• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MASHLAHAH AL-MURSALAH TERHADAP AKAD NIKAH VIA TELECONFERENCE.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS MASHLAHAH AL-MURSALAH TERHADAP AKAD NIKAH VIA TELECONFERENCE."

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS

MAS}LAH}AH AL-MURSALAH

TERHADAP AKAD

NIKAH VIA

TELECONFERENCE

SKRIPSI

Oleh

Mohammad Aniq Yasrony NIM. C31212113

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

v ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Analisis Mas}lah}ah al-Mursalah Terhadap Akad

Nikah via Teleconference” ini merupakan hasil penelitian pustaka untuk

menjawab pertanyaan: Bagaimana pelaksanaan akad nikah dengan menggunakan teleconference?, Bagaimana analisis Mas}lah}ah al-Mursalah terhadap fenomena akad nikah via teleconference?.

Data penelitian dihimpun dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui pengumpulan data dengan teknik studi dokumen. Selanjutnya data yang telah dihimpun diatur dan disesuaikan dengan akar permasalahannya kemudian

dianalisis menggunakan teori Mas}lah}ah al-Mursalah. Adapun metodenya adalah

deskriptif analisis dan menggunakan pola pikir deduktif yakni memaparkan teori Mas}lah}ah al-Mursalah sebagai teori ushul fiqh untuk menganalisis problematika akad nikah via teleconference secara lebih mendalam.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pelaksanaan akad nikah

via teleconference awal mulanya dilaksanakan di Negara Timur Tengah yaitu

Negara Mesir. Pernikahan dengan model akad nikah antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan tidak berada dalam satu tempat, dianggap tidak sah karena proses akad nikah tersebut tidak dilaksanakan dalam satu majelis.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa proses akad nikah menggunakan teknologi teleconference ini didasarkan atas keinginan dari pihak pengantin atau karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertemu secara langsung. Proses akad nikah yang dilakukan tidak melalui pertemuan langsung. Praktik yang terjadi ialah ketika calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai perempuan tidak duduk bersama-sama dalam satu majelis, namun komunikasi atau ijab kabul

di antara mereka tetap terjalin dengan menggunakan video conference.

Penggunaan yang lebih modern lagi bisa melalui aplikasi skype sehingga komunikasi tercipta layaknya pertemuan secara langsung.

Hasil analisis menggunakan teori ushul fiqh Mas}lah}ah al-Mursalah

memberikan jawaban bahwa akad nikah via teleconference dihukumi boleh dan

sah manakala dilakukan sesuai aturan hukum Islam, dan terpenuhi semua rukun-rukunnya. Pelaksanaan akad nikah model ini tidak bertentangan dengan rumusan ilmu fiqh yang menjadi cikal bakal terbentuknya hukum Islam.

(6)

B. Identifikasi dan batasan masalah ... 10

C. Rumusan Masalah ... 12

D. Kajian Pustaka ... 12

E. Tujuan Penelitian ... 15

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 16

G. Definisi Operasional ... 17

H. Metode Penelitian ... 18

I. Sistematika Pembahasan ... 23

BAB II DISKURSUS TENTANG MASLAHAH AL-MURSALAH ... 25

A. Pengertian Mas{lah{ah Al-Mursalah ... 25

B. Jenis-Jenis Mas{lah{ah Al-Mursalah... 28

C. Status Hukum Mas{lah{ah Al-Mursalah... 29

(7)

E. Argumentasi Para Ulama terhadap Akad Nikah

Satu Majelis ... 29

BAB III AKAD NIKAH VIA TELECONFERENCE ... 52

A. Pengertian Perkawinan ... 52

B. Dasar Hukum Perkawinan ... 54

C. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 56

D. Akad Nikah Satu Majelis (Ittih}a>d al-Majlis) ... 59

E. Akad Nikah Via Teleconference ... 65

1. Prosedural akad nikah via teleconference ... 65

2. Pelaksanaan akad nikah via teleconference ... 70

3. Dampak yang ditimbulkan dari prosesi akad nikah via teleconference ... 72

BAB VI ANALISIS MAS{LAH{AH AL-MURSALAH TERHADAP PRAKTIK AKAD NIKAH VIA TELECONFERENCE ... 75

A. Legalisasi Akad Nikah Via Teleconference Menurut Beberapa Aspek Normatif dan Empiris ... 75

B. Analisis Mas{lah{ah al-Mursalah terhadap Proses Akad Nikah via Teleconference ... 84

BAB V PENUTUP ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 101

C. Rekomendasi ... 102

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat diharapkan banyak

orang dikarenakan banyak keuntungan dan kemuliaan bagi siapa saja yang

melakukanya. Seseorang yang sudah memiliki kemampuan baik di bidang

ekonomi maupun mental tentu ingin segera melangsungkan pernikahan.

Hanya sedikit orang saja yang berargumen bahwa pernikahan hanyalah

sebuah kegiatan formalitas saja sebagai alasan hukum untuk membolehkan

segala sesuatu yang dilarang sebelum adanya pernikahan tersebut. Hal ini

tentunya tidak relevan manakala hanya dipahami dengan salah satu

perspektif saja melainkan harus secara komprehensif terkait tentang

hakikat pernikahan itu sendiri.1

Pernikahan merupakan sunnatulla>h yang umum dan berlaku pada

semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun

tumbuh-tumbuhan.2 Nikah menurut bahasa adalah al-jam’u dan al-d}ammu yang

artinya kumpul. Menurut terminologi, pernikahan berarti akad serah terima

antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu

sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang

(9)

2

sakinah serta masyarakat yang sejahtera.3 Para ahli fiqh berkata, zawa>j atau

nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata

nikah atau tazwi>j.4

Hukum pernikahan sangatlah beragam. Hal ini disesuaikan dengan

kebutuhan masing-masing individu yang akan melangsungkan pernikahan

tersebut. Imam Nawawi mengatakan bahwa nikah dapat memperoleh

pahala yang besar manakala nikah dengan berlandaskan niat untuk menjaga

mata dari kemaksiatan, memperoleh keturunan dan sebagai tindakan riil

dalam mengikuti sunnah Rasulullah saw. Abu Ishaq al-Syirazi dalam

karyanya yang berjudul al-Muhadhdhab mengklasifikasikan hukum

pernikahan menjadi Ja>iz (boleh). Hukum bolehnya pernikahan didasarkan

kepada lezatnya buah daripada pernikahan tersebut. Beliau

menggambarkan pernikahan tersebut sebagaimana memakai pakaian yang

mewah serta memakan makanan yang lezat. Dalam satu sisi, pernikahan

menjadi wajib hukumnya manakala seseorang yang sudah memiliki

kemapanan dalam segi biaya dan memiliki kecakapan yang lebih untuk

mengarungi bahtera rumah tangga sementara orang tersebut khawatir

melakukan zina, maka wajib baginya untuk segera melangsungkan

pernikahan.5

Perkawinan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup

dan perkembangannya. Untuk itu, Allah SWT melalui utusanNya

3Rahmat Sudirman, Konstruksi Seksualitas..., 76. 4 Sohari Sahrani, Fikih Munakahat..., 08.

(10)

3

memberikan suatu tuntunan mengenai perkawinan ini sebagai dasar hukum.

