUAS JALAN BAWEN- SALATIGA).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGADAAN TANAH DALAM PEMBANGUNAN TOL SEMARANG-SOLO (RUAS JALAN BAWEN- SALATIGA)."

Copied!
210
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Oleh:

DIAN AYU NOVIANTY NIM 10417141028

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)
(3)
(4)
(5)

v

“barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan berhasil”

Besarnya sukses anda ditentukan oleh seberapa kuat keinginan anda;

ditentukan oleh seberapa besar mimpi anda; dan ditentukan oleh

kecakapan anda dalam mengatasi kekecewaan yang

anda alami” (Robert T.

Kiyosaki)

Dia yang tidak pernah melakukan kesalahan, maka dia tidak pernah

mencoba sesuatu yang baru” (Albert Einstein)

(6)

vi

karya ini saya persembahkan untuk:

“Bapak dan Ibuku tercinta”

(7)

vii Oleh:

Dian Ayu Novianty NIM 10417141028

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga serta untuk mengetahui hambatan dan upaya mengatasi hambatan dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga.

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Subyek penelitian meliputi instansi yang menjadi pelaksana kebijakan pengadaan tanah kota Salatiga serta masyarakat pemegang hak tanah di kecamatan Sidorejo dan Tingkir. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur, observasi, dan dokumentasi. Teknik triangulasi sumber digunakan untuk mengecek keabsahan data penelitian. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan pengadaan tanah berjalan lancar, pemegang hak tanah bersedia mengikuti prosedur yang ada. Dibalik kelancaran implementasi pengadaan tanah ini juga muncul kendala pada proses musyawarah yang susah mencapai mufakat. Persoalan tersebut menyebabkan proses pelaksanaan pembebasan lahan menjadi tertunda. Faktor pendukung implementasi kebijakan pengadaan tanah menurut Edward III yaitu sumber daya manusia maupun sumber daya anggaran serta kewenangan yang memadai, adanya sikap dukungan positif implementor kebijakan dan efisiensi birokrasi. Faktor penghambat implementasi kebijakan pengadaan tanah yaitu komunikasi yang tidak dilakukan secara rutin sumber daya peralatan yang masih terbatas.

(8)

viii

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pengadaan Tanah dalam Pembangunan Tol Semarang-Solo (ruas jalan Bawen-Salatiga) tanpa halangan yang berarti.

Kota Salatiga merupakan salah satu akses penghubung kota-kota besar disekitarnya seperti kota Semarang dan Solo. Oleh sebab itu, kota Salatiga menjadi salah satu kota yang akan dilaksanakan proyek pembangunan tol Trans Jawa di Pulau Jawa. Dalam pembangunan jalan tol Semarang-Solo maka perlu diadakan pembebasan lahan sebagai sarana pembangunan jalan tol tersebut. Alasan peneliti mengambil penelitian tersebut ialah karena peneliti tertarik akan persoalan mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo. Kota Salatiga yang wilayahnya sebagian besar masih berupa persawahan menyebabkan berbagai permasalahan dalam hal pembebasan lahan. Namun pada kenyataannya, proses pembebasan lahan di kota Salatiga tidak banyak menimbulkan persoalan yang berarti. Masyarakat kota Salatiga yang sebagian besar masih bergantung pada lahan mereka dengan besar hati merelakan tanah mereka diambil alih pemerintah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo. Dengan demikian, proses pelaksanaan pengadaan tanah di kota Salatiga dalam rangka pembangunan tol Semarang-Solo diharapkan bisa terlaksana dengan baik sesuai tujuan yang hendak dicapai yaitu memenuhi kebutuhan fasilitas umum bagi masyarakat.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat cepat selesai berkat bantuan serta dorongan bagi berbagai pihak, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A., Rektor Universitas Negeri Yogyakarta.

(9)

ix

5. Ibu Sugi Rahayu M. Pd, M. Si, Penguji Utama Skripsi yang telah mengarahkan dan memberikan ilmunya untuk menyempurnakan skripsi ini menjadi lebih baik.

6. Bapak Argo Pambudi, M. Si, Sekretaris Penguji Skripsi dan Dosen Pembimbing yang selalu dengan sabar dan bijaksana membimbing penulis selama penyusunan skripsi ini.

7. Seluruh dosen jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial UNY yang telah menambah ilmu dan wawasan penulis.

8. Bapak Yuwantoro, S.sos selaku Kasubsi Pengaturan Tanah Pemerintah Kantor Pertanahan Kota Salatiga, Ibu Dra. Tatik Rusmiati, M.Kes selaku Kepala Tata Pemerintahan Kota Salatiga, Bapak Cansio Xavier selaku Staf Kantor Tata Pemerintahan Kota Salatiga, Bapak Heru Budi Prasetyo, SH sebagai Kepala Tim Pengadaan Tanah ruas Bawen-Salatiga, Bapak Sutikno, A.Md Sekretaris Tim Pengadaan Tanah ruas Bawen-Salatiga serta Bapak Pri, Bapak Reno dan Ibu Lita selaku staf kantor Tim Pengadaan Tanah yang telah banyak membantu penulis dan meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau dengan memberikan data-data sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

9. Lurah dan segenap masyarakat Kelurahan Bugel, Kauman Kidul, Kutowinangun dan Tingkir Tengah yang telah membantu penulis dan meluangkan waktu untuk memberikan informasinya. Bapak Drs. Noegroho Agoes S dan Bapak Okto Risang Bambang P, SH, MT.

10.Bapak dan Ibu tercinta atas doa, dukungan dan bimbingan yang tiada henti selalu menyertai perjalanan hidup penulis, semoga tulisan ini menjadi awal untuk membahagiakan bapak ibu.

11.Mbah putri yang selalu memberikan doa yang terbaik.

(10)

x

dari awal kuliah hingga terselesainya skripsi ini.

15.Teman-teman terdekatku selama kuliah Febri, Rima, Okta, Erlin, Irma, Sekar, Gilang, Latif, Rosid dan Mas Pur. Terimakasih atas persahabatan kalian selama ini. Semua teman-teman AN yang tidak bisa disebut satu persatu. Terimakasih banyak.

16.Sahabatku Pandu Kusumadewi dan Rya Amalia terimakasih untuk semangat dari kalian.

17.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih banyak atas bantuan yang diberikan selama ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik sangat penulis harapkan.

