29 4.1 Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian
4.1.1 Persiapan
Persiapan merupakan hal penting yang harus dilakukan untuk mendukung proses penelitian agar sesuai dengan tujuan penelitian. Persiapan yang dilakukan diantaranya: menyediakan alat perekam, pedoman wawancara, surat keterangan penelitian, pulpen dan alat pendukung lain. Alat perekam yang digunakan adalah handphone yang memiliki kemampuan merekam dengan baik. Selain itu pedoman wawancara juga merupakan salah satu hal penting yang harus dipersiapkan agar wawancara dapat terarah pada informasi yang diperlukan bagi penelitian.
Penulis juga perlu mempersiapkan diri dengan baik, karena penulis merupakan instrument kunci dalam penelitian ini. Dalam penelitian kualitatif penulis merupakan instrument penelitian/alat pengumpul data utama.
4.1.2 Pelaksanaan Penelitian
mengumpulkan informasi melalui wawancara informal dengan beberapa teman penulis mengenai siapa saja kira-kira yang akan menjadi calon subjek penelitian. Setelah menemukan beberapa orang yang sesuai, peneliti menyeleksi lagi menjadi 2 orang yang paling sesuai dengan karakteristik subjek penelitian yang telah ditentukan.
Setelah terpilih 2 orang calon subjek, penulis mengkonfirmasi kesediaan calon subjek untuk melakukan wawancara, penulis menjelaskan bahwa hasil wawancara akan digunakan untuk kepentingan penelitian. Namun salah seorang calon subjek menolak untuk wawancara dengan suatu alasan, sehingga penulis mencari seorang calon subjek kembali yang bersedia diwawancara. Setelah ditemukan 2 orang subjek, penulis memberitahukan tentang tujuan penelitian yang sedang dilakukan agar subjek dapat memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan penulis. Faktor yang ditekankan dalam wawancara adalah keterbukaan dan kepercayaan subjek pada penulis sehingga perlu dipahami bahwa tujuan dari wawancara ini semata-mata adalah untuk kepentingan penelitian.
mengamati kehidupan keluarga subjek dan hubungan subjek dengan suami dan orang-orang disekitar subjek.
4.1.3 Wawancara
Setelah mengamati kehidupan keluarga subjek, selanjutnya dilakukan wawancara dengan kedua subjek pada waktu dan tempat yang telah disetujui, sebelum memulai wawancara peneliti terlebih dahulu menginformasikan kepada subjek bahwa dalam proses wawancara akan menggunakan alat perekam berupa handphone guna merekam informasi. Penulis juga meminta ijin kepada subjek untuk bisa mengambil beberapa gambar dalam proses wawancara sebagai dokumentasi.
oleh teman penulis sedangkan subjek kedua (subjek B) adalah kakak kandung dari teman penulis.
Wawancara dengan subjek A dilakukan pada hari Minggu tanggal 2 Februari 2014 bertempat di rumah subjek. Wawancara dengan subjek B dilakukan pada hari Minggu tanggal 16 Februari 2014 bertempat di rumah subjek. Observasi dilakukan sebelum wawancara dimulai dengan mengamati lingkungan sekitar tempat tinggal subjek beserta hubungan subjek dengan orang-orang sekitar subjek terutama suami subjek.
4.2 Pengumpulan Data 4.2.1 Catatan Lapangan
Catatan lapangan yang dibuat penulis berbentuk verbatim wawancara. Verbatim wawancara merupakan data mentah yang sudah diproses sebagiannya dalam bentuk transkripsi wawancara, atau dapat dikatakan memberi catatan pada orang yang diwawancarai dalam bentuk transkrip (Poerwandari, 2005).
4.2.2 Reduksi Data
4.2.3 Kategorisasi
Dari hasil wawancara dilakukan proses pengkategorisasian, penulis melakukan coding, yaitu usaha untuk memaknai data melalui simbol atau kode dalam rangka mempermudah proses kategorisasi, berupa angka-angka latin (1, 2, 3, ...) yang menunjukkan baris, dan abjad (A, B, C, ...) merupakan kode untuk menunjukkan subjek. Kode abjad yang menunjukkan subjek akan diikuti kode angka latin yang akan menunjukkan baris disamping deskripsi wawancara.