Adapun dasar hukum perkawinan dalam Islam adalah firman Allah SWT

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.

dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.6

 Surat Ar-Ru>m ayat (21):

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian

itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.7

Selain ayat-ayat al-Qur’an tersebut, ada juga Hadist Nabi

Muhammad saw yang berisi anjuran-anjuran perkawinan. Di antaranya

adalah anjuran perkawinan bagi orang-orang yang telah dianggap mampu

dan mempunyai kesanggupan memelihara diri dari

kemungkinan-kemungkinan melakukan perbuatan yang tercela (terlarang), maka

perkawinan lebih baik baginya. Sabda Nabi Saw:

(11)

4

Artinya: “Telah diceritakan kepada kami oleh Abu Bakar bin Abi

Syaibah dan Abu Kuraib, mereka berdua berkata : telah diceritakan kepada kami oleh Abu Mu’awiyah dari A’masy dari Umaroh bin Umair dari Abdurrahman bin Yazid dari Abdullah berkata : Rasulullah Saw telah bersabda kepada kami : Wahai kaula muda ! Barang siapa di antara kamu sekalian ada yang mampu kawin, maka kawinlah. Maka sesungguhnya kawin itu lebih memejamkan mata (menundukkan pandangan) dan lebih memelihara farji, barang siapa yang belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena

puasa itu akan meredakan gejolak hasrat seksual." (H.R.Muslim).8

Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar hukum disyari’atkannya

perkawinan tersebut, maka bisa ditegaskan bahwa hukum asal perkawinan

adalah mubah. Namun berdasarkan ‘illah-nya atau dilihat dari segi kondisi

orang yang sedang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka

melakukan perkawinan itu dapat berubah hukumnya menjadi sunah, wajib,

makruh, haram dan iba>h}ah (mubah).9

Seseorang yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya

mengerti akan prinsip-prinsip dari pada perkawinan itu sendiri, yaitu

meliputi kerelaan dan persetujuan kedua calon mempelai, memenuhi dan

melaksanakan perintah agama serta mengetahui bahwa hanya dengan

(12)

5

perkawinan seseorang dapat memperoleh ketenangan jiwa dan

menghasilkan keturunan yang sah.10

Agama Islam telah mensyari’atkan sebuah pernikahan haruslah bertujuan untuk mewujudkan bahtera rumah tangga yang harmonis. Untuk

mewujudkan cita-cita dan harapan tersebut, salah satunya dengan cara

menempatkan pasangan suami istri dalam tempat tinggal yang sama (satu

rumah). Dengan kata lain, jika ada pasangan suami istri yang tidak tinggal

dalam satu rumah sehingga keduanya hidup seolah sendiri-sendiri, maka

harapan dan cita-cita dari sebuah pernikahan tersebut sulit untuk

diwujudkan atau bahkan tidak akan mungkin terwujud.11

Di sisi lain dalam membina rumah tangga dikenal pula istilah hak dan

kewajiban. Baik suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang

berbeda-beda namun tetap seimbang. Seorang suami berkewajiban untuk

memberikan nafkah, kasih sayang, perhatian serta perlindungan terhadap

istri dan sebagainya, akan tetapi seorang suami juga mempunyai hak

mendapatkan pelayanan yang selayaknya dari istri. Begitu juga sebaliknya,

seorang istri mempunyai kewajiban melayani suami dengan pelayanan yang

maksimal dan selalu taat kepadanya selama suami tidak menyuruh untuk

berbuat segala hal yang dilarang oleh agama. Selain kewajiban yang harus

dilaksanakan, seorang istri juga mempunyai hak untuk memperoleh nafkah,

10 Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Abdul Hayyi Al-Kattani, Jilid 1 (Depok:

Gema Insani, 2013), 50.

(13)

6

tempat tinggal dan pakaian serta penghidupan yang layak dari suaminya.

Dengan demikian, tujuan daripada pernikahan sudah bisa terwujud.12

Pernikahan dikatakan sah secara legal formal berdasarkan ketentuan

agama Islam jika memenuhi semua persyaratan pernikahan yang menjadi

rukun pernikahan tersebut. Syarat mutlak yang ada dan harus dipenuhi oleh

siapa saja yang akan melangsungkan pernikahan adalah dengan adanya

kedua calon mempelai laki-laki dan perempuan, adanya wali nikah, dua

orang saksi laki-laki dan dengan melalui ijab kabul. Jika hal tersebut tidak

dilakukan atau salah satu saja tidak bisa terpenuhi maka secara agama,

penikahan tersebut menjadi tidak sah. Berdasarkan ketentuan negara

khususnya negara Indonesia, suatu pernikahan dikatakan sah jika telah

dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan

Catatan Sipil bagi selain Islam. Konklusinya adalah suatu pernikahan

dikatakan sah baik secara agama maupun negara jika dilaksanakan

berdasarkan ketentuan agama dan harus dicatatkan.13

Suatu perkawinan dikatakan sah jika dilaksanakan sesuai dengan

rukun dan syarat perkawinan. Rukun dan syarat menentukan suatu

perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah tidaknya

perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam hal hukum perkawinan, dalam

menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan

di kalangan para ulama. Namun perbedaan ini tidak bersifat substansial.

12 Moch. Idris Ramulyo, Hukum Pernikahan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara, Hukum Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 34.

(14)

7

Semua ulama sependapat bahwa hal-hal yang terlibat dan yang harus ada

dalam suatu perkawinan adalah: akad perkawinan, laki-laki yang akan

kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi

yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau mas kawin.14

Menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) rukun perkawinan

terdiri atas calon mempelai lelaki, calon mempelai perempuan, wali nikah,

dua orang saksi laki-laki, dan ijab kabul. Jika kelima unsur atau rukun

perkawinan tersebut terpenuhi, maka perkawinan adalah sah, tetapi

sebaliknya, jika salah satu atau beberapa unsur dari kelima unsur tersebut

tidak terpenuhi, maka perkawinan adalah tidak sah. Berdasarkan Hadist

Rasulullah saw dalam kitab al-Bah}r dari Nashir, Syafi’i dan Zuhar,

sebagaimana dikutip dalam kitab Nail al-Autha>r jilid 5 bahwa setiap

pernikahan yang tidak dihadiri oleh 4 (empat) unsur, yaitu mempelai

laki-laki, ‘a>qid yang mengakadkan, dan dua orang saksi, maka perkawinan itu

tidak sah.15

Syarat perkawinan dan rukun dalam perkawinan itu menjadi satu

rangkaian (satu paket) atau dengan kata lain saling terkait dan melengkapi.

Seperti yang dikemukakan oleh Imam Zain al-Din al-Mali>ba>ry dalam

kitabnya Fath}ul Mu’i>n, ia mengatakan bahwa rukun perkawinan itu ada

lima, yaitu kedua calon mempelai pria dan wanita, wali, dua orang saksi

14 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2009), 59.

15 Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat (Jakarta: Sinar Grafika,

(15)

8

yang adil dan ijab kabul. Adapun syarat-syarat perkawinan mengikuti

rukun-rukun perkawinan itu sendiri.16

Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan.

Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka sahlah pernikahan dan

menimbulkan kewajiban dan hak sebagai suami istri. Dalam masalah syarat

pernikahan ini, terdapat beberapa pendapat di antara para mazhab fiqh,

pertama, pendapatnya golongan Hanafiyah mengatakan, bahwa sebagian

syarat-syarat pernikahan berhubungan dengan si>ghat, dan sebagian lagi

berhubungan dengan akad, serta sebagian lainnya berkaitan dengan saksi.

Kedua, pendapat dari golongan Syafi’iyah mengatakan, bahwa

syarat-syarat pernikahan itu ada yang berhubungan dengan si>ghat, ada juga yang

berhubungan dengan wali, serta ada yang berhubungan dengan kedua calon

pengantin, dan ada yang berkaitan dengan saksi.17

Ulama Hanafi dan ulama Syafi’i dalam berpendapat tentang

persyaratan ijab kabul memiliki kesamaan, yaitu sama-sama dilakukan

dalam satu majelis (ittih}a>d al-majli>s). Adapun persyaratan dalam

pelaksanaan ijab kabul yang harus dipenuhi untuk keabsahan pernikahan

salah satunya harus dilaksanakan dalam satu majelis. Artinya, dalam

mengucapkan ijab-kabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain dan

harus dilaksanakan dalam satu tempat. Dalam kitab al-Mughni> karangan

Ibnu Qudamah disebutkan bahwa bila ada tenggang waktu di antara ijab

dan kabul, maka hukumnya tetap sah selagi masih ada dalam satu tempat

16 Nasiri, Praktik Prostitusi..., 15.

(16)

9

dan tidak dalam majelis yang berbeda. Hal ini senada dengan pendapatnya

golongan Hanafi dan Hambali. Akan tetapi golongan Syafi’iyyah mensyaratkan ijab kabul harus dilaksanakan segera dan tidak boleh

terhalang oleh apapun serta dihadiri oleh dua orang saksi yang melihat

secara langsung proses ijab kabul tersebut.18

Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, model akad nikahpun

bervariasi. Adanya perbedaan para fuqaha>’ (ahli fiqh) dalam menanggapi

persyaratan akad nikah harus dalam satu majelis demi keabsahan suatu

pernikahan menyebabkan perbedaan pemahaman di kalangan umat Islam.

