• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENANGANI GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KAWASAN WISATA RELIGI SUNAN AMPEL SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENANGANI GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KAWASAN WISATA RELIGI SUNAN AMPEL SURABAYA."

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

FilsafatPolitik Islam

Oleh: Nadiroh E84212087

PRODI FILSAFAT POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ii

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENANGANI GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KAWASAN WISATA RELIGI SUNAN AMPEL

SURABAYA Oleh :Nadiroh ABSTRAK

Skripsi ini mengkaji tentang kebijakan pemerintah dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya. Dalam penelitian ini difokuskan untuk menjawab dua masalah utama, yakni bagaimana kehidupan sosial gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya, dan bagiamana kebijakan pemerintah kota Surabaya dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian deskriptif yang menggunakan analisis kualitatif. Tipe penelitian kualitatif deskriptif mencoba menggambarkan fenomena yang terjadi. Dalam hal ini peneliti mencoba memberikan gambaran mengenai kehidupan sosial gelandangan dan pengemis yang ada di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya, dan kebijakan pemerintah kota Surabaya dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya.

Hasil dari penelitian yang dilakukan yaitu, Kehidupan sosisal gelandangan dan pengemis yang berada di kawasan wisata religi Sunan Ampel Surabaya, tergolong dalam kelasifikasi masalah sosial manifes. Karena di kawasan wisata religi Sunan Ampel Surabaya menggelandang dan mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan, alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, tidak berlaku lagi. Para gelandangan dan pengemis sudah merasa keenakan, tanpa rasa malu dan tanpa beban moral didepan masyarakat. meski sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil menggelandang dan mengemis tetapi mereka tetap saja melakukan aktivitas tersebut. Upaya pemerintah kota Surabaya untuk menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi Sunan Ampel terbilang sudah efektif. Terlihat dari adanya razia yang dilakukan setiap satu bulan satu kali, rehabilitasi yang di tempatkan di LIPPONSOS Keputih Surabaya, dan pelatihan yang dilakukan tenaga ahli di tempat tersebut. Tapi kurangnya kesadaran dari gelandangan dan pengemis telah menghambat proses implementasi kebijakan yang efektif dan efisien.

(7)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...………... i

HALAMAN ABSTRAK ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ...………… iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ...…… v

HALAMANMOTTO …... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...……… vi

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Penegasan Judul ... 9

1.6.Ruang lingkup penelitian... 11

BAB 11 KERANGKA KONSEPTUAL 2.1 Pengertian Kebijakan Publik... 12

2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan... 17

2.1.1 Pengertian Implementasi... 18

2.1.2 Perspektif Teoritik... 20

2.1.3 Implementasi Yang Efektif... 22

2.2 Pengertian Gelandangan dan Pengemis... 23

2.2.1 Pengertian Gelandangan Dan Pengemis... 23

2.2.2 Ciri-ciri Gelandangan Dan Pengemis... 26

(8)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xi

2.2.4 Kriteria Gelandangan Dan Pengemis... 30

2.2.5 Penyebab Gelandangan Dan pengemis... 31

2.3 PenelitianTerdahulu…………... 34

BAB IIIMETODE PENELITIAN 1.1. Lokasi penelitian... 37

1.2. Pendekatan dan JenisPenelitian... 37

1.3. Objek dan Subjek Penelitian... 39

1.4. Sumber Data ... 40

1.5. Teknik Pengumpulan Data ... 41

1.6. Teknik Pemilihan Informan... 43

1.7. Metode Analisis Data ...……….. 44

1.8. Teknik Keabsahan Data ...…………. 46

1.9. Sistematika Pembahasan...…………. 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyajian Data………... 50

4.1.1. Gambaran Umum kotaSurabaya ... 50

4.1.2.Gamabaran Umum Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya...……….. 51

4.1.3 Administrasi Umum Kelurahan Ampel... 52

4.1.4 AdministrasiKependudukanKelurahanAmpel... 53

4.1.5.Kehidupan Sosial Gelandangan dan Pengemis di Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya ... 53

4.1.6 Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Gelandangan dan Pengemis di KawasanWisata Religi Sunan Ampel Surabaya……... 65

(9)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xii

4.3.1.Kehidupan Sosial Gelandangan dan Pengemis di Kawasan

Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya ... 80

4.3.2.Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Gelandangan Dan

Pengemis Di Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel

Surabaya ……... 94

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan... 113

5.2. Saran ... 114

(10)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu ...36

Tabel 4.2 Batas WilayahKelurahanAmpel………... 53

Tabel 4.2 KondisiGeografisKelurahanAmpel ………... 54

Tabel 4.3 JumlahPendudukKelurahanAmpel………... 54

Tabel 4.4 JumlahGelandangan………...56

Tabel 4.5 JumlahPengemis………... 57

Tabel 4.6 JumlahPengemisDisabilitas... 58

Tabel 4.7 Jumlah Gelandangan Hasil Observasi Lapangan…...60

Tabel 4.8 Jumlah Pengemis Hasil Observasi Lapangan………...62

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perkembangan dan pertumbuhan otonomi daerah Indonesia sejak

tahun 1945-2004 berlangsung secara terseok-seok dan tidak memiliki

wajah yang jelas. Hal ini menjadi jelas, kalau kita menelusuri

perkembangan dan pertumbuhan otonomi daerah serta proses

desentralisasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang pemerintahan daerah sejak UU Nomor 1 tahun 1945 hingga UU

Nomor 32 Tahun 2004. Pelaksanaan otonomi daerah ternyata tidak mudah

walau UUD 1945 lewat amandemen pasal 18 pada tahun 2000 telah

membuka horizon baru bagi pelaksanaan pemerintahan daerah. Penyakit

sering mengubah satu undang-undang dalam jarak waktu yang singkat dan

ikut mempengaruhi pencapaian hasil maksimal dari satu kebijakan. Hal

yang sama dialami UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Daerah lewat perubahan pertama UU Nomor 8 Tahun 2005 dan UU

Nomor 12 Tahun 2008.1

Proses dan realita pelaksanaan Otonomi Daerah dalam UU Nomor

22 tahun 1999 kemudian disempurnakan, dalam UU Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah telah melahirkan tanda-tanda khusus.

1

(12)

Terindentifikasi bahwa proses pelaksanaan otonomi daerah merupakan

aliran sungai yang terus mengalir dan berproses.

Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi

dalam penyelenggaraan pemerintah yang digulir oleh pemerintah sebagai

jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penetapan

konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara

secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan terbagi antara pemerintah

pusat disatu pihak dan pemerintah daerah dilain pihak, yang secara legal

konstitusional tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma

pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi.

Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan,

pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang

harus direspon dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan

masyarakat dan kemandirian lokal. Harapan tersebut muncul oleh karena

kebijakan ini dipandang sebagai jalan baru untuk menciptakan suatu

tatanan yang lebih baik dalam sebuah skema good governance dengan

segala prinsip dasarnya.2

Melalui pemerintahan yang desentralistik, akan terbuka wadah

demokrasi bagi masyarakat lokal untuk berperan dalam menentukan

nasibnya, serta berorientasi kepada kepentingan rakyat melalui

pemerintahan daerah yang terpercaya, terbuka dan jujur serta bersikap

2

(13)

tidak mengelak terhadap tanggung jawab sebagai prasyarat terwujudnya

pemerintahan yang akuntabel dan mampu memenuhi asas-asas kepatuhan

dalam pemerintahan.

