ANALISIS
MAS}LAH}AH AL-MURSALAH
TERHADAP AKAD
NIKAH VIA
TELECONFERENCE
SKRIPSI
Oleh
Mohammad Aniq Yasrony NIM. C31212113
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SURABAYA
v ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Analisis Mas}lah}ah al-Mursalah Terhadap Akad
Nikah via Teleconference” ini merupakan hasil penelitian pustaka untuk
menjawab pertanyaan: Bagaimana pelaksanaan akad nikah dengan menggunakan teleconference?, Bagaimana analisis Mas}lah}ah al-Mursalah terhadap fenomena akad nikah via teleconference?.
Data penelitian dihimpun dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui pengumpulan data dengan teknik studi dokumen. Selanjutnya data yang telah dihimpun diatur dan disesuaikan dengan akar permasalahannya kemudian
dianalisis menggunakan teori Mas}lah}ah al-Mursalah. Adapun metodenya adalah
deskriptif analisis dan menggunakan pola pikir deduktif yakni memaparkan teori Mas}lah}ah al-Mursalah sebagai teori ushul fiqh untuk menganalisis problematika akad nikah via teleconference secara lebih mendalam.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pelaksanaan akad nikah
via teleconference awal mulanya dilaksanakan di Negara Timur Tengah yaitu
Negara Mesir. Pernikahan dengan model akad nikah antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan tidak berada dalam satu tempat, dianggap tidak sah karena proses akad nikah tersebut tidak dilaksanakan dalam satu majelis.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa proses akad nikah menggunakan teknologi teleconference ini didasarkan atas keinginan dari pihak pengantin atau karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertemu secara langsung. Proses akad nikah yang dilakukan tidak melalui pertemuan langsung. Praktik yang terjadi ialah ketika calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai perempuan tidak duduk bersama-sama dalam satu majelis, namun komunikasi atau ijab kabul
di antara mereka tetap terjalin dengan menggunakan video conference.
Penggunaan yang lebih modern lagi bisa melalui aplikasi skype sehingga komunikasi tercipta layaknya pertemuan secara langsung.
Hasil analisis menggunakan teori ushul fiqh Mas}lah}ah al-Mursalah
memberikan jawaban bahwa akad nikah via teleconference dihukumi boleh dan
sah manakala dilakukan sesuai aturan hukum Islam, dan terpenuhi semua rukun-rukunnya. Pelaksanaan akad nikah model ini tidak bertentangan dengan rumusan ilmu fiqh yang menjadi cikal bakal terbentuknya hukum Islam.
B. Identifikasi dan batasan masalah ... 10
C. Rumusan Masalah ... 12
D. Kajian Pustaka ... 12
E. Tujuan Penelitian ... 15
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 16
G. Definisi Operasional ... 17
H. Metode Penelitian ... 18
I. Sistematika Pembahasan ... 23
BAB II DISKURSUS TENTANG MASLAHAH AL-MURSALAH ... 25
A. Pengertian Mas{lah{ah Al-Mursalah ... 25
B. Jenis-Jenis Mas{lah{ah Al-Mursalah... 28
C. Status Hukum Mas{lah{ah Al-Mursalah... 29
E. Argumentasi Para Ulama terhadap Akad Nikah
Satu Majelis ... 29
BAB III AKAD NIKAH VIA TELECONFERENCE ... 52
A. Pengertian Perkawinan ... 52
B. Dasar Hukum Perkawinan ... 54
C. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 56
D. Akad Nikah Satu Majelis (Ittih}a>d al-Majlis) ... 59
E. Akad Nikah Via Teleconference ... 65
1. Prosedural akad nikah via teleconference ... 65
2. Pelaksanaan akad nikah via teleconference ... 70
3. Dampak yang ditimbulkan dari prosesi akad nikah via teleconference ... 72
BAB VI ANALISIS MAS{LAH{AH AL-MURSALAH TERHADAP PRAKTIK AKAD NIKAH VIA TELECONFERENCE ... 75
A. Legalisasi Akad Nikah Via Teleconference Menurut Beberapa Aspek Normatif dan Empiris ... 75
B. Analisis Mas{lah{ah al-Mursalah terhadap Proses Akad Nikah via Teleconference ... 84
BAB V PENUTUP ... 100
A. Kesimpulan ... 100
B. Saran ... 101
C. Rekomendasi ... 102
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat diharapkan banyak
orang dikarenakan banyak keuntungan dan kemuliaan bagi siapa saja yang
melakukanya. Seseorang yang sudah memiliki kemampuan baik di bidang
ekonomi maupun mental tentu ingin segera melangsungkan pernikahan.
Hanya sedikit orang saja yang berargumen bahwa pernikahan hanyalah
sebuah kegiatan formalitas saja sebagai alasan hukum untuk membolehkan
segala sesuatu yang dilarang sebelum adanya pernikahan tersebut. Hal ini
tentunya tidak relevan manakala hanya dipahami dengan salah satu
perspektif saja melainkan harus secara komprehensif terkait tentang
hakikat pernikahan itu sendiri.1
Pernikahan merupakan sunnatulla>h yang umum dan berlaku pada
semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun
tumbuh-tumbuhan.2 Nikah menurut bahasa adalah al-jam’u dan al-d}ammu yang
artinya kumpul. Menurut terminologi, pernikahan berarti akad serah terima
antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu
sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang
2
sakinah serta masyarakat yang sejahtera.3 Para ahli fiqh berkata, zawa>j atau
nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata
nikah atau tazwi>j.4
Hukum pernikahan sangatlah beragam. Hal ini disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing individu yang akan melangsungkan pernikahan
tersebut. Imam Nawawi mengatakan bahwa nikah dapat memperoleh
pahala yang besar manakala nikah dengan berlandaskan niat untuk menjaga
mata dari kemaksiatan, memperoleh keturunan dan sebagai tindakan riil
dalam mengikuti sunnah Rasulullah saw. Abu Ishaq al-Syirazi dalam
karyanya yang berjudul al-Muhadhdhab mengklasifikasikan hukum
pernikahan menjadi Ja>iz (boleh). Hukum bolehnya pernikahan didasarkan
kepada lezatnya buah daripada pernikahan tersebut. Beliau
menggambarkan pernikahan tersebut sebagaimana memakai pakaian yang
mewah serta memakan makanan yang lezat. Dalam satu sisi, pernikahan
menjadi wajib hukumnya manakala seseorang yang sudah memiliki
kemapanan dalam segi biaya dan memiliki kecakapan yang lebih untuk
mengarungi bahtera rumah tangga sementara orang tersebut khawatir
melakukan zina, maka wajib baginya untuk segera melangsungkan
pernikahan.5
Perkawinan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup
dan perkembangannya. Untuk itu, Allah SWT melalui utusanNya
3Rahmat Sudirman, Konstruksi Seksualitas..., 76. 4 Sohari Sahrani, Fikih Munakahat..., 08.
3
memberikan suatu tuntunan mengenai perkawinan ini sebagai dasar hukum.