Di negara Mesir misalnya, telah banyak terjadi pelaksanaan akad nikah

menggunakan beragam alat komunikasi seperti handphone, telegram, dan

lain sebagainya. Fatwa ulama Mesir mengatakan bahwa model akad nikah

semacam itu tidak sah karena syarat ijab kabul dalam satu majelis tidak

dapat terlaksana.

Di sisi lain, kecanggihan teknologi sangat bermanfaat khususnya

dalam membantu manusia untuk melancarkan setiap perbuatannya

sehingga kesulitan yang selama ini dirasakan dapat di minimalisir. Jika

dilihat dari pendapat para ulama ahli fiqh tersebut, antara Imam Hanafi dan

Imam Syafi’i sangatlah berbeda dalam menanggapi istilah satu majelis dalam akad nikah. Oleh karena hal tersebut, satu majelis yang dipahami

pelaksanaan ijab kabul harus dilakukan dalam jarak waktu yang terdapat

dalam satu upacara akad nikah (versi Hanafiyyah) dan pemahaman satu

(17)

10

majelis adalah bukan hanya waktunya saja akan tetapi harus disaksikan

fisik oleh dua orang saksi dengan mata kepala (versi Syafi’iyyah) itu lahir

karena zaman di mana ulama-ulama fiqh kala itu belum ada teknologi dan

perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat seperti sekarang

ini.19

Dampak modernisasi khususnya yang sekarang dirasakan bangsa

Indonesia tidak menutup kemungkinan akan terjadi perubahan bentuk akad

nikah yang \pada substansinya tetap merujuk pada ketentuan hukum fiqh

yang telah ada namun dengan sedikit variasi. Pernikahan yang merupakan

ujung tombak dari halalnya sesuatu yang pada awalnya haram menjadi

lebih bermakna sehingga ilmu fiqh khususmya yang terkait dengan

persyaratan akad nikah tidak mengalami jumu>d (kevakuman hukum) dan

bisa menyesuaikan dengan kondisi zaman yang semakin canggih ini.

Dengan hal ini penulis menganggap perlu untuk melakukan penelitian atas

wacana tersebut dengan judul penelitian skripsi “Analisis Mas}lah}ah

al-Mursalah terhadap Fenomena Akad Nikah Via Teleconference”

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Penelitian yang dimaksud ialah mendeskripsikan tentang pelaksanaan

akad nikah menggunakan teknologi komunikasi atau dalam istilahnya

menggunakan media teleconference (komunikasi jarak jauh) seperti

19 Satria Effendi M. Zein, Problermatika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana

(18)

11

telepon, handphone, video call, telegram dan lain sebagainya yang

dianalisis menggunakan teori Mas}lah}ah al-Mursalah.

Hukum fiqh yang telah ada selama ini telah memberikan penjelasan

bahwa proses ijab kabul (akad nikah) terdapat persyaratan yang sangat

ketat yakni harus dilakukan dalam satu majelis (ittih}a>d al-majli>s). Artinya

proses akad nikah tersebut haruslah dilaksanakan dalam satu waktu yang

bersamaan dan dalam satu tempat (tidak terpisah). Oleh karena hal

tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk hal-hal sebagai berikut :

1. Menggali kembali hukum tentang pelaksanaan akad nikah harus dalam

satu majelis.

2. Menjelaskan perbedaan pendapat antara kalangan Hanafiyyah dengan

kalangan Syafi’iyyah terkait permasalahan satu majelis dalam akad nikah.

3. Keabsahan nikah menurut ulama’ Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

4. Keutamaan pelaksanaan akad nikah menurut para ulama fiqh.

5. Status hukum keabsahan akad nikah menggunakan kecanggihan

teknologi perspektif Undang-undang Perkawinan Nomor 01 tahun

1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

6. Menemukan solusi hukum dari masalah-masalah kontemporer, dalam

hal ini pelaksanaan akad nikah menggunakan kecanggihan teknologi

yang di analisis menggunakan teori Mas{lah{ah al-Mursalah.

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, agar sebuah penelitian

(19)

12

merupakan batasan terhadap masalah yang akan diteliti. Adapun batasan

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Prosedur pelaksanaan akad nikah via teleconference (media

elektronik).

2. Status hukum akad nikah yang dilakukan via teleconference menurut

perspektif Mas}lah}ah al-Mursalah.

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan pertanyaan yang timbul berdasarkan

judul maupun latar belakang yang ada.20 Dalam penelitian ini terdapat

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan akad nikah dengan menggunakan

teleconference?

2. Bagaimana relevansi teori Mas}lah}ah al-Mursalah terhadap akad nikah

via teleconference?

D. Kajian Pustaka

Penelitian yang akan dilakukan ini bersifat orisinil dan tentunya

semua data yang ada dikaji secara ilmiah berdasarkan referensi atau

literatur terkait yang relevan. Kajian Pustaka berisi teori-teori yang relevan

dengan masalah penelitian. Dalam kajian pustaka, dilakukan pengkajian

(20)

13

mengenai konsep dan teori yang sudah pernah dilakukan oleh penelitian

sebelumnya, dengan harapan tidak terjadinya duplikasi dan plagiasi.21

Penelitian terdahulu tentang status hukum akad nikah atau yang sejenis,

antara lain :

1. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri

Sunan Ampel bernana Moenir yang berjudul “Analisis metode

istinbath hukum yang di pakai oleh Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur

dalam memutuskan tentang akad nikah melalui cybernet” pada tahun 2010. Penelitian ini mengungkap pembahasan bagaimana Bahtsul

Masail PWNU Jawa Timur mengeluarkan fatwa tentang tidak sahnya

akad nikah melalui cybernet dikarenakan beberapa alasan, salah

satunya karena PWNU Jawa Timur merujuk pada kitab-kitab klasik

madzhab Syafi’i.22

2. Penelitian yang di lakukan oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya bernama Muhammad Amiq yang

berjudul “Analisis Yuridis terhadap Penjatuhan Talak Seorang Suami

Melalui Telepon Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten

Pamekasan” pada tahun 2014. Penelitian ini membahas tentang bagaimana status hukum seorang suami yang menjatuhkan talaknya

kepada istrinya melalui telepon. Hasil penelitian tersebut

mengungkapkan bahwa talak melalui telepon hukumnya sah karena di

21 Ibid., 57.

22Moenir, “Analisis metode istinbath hukum yang di pakai oleh Bahtsul Masail PWNU Jawa

(21)

14

lakukan dengan sengaja dan tanpa paksaan. Akan tetapi secara hukum

positif, praktek talak tersebut tidak di akui karena harus didaftarkan

terlebih dahulu di pengadilan dan kemudian mendapatkan ikrar talak.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan dalam Kompilasi

Hukum Islam dan Hukum Positif.23

3. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Sunan Ampel Suranaya bernama Imaduddin Sakagama

yang berjudul “Pesan Talak Lewat Sosial Media : Studi Kasus Talak

Lewat Facebook Perspektif Hukum Islam” pada tahun 2015. Penelitian ini membahas tentang status hukum praktek talak melalui media sosial

yaitu pesan facebook. Kasus ini terjadi di kecamatan Wiyung Surabaya

pada pasangan suami isteri yang menikah secara paksa akibat Married

By Accident (Hamil di Luar Nikah). Hasil penelitian menjustifikasi

bahwa talak melalui pesan facebook adalah jika menurut Shadh

ad-Dhari>’ah hukumnya tidak sah karena mudharatnya lebih banyak dari

pada manfaatnya.24

4. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bernama Fatah Zukhrufi yang

berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Nikah Via

Netmeeting Teleconference (Studi Atas Pemikiran Hukum Islam K.H.

23 Muhammad Amiq, Analisis Yuridis terhadap Penjatuhan Talak Seorang Suami Melalui

Telepon Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan” (Skripsi--UIN Sunan Ampel,

Surabaya, 2014), vi.

24 Imaduddin Sakagama, “Pesan Talak Lewat Sosial Media: Studi Kasus Talak Lewat Facebook

(22)

15

M.A Sahal Mahfudz), pada tahun 2012. Penelitian ini membahas

tentang status hukum akad nikah melalui netmeeting atas pemikiran

KH. M.A Sahal Mahfudz yang mengeluarkan fatwa tidak sahnya akad

nikah tersebut. Hasil penelitian skripsi tersebut menyatakan bahwa

akad nikah via netmeeting hukumnya tidak sah karena akad nikah

merupakan prosesi acara puncak pernikahan yang dapat menghalalkan

hubungan suami istri. Dasar yang diambil adalah metode kontekstual

yang mendekatkan pada kepentingan umum (mas}lah}ah al-‘ummah).25

Penelitian terdahulu yang sudah dijelaskan tersebut, sangatlah

berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, meskipun ada

yang sama dalam segi objek penelitiannya namun berbeda dalam segi

pendekatan atau paradigma teori yang digunakan.