Yogyakarta, 19 Mei 2014 Penulis

(11)

xi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori ... 10

1. Kebijakan Publik ... 10

a. Proses Kebijakan Publik... 12

2. Implementasi Kebijakan Publik ... 15

a. Faktor Pendukung dan Penghambat ... 17

3. Kebijakan Pengadaan Tanah ... 28

a. Faktor Kelancaran Pengadaan Tanah ... 30

b. Prosedur/Tahap Pengadaan tanah... 34

4. Ketentuan Hukum yang Mengatur Pengadaan Tanah ... 37

B. Penelitian Relevan ... 39

C. Kerangka Berfikir... 39

D. Pertanyaan Penelitian ... 41

(12)

xii

E. Jenis dan Sumber Data ... 45

F. Teknik Pengumpulan Data ... 47

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 49

H. Teknik Analisis Data ... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 55

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 55

2. Deskripsi Data Penelitian ... 57

a. Lahan yang Dibebaskan ... 57

b. Tata Cara / Tahapan Pengadaan Tanah ... 58

c. Badan Khusus Pelaksanaan Pengadaan Tanah ... 64

d. Implementasi Kebijakan Pengadaan Tanah ... 69

1) Sosialisasi ... 69

2) Inventarisasi ... 73

3) Musyawarah dan Ganti Rugi ... 76

3. Hambatan Pengadaan Tanah dan Upaya Penyelesaiaannya ... 91

4. Faktor Pendukung dan Penghambat ... 95

a. Komunikasi ... 95

b. Sumber Daya ... 101

c. Disposisi ... 107

d. Struktur Birokrasi ... 109

B. Pembahasan ... 110

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 118

B. Implikasi ... 121

(13)
(14)

xiv

(15)

xv

(16)

xvi

1. Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelakanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelakanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum

2. Keputusan Gubernur Jateng No. 620/52 tahun 2012

3. Keputusan Gubernur Jateng No. 620/1/2012 tentang Perpanjangan Persetujuan Penetapan Lokasi Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa di Provinsi Jawa Tengah

4. Keputusan Walikota Salatiga No. 590-05/341/2012 tentang Panitia Pengadaan Tanah

5. Keputusan Sekda kota Salatiga No.590-05/54/2012 tentang Satuan Tugas Pengadaan Tanah

(17)

Dian Ayu Novianty NIM 10417141028

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga serta untuk mengetahui hambatan dan upaya mengatasi hambatan dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga.

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Subyek penelitian meliputi instansi yang menjadi pelaksana kebijakan pengadaan tanah kota Salatiga serta masyarakat pemegang hak tanah di kecamatan Sidorejo dan Tingkir. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur, observasi, dan dokumentasi. Teknik triangulasi sumber digunakan untuk mengecek keabsahan data penelitian. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan pengadaan tanah berjalan lancar, pemegang hak tanah bersedia mengikuti prosedur yang ada. Dibalik kelancaran implementasi pengadaan tanah ini juga muncul kendala pada proses musyawarah yang susah mencapai mufakat. Persoalan tersebut menyebabkan proses pelaksanaan pembebasan lahan menjadi tertunda. Faktor pendukung implementasi kebijakan pengadaan tanah menurut Edward III yaitu sumber daya manusia maupun sumber daya anggaran serta kewenangan yang memadai, adanya sikap dukungan positif implementor kebijakan dan efisiensi birokrasi. Faktor penghambat implementasi kebijakan pengadaan tanah yaitu komunikasi yang tidak dilakukan secara rutin sumber daya peralatan yang masih terbatas.

(18)

1 A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan merupakan upaya manusia dalam mengolah dan

memanfaatkan sumber daya yang dipergunakan bagi pemenuhan kebutuhan

dan peningkatan kesejahteraan masyarakat umum. Penduduk yang semakin

bertambah dengan tingkat kemakmuran semakin membaik, tentunya

membutuhkan fasilitas umum sebagai penunjang kehidupannya.

Pembangunan terutama untuk fasilitas umum, pastinya memerlukan

tanah sebagai sarananya. Tanah yang luas akan mempermudah dalam

pembangunan fasilitas umum. Tanah merupakan salah satu sumber daya alam

yang penting untuk kelangsungan hidup manusia. Namun persoalannya tanah

merupakan sumber daya alam yang terbatas dan saat ini semakin terus

berkurang. Tanah sudah banyak yang menjadi hak milik seseorang (swasta)

dan tanah milik negara pun saat ini sudah sangat terbatas.

Masalah tanah erat sekali hubungannya dengan manusia sebagai

pemenuhan kebutuhannya demi kelangsungan hidupnya. Bagi masyarakat

Indonesia hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya merupakan

hukum yang penting, namun apabila benar-benar diperlukan dapat dilakukan

pencabutan dan pembebasan hak tersebut untuk kepentingan pembangunan.

Soedharyo Soimin ( 2004: 81), mengemukakan bahwa masalah tanah

(19)

disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah

kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna kepentingan umum.

Kegiatan ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah dengan mendapat ganti

rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau

fasilitas lain.

Menurut Perpres No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pada saat ini sudah

mulai susah untuk melakukan pembangunan untuk kepentingan umum di atas

tanah negara, dan sebagai jalan keluar yaitu dengan memperoleh tanah-tanah

hak. Kegiatan “mengambil” tanah inilah disebut dengan “Pengadaan Tanah”.

Pengadaan tanah dapat dikatakan merupakan salah satu kebijakan

pemerintah guna mendukung keberlangsungan pembangunan.

Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dikeluarkan dalam bentuk

peraturan-peraturan yang telah memiliki dasar hukum yang jelas dan diarahkan untuk

mencapai tujuan-tujuan yang telah digariskan dan memecahkan

permasalahan-permasalahan yang muncul di masyarakat.

Pembangunan untuk memenuhi kepentingan umum dalam realitasnya

diwujudkan dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang dalam

pelaksanaannya menuntut tersedianya lahan/tanah yang memadai sehingga

pembangunan dapat dilakukan dengan baik dan lancar, dan karena bertujuan

untuk kepentingan umum, maka hasil-hasil pembangunan yang dilaksanakan

oleh pemerintah ini tetap harus berorientasi pada hakikat ideal dari

(20)

infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah di atas tanah milik rakyat ini

harus mampu memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas dan adanya

akses masyarakat akan pemanfaatan program-program pembangunan, tidak

hanya kepada kepentingan dan manfaat sebagian kelompok atau kepentingan

pemerintah saja.

Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di

dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan

pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti

bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas. Cara yang dapat

ditempuh untuk mendapatkan tanah adalah dengan membebaskan tanah milik

masyarakat, baik yang telah di kuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat

maupun hak-hak lainnya menurut Undang-Undang Pokok Agraria.