Pemerintah kota Surabaya dalam rangka mewujudkan tata

pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa dihadapkan pada

permasalahan gelandangan dan pengemis yang belum teratasi dengan baik

sampai saat ini. Pemerintah kota Surabaya telah berupaya mengeluarkan

berbagai kebijakan untuk mengurangi angka gelandangan dan pengemis.

Namun ironisnya jumlah gelandangan dan pengemis sering mengalami

fluktuasi dari tahun ke tahun. Bahkan di kota-kota besar, jumlah

gelandangan dan pengemis biasanya bertambah ketika hari-hari besar,

sehingga usaha pemerintah tidak akan pernah ada habisnya untuk

mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis khususnya di perkotaan.

Fakta membuktikan bahwa gelandangan, dan pengemis adalah

kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di

perkotaan, khusunya di Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya.

Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah

kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, dan pengemis

merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik serta pola

penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara

hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan.3

Masalah gelandangan dan pengemis juga merupakan masalah klasik dalam

3Baharsjah, Justika S. 1999. “

(14)

urbanisasi. Oleh karena itu, jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka

jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat dipastikan bisa

diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam

mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya

preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi

mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal

ke kota-kota besar.

Latar belakang gelandangan dan pengemis sendiri

bermacam-macam. Ada yang akibat rumahnya tergusur, sehingga mereka

menggunakan gerobak untuk berpindah-pindah tempat dan mencari

sumbangan atau makanan, ada yang tinggal disamping rel kreta karena

tidak punya lahan untuk tinggal, dan ada pula yang meninggalkan

kampungnya untuk mencari kehidupan yang lebih baik di kota, tapi tidak

melengkapi dirinya dengan kemampuan yang dibutuhkan sehingga

akhirnya menjadikan pengemis sebagai profesi dan hidup menggelandang.

Selain itu faktor malas adalah faktor yang sangat mempengaruhi mereka

menjadikan gelandangan dan pengemis, karena mereka malas untuk

bekerja keras dan mencari pekerjaan yang layak sehingga mereka memilih

jalan pintas yaitu mengemis di jalanan. Bahakan ada pula gelandangan dan

pengemis yang disebabkan oleh masalah yang ada dikeluarga mereka,

misalnya mereka mendapat suatu tekanan dari keluarga.

Di Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya gelandangan

(15)

tempat strategis yang memudahkan bagi gelandangan dan pengemis untuk

meminta-minta. Dimana di kawasan ini terdapat aktivitas perdagangan

serta banyaknya peziarah (wisatawan) yang berkunjung ke makam sunan

ampel. Dalam hal ini yang menjadi permasalahan, yaitu disebabkan oleh

tiga faktor yang Pertama kurang tegasnya oknum yang melakukan

pengawasan dan pengendalian terkait maraknya gelandangan dan

pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel. Yang Kedua adanya

peluang dari kondisi tersebut yang disebabkan oleh adanya orang yang

memberi terhadap pengemis. Dan yang Ketiga pola pikir gelandangan dan

pengemis tidak produktif yang hanya memikirkan penghasilan tinggi tanpa

harus bersusah payah untuk bekerja.

Hal demikian ini tidak sesuai dengan konsep islam yang

menganjurkan sedekah dan mewajibkan zakat. Dalam hadis nabi tersuat

sebagai berikut ini:

س َ أ س ء ع ع م سأ ع ك م ع ثَ ح مَ س ع ََ َ ص ََ

َس ع ََ َ ص ََ س قف ع َ ف ء ع َ ع إ س أ م م

ِ ً خ َ أ ت خأ س أ ََ س قف ت س قف ً ش حأ م خأ َ أ ح

َنف أسم ي م ك م َمأف أس ع ك َ إ مَ س ع ََ َ ص ََ

َ ع قف ََ ق ء ش تأ َ ً ش ً حأ أسأ َ سف َ مأ

خأ ََإ أسم ي م ت

(16)

mengembalikannya?" Umar menjawab, "Wahai Rasulullah, bukankah anda telah mengabarkan kepada kami bahwa kebaikan seseorang adalah tidak mengambil sesuatu dari orang lain?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maksud hal itu adalah jika dia meminta. Jika bukan dengan meminta minta, maka itu adalah rizki yang Allah berikan kepadamu." Umar bin Khattab berkata; "Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku tidak akan meminta sesuatu kepada seorangpun, dan tidaklah seseorang memberiku sesuatu yang tidak aku minta kecuali aku akan mengambilnya".4

Sehubungan dengan ini Nabi mengcam keras tindakan meminta

minta apalagi merasa nyaman dengan kehidupan yang bebas menjadi

gelandangan dan pengemis. Hal ini dinyatakan nabi SAW:

ع ََ َ ص ََ س َ أ أ ع ج عِ ع أ ع ك م ع ثَ ح

أ م خ ع تح ف ح مك حأ خأ ِ سف َ ق مَ س تأ

ع م أ عأ أس ف ضف م ََ عأ ًًج

“Telah menceritakan kepadaku Malik dari [Abu Az Zinad]

dari [Al A'raj] dari [Abu Hurairah] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sekiranya salah seorang dari kalian mengambil tali miliknya, kemudian ia mencari kayu bakar dan memanggul di atas pundaknya, maka itu lebih baik daripada mendatangi seorang laki-laki yang diberi keluasan rizki, lalu ia meminta-minta kepadanya; baik dia diberi atau ditolak".5

Rasul SAW menyatakan bahwa dari pada datang pada seseorang

untuk meminta-minta lebih baik dia mengambil kayu dan membakar

punggungnya. Ini adalah pernyataan yang senada dengan haramnya

meminta-minta karena Nabi SAW memberikan gambaran dengan

membakar punggung bagi seseorang yang meminta-minta. Punggung

4

Mursal. Bersambung dalam Shahihain dari Umar. Bukhari 93/17 dan Muslim 12/37

5

(17)

sebagai miniatur (ukuran) akan kekuatan untuk memenuhi kebutuhan

seseorang baik bagi dirinya pribadi maupun keluarga. Kinaya (sindiran) ini

menunjukan pentingnya berusaha untuk memenuhi kebutuhan materi

walaupun hal yang demikian tidak selalu mendapatkan hasil secara

maksimal, tapi bukan berarti lalu membenarkan sikap apatis (pesimis) dan

berdiam diri dengan menikmati kebebasan sebagai gelandangan atau

pengemis, apalagi harus meninggalkan keluarganya.

Islam memberikan tatanan baik sebagai pribadi maupun keluarga

dengan adanya hak dan kewajiban. Diri pribadi maupun keluarga

merupakan amanah yang wajib dipenuhi kebutuhannya baik secara

bersama-sama maupun kepala keluarga yang paling wajib bertanggung

jawab. Hal demikian ini menunjukan bahwa islam mengarahkan

pentingnya berusaha dan menanggung kebutuhan pribadi dan keluargamya

Adanya gelandangan dan pengemis menjadi permasalahan krusial

yang harus ditangani sampai ke akar-akarnya. Sebab jika permasalahan

ditangani dipermukaannya saja, permasalahan tersebut akan terus muncul

bahkan dapat menimbulkan permasalahan lain yang lebih kompleks seperti

munculnya kriminalitas, premanisasi, eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi

seksual, dan penyimpangan prilaku.

Sehubungan dengan latar belakang diatas maka peneliti dapat

(18)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka perumusan masalah adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana kehidupan sosial gelandangan dan pengemis di

kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya?

2. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam menangani gelandangan

dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya?

1.3Tujuan Penelitian

Melihat pada latar belakang dan perumusan masalah, maka yang

menjadi tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menganalisis

kehidupan sosial gelandangan dan pengemis di kawasan wisata

religi sunan ampel Surabaya.

2. Untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menganalisis

kebijakan pemerintah dalam menangani gelandangan dan

pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan

ilmu pengetahuan mengenai kebijakan pemerintah dalam

menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata

(19)

faktor yang menghambat pemerintah dalam menangani

gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi sunan

ampel surabaya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat yang dapat di petik dari penelitian ini yaitu

untuk evaluasi terhadap implementasi kebijakan dalam

menangani gelandangan dan pengemis di kawasan wisata

religi sunan ampel surabaya. Serta rekomendasi untuk

pemerintah agar lebih tegas dalam menangani gelandangan

dan pengemis di kawasan wisata religi sunan ampel

surabaya.

1.5Penegasan Judul

Kebijakan Pemerintah :Kebijakan (policy) seringkali penggunaannya dipertukarkan dengan istilah

tujuan (goals) program, keputusan,

undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan,

dan rancangan-rancangan yang dibuat oleh

pemerintah pada suatu Negara atau daerah.

Menangani : Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1) memukuli (menghajar dan sebagainya): ia

(20)

(menggarap) sendiri: ia menangani segala

pekerjaan rumah.

Gelandangan : Adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma

kehidupan yang layak dalam masyarakat

setempat, serta tidak mempunyai tempat

tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah

tertentu dan hidup mengembara ditempat

umum. Mereka terperangkap, karena mereka

tidak mempunyai tempat untuk pindah,

sedangkan yang lainnya mengalami kerisis,

sehingga mereka terpaksa hidup dijalanan. Pengemis : Adalah orang-orang yang mendapatkan

penghasilan dengan meminta-minta dimuka

umum dengan berbagai cara dan alasan untuk

mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Pengemis merupakan salah satu bentuk

kesenjangan sosial yang paling marak saat

ini. Kawasan Wisata Religi

Sunan Ampel Surabaya : Merupakan pertemuan berbagai etnis, yang didominasi oleh etnis keturunan Arab.

(21)

cagar budaya oleh pemerintah kota Surabaya.

Terletak di bagian utara kota Surabaya,

daerah ini juga dikenal dengan istilah

kampung arab. Komunitas arab telah

menghuni kawasan ini sejak berabad-abad

silam, yaitu ketika para musafir yang berasal

dari Hadramaut datang ke pulau jawa.

Kawasan inilah yang menjadi saksi awal

mula perkembangan islam di Nusantara.

Kawasan ini merupakan tempat

berkumpulnya peradapan budaya, pusat

perekonomian, dan masyarakat multikultur.

1.6Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terbatas pada lingkup kawasan ampel, meliputi jl.

Panggung dan jl. Sasak. Untuk wawancara informannya, saya membatasi

dalam lingkup masayarakat, yang bertempat tinggal dikawasan ampel

tersebut, baik yang berada di jl. Panggung maupun di jl. Sasak. Dan para

gelandangan atau pengemis yang berada di kawasan tersebut. Sehingga

dengan lingkup yang terbatas akan memudahkan dalam menyimpulkan

penelitian tentang KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENANGANI

GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KAWASAN WISATA RELIGI

(22)

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL

2.1Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan memiliki beragam pengertian. Istilah kebijakan (policy)

sering kali penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah tujuan

(goals), program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan,

usulan-usulan, dan rancanga-rancangan besar. Perserikatan bangsa-bangsa sendiri

memeberi makna kebijakan berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar

pedoma bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai

aktifitas-aktifitas tertentu atau suatu rencana tertentu.1

Kebijakan pada intinya adalah sebagai pedoman untuk bertindak.

Pedoman ini boleh jadi amat sederhana atau komplek, bersifat umum atau

khusu, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau rinci, kualitatif atau

kuantitatif, public atau privat. Sejalan dengan makna kebijakan yang

dikemukakan oleh United Nation tersebut diatas, pengertian kebijakan

adalah “a proposed course of action of person, group, or government

withim anak given environment providing abstacles and opportunities

which the policy was proposed to ultilize and avercome in an effort to

reach an goal or relizean objective or proposed” (… serangkaian tindakan

yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu

lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan

1

(23)

kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut

dalam rangka mencapai tujuan tertentu).2

Pada pengertian lain dikemukakan, bahwa kebijakan itu adalah “A

purposive course of action followed by action or set actors in dealing with

a problem or métier of concern” (serangkaian tindakan yang mempunyai

tujuan tertentu yang di ikut dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau

sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu).

Pendapat terakhir tentang kebijakan adalah “A policy… consist of

web of dicisions and action than allocate values” (suatu kebijakan terdiri

atas serangkaian keputusan-keputusan dan tindakan untuk mengalokasikan

nilai-nilai).3

Selain ketiga definisi atau pengertian yang dikemukakan diatas,

sesungguhnya masih banyak lagi definisi yang lain, namun dari sekian

banyak itu tampaknya tidak terdapat adanya perbedaan pandangan secara

tajam dalam mengartikan suatu kebijakan. Dari ketiga pendapat mengenai

rumusan arti kebijakan, pada intinya setiap rumusan mengandung

beberapa elemen yaitu : 1) adanya serangkaian tindakan; 2) dilakukan oleh

seseorang atau sekelompok orang; 3) adanya pemecahan masalah; dan 4)

adanya tujuan tertentu. Bila keempat elemen tersebut dipadukan maka

dapat diperoleh suatu pengertian bahwa kebijakan adalah serangkaian

tindakan yang berisi keputusan-keputusan yang diikuti dan dilakukan oleh

2

Irfan M. islmay, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000) hal. 89

3

(24)

seseorang atau sekelompok orang guna memecahkan suatu masalah untuk

mencapai tujuan tertentu.

Meskipun istilah itu dapat dilakukan secara umum, namun pada

kenyataannya lebih sering dan secara luas digunakan dalam kaitannya

dengan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan pemerintah serta perilaku

Negara pada umumnya, yang lebih dikenal dengan sebutan kebijakan

Negara (public policy). Pengertian kebijakan Negara banyak ahli yang

mendefinisikannya sebagaimana halnya pada pengertian kebijakan itu

sendiri. berikut ini hanya dapat dikemukakan beberapa diantaranta, bahwa

kebijakan Negara sebagai “is whatever government choose to do or not to

do” (apappun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak

dilakukan).

Lebih lanjut dikatakan, bahwa bila pemerintah memilih untuk

melakukan sesutau maka harus ada tujuannya (obyektifnya). Dan

kebijakan Negara itu harus meliputyi semua tindakan pemerintah.Dan

bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau

pejabat pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan

oleh pemerintah pun termasuk kebijakan Negara. Hal ini disebabkan

karena „sesuatu yang tidak dilakukan’ oleh pemerintah akan mempunyai

pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan „sesuatuu yang dilakukan

pemerintah’.4

4

(25)

Pendapat yang mirip dengan yang dikemukakan oleh Dye,

dijelaskan bahwa kebijakan adalah “is what government say and do or not

do, It is the goals or purposes of government programs” (adalah apa yang

dinyatakan dan dilakukan untuk tidak dilakukan oeleh pemerintah.