4.3 Interpretasi Data 4.3.1 Subjek A
a. Gambaran Umum Subjek Nama Subjek : WK Usia Subjek : 22 tahun Pendidikan : SMA Pekerjaan : Swasta
Maulana sejak subjek masih duduk di bangku SMA sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.
Subjek tinggal di daerah Ambarawa dekat dengan saudara dan kerabatnya. Setiap harinya subjek bekerja dari pagi hingga petang dan hanya hari minggu saja subjek bisa berada di rumah bersama dengan anaknya, selama subjek dan suaminya bekerja anaknya selalu dititipkan pada orang tua subjek yang rumahnya tidak jauh dari rumah subjek. Pada saat bertemu dengan penulis subjek sempat mengeluhkan tentang pekerjaannya yang tidak memberikan waktu lebih bersama keluarga, namun subjek tetap berusaha untuk meluangkan waktu untuk bersama anak meskipun hanya sebentar setiap harinya.
b. Observasi
Observasi dilakukan selama proses wawancara berlangsung, dari hasil observasi dapat diketahui bahwa subjek merupakan seorang perempuan muda berumur 22 tahun. Dari segi fisik subjek berbadan kurus, berkulit sawo matang, tinggi subjek kurang lebih 162 cm. Subjek terlihat aktif dan cekatan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga serta mengurus anak perempuannya.
bersama dengan anaknya dan berbincang dengan penulis. Subjek juga tampak akrab dengan para tetangga di sekitar rumahnya.
Selama wawancara berlangsung subjek cukup kooperatif dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh peneliti meskipun sebelumnya subjek mengungkapkan bahwa subjek sedikit malu jika wawancara harus direkam. Pada saat menjawab pertanyaan subjek terlihat agak gugup dan malu-malu, reaksinya cenderung datar dan sesekali subjek tertawa kecil karna kebingungan menemukan kata-kata untuk mengungkapkan jawabannya.
Walaupun subjek sudah lama tidak bertemu dengan penulis namun subjek langsung bisa akrab dengan penulis ketika penulis datang untuk meminta kesediaannya menjadi subjek penelitian dan selama proses wawancara.
c. Reduksi Data
Dari hasil wawancara dengan subjek A dapat diketahui bahwa optimisme subjek pada pernikahannya adalah sebagai berikut:
“Ya yang diharapkan bisa menjadi keluarga yang bahagia,
bisa nyenengin anak, ya pokok’e seng bahagia-bahagia”
(A6)
“Ya optimis, sudah menjadi pilihan sejak menikah, optimis
kalau dia bisa membahagiakan” (A11)
2) Pervasiveness membahas tentang bagaimana seseorang memandang kebaikan dan keburukan yang terjadi pada dirinya, apakah ia berpandangan secara universal atau secara spesifik. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:
“Ya ndak papa, kalau pendidikan tu nggak masalah, yang
penting.. opo yo jenenge yo.. yang penting kan saling ngerti,
walaupun pendidikan berbeda kan nggak jadi masalah” (A7)
“Cukup puas sih, yang penting kan nggak.. opo yo.. cari
kerjaan tu halal, nggak yang neko-neko” (A8)
3) Personalization membahas tentang bagaimana seseorang memandang kebaikan dan keburukan yang terjadi apakah karena faktor internal atau eksternal. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:
“Yo kalau orang tua nggak papa soale udah pilihan saya
sendiri, kalau saya seneng berarti orang tua juga ikut
“Enggak ada masalah, yang penting kalau.. aku sebagai istri
selalu menghargai suami walaupun opo tingkat
pendidikannya lebih tinggi aku tapi kan tetep suami aku, jadi
tetep lebih menghargai” (A9)
4.3.2 Subjek B
a. Gambaran Umum Subjek Nama Subjek : ER Usia Subjek : 28 tahun Pendidikan : S1
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Subjek merupakan seorang ibu rumah tangga berusia 28 tahun dan berpendidikan S1 Ilmu Keperawatan, subjek telah menikah selama lebih kurang 1 tahun dengan suaminya yang berpendidikan SMK/STM bernama BW yang berusia jauh dibawah subjek, yaitu 23 tahun. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa selain memiliki perbedaan tingkat pendidikan, subjek juga memiliki perbedaan usia yang relatif jauh dengan suami.