Adapun dasar hukum perkawinan dalam Islam adalah firman Allah SWT
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.6
Surat Ar-Ru>m ayat (21):
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.7
Selain ayat-ayat al-Qur’an tersebut, ada juga Hadist Nabi
Muhammad saw yang berisi anjuran-anjuran perkawinan. Di antaranya
adalah anjuran perkawinan bagi orang-orang yang telah dianggap mampu
dan mempunyai kesanggupan memelihara diri dari
kemungkinan-kemungkinan melakukan perbuatan yang tercela (terlarang), maka
perkawinan lebih baik baginya. Sabda Nabi Saw:
4
Artinya: “Telah diceritakan kepada kami oleh Abu Bakar bin Abi
Syaibah dan Abu Kuraib, mereka berdua berkata : telah diceritakan kepada kami oleh Abu Mu’awiyah dari A’masy dari Umaroh bin Umair dari Abdurrahman bin Yazid dari Abdullah berkata : Rasulullah Saw telah bersabda kepada kami : Wahai kaula muda ! Barang siapa di antara kamu sekalian ada yang mampu kawin, maka kawinlah. Maka sesungguhnya kawin itu lebih memejamkan mata (menundukkan pandangan) dan lebih memelihara farji, barang siapa yang belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena
puasa itu akan meredakan gejolak hasrat seksual." (H.R.Muslim).8
Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar hukum disyari’atkannya
perkawinan tersebut, maka bisa ditegaskan bahwa hukum asal perkawinan
adalah mubah. Namun berdasarkan ‘illah-nya atau dilihat dari segi kondisi
orang yang sedang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka
melakukan perkawinan itu dapat berubah hukumnya menjadi sunah, wajib,
makruh, haram dan iba>h}ah (mubah).9
Seseorang yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya
mengerti akan prinsip-prinsip dari pada perkawinan itu sendiri, yaitu
meliputi kerelaan dan persetujuan kedua calon mempelai, memenuhi dan
melaksanakan perintah agama serta mengetahui bahwa hanya dengan
5
perkawinan seseorang dapat memperoleh ketenangan jiwa dan
menghasilkan keturunan yang sah.10
Agama Islam telah mensyari’atkan sebuah pernikahan haruslah bertujuan untuk mewujudkan bahtera rumah tangga yang harmonis. Untuk
mewujudkan cita-cita dan harapan tersebut, salah satunya dengan cara
menempatkan pasangan suami istri dalam tempat tinggal yang sama (satu
rumah). Dengan kata lain, jika ada pasangan suami istri yang tidak tinggal
dalam satu rumah sehingga keduanya hidup seolah sendiri-sendiri, maka
harapan dan cita-cita dari sebuah pernikahan tersebut sulit untuk
diwujudkan atau bahkan tidak akan mungkin terwujud.11
Di sisi lain dalam membina rumah tangga dikenal pula istilah hak dan
kewajiban. Baik suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang
berbeda-beda namun tetap seimbang. Seorang suami berkewajiban untuk
memberikan nafkah, kasih sayang, perhatian serta perlindungan terhadap
istri dan sebagainya, akan tetapi seorang suami juga mempunyai hak
mendapatkan pelayanan yang selayaknya dari istri. Begitu juga sebaliknya,
seorang istri mempunyai kewajiban melayani suami dengan pelayanan yang
maksimal dan selalu taat kepadanya selama suami tidak menyuruh untuk
berbuat segala hal yang dilarang oleh agama. Selain kewajiban yang harus
dilaksanakan, seorang istri juga mempunyai hak untuk memperoleh nafkah,
10 Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Abdul Hayyi Al-Kattani, Jilid 1 (Depok:
Gema Insani, 2013), 50.
6
tempat tinggal dan pakaian serta penghidupan yang layak dari suaminya.
Dengan demikian, tujuan daripada pernikahan sudah bisa terwujud.12
Pernikahan dikatakan sah secara legal formal berdasarkan ketentuan
agama Islam jika memenuhi semua persyaratan pernikahan yang menjadi
rukun pernikahan tersebut. Syarat mutlak yang ada dan harus dipenuhi oleh
siapa saja yang akan melangsungkan pernikahan adalah dengan adanya
kedua calon mempelai laki-laki dan perempuan, adanya wali nikah, dua
orang saksi laki-laki dan dengan melalui ijab kabul. Jika hal tersebut tidak
dilakukan atau salah satu saja tidak bisa terpenuhi maka secara agama,
penikahan tersebut menjadi tidak sah. Berdasarkan ketentuan negara
khususnya negara Indonesia, suatu pernikahan dikatakan sah jika telah
dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan
Catatan Sipil bagi selain Islam. Konklusinya adalah suatu pernikahan
dikatakan sah baik secara agama maupun negara jika dilaksanakan
berdasarkan ketentuan agama dan harus dicatatkan.13
Suatu perkawinan dikatakan sah jika dilaksanakan sesuai dengan
rukun dan syarat perkawinan. Rukun dan syarat menentukan suatu
perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah tidaknya
perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam hal hukum perkawinan, dalam
menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan
di kalangan para ulama. Namun perbedaan ini tidak bersifat substansial.
12 Moch. Idris Ramulyo, Hukum Pernikahan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara, Hukum Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 34.
7
Semua ulama sependapat bahwa hal-hal yang terlibat dan yang harus ada
dalam suatu perkawinan adalah: akad perkawinan, laki-laki yang akan
kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi
yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau mas kawin.14
Menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) rukun perkawinan
terdiri atas calon mempelai lelaki, calon mempelai perempuan, wali nikah,
dua orang saksi laki-laki, dan ijab kabul. Jika kelima unsur atau rukun
perkawinan tersebut terpenuhi, maka perkawinan adalah sah, tetapi
sebaliknya, jika salah satu atau beberapa unsur dari kelima unsur tersebut
tidak terpenuhi, maka perkawinan adalah tidak sah. Berdasarkan Hadist
Rasulullah saw dalam kitab al-Bah}r dari Nashir, Syafi’i dan Zuhar,
sebagaimana dikutip dalam kitab Nail al-Autha>r jilid 5 bahwa setiap
pernikahan yang tidak dihadiri oleh 4 (empat) unsur, yaitu mempelai
laki-laki, ‘a>qid yang mengakadkan, dan dua orang saksi, maka perkawinan itu
tidak sah.15
Syarat perkawinan dan rukun dalam perkawinan itu menjadi satu
rangkaian (satu paket) atau dengan kata lain saling terkait dan melengkapi.
Seperti yang dikemukakan oleh Imam Zain al-Din al-Mali>ba>ry dalam
kitabnya Fath}ul Mu’i>n, ia mengatakan bahwa rukun perkawinan itu ada
lima, yaitu kedua calon mempelai pria dan wanita, wali, dua orang saksi
14 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), 59.
15 Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat (Jakarta: Sinar Grafika,
8
yang adil dan ijab kabul. Adapun syarat-syarat perkawinan mengikuti
rukun-rukun perkawinan itu sendiri.16
Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan.
Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka sahlah pernikahan dan
menimbulkan kewajiban dan hak sebagai suami istri. Dalam masalah syarat
pernikahan ini, terdapat beberapa pendapat di antara para mazhab fiqh,
pertama, pendapatnya golongan Hanafiyah mengatakan, bahwa sebagian
syarat-syarat pernikahan berhubungan dengan si>ghat, dan sebagian lagi
berhubungan dengan akad, serta sebagian lainnya berkaitan dengan saksi.
Kedua, pendapat dari golongan Syafi’iyah mengatakan, bahwa
syarat-syarat pernikahan itu ada yang berhubungan dengan si>ghat, ada juga yang
berhubungan dengan wali, serta ada yang berhubungan dengan kedua calon
pengantin, dan ada yang berkaitan dengan saksi.17
Ulama Hanafi dan ulama Syafi’i dalam berpendapat tentang
persyaratan ijab kabul memiliki kesamaan, yaitu sama-sama dilakukan
dalam satu majelis (ittih}a>d al-majli>s). Adapun persyaratan dalam
pelaksanaan ijab kabul yang harus dipenuhi untuk keabsahan pernikahan
salah satunya harus dilaksanakan dalam satu majelis. Artinya, dalam
mengucapkan ijab-kabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain dan
harus dilaksanakan dalam satu tempat. Dalam kitab al-Mughni> karangan
Ibnu Qudamah disebutkan bahwa bila ada tenggang waktu di antara ijab
dan kabul, maka hukumnya tetap sah selagi masih ada dalam satu tempat
16 Nasiri, Praktik Prostitusi..., 15.
9
dan tidak dalam majelis yang berbeda. Hal ini senada dengan pendapatnya
golongan Hanafi dan Hambali. Akan tetapi golongan Syafi’iyyah mensyaratkan ijab kabul harus dilaksanakan segera dan tidak boleh
terhalang oleh apapun serta dihadiri oleh dua orang saksi yang melihat
secara langsung proses ijab kabul tersebut.18
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, model akad nikahpun
bervariasi. Adanya perbedaan para fuqaha>’ (ahli fiqh) dalam menanggapi
persyaratan akad nikah harus dalam satu majelis demi keabsahan suatu
pernikahan menyebabkan perbedaan pemahaman di kalangan umat Islam.