Kebijakan Negara itu berupa sasaran atau tujuan program-program

pemerintah…). Kemudian, pendapat lain mengatakan bahwa, “public

policies are those developed by government bodies and officals

(kebijakan Negara adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh

badan-badan atau pejabat-pejabat pemerintah). Dan pendapat yang terakhir

mengemukakan bahwa kebijakan Negara itu, yaitu “A set of interrelated

decisions taken bay al political actor or group of actor concerning the

selection of goals and the means of achieving thme whitin a specified

situation where these decisions should, in principlr, be whitin thethe

power of these actors to achieve” (serangkaian keputusan yang saling

berkaitan, yang diambil oleh seorang actor politik atau sekelompok actor

politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk

mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan-keputusan dari para

actor tersebut).5

Dengan pengertian kebijakan tersebut diatas bagaimanapun

rumusannya, pada hakekatnya bahwa kebijakan Negara mengarah kepada

kepentingan publik (public interest), dengan mempertimbangkan nilai-nilai

yang ada. Seseorang atau sekelompok orang aktor politik (administrator

5

(26)

publik) harus senantiasa memasukkan pikiran-pikiran publik dalam

wacana politiknya, dan bukan hanya pikirannya atau kemauannya

semata-mata sebagai dasar pengambilan keputusan. Dengan demikian, kebijakan

Negara dapat disimpulkan yaitu serangkaian tindakan yang dilakukan

ataupun tidak dilakukan pemerintah baik yang dilakukan oleh seseorang

atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang

berorientasi pada kepentingan masyarakat (publik).

Dari beberapa pengertian kebijakan Negara, ada beberapa elemen

penting tentang kebijakan Negara (public policy),6

yaitu :

1. Bahwa kebijakan Negara itu dalam bentuk perdananya berupa

penetapan tindakan-tindakan pemerintah.

2. Bahwa kebijakan Negara itu tidak cukup hanya dinyatakan dengan

pernyataan saja, akan tetapi harus di implementasikan dalam

bentuk yang nyata.

3. Bahwa kebijakan Negara baik untuk melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu tu mempunyai dan dilandasi dengan maksud

dan tujuan tertentu.

Bahwa kebijakan Negara itu harus senantiasa di tujukan bagi

kepentingan seluruh anggota mayarakat.

6

(27)

2.2Pengertian Implementasi Kebijakan 2.2.1 Pengertian Implementasi

Implementasi kebijakan adalah proses pelaksanaan keptusan

kebijakan dibuat oleh lembaga pemerintah yang diarahkan untuk mencapai

tujuan yang ditetapkan dalam keputusan kebijakan tersebut. Proses

pelayanan kebijakan dimulai apabila tujuan-tujuan kebijakan telah

ditetapkan, terbentuknya program yang pelaksanaan, dana telah

dialokasiakan untuk mencapai tujuan tersebut. Ada 4 (empat) aspek

penting dalam implementasi kebijakan yaitu : siapa yang dilibatkan dalam

implementasi, hakekat proses administrasi, kepatuhan atas suatu

kebijakan, efek atau dampak implementasi7

Implementasi kebijakan dalam pengertian yang luas merupakan

alat administrasi hukum dimana sebagai actor, orgaisasi, prosedur, dan

teknik bkerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guan meraih

dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi dari sisi lain

merupakan fenomena yang kompleks, mungkin dapat dipahami sebagai

proses keluaran (out put) maupun sebagai hasil. Selain itu, proses

implementasi juga dapat dipahami sebagai “those actions by public or

private individuals (or groups) thatare derected at the achievenment of

objectives set forth in prior policy decisions” (tindakan-tindakan yang

dilakukan baik oleh individu-individu pejabat-pejabat/atau

kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya

7

(28)

tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan).

Implementasi kebijakan (policy implementation) merupakan aspek penting

dari keseluruhan proses kebijakan.

Implementasi bukanlah sekedar bersangkut-paut dengan

mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam

prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu,

termassuk masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa

dari suatu kebijakan. Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting

bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada perbuatan kebijakan.

Kebijakan-kabijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang

tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak di implementasikan.

Fungsi implementasi kebijakan adalah untuk membentuk suatu

hubungan yang memungkikan tujua-tujuan atau sasaran kebijakan Negara

diwujudkan sebagai suatu autcome (hasil). Sayangnya, dalam hasanah

pengetahuan yang kini dikenal dengan sebutan ilmu kebijakan publik,

harus diakui bahwa hanya baru pada dasawarsa terakhir ini saja para

ilmuan sosial, khususnya para ahli ilmu politik menaruh perhatian yang

besar terhadap masalah proses pelaksanaan kebijakan atau menerimanya

sebagai bagian integral dari studi proses perumusan kebijakan.8

Proses untuk melaksakan kebijakan perlu mendapatkan perhatian

yang seksama. Karena itu, keliru apabila menganggap proses pelaksanaan

kebijakan dengan sendirinya akan berlangsung secara mulus tanpa

8

(29)

hambatan. Harus dipahami bahwa proses kebijakan merupakan proses

dinamis, banyak faktor yang mempengaruhinya. Kebijakan yang telah

ditetapkan oleh pemerintah dan memperoleh legitimasi dari lembaga

legislatif, telah memungkinkan birokrasi untuk bertindak.

Pelaksanaan kebijakan di rumuskan secara pendek to implement

(untuk pelaksanaan), berarti to provide, the means for carrying out

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect

to (menimbulkan dampak terhadap sesuatu). Kalau pandangan ini diikuti,

maka pelaksanaan kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses

melaksanakan keputusan kebijakan, biasanya dalam bentuk

undang-undang peraturan pemerintah, peraturan daerah, keputusan peradilan,

perintah eksekutif, atau dekrit presiden.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses implementasi

kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perlikau badan-badan

administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan

menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melaikan pula

menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan social yang

langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua

pihak yang terlibat, dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak

baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (

(30)

Untuk mengefektifkan kebijakan yang ditetapkan maka diperlukan

adanya sifat implementasi kebijakan.9

Sifat kebijakan dibagi dalam 2 (dua)

bentuk, yaitu :

1. Bersifat Self Executing, yang berarti bahwa dengan

dirumuskannya dan disahkannya suatu kebijakan maka kebijakan

tersebut akan terimplementasikan dengan sendirinya, misalnya

pengakuan suatu Negara terhadap kedaulatan Negara lain.

2. Bersifat Non Self Executing, bahwa suatu kebijakan public perlu

diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak supaya tujuan

pembuatan kebijakan tercapai.

2.2.2 Perspektif Teoretik

Kerangka kerja teoritik berangkat dari kebijakan itu sendiri dimana

tujuan-tujuan dan sasaran ditetapkan. Disini proses implementasi bermula.