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang pelaksanaan akad

nikah yang dilakukan via teleconference.

2. Untuk mengetahui dan memahami secara detail tentang analisis

Mas}lah}ah al-Mursalah terhadap akad nikah via teleconference.

25 Fatah Zukhrufi, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Nikah Via Netmeeting

Teleconference (Studi Atas Pemikiran Hukum Islam K.H. M.A Sahal Mahfudz)”, dalam

(23)

16

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini mempunyai banyak kegunaan dan manfaat, baik untuk

kalangan akademisi maupun non akademisi. Kegunaan hasil penelitian

yang di maksud dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu ditinjau

dari segi teoritis dan praktis.26

1. Segi Teoritis

Penelitian ini berfungsi untuk menguji sebuah teori atau konsep lama

yang berevolusi menjadi teori baru yang lebih relevan diterapkan untuk

era yang berbeda terhadap masalah-masalah kontemporer sebagaimana

zaman dan kondisi yang berbeda yang dirasakan oleh sang peneliti

secara langsung maupun tidak.

2. Segi Praktis

Secara substansi, penelitian yang akan dilakukan oleh penulis

mempunyai kegunaan sebagai berikut :

a. Penelitian ini dapat memberikan wawasan yang luas khususnya di

bidang hukum keluarga Islam berdasarkan atas sebuah uji teori

yang digunakan untuk menganalisis akad nikah melalui media

elektronik.

b. Penelitian ini bisa dijadikan rujukan atau kiblat daripada solusi

hukum dari gejala dan peristiwa hukum yang sangat bervariatif

seperti sekarang ini, khususnya terhadap masalah-masalah

kontemporer.

(24)

17

c. Dapat memberikan sumbangsih ilmu dan bekal pengabdian kepada

masyarakat tentang model akad nikah yang sah dan dapat diterima

oleh semua pihak dalam kondisi-kondisi tertentu sehingga

kesulitan-kesulitan yang dialami dapat diminimalisir.

G. Definisi Operasional

Penelitian ini berjudul Analisis Mas}lah}ah al-Mursalah terhadap Akad

Nikah Via Teleconference. Definisi operasional diperlukan untuk

mempertegas dan memperjelas arah pembahasan masalah yang diangkat.

Agar dapat mengurangi kesalahpahaman atau multi-interpretasi dalam

memahami pembahasan penelitian ini, maka penulis perlu memberikan

definisi dari pengertian judul, yakni dengan menguraikan sebagai berikut:

Mas}lah}ah al-Mursalah: yaitu salah satu teori dalam Ushul

Fiqh. Mas}lah}ah al-Mursalah ialah

kebaikan atau kesejahteraan yang

bersesuaian dengan tujuan-tujuan

agama namun tidak ditopang

dengan sumber dalil.27

Akad nikah via Teleconference: merupakan pernyataan atau sighat

yang diucapkan oleh pihak

perempuan yang kemudian dijawab

27Ahmad Maskur, “Analisis Maslahah Al-Mursalah terhadap Hukum Pencatatan Perkawinan di

(25)

18

oleh pihak laki-laki untuk

menyatakan rasa rida dan setuju

terhadap berlangsungnya

pernikahan.28 Akad nikah ini

dilaksanakan melalui teleconference

(pertemuan yang dilakukan oleh dua

orang atau lebih melalui koneksi

jaringan dengan menggunakan suara

(audio conference) atau

menggunakan audio-video (video

conference) yang memungkinkan

peserta konferensi saling melihat

dan mendengar apa yang

dibicarakan, sebagaimana

pertemuan biasa).29

H. Metode Penelitian

Metode Penelitian adalah suatu cara atau tahapan-tahapan yang dapat

memudahkan seorang penulis dalam melakukan penelitian, dengan tujuan

dapat menghasilkan penelitian yang berbobot dan berkualitas. Metode

28Slamet Abidin Aminuddin, Fiqh Munakahat ..., 73.

29Nahot Frastian, Teknik Informatika”, dalam

(26)

19

penelitian berhubungan erat dengan prosedur, teknik, alat, serta desain

penelitian yang digunakan.30

Dalam metode penelitian menggambarkan rancangan penelitian yang

meliputi prosedur atau langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu

penelitian, sumber data, serta dengan cara apa data tersebut diperoleh dan

diolah atau dianalisis. Metode Penelitian yang dimaksud haruslah memuat:

1. Jenis Penelitian

Data yang diteliti dan diperlukan oleh penulis ialah

referensi-referensi atau buku-buku yang menjelaskan tentang syarat dan rukun

dalam perkawinan, khususnya terkait pembahasan keabsahan nikah

dengan syarat satu majelis. Data yang dikumpulkan haruslah selengkap

mungkin, agar penelitian ini menjadi lengkap dan mempunyai bobot

keilmuan yang tinggi sehingga bermanfaat untuk dikaji. Data yang

paling pokok yang harus di dapat ialah problematika dan konsep dari

akad nikah via teleconference sehingga penelitian nantinya bisa fokus

dan tidak bias.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian terbagi menjadi 2 (dua) macam :

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah data pokok yang menjadi acuan dalam

sebuah penelitian. Penelitian ini menggunakan sumber data primer

berupa :

(27)

20

1) Harian Umum “PELITA” Persatuan Umat Dan Kesatuan

Bangsa, dengan judul ‘Tidak Sah Pernikahan Gunakan Media Teleconference’ (Agama dan Pendidikan).

b. Sumber Data Sekunder.

Sumber data sekunder ialah data yang digunakan dalam penelitian

untuk mendukung dan memperjelas data primer. Penelitian ini

menggunakan data sekunder berupa buku-buku, segala bentuk

referensi baik jurnal, artikel maupun karya tulis lainnya yang

relevan dan kredibel untuk menunjang kelengkapan data pada

penelitian ini. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1) Kitab Fiqh al-Sunnah karangan Sayyid Sabiq.

2) Kitab al-Qawa>id al-Kubra al-musu>m bi Qawa>id al-Ah}ka>m bi

Is}la>h}i al-Ana>m karangan Izzuddi>n Abdul Azi>z bin Abdul

Sala>m.

3) Kitab Irsh>ad Al-Fuh}u>l Ila> tah}qi>q al-H}aqqi min ‘Ilmi Al-Us}u>l

karangan Al Hafiz} Muh}ammad bin ‘Ali> Al-Shauka>ni>.

4) Kitab Mawa>hibul Jali>l Lisharh}i Mukhtas}ar Khali>l karangan

Abi> ‘Abdilla>h Muh>ammad bin Muh>ammad bin Abdurrah>ma>n

al-Maghribi>.

5) Kitab Fiqh Al-Nawa>zil karangan Muh}ammad bin H}usain

al-Jiza>ni>.

(28)

21

7) Kitab Qawa>id al-Ah}ka>m fi> Mas}ali>h} al-Ana>m karangan

Muh}ammad Izzuddi>n Abdul Azi>z bin Abdul Sala>m.

8) Kitab Mu‘allim Us}u>l Al-Fiqh karangan Muh}ammad bin

H}usain bin H}asan Al-Jiza>ni>.

9) Kitab al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu jilid IV karangan

Wahbah Zuhaili.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data ialah cara yang dilakukan penulis

untuk mengungkap atau menjaring informasi data penelitian sesuai

dengan lingkup penelitian itu sendiri.31 Teknik Pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Studi Dokumen.

Studi dokumen merupakan metode pengumpulan data kualitatif

yang sejumlah fakta dan data tersimpan dalam bahan yang

berbentuk dokumentasi.32 Data yang akan diteliti meliputi

beberapa kitab ushul fiqh dan fiqh menurut empat mazhab yang

menjadi rujukan ilmu fiqh untuk menjawab kasus-kasus

kontemporer. Selain itu, peneliti tetap merujuk terhadap nash-nash

yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Hadist sebagai rujukan wajib

dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengolahan Data

(29)

22

Teknik pengolahan data merupakan suatu tahapan dalam

penelitian yang digunakan untuk memproses data mentah yang ada di

lapangan atau pustaka menjadi data setengah jadi dan data jadi untuk

kemudian dianalis dan disimpulkan.

