• Tidak ada hasil yang ditemukan

COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK MENURUNKAN PERILAKU SELF-INJURY PADA WANITA DENGAN BODY DYSMORPHIC DISORDER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK MENURUNKAN PERILAKU SELF-INJURY PADA WANITA DENGAN BODY DYSMORPHIC DISORDER"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK MENURUNKAN

PERILAKU SELF-INJURY PADA WANITA DENGAN

BODY DYSMORPHIC DISORDER

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat Gelar S-2 Program studi Magister Psikologi Profesi

Disusun Oleh:

PURWO ERINA WAHYURIKO 201810500211003

DIREKTORAT PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)

ii

(3)
(4)
(5)

v DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ………...i

SURAT PERNYATAAN ... ……….ii

DAFTAR ISI ... ……….iii

DAFTAR LAMPIRAN ... ………..v

KATA PENGANTAR ... ……….vi

DAFTAR TABEL………vii

ABSTRAK………..viii

LATAR BELAKANG ... ……….…… 1

KAJIAN PUSTAKA Self-Injury ... ………..4

Terapi perilaku kognitif...5

Teknik perilaku-kognitif...6

a. Latihan relaksasi...7

b. Restrukturasi kognitif...7

c. Self management...7

Cognitive Behavior Therapy Menurunkan Perilaku self-injury...8

Kerangka berfikir...9 Hipotesis Penelitian...9 METODE PENELITIAN Jenis Penelitian ... .…….……....9 Desain Penelitian... ….…….…..10 Subjek Penelitian... …………....10

Variabel dan Asesmen...10

1. Wawancara ... …………....11

(6)

vi

3. Self-Report...11

4. Kuesioner Skala...12

5. Ceck list DSM-5...12

Prosedur Penelitian ... …………....13

HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN Relaksasi ... ……….…...14

Restrukturasi kognitif ... ……….…...14

Self Management...15

Hasil Penelitian... ...16

PEMBAHASAN...18

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI... …………....20

(7)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

MODUL INTERVENSI CBT...36

IDENTITAS SUBJEK PENELITIAN ... 47

KRITERIA BDD ... 50

PANDUAN TEKNIK RELAKSASI ... 52

SKALA SELF HARM INVENTORY ... 62

HASIL RESTRUKTURASI KOGNITIF... 65

TABEL PERUBAHAN PERILAKU SELF-INJURY ... 66

TABEL SELF-MANAGEMENT ... 67

(8)

viii

DAFTAR TABEL

TABEL 1. PERUBAHAN PEMIKIRAN...14

TABEL 2. PERUBAHAN PERILAKU…………..………15

TABEL 3. SELF HARM INVENTORY ………53

TABEL 4. RESTRUKTURASI KOGNITIF……….…..54

TABEL 5. SELF HARM INVENTORY (tindak lanjut)………..55

TABEL 6. PERUBAHAN PERILAKU (self- management)………..56

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Cognitive Behavior Therapy untuk Menurunkan Perilaku Self-Injury pada Wanita dengan Body dysmorphic Disorder” yang menjadi persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi di Universitas Muhammadiyah Malang. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi pembawa rahmat bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Rasa syukur dan terimakasih yang begitu besar penulis panjatkan berkaitan dengan diselesaikan tesis ini. Oleh sebab itu, penulis tak lupa menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. H. Fauzan M.Pd., selaku rektor dari Universitas Muhammadiyah Malang 2. Bapak Prof. Akhsanul In’am, Ph.D., selaku direktur Pascasarjana Universitas

Muhammadiyah Malang, dan seluruh Civitas Akademik Universitas Muhammadiyah Malang.

3. Ibu Dr. Cahyaning Suryaningrum M.Si., Psikolog., selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Psikologi atas segala bantuan, dukungan dan motivasi kepada penulis. 4. Ibu Dr. Diah Karmiyati M.Si., Psikolog selaku pembimbing I, yang telah meluangkan

waktu untuk memberikan masukan, dorongan, dan tak kenal lelah memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.

5. Bapak M. Salis Yuniardi Ph.D, Psikolog., selaku pembimbing II, terima kasih atas bimbingan dan dukungan serta kritik yang membangun untuk menuntaskan Tesis ini. 6. Seluruh staf pengajar Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Malang dan seluruh staf administrasi di lingkungan program pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang atas layanan dan fasilitas yang diberikan.

7. Ibu dr. Rina Istorawati, selaku kepala Puskesmas Dinoyo dan seluruh staf terimakasih atas bantuan dan dukungannya hingga penelitian ini selesai.

8. Kedua orang tuaku, Almarhumah ibu Merry Sri Dharsono dan Bapak Muhammad Nasi’in, yang senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan disetiap langkah penulis.