Proses implementasi akan berbeda tergantung pada sifat kebijakan yang

dilaksanakan. Macam keputusan yang berbeda akan menunjukkan

karakteristik, struktur dan hubungan antara factor-faktor yang

mempengaruhi pelaksaan kebijakan sehingga proses implementassi akan

mengalami perbedaan. Kebijakan dapat digolongkan menurut dua

karakteristik yang berbeda, yakni : jumlah perubahan yang terjadi dan

sejauh mana consensus menyangkut tujuan antara pemeran serta dalam

9

(31)

proses implementasi berlangsung. unsur perubahan merupakan

karakteristik yang paling penting setidaknya dalam dua hal :

1. Implementasi akan dipengaruhi oleh sejau mana kebijakan

menyimpang dai kebijakan-kebijakan sebelumnya untuk hal ini,

perubaha-perubaha incremental lebih cenderung menimbulkan

tanggapan positif dari pada perubaha-perubahan drastis

(rasional). Seperti telah dikemukakan sebelumnya perubahan

incremental yang didasarkan pada pembuatan keputusan secara

incremental pada dasarnya merupakan remedial dan diarahkan

lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidak sempurnaan

social yang nyata sekarang ini dari pada mempromosikan tujuan

social dimasa depan. Hal ini sangat berbeda dengan perubaha

yang didasarkan pada keputusan rasioanlyang lebih berorientasi

pada perubahan besar dan mendasar. Akibatnya, peluang terjadi

konflik maupun ketidak sepakatan antar pelaku pembuat

kebijakan akan sangat besar.

Proses implementasi akan dipengaruhi oleh jumlah perubaha

organisasi yang diperlukan. Implementasi yang efektif akan sangat

mungkin terjadi jika lembaga pelaksana tidak diharuskan melakukan

reorganisasi secara drastis. Kegagalan program-program social banyak

berasal dari meningkatnya tuntutan-tuntutan yang dibuat terhdap

(32)

2.2.3 Implementasi yang Efektif

Implementasi yang efektif memerlukan 6 (enam) kondisi,10

yaitu :

1. Tujuan-tujuan jelas dan konsisten, sehingga tujuan dapat

menyajikan standar evaluasi dan sumber-sumber yang legal.

2. Teori hubungan sebab-akibat yang memadai, sehingga dapat

memastikan bahwa kebijakan tersebut memiliki suatu teori

akurat tentang bagaimana membawakan suatu perubahan.

3. Struktur implementasi yang disusun secara legal sehingga dapat

mempertinggi pemenuhan dari mereka yang bertugas dalam

mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan

kelompok-kelompok yang merupakan target kebijakan.

4. Para pelaku implementasi yang sangat ahli mengaplikasikannya

sendiri untuk menggunakan kekuasaannya agar tujuan-tujuan

kebijakan dapat terealisasikan.

5. Dukungan kelompo yang berkepentingan dan pihak yang

berkuasa dilegislatif dan eksekutif.

Perubahan dalam kondisi sosial ekonomi yang tidak mengurangi

dukungan kelompok dan pihak yang berkuasa atau tidak berdampak pada

mekanisme hubungan yang mendukung implementasi kebijakan.

10

(33)

2.3Pengertian Gelandangan Dan Pengemis 2.3.1 Pengertian Gelandangan Dan Pengemis

Menurut Departemen Sosial R.I, “Gelandangan” adalah

orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma

kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai

tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup

mengembara di tempat umum. “Pengemis” adalah orang-orang yang

mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan

berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.11

Menurut PP No. 31 Tahun 1980, Gelandangan adalah orang-orang

yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang

layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai pencaharian dan

tempat tinggal yang tetap serta hidup mengembara ditempat umum.

Sedangkan Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan

dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan

untuk mengharap belas kasihan orang lain.12

Ali, dkk,. menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang

yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Mengutip

pendapat Wirosardjono maka Ali, dkk., juga menyatakan bahwa

gelandangan merupakan lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah

dalam stratifikasi masyarakat kota. Dengan strata demikian maka

gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai tempat

11

Depertemen sosial RI 1992

12

(34)

tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak, berkeliaran di

dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat.

Menurut Muthalib dan Sudjarwo dalam Ali, dkk., diberikan tiga

gambaran umum gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau

dimiskinkan oleh masyarakatnya, (2) orang yang disingkirkan dari

kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola hidup agar mampu

bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.13

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya

selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap14.

Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari

desa dan mencoba mengadu nasib mencari peruntungannya di kota, namun

tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan

spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka

bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal

pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg menggambarkan

bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam kategori orang

miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi dan pemberian

stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington dan

Weinberg menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru

menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.15

13

Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor, 1993) hal. 95

14

Ibid, hal. 179

15

(35)

Dengan mengutip definisi operasional Sensus Penduduk maka

gelandangan terbatas pada mereka yang tidak memiliki tempat tinggal

yang tetap, atau tempat tinggal tetapnya tidak berada pada wilayah

pencacahan. Karena wilayah pencacahan telah habis membagi tempat

hunian rumah tinggal yang lazim maka yang dimaksud dengan

gelandangan dalam hal ini adalah orang-orang yang bermukim pada

daerah daerah bukan tempat tinggal tetapi merupakan konsentrasi hunian

orang-orang seperti di bawah jembatan, kuburan, pinggiran sungai, emper

took, sepanjang rel kereta api, taman, pasar, dan konsentrasi hunian

gelandangan yang lain.

Pengertian gelandangan tersebut memberikan penjelasan bahwa

mereka termasuk golongan yang mempunyai kedudukan lebih terhormat

dari pada pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai pekerjaan

tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindah-pindah).

Sebaliknya pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lain serta

tidak tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal yang

tetap.

Dengan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai

dengan kehidupan normal yang layak dalam masyarakat setempat, serta

tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah

tertentu dan hidup mengembara di tempat umum serta mengganggu

(36)

orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di

muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas

kasihan dari orang lain serta mengganggu ketertiban umum.

2.3.2 Ciri-Ciri Gelandangan Dan Pengemis

Ciri-ciri dari gepeng (gelandangan dan pengemis) yaitu16 :

1. Tidak memiliki tempat tinggal.

Kebanyakan dari gepeng dan pengemis ini tidak memiliki

tempat hunian atau tempat tinggal. Mereka biasa mengembara

di tempat umum. Tidak memiliki tempat tinggal yang layak

huni, seperti di bawah kolong jembatan, rel kereta api, gubuk

liar di sepanjang sungai, emper toko dan lain-lain.

2. Hidup di bawah garis kemiskinan.

Para gepeng tidak memiliki penghasilan tetap yang bisa

menjamin untuk kehidupan mereka ke depan bahkan untuk

sehari-hari mereka harus mengemis atau memulung untuk

membeli makanan untuk kehidupannya.

3. Hidup dengan penuh ketidakpastian.

Para gepeng hidup mengelandang dan mengemis di setiap

harinya. Kondisi ini sangat memprihatikan karena jika mereka

sakit mereka tidak bisa mendapat jaminan sosial seperti yang

dimiliki oleh pegawai negeri yaitu ASKES untuk berobat dan

lain lain.

16

(37)

4. Memakai baju yang compang camping.

Gepeng biasanya tidak pernah menggunakan baju yang rapi

atau berdasi melainkan baju yang kumal dan dekil.

5. Tidak memiliki pekerjaan tetap yang layak, seperti pencari

puntungrokok, penarik grobak.

6. Tuna etika, dalam arti saling tukar-menukar istri atau suami,

kumpul kebo atau komersialisasi istri dan lain-lainnya.

7. Meminta-minta ditempat umum. Seperti terminal bus, stasiun

kereta api, di rumah-rumah atau ditoko-toko.

8. Meminta-minta dengan cara berpura-pura atau sedikit

memaksa, disertai dengan tutur kata yang manis dan ibah.

Namun secara spesifik, Karakteristik Gepeng dapat dibagi menjadi

 Karakteristik Gelandangan :

1. Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59

tahun, tinggal di sembarang tempat dan hidup mengembara

atau menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya di

kota-kota besar.

2. Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri,

berperilaku kehidupan bebas/liar, terlepas dari norma

kehidupan masyarakat pada umumnya.

3. Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau

(38)

 Karakteristik Pengemis :

1. Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59

tahun.

2. Meminta-minta di rumah-rumah penduduk, pertokoan,

persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah

dan tempat umum lainnya.

3. Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan ;

berpura-pura sakit, merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan

bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi

tertentu.

4. Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap,

membaur dengan penduduk pada umumnya.

Menurut Soetjipto Wirosardjono mengatakan ciri-ciri dasar yang

melekat pada kelompok masyarakat yang dikatagorikan gelandangan

adalah:”mempunyai lingkungan pergaulan, norma dan aturan tersendiri

yang berbeda dengan lapisan masyarakat yang lainnya, tidak memliki

tempat tinggal, pekerjaan dan pendapatan yang layak dan wajar menurut

yang berlaku memiliki sub kultur khas yang mengikat masyarakat

tersebut.17

17

(39)

2.3.3 Klasifikasi Gelandangan Dan Pengemis

Masalah gelandangan dan pengemis masuk dalam beberapa

klasifikasi masalah-masalah sosial,18 diantaranya adalah :

1. Masalah Sosial Patologis

Masalah sosial patologis mengacu kepada penyakit sosial

masyarakat, sehingga masalah sosial tersebut sulit sekali dipecahkan,

karena seiring dengan kehidupan masyarakat itu sendiri.

2. Masalah Sosial kontemporer-modern

Masalah sosial kontemporer-modern menunjuk pada masalah

sosial yang baru muncul pada masa sekarang atau masyarakat industri.

3. Masalah Sosial manifes

Masalah sosial manifest merupakan masalah sosial yang timbul

sebagai akibat terjadinya kepincangan-kepincangan dalam masyarakat.

Kepincangan tersebut disebabkan karena tidak sesuainya dengan norma

dan nilai masyarakat, sehingga anggota masyarakat melakukan

penyimpangan (deviant behavior). Masyarakat pada umumnya tidak

menyukai tindakan-tindakan menyimpang, sehingga berupaya untuk

menghadapi dan mengatasi masalah sosial tersebut. Jadi masalah sosial

manifest merupakan masalah sosial yang sudah ada dan terjadi.

18

(40)

2.3.4 Kriteria Gelandangan Dan Pengemis

Kriteria gelandangan dan pengemis19 meliputi :

Pertama, gelandangan dan pengemis yang bersangkutan tidak

berdaya sama sekali dalam segi materi, karena cacat fisik, tidak

berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang

lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis

menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.

Kedua, menggelandang dan mengemis seperti sudah menjadi

kegiatan ekonomi menggiurkan. Mulanya mengemis karena unsur

kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah

memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil

mengemis tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis

karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe

pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan.

Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat.

Ketiga,gelandangan dan pengemis musiman, misalnya menjelang

dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan tahun baru. Biasanya mereka

kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang sejumlah tertentu.

Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari

pengemis temporer menjadi pengemis permanen.

Keempat, gelandangan dan pengemis yang miskin mental. Mereka

ini tidak tergolong miskin sepenuhnya. Kondisi fisik termasuk pakaiannya

19

(41)

relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya berubah 180 derajat;

apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang kumel.

Maksudnya agar membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis

seperti ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Dan potensial

untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan profesinya.

Kelima, gelandangan dan pengemis yang terkoordinasi dalam suatu

sindikat. Sudah semacam organisasi tanpa bentuk. Dengan dikoordinasi

seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis (“anggota”) setia

menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat. Bisa

dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi

“profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan anggota-anggota

tersendiri.

2.3.5 Penyebab Gelandangan dan Pengemis

Permasalahan sosial gelandangan dan pengemis merupakan

akumulasi dan interaksi dari berbagai permasalahan seperti kemiskinan,

pendidikan rendah, minimnya keterampilan kerja yang dimiliki,

lingkungan, sosial budaya, kesehatan dan lain sebagaianya. Masalah ini

merupakan salah satu Masalah Sosial Strategis, karena dapat menyebabkan

beberapa masalah lainnya dan juga bersifat penyakit di masyarakat.

Pokok penyebab permasalahan dari masalah Gelandangan dan

Pengemis ini yang dapat diuraikan sebagai berikut20 :

20

(42)

1. Urbanisasi dan pembangunan wilayah yang timpang

Hal ini adalah sebuah hasil negatif dari pembangunan yang sangat

pesat di daerah perkotaan. Masyarakat desa pada umumnya tertarik dengan

kehidupan modern kota yang sangat memukau tanpa melihat sisi jeleknya.

Mereka biasanya termotivasi dengan pekerjaan dengan gaji yang tinggi di

kota tanpa melihat potensi yang terbatas dalam dirinya. berdasarkan

kemajuan tersebut yang menyebabkan masyarakat desa menuju kota-kota

besar. Mereka yang menjadi kalah saing dengan penduduk kota yang bisa

bersaing dengan kemajuan tersebut, putus asa, malu pulang ke kampong

halaman, akhirnya gelandangan dan pengemis di kota-kota besar lainnya.

Dalam pembangunan masyarakat di wilayah pedesaan sering

dijadikan objek atau konsekuensi dari pembangunan, padahal sebelum

melakukan perencanaan dan pembanguanan ada hal-hal yang harus dilalui

untuk menghasilkan perencanaan dan pembanguan yang efektif dan

berguna. Konsekuensi pembangunan itu memposisikan masyarakat

sebagai objek pembangunan dan menganggap masyarakat akan

beradaptasi sendiri terhadap perubahan-perubahan setelah pembangunan.

Padahal hal tersebut sangat fatal akibatnya terhadap kaum bawah.

2. Kemiskinan

Kemiskinan juga merupakan faktor penting dalam penyebab

bertambah banyaknya Gelandangan dan Pengemis. Menurut data dari

Badan Pusat Statistik, bahwa Jumlah Penduduk Miskin Indonesia

(43)

namun tetap saja angka ini sangat berpotensi angka menjadi angka

Gelandangan dan Pengemis di Indonesia.

3. Kebijakan pemerintah

Kebijakan-kebijakan pemerintah juga merupakan factor-faktor

penyebab dari masalah Gelandangan dan Pengemis ini.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga terkadang dianggap tidak pro

dengan rakyat. Berkaitan dengan Gelandangan dan Pengemis ada banyak

peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan tentang ini, namun lebih

berorientasi pada larangan-larangan mengemis ditempat umum, tapi bukan

mengenai upaya-upaya dalam menangani masalah Gelandangan dan

Pengemis ini. Pemerintah hanya menganggap masalah sosial bersumber

dari individunya. Konsekuensi ini dapat membebaskan pemerintah dari

"tuduhan" sebagai sumber masalah. Karena faktor penyebabnya adalah

individual, maka upaya pemecahan masalah akan lebih banyak bersifat

kuratif.

4. Masalah Pendidikan.

Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis

relatif rendah sehingga menjadi kendala untuk memperoleh pekerjaan

yang layak.

5. Masalah keterampilan kerja.

Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki

keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.

(44)

7. Rendahnya harga diri.

Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan

tidak dimiliki rasa malu untuk minta-minta.

8. Sikap pasrah pada nasib.

Mareka menganggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka

sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada

kemauan untuk melakukan perubahan.

9. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang.