Penulis mengambil studi di Kota Salatiga khususnya di Kecamatan

Sidorejo dan Kecamatan Tingkir, yang menjadi sasaran pembangunan Jalan

Tol Semarang-Solo karena banyak terdapat areal persawahan yang sangat

subur dan menjadi mata pencaharian utama masyarakat sekitar. Adanya

rencana pembebasan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo,

membuat resah para pemilik lahan. Sebagai warga negara Indonesia yang baik

harus mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi, hal

ini dinyatakan dengan kerelaan untuk mengorbankan tanah mereka untuk

(21)

Purwokerto

OPERASI SEBELUM INFRASTRUCTURE SUMMIT 2005 OPERASI SETELAH INFRASTRUCTURE SUMMIT 2005 KONSTRUKSI JARINGAN JALAN TOL DI P. JAWA

Gambar 1: Peta Jaringan Tol Semarang-Solo

Pemerintah wajib mengindahkan asas peran-serta masyarakat

sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang

Penataan Ruang dalam rangka pengadaan tanah untuk memenuhi kebutuhan

perubahan sosial ke arah yang lebih positif. Musyawarah atau perundingan

harus dilakukan secara terbuka antarpara warga masyarakat dengan

pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab memfasilitasi lahirnya fasilitas

institusi independen bagi musyawarah tersebut. Di sini pemerintah

memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih apakah akan diambil-alih

atau tidak hak milik tanahnya, dan memberikan akses yang luas kepada

masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan tanah.

Proses pembebasan lahan untuk pembangunan yang dilakukan tim

Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Pemerintah Kota dan Kabupaten, sering

menimbulkan sengketa yang berbuntut pada persoalan hukum. Beberapa kasus

(22)

ketidaklengkapan dokumen. Jika konflik tanah ini sampai menjadi sengketa di

antara para pihak terkait, maka penyelesaiannya menjadi sulit.

Secara umum, peraturan yang merupakan pengganti dari Peraturan

Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia

(BPNRI) Nomor 1 Tahun 1994 tersebut sudah memuat masalah pertanahan

secara rinci dan detail. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia

(BPNRI) ini merupakan peraturan operasional dari Peraturan Presiden

(Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang telah diubah menjadi Peraturan

Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2006. Diakuinya, kesulitan yang sering

dihadapi oleh tim P2T Pemerintah Kota/Kabupaten adalah adanya perbedaan

harga pasar dan harga yang telah ditetapkan dalam nilai jual objek pajak

(NJOP). Dalam berbagai kasus, sering terjadi harga tanah merupakan hasil

musyawarah antara tim Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dan pemilik tanah yang

meminta harga lebih tinggi dari nilai jual objek pajak (NJOP). Padahal, Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai otoritas pemeriksaan, akan menganggap

sebagai temuan indikasi korupsi, jika harga tanah yang disepakati dalam

musyawarah jauh di atas nilai jual objek pajak (NJOP).

Pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan

peran dan fungsi tanah dalam kehidupan manusia serta prinsip penghormatan

terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian pengadaan tanah

(23)

ditempuh dengan jalan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas

tanah.

Dalam hal ini, salah satu contoh ialah kasus yang terjadi di Kota Salatiga

sebagai lokasi penelitian. Daerah tersebut merupakan wilayah yang dilakukan

pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan

Bawen-Salatiga sebagai sarana umum. Peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian di wilayah tersebut karena lokasi tersebut merupakan daerah yang

masih berupa lahan persawahan yang luas yang akan dibangun jalan tol, selain

itu kota Salatiga merupakan jalur penghubung kota-kota besar sekitarnya

seperti Semarang-Solo sehingga akan terjadi proses pembebasan lahan.

Pembangunan tersebut dilatarbelakangi oleh kebutuhan masyarakat akan

transportasi yang mudah dan cepat, serta bertujun untuk meningkatkan

perekonomian bagi masyarakat sekitar jalan tol. Dengan adanya kegiatan

pelaksanaan pembebasan lahan di daerah tersebut, maka penulis ingin

mengadakan penelitian dengan judul : “Implementasi Kebijakan Pengadaan

Tanah dalam Pembangunan Tol Semarang-Solo (Ruas Jalan Bawen-Salatiga)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diidentifikasikan beberapa

masalah, yakni :

1. Terbatasnya lahan Negara sehingga dilakukan pengadaan tanah guna

melaksanakan pembangunan.

2. Besarnya ganti rugi dalam pengadaan tanah di sekitar Jalan Tol Kota

(24)

3. Susahnya mencapai mufakat antara pemilik hak tanah dengan petugas

Panitia Pengadaan Tanah dalam menetapkan besarnya ganti rugi.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, terdapat beberapa masalah yang

bisa diteliti. Namun peneliti membatasi dalam melakukan penelitian karena

beberapa keterbatasan. Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian mengenai

proses pelaksanaan pengadaan tanah, serta hambatan dan upaya dalam

pengadaan tanah dalam rangka pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo kota

Salatiga. Penelitian dilakukan di wilayah kota Salatiga pada bulan Januari 2014

– April 2014.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian batasan masalah diatas, maka rumusan masalah yang

diajukan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan

Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga?

2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan

pengadaan tanah dan bagaimana upaya mengatasi hambatan tersebut?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan, maka peneltian ini

bertujuan :

1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk

(25)

2. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan

upaya mengatasi hambatan pelaksanaan pengadaan tanah untuk

pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai pengadaan tanah dalam pembangunan kepentingan

umum ini diharapkan memberikan gambaran yang jelas dan bermanfaat bila

dilihat dari teoritis maupun praktis, yakni:

1. Manfaat secara teoritis

Agar dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi ilmu pengetahuan

khususnya Ilmu Administrasi Negara yang berkaitan dengan pengadaan

tanah untuk kepentingan umum sesuai dengan prinsip penggunaan tanah.

2. Manfaat secara praktis

a. Bagi Peneliti

Penelitian ini sebagai persyaratan tugas akhir dan dengan penelitian

ini, peneliti dapat menerapkan ilmu-ilmu yang sudah dipelajari

sebelumnya kedalam suatu permasalahan yang nyata sehingga

bermanfaat bagi peneliti dalam mengembangkan wawasan.

b. Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan maupun koreksi bagi

pemerintah daerah, agar mampu melaksanakan kebijakan pengadaan

tanah sesuai dengan ketentuan/ kebijakan yang ada.

(26)

Agar dapat memberikan gambaran dan informasi kepada masyarakat

tentang pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam

(27)

10

Kajian pustaka akan menjadi petunjuk bagi penulis dalam menganalisis

permasalahan penelitian untuk membantu dan merumuskan dan diharapkan

dalam pembahasan akan memudahkan membuat uraian dan pemecahan

permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kajian pustaka juga

diperlukan bagi penelitian ini, sehingga arah, tujuan dan konsep penelitian ini

menjadi jelas. Penulis menggunakan kajian pustaka sebagai berikut :

A. Diskripsi Teori

1. Kebijakan Publik

Istilah kebijakan dalam bahasa Inggris “policy” yang dibedakan dari kata wisdom yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Kebijakan merupakan pernyataan umum perilaku daripada organisasi. Menurut

pendapat Alfonsus Sirait dalam bukunya Manajemen mendefinisikan kebijakan, sebagai berikut: “Kebijakan merupakan garis pedoman untuk

pengambilan keputusan” (Sirait, 1991:115). Kebijakan merupakan sesuatu

yang bermanfaat dan juga merupakan penyederhanaan system yang dapat

membantu dan mengurangi masalah-masalah dan serangkaian tindakan

untuk memecahkan masalah tertentu, oleh sebab itu suatu kebijakan

dianggap sangat penting.

