Pemanfaatan Modal Sosial
Oleh Individu Pengusaha
Dalam Pengembangan Usaha
Pengantar
Pengusaha secara individu memanfaatkan modal sosial untuk pengembangan usahanya, diantaranya melalui pengembangan jaringan, kepercayaan baik terhadap sesama pelaku usaha, konsumen maupun penyedia bahan baku serta melalui usaha peningkatkan ketaatan terhadap noma, kepedulian terhadap sesama dan kerterlibatan dalam organisasi.
yang diperoleh individu dalam membangun modal sosial kepercayan. Demikian halnya bagaimana ketaatan terhadap norma, kepedulian terhadap sesama dan keterlibatan dalam organisasi terjadi serta bagaimana terbentuknya .
Jaringan
Individu pengusaha dalam mengerjakan pengecoran logam,
mula-mula melakukan sendiri dengan dibantu keluarga. Namun karena order
bertambah dan tenaga kerja terbatas, maka pengusaha mengajak tetangga
dan kerabat terdekat untuk membantu pengerjaan cor logam. Sebagaimana
diceritakan oleh Margono (mantan pengusaha pengecoran logam), sebagai
berikut :
“Mula-mula pengerjaan cor logam dilakukan secara gotong royong dengan melibatkan keluarga dan tetangga terdekat. Dalam pengerjaannya tersebut tanpa diberi imbalan uang tetapi cukup
dengan dasar kekeluargaan dan kekerabatan disebut modal sosial bonding
(perekat), yaitu tipe modal sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang
kuat (perekat sosial) dalam suatu sistem kemasyarakatan. Hasbullah (2006)
berasumsi bahwa modal sosial bonding memiliki hubungan keterkaitan
yang kuat, tetapi hanya pada jaringan yang terbatas yaitu pada kelompok
tertentu saja.
Pada masa klaster tumbuh, setelah kemerdekaan, para pelaku usaha
melakukan jaringan usaha melalui 3 (tiga) cara yaitu: jaringan lembaga
formal koperasi, jaringan kekerabatan dan jaringan mandiri. Jaringan
lembaga formal melalui koperasi, antara lain koperasi G.P.3.T, koperasi
cor logam “Prasodjo” dan koperasi Batur Jaya. Hal tersebut merupakan
awal mula pelaku usaha melakukan jaringan dengan cakupan yang lebih
luas. Suyitno (direktur POLMAN/ mantan Ka.Dinas Perindustrian Kab.
Klaten) mengatakan :
Selain melalui jaringan koperasi, para pelaku usaha tetap
mempertahankan jaringan kekerabatan dan kekeluargaan. Seperti
disampaikan Didik, sebagai berikut :
“Jaringan yang dibentuk oleh pelaku usaha Ceper sebagian besar melalui jaringan pertemanan yang melibatkan keluarga dan tetangga terdekat. Pelaku usaha di Ceper banyak yang mempunyai hubungan persaudaraan satu dengan yang lain. Selain persaudaraan, pertemanan sejak kecil juga dimanfaatkan untuk membangun jaringan usaha, baik untuk berbagi order maupun berbagai informasi”.
Cara membangun jaringan yang ke-3 (tiga) adalah melalui jaringan
mandiri, yaitu mencari konsumen sendiri. Cara ini banyak dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan besar, seperti Mitra Rekatama Mandiri, Rekacipta
Mandiri, Bahama Lasaka. Sebagaimana yang dikatakan Yahya (direktur
Mitra Rekatama Mandiri) :
perusahaan-ada di Pemerintah seperti Cipta Karya. Untuk menjaga hubungan baik dengan pasar yang penting dilakukan silaturahmi dan selalu menjaga keharmonisan dengan pelanggan”.
Dalam membangun jaringan secara mandiri dapat juga dilakukan
melalui kerjasama dengan pesaing, seperti yang diungkapkan oleh Husain
(direktur Bahama Lasaka) :
“Salah satu usaha yang saya lakukan dalam membangun jejaring pasar dengan cara melakukan kerjasama dengan pesaing perusahaan saya. Sebagai contoh, untuk mendapatkan order dari perusahaan Bakri saya bekerjasama dengan salah satu pesaing yang sebelumnya sudah menjalin
kerjasama dengan Bakri”.
Bambang (informan kunci), salah seorang direktur PT. Bojong
menyatakan bahwa untuk membangun jaringan, disamping memberikan
pelayanan yang baik kepada konsumen lama juga membangun jaringan
melalui internet. Bentuk promosi melalui internet, menurut Bambang,
efektif dalam memperkenalkan produknya kepada para konsumen.
Dampak dari ketenaran pengecoran logam di Ceper, juga merupakan
salah satu promosi yang efektif. Hal ini seperti apa yang diungkapkannya
sebagai berikut :
produk kami. Media tersebut, kami anggap cukup efektif untuk mendatangkan pembeli. Terkadang ada juga pembeli baru yang datang ke tempat kami karena mereka mendapatkan informasi bahwa Ceper sudah terkenal dengan cor logamnya. Mereka datang untuk memesan produk kami yang didasarkan pada informasi tentang ketenaran Ceper sebagai penghasil cor logam”.
Modal sosial yang terjadi melibatkan hubungan internal dengan
eksternal sehingga tipe modal sosial pada tahapan tumbuh dan berkembang
adalah bridging (menjembatani). Tipe bridging ini menurut Knorringa (2005) merupakan suatu ikatan sosial yang timbul antara pelaku usaha
di dalam klaster dengan para pengusaha besar di luar klaster. Pada tahun
1980-an sampai sekarang, individu pengusaha mulai menggunakan modal
sosial jaringan untuk melakukan kerja sama dengan pihak eksternal
disamping tentu saja tetap bekerjasama dengan pihak internal.