Setelah data terkumpul, maka hal yang harus dilakukan adalah

proses editing (pemeriksaan data) yakni pemeriksaan kembali

data-data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan,

keserasian, dan keterkaitan antara data satu dengan yang lainnya.33

Data diperiksa dari segi kelengkapan, kejelasan dan keselarasan antara

beberapa kitab ushul fiqh berikut kaidah-kaidah fiqhnya dengan

literatur tambahan yang lain.

Kemudian, setelah editing selesai, dilanjutkan dengan proses

organizing yang berarti menyusun data yang diperoleh secara

sistematis.34 Setelah itu dirumuskan sehingga terlihat jelas tentang

hasil dari pendekatan teori Mas}lah}ah al-Mursalah terhadap status

hukum akad nikah via teleconference.

5. Teknik Analisis Data

Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis data ialah

menggunakan deskriptif analisis, artinya memaparkan atau

menggambarkan data yang terkumpul berupa literatur yang berkaitan

(30)

23

dengan akad nikah via teleconference.35 Kemudian dianalisis

menggunakan teori mas}lah}ah al-mursalah sehingga memperoleh hasil

penelitian yang kredibel kemudian disimpulkan.

Adapun dalam menentukan pola pikir, penulis cenderung

menggunakan pola pikir deduktif, artinya memaparkan teori ushul fiqh

mas}lah}ah al-mursalah untuk menganalisis problematika akad nikah via

teleconference secara lebih mendalam.36

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan ialah alur dari struktur penelitian secara

sistematis dan logis. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,

metode penelitian serta sistematika pembahasan.

Bab kedua menjelaskan mengenai teori maslahat al-mursalah secara

mendetail, kemudian menjelaskan komparasi beberapa pendapat para ulama

ushuliyyin terhadap akad nikah satu majelis serta akibat hukum yang

ditimbulkannya.

35Soekidjo Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993),

135.

(31)

24

Bab ketiga berisi data penelitian yang terdiri atas proses atau

prosedur pelaksanaan akad nikah via teleconference serta menjelaskan

terkait akad nikah satu majelis (ittih}a>d al-majli>s).

Bab keempat berisi analisis data penelitian yang merupakan hasil dari

penelitian yang penulis sajikan dalam karya tulis ini, yang di dalamnya

dijelaskan dan diungkapkan secara tuntas bagaimana teori mas}lah}ah

al-mursalah dalam menganalisis akad nikah via teleconference baik ditinjau

dari segi hukum, aplikasinya dan konsekuensi yang timbul akibat variasi

dari pada akad nikah atas elaborasi persyaratan akad nikah harus ittih}a>d

al-majli>s (satu majelis) yang di analisis secara tajam dan mendalam.

Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan yang dapat

penulis ambil dari keseluruhan isi skripsi ini, dan diakhiri dengan saran

(32)

BAB II

DISKURSUS TENTANG MAS{LAH{AH AL-MURSALAH

A. Pengertian Mas{lah{ah Al-Mursalah

Kata “mas{lah}ah” berakar pada al-as}lu, ia merupakan bentuk mas}dar

dari kata kerja s}alah}a dan s}aluh}a, yang secara etimologis berarti manfaat,

faedah, bagus, baik, patut, layak, sesuai. Dari sudut pandang ilmu s}araf

(morfologi), kata “mas}lah}ah” satu pola dan semakna dengan kata manfa’ah.

Kedua kata ini (mas}lah}ah dan manfa’ah) telah diubah ke dalam bahasa

Indonesia menjadi ‘maslahat’ dan ‘manfaat’.1

Dari segi bahasa, kata al-mas}lah}ah adalah seperti lafaz al-manfa’at,

baik artinya maupun wazan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mas}dar

yang sama artinya dengan kalimat al-s}alah} seperti halnya lafaz al-manfa’at

sama artinya dengan al-naf’u. Bisa juga dikatakan bahwa al-mas}lah}ah itu

merupakan bentuk tunggal dari kata al-mas}a>lih}. Sedangkan arti dari

manfa’at sebagaimana yang dimaksudkan oleh pembuat hukum syara’

(Allah SWT) yaitu sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan

hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta dan

makhluk-Nya. Ada pula ulama yang mendefinisikan kata manfa’at sebagai

kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.2

1 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Penerbit Amzah, 2011), 127.

2 Muh}ammad bin Ali> Al-Shauka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l Ila> Tah}qi>q Al-H}a>q min‘ Ilmi Al-Us}u>l, Jilid 2

(33)

26

Prof. DR. Rachmat Syafe’i dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Ushul

Fiqh” menjelaskan arti mas}lah}ah al-mursalah secara lebih luas, yaitu suatu

kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada

pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan

syari’at dan tidak ada ‘illat yang keluar dari syara’ yang menentukan

kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang

sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan

pemeliharaan kemudharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat maka

kejadian tersebut dinamakan mas}lah}ah al-mursalah. Tujuan utama

mas}lah}ah al-mursalah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari

kemudharatan dan menjaga kemanfaatannya.3

Menurut ahli ushul fiqh, mas}lah}ah al-mursalah ialah kemaslahatan

yang telah disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, di dalam rangka

menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapatnya dalil yang

membenarkan atau menyalahkan. Karenanya, mas}lah}ah al-mursalah itu

disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan

salah.4

Berdasarkan pada pengertian tersebut, pembentukan hukum

berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari

kemaslahatan manusia. Artinya, dalam rangka mencari sesuatu yang

menguntungkan, dan juga menghindari kemudharatan manusia yang

3Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 117.

4 Sayfuddi>n Abi> H}asan Al Ami>di>, Al-Ah}ka>m fi>usu>l al-Ahka>m, Juz 3 (Riyad: Muassasah

(34)

27

bersifat sangat luas. Maslahat itu merupakan sesuatu yang berkembang

berdasar perkembangan yang selalu ada di setiap lingkungan. Mengenai

pembentukan hukum ini, terkadang tampak menguntungkan pada suatu

saat, akan tetapi pada suatu saat yang lain justru mendatangkan mudharat.

Begitu pula pada suatu lingkungan terkadang menguntungkan pada

lingkungan tertentu, tetapi mudharat pada lingkungan lain.5

Adapun dalil tentang ke-hujjah-an mas}lah}ah al-mursalah adalah

sebagai berikut :6

1. Sesungguhnya permasalahan tentang perbaikan manusia selalu muncul

dan tidak pernah berhenti. Jika seandainya tidak menggunakan

mas}lah}ah al-mursalah maka tidak dapat mengatur

permasalahan-permasalahan yang baru yang timbul untuk memperbaiki manusia.

2. Sesungguhnya sudah banyak orang yang menggunakan mas}lah}ah

al-mursalah, yakni dari para Sahabat, para Tabi’in dan para mujtahid.

Mereka menggunakan mas}lah}ah al-mursalah untuk kebenaran yang

dibutuhkan, seperti Sahabat Abu Bakar mengumpulkan mus}h}af-mus}h}af

lalu dibukukan menjadi Al-Qur’an.

Mengenai berbagai persyaratan untuk membuat dalil mas{lah{ah

al-mursalah yang akan diterapkan untuk menggali suatu hukum, ialah :

5 Miftahul Arifin, Ushul fiqh Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum Islam (Surabaya: Citra Media,

1997), 143.

(35)

28

1. Hendaknya mas}lah}ah al-mursalah digunakan pada suatu obyek

kebenaran yang nyata, tidak kepada obyek yang kebenarannya hanya

dalam dugaan.

2. Hendaknya mas}lah}ah al-mursalah digunakan pada obyek yang bersifat

universal bukan pada obyek yang bersifat individual/khusus.

3. Hendaknya tidak bertentangan dengan hukum syara’ yang sudah

ditetapkan oleh Nash atau Ijma’.7

Pendapat lain, dikemukakan oleh Imam Maliki sebagaimana yang

tertuang dalam kitab karangan Abu Zahrah yang berjudul “Ushul fiqh”

menjelaskan bahwa syarat-syarat mas}lah}ah al-mursalah bisa dijadikan dasar

hukum ialah :

1. Kecocokan/kelayakan di antara kebaikan yang digunakan secara pasti

menurut keadaannya dan antara tujuan-tujuan orang-orang yang

menggunakan mas}lah}ah al-mursalah. Sementara mas}lah}ah al-mursalah

sendiri tidak meniadakan dari dalil-dalil pokok yang telah ditetapkan

dan tidak pula bertentangan dengan dalil-dalil Qat}’i> yyah.