William N. Dunn menyebut istilah kebijakan publik dalam

(28)

berikut: “Kebijakan Publik (Public Policy) adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung,

termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh

badan atau kantor pemerintah” (Dunn, 2003:132).

Kebijakan publik sesuai apa yang dikemukakan oleh Dunn

mengisyaratkan adanya pilihan-pilihan kolektif yang saling bergantung

satu dengan yang lainnya, dimana didalamnya keputusan-keputusan untuk

melakukan tindakan. Kebijakan publik yang dimaksud dibuat oleh badan

atau kantor pemerintah. Suatu kebijakan apabila telah dibuat, maka harus

diimplementasikan untuk dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang

memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia, serta dievaluasikan

agar dapat dijadikan sebagai mekanisme pengawasan terhadap kebijakan

tersebut sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.

Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan kebijakan publik

sebagai tindakan yang diambil pemerintah, antara lain dikemukakan oleh

Riant Nugroho yang merumuskan definisi kebijakan publik secara

sederhana yakni : “Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat negara,

khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara

yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar

masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi,

(29)

Leo Agustino dalam bukunya Dasar-Dasar Kebijakan Publik membuat satu kesimpulan dari beberapa karakteristik utama dari suatu

definisi kebijkan publik :

Pertama, kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak. Kedua, kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah-pisah. Ketiga, kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengontrol inflasi. Keempat, kebijakan publik dapat bersifat positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan; secara negatif, kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan. Kelima, kebijakan publik paling tidak secara positif, didasarkan pada hukum dan merupakan tindakan yang bersifat memerintah (2008:6).

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan

bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau

tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu

guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik

untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan. Kebijakan publik

biasanya tertuang dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan

perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat

dan memaksa.

A. Proses Kebijakan Publik

Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas

(30)

Aktivitas politik tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan, adopsi

kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Sedangkan

aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

Hal ini sesuai dengan proses kebijakan publik William N. Dunn

(1994:17) yang dapat kita lihat pada gambar berikut ini:

Gambar 2: Proses Kebijakan Publik

Penyusunan agenda

Formulasi kebijakan

Adopsi kebijakan

Implementasi kebijakan

Penilaian kebijakan Evaluasi

Monitoring Rekomendasi

(31)

Sementara itu dalam pandangan Ripley (dalam Subarsono 2005:11)

tahapan kebijakan publik digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3: Tahapan Kebijakan Publik

Michael Howlet dan M. Ramesh seperti yang dikutip Subarsono

(2005:13-14) menyatakan bahwa proses kebijakan publik terdiri dari lima

tahapan yakni sebagai berikut:

1) Penyusunan agenda(agenda setting), yakni suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah.

(32)

3) Pembuatan kebijakan (decicion making), yakni proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak

melakukan suatu tindakan.

4) Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.

5) Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.

2. Implementasi Kebijakan Publik

Program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif

pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh

badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah.

Hersel Nogi S. Tangkilisan mengutip pengertian implementasi menurut

Patton dan Sawicki dalam buku yang berjudul Kebijakan Publik yang Membumi bahwa : ”Implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini

eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan

menerapkan kebijakan yang telah diseleksi” (Dalam Tangkilisan, 2003:9).

Berdasarkan pengertian di atas, implementasi berkaitan dengan

berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana

pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir. Seorang

eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya,

unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta

(33)

petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang

dilaksanakan. Dunn mengistilahkan implementasi dengan lebih khusus

dengan menyebutnya implementasi kebijakan (policy implemtation) adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun

waktu tertentu (Dunn, 2003:132).

Budi Winarno dalam bukunya Kebijakan Publik Teori dan Proses (2007:145) mengutip apa yang disampaikan oleh Ripley dan Frangklin

dalam Bureucracy and Policy Implementation (1982:4) yang berpendapat bahwa:

Implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh pejabat pemerintah. Implementasi mencangkup tindakan-tindakan (tanpa tindakan) oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk program berjalan.

Sebuah Implementasi kebijakan merupakan tahapan penting dalam

proses kebijakan publik. Sebuah kebijakan sebagai hasil proses politis

harus diterjemahkan ke dalam kegiatan nyata dan tindakan melalui proses

implementasi agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan.

Setelah melalui tahap formulasi kebijakan, pernyataan kebijakan (policy statement) yang termuat dalam sebuah kebijakan yang diputuskan akan dilaksanakan melalui langkah-langkah konkrit yang disebut implementasi.

Implementasi menurut Van Metter dan Van Horn (1975) (dalam Budi

(34)

Implementasi kebijakan dipandang dalam arti yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang, implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.

.

Dari berbagai pandangan para ahli tentang konsep implementasi,

maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu

tahapan yang sangat penting dalam serangkaian proses yang berupa

tindakan-tindakan dari berbagai aktor untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan sebelumnya, dengan adanya aktivitas pencapaian tujuan

sehingga mencapai adanya hasil kegiatan.

a. Faktor-faktor penghambat dan pendukung Implementasi

Dalam implementasi kebijakan publik dikenal ada beberapa model

implementasi. Penggunaan model ini untuk keperluan analisis, tergantung

pada kompleksitas permasalahan kebijakan yang dikaji serta tujuan dan

analisis itu sendiri. Implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel

atau faktor penentunya. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau

faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan publik

serta guna penyederhanaan pemahaman. Terdapat 4 model implementasi

kebijakan menurut para ahli, yakni model implementasi kebijakan Van

Metter Van Horn, model George Edward III, serta model Merille S.

(35)

1) Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Model pendekatan implementasi kebijakan yang

dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu kebijakan yang

pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja

implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam

hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa

implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan

politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini

menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa

variabel yang saling berkaitan, secara rinci variable-variabel

tersebut yaitu:

a) Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan

kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat

keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang

bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level

pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan sasaran kebijakan

terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan

(Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam

Widodo, 2007) mengemukakan untuk mengukur kinerja

(36)

sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana

kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan

penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran

tersebut.

b) Sumber daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat

tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya

yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang

terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu

implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi

menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas

sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan

yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya

manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi

perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi

kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks

(dalam Van Mater dan Van Horn, 1975) bahwa:”New town study suggest that the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the program”. c) Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi

organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat

(37)

karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat

dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para

agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks

kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan

dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada

konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis

dan persuasif. Selain itu, cakupan atau luas wilayah menjadi

pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana

kebijakan.

d) Komunikasi antar organisasi

Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan

efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo

2007) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh

para individu(implementors). Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar

dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana.

Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi

kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi

standar dan tujuan harus konsisten dan seragam

(consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.