Di negara Mesir misalnya, telah banyak terjadi pelaksanaan akad nikah
menggunakan beragam alat komunikasi seperti handphone, telegram, dan
lain sebagainya. Fatwa ulama Mesir mengatakan bahwa model akad nikah
semacam itu tidak sah karena syarat ijab kabul dalam satu majelis tidak
dapat terlaksana.
Di sisi lain, kecanggihan teknologi sangat bermanfaat khususnya
dalam membantu manusia untuk melancarkan setiap perbuatannya
sehingga kesulitan yang selama ini dirasakan dapat di minimalisir. Jika
dilihat dari pendapat para ulama ahli fiqh tersebut, antara Imam Hanafi dan
Imam Syafi’i sangatlah berbeda dalam menanggapi istilah satu majelis dalam akad nikah. Oleh karena hal tersebut, satu majelis yang dipahami
pelaksanaan ijab kabul harus dilakukan dalam jarak waktu yang terdapat
dalam satu upacara akad nikah (versi Hanafiyyah) dan pemahaman satu
10
majelis adalah bukan hanya waktunya saja akan tetapi harus disaksikan
fisik oleh dua orang saksi dengan mata kepala (versi Syafi’iyyah) itu lahir
karena zaman di mana ulama-ulama fiqh kala itu belum ada teknologi dan
perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat seperti sekarang
ini.19
Dampak modernisasi khususnya yang sekarang dirasakan bangsa
Indonesia tidak menutup kemungkinan akan terjadi perubahan bentuk akad
nikah yang \pada substansinya tetap merujuk pada ketentuan hukum fiqh
yang telah ada namun dengan sedikit variasi. Pernikahan yang merupakan
ujung tombak dari halalnya sesuatu yang pada awalnya haram menjadi
lebih bermakna sehingga ilmu fiqh khususmya yang terkait dengan
persyaratan akad nikah tidak mengalami jumu>d (kevakuman hukum) dan
bisa menyesuaikan dengan kondisi zaman yang semakin canggih ini.
Dengan hal ini penulis menganggap perlu untuk melakukan penelitian atas
wacana tersebut dengan judul penelitian skripsi “Analisis Mas}lah}ah
al-Mursalah terhadap Fenomena Akad Nikah Via Teleconference”
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Penelitian yang dimaksud ialah mendeskripsikan tentang pelaksanaan
akad nikah menggunakan teknologi komunikasi atau dalam istilahnya
menggunakan media teleconference (komunikasi jarak jauh) seperti
19 Satria Effendi M. Zein, Problermatika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana
11
telepon, handphone, video call, telegram dan lain sebagainya yang
dianalisis menggunakan teori Mas}lah}ah al-Mursalah.
Hukum fiqh yang telah ada selama ini telah memberikan penjelasan
bahwa proses ijab kabul (akad nikah) terdapat persyaratan yang sangat
ketat yakni harus dilakukan dalam satu majelis (ittih}a>d al-majli>s). Artinya
proses akad nikah tersebut haruslah dilaksanakan dalam satu waktu yang
bersamaan dan dalam satu tempat (tidak terpisah). Oleh karena hal
tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk hal-hal sebagai berikut :
1. Menggali kembali hukum tentang pelaksanaan akad nikah harus dalam
satu majelis.
2. Menjelaskan perbedaan pendapat antara kalangan Hanafiyyah dengan
kalangan Syafi’iyyah terkait permasalahan satu majelis dalam akad nikah.
3. Keabsahan nikah menurut ulama’ Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
4. Keutamaan pelaksanaan akad nikah menurut para ulama fiqh.
5. Status hukum keabsahan akad nikah menggunakan kecanggihan
teknologi perspektif Undang-undang Perkawinan Nomor 01 tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
6. Menemukan solusi hukum dari masalah-masalah kontemporer, dalam
hal ini pelaksanaan akad nikah menggunakan kecanggihan teknologi
yang di analisis menggunakan teori Mas{lah{ah al-Mursalah.
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, agar sebuah penelitian
12
merupakan batasan terhadap masalah yang akan diteliti. Adapun batasan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Prosedur pelaksanaan akad nikah via teleconference (media
elektronik).
2. Status hukum akad nikah yang dilakukan via teleconference menurut
perspektif Mas}lah}ah al-Mursalah.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan pertanyaan yang timbul berdasarkan
judul maupun latar belakang yang ada.20 Dalam penelitian ini terdapat
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan akad nikah dengan menggunakan
teleconference?
2. Bagaimana relevansi teori Mas}lah}ah al-Mursalah terhadap akad nikah
via teleconference?
D. Kajian Pustaka
Penelitian yang akan dilakukan ini bersifat orisinil dan tentunya
semua data yang ada dikaji secara ilmiah berdasarkan referensi atau
literatur terkait yang relevan. Kajian Pustaka berisi teori-teori yang relevan
dengan masalah penelitian. Dalam kajian pustaka, dilakukan pengkajian
13
mengenai konsep dan teori yang sudah pernah dilakukan oleh penelitian
sebelumnya, dengan harapan tidak terjadinya duplikasi dan plagiasi.21
Penelitian terdahulu tentang status hukum akad nikah atau yang sejenis,
antara lain :
1. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel bernana Moenir yang berjudul “Analisis metode
istinbath hukum yang di pakai oleh Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur
dalam memutuskan tentang akad nikah melalui cybernet” pada tahun 2010. Penelitian ini mengungkap pembahasan bagaimana Bahtsul
Masail PWNU Jawa Timur mengeluarkan fatwa tentang tidak sahnya
akad nikah melalui cybernet dikarenakan beberapa alasan, salah
satunya karena PWNU Jawa Timur merujuk pada kitab-kitab klasik
madzhab Syafi’i.22
2. Penelitian yang di lakukan oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya bernama Muhammad Amiq yang
berjudul “Analisis Yuridis terhadap Penjatuhan Talak Seorang Suami
Melalui Telepon Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten
Pamekasan” pada tahun 2014. Penelitian ini membahas tentang bagaimana status hukum seorang suami yang menjatuhkan talaknya
kepada istrinya melalui telepon. Hasil penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa talak melalui telepon hukumnya sah karena di
21 Ibid., 57.
22Moenir, “Analisis metode istinbath hukum yang di pakai oleh Bahtsul Masail PWNU Jawa
14
lakukan dengan sengaja dan tanpa paksaan. Akan tetapi secara hukum
positif, praktek talak tersebut tidak di akui karena harus didaftarkan
terlebih dahulu di pengadilan dan kemudian mendapatkan ikrar talak.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan dalam Kompilasi
Hukum Islam dan Hukum Positif.23
3. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Ampel Suranaya bernama Imaduddin Sakagama
yang berjudul “Pesan Talak Lewat Sosial Media : Studi Kasus Talak
Lewat Facebook Perspektif Hukum Islam” pada tahun 2015. Penelitian ini membahas tentang status hukum praktek talak melalui media sosial
yaitu pesan facebook. Kasus ini terjadi di kecamatan Wiyung Surabaya
pada pasangan suami isteri yang menikah secara paksa akibat Married
By Accident (Hamil di Luar Nikah). Hasil penelitian menjustifikasi
bahwa talak melalui pesan facebook adalah jika menurut Shadh
ad-Dhari>’ah hukumnya tidak sah karena mudharatnya lebih banyak dari
pada manfaatnya.24
4. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bernama Fatah Zukhrufi yang
berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Nikah Via
Netmeeting Teleconference (Studi Atas Pemikiran Hukum Islam K.H.
23 Muhammad Amiq, “Analisis Yuridis terhadap Penjatuhan Talak Seorang Suami Melalui
Telepon Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan” (Skripsi--UIN Sunan Ampel,
Surabaya, 2014), vi.