Berdasarkan skala usahanya, maka tipe jaringan yang digunakan
pelaku usaha cor logam ada 2 (dua), yaitu yang pertama untuk usaha
keluarga berskala kecil yang masih menggunakan jaringan keluarga dan
kerabat dalam mendapatkan order, bahan baku maupun kerja sama bisnis
lainnya, dan yang kedua adalah usaha dengan skala menengah dan besar
yang menggunakan jaringan usaha mandiri, dalam bentuk membangun
kerja sama dengan pengusaha di luar Ceper secara mandiri.
Dalam membangun jaringan usaha untuk perkuatan bisnis dilakukan
melalui jaringan non formal dan jaringan formal. Jaringan formal dengan
terlibat dalam lembaga koperasi, yaitu Koperasi G.P.3.T, Koperasi Prasojo
a) Kekeluargaan dan kekerabatan
Jaringan non formal kekeluargaan, kekerabatan dan pertemanan
banyak digunakan oleh pelaku usaha untuk membangun kerja sama
dalam bidang bisnis. Latar belakang industri pengecoran yang berasal dari
keluarga merupakan faktor terbesar dalam membangun jaringan usaha
berdasarkan kekeluargaan. Bagi pelaku usaha skala kecil maupun pelaku
usaha yang masih orientasi pada keluarga maka hampir sebagian besar
jaringan usahanya didasarkan pada keluarga dan kerabat. Seperti yang
disampaikan oleh Nunik, bahwa usaha yang ditekuni selama ini, ordernya
berasal dari perusahaan keluarga yang merupakan perusahaan induk.
Berikut pernyataan Nunik tentang pembagian order antar keluarga :
“Biasanya order dibagi secara merata oleh perusahaan induk kepada 3 (tiga) saudaranya yang mempunyai usaha sendiri-sendiri. Namun terkadang, order dibagi berdasarkan kemampuan usaha, baik dalam teknologi maupun pengerjaan. Bagi saudara yang masih mempunyai pekerjaan yang banyak, mendapatkan jatah order lebih sedikit sedangkan saudara yang sepi order mendapatkan jatah lebih banyak. Selain mendapatkan order dari perusahaan keluarga, perusahaan kami juga mendapatkan order dari Koperasi Batur Jaya berupa rem blok. Jarang sekali mendapatkan order dari tempat luar”.
Untuk usaha kecil, ketergantungan pada keluarga sangat dominan
termasuk ketergantungan pada koperasi juga cukup tinggi. Husain
order yang berasal dari Koperasi Batur Jaya.
Sedangkan bagi usaha besar maka jaringan keluarga dan kerabat
relatif kecil dipergunakan. Seperti dinyatakan oleh Yahya bahwa dalam
mencari jaringan, sedikit sekali menggunakan kekerabatan bahkan Yahya
sudah tidak mengerjakan order dari Koperasi Batur Jaya. Seperti apa yang
di uraikan oleh Yahya :
“Perusahaan besar perlu tantangan yang lebih besar dengan membangun jaringan usaha ke luar Ceper. Kami jarang sekali menggunakan kekerabatan sebagai dasar kerjasama. Bahkan kami sudah tidak mengerjakan blok rem kereta api dari Koperasi Batur Jaya. Biarkan itu menjadi pekerjaan pengusaha yang kecil-kecil”.
Bagi Husain, dalam membangun jaringan pasar cenderung dengan
eksternal namun untuk membangun jaringan usaha bagi pengembangan
pabrik, misalnya tenaga kerja maka Husain cenderung menggunakan
tenaga kerja dari tetangga-tetangga sekitar Ceper. Sebagaimana yang
disampaikan Husain :
b) Membangun kemitraan
Dalam membangun jaringan usaha, pola yang dilakukan beberapa
pelaku usaha Ceper dengan pola kemitraan yang didasarkan saling
percaya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Husain :
“Pola kemitraan itu enak karena kerjasama yang terjalin akan lebih lama disamping itu didasarkan pada pengertian kedua belah pihak. Dasar kerjasama bukan semata-mata hubungan antara penjual dan pembeli tetapi merupakan kemitraan yang didasarkan kepercayaan kedua belah pihak. Apabila salah satu pihak sedang dalam kesulitan maka pihak yang lain akan membantu. Misalnya
ada supplier bahan baku yang kesulitan pendanaan, maka saya akan membayar tunai untuk pembelian bahan baku meskipun biasanya kalau tidak ada masalah saya membayar mundur atau dengan uang muka. Demikian pula, pada saat saya kesulitan biasanya perusahaan mitra bersedia untuk memberikan kelonggaran dalam pembayaran bahan baku”.
c) Silaturahmi
Silahturami sangat berkaitan dengan adat dan kebiasaan masyarakat
Ceper yang merupakan suku Jawa dengan latar belakang pedesaan. Seperti
disampaikan oleh Husain dan Didik, bahwa dalam membangun jaringan
dilakukan melalui silaturahmi terus-menerus, baik kepada para pelaku
mengatakan silaturahmi yang dibangun, tidak terbatas pada pelanggan
saat ini tetapi juga tempat dimana dia dulu bekerja di Jogja sebelum
menjadi pelaku usaha di Ceper. Menurut Yahya berkaitan dengan manfaat
silaturahmi :
“Dari hasil silaturahmi tersebut, selain dari segi agama memang dianjurkan juga menambah kepercayaan pelanggan disamping juga silaturahmi kepada teman-teman lama terkadang membuahkan hasil berupa kerjasama bisnis”.
d) Teknologi Informasi
Dengan adanya teknologi informasi yang semakin mudah di akses,
banyak para pelaku usaha khususnya yang mudah menggunakan jaringan
teknologi informasi untuk mendapatkan order. Promosi melalui teknologi
informasi menurut Bambang lebih eisien dan efektif baik dari segi biaya maupun waktu. Biasanya perusahaan menampilkan proil perusahaan
dan produk termasuk harga produk tersebut. Dari media teknologi
informasi berupa web-site, blok dan email, menurut Bambang banyak
juga menghasilkan pelanggan-pelanggan baru.
e) Kegiatan sosial berupa kegiatan keagamaan maupun hajatan
Beberapa kegiatan sosial dan keagamaan, seperti : tahlilan, salawatan,
nyadran, pengajian merupakan sarana bagi para pelaku usaha untuk
“Pada saat orang punya hajat biasanya dimanfaatkan juga untuk menjalin kerjasama bisnis cor logam, baik di antara para undangan yang hadir dalam hajatan tersebut, maupun pemilik hajatan dengan para undangan yang hadir”.