memilih untuk menjadi seorang ibu rumah tangga saja dibandingkan bekerja, alasannya adalah subjek ingin mengabdi sepenuhnya kepada sang suami selagi masih memungkinkan untuk tidak bekerja.
b. Observasi
Observasi dilakukan selama proses wawancara berlangsung. Subjek merupakan seorang perempuan yang bertubuh agak gemuk, berkulit sawo matang, dengan tinggi badan kurang lebih 156 cm. Subjek sangat baik dan ramah kepada penulis, pada saat penulis datang subjek baru saja selesai membereskan rumah, subjek tampak sangat rajin dan teliti dalam berbenah rumah.
Ketika dilakukan wawancara subjek hanya di rumah bersama dengan adiknya saja, hal ini dikarenakan suami subjek telah berangkat ke Jakarta beberapa minggu sebelumnya untuk menerima panggilan kerja. Subjek juga terlihat telah bersiap untuk segera pindah menyusul sang suami ke Jakarta, hal ini tampak ketika selesai wawancara subjek menerima telepon dari sebuah agen bus di terminal berkaitan dengan pemesanan tiket yang telah dilakukan subjek sebelumnya.
bersemangat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis. Subjek selalu menjawab pertanyaan dari penulis tanpa ragu-ragu dan cukup aktif.
Dari awal hingga akhir proses wawancara subjek tampak santai dan cukup tenang dalam berinteraksi dengan penulis, subjek secara sukarela memberikan informasi secara jujur dan terbuka kepada peneliti.
c. Reduksi Data
Dari hasil wawancara dengan subjek A dapat diketahui bahwa optimisme subjek pada pernikahannya adalah sebagai berikut:
1) Permanence yaitu gaya penjelasan masalah yang berkaitan
dengan waktu, yaitu temporer dan permanen. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:
“. . . nah semoga kedepannya nanti tu kita bisa jadi keluarga
yang apa sakinah mawadah warohmah, tanpa apa harus ada
apa ya emmm apa ya gangguan-gangguan gitu” (B4)
“. . . jadi kan kita udah ada niat ibadah, nah dari kata itu kita
jadi berfikirnya positif, . . .” (B9)
“. . . kalau saya sih lebih optimis ya, karna semua itu kan
kayak rizki juga yang ngatur yang diatas gitu, asalkan kita
2) Pervasiveness yaitu gaya penjelasan yang berkaitan dengan
dimensi ruang lingkup, dibedakan menjadi spesifik dan universal. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:
“Yang pertama kalau saya tidak melihat dari tingkat
pendidikannya tapi dari tingkat kenyamanan saya terhadap
pasangan saya . . . “ (B5)
“. . . jadi menurut saya kalau status pendidikan itu nggak
terlalu berpengaruh, tapi kita dapat menilai dari orangnya
dulu gimana gitu, kita udah nyaman, enak diajak ngomong,
gitu” (B5)
3) Personalization yaitu gaya penjelasan yang berkaitan dengan
sumber penyebab, internal dan eksternal. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:
”. . . apapun keputusan kamu orang tua tetep mendukung . . .
Yang penting kamu seneng, kamu nyaman, gitu kamu tidak
merasa terbebani atau gimana gitu” (B8)
“. . . memang kadang-kadang kan kalau namanya pemikiran
tu perbedaan pasti ada kan, Cuma kan perbedaan itu pasti
4.4 Pembahasan
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing subjek memiliki optimisme dalam pernikahan. Subjek memiliki optimisme dalam setiap jawaban yang diberikan.