24 Imaduddin Sakagama, “Pesan Talak Lewat Sosial Media: Studi Kasus Talak Lewat Facebook
15
M.A Sahal Mahfudz), pada tahun 2012. Penelitian ini membahas
tentang status hukum akad nikah melalui netmeeting atas pemikiran
KH. M.A Sahal Mahfudz yang mengeluarkan fatwa tidak sahnya akad
nikah tersebut. Hasil penelitian skripsi tersebut menyatakan bahwa
akad nikah via netmeeting hukumnya tidak sah karena akad nikah
merupakan prosesi acara puncak pernikahan yang dapat menghalalkan
hubungan suami istri. Dasar yang diambil adalah metode kontekstual
yang mendekatkan pada kepentingan umum (mas}lah}ah al-‘ummah).25
Penelitian terdahulu yang sudah dijelaskan tersebut, sangatlah
berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, meskipun ada
yang sama dalam segi objek penelitiannya namun berbeda dalam segi
pendekatan atau paradigma teori yang digunakan.
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang pelaksanaan akad
nikah yang dilakukan via teleconference.
2. Untuk mengetahui dan memahami secara detail tentang analisis
Mas}lah}ah al-Mursalah terhadap akad nikah via teleconference.
25 Fatah Zukhrufi, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Nikah Via Netmeeting
Teleconference (Studi Atas Pemikiran Hukum Islam K.H. M.A Sahal Mahfudz)”, dalam
16
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Penelitian ini mempunyai banyak kegunaan dan manfaat, baik untuk
kalangan akademisi maupun non akademisi. Kegunaan hasil penelitian
yang di maksud dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu ditinjau
dari segi teoritis dan praktis.26
1. Segi Teoritis
Penelitian ini berfungsi untuk menguji sebuah teori atau konsep lama
yang berevolusi menjadi teori baru yang lebih relevan diterapkan untuk
era yang berbeda terhadap masalah-masalah kontemporer sebagaimana
zaman dan kondisi yang berbeda yang dirasakan oleh sang peneliti
secara langsung maupun tidak.
2. Segi Praktis
Secara substansi, penelitian yang akan dilakukan oleh penulis
mempunyai kegunaan sebagai berikut :
a. Penelitian ini dapat memberikan wawasan yang luas khususnya di
bidang hukum keluarga Islam berdasarkan atas sebuah uji teori
yang digunakan untuk menganalisis akad nikah melalui media
elektronik.
b. Penelitian ini bisa dijadikan rujukan atau kiblat daripada solusi
hukum dari gejala dan peristiwa hukum yang sangat bervariatif
seperti sekarang ini, khususnya terhadap masalah-masalah
kontemporer.
17
c. Dapat memberikan sumbangsih ilmu dan bekal pengabdian kepada
masyarakat tentang model akad nikah yang sah dan dapat diterima
oleh semua pihak dalam kondisi-kondisi tertentu sehingga
kesulitan-kesulitan yang dialami dapat diminimalisir.
G. Definisi Operasional
Penelitian ini berjudul Analisis Mas}lah}ah al-Mursalah terhadap Akad
Nikah Via Teleconference. Definisi operasional diperlukan untuk
mempertegas dan memperjelas arah pembahasan masalah yang diangkat.
Agar dapat mengurangi kesalahpahaman atau multi-interpretasi dalam
memahami pembahasan penelitian ini, maka penulis perlu memberikan
definisi dari pengertian judul, yakni dengan menguraikan sebagai berikut:
Mas}lah}ah al-Mursalah: yaitu salah satu teori dalam Ushul
Fiqh. Mas}lah}ah al-Mursalah ialah
kebaikan atau kesejahteraan yang
bersesuaian dengan tujuan-tujuan
agama namun tidak ditopang
dengan sumber dalil.27
Akad nikah via Teleconference: merupakan pernyataan atau sighat
yang diucapkan oleh pihak
perempuan yang kemudian dijawab
27Ahmad Maskur, “Analisis Maslahah Al-Mursalah terhadap Hukum Pencatatan Perkawinan di
18
oleh pihak laki-laki untuk
menyatakan rasa rida dan setuju
terhadap berlangsungnya
pernikahan.28 Akad nikah ini
dilaksanakan melalui teleconference
(pertemuan yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih melalui koneksi
jaringan dengan menggunakan suara
(audio conference) atau
menggunakan audio-video (video
conference) yang memungkinkan
peserta konferensi saling melihat
dan mendengar apa yang
dibicarakan, sebagaimana
pertemuan biasa).29
H. Metode Penelitian
Metode Penelitian adalah suatu cara atau tahapan-tahapan yang dapat
memudahkan seorang penulis dalam melakukan penelitian, dengan tujuan
dapat menghasilkan penelitian yang berbobot dan berkualitas. Metode
28Slamet Abidin Aminuddin, Fiqh Munakahat ..., 73.
29Nahot Frastian, “Teknik Informatika”, dalam
19
penelitian berhubungan erat dengan prosedur, teknik, alat, serta desain
penelitian yang digunakan.30
Dalam metode penelitian menggambarkan rancangan penelitian yang
meliputi prosedur atau langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu
penelitian, sumber data, serta dengan cara apa data tersebut diperoleh dan
diolah atau dianalisis. Metode Penelitian yang dimaksud haruslah memuat:
1. Jenis Penelitian
Data yang diteliti dan diperlukan oleh penulis ialah
referensi-referensi atau buku-buku yang menjelaskan tentang syarat dan rukun
dalam perkawinan, khususnya terkait pembahasan keabsahan nikah
dengan syarat satu majelis. Data yang dikumpulkan haruslah selengkap
mungkin, agar penelitian ini menjadi lengkap dan mempunyai bobot
keilmuan yang tinggi sehingga bermanfaat untuk dikaji. Data yang
paling pokok yang harus di dapat ialah problematika dan konsep dari
akad nikah via teleconference sehingga penelitian nantinya bisa fokus
dan tidak bias.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian terbagi menjadi 2 (dua) macam :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data pokok yang menjadi acuan dalam
sebuah penelitian. Penelitian ini menggunakan sumber data primer
berupa :
20
1) Harian Umum “PELITA” Persatuan Umat Dan Kesatuan
Bangsa, dengan judul ‘Tidak Sah Pernikahan Gunakan Media Teleconference’ (Agama dan Pendidikan).
b. Sumber Data Sekunder.
Sumber data sekunder ialah data yang digunakan dalam penelitian
untuk mendukung dan memperjelas data primer. Penelitian ini
menggunakan data sekunder berupa buku-buku, segala bentuk
referensi baik jurnal, artikel maupun karya tulis lainnya yang
relevan dan kredibel untuk menunjang kelengkapan data pada
penelitian ini. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1) Kitab Fiqh al-Sunnah karangan Sayyid Sabiq.
2) Kitab al-Qawa>id al-Kubra al-musu>m bi Qawa>id al-Ah}ka>m bi
Is}la>h}i al-Ana>m karangan Izzuddi>n Abdul Azi>z bin Abdul
Sala>m.
3) Kitab Irsh>ad Al-Fuh}u>l Ila> tah}qi>q al-H}aqqi min ‘Ilmi Al-Us}u>l
karangan Al Hafiz} Muh}ammad bin ‘Ali> Al-Shauka>ni>.
4) Kitab Mawa>hibul Jali>l Lisharh}i Mukhtas}ar Khali>l karangan
Abi> ‘Abdilla>h Muh>ammad bin Muh>ammad bin Abdurrah>ma>n
al-Maghribi>.
5) Kitab Fiqh Al-Nawa>zil karangan Muh}ammad bin H}usain
al-Jiza>ni>.
21
7) Kitab Qawa>id al-Ah}ka>m fi> Mas}ali>h} al-Ana>m karangan
Muh}ammad Izzuddi>n Abdul Azi>z bin Abdul Sala>m.
8) Kitab Mu‘allim Us}u>l Al-Fiqh karangan Muh}ammad bin
H}usain bin H}asan Al-Jiza>ni>.
9) Kitab al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu jilid IV karangan
Wahbah Zuhaili.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data ialah cara yang dilakukan penulis
untuk mengungkap atau menjaring informasi data penelitian sesuai
dengan lingkup penelitian itu sendiri.31 Teknik Pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Studi Dokumen.