Demikian pula Suyitno juga menyatakan bahwa kegiatan sosial
seringkali digunakan untuk kegiatan bisnis, sebagaimana diungkapkannya
:
“Kegiatan-kegiatan sosial seperti selamatan, syukuran, pengajian haji terkadang dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk
mengundang mitra bisnisnya dalam rangka membangun kepercayaan dan memperkuat jaringan yang sudah terbentuk. Namun, juga mengundang calon mitra bisnis berkaitan dengan membangun jaringan usaha baru. Bagi Saya, pelaku usaha dalam membangun jaringan usaha lebih banyak dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sosial daripada kegiatan yang sifatnya formal. Dikarenakan, hampir sebagian besar masyarakat Ceper terutama di Batur adalah para pelaku usaha pengecoran logam, sehingga membicarakan bisnis cor logam pada kegiatan sosial sudah menjadi tradisi masyarakat Ceper khususnya di Batur”.
f ) Model “gethok tular”
Model “gethok tular” yaitu jaringan usaha berupa penyebaran
informasi dari satu orang ke orang lain secara informal. Gethok tular,
biasanya berasal dari pembeli yang merasa puas dengan produk maupun
maka konsumen akan merekomendasikan kepada pihak lain untuk ikut
membeli produk tersebut. Seperti apa yang di uraikan Bambang :
“Dalam penyebaran informasi perusahaannya mengandalkan konsumen lama dalam membangun jaringan usaha. Biasanya dari konsumen yang merupakan pelanggan lama tersebut, akan menginformasikan melalui “gethok tular” kepada pihak-pihak lain untuk membeli produknya”.
Manfaat dalam membangun jaringan bagi individu pengusaha
adalah mendapatkan order dan pembinaan. Disamping itu juga
mendapatkan manfaat berupa kerjasama dengan eksternal yang semakin
baik dan semakin banyak. Sebagai contoh, setiap tahun Koperasi Batur
Jaya memberikan order dan pembinaan kepada anggotanya, disamping
juga menghubungkan dengan konsumen yang berasal dari eksternal. Hal
tersebut menyebabkan jaringan melalui Koperasi Batur Jaya mengalami
peningkatan jumlah anggotanya dari tahun ke tahun. Demikian pula
manfaat jejaring bagi individu pengusaha yang dibangun melalui lembaga
non formal diantaranya kemudahan untuk mendapatkan order dan juga
pengadaan bahan baku.
Namun setelah tidak adanya kesulitan di dalam usahanya seperti
dalam pengadaan bahan baku, menyebabkan individu pengusaha dalam
membangun jaringan usaha sangat bergantung dari kepentingannya.
Ketika kepentingan individu pengusaha tidak terpenuhi maka cenderung
meninggalkan jaringan yang sudah dibangunnya. Bahkan ketika ada celah
keuntungan dari celah tersebut. Sebagaiamana yang diutarakan oleh Anas
Yusuf :
“Hal ini terjadi ketika tahun 2009, sistem tender secara terbuka dan syarat keikutsertaan tender begitu mudah, maka beberapa anggota mencoba untuk membantu pesaing Koperasi Batur Jaya dalam tender kereta api. Hal tersebut berdampak bagi kekalahan Batur Jaya dalam tender tersebut. Motivasi anggota melakukan kerjasama dengan pihak luar koperasi sehingga menjadi pesaing koperasi dalam tender dikarenakan pengusaha tersebut dituntut adanya pengembalian investasi, yang apabila tetap bekerjasama dengan koperasi pengembalian investasi tersebut tidak menjanjikan akan bisa terpenuhi untuk kembali dalam waktu relatif cepat”.
Kepercayaan
Individu pengusaha juga membangun kepercayaan di dalam
membangun jaringan usaha agar jaringan tersebut dapat bermanfaat
bagi dirinya. Dari kepercayaan yang dibangun tersebut, diharapkan
mendapatkan manfaat dalam bentuk pemberian fasilitas bagi
pengembangan usahanya, misalnya dalam mendapatkan order, bantuan
peralatan, bantuan pelatihan, keringanan harga bahan baku, kemudahan
memperoleh kredit dari bank dan lain sebagainya. Menurut Yahya manfaat
yang diperoleh dalam membangun kepercayaan kepada mitra usahanya
kebiasaan Yahya dalam membayar pinjaman tepat waktu menjadikan
Yahya dipercaya oleh semua bank dalam pemberian pinjaman.
“Dikarenakan saya selalu membayar pinjaman bank dan tidak menunggak maka memudahkan saya dalam mendapatkan pinjaman bank. Disamping itu untuk membangun kepercayaan saya selalu tepat waktu dalam melakukan pengiriman order”.
Menurut Didik, Husain, Yahya, dan pelaku usaha lainnya bahwa
modal sosial kepercayaan menempati urutan pertama dalam melakukan
bisnis. Karena kepercayaan akan berdampak pada kerja sama jangka
panjang. Untuk menjaga kepercayaan, Husain selalu mengutamakan
untuk membayar utang-utangnya, sebagaimana yang diutarakannya
sebagai berikut :
“Meskipun perusahaan kami dalam kondisi yang sulit. Untuk membangun keberlangsungan kerjasama maka kami tetap membayar hutang-hutang sebagai bentuk tanggung jawab dan juga untuk membangun kepercayaan kepada mitra bisnis kami”.