9. Kedua mertuaku, Almarhum Bapak Aruzzi Rachman Bombong dan Ibu Nurhayati, atas doa-doa baiknya selama ini.

(10)

x

10. Suamiku Erfandi dan putra putriku, Nigel Firdauzza, Abubakar Izzam, Zahrayya Faradizza, atas kesabaran dan dukungan yang tiada henti.

11. Keluarga di Blitar, terima kasih atas doa-doa dan dukungan tiada henti yang diberikan kepada penulis selama ini.

12. Seluruh sahabat-sahabatku Magister Profesi Psikologi angkatan 2018 Universitas Muhammadiyah Malang yang telah menjadi keluarga baru bagi penulis.

13. Seluruh pihak yang membantu terselesaikannya tesis ini yang tidak bisa dituliskan satu per satu.

Akhir kata, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan penulis secara pribadi. Aamiin ya Rabbal Alamin.

Malang, 30 Desember 2020

Purwo Erina Wahyuriko 201810500211003

(11)

xi

Cognitive Behavior Therapy untuk Menurunkan Perilaku Self-Injury pada Wanita dengan Body Dysmorphic Disorder

Purwo Erina Wahyuriko errinanizzay2003@gmail.com

Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Malang

Abstrak

Perilaku self-injury sering dilakukan oleh individu sebagai pelampiasan emosi negatif untuk mendapatkan perasaan normal. Meskipun Self-injury merupakan kriteria untuk borderline personality disorder (BPD), namun ditemukan juga pada individu dengan gangguan depresi dan body dysmorphic disorder (BDD) dan juga ditemukan tanpa adanya gangguan-gangguan tersebut. Berdasarkan penelitian sebelumnya cognitive behaviour therapy (CBT) adalah terapi yang efektif untuk menurunkan perilaku self-injury pada BPD maupun self-injury tanpa gangguan lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat penurunan perilaku self-injury pada wanita dengan BDD dengan intervensi CBT. Metode penelitian adalah sigle case design, menggunakan wanita berumur 19 tahun yang mengidap BDD dengan perilaku self-injury. Untuk menentukan diagnosis BDD menggunakan observasi, wawancara, dan cek list DSM-V, sedangkan untuk menentukan perilaku self-injury menggunakan observasi, wawancara dan self harm inventory. Hasil intervensi menunjukan bahwa terjadi penurunan self-injury pada wanita dengan BDD, yaitu sebelum intervensi subjek melakukan perilaku self-injury 4 kali perminggu, setelah intervensi tidak melakukan perilaku self injury yaitu 0 kali perminggu, dan follow up 9 bulan kemudian subjek melakukan kembali perilaku self-injury 1 kali perminggu. Sehingga berdasarkan hasil intervensi dapat disimpulkan bahwa subjek dengan diagnosis BDD dengan perilaku injury, mengalami penurunan perilaku self-injury setelah diberikan intervensi CBT.

(12)

xii

Cognitive Behavior Therapy to Reduce Self-Injury Behavior in Women with Body Dysmorphic Disorder

Purwo Erina Wahyuriko errinanizzay2003@gmail.com Muhammadiyah University of Malang

Abstract

Self-injury behavior is often carried out by individuals as an outlet for negative emotions to get normal feelings. Although self-injury is a criterion for borderline personality disorder (BPD), it was also found in individuals with depressive disorders and body dysmorphic disorder (BDD) and was also found in the absence of these disorders. Based on previous research, cognitive behavior therapy (CBT) is an effective therapy to reduce self-injury in BPD and self-injury without other disturbances. The aim of this study was to determine whether there was a decrease in self-injury behavior in women with BDD with CBT intervention. The research method was a single case design, using a 19 years old woman who had BDD with self-injury behavior. To determine the diagnosis of BDD using observation, interview, and the DSM -V check list, while to determine the injury behavior using observation, interview and self-harm inventory. The results of the intervention showed that there was a decrease in self-injury in women with BDD, namely before the intervention the subject did self-injury 4 times per week, after the intervention did not perform self-injury behavior or 0 times per week, and follow-up 9 months later the subject returned to self-injury -injury 1 time per week. So, based on the results of the intervention, it can be concluded that subjects diagnosed with BDD with self-injury behavior experienced a decrease in self-injury behavior after being given CBT intervention.

(13)

1 LATAR BELAKANG

Individu dengan gangguan tubuh dismorfik didefinisikan sebagai individu dengan kondisi yang cenderung untuk membesar-besarkan kekurangan fisik yang menurut penderitanya terdapat pada penampilannya. Cacat yang ada mungkin sedikit atau hanya dugaan tetapi penderitanya dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memperbaikinya (De la Cruz, Enander, Ruck & Wilhelm, 2019). Orang dengan gangguan tubuh dismorfik ditandai dengan fokus yang berlebihan pada cacat yang dirasakan terdapat pada penampilannya dan menyebabkan kesulitan yang signifikan serta terganggunya fungsi sosial (American Psychiatric Association, 2013).