Studi dokumen merupakan metode pengumpulan data kualitatif
yang sejumlah fakta dan data tersimpan dalam bahan yang
berbentuk dokumentasi.32 Data yang akan diteliti meliputi
beberapa kitab ushul fiqh dan fiqh menurut empat mazhab yang
menjadi rujukan ilmu fiqh untuk menjawab kasus-kasus
kontemporer. Selain itu, peneliti tetap merujuk terhadap nash-nash
yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Hadist sebagai rujukan wajib
dalam penelitian ini.
4. Teknik Pengolahan Data
22
Teknik pengolahan data merupakan suatu tahapan dalam
penelitian yang digunakan untuk memproses data mentah yang ada di
lapangan atau pustaka menjadi data setengah jadi dan data jadi untuk
kemudian dianalis dan disimpulkan.
Setelah data terkumpul, maka hal yang harus dilakukan adalah
proses editing (pemeriksaan data) yakni pemeriksaan kembali
data-data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan,
keserasian, dan keterkaitan antara data satu dengan yang lainnya.33
Data diperiksa dari segi kelengkapan, kejelasan dan keselarasan antara
beberapa kitab ushul fiqh berikut kaidah-kaidah fiqhnya dengan
literatur tambahan yang lain.
Kemudian, setelah editing selesai, dilanjutkan dengan proses
organizing yang berarti menyusun data yang diperoleh secara
sistematis.34 Setelah itu dirumuskan sehingga terlihat jelas tentang
hasil dari pendekatan teori Mas}lah}ah al-Mursalah terhadap status
hukum akad nikah via teleconference.
5. Teknik Analisis Data
Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis data ialah
menggunakan deskriptif analisis, artinya memaparkan atau
menggambarkan data yang terkumpul berupa literatur yang berkaitan
23
dengan akad nikah via teleconference.35 Kemudian dianalisis
menggunakan teori mas}lah}ah al-mursalah sehingga memperoleh hasil
penelitian yang kredibel kemudian disimpulkan.
Adapun dalam menentukan pola pikir, penulis cenderung
menggunakan pola pikir deduktif, artinya memaparkan teori ushul fiqh
mas}lah}ah al-mursalah untuk menganalisis problematika akad nikah via
teleconference secara lebih mendalam.36
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan ialah alur dari struktur penelitian secara
sistematis dan logis. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,
metode penelitian serta sistematika pembahasan.
Bab kedua menjelaskan mengenai teori maslahat al-mursalah secara
mendetail, kemudian menjelaskan komparasi beberapa pendapat para ulama
ushuliyyin terhadap akad nikah satu majelis serta akibat hukum yang
ditimbulkannya.
35Soekidjo Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993),
135.
24
Bab ketiga berisi data penelitian yang terdiri atas proses atau
prosedur pelaksanaan akad nikah via teleconference serta menjelaskan
terkait akad nikah satu majelis (ittih}a>d al-majli>s).
Bab keempat berisi analisis data penelitian yang merupakan hasil dari
penelitian yang penulis sajikan dalam karya tulis ini, yang di dalamnya
dijelaskan dan diungkapkan secara tuntas bagaimana teori mas}lah}ah
al-mursalah dalam menganalisis akad nikah via teleconference baik ditinjau
dari segi hukum, aplikasinya dan konsekuensi yang timbul akibat variasi
dari pada akad nikah atas elaborasi persyaratan akad nikah harus ittih}a>d
al-majli>s (satu majelis) yang di analisis secara tajam dan mendalam.
Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan yang dapat
penulis ambil dari keseluruhan isi skripsi ini, dan diakhiri dengan saran
BAB II
DISKURSUS TENTANG MAS{LAH{AH AL-MURSALAH
A. Pengertian Mas{lah{ah Al-Mursalah
Kata “mas{lah}ah” berakar pada al-as}lu, ia merupakan bentuk mas}dar
dari kata kerja s}alah}a dan s}aluh}a, yang secara etimologis berarti manfaat,
faedah, bagus, baik, patut, layak, sesuai. Dari sudut pandang ilmu s}araf
(morfologi), kata “mas}lah}ah” satu pola dan semakna dengan kata manfa’ah.
Kedua kata ini (mas}lah}ah dan manfa’ah) telah diubah ke dalam bahasa
Indonesia menjadi ‘maslahat’ dan ‘manfaat’.1
Dari segi bahasa, kata al-mas}lah}ah adalah seperti lafaz al-manfa’at,
baik artinya maupun wazan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mas}dar
yang sama artinya dengan kalimat al-s}alah} seperti halnya lafaz al-manfa’at
sama artinya dengan al-naf’u. Bisa juga dikatakan bahwa al-mas}lah}ah itu
merupakan bentuk tunggal dari kata al-mas}a>lih}. Sedangkan arti dari
manfa’at sebagaimana yang dimaksudkan oleh pembuat hukum syara’
(Allah SWT) yaitu sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan
hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta dan
makhluk-Nya. Ada pula ulama yang mendefinisikan kata manfa’at sebagai
kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.2
1 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Penerbit Amzah, 2011), 127.
2 Muh}ammad bin ‘Ali> Al-Shauka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l Ila> Tah}qi>q Al-H}a>q min‘ Ilmi Al-Us}u>l, Jilid 2
26
Prof. DR. Rachmat Syafe’i dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Ushul
Fiqh” menjelaskan arti mas}lah}ah al-mursalah secara lebih luas, yaitu suatu
kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada
pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan
syari’at dan tidak ada ‘illat yang keluar dari syara’ yang menentukan
kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang
sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan
pemeliharaan kemudharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat maka
kejadian tersebut dinamakan mas}lah}ah al-mursalah. Tujuan utama
mas}lah}ah al-mursalah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari
kemudharatan dan menjaga kemanfaatannya.3
Menurut ahli ushul fiqh, mas}lah}ah al-mursalah ialah kemaslahatan
yang telah disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, di dalam rangka
menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapatnya dalil yang
membenarkan atau menyalahkan. Karenanya, mas}lah}ah al-mursalah itu
disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan
salah.4
Berdasarkan pada pengertian tersebut, pembentukan hukum
berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari
kemaslahatan manusia. Artinya, dalam rangka mencari sesuatu yang
menguntungkan, dan juga menghindari kemudharatan manusia yang
3Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 117.
4 Sayfuddi>n Abi> H}asan Al Ami>di>, Al-Ah}ka>m fi>usu>l al-Ahka>m, Juz 3 (Riyad: Muassasah
27
bersifat sangat luas. Maslahat itu merupakan sesuatu yang berkembang
berdasar perkembangan yang selalu ada di setiap lingkungan. Mengenai
pembentukan hukum ini, terkadang tampak menguntungkan pada suatu
saat, akan tetapi pada suatu saat yang lain justru mendatangkan mudharat.
Begitu pula pada suatu lingkungan terkadang menguntungkan pada
lingkungan tertentu, tetapi mudharat pada lingkungan lain.5
Adapun dalil tentang ke-hujjah-an mas}lah}ah al-mursalah adalah
sebagai berikut :6
1. Sesungguhnya permasalahan tentang perbaikan manusia selalu muncul
dan tidak pernah berhenti. Jika seandainya tidak menggunakan
mas}lah}ah al-mursalah maka tidak dapat mengatur
permasalahan-permasalahan yang baru yang timbul untuk memperbaiki manusia.
2. Sesungguhnya sudah banyak orang yang menggunakan mas}lah}ah
al-mursalah, yakni dari para Sahabat, para Tabi’in dan para mujtahid.
Mereka menggunakan mas}lah}ah al-mursalah untuk kebenaran yang
dibutuhkan, seperti Sahabat Abu Bakar mengumpulkan mus}h}af-mus}h}af
lalu dibukukan menjadi Al-Qur’an.
Mengenai berbagai persyaratan untuk membuat dalil mas{lah{ah
al-mursalah yang akan diterapkan untuk menggali suatu hukum, ialah :
5 Miftahul Arifin, Ushul fiqh Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum Islam (Surabaya: Citra Media,
1997), 143.
28
1. Hendaknya mas}lah}ah al-mursalah digunakan pada suatu obyek
kebenaran yang nyata, tidak kepada obyek yang kebenarannya hanya
dalam dugaan.