(38)

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn (dalam

Agustino 2006): ”sikap penerimaan atau penolakan dari

agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi

keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik.

Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang

dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang

mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka

rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifattop down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak

mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan,

keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.

f) Lingkungan sosial, politik, dan ekonomi

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai

kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana

lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan

kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari

kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu,

upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi

lingkungan eksternal yang kondusif. Secara skematis,

model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan

(39)

Gambar 4:Skema Model Implementasi Kebijakan Publik Van Meter Dan van

Horn

2) Model Implementasi Kebijakan George Edward III

Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan

publik maka perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Untuk itu, diperlukan suatu model kebijakan

guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi

kebijakan. Edward melihat implementasi kebijakan sebagai suatu

proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling

berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan.

Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana

pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi.

Edward mengajukan empat faktor yang berperan penting

dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Faktor-faktor yang

mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi

(40)

(resources), disposisi (disposition), dan struktur birokrasi (bureucratic structure)(Edward dalam Widodo, 2007:96-110).

a) Komunikasi

Menurut Edward III dalam Widodo (2007:97),

komunikasi diartikan sebagai “proses penyampaian

informasi komunikator kepada komunikan”. Informasi

mengenai kebijakan publik menurut Edward III dalam

Widodo (2007:97) perlu disampaikan kepada pelaku

kebijakan agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui apa

yang harus mereka persiapkan untuk menjalankan kebijakan

tersebut sehingga tujuan dan sasaran kebijakan dapat

dicapai sesuai dengan yang diharapkan.

Menurut Edward III dalam Widodo (2007:97)

komunikasi kebijakan memiliki beberapa dimensi antaralain

dimensi transmisi, kejelasan dan kosistensi.

i. Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publik tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung.

(41)

iii. Dimensi konsistensi diperlukan agar kebijakan yang diambil tidak simpang siur sehingga membingungkan pelaksana kebijakan, target group dan pihak-pihak yang bekepentingan.

b) Sumber daya

Edward III dalam Widodo (2007:98) mengemukakan

bahwa faktor sumber daya mempunyai peran penting dalam

implementasi kebijakan. Menurut Edward III dalam

Widodo (2007:98) bahwa sumber daya tersebut meliputi :

i. Sumber daya manusia ii. Sumber daya anggaran iii. Sumber daya peralatan iv. Sumber daya kewenangan

c) Disposisi

Pengertian disposisi menurut Edward III dalam

Widodo (2007:104) dikatakan sebagai “kemauan,

keinginan, kecenderungan para pelaku kebijakan untuk

melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh-sungguh

sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat

diwujudkan”. Edward III dalam Widodo (2007:104-105)

menyatakan bahwa :

(42)

Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III

dalam Agustino (2006:159-160) mengenai disposisi dalam

implementasi kebijakan terdiri dari:

i. Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan masyarakat.

ii. Insentif merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif. Pada dasanya orang bergerak berdasarkan dirinya sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.

d) Struktur Birokrasi

Ripley dan Franklin dalam Winarno (2007:149-160)

mengidentifikasi enam karakterisitik birokrasi sebagai hasil

pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat yaitu :

i. Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-keperluan publik.

ii. Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hirarkinya.

(43)

iv. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas.

v. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu jarang ditemukan birokrasi yg mati.

vi. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh pihak luar.

Meskipun sumber - sumber untuk

mengimplementasikan suatu kebijakan cukup dan para

pelaksana mengetahui apa dan bagaimana, serta mempunyai

keinginan untuk melakukannya, namun Edward III dalam

Widoodo (2007:106) menyatakan bahwa “implementasi

kebijakan bisa jadi masih belum efektif karena

ketidakefisienan struktur birokrasi”. Struktur birokrasi ini

menurut Edward III dalam Widodo (2007:106) mencakup

aspek-aspek seperti struktur birokrasi, pembagian

kewenangan hubungan antar unit-unit organisasi dan

sebagainya.

Secara skematis, model implementasi kebijakan

menurutEdward III adalah sebagai berikut:

(44)

Dalam pengadaan tanah ini, peneliti menggunakan

model kebijakan menurut Edward III yaitu komunikasi,

sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Peneliti

mengacu pada model implementasi Edward III karena

sangat berkaitan dengan apa yang diteliti dan dapat

dianalisis sesuai dengan hasil penelitian. Dari hasil analisis

indikator-indikator tersebut maka akan menghasilkan

masukan bagi proses implementasi dari kebijakan tersebut.

3) Model Implementasi Kebijakan Merille S. Grindlle

Menurut Grindlle (1980) dalam Wibawa (1994),

implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks

implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan

ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan.

Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut:

a) Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan b) Jenis manfaat yang akan dihasilkan

c) Derajat perubahan yang diinginkan d) Kedudukan pembuat kebijakan e) Pelaksana program

f) Sumber daya yang dikerahkan

Sementara itu, konteks implementasinya adalah :

a) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat b) Karakteristik lembaga dan penguasa

(45)

Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks

kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor,

sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor

implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang

diperlukan.

3. Kebijakan Pengadaan Tanah

Supriadi (2008:88) mengemukakan, salah satu kebijakan

pemerintah yang paling mendasar di bidang pertanahan dan mendapat

perhatian yang serius dari pemerintah adalah penyelenggaraan pengadaan

tanah untuk kepentingan pembangunan. Sebab penyelenggaraan

pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan merupakan salah satu

kebijakan pemerintah dari 9 (sembilan) kebijakan yang dikeluarkan oleh

Presiden tahun 2003 dalam bentuk Keputusan Presiden.

Menurut Supriadi (2008:75) kebijakan pemerintah terhadap

pengadaan tanah merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan

pengadaan tanah demi kepentingan umum. Dalam artian bahwa tanah yang

telah diambil dari warga masyarakat peruntukannya benar-benar untuk

kepentingan pembangunan. Sebab esensi yang terkandung didalamnya

adalah masyarakat telah melepaskan haknya tersebut sehingga tidak ada

lagi hubungan hukum dengan pemiliknya.

Kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan

umum ini menggunakan perumusan model kelembagaan, yang pada

(46)

dilakukan lembaga pemerintah. Formulasi kebijakan bersifat topdown sebagaimana kebijakan ini ditetapkan, disyahkan, dan dilaksanakan serta

dipaksakan berlakunya oleh lembaga pemerintah. Dalam pengadaan tanah

untuk pembangunan jalan tersebut berpegang pada prinsip bahwa semua

tanah yang ada dalam wilayah negara kita adalah tanah bersama seluruh

rakyat Indonesia yang bersatu menjadi Bangsa Indonesia dan dikuasai oleh

Negara.