Gangguan tubuh dismorfik merupakan gangguan kronis yang bisa bertahan lama jika tidak ditreatment dan berkaitan dengan tingginya tingkat rawat inap psikiatri serta perilaku bunuh diri (De la cruz dkk., 2019). Sedangkan dampak lain dari gangguan tubuh dismorfik ini adalah terkait dengan kebiasaan yang berulang-ulang misalnya menusuk-nusuk kulitnya, depresi, obsessive compulsive dan penyalah gunaan zat (Perkins, 2019). Sehingga gangguan tubuh dismorfik berkaitan dengan perilaku Self-injury, penelitian menunjukan pengidap gangguan tubuh dismorfik, 51,1 % melakukan perilaku self-injury baik dimasa lalu ataupun dimasa sekarang (Rautio, Jassi, Krebs & Andrén, 2020).

Orang dengan gangguan tubuh dismorfik menghabiskan begitu banyak waktu untuk memeriksa, menyembunyikan, atau memperbaiki penampilannya agar merasa lebih baik. Hingga saat ini belum ada penelitian yang memastikan penyebab gangguan tubuh dismorfik, namun ada beberapa aspek yang diduga menjadi penyebab gangguan tubuh dismorfik yaitu adanya komentar negatif yang berkaitan terhadap fisik pada masa kanak -kanak dan kondisi tidak dicintai oleh orangtua dan keluarga serta adanya penyakit yang mempengaruhi penampilan. Jika diklasifikasikan ada dua aspek penyebab yang masih diduga sebagai penyebabnya, yaitu adanya ketidakseimbangan cairan kimia (hormon serotonin) didalam otak yang berpengaruh terhadap kapasitas obsesi dan kemungkinan faktor-faktor sifat, psikologis maupun budaya (Philip dalam Greenberg, Philip, Steketee & Hoeppner, 2019)

Selain gangguan tubuh dismorfik, perilaku self-injury merupakan kriteria diagnostik borderline personality disorder, namun perilaku self-injury juga dilakukan oleh remaja maupun dewasa sebagai bentuk jalan keluar untuk melampiaskan emosi negatifnya. Meskipun nonsuicidal self-injury (NSSI) adalah kriteria diagnostik untuk borderline personality disorder, namun perilaku

(14)

2

tersebut dapat ditemukan tanpa adanya diagnosis gangguan kepribadian ambang dan dilakukan oleh sekitar 4% orang dewasa di Amerika (Briere & Gil, 1998 dalam Selby, Bender, Nock & Joiner, 2012). Hal ini didukung pula oleh penelitian berikutnya bahwa perilaku self-injury yang dilakukan secara berulang, banyak ditemui pada dewasa muda dengan usia 15-35 tahun (Hawton, Witt, Salisbury & Arensman, 2016) dan perilaku tersebut signifikan secara klinis mempengaruhi sekitar 18% remaja dan dewasa muda di seluruh dunia (Kaess, Koenig, Bauer & Moessner, 2019).

Keinginan manusia dan motivasi untuk menghindari rasa tidak nyaman maupun rasa sakit adalah naluri mendasar, yang sangat penting bagi kelanjutan hidup. Namun perilaku self-injury yang dialami oleh individu dewasa muda dari tahun ke tahun terus bertambah dan makin mengkwatirkan, temuan terbaru menujukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir perilaku self-injury terus mengalami peningkatan yang pesat (Steggals et al., 2020). Perilaku self-self-injury yang dimaksud disini adalah perilaku menyakiti diri sendiri dengan beberapa cara, yang bukan bagian dari seni memahat tubuh maupun menindik tubuh, melainkan perilaku menyakiti yang biasanya diulang dan menjadi kebiasaan yang merugikan diri sendiri tanpa adanya niat untuk bunuh diri. Tindakan self-injury merupakan ekspresi kemarahan, hukuman bagi diri sendiri, mendatangkan perasaan normal, dan mengalihkan perhatian yang pada intinya untuk meredakan emosi negatif (Brown, Comtois, & Linehan, 2002). Pemikiran yang negatif atau irasional menyebabkan terjadinya perilaku self-injury yang dilakukan oleh individu dengan caranya sendiri sebagai bentuk jalan keluar untuk melampiaskan emosi negatifnya. Tujuan seseorang yang melakukan perilaku self-injury cenderung berpikir bahwa dengan melakukan perilaku self-injury maka dapat mengurangi emosi negatif, kecemasan dan menyalahkan diri sendiri, serta untuk memecahkan persoalan interpersonal (APA, 2013).