2. Hendaknya mas}lah}ah al-mursalah digunakan pada obyek yang bersifat
universal bukan pada obyek yang bersifat individual/khusus.
3. Hendaknya tidak bertentangan dengan hukum syara’ yang sudah
ditetapkan oleh Nash atau Ijma’.7
Pendapat lain, dikemukakan oleh Imam Maliki sebagaimana yang
tertuang dalam kitab karangan Abu Zahrah yang berjudul “Ushul fiqh”
menjelaskan bahwa syarat-syarat mas}lah}ah al-mursalah bisa dijadikan dasar
hukum ialah :
1. Kecocokan/kelayakan di antara kebaikan yang digunakan secara pasti
menurut keadaannya dan antara tujuan-tujuan orang-orang yang
menggunakan mas}lah}ah al-mursalah. Sementara mas}lah}ah al-mursalah
sendiri tidak meniadakan dari dalil-dalil pokok yang telah ditetapkan
dan tidak pula bertentangan dengan dalil-dalil Qat}’i> yyah.
2. Hendaknya mas}lah}ah al-mursalah dapat diterima secara rasional di
dalam keadaannya terhadap permasalahan yang ada. Artinya terhadap
permasalahan yang sesuai secara akal. Kemudian apabila mas}lah}ah
al-mursalah ditawarkan kepada cendekiawan, maka mereka dapat
menerimanya.
7 Said Agil Husin Al-Munawar, Membangun Metodologi Ushul fiqh (Jakarta: PT. Ciputat Press,
29
3. Hendaknya menggunakan mas}lah}ah al-mursalah itu tidak
menghilangkan yang sudah ada, dan sekiranya apabila tidak
menggunakan teori itu secara rasional, maka manusia akan mengalami
kesempitan dalam berpikir. Allah SWT dalam firmannya menyebutkan,
yang artinya “Allah SWT tidak menjadikan agama bagi kalian secara
sempit” .8
Terkait beberapa golongan yang tidak mau menggunakan mas}lah}ah
al-mursalah sebagai landasan dan pijakan dalam menetapkan hukum,
Alasannya sebagaimana berikut :
1. Sesungguhnya syariat Islam sudah cukup mengatur setiap permasalahan
manusia dengan petunjuk yang dihasilkan dari Qiya>s.
2. Sesungguhnya hukum syara’ sudah dapat menetapkan kepastian akan sebuah kebenaran.
3. Sesungguhnya mas{lah}ah al-mursalah tidak dapat mendatangkan dalil
yang khusus, yang dalam keadaannya mas}lah}ah al-mursalah itu hanya
semacam kesenangan yang sesuai dengan keinginan.
4. Penggunaan mas}lah}ah al-mursalah tersebut merupakan tindakan yang
tidak berpedoman pada Nash, sehingga akan mendatangkan atau
mengakibatkan kedzaliman pada manusia, sebagaimana yang dijalankan
penguasa-penguasa yang dzalim. (Muhammad Abu Zahrah, 1958 :
222).
30
5. Apabila mas}lah}ah al-mursalah diambil dengan alasan apa adanya, pasti
akan membawa perbedaan baik perbedaan suku, daerah atau dalam
perkara yang sama. Hal ini tentu akan menciptakan dualisme solusi
hukum yang berlawanan. Satu daerah memandang satu perkara
diharamkan sementara daerah lain memandang boleh karena ada
manfaatnya. Ini jelas tidak sesuai dengan jiwa-jiwa hukum syara’ yang
bersifat abadi dan diperuntukkan bagi semua manusia.9
B. Jenis-Jenis Mas}lah}ah Al-Mursalah
Menurut teori ushul fiqh, jika ditinjau dari segi ada atau tidaknya
dalil yang mendukung terhadap suatu kemaslahatan, mas}lah}ah terbagi
menjadi tiga macam, yaitu :
1. Mas}lah}ah Al-Mu’tabarah
Mas}lah}ah al-mu’tabarah yakni al-mas}lah}ah yang diakui secara
eksplisit oleh syara’ dan ditunjukkan oleh dalil (Nash) yang spesifik. Disepakati oleh para ulama, bahwa maslahah jenis ini merupakan
h}ujjah shar’iyyah yang valid dan otentik. Manifestasi organik dari jenis
al-mas}lah}ah ini ialah aplikasi qiya>s.
Sebagai contoh, di dalam QS. Al-Baqarah (2): 222 Allah SWT
berfirman,
9 A. Faishal Haq, Ushul fiqh Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum Islam (Surabaya: Citra Media,
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
(QS. Al-Baqarah (2) : 222).10
Dari ayat tersebut terdapat norma bahwa isteri yang sedang
menstruasi (haid) tidak boleh (haram) disetubuhi oleh suaminya karena
faktor adanya bahaya penyakit yang ditimbulkan.
2. Mas}lah}ah Al-Mulgha>h
Mas}lah}ah al-mulgha>h merupakan al-mas}lah}ah yang tidak diakui
oleh syara’, bahkan ditolak dan dianggap ba>t}il oleh syara’.
Sebagaimana ilustrasi yang menyatakan opini hukum yang
mengatakan porsi hak kewarisan laki-laki harus sama besar dan setara
dengan porsi hak kewarisan perempuan, dengan mengacu kepada dasar
pikiran semangat kesetaraan gender. Dasar pemikiran yang demikian
memang mengandung al-mas}lah}ah, tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT, sehingga
mas}lah}ah yang seperti inilah yang disebut dengan mas}lah}ah
al-mulgha>h.
32
3. Mas}lah}ah Al-Mursalah
Mas}lah}ah al-mursalah yaitu al-mas}lah}ah yang tidak diakui
secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap batil oleh syara’, akan tetapi masih sejalan secara substantif dengan
kaidah-kaidah hukum yang universal. Sebagaimana contoh, kebijakan hukum
perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah.11
Kebijakan pemerintah tersebut mengenai perpajakan tidak
diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap palsu oleh syara’. Akan tetapi kebijakan yang demikian justru sejalan secara substantif dengan kaidah hukum yang universal, yakni tas}arruful
ima>m ‘ala> al-ra’iyyah manu>t}un bil al-mas}lah}ah. Dengan demikian,
kebijakan tersebut mempunyai landasan shar’iyyah, yakni mas}lah}ah
al-mursalah.12
Dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujjah (tendensi) dalam
menetapkan hukum, mas}lah}ah terbagi menjadi tiga macam :13
1. Mas}lah}ah D}aru>riyat
Mas}lah}ah D}aru>riyat merupakan kemaslahatan yang menduduki
kebutuhan primer. Kemaslahatan ini erat kaitannya dengan
terpeliharanya unsur agama dan dunia. Keberadaan mas}lah}ah
dharuriyat ini bersifat penting dan merupakan suatu keharusan yang
menuntut setiap manusia terlibat di dalamnya dan merupakan unsur
11 Muh}ammad bin H}usain bin H}asan Al-Ji>za>ni>, Mu‘a>lim Us}u>l Al-Fiqh (Riya>d}: Da>r Ibnu Al-Jauzi>,
2008), 235.
12 Asmawi, Perbandingan Ushul..., 129.
33
terpenting dalam kehidupan manusia. Hal ini bisa dipahami sebagai
sarana perenungan bahwa pada hakikatnya manusia tidak bisa hidup
dengan tentram apabila kemaslahatan ini tidak dimilikinya.
2. Mas}lah}ah H{a>jiyat
Mas}lah}ah H{a>jiyat adalah kemaslahatan yang menduduki pada
taraf kebutuhan sekunder. Artinya suatu kebutuhan yang diperlukan
oleh manusia agar terlepas dari kesusahan yang akan menimpa mereka.
Mas{lah{ah H{a>jiyat jika seandainya tidak terpenuhi maka tidak sampai
mengganggu kelayakan, substansi serta tata sistem kehidupan manusia,
namun dapat menimbulkan kesulitan dan kesengsaraan bagi manusia
dalam menjalani kehidupannya.14
Contoh sederhana dari mas}lah}ah h}a>jiyat yaitu Allah SWT telah
memberikan keringanan-keringanan dalam beribadah dikhususkan
terhadap mereka yang melakukan perjalanan jauh sehingga mereka
mengalami kesulitan apabila melakukan ibadah secara normal, dalam
hal ini menjama’ serta mengqashar salat lima waktu.