Faktor diatas adalah embrio awal yang melahirkan gepeng, namun

dalam perkembangannya faktor lahirnya gepeng selain faktor di atas,

masalah gepeng juga berhubungan dengan budaya yang lahir dari

komunitas yang lama terbentuk. Atau merupakan masalah yang datang

dari akibat keturunan yang tidak dapat berkembang dalam menangani

masalah-masalah utama dalam hidupnya. Bisa diartikan juga bahwa

Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) telah berkembang menjadi sebuah

gaya hidup (life style) bagi orang-orang miskin yang tidak berpendidikan,

tidak memiliki life skill, dan orang-orang yang, orang-orang broken home,

orang cacat dan pengangguran. Cara instan tersebut merupakan bentuk

adaptasi masyarakat miskin terhadap konsekuensi pembangunan yang

melahirkan masalah sosial.

2.4Penelitian Terdahulu

Penelitian ini juga pernah di angkat sebagai topik penelitian oleh

(45)

mempelajari penelitian-penelitian terdahulu atau sebelumnya yang dapat

dijadikan sebagai acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini.

[image:45.595.108.515.236.755.2]

Antara lain:

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

No Peneliti/Tahun Topik Hasil

1. Nitha Chitrasari/ 2012

Kinerja Dinas

Sosial Kota

Cilegon dalam

Penanganan

Gelandangan dan Pengemis di Kota Cilegon

Penelitian ini mengemukakan bahwa

penanganan gelandangan dan

pengemis (gepeng) di Cilegon masih

sangat minim, kinerja suatu

organisasibisa dilihat dari

produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas. Umumnya kegiatan menggelandang dan mengemis ini dilakukan oleh ibu-ibu yang disertai

dengan anak-anaknya. Mereka

umunya relatif muda dan termasuk dalam tenaga kerja yang produktif. Dalam skripsi ini, peneliti bisa membagi kesimpulan dari hasil penelitian sesuai dengan indikator-indikator yang telah peneliti gunakan. 2. Teddy

Wijaya/ 2015

Peranan

Pemerintah Kota Semarang Dalam Menangani

Gelandangan dan Pengemis

(GEPENG).

Penelitian ini mengemukakan bahwa

penanganan gelandangan dan

pengemis (gepeng) di Cilegon masih

sangat minim, kinerja suatu

organisasibisa dilihat dari

produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas. Umumnya kegiatan menggelandang dan mengemis ini dilakukan oleh ibu-ibu yang disertai

dengan anak-anaknya. Mereka

(46)

3. Norika Priyantoro/ 2015

Penanganan

Gelandangan dan Pengemis Dalam Perspektif Siyasah (Studi pasal 24 Perda DIY Tahun 2014).

Dalam penelitian ini pokok

permasalahannya adalah bagaimana pandangan siyasah dusturiyah terhdap Perda No. 1 Tahun 2014 tentang

penanganan gelandangan dan

pengemis, adapun kesimpulan dalam penelitian ini mengemukakan bahwa

penanganan gelandangan dan

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Lokasi Penelitian

Lokasi yang peneliti ambil untuk melakukan penelitian ini adalah

sesuai dengan tema, yaitu kawasan Wisata Religi Sunan Ampel Surabaya

yang terletak di bagian utara kota Surabaya, Jalan-jalan yang melingkupi

kawasan ampel meliputi jl. Panggung dan jl. Sasak. Alasan peneliti

memilih tempat penelitian tersebut karena tempat tersebut mudah

dijangkau oleh peneliti, selain itu kawasan ini juga merupakan tempat

berkumpulnya peradapan budaya, pusat perekonomian, dan masyarakat

multikultur. Aktivitas bisnis yang masih berjalan hingga sekarang dan

banyaknya para wisatawan (peziarah) memudahkan bagi gelandangan dan

pengemis untuk meminta-minta.

3.2Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode penelitian deskripsi kualitatif karena penelitian ingin memperoleh

gambaran yang bersifat umum dan komprehensif serta mendalam

mengenai evaluasi pelaksanaan Peraturan daerah kota Surabaya nomor 2

tahun 2014 tentang penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat, terhadap penanganan gelandangan dan pengemis di kawasan

(48)

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat atau memiliki

karakteristik bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau

sebagaimana adanya (natural setting) dengan tidak dirubah dalam bentuk

simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif sebagai suatu konsep

keseluruhan untuk mengungkapkan rahasia sesuatu, dilakukan dengan

menghimpun data dalam keadaan sewajarnya, menggunakan cara kerja

yang sistematik terarah dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak

kehilangan sifat ilmiahnya.

Dimana secara terminologi pendekatan kualitatif bermakna tentang

penelitian yang holistik dan sistematis yang tidak bertumpu pada

pengukuran, adapun pencarian data dan alat pengumpulan data adalah

peneliti sendiri. tujuan penelitina kualitatif adalah untuk memahami

fenomena tentang sesuatu yang dialami objek penelitian secara holistic,

dan deskripsi dengan bentuk kata-kata dan bahasa. Pada konteks khusus

yang natural dengan menggunakan metode ilmiah.1

Berdasarkan uraian-uraian diatas penelitian kualitatif dapat

diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menyaring data atau

informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi

aspek atau bidang kehidupan tertentu pada obyeknya.

Jenis penelitian disini yaitu studi kasus dimana peneliti

mempelajari secara khusus fenomena sosial mengenai kebijakan

pemerintah dalam menangani gelandangan dan pengemis di kawasan

1

(49)

wisata religi sunan ampel Surabaya. Dari kasus ini peneliti mempelajari

secara mendalam dan dalam kurun waktu yang cukup lama.2

Adapun

secara mendalam yaitu, mengungkap fenomena yang terjadi dari beberapa

aspek. Tekanan utama dalam studi kasus adalah mengapa fenomena social

adanya gelandangan dan pengemis ini masih ada di kawasan wisata religi

sunan ampel Surabaya, dan bagaimana penanganan dari pemerintah kota

Surabaya yang masih belum menuntaskan permasalahan ini, serta

pengaruhnya terhadap masyarakat di kawasan tersebut.

3.3Objek dan Subjek Penelitian

Di dalam penelitian ini yang dijadikan obyek penelitian oleh

peneliti adalah:

1. Kebijakan pemerintah kota Surabaya terhadap penanganan

gelandangan dan pengemis.

2. Kawasan wisata religi sunan ampel Surabaya.

Di dalam penelitian ini yang dijadikan subyek penelitian oleh

peneliti adalah:

1. Pemangku kebijakan pemerintahan kota Surabaya

2. Civil society atau masyarakat

3. Gelandangan dan pengemis

2

(50)

3.4Sumber Data

1. Primer

Data primer merupakan data atau informasi asli yang diperoleh

secara langsung dari sumber aslinya. Data yang diperoleh atau

dikumpulkan langsung dari subjek peneliti dengan menggunakan alat

pengukur atau alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber

informasi yang dicari.3 Dalam hal ini adalah informan yaitu masyarakat

yang tinggal di lingkungan wisata religi sunan ampel yang mengetahui

betul gelandangan dan pengemis serta para wisatawan (peziarah).

Selanjutnya yaitu gelandangan atau pengemis sebagai pelengkap data

terkait penanganan oleh pemerintah dan yang terakhir yaitu pemerintah

daerah kota Surabaya yang menggali data terkait pananganan gelandangan

dan pengemis.