Jika ditinjau berdasarkan gender, bahwa jenis kelamin wanita cenderung lebih banyak yang melakukan self-injury dibandingkan jenis kelamin laki-laki. Pada hampir seluruh penelitian, dilaporkan bahwa wanita secara signifikan lebih besar mempunyai riwayat perilaku self-injury dibandingkan pria (Bresin & Schoenleber, 2015). Hal ini berkaitan dengan pengaturan emosi yang berbeda antara pria dan wanita yang merupakan kontribusi pada ekspresi berbeda dari psikopatologi antara pria dan wanita. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pria dan wanita mempunyai cara mengatur emosi yang berbeda. Selanjutnya, berkaitan dengan gangguan tubuh dismorfik ditemukan bahwa, jenis kelamin wanita dengan gangguan tubuh dismorfik memiliki

(15)

3

gejala yang lebih parah terhadap gangguan depresi, pikiran untuk bunuh diri, dan perilaku self-injury (Rautio dkk, 2020)

Perilaku self-injury berbeda dengan bunuh diri karena bukan merupakan perilaku dengan kecenderungan bunuh diri, melainkan strategi yang diterapkan perilaku yang bertujuan untuk mengatur emosi negatif sehingga berbeda dari mereka yang biasa mengelola perilaku yang bertujuan menyebabkan kematian (Crowell & Kaufman, 2016). Berbeda dengan percobaan bunuh diri, self-injury memiliki dampak langsung dan jangka pendek, dan harus dilakukan berulang kali untuk mendapatkan hasil sesuai dengan yang diinginkan (Shaffer & Jacobson, 2009 dalam Selby dkk, 2012). Individu dengan kecenderungan self-injury umumnya menggunakan metode lain ketika melakukan percobaan bunuh diri, fakta itu menunjukkan bahwa bunuh diri bukanlah manifestasi self-injury yang parah, dan bahwa self-injury tidak berarti bunuh diri yang gagal (Stanley et al., 2001).

Dampak dari perilaku self-injury secara psikologis dan fisik, secara signifikan merugikan individu yang melukai diri sendiri dan sering kali membuat stres teman dan keluarga mereka. Selain itu perilaku self-injury adalah prediktor paling kuat dari upaya bunuh diri di masa yang akan datang dan sebuah penelitian menunjukkan bahwa 70% remaja dengan self-injury melaporkan adanya upaya bunuh diri dalam perjalanan hidup mereka (Nock, 2010). Hal ini menunjukkan hubungan yang kuat antara self-injury dengan ancaman bunuh diri. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa 1,8% pasien dengan perilaku nonsuicidal self-injury, melakukan tindakan bunuh diri dalam waktu 1 tahun setelah kejadian (Owens et al., 2002) dan individu dengan kecenderungan perilaku self-injury mencapai 8,5% melakukan bunuh diri dalam periode 22 tahun (Jenkins, Hale, Crawford, & Tyrer, 2002).

Berdasarkan uraian diatas, bahwa makin banyaknya perilaku self-injury yang terjadi, maka diperlukan perawatan atau suatu metode intervensi untuk menurunkan perilaku self-injury. Berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa perilaku self-injury dapat diberikan treatment dengan metode cognitive behavior therapy (CBT), dialectical behavior therapy (DBT) dan cutting down program (CDP) (Cook & Gorraiz, 2016; Hawton dkk, 2016; Prada, Perroud, Rüfenacht & Nicastro, 2018; Kaess & koenig, 2019; Kaess & Edinger, 2020). DBT terbukti efektif untuk penurunan perilaku non suicidal self-injury yang terkait dengan depresi dan borderline personality disorder (Cook & Gorraiz, 2016). CDP juga terbukti efektif untuk menurunkan perilaku self-injury namun penelitian tersebut menggunakan sample remaja

(16)

4

dengan kisaran umur 14 tahun, yang mana perilaku self-injury disini meningkat pada masa remaja awal dan menurun pada remaja akhir (15-16 tahun), frekuensi self-injury mungkin juga menurun secara alami (Kaess & Edinger, 2020). Sehingga CDP belum tentu menjadi treatment yang tepat untuk menurunkan perilaku self-injury pada wanita dewasa muda.

Cognitive behavior therapy (CBT) adalah sejumlah teknik kognitif dan teknik perilaku yang digunakan secara bersamaan. CBT yang diberikan selama 8 - 12 minggu yang berfokus pada gangguan nonsuicidal self-injury menghasilkan penurunan yang cukup signifikan. Metode intervensi CBT yang digunakan untuk menurunkan perilaku self-injury yaitu terapi kognitif termasuk pertanyaan socrates, restrukturasi kognitif untuk