Beberapa kepercayaan yang dibangun oleh individu pengusaha
kepada pihak lain, meliputi kepercayaan terhadap sesama pelaku yang
terdiri dari penyedia bahan baku, produsen dan pedagang, kepercayaan
terhadap organisasi dan kepercayaan terhadap pemerintah.
Kepercayaan terhadap sesama pelaku muncul sejak adanya gotong-
dilakukan secara bersama dalam wadah lembaga koperasi. Modal sosial
berupa kepercayaan tersebut dipergunakan oleh individu pengusaha
untuk membangun kerjasama yang baik, untuk mendapatkan harga
yang murah dalam hubungannya dengan penjual bahan baku, sedangkan
terhadap pedagang, kepercayaan dipergunakan untuk mendapatkan
harga yang tinggi dan pembayaran yang tepat waktu. Karena seringkali
para pedagang melakukan pembayaran dengan tempo yang terlalu lama
sehingga merugikan produsen. Kepercayaan terhadap sesama pelaku pada
masa pertumbuhan sangat tinggi. Kondisi ini disebabkan klaster dalam
posisi mudah mendapatkan pesanan.
Pada awal pembentukan klaster, tingkat kepercayaan masyarakat
baik kepercayaan pengrajin terhadap penjual bahan baku atau sebaliknya
penjual terhadap pembeli cukup tinggi. Banyak penjual bahan baku
yang hanya meninggalkan barangnya dan meminta pembayaran setelah
beberapa waktu kemudian. Kemungkinan kepercayaan tersebut muncul
karena pada waktu itu produk cor logam mudah laku di pasar. Sehingga
penjual tidak perlu kuatir barangnya tidak akan dibayar oleh pengrajin.
Namun, juga disebabkan oleh adat dan budaya yang melekat pada
masyarakat, yang menimbulkan kepercayaan satu dengan yang lainnya.
Modal sosial yang mendasarkan pada bonding, kecenderungannya
untuk percaya dengan orang lain sangat tinggi terutama pada orang-orang
dengan kelompok nya sendiri. Pada saat tumbuh dan dewasa, kepercayaan
terhadap sesama pelaku cukup tinggi. Sebagaimana disampaikan Margono
:
dengan kualitas yang baik dan tepat waktu. Disisi yang lain, para produsen juga puas karena konsumen membayar tepat waktu. Berbeda, ketika terjadi krisis dimana order semakin berkurang maka kepercayaan antar pengusaha, pengusaha dengan penjual dan pengusaha dengan pembeli relatif rendah, bahkan semakin tahun semakin menurun”.
“Hal tersebut, dikarenakan tingkat persaingan semakin tinggi,
sementara Pemerintah kurang mempedulikan keberadaan cor logam, kebijakan yang lebih menganut pasar bebas di Indonesia menyebabkan yang kuat bertahan sedangkan yang lemah tidak ada yang membantu lagi. Dalam transformasi terjadi adanya kelompok-kelompok kecil yang terpinggirkan sedangkan kelompok pengusaha besar tidak mau bergabung dengan kelompok-kelompok usaha kecil tersebut”.
Kepercayaan terhadap sesama pelaku usaha saat ini menurut Didik
cukup baik. Hal ini dikarenakan tuntutan konsumen akan kualitas dan
ketepatan waktu pengiriman serta transparansi dalam penentuan harga
telah mendorong pelaku usaha yang merasa tidak mampu memenuhi
prasyarat dari konsumen tersebut akan diberikan kepada sesama
pengusaha lainnya yang mampu untuk memenuhi order. Kondisi tersebut
menjadikan kepercayaan kepada sesama semakin meningkat. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Didik sebagai berikut:
memberikan order tersebut. Adanya transparansi konsumen tentang harga, mengurangi persaingan yang tidak sehat diantara pelaku usaha. Kepercayaan terhadap sesama pelaku usaha, selain karena tuntutan pasar juga disebabkan oleh kuatnya budaya dan agama yang ada di Ceper, disamping juga karena banyak perusahaan yang berupa keluarga. Dalam adat Jawa dan masyarakat yang menjujung tinggi
agama, maka diatara saudara wajib untuk saling percaya satu dengan yang lain”.
Namun, ada beberapa pengusaha yang menyatakan bahwa
kepercayaan kepada pelaku usaha lain relatif rendah. Sebagai contoh
Bambang (informan kunci) dalam mendapatkan order, jarang sekali
diberikan kepada perusahaan lain untuk ikut membantu mengerjakan
pesanan tersebut. Menurutnya lebih baik menawarkan kepada konsumen
yang meminta dalam jumlah besar tersebut, agar waktu penyelesaian
dan pengirimannya diperpanjang, sehingga bisa dilaksanakan sendiri dan
order tidak jatuh ke tempat lain.
Manfaat membangun kepercayaan dengan konsumen diharapkan
pelaku usaha akan mendapatkan order yang berkelanjutan. Disamping
juga mendapatkan konsumen baru dari hasil rekomendasi konsumen lama
tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Bambang bahwa perusahaannya
menjaga kualitas dan pengiriman tepat waktu dalam rangka membangun
kepercayaan konsumen. Meskipun terdapat kelebihan dalam membangun
kepercayaan namun kepercayaan juga menimbulkan resiko negatif.