Pengadaan tanah sebagai suatu perbuatan hukum yang dilakukan

oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah bagi kepentingan tertentu

dengan cara memberikan ganti kerugian kepada si empunya (baik

perorangan atau badan hukum) tanah menurut tata cara dan besaran

nominal tertentu. Pengadaan tanah mempunyai maksud dan tujuan yaitu

untuk mengadakan atau menyediakan tanah untuk pelaksanaan

pembangunan umum atau fasilitas sosial dengan memberikan ganti rugi

kepada yang berhak atas tanah, bangunan atau tanaman dan/atau

benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang terkena proyek tersebut.

Menurut Sitorus (2004:5), aktivitas pengadaan tanah untuk

kepentingan pembangunan secara teoritik didasarkan pada azas/ prinsip

tertentu dan terbagi menjadi dua subsistem:

1) pengadaan tanah oleh pemerintah karena kepentingan umum 2) pengadaan tanah oleh pemerintah karena bukan kepentingan

umum (komersial).

Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua)

(47)

1) Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas

tanah (pembebasan hak atas tanah) ;

2) Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.

Diperjelas dalam uraian yang lain Soemardjono (2008:249-252)

menyatakan bahwa dari sisi hukum dimensi keadilan (justice) harus dikedepankan artinya makna fungsi sosial terjadinya keseimbangan antara

kepentingan umum dan kepentingan perorangan. Tegasnya hak-hak yang

sah (legal) dari subyek hak atas tanah harus dilindungi dan dihargai. Di sisi lain, keikhlasan pemegang hak demi kepentingan masyarakat yang

lebih luas juga sepantasnya dihargai oleh pemerintah/ pemerintah daerah

dan panitia pengadaan tanah.

a. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kelancaran Pengadaan

Tanah

Masalah pengadaan tanah untuk proyek pembangunan bagi

kepentingan umum sering menghadapi berbagai kendala yang

kompleks, apalagi bagi kota-kota yang padat penduduknya

termasuk Kota Salatiga yang lahannya sangat terbatas.

Pembangunan proyek-proyek untuk kepentingan umum karena

berbagai pertimbangan sering kali harus menggunakan tanah yang

telah dihuni dan menjadi milik warga masyarakat, sehingga secara

ekstrim kemudian timbul istilah “penggusuran”. Sebagai upaya

menangani masalah ini memerlukan kebijakan dan kearifan

(48)

banyak. Oleh sebab itu demi kelancaran terlaksananya pengadaan

tanah untuk pembangunan, maka perlu adanya pemberian ganti

rugi serta musyawarah dengan para pemegang hak tanah agar

bersedia “menyerahkan” tanahnya untuk pembangunan.

1) Pemberian Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah

Dalam bukunya, Supriadi (2008:80) mengemukakan

bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah penggantian terhadap

kerugian baik yang bersifat fisik dan/ atau nonfisik sebagai

akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah,

bangunan, tanaman dan/ atau benda-benda lain lain yang

berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan

hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi

sebelum terkena pengadaan tanah.

Ganti rugi merupakan hal yang paling penting untuk

diperhatikan dalam pelaksanaan pengadaan tanah karena

menyangkut kepentingan dua belah pihak khususnya pihak

pemegang hak atas tanah, yang mana dengan penetapan ganti

rugi tersebut diharapkan tidak ada yang merasa dirugikan

nantinya baik dari pihak pemerintah maupun dari pihak

masyarakat yang tanahnya dikenai pengadaan tanah.

Dalam menetapkan besarnya ganti rugi menurut

Abdurrahman (1996 : 53) harus diperhatikan :

(49)

b) Bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah dan atau fasilitas lainnya.

c) Yang berhak atas ganti rugi itu adalah mereka yang berhak atas tanah/ bangunan/ tanaman yang ada diatasnya, dengan berpedoman kepada hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria dan kebijaksanaan pemerintah.

Adapun bentuk dari ganti rugi dapat berupa :

a) Uang ; dan/ atau

b) Tanah pengganti ; dan/ atau Pemukiman kembali

Apabila dari ketiga bentuk diatas, pemegang hak atas

tanah tidak menghendaki, maka dapat diberikan kompensasi

berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

2) Musyawarah

Supriadi (2008:92), mengemukakan bahwa pengadaan

tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan

umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka

memperoleh kesepakatan mengenai :

a) pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut;

b) bentuk dan besarnya ganti rugi.

Dengan demikian, kesepakatan mengenai besarnya

ganti rugi hanya dapat dilakukan melalui musyawarah. Namun

(50)

ganti rugi, maka ganti rugi dapat dititipkan ke Pengadilan

Negeri.

Musyawarah dipimpin oleh ketua Panitia Pengadaan

Tanah dan dilakukan secara langsung antara pemegang hak,

instansi yang memerlukan tanah dan panitia. Dalam hal jumlah

pemegang hak tidak memungkinkan terselenggaranya

musyawarah secara efektif, dilakukan dengan perwakilan

melalui kuasa. Penunjukkan kuasa dilakukan secara tertulis,

bermaterai dan diketahui Kepala Desa/pejabat yang

berwenang.

Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang

tidak dapat dialihkan/dipindahkan secara teknis tata ruang ke

tempat lain/lokasi lain, maka musyawarah dilakukan selama

120 (seratus dua puluh) hari kalender sejak tanggal undangan

pertama. Apabila setelah diadakan musyawarah tidak tercapai

kesepakatan, Panitia Pengadaan Tanah menetapkan besarnya

ganti rugi dan menitipkan ganti rugi uang kepada Pengadilan

Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang

bersangkutan. Demikian halnya apabila terjadi sengketa

kepemilikan setelah penetapan ganti rugi, maka panitia

menitipkan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri.

Musyawarah yang dilakukan antara pemegang hak atas

(51)

apabila tercapai kesepakatan maka panitia mengeluarkan

keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi sesuai

kesepakatan.

b. Prosedur / Tahap Pelaksanaan Pengadaan Tanah

Tata cara atau prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan

umum telah diatur secara jelas dalam UU PTUP dan peraturan

pelaksananya, mulai dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan,

tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil berdasarkan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71

Tahun 2012 sebagai berikut :

1) Tahap Perencanaan

Setiap instansi yang memerlukan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum, agar menyusun

Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah, yang sedikitnya

memuat: (1) maksud dan tujuan rencana pembangunan, (2)

kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah

(RTRW) dan Prioritas Pembangunan, (3) letak tanah, (4) luas

tanah yang dibutuhkan, (5) gambaran umum status tanah, (6)

perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah dan

pelaksanaan pembangunan, (7) perkiraan nilai tanah, dan (8)

rencana penganggaran.

Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah tersebut

(52)

survei sosial ekonomi, (2) kelayakan lokasi, (3) analisis

biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan

masyarakat, (4) perkiraan harga tanah, (5) dampak

lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat

pengadaan tanah dan bangunan, serta (6) studi lain yang

diperlukan.

Dokumen Perencanaan tersebut selanjutnya diserahkan

oleh instansi yang memerlukan tanah kepada Gubernur yang

melingkupi wilayah dimana letak tanah berada.