Aspek Permanence berhubungan dengan dimensi waktu, bagaimana seseorang menilai sebuah peristiwa atau hal yang terjadi pada dirinya berdasarkan pada waktu yang lama atau sementara, orang yang optimis akan memandang hal negatif yang terjadi pada dirinya akan bersifat sementara atau temporer dan hal positif yang terjadi pada dirinya akan bertahan lama. Sebaliknya, seseorang yang pesimis akan memandang suatu hal atau peristiwa negatif akan bertahan lama pada dirinya sedangkan hal positif yang terjadi akan dipandang sebagai hal yang tidak akan terjadi dalam waktu yang lama. Dari hasil penelitian ini telah ditemukan berbagai jawaban dari subjek yang menyatakan bahwa kedua subjek memiliki keyakinan akan masa depan keluarga yang dibina, kedua subjek yakin dan optimis akan memiliki kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang, hal ini tampak pada pernyataan kedua subjek: “Ya optimis, sudah menjadi pilihan
sejak menikah, optimis kalau dia bisa membahagiakan” dan “kalau saya sih
lebih optimis ya . . . asalkan kita mau berusaha pasti semuanya ada
jalannya”.
menunjukkan bahwa subjek memiliki keyakinan yang baik dalam dimensi waktu yang lama, dalam hal ini adalah masa depan.
Pendapat tersebut juga memperkuat pendapat Sri Harini (1994) tentang semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin memperluas dan melengkapi pola berpikirnya dalam menghadapi sesuatu hal, dari jawaban subjek tersebut dapat diketahui bahwa subjek memandang perbedaan pendidikan ini dengan pola berpikir yang lebih baik dan tidak gegabah.
“sudah menjadi pilihan sejak menikah . . . “ pernyataan ini mendukung
pendapat Kartini Kartono (1992) tentang ikatan janji kesetiaan cinta kasih yang diikrarkan dengan jalan menikah. Subjek meyakini betul tentang janji yang telah diikrarkan lewat pernikahan sehingga subjek mampu menerima apapun yang telah menjadi pilihannya.
Aspek Pervasiveness merupakan aspek yang mengacu pada cakupan seseorang dalam melihat suatu hal atau peristiwa berdasarkan ruang lingkup spesifik atau universal. Seseorang yang optimis akan melihat suatu hal yang baik berasal dari keseluruhan/semua yang ada pada dirinya, sedangkan kegagalan berasal dari sebagian kecil dari dirinya. Lain dengan orang pesimis yang akan melihat hal-hal positif merupakan suatu hal yang spesifik, sedangkan hal negatif merupakan bagian universal. “... yang penting saling mengerti, walaupun pendidikan berbeda kan nggak jadi
masalah” , ”yang pertama saya lihat bukan dari tingkat pendidikannya tapi
subjek tidak memandang perbedaan tingkat pendidikan sebagai hal yang universal atau menyeluruh tapi masih banyak hal lain yang diperhatikan dalam menjalin suatu hubungan suami istri.
Jadi tampak bahwa aspek pervasif merupakan bagaimana seseorang memandang hal-hal yang terjadi menjadi bagian dari universal atau spesifik pada dirinya. Setiap subjek memberikan jawaban yang berbeda-beda, namun dari hasil analisis dapat diketahui bahwa setiap subjek memiliki sikap yang optimis dalam menyikapi setiap hal/peristiwa yang terjadi dalam kehidupan pernikahan beda pendidikan yang dijalani.
Jawaban subjek kembali mendukung pendapat Sri Harini (1994) bahwa tingkat pendidikan seseorang akan memperluas pola berpikir, subjek yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi memandang tingkat pendidikan suami bukan sebagai hal yang mutlak harus ada namun ada banyak hal yang lebih penting dibandingkan pendidikan, yaitu kenyamanan dan sikap saling mengerti.
terlebih dahulu, ini menunjukkan keyakinan subjek bahwa segalanya akan menjadi baik jika subjek bersikap baik.
Dari pernyataan “. . . kalau saya seneng berarti orang tua juga ikut
seneng” subjek memiliki keyakinan bahwa mereka akan membuat orang tua
mereka bahagia jika dirinya bahagia, hal ini menjadi indikator bahwa kedua subjek memiliki sikap yang optimis, karena subjek meyakini akan terjadi hal-hal baik yang bersumber atau berasal dari diri subjek sendiri, yaitu kebahagiaan orang tua subjek.