“Membangun kepercayaan kepada siapa saja saya lakukan agar perusahaan dapat bertahan dengan baik. Namun saya pernah mengalamai kerugian karena terlalu percaya dengan salah satu konsumen saya, hingga akhirnya harus menanggung kerugian sampai dengan Rp.10 milyar. Meskipun demikian saya tidak merasa “kapok” karena saya tetap mempertahankan untuk membangun kepercayaan dalam melakukan bisnis dengan siapa saja, baik konsumen maupun
produsen bahan baku”.
Kepercayaan terhadap organisasi, dimulai pada tahun 1954 dimana
hampir seluruh pengrajin menjadi anggota koperasi dan terlibat aktif
dalam kegiatan bisnis bersama. Untuk mendorong kepercayaan terhadap
koperasi, maka beberapa orang memilih tokoh yang menjadi panutan.
Tokoh tersebut adalah seorang yang disegani karena kemampuannya dalam
bisnis namun juga mempunyai karisma yang kuat. Kepercayaan anggota
terhadap koperasi cukup besar dikarenakan koperasi mampu mencarikan
order bagi para anggotanya. Koperasi juga menyediakan bahan baku yang
murah sekaligus memasarkan hasil akhir produk pengrajin. Modal sosial
berupa kepercayaan dari tahun ke tahun terus meningkat.
Kepercayaan terhadap organisasi dimanfaatkan oleh individu
pengusaha untuk membantu pengembangan usahanya, baik dalam bentuk
pemberian order maupun pembinaan. Individu pengusaha, menggunakan
kepercayaan terhadap organisasi pada saat mengalami krisis. Sebagai
contoh, individu pengusaha mempercayakan pengurus Koperasi Batur
Jaya untuk memperjuangkan harga bahan baku yang semakin naik agar
komitmen. Keuntungan tersebut dalam bentuk pembagian fee meskipun
tidak melaksanakan pekerjaan pengecoran logam.
Sedangkan kepercayaan terhadap pemerintah digunakan oleh
individu pengusaha untuk membangun kerja sama eksternal, disamping
pula untuk peningkatan usaha seperti bantuan peralatan, pelatihan dan
lain-lain. Sebagai contoh pada tahun 1954, pemerintah mendirikan
Perusda yang menyediakan peralatan bubut untuk membantu pengusaha
dalam memproduksi barang jadi. Peralatan bubut menyebabkan added
value meningkat, keuntungan pengusaha juga meningkat. Oleh karena itu pengusaha merasa terbantu dalam menjalankan bisnisnya, sehingga
kepercayaan pengusaha kepada pemerintah meningkat.
Pada waktu klaster mengalami pertumbuhan setelah tahun 1970,
kepercayaan pelaku usaha terhadap pemerintah meningkat. Hal tersebut
dikarenakan kepedulian pemerintah pusat kepada masyarakat Ceper besar
sekali. Tidak jarang kehadiran Menteri Perindustrian secara tiba-tiba di
Ceper tanpa diketahui sebelumnya, demikian juga pejabat setara Dirjen
sering hadir di Ceper. Bahkan para pengusaha di Ceper pada setiap acara
peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus, sering mendapat undangan
untuk ikut hadir di Istana Merdeka-Jakarta.
Mudahnya mendapatkan pesanan tersebut tidak lepas dari peranan
pendampingan Departemen Perindustrian maupun dari BUMN strategis
seperti PT. Boma Bisma Indra dan PT Barata. Kepercayaan yang terjadi
bukan hanya antar pelaku, namun juga antar pengusaha besar diluar
klaster dengan pelaku usaha di klaster. Kepercayaan tersebut, terjadi
karena adanya jaminan dari pemerintah pusat yang mengupayakan
pendampingan secara terus menerus dan komunikasi yang terbuka
berupa kepercayaan terhadap pelaku maupun terhadap perusahaan besar
bukan lagi karena adat dan budaya namun karena faktor ekonomi yang
membuktikan bahwa dengan bekerja bersama perekonomian menjadi
lebih baik. Juga disebabkan oleh komitmen yang kuat dari pemerintah
pusat untuk membantu klaster yang menyebabkan para pengusaha besar
juga mempunyai komitmen kuat untuk membantu pelaku usaha di Ceper.
Menunjukkan bahwa kepercayaan perlu disertai dengan komitmen untuk
melaksanakan apa yang sudah disepakati bersama.
Namun seiring dengan krisis moneter tahun 1998, kepercayaan
terhadap pemerintah relatif rendah dikarenakan keberpihakan
pemerintah pusat baik terhadap penyediaan bahan baku, dukungan
pasar (karena semuanya dikembalikan pada mekanisme pasar) maupun
pembinaan secara teknis semakin rendah. Demikian pula dengan adanya
otonomi daerah, euforia politik di daerah menjadi semakin menonjol,
keterbatasan SDM di daerah akan pengelolaan suatu industri kecil juga
sangat terbatas, yang semuanya ini mengakibatkan masyarakat pengusaha
cor logam Ceper merasa terabaikan. Masalah yang dihadapi baik masalah
bahan baku, pasokan listrik, pasar maupun ketrampilan harus diselesaikan
sendiri. Seolah-olah pemerintah melakukan “pembiaran” .
Ketaatan Terhadap Norma
Pengertian norma ada 2 (dua), yaitu norma berupa aturan formal
yang diatur secara tertulis dan norma berupa kebiasaan yang terjadi di
masyarakat, seperti budaya, etika bisnis, norma agama yang tidak diatur
“Pada dasarnya para pelaku usaha di Ceper cenderung mentaati norma yang ada, baik yang sifatnya formal seperti aturan di Koperasi Batur Jaya maupun non formal seperti kebiasaan menghormati yang lebih tua, sepanjang aturan tersebut dapat dipercaya akan memberikan manfaat bagi dirinya. Sedangkan aturan yang dirasa merugikan cenderung tidak akan ditaati”.