2. Sekunder

Data sekunder ini merupakan pendukung atau sebagai data

pelengkap dari data primer. Yang menjadi data sekunder berupa

benda-benda tertulis seperti buku, internet, majalah, dokumen peraturan, dan

catatan harian lainnya.4

3

Syaifuddin, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 91

4

(51)

3.5Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi

Observasi digunakan untuk mengumpulkan beberapa informasi

atau data yang berhubungan dengan ruang (tempat), pelaku, kegiatan,

obyek perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu dan perasaan. Salah satu

peranan pokok dalam melakukan observasi adalah untuk menemukan

interaksi yang kompleks dengan latar belakan social yang alami.5

Dalam penelitian ini observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah

melihat langsusng kegiatan keseharian masing-masing obyek yang diteliti

dengan berbaur langsung dalam kegiatan tersebut. Observasi ini

berlangsung tidak terlalu sulit dikarenakan peneliti sudah cukup kenal dan

familiar dengan keseharian individu-individu yang dijadikan obyek

penelitian.

Metode observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

observasi partisipan pasif. Observasi tersebut menrut Denzin diartikan

sebagai suatu strategi lapangan yang menyangkut banyak hal yakni

mengkombinasikan secara simultan analisi dokumen, wawancara

responden dan infoman, observasi pasrtisipan langsung secara intropeksi.6

Sederhananya observasi pasrtisiapn yaitu peneliti ikut berbaur dalam

keseharian para gelandangan dan pengemis dikawasan wisata religi sunan

ampel.

5

Iskandar, Metode Penelitian KualitatifI, (Jakarta: Rineka Cipta, Cet.XII, 2000), hal. 122

6

(52)

Dari hasil observasi peneliti mencari data awal terkait fenomena

social munculnya gelandangan dan pengemis di kawasan wisata religi

sunan ampel, selain itu peneliti juga mencoba memahami bagaimana

penanganan gelandangan dan pengemis oleh pemerintah melalui observasi

pasrtisipan yang melibatkan beberapan informan yang memeliki

keterampilan-ketermpilan tertentu.

2. Wawancara

Teknik wawancara ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data

dan informasi melalui Tanya jawab dengan mengajukan beberapa

pertanyaan yang tidak terstruktur kepada pihak-pihak yang berkompeten

mengenai kasus ini seperti masyarakat di sekitar sunan ampel. Teknik ini

memberikan informasi secara langsung dari narasumber yang berkompeten

dalam pembahasan laporan ini.

Dalam metode wawancara peneliti menggunakan metode

wawancara mendalam (in depth interview) yaitu, proses memeperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dan Tanya jawab sambil bertatap muka

antara pewanwancara dengan informan atau orang yang diwawancarai.

Dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana

pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan social yang relatif

lama.7

7

(53)

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan metode penunjang dari metode observasi

dan wawancara. Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya

barang-barang tertulis, cara mengumpulkan data dengan cara mencatat

data-data yang sudah ada.8 Dokumen biasanya berbentuk tulisan, gambar,

atau karya-karya menumental dari seseorang. Sehingga dengan dokumen

kita dapat mengumpulkan data dengan melihat beberapa dokumentasi

sebagai penunjang dalam pengumpulan sebuah data penelitian dan sebagai

tambahan informasi bukti yang otentik.

Adapun dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam penelitian ini

adalah data dari hasil wawancara serta penelitian yang dilakukan

dikawasan wisata religi sunan ampel bersama responden. Selain itu data

yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada di Dinas Sosial Kota

Surabaya terkait dengan data-data kependudukan.

3.6Teknik Pemilihan Informan

Dalam penellitian ini, peneliti menggunakan teknik pemilihan

informan dengan model purposive sampling dimana purposive sampling

adalah pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan

sampel yang diperlukan. Dalam bahasa sederhana purposive sampling itu

dapat dikatakan sebagai secara sengaja mengambil sampel tertentu (jika

orang maka berarti orang-orang tertentu) sesuai persyaratan (sifat-sifat,

karakteristik, ciri, kriteria) sampel (jangan lupa yang mencerminkan

8

(54)

populasinya).9

Di dalam menentukan informan berdasarkan stratifikasi

sebagai berikut:

1. Pemangku kebijakan: dinas sosial kota Surabaya

2. Civil society: bapak H. Nur Sochi selaku orang yang disegani

kawasan sunan ampel.

3. Gelandangan dan Pengemis.

3.7Metode Analisis Data

Analisa data merupakan langkah kritis dalam sebuah penelitian,

berdasarkan proses pemilihan informan dan pengumpulan data akan

diperoleh data kasar, langkah selanjutnya adalah menginterpretasikan data

tersebut agar dapat ditarik suatu hasil penelitian, hal ini membutuhkan

metode. Metode analisi data dalam penelitian kualitatif biasanya dilakukan

sejak awal penelitian (pengumpulan data) hingga akhir penelitian dan ini

yang selama beberapa bulan dilakukan oleh peneliti dengan tujuan

mendapatkan data yang dibutuhkan.

Setelah memperoleh data-data yang dibutuhkan melalui teknik

pengumpulan data yang tidak peneliti terangkan, peneliti kemudian

menganalisi data tersebut. Adapun tahapan yang digunakan untuk

menganalisa data tersebut adalah pertama, reduksi data maksudnya data

yang sudah didapat dari proses observasi, wawancara dan dokumentasi

diseleksi guna mendapatkan data yang relevan yang sesuai dengan fokus

9

(55)

masalah yang diteliti. Tahap kedua dalam menganalisa data adalah peneliti

menyajikan data atau display data ke dalam bentuk teks naratif yang

disusun secara sistematis guna menemukan jawaban dan menjelaskan

tentang fenomena social gelandangan da pengemis d kawasan wisata religi

sunan ampel Surabaya pada tahun 2015. Dan tahap ketiga adalah proses

verifikasi atau menyimpulkan data, dalam proses penyimpulan data ini

masih bersifat sementara masih dapat diuji kembali dengan data yang ada

dilapangan yaitu dengan cara merefleksikan kembali data yang sudah

didapat, peneliti bertukar ppikiran dengan teman sejawat dan

trianggulasi.10

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model analisis data

deskriptif. Model analisi deskriptif bertujuan untuk

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Tabel 4.1 Batas Wilayah Ampel
Tabel 4.2
Tabel 4.4 Jumlah Gelandangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi program pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan dalam menangani gelandangan dan pengemis di

Paper disini masih akan mengkaji dan mengeksplorasi ide dari desain perkotaan yang berkelanjutan dengan menguji identitas dari kawasan Masjid Sunan Ampel dan

Sasaran penelitian dalam penelitian ini adalah komunitas multietnik yang tinggal di kawasan Sunan Ampel Surabaya seperti, beberapa informan yang mewakili etnis-etnis mayoritas yang

Dengan adanya wisata religi Makam Sunan Kalijaga Kadilangu ini masyarakat dapat membuka usaha dan menjadikannya pekerjaan tetap yang sebelumnya menjadi karyawan dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses Quality Control pada produk oleh-oleh haji dan umroh di PT Usaha Utama Bersaudara atau Lawang Agung kawasan religi

Informan dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pariwisata, yaitu wisatawan, pedagang dan tenaga kerja di kawasan wisata religi makam Sunan

Dari sembilan gapura yang melambangkan Sembilan Wali atau Wali Sanga itu terdapat tiga gapura yang diyakini sebagai bangunan asli peninggalan Sunan

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, penulis menganalisis kendala penerapan SOP/aturan yang ada di objek wisata religi makam Sunan Gunung Jati yaitu