2. Hendaknya mas}lah}ah al-mursalah dapat diterima secara rasional di

dalam keadaannya terhadap permasalahan yang ada. Artinya terhadap

permasalahan yang sesuai secara akal. Kemudian apabila mas}lah}ah

al-mursalah ditawarkan kepada cendekiawan, maka mereka dapat

menerimanya.

7 Said Agil Husin Al-Munawar, Membangun Metodologi Ushul fiqh (Jakarta: PT. Ciputat Press,

(36)

29

3. Hendaknya menggunakan mas}lah}ah al-mursalah itu tidak

menghilangkan yang sudah ada, dan sekiranya apabila tidak

menggunakan teori itu secara rasional, maka manusia akan mengalami

kesempitan dalam berpikir. Allah SWT dalam firmannya menyebutkan,

yang artinya “Allah SWT tidak menjadikan agama bagi kalian secara

sempit” .8

Terkait beberapa golongan yang tidak mau menggunakan mas}lah}ah

al-mursalah sebagai landasan dan pijakan dalam menetapkan hukum,

Alasannya sebagaimana berikut :

1. Sesungguhnya syariat Islam sudah cukup mengatur setiap permasalahan

manusia dengan petunjuk yang dihasilkan dari Qiya>s.

2. Sesungguhnya hukum syara’ sudah dapat menetapkan kepastian akan sebuah kebenaran.

3. Sesungguhnya mas{lah}ah al-mursalah tidak dapat mendatangkan dalil

yang khusus, yang dalam keadaannya mas}lah}ah al-mursalah itu hanya

semacam kesenangan yang sesuai dengan keinginan.

4. Penggunaan mas}lah}ah al-mursalah tersebut merupakan tindakan yang

tidak berpedoman pada Nash, sehingga akan mendatangkan atau

mengakibatkan kedzaliman pada manusia, sebagaimana yang dijalankan

penguasa-penguasa yang dzalim. (Muhammad Abu Zahrah, 1958 :

222).

(37)

30

5. Apabila mas}lah}ah al-mursalah diambil dengan alasan apa adanya, pasti

akan membawa perbedaan baik perbedaan suku, daerah atau dalam

perkara yang sama. Hal ini tentu akan menciptakan dualisme solusi

hukum yang berlawanan. Satu daerah memandang satu perkara

diharamkan sementara daerah lain memandang boleh karena ada

manfaatnya. Ini jelas tidak sesuai dengan jiwa-jiwa hukum syara’ yang

bersifat abadi dan diperuntukkan bagi semua manusia.9

B. Jenis-Jenis Mas}lah}ah Al-Mursalah

Menurut teori ushul fiqh, jika ditinjau dari segi ada atau tidaknya

dalil yang mendukung terhadap suatu kemaslahatan, mas}lah}ah terbagi

menjadi tiga macam, yaitu :

1. Mas}lah}ah Al-Mu’tabarah

Mas}lah}ah al-mu’tabarah yakni al-mas}lah}ah yang diakui secara

eksplisit oleh syara’ dan ditunjukkan oleh dalil (Nash) yang spesifik. Disepakati oleh para ulama, bahwa maslahah jenis ini merupakan

h}ujjah shar’iyyah yang valid dan otentik. Manifestasi organik dari jenis

al-mas}lah}ah ini ialah aplikasi qiya>s.

Sebagai contoh, di dalam QS. Al-Baqarah (2): 222 Allah SWT

berfirman,

9 A. Faishal Haq, Ushul fiqh Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum Islam (Surabaya: Citra Media,

(38)

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

(QS. Al-Baqarah (2) : 222).10

Dari ayat tersebut terdapat norma bahwa isteri yang sedang

menstruasi (haid) tidak boleh (haram) disetubuhi oleh suaminya karena

faktor adanya bahaya penyakit yang ditimbulkan.

2. Mas}lah}ah Al-Mulgha>h

Mas}lah}ah al-mulgha>h merupakan al-mas}lah}ah yang tidak diakui

oleh syara’, bahkan ditolak dan dianggap ba>t}il oleh syara’.

Sebagaimana ilustrasi yang menyatakan opini hukum yang

mengatakan porsi hak kewarisan laki-laki harus sama besar dan setara

dengan porsi hak kewarisan perempuan, dengan mengacu kepada dasar

pikiran semangat kesetaraan gender. Dasar pemikiran yang demikian

memang mengandung al-mas}lah}ah, tetapi tidak sesuai dengan

ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT, sehingga

mas}lah}ah yang seperti inilah yang disebut dengan mas}lah}ah

al-mulgha>h.

(39)

32

3. Mas}lah}ah Al-Mursalah

Mas}lah}ah al-mursalah yaitu al-mas}lah}ah yang tidak diakui

secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap batil oleh syara’, akan tetapi masih sejalan secara substantif dengan

kaidah-kaidah hukum yang universal. Sebagaimana contoh, kebijakan hukum

perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah.11

Kebijakan pemerintah tersebut mengenai perpajakan tidak

diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap palsu oleh syara’. Akan tetapi kebijakan yang demikian justru sejalan secara substantif dengan kaidah hukum yang universal, yakni tas}arruful

ima>m ‘ala> al-ra’iyyah manu>t}un bil al-mas}lah}ah. Dengan demikian,

kebijakan tersebut mempunyai landasan shar’iyyah, yakni mas}lah}ah

al-mursalah.12

Dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujjah (tendensi) dalam

menetapkan hukum, mas}lah}ah terbagi menjadi tiga macam :13

1. Mas}lah}ah D}aru>riyat

Mas}lah}ah D}aru>riyat merupakan kemaslahatan yang menduduki

kebutuhan primer. Kemaslahatan ini erat kaitannya dengan

terpeliharanya unsur agama dan dunia. Keberadaan mas}lah}ah

dharuriyat ini bersifat penting dan merupakan suatu keharusan yang

menuntut setiap manusia terlibat di dalamnya dan merupakan unsur

11 Muh}ammad bin H}usain bin H}asan Al-Ji>za>ni>, Mu‘a>lim Us}u>l Al-Fiqh (Riya>d}: Da>r Ibnu Al-Jauzi>,

2008), 235.

12 Asmawi, Perbandingan Ushul..., 129.

(40)

33

terpenting dalam kehidupan manusia. Hal ini bisa dipahami sebagai

sarana perenungan bahwa pada hakikatnya manusia tidak bisa hidup

dengan tentram apabila kemaslahatan ini tidak dimilikinya.

2. Mas}lah}ah H{a>jiyat

Mas}lah}ah H{a>jiyat adalah kemaslahatan yang menduduki pada

taraf kebutuhan sekunder. Artinya suatu kebutuhan yang diperlukan

oleh manusia agar terlepas dari kesusahan yang akan menimpa mereka.

Mas{lah{ah H{a>jiyat jika seandainya tidak terpenuhi maka tidak sampai

mengganggu kelayakan, substansi serta tata sistem kehidupan manusia,

namun dapat menimbulkan kesulitan dan kesengsaraan bagi manusia

dalam menjalani kehidupannya.14

Contoh sederhana dari mas}lah}ah h}a>jiyat yaitu Allah SWT telah

memberikan keringanan-keringanan dalam beribadah dikhususkan

terhadap mereka yang melakukan perjalanan jauh sehingga mereka

mengalami kesulitan apabila melakukan ibadah secara normal, dalam

hal ini menjama’ serta mengqashar salat lima waktu.

3. Mas{lah{ah Tah{siniyat

Maslahah Tah{siniyat adalah kemaslahatan yang menempati pada

posisi kebutuhan tersier yang dengan memenuhinya dapat menjadikan

kehidupan manusia terhindar dan bebas dari keadaan yang tidak

terpuji. Dengan memenuhi mas{lah{ah ini, seseorang dapat menempati

posisi yang unggul. Ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi

(41)

34

mas{lah{ah ini tidak mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan dan

hubungan antar sesama manusia serta tidak menyebabkan kesulitan

yang berarti untuk kehidupan manusia.