2) Tahap Persiapan

Dalam tahapan pelaksanaan, Gubernur membentuk Tim

Persiapan dalam waktu paling lama 10 hari kerja, yang

beranggotakan: (1) Bupati/Walikota, (2) SKPD Provinsi

terkait, (3) instansi yang memerlukan tanah, dan (4) instansi

terkait lainnya. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Tim

Persiapan, Gubernur membentuk sekretariat persiapan

Pengadaan Tanah yang berkedudukan di Sekretariat Daerah

Provinsi. Adapun tugas Tim Persiapan sebagai berikut:

a) Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan

b) Melakukan pendataan awal lokasi rencana pengadaan

c) Melaksanakan Konsultasi Publik rencana pembangunan

d) Menyiapkan Penetapan Lokasi Pembangunan

(53)

f) Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum yang ditugaskan oleh Gubernur.

3) Tahap Pelaksanaan

Berdasarkan Penetapan Lokasi Pembangunan untuk

kepentingan umum, instansi yang memerlukan tanah

mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah kepada Ketua

Pelaksana Pengadaan Tanah dengan dilengkapi/dilampiri

Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah dan Penetapan

Lokasi Pembangunan.

Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah

diserahkan kepada Kepala BPN, yang pelaksanaannya

dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua

Pelaksana Pengadaan Tanah (dengan pertimbangan efisiensi,

efektifitas, kondisi geografis dan sumber daya manusia,

dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor Pertanahan).

4) Tahap Penyerahan hasil

Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan

hasil pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan

tanah disertai data Pengadaan Tanah paling lama 7 hari kerja

sejak pelepasan hak Objek Pengadaan Tanah dengan berita

(54)

instansi yang memerlukan tanah wajib melakukan

pendaftaran / pensertifikatan untuk dapat dimulai proses

pembangunan

4. Ketentuan Hukum yang Mengatur Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Pengadaan tanah pada dasarnya merupakan suatu usaha penyediaan

tanah dalam rangka pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum. Berbagai pengaturan pengadaan

tanah yang pernah atau sedang berlaku adalah:

a. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 tentang

Ketentuan-Ketentuan mengenai Pembebasan Tanah;

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1976 tentang

Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentiangan

Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta;

c. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1985 tentang Tata

Cara Pengadaan Tanah untuk Keperluan Proyek Pembangunan di

Wilayah Kecamatan;

d. Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan

peraturan pelaksanaannya Peraturan Menteri Negara Agraria No. 1

Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Keputusan

(55)

berlakunya Keppres ini maka dinyatakan tidak berlaku lagi

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, Peraturan

Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1976 dan Peraturan Menteri

Dalam Negeri No. 2 Tahun 1985;

e. Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan

peraturan pelaksananya Peraturan Kepala BPN No.3 tahun 2007

tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden No. 36 Tahun

2005. Dengan berlakunya Perpres No. 36 Tahun 2005 ini maka

dinyatakan tidak berlaku lagi Keppres No. 55 Tahun 1993;

f. Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Perpres no. 36

Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan umum yang memperbaharui

Perpres no. 36 Tahun 2005.

Peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam Pelaksanaan

Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo di Kota

Salatiga adalah Perpres No. 36 Tahun 2005 junto Perpres No. 65 Tahun

2006 dan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan

Pelaksana Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 sebagaimana telah

diubah dengan Perpres no. 65 Tahun 2006 karena peraturan tersebut

adalah peraturan yang berlaku pada saat proyek pembangunan Jalan Tol

(56)

B. Penelitian yang relevan

Tesis dari Dwi Agus Purwanto, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

dengan judul “Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Dalam Pembangunan Jalan Lintas Selatan Pulau Jawa di Kabupaten

Wonogiri”, tahun 2008.

Peneliti memilih penelitian tersebut sebagai peneltian yang relevan

karena peneliti merasa bahwa dari penelitian tersebut, menjelaskan bahwa

pengadaan tanah menjadi sebuah pelaksanaan dari kebijakan publik yang

dalam prosesnya juga menimbulkan beberapa konflik kepentingan. Penelitian

inilah yang menjadi sorotan dimana dalam hal ini peneliti juga membahas

proses pelaksanaan kebijakan pengadaan tanah serta konflik yang terdapat

dalam pelaksanaan kebijakan pengadaan tanah dalam pembangunan Jalan Tol

Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga.

C. Kerangka Pikir

Tanah merupakan modal dasar dalam pembangunan, oleh karena itu

tanah memiliki peran penting dalam pembangunan. Segala kegiatan

pembangunan baik untuk kepentingan umum maupun sektor swasta selalu

membutuhkan tanah sebagai media dalam melaksanakan pembangunan. Pada

kondisi saat ini kebutuhan tanah sangat meningkat sedangkan persediaan

tanah sudah sangat terbatas, terutama tanah negara. Hal ini bisa menimbulkan

konflik antara perorangan sebagai pemegang hak tanah dengan kepentingan

umum. Maka dari itu perlu adanya kebijakan atau peraturan yang berguna

(57)

jika nantinya terjadi pelepasan hak atas tanah (pengadaan tanah) pada

masyarakat pemilik tanah guna pembangunan untuk kepentingan umum.

Kebijakan yang mengatur tentang pengadaan tanah yaitu Perpres No. 36

tahun 2005, Perpres No. 65 tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN RI No. 3

tahun 2007.

Salah satu upaya untuk mengurangi konflik dalam pengadaan tanah,

maka perlu adanya implementasi kebijakan/ peraturan yang mengatur ganti

rugi terhadap pengadaan tanah tersebut. Panitia Pengadaan Tanah (P2T)

melakukan musyawarah kepada warga sekitar yang tanahnya akan dipakai

dalam pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga.

Mereka nantinya akan sepakat dengan harga/ bentuk ganti rugi yang akan

diberikan sebagai bentuk timbal balik atas pelepasan hak tanah mereka.

Musyawarah ini bertujuan agar muncul kesepakatan antara Panitia

Pengadaan Tanah (P2T) dengan masyarakat pemegang hak atas tanah akan

ganti rugi yang hendak diberikan. Hal ini diharapkan agar terwujud kepuasan

bersama terutama kepuasan masyarakat yang tanahnya akan dipakai untuk

pembangunan tol Semarang-Solo ruas jalan Bawen-Salatiga.

Dalam implementasi kebijakan pengadaan tanah perlu memperhatikan

indikator-indikator sesuai model implementasi kebijakan. Dalam pengadaan

tanah ini, peneliti menggunakan model kebijakan menurut Edward III yaitu

komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Peneliti mengacu

pada model implementasi Edward III karena sangat berkaitan dengan apa

(58)

analisis indikator-indikator tersebut maka akan menghasilkan masukan bagi

proses implementasi dari kebijakan tersebut.