Norma Agama dan Adat Istiadat Pedesaan
Pada saat awal pembentukan klaster, Kecamatan Ceper masih
berbentuk perdesaan. Sebagai masyarakat desa, maka pelaku usaha
sangat menjunjung tinggi etika dalam berbisnis dalam bentuk ketaatan
terhadap norma baik yang formal maupun non formal. Ini juga berkaitan
dengan dasar modal sosial yang berupa kekerabatan atau bonding, biasanya
masyarakat mempunyai ketaatan terhadap norma yang cukup tinggi. Hal
tersebut dapat dilihat dari pernyataan Yuli sebagai berikut :
Beberapa budaya yang djadikan dasar dalam membangun modal
sosial, yaitu:
1) Budaya Keagamaan
Seluruh pengusaha cor logam beragama Islam. Budaya Islam menjadi
panutan dalam bekerja. Seperti apa yang dikatakan oleh Yahya direktur
Mitra Rekatama Mandiri :
“Bahwa akidah kerja Islam menuntut pada nilai-nila ke Tuhanan yang mendasari etos kerja seorang muslim. Nilai ke-Tuhanan yang berpusat pada Tauhid berprinsip hanya ada Tuhan saja dalam etos kerja. Hal ini dapat membentuk suatu sikap wirausahawan yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga tanggung jawab sosial”.
Nilai ke-Tuhanan yang tinggi tersebut, menurut Husain digunakan
oleh individu pengusaha dalam menyelaraskan kepentingan bisnis dengan
tanggung jawab sosial. Hal ini diungkapkan oleh Husain sebagai berikut:
“Kesadaran menjaga amanah (titipan dari Allah) bagi seorang wirausahawan melahirkan kewajiban moral berupa tanggung jawab untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan kerja sesuai visi dan misi yang diterapkan. Amanah digunakan oleh individu pengusaha untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas”.
menjadi rusak yang pada gilirannya akan menghancurkan tatanan
kehidupan berwirausaha, sebab menurutnya tanpa pelaksanaan amanah
yang benar dan bertanggung jawab maka basis saling percaya akan hancur
berantakan. Sebab etos amanah lahir dari proses dialektika dan releksi
endapan iman tatkala kegiatan dihadapkan pada tuntutan moralitas dan
idealisme keberhasilan.
Bentuk-bentuk ketaatan terhadap norma agama dalam kegiatan
keagamaan digunakan oleh individu pengusaha sebagai ajang silaturahmi
dengan sesama pengusaha, tetangga dan para kerabatnya termasuk “wong
cilik”. Metode ini banyak digunakan para pelaku usaha untuk meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap usaha bisnisnya (Baharudin, 2010).
Bentuk negatif dari ketaatan terhadap norma agama, berupa
kecenderungan perusahaan yang menyerah terhadap takdir seperti apa
adanya, baik berkembang maupun jatuh, perusahaan cenderung ke fatalis.
Menurut Hadi Muhyanto dalam Baharudin (2010): Kabeh niku pun garising
kuasa urip mung sak derma nglokoni, pun pasrahke karo sing gawe urip (semua kejadian itu sudah menjadi ketentuan yang Maha Kuasa, hidup itu sekedar
menjalankan tugas, terserah kepada Yang Maha Hidup). Sebagian besar
pelaku usaha masih berprinsip bahwa berhasil dan tidaknya persusahaan
tergantung pada takdir. Hal ini diakui oleh Susanto, bahwa kegagalan
itu dipengaruhi oleh sikap nrimo ing pandum, nyambut gawe mung sakdremo
anglakoni. Disamping pengusaha dengan segala keterbatasannya tidak memiliki keberanian dan menanggung resiko sehingga mereka menerima
takdir apa yang terjadi di perusahaannya.
Selain menyerah terhadap takdir, bekerja karena ibadah mengandung
sisi positif dan negatif. Positif karena berdampak pada semangat kerja
mementingkan diri sendiri dan kerja keras. Seperti yang dilakukan pada
perusahaan-perusahaan yang maju, antara lain PT. Mitra Rekatama
Mandiri, PT. Baja Kurnia, PT. Kusuma Baja, PT. Banjor Jaya, PT. Mitra
Karya Utama. Sedangkan negatif karena terjebak pada moralitas saja
sedangkan dinamisasi, revisi dan inovasi nyaris tidak dilakukan, seperti
diungkapkan oleh beberapa pelaku usaha cor logam:
“Nyambut gawe ngene wae wis cukup, sing penting rak
nyambut gawe keneng dienggo ngibadah, sithik ora apa-apa, sing penting bisa srawung, kancane nyambut gawe ya usaha nyambut gawe “ (Bekerja seperti ini sudah cukup yang penting bekerja untuk bekal ibadah, sedikit saja tidak apa-apa yang penting
bisa berteman, temannya bekerja ya berusaha bekerja).
Para pelaku usaha Ceper yang merupakan Muslim atau disebut
kalangan priyai dalam budaya Jawa, konsep bekerja itu untuk mendapatkan
penghargaan bukan prestasi (Koentjaraningrat, 1985).
2) Budaya dan Adat Istiadat Perdesaan
Tradisi nyadran, syawalan dan tradisi-tradisi lain yang berbau budaya
sebagian menghambat kerja keras namun yang lain dapat meningkatkan
silaturahmi, kredibilitas dan kepercayaan serta etos kerja yang tinggi.
Sebagaimana diutarakan Suyitno dalam Baharudin (2010) bahwa
upacara-upacara keagamaan yang bersifat budaya dapat menghambat
produksi. Suyitno mencontohkan saat digelar tradisi sadranan lebih dari
nyadran daripada bekerja. Dengan mangkirnya para karyawan proses
produksi perusahaan jadi terhambat, sehingga pesanan pembeli tidak
dapat terpenuhi yang tentu saja dapat menimbulkan kerugian besar pada
perusahaan.