3. Mas{lah{ah Tah{siniyat
Maslahah Tah{siniyat adalah kemaslahatan yang menempati pada
posisi kebutuhan tersier yang dengan memenuhinya dapat menjadikan
kehidupan manusia terhindar dan bebas dari keadaan yang tidak
terpuji. Dengan memenuhi mas{lah{ah ini, seseorang dapat menempati
posisi yang unggul. Ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi
34
mas{lah{ah ini tidak mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan dan
hubungan antar sesama manusia serta tidak menyebabkan kesulitan
yang berarti untuk kehidupan manusia.
C. Status Hukum Mas}lah}ah Al-Mursalah
Menurut para ulama us}u>l, sebagian ulama menggunakan istilah
mas}lah}ah al-mursalah itu dengan kata al-muna>sib al-mursal. Ada pula yang
menggunakan al-istis}la>h} dan ada pula yang menggunakan istilah al-istidla>l
al-mursal. Istilah-istilah tersebut walaupun tampak berbeda namun
memiliki satu tujuan, masing-masing mempunyai tinjauan yang
berbeda-beda. Setiap hukum yang didirikan atas dasar mas}lah}ah dapat ditinjau dari
tiga segi, yaitu:
1. Melihat mas}lah}ah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan.
Misalnya pembuatan akta nikah sebagai pelengkap administrasi akad
nikah di masa sekarang. Akta nikah tersebut memiliki kemaslahatan.
Akan tetapi, kemaslahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang
menunjukkan pentingnya pembuatan akta nikah tersebut. Kemaslahatan
ditinjau dari sisi ini disebut mas}lah}ah al-mursalah.
2. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-was}f al-muna>sib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu
kemaslahatan. Misalnya surat akta nikah tersebut mengandung sifat
35
keturunan. Akan tetapi sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil
khusus. Inilah yang dinamakan al-muna>sib al-mursal.
3. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu mas}lah}ah yang
ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu
kasus bahwa hal itu diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’.
Proses seperti ini dinamakan istis}la>h (menggali dan menetapkan suatu
mas}lah}ah).15
Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai
istilah mas}lah}ah al-mursalah. Istilah ini yang paling terkenal. Bila ditinjau
dari segi yang kedua, dipakai istilah al-muna>sib al-mursal. Istilah tersebut
digunakan oleh Ibnu Hajib dan Baidawi (Al-Qa>d}i> Al-Baid}a>wi>: 135). Untuk
segi yang ketiga dipakai istilah al-istis}la>h yang dipakai oleh Imam Ghazali
dalam kitab Al-Mustashfa (Al-Ghazali: 311) atau dipakai istilah al-istidla>l
al-mursal, seperti yang dipakai oleh Al-Syatibi dalam kitab Al-Muwa>faqat
(Al-Muwa>faqa>t Juz I :39).16
Jika melihat permasalahan umat yang semakin kompleks, teori
Mas}lah}ah al-Mursalah bisa dijadikan untuk menetapkan hujjah dari istinbat
hukum karena pada dasarnya Allah SWT telah menciptakan segala hal di
dunia ini tidak sia-sia sehingga tidak ada manfaat yang tidak bisa diperoleh
darinya, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali Imra>n : 191,
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci
Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.17
D. Perbedaan Pendapat Para Ulama Terkait Teori Mas}lah}ah Al-Mursalah dan
Kaidah Fiqhiyyah
Terdapat perbedaan pandangan di antara beberapa ulama ahli ushul
fiqh terkait mas}lah}ah al-mursalah. Akan tetapi pada hakikatnya adalah
satu, yaitu setiap manfaat yang di dalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau
menolaknya. Berikut adalah beberapa ulama’ yang berselisih pendapat
dalam menanggapi hakikat dan pengertian mas}lah}ah al-mursalah :
1. Abu Nur Zuhair dalam pendapatnya mengatakan bahwa mas}lah}ah
al-mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi belum
tentu diakui atau tidaknya oleh syara’. (Muhammad Abu Nur Zuhair,
IV : 185).
2. Abu Zahrah mendefinisikan mas}lah}ah al-mursalah sebagai suatu
maslahah yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah
37
SWT) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi
bukti diakui atau tidaknya. (Abu Zahrah : 221).
3. Al-Ghazali menyatakan bahwa setiap maslahah yang kembali kepada
pemeliharaan maksud syara’ yang diketahui dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’, tetapi tidak dipandang dari ketiga dasar tersebut secara khusus dan tidak juga melalui metode qiya>s, maka dipakailah mas}lah}ah
al-mursalah. Dari pernyataan Imam Al-Ghazali tersebut dapat
disimpulkan bahwa mas}lah}ah al-mursalah (istis}la>h}) menurut
pandangannya ialah suatu metode Istidla>l (mencari dalil) dari Nash
syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap Nash syara’,
tetapi ia tidak keluar dari Nash syara’. Menurut pandangannya,
mas}lah}ah al-mursalah merupakan hujjah qat}’iyyat selama mengandung
arti pemeliharaan maksud syara’, walaupun dalam penerapannya z}anni.
Sehingga Al-Ghazali menegaskan kembali bahwa jika mas}lah}ah
al-mursalah ditafsirkan untuk pemeliharaan maksud syara’ maka tidak ada
jalan bagi siapapun untuk berselisih dalam mengikutinya, bahkan wajib
meyakini bahwa maslahah seperti itu adalah hujjah agama.
4. Asy-Syatibi, salah seorang ulama mazhab Maliki mengatakan,
mas}lah}ah al-mursalah merupakan setiap prinsip syara’ yang tidak
disertai bukti Nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serta
maknanya diambil dari dalil-dalil syara’. Prinsip yang dimaksud
tersebut adalah sah sebagai dasar hukum dan dapat dijadikan rujukan
38
Adapun kesimpulan dari pendapat Imam Asy-Syatibi terkait mas}lah}ah
al-mursalah, yaitu :
a) Mas}lah}ah al-Mursalah adalah suatu maslahah yang tidak ada Nash
tertentu, tetapi sesuai dengan tindakan syara’.
b) Kesesuaian maslahah dengan syara’ tidak diketahui dari satu dalil dan tidak dari Nash yang khusus, melainkan dari beberapa dalil dan
Nash secara keseluruhan yang menghasilkan hukum qat}’i> walaupun
secara bagian-bagiannya tidak menunjukkan qat}’i> .18
5. Imam Malik memberikan gambaran yang lebih jelas tentang mas}lah}ah
al-mursalah, yaitu suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip
dan dalil-dalil syara’ yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan,
baik yang bersifat d}aru>riyat (primer) maupun h}a>jiyat (sekunder).
(Al-I’tisham, juz 2 : 1229).19
Perselisihan pendapat tentang kehujjahan mas{lah{ah al-mursalah yang
dijadikan sumber hukum oleh kalangan para ulama memicu perhatian para
ulama ahli ushul fiqh untuk mengkaji teori fiqh tersebut lebih lanjut.
Beberapa pendapat para ulama yang dianggap paling kuat adalah sebagai
berikut :
1. Al-Qa>d}i> dan beberapa ahli fiqh lainnya menolak kehujjahan mas}lah}ah
al-mursalah menjadi sumber hukum Islam dan menganggap sebagai
sesuatu yang tidak ada dasarnya.
18Abi> Muh}ammad Izzuddi>n Abdul Azi>z, Qawa>‘id al-Ah}ka>m fi> Mas}a>lih} al-Ana>m, Juz 1 (Beiru>t:
Al-Muassasah} Al-Rayya>n, 1990), 41.
19 Abi> Abdilla>h Muh}ammad bin Ah}mad At-Tilmisa>ni>, Mifta>h} Al-Wus}u>l (Beiru>t: Muassasah}
39
2. Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya menjadi sumber
hukum Islam secara mutlak.