C. Status Hukum Mas}lah}ah Al-Mursalah

Menurut para ulama us}u>l, sebagian ulama menggunakan istilah

mas}lah}ah al-mursalah itu dengan kata al-muna>sib al-mursal. Ada pula yang

menggunakan al-istis}la>h} dan ada pula yang menggunakan istilah al-istidla>l

al-mursal. Istilah-istilah tersebut walaupun tampak berbeda namun

memiliki satu tujuan, masing-masing mempunyai tinjauan yang

berbeda-beda. Setiap hukum yang didirikan atas dasar mas}lah}ah dapat ditinjau dari

tiga segi, yaitu:

1. Melihat mas}lah}ah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan.

Misalnya pembuatan akta nikah sebagai pelengkap administrasi akad

nikah di masa sekarang. Akta nikah tersebut memiliki kemaslahatan.

Akan tetapi, kemaslahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang

menunjukkan pentingnya pembuatan akta nikah tersebut. Kemaslahatan

ditinjau dari sisi ini disebut mas}lah}ah al-mursalah.

2. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-was}f al-muna>sib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu

kemaslahatan. Misalnya surat akta nikah tersebut mengandung sifat

(42)

35

keturunan. Akan tetapi sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil

khusus. Inilah yang dinamakan al-muna>sib al-mursal.

3. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu mas}lah}ah yang

ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu

kasus bahwa hal itu diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’.

Proses seperti ini dinamakan istis}la>h (menggali dan menetapkan suatu

mas}lah}ah).15

Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai

istilah mas}lah}ah al-mursalah. Istilah ini yang paling terkenal. Bila ditinjau

dari segi yang kedua, dipakai istilah al-muna>sib al-mursal. Istilah tersebut

digunakan oleh Ibnu Hajib dan Baidawi (Al-Qa>d}i> Al-Baid}a>wi>: 135). Untuk

segi yang ketiga dipakai istilah al-istis}la>h yang dipakai oleh Imam Ghazali

dalam kitab Al-Mustashfa (Al-Ghazali: 311) atau dipakai istilah al-istidla>l

al-mursal, seperti yang dipakai oleh Al-Syatibi dalam kitab Al-Muwa>faqat

(Al-Muwa>faqa>t Juz I :39).16

Jika melihat permasalahan umat yang semakin kompleks, teori

Mas}lah}ah al-Mursalah bisa dijadikan untuk menetapkan hujjah dari istinbat

hukum karena pada dasarnya Allah SWT telah menciptakan segala hal di

dunia ini tidak sia-sia sehingga tidak ada manfaat yang tidak bisa diperoleh

darinya, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali Imra>n : 191,

(43)

Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci

Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.17

D. Perbedaan Pendapat Para Ulama Terkait Teori Mas}lah}ah Al-Mursalah dan

Kaidah Fiqhiyyah

Terdapat perbedaan pandangan di antara beberapa ulama ahli ushul

fiqh terkait mas}lah}ah al-mursalah. Akan tetapi pada hakikatnya adalah

satu, yaitu setiap manfaat yang di dalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau

menolaknya. Berikut adalah beberapa ulama’ yang berselisih pendapat

dalam menanggapi hakikat dan pengertian mas}lah}ah al-mursalah :

1. Abu Nur Zuhair dalam pendapatnya mengatakan bahwa mas}lah}ah

al-mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi belum

tentu diakui atau tidaknya oleh syara’. (Muhammad Abu Nur Zuhair,

IV : 185).

2. Abu Zahrah mendefinisikan mas}lah}ah al-mursalah sebagai suatu

maslahah yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah

(44)

37

SWT) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi

bukti diakui atau tidaknya. (Abu Zahrah : 221).

3. Al-Ghazali menyatakan bahwa setiap maslahah yang kembali kepada

pemeliharaan maksud syara’ yang diketahui dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’, tetapi tidak dipandang dari ketiga dasar tersebut secara khusus dan tidak juga melalui metode qiya>s, maka dipakailah mas}lah}ah

al-mursalah. Dari pernyataan Imam Al-Ghazali tersebut dapat

disimpulkan bahwa mas}lah}ah al-mursalah (istis}la>h}) menurut

pandangannya ialah suatu metode Istidla>l (mencari dalil) dari Nash

syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap Nash syara’,

tetapi ia tidak keluar dari Nash syara’. Menurut pandangannya,

mas}lah}ah al-mursalah merupakan hujjah qat}’iyyat selama mengandung

arti pemeliharaan maksud syara’, walaupun dalam penerapannya z}anni.

Sehingga Al-Ghazali menegaskan kembali bahwa jika mas}lah}ah

al-mursalah ditafsirkan untuk pemeliharaan maksud syara’ maka tidak ada

jalan bagi siapapun untuk berselisih dalam mengikutinya, bahkan wajib

meyakini bahwa maslahah seperti itu adalah hujjah agama.

4. Asy-Syatibi, salah seorang ulama mazhab Maliki mengatakan,

mas}lah}ah al-mursalah merupakan setiap prinsip syara’ yang tidak

disertai bukti Nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serta

maknanya diambil dari dalil-dalil syara’. Prinsip yang dimaksud

tersebut adalah sah sebagai dasar hukum dan dapat dijadikan rujukan

(45)

38

Adapun kesimpulan dari pendapat Imam Asy-Syatibi terkait mas}lah}ah

al-mursalah, yaitu :

a) Mas}lah}ah al-Mursalah adalah suatu maslahah yang tidak ada Nash

tertentu, tetapi sesuai dengan tindakan syara’.

b) Kesesuaian maslahah dengan syara’ tidak diketahui dari satu dalil dan tidak dari Nash yang khusus, melainkan dari beberapa dalil dan

Nash secara keseluruhan yang menghasilkan hukum qat}’i> walaupun

secara bagian-bagiannya tidak menunjukkan qat}’i> .18

5. Imam Malik memberikan gambaran yang lebih jelas tentang mas}lah}ah

al-mursalah, yaitu suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip

dan dalil-dalil syara’ yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan,

baik yang bersifat d}aru>riyat (primer) maupun h}a>jiyat (sekunder).

(Al-I’tisham, juz 2 : 1229).19

Perselisihan pendapat tentang kehujjahan mas{lah{ah al-mursalah yang

dijadikan sumber hukum oleh kalangan para ulama memicu perhatian para

ulama ahli ushul fiqh untuk mengkaji teori fiqh tersebut lebih lanjut.

Beberapa pendapat para ulama yang dianggap paling kuat adalah sebagai

berikut :

1. Al-Qa>d}i> dan beberapa ahli fiqh lainnya menolak kehujjahan mas}lah}ah

al-mursalah menjadi sumber hukum Islam dan menganggap sebagai

sesuatu yang tidak ada dasarnya.

18Abi> Muh}ammad Izzuddi>n Abdul Azi>z, Qawa>‘id al-Ah}ka>m fi> Mas}a>lih} al-Ana>m, Juz 1 (Beiru>t:

Al-Muassasah} Al-Rayya>n, 1990), 41.

19 Abi> Abdilla>h Muh}ammad bin Ah}mad At-Tilmisa>ni>, Mifta>h} Al-Wus}u>l (Beiru>t: Muassasah}

(46)

39

2. Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya menjadi sumber

hukum Islam secara mutlak.

3. Imam Asy-Syafi’i dan para pembesar golongan Hanafiyyah memakai

mas}lah}ah al-mursalah dalam permasalahan yang tidak dijumpai dasar

hukumnya yang sahih. Namun mereka mensyaratkan dasar hukum yang

mendekati hukum yang sahih. Hal ini senada dengan pendapat

Al-Juwaini.

4. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam

tahap tah}sin atau tazayyun (perbaikan), tidaklah dipakai sampai ada

dalil yang lebih jelas. Adapun bila neraca pada martabat penting maka

boleh memakainya, tetapi harus memenuhi beberapa syarat. Beliaupun

berkata, jangan sampai para mujtahid menjauhi untuk

melaksanakannya. Namun pendapatnya berbeda-beda tentang derajat

pertengahan, yakni martabat kebutuhan. Dalam kitab Al-Mustashfa,

Imam Ghazali menolak mas}lah}ah al-mursalah, namun dalam kitab

Syifa>’u al-Ghali>l , Imam Ghazali menerimanya. (Al-Mustashfa I :

141).20

Selain istilah ushul fiqh, istilah lain yang harus dipahami adalah

istilah qawa>id al-fiqhiyyah. Istilah qawa>id al-fiqhiyyah dalam pemahaman

Ahmad Muhammad Al-Syafi’i dipahami sebagai hukum-hukum yang

bersifat menyeluruh (kulli) yang dijadikan jalan untuk tercipta darinya

(47)

40

hukum-hukum juz’i.21 Hal senada juga di sampaikan oleh ‘Ali bin

Muhammad al-Jurjani yang menyatakan bahwa kaidah adalah

hukum-hukum yang bersifat umum yang meliputi semua bagian-bagian kecil yang

lebih terperinci (al-Juz’iyyat).22 Dalam dua perspektif ini dapat dipahami

bahwa kaidah fiqh merupakan sebuah kaidah besar yang mampu

menghasilkan hukum-hukum fiqh dalam beragam bentuk.