Adat istiadat juga termasuk hubungan kemasyarakatan. Melanggar
norma di dalam masyarakat akan membuat orang tersebut dikucilkan.
Contoh, pada kasus Koperasi Batur Jaya pada tahun 2009 dimana ada
anggota Koperasi yang berseberangan dengan membantu perusahaan
pesaing dalam tender rem blok kereta api. Pengusaha tersebut menjadi
bahan perguncingan di masyarakat dan keluar dari anggota koperasi.
Namun akhirnya masuk kembali menjadi anggota koperasi, pada tahun
2010. Suyitno mengatakan bahwa budaya Ceper yang penuh kekeluargaan
menyebabkan perseturuan berubah menjadi persaudaraan/pertemanan
kembali.
Norma : Etika Bisnis
Masyarakat Ceper, khususnya para pengusaha cor logam banyak
dipengaruhi faktor-faktor nilai agama termasuk etika bisnis menggunakan
nilai-nilai etika agama. Etika adalah nilai manusia sebagai pribadi utuh,
jujur dan akhlak yang baik (Ahmad, 2004). Etika diartikan sebagai sopan
santun atau standar-standar moral yang mengatur perilaku manusia,
bagaimana manusia bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak.
Etika bisnis di Ceper menurut Yuli sangat baik, sebagaimana diutarakannya
“Pengusaha Ceper selama ini bisa hidup bermasyarakat, mendalami agama dan mengamalkan. Mereka dapat hidup dalam persaingan tetapi juga hidup dalam pertemanan. Mereka dapat menjaga diri dan menghindari persaingan tidak baik antar individu, dan keluarga pengusaha pada umumnya. Mereka tidak suka berebut pelanggan baru dan bahan baku cor dan menghindari permusuhan”.
Menurut Didik saat ini persaingan diantara pengusaha relatif
menurun karena permintaan pasar akan kualitas, ketepatan waktu
“delivery”, dan transpransi harga menyebabkan para pengusaha lebih
transparan dalam berbisnis, bahkan cenderung bekerjasama dengan
sesama pengusaha. Sebagai contoh, ketika terjadi pesanan produk yang
membutuhkan teknologi tinggi dan perusahaan Didik tidak mampu
melayani maka Didik akan merekomendasikan pengusaha yang lain
untuk melayani pesanan tersebut. Dalam hal ini, ada tiga manfaat yang
diperoleh dengan memberikan kesempatan kepada perusahaan lain.
Pertama, biasanya perusahaan yang diberi kesempatan tersebut, tetap
akan mengajak Didik untuk bekerjasama apabila ada spare part yang
bisa dikerjakan oleh Didik. Kedua, apabila tidak ada spare part yang
bisa dikerjakan, maka perusahaan tersebut akan memberikan fee kepada
Didik selama memang ada keuntungan yang bisa dibagi. Ketiga, dengan
merekomendasikan kepada pelaku usaha yang lain berarti membangun
kepercayaan dan jaringan, dengan maksud akan mendapatkan keuntungan
Norma : aturan organisasi
Aturan organisasi yang disusun secara transparan dengan melibatkan
seluruh anggota Koperasi menyebabkan aturan tersebut djadikan
acuan dalam pengembangan klaster. Aturan tersebut menjadi dasar
bagi individu pengusaha untuk mendapatkan haknya disamping tentu
saja harus melaksanakan kewajibannya. Pada waktu klaster mengalami
kejayaan, maka para anggota Koperasi Batur Jaya cenderung mentaati
peraturan organisasi dalam bentuk Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangga. Namun pada waktu klaster mengalami penurunan maka ketaatan
terhadap norma mengalami penurunan.
Aturan yang telah ditetapkan bersama tersebut cenderung tidak
diperhatikan lagi. Ketaatan anggota terhadap Koperasi juga mulai
menurun, meskipun relatif kecil. Dampak dari penuruan ketaatan terhadap
norma organisasi adalah pada tahun 2009 terjadi penyimpangan dengan
berkianatnya beberapa anggota yang membantu pesaing tendernya yang
menyebabkan kekalahannya. Namun karena Koperasi Batur Jaya masih
dipercaya para anggota maka pada tahun 2010 dapat mengalahkan
perusahaan pesaing dan memenangkan tender.
Kepedulian Terhadap Sesama
Dasar dari rasa kepedulian terhadap sesama timbulnya karena
budaya dan adat setempat. Sebagai contoh, pada saat terjadi kegiatan sosial
kemasyarakatan misalnya kematian ataupun pernikahan maka kegiatan
bisnis klaster dihentikan sampai acara tersebut selesai. Demikian pada
baik. Sebagaimana disampaikan Margono, bentuk kepedulian terhadap
sesama, diwujudkan pula dalam berbisnis.
“Apabila salah satu pengrajin yang mendapatkan pesanan yang cukup besar dan dimana dia tidak mampu untuk mengerjakan sendiri maka pengrajin tersebut dapat meminta bantuan terhadap pengrajin lainnya dengan cara memukul kentongan. Masyarakat pengrajin datang dan ikut membantu tanpa meminta imbalan. Namun kepedulian terhadap sesama tersebut, sebenarnya bukan semata-mata tingkat kepedulian yang tinggi tetapi juga adanya kepentingan untuk dibantu pada waktu yang lain (Reciprositas)”.