3. Imam Asy-Syafi’i dan para pembesar golongan Hanafiyyah memakai
mas}lah}ah al-mursalah dalam permasalahan yang tidak dijumpai dasar
hukumnya yang sahih. Namun mereka mensyaratkan dasar hukum yang
mendekati hukum yang sahih. Hal ini senada dengan pendapat
Al-Juwaini.
4. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam
tahap tah}sin atau tazayyun (perbaikan), tidaklah dipakai sampai ada
dalil yang lebih jelas. Adapun bila neraca pada martabat penting maka
boleh memakainya, tetapi harus memenuhi beberapa syarat. Beliaupun
berkata, jangan sampai para mujtahid menjauhi untuk
melaksanakannya. Namun pendapatnya berbeda-beda tentang derajat
pertengahan, yakni martabat kebutuhan. Dalam kitab Al-Mustashfa,
Imam Ghazali menolak mas}lah}ah al-mursalah, namun dalam kitab
Syifa>’u al-Ghali>l , Imam Ghazali menerimanya. (Al-Mustashfa I :
141).20
Selain istilah ushul fiqh, istilah lain yang harus dipahami adalah
istilah qawa>id al-fiqhiyyah. Istilah qawa>id al-fiqhiyyah dalam pemahaman
Ahmad Muhammad Al-Syafi’i dipahami sebagai hukum-hukum yang
bersifat menyeluruh (kulli) yang dijadikan jalan untuk tercipta darinya
40
hukum-hukum juz’i.21 Hal senada juga di sampaikan oleh ‘Ali bin
Muhammad al-Jurjani yang menyatakan bahwa kaidah adalah
hukum-hukum yang bersifat umum yang meliputi semua bagian-bagian kecil yang
lebih terperinci (al-Juz’iyyat).22 Dalam dua perspektif ini dapat dipahami
bahwa kaidah fiqh merupakan sebuah kaidah besar yang mampu
menghasilkan hukum-hukum fiqh dalam beragam bentuk.
Ilmu qawa>’id al-fiqh dipahami sebagai sebuah ilmu pengetahuan
tentang kumpulan dari kaidah-kaidah hukum syara’ yang dikembalikan
pada sebuah istilah umum yang diketahui oleh sebagian besar kalangan.
Kaidah kulliyyah fiqhiyyah adalah kaidah umum yang meliputi seluruh
cabang masalah-masalah fiqh yang menjadi pedoman dalam menetapkan
hukum pada setiap peristiwa fiqh, baik yang ditunjuk oleh Nash yang
sharih (jelas) maupun yang belum ada hukumnya.23
Kaidah Kulliyyah Fiqhiyyah ini tidak lain adalah prinsip-prinsip
umum yang harus menampung kebanyakan dari bagian-bagian (Juz’iyyah)
yang terperinci. Oleh karena itu, walaupun kaidah ini berjumlah 5 (lima),
tetapi dapat dijadikan alat untuk memecahkan masalah-masalah yang
sangat banyak, terutama masalah yang kontemporer. Imam ‘Izzuddin bin
Abd. Al-Salam mengatakan bahwa seluruh masalah fiqh hanya
dikembalikan kepada “dar’u al-mafa>sid” (menolak segala yang merusak)
21 Ah}mad Muh}ammad Al-Sya>fi‘i>, Us}u>l al-Fiqh Al-Isla>mi> (Kairo: Muassasah} Thaqafah
Al-Isla>miyyah, 1983), 04.
22‘Ali> bin Muh}ammad Al-Jurjani>, Kita>b al-Ta‘rifa>t (Jidda>h: al-Haramayn, t.t.), 171.
23 Ach. Fajruddin Fatwa, Usul Fiqh Dan Kaidah Fiqhiyah (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
41
dan “Jalb al-mas}a>lih}” (mendatangkan kemaslahatan). Bahkan, ada yang
mengembalikan masalah-masalah fiqh itu hanya kepada kaidah “Jalb
al-Mas}a>lih} dar’u” (mendatangkan segala kemaslahatan), yang di dalamnya
sudah terkandung “dar’u al-mafa>sid’ (menolak segala kerusakan).24
Al-Qadhi Abu Sa’id mengatakan, bahwa ulama Syafi’iyyah
mengembalikan seluruh ajaran al-Syafi’i ke dalam 5 (lima) kaidah :
1. (Seluruh urusan bergantung tujuannya)
2. (Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan
keragu-raguan)
3. (Kesulitan dapat mendatangkan kemudahan)
4. (Seluruh bahaya harus dihilangkan/disingkirkan)
5. (Adat kebiasaan dapat dijadikan pertimbangan hukum)
Jumhur ulama, ulama Syafi’iyyah dan ulama Mutakallimin yang
juga diikuti oleh ulama al-Dhahir kecuali Ibnu Hazm, berpendapat
bahwa dalam meniadakan hukum juga diharuskan adanya dalil. Mereka
mengatakan bahwa dalam meniadakan suatu hukum itu sama dengan
menetapkan suatu hukum, yakni harus ada dalil.
Pendapat demikian ditentang oleh Imam as-Syaukany di dalam
kitabnya yang berjudul “Irsya>d Fuhu>>l Ila Tahqi>q Haq min Ilmi al-Ushu>l” beliau mengatakan bahwa dalam meniadakan suatu hukum
42
tidak memerlukan dalil sebab pada dasarnya sesuatu itu tidak ada
pula.25
Dalam menetapkan hukum, para ulama tidak jarang
menyandarkan ketetapan argumentasi hukumnya pada kaidah-kaidah
hukum atau lebih dikenal sebagai kaidah fiqhiyyah. Berikut adalah
kaidah tambahan yang oleh para ulama fiqh juga dibuat sandaran
argumentasi hukum, yaitu:
1. Yalzamu h{ura>‘a>hu lishartin biqadril imka>ni.
2. Al-ta‘li>qu ‘ala> ka>inin tanji>zinn. Artinya, suatu perkara yang
digantungkan terhadap keadaan, atau mensyaratkan suatu perkara
dengan keadaan, maka gantungan atau syarat itu dianggap telah dapat
berlaku sebagai ketentuan hukum.26
3. Al-h{ukmu yadu>ru bi ‘illatihi wuju>da>n wa ‘adama>n.
4. Taghayyuru al-h{ukmi bi taghayyuril azminah wal amkinah.
E. Argumentasi Para Ulama Terhadap Akad Nikah Satu Majelis
Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya Fiqh ‘ala> Madha>h}ib
al-Arba‘ah menukil kesepakatan ulama mujtahid mensyaratkan bersatu
majelis bagi ijab dan kabul. Dengan demikian apabila tidak bersatu antara
43
majelis mengucapkan ijab dengan majelis mengucapkan kabulnya, akad
nikah dianggap tidak sah.27
Istilah akad nikah haruslah dalam satu majelis (ittiha>d al-Majli>s) dan
di antara para ulama ada perbedaan pendapat: Pertama, yang di maksud
dengan ittiha>d al-majli>s ialah bahwa ijab dan kabul haruslah dilakukan
dalam jarak waktu yang terdapat dalam satu upacara akad nikah, bukan
dilakukan dalam dua jarak waktu secara terpisah. Artinya, ijab diucapkan
dalam satu upacara pernikahan, kemudian setelah ijab selesai, kabul
diucapkan pula dalam upacara berikutnya.28
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah dalam menjelaskan arti
“bersatu majelis” bagi ijab dan kabul menekankan kepada pengertian tidak
boleh terputusnya antara ijab dan kabul. Salah satu contoh dikemukakan
oleh Imam al-Jaziri dalam mazhab Hanafi adalah dalam masalah seorang
laki-laki berkirim surat mengakadkan nikah kepada pihak perempuan yang
dikehendakinya. Setelah surat itu sampai, lalu isi surat itu dibacakan di
depan wali wanita dan para saksi. Dan dalam majelis yang sama, setelah
surat itu dibacakan, wali dari perempuan langsung mengucapkan
penerimaannya (kabulnya).
Praktik akad nikah seperti ini, menurut golongan Hanafiyyah
dianggap sah dengan alasan bahwa pembacaan ijab yang terdapat dalam
surat calon suami dan pengucapan kabul dari pihak wali wanita sama-sama
27Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), 03.