Terlaksananya proses implementasi kebijakan tersebut akan

menentukan keberhasilan proses terlaksanya kebijakan pengadaan tanah guna

mencapai tujuan yang diinginkan.

Gambar 6 : Kerangka Pikir

D. Pertanyaan Penelitian

1. Komunikasi

a. Bagaimana proses penyampaian informasi tentang adanya kebijakan

pengadaan tanah?

Rencana pembangunan tol

membutuhkan tanah sebagai sarana, baik tanah negara maupun masyarakat

(59)

b. Apakah maksud, tujuan, dan substansi kebijakan pengadaan tanah

dijelaskan secara jelas?

c. Apakah komunikasi yang disampaikan sudah konsisten?

2. Sumber daya

a. Siapa saja pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan

pengadaan tanah?

b. Berapa anggaran yang tersedia untuk kebutuhan pelaksanaan

kebijakan pengadaan tanah?

c. Peralatan apa saja yang menunjang pelaksanaan pengadaan tanah?

d. Bagaimana kewenangan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya

yang tersedia?

3. Disposisi

a. Bagaimana kinerja para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan

tugas dalam rangka pembebasan lahan?

b. Apakah ada anggaran khusus bagi para pelaksana kebijakan dalam

melakukan tugas mereka?

4. Struktur birokrasi

(60)

43

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif.

Menurut Sugiyono (2003:11) penelitian deskriptif adalah penelitian yang

dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau

lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara

satu variabel dengan variabel lainnya.

Alasan peneliti menggunakan pendekatan deskriptif karena penelitian ini

bertujuan untuk mendiskripsikan kondisi yang terjadi, menjelaskan proses

peristiwa, serta menjawab pertanyaan tentang kondisi yang terjadi terhadap

pelaksanaan kebijakan pengadaan tanah dalam pembangunan Jalan Tol

Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga, keterangan-keterangan tersebut

nantinya dianalisis berdasarkan fakta-fakta yang ada.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi di Kecamatan Tingkir

dan Kecamatan Sidorejo, Kantor Tata Pemerintahan Kota Salatiga, Kantor

Tim Pengadaan Tanah (TPT) serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota

Salatiga. Penelitian dilaksanakan bulan Januari 2014 – April 2014.

Penelitian dilakukan di Badan Pertanahan Nasional, kantor Tim

Pengadaan Tanah dan kantor Tata Pemerintahan karena Badan ini merupakan

(61)

daerah di bidang pertanahan, pajak serta tata kota dan memilih studi kasus di

Jalan Tol Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga karena dekat dengan

domisili peneliti sehingga ikut merasakan dampak dari pelaksanaan kebijakan

tersebut.

C. Subyek Penelitian

Dalam Sukandarumidi (2002:65) yang dimaksud subyek penelitian

adalah sesuatu, baik orang, benda ataupun lembaga (organisasi), yang sifat

keadaannya akan diteliti. Dengan kata lain subyek penelitian adalah sesuatu

yang di dalam dirinya melekat atau terkandung obyek penelitian.

Subyek penelitian dalam hal ini sejumlah 14 orang antara lain :

1. Bapak Yuwantoro, S.sos, Kasubsi Pengaturan Tanah Pemerintah Kantor

Pertanahan Kota Salatiga;

2. Ibu Dra. Tatik Rusmiati, M.Kes, Kepala Tata Pemerintahan Kota Salatiga;

3. Bapak Cansio Xavier, Staf Kantor Tata Pemerintahan Kota Salatiga;

4. Bapak Heru Budi Prasetyo, SH, Kepala Tim Pengadaan Tanah ruas

Bawen-Salatiga;

5. Bapak Sutikno, A.Md, Sekretaris Tim Pengadaan Tanah ruas

Bawen-Salatiga;

6. Bapak Reno, staf Tim Pengadaan Tanah ruas Bawen-Salatiga;

7. Bapak Lurah Bugel, Kauman Kidul, Kutowinangun, Tingkir Tengah kota

(62)

8. Masyarakat yang terkena pembebasan lahan di wilayah kelurahan Bugel,

Kauman Kidul, Kutowinangun, dan Tingkir Tengah kota Salatiga

sejumlah 4 orang.

D. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menjadi instrumen atau alat penelitian itu

sendiri. Peneliti bertindak sebagai pengumpul data dan sebagai instrumen aktif

dalam upaya mengumpulkan data di lapangan. Lexy J. Moleong (2010:168)

menjelaskan “peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data,

penganalisa, penafsir data, dan pada akhirnya peneliti menjadi pelapor hasil

penelitiannya”. Sedangkan instrumen pengumpulan data yang lain selain

manusia adalah berbagai bentuk alat bantu (kamera, alat tulis, alat perekam)

dan berupa dokumen-dokumen yang dapat digunakan untuk menunjang

keabsahan hasil penelitian, namun berfungsi sebagai instrumen pendukung.

Peneliti secara langsung terjun ke lapangan untuk melihat proses

pembayaran ganti rugi pembebasan lahan untuk pembangunan Jalan Tol

Semarang-Solo ruas Jalan Bawen-Salatiga. Dalam proses penelitian, peneliti

menggunakan alat bantu pengumpulan data yaitu berupa pedoman wawancara,

pedoman observasi, serta laporan/bukti catatan lapangan.

E. Jenis Data dan Sumber Data

1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah berupa hasil wawancara.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil dari pelaksanaan program Tha Prink: Pengolahan limbah tusuk sate yang telah dilaksanakan di desa Bendungan kecamatan Kudu kabupaten Jombang, dapat

Kegiatan tindak pidana penangkapan ikan telah memberikan banyak kerugian bagi Negara sehingga pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan

ELECTRONICS SOLUTION/TELESINDO - LT.2 (MALL DEPOK)_HHP ELECTRONICS SOLUTION - LT.1 BLOK A (TERAS KOTA MALL)_HHP ELECTRONICS SOLUTION - LT. 2 B2 (GRAND GALAXY PARK)_HHP

Hal ini disebabkan tanaman dapat tumbuh dengan baik apabila hara yang diperlukan dalam proses metabolisme tersedia dalam jumlah yang cukup dan diserap dengan

dengan berat badan lebih rendah. Alat pencernaan bayi prematur masih belum sempurna,. lambung kecil, enzim pencernaan belum

Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, pertanyaan utama yang akan GLDQJNDW EHUGDVDU ODWDU EHODNDQJ PDVDODK DGDODK ³%DJDLPDQD HILNDVL GLUL SDGD PDQWDQ

Gusti Affandi Rani (Komplek Rumah Jabatan Pemda Landak No. Acara : Pembuktian Kualifikasi dan Negosiasi. Dengan ini diharapkan untuk dapat menunjukan Kelengkapan Dokumen

54 Tahun 2010 beserta perubahannya, terhadap peserta yang akan diusulkan sebagai calon pemenang lelang, dilakukan pembuktian kualifikasi terhadap semua data dan