Dengan disatukan dalam Koperasi Batur Jaya menyebabkan
kepedulian para pelaku usaha sangat tinggi. Dengan membuat
kesepakatan-kesepakatan, pada order untuk produk tertentu dan dengan jumlah yang
besar akan ditangani oleh Koperasi Batur Jaya. Sementara order kecil-kecil
dan untuk produk yang tidak ditangani oleh Koperasi akan ditangani oleh
para pengrajin tersebut. Persaingan yang tidak begitu tajam, kemudahan
dalam bahan baku dan pasar, juga kemudahan dalam akses teknologi
serta bantuan dari pemerintah pusat yang cukup besar menyebabkan
kepedulian terhadap sesama relatif tinggi. Pada waktu mengalami krisis
moneter, maka tingkat kepedulian pelaku usaha terhadap sesamanya
relatif menurun karena terjadi persaingan yang tajam dan iklim usaha
yang tidak kondusif lagi. Iklim usaha yang tidak kondusif sebagai dampak
dari kurang kepedulian pemerintah terhadap usaha cor logam di Ceper
royong yang telah mengakar dan mendarah daging dalam kehidupan.
Nilai gotong-royong merupakan suatu sikap pergerakan tenaga tambahan
dari luar kalangan keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa
sibuk, seperti mendirikan rumah, bercocok tanam di sawah. Munculnya
gotong-royong antara pengusaha saat ini sebatas pada kegiatan keagamaan
atau kegiatan sosial lainnya. Sedangkan kerjasama di perusahaan cor
logam, gotong-royong atau kerja sambatan artinya minta bantuan secara
spontanitas, terbatas pada kerjasama antar bagian dengan para pekerjanya
untuk bertanggung jawab atas perkerjaannya. Dengan gotong-royong
muncul kebersamaan hidup yang kuat dalam suka dan duka.
PT. Multi Guna dan PT. Sido Maju sering memberi informasi tentang
rugi atau laba, suka dan duka. Suka ditandai dengan syukuran dan duka,
para karyawan diberi tahu untuk diajak berdoa bersama. Pengaruhnya,
para pekerja bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan, disamping
tumbuhnya kepedulian antar sesama dalam perusahaan tersebut.
Gotong-royong dan tolong-menolong tersebut, digunakan perusahaan untuk
menghadapi tantangan ke depan melalui kebersamaan (Badaruddin,
2010). Nilai-nilai kepedulian terhadap sesama di Ceper terwujud karena
kebutuhan budaya manusia, antara lain adanya perasaan pengusaha tidak
dapat hidup sendiri, karena dikelilingi oleh komunitas masyrakatnya.
Demikian pula segala aspek kehidupan pengusaha pada hakekatnya
tergantung pada manusia dan adanya perasaan untuk membangun
hubungan baik antar sesama (Koentjaraningrat, 1985).
Keterlibatan dalam Organisasi
usaha. Perkumpulan yang ada, masih berupa kumpulan desa. Jumlah
pelaku usaha yang terlibat dalam organisasi desa sangat besar. Hampir
semua masyarakat terlibat dalam organisasi desa. Keterlibatan para
pelaku usaha dalam organisasi Koperasi dimulai pada tahun 1954 dengan
pembentukan koperasi sebagai wadah organisasi masyarakat. Mula-mula
yang ikut menjadi anggota koperasi hanya beberapa orang, namun dalam
perkembangannya dengan berhasilnya koperasi mendapatkan order maka
jumlah anggota koperasi semakin besar dan hampir seluruh pelaku usaha
merupakan anggota koperasi.
Pada tahun 1960-an muncul koperasi yang lain, dimana anggota
koperasi tersebut dapat pula menjadi anggota koperasi sebelumnya.
Kehadiran 2 (dua) koperasi tersebut, mula-mula saling melengkapi satu
dengan yang lain. Termasuk seringkali melakukan kegiatan bersama.
Namun kemudian seiring dengan masuknya nuansa politik dalam tubuh
koperasi maka kepercayaan terhadap pengurus koperasi tersebut menjadi
luntur, yang ada adalah saling curiga satu dengan yang lain. Perbedaan
politik menyebabkan perpecahan diantara anggota dan menghancurkan
hubungan yang sudah lama terjalin pada koperasi tersebut.Dengan
demikian keterlibatan anggota di dalam koperasi menjadi semakin
rendah
Sejak didirikannya Koperasi Batur Jaya pada tahun 1976 yang dikelola
secara lebih professional dan lebih transparan dalam pengelolaannya baik
dalam mencarikan bahan baku, peningkatan sumber daya manusia sampai
mencari pasar secara bersama menyebabkan hampir seluruh pelaku usaha
menjadi anggota Koperasi Batur Jaya. Terbukti keanggotaannya yang
masih kuat dikarenakan pada transformasi ini, beberapa anggota
diuntungkan dengan masih mendapatkan order. Bahkan baberapa
anggota yang sudah tua masih mendapatkan fee dari keanggotaan pasifnya.
Meskipun secara kapasitas bahwa sampai saat ini kapasitas produksi di
Ceper masih stabil bahkan cenderung naik, tetapi pelaku usaha yang
melaksanakan kegiatan usahanya relatif banyak berkurang. Sehingga
yang kalah dalam persaingan berlindung di bawah koperasi Batur Jaya
dengan harapan masih mendapatkan order meskipun kecil.
Kesimpulan
Keberadaan jaringan (networking), baik untuk usaha keluarga
berskala kecil maupun kerja sama bisnis yang lebih besar, masih sangat
kuat terasa di klaster cor logam.Pengembangan jejaring dilakukan baik
melalui lembaga formal ,jaringan kekerabatan maupun jaringan mandiri.
Modal sosial dalam bentuk kepercayaan baik kepercayaan terhadap
sesama pelaku, kepercayaan terhadap organisasi dan pemerintah dalam
sejarah perkembangan klaster secara umum juga masih dimanfaatkan
dalam pengembangan bisnisnya. Demikian pula ketaatan terhadap norma,
terutama norma agama, budaya dan adat istiadat, serta etika bisnis, juga
menjadi penting bagi berkembangnya modal sosial bonding dan kepedulian
terhadap sesama, yang diwujudkan dalam budaya gotong royong, serta
keterlibatan dalam organisasi juga menjadi pendorong berkembangnya