Ilmu qawa>’id al-fiqh dipahami sebagai sebuah ilmu pengetahuan

tentang kumpulan dari kaidah-kaidah hukum syara’ yang dikembalikan

pada sebuah istilah umum yang diketahui oleh sebagian besar kalangan.

Kaidah kulliyyah fiqhiyyah adalah kaidah umum yang meliputi seluruh

cabang masalah-masalah fiqh yang menjadi pedoman dalam menetapkan

hukum pada setiap peristiwa fiqh, baik yang ditunjuk oleh Nash yang

sharih (jelas) maupun yang belum ada hukumnya.23

Kaidah Kulliyyah Fiqhiyyah ini tidak lain adalah prinsip-prinsip

umum yang harus menampung kebanyakan dari bagian-bagian (Juz’iyyah)

yang terperinci. Oleh karena itu, walaupun kaidah ini berjumlah 5 (lima),

tetapi dapat dijadikan alat untuk memecahkan masalah-masalah yang

sangat banyak, terutama masalah yang kontemporer. Imam ‘Izzuddin bin

Abd. Al-Salam mengatakan bahwa seluruh masalah fiqh hanya

dikembalikan kepada “dar’u al-mafa>sid” (menolak segala yang merusak)

21 Ah}mad Muh}ammad Al-Sya>fi‘i>, Us}u>l al-Fiqh Al-Isla>mi> (Kairo: Muassasah} Thaqafah

Al-Isla>miyyah, 1983), 04.

22Ali> bin Muh}ammad Al-Jurjani>, Kita>b al-Ta‘rifa>t (Jidda>h: al-Haramayn, t.t.), 171.

23 Ach. Fajruddin Fatwa, Usul Fiqh Dan Kaidah Fiqhiyah (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,

(48)

41

dan “Jalb al-mas}a>lih}” (mendatangkan kemaslahatan). Bahkan, ada yang

mengembalikan masalah-masalah fiqh itu hanya kepada kaidah “Jalb

al-Mas}a>lih} dar’u” (mendatangkan segala kemaslahatan), yang di dalamnya

sudah terkandung “dar’u al-mafa>sid’ (menolak segala kerusakan).24

Al-Qadhi Abu Sa’id mengatakan, bahwa ulama Syafi’iyyah

mengembalikan seluruh ajaran al-Syafi’i ke dalam 5 (lima) kaidah :

1. (Seluruh urusan bergantung tujuannya)

2. (Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan

keragu-raguan)

3. (Kesulitan dapat mendatangkan kemudahan)

4. (Seluruh bahaya harus dihilangkan/disingkirkan)

5. (Adat kebiasaan dapat dijadikan pertimbangan hukum)

Jumhur ulama, ulama Syafi’iyyah dan ulama Mutakallimin yang

juga diikuti oleh ulama al-Dhahir kecuali Ibnu Hazm, berpendapat

bahwa dalam meniadakan hukum juga diharuskan adanya dalil. Mereka

mengatakan bahwa dalam meniadakan suatu hukum itu sama dengan

menetapkan suatu hukum, yakni harus ada dalil.

Pendapat demikian ditentang oleh Imam as-Syaukany di dalam

kitabnya yang berjudul “Irsya>d Fuhu>>l Ila Tahqi>q Haq min Ilmi al-Ushu>l” beliau mengatakan bahwa dalam meniadakan suatu hukum

(49)

42

tidak memerlukan dalil sebab pada dasarnya sesuatu itu tidak ada

pula.25

Dalam menetapkan hukum, para ulama tidak jarang

menyandarkan ketetapan argumentasi hukumnya pada kaidah-kaidah

hukum atau lebih dikenal sebagai kaidah fiqhiyyah. Berikut adalah

kaidah tambahan yang oleh para ulama fiqh juga dibuat sandaran

argumentasi hukum, yaitu:

1. Yalzamu h{ura>‘a>hu lishartin biqadril imka>ni.

2. Al-ta‘li>qu ‘ala> ka>inin tanji>zinn. Artinya, suatu perkara yang

digantungkan terhadap keadaan, atau mensyaratkan suatu perkara

dengan keadaan, maka gantungan atau syarat itu dianggap telah dapat

berlaku sebagai ketentuan hukum.26

3. Al-h{ukmu yadu>ru bi ‘illatihi wuju>da>n wa ‘adama>n.

4. Taghayyuru al-h{ukmi bi taghayyuril azminah wal amkinah.

E. Argumentasi Para Ulama Terhadap Akad Nikah Satu Majelis

Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya Fiqh ‘ala> Madha>h}ib

al-Arba‘ah menukil kesepakatan ulama mujtahid mensyaratkan bersatu

majelis bagi ijab dan kabul. Dengan demikian apabila tidak bersatu antara

(50)

43

majelis mengucapkan ijab dengan majelis mengucapkan kabulnya, akad

nikah dianggap tidak sah.27

Istilah akad nikah haruslah dalam satu majelis (ittiha>d al-Majli>s) dan

di antara para ulama ada perbedaan pendapat: Pertama, yang di maksud

dengan ittiha>d al-majli>s ialah bahwa ijab dan kabul haruslah dilakukan

dalam jarak waktu yang terdapat dalam satu upacara akad nikah, bukan

dilakukan dalam dua jarak waktu secara terpisah. Artinya, ijab diucapkan

dalam satu upacara pernikahan, kemudian setelah ijab selesai, kabul

diucapkan pula dalam upacara berikutnya.28

Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah dalam menjelaskan arti

“bersatu majelis” bagi ijab dan kabul menekankan kepada pengertian tidak

boleh terputusnya antara ijab dan kabul. Salah satu contoh dikemukakan

oleh Imam al-Jaziri dalam mazhab Hanafi adalah dalam masalah seorang

laki-laki berkirim surat mengakadkan nikah kepada pihak perempuan yang

dikehendakinya. Setelah surat itu sampai, lalu isi surat itu dibacakan di

depan wali wanita dan para saksi. Dan dalam majelis yang sama, setelah

surat itu dibacakan, wali dari perempuan langsung mengucapkan

penerimaannya (kabulnya).

Praktik akad nikah seperti ini, menurut golongan Hanafiyyah

dianggap sah dengan alasan bahwa pembacaan ijab yang terdapat dalam

surat calon suami dan pengucapan kabul dari pihak wali wanita sama-sama

27Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2010), 03.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memperolehi keputusan akhir bagi mendapatkan perhubungan diantara ujian Proba JKR dan Ujian Penusukan Piawai, data-data yang telah dianalisis daripada ketiga-tiga tapak

Uji Pengolahan Validitas Item Penguasaan Keterampilan Attending Instrumen yang disusun untuk mengungkap penguasaan mahasiswa terhadap keterampilan attending dibuat tiga

Fungsi penting sebuah transistor adalah kemampuannya untuk menggunakan sinyal yang sangat kecil yang masuk dari satu terminal transistor tersebut untuk

(1) Yang  dimaksud  dengan  Surat  Perjanjian  Kerja  Sama  ini  adalah  perjanjian  dimana  PIHAK  KESATU  mengikat  PIHAK  KEDUA    sebagaimana  pula  PIHAK 

Dengan adanya sistem e-grocery maka konsumen yang akan membeli barang dalam jumlah tertentu dapat memanfaatkan jaringan internet yang terhubung ke website untuk

Terdapat delapan nilai berita sebagaimana dirangkum dari Ishwara (2011, pp. Berdasarkan nilai berita yang dirangkum Ishwara tersebut, terdapat dua nilai berita yang terkait

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan yuridis sosiologis, yaitu pendekatan terhadap masalah yang menitikberatkan pada penelitian yang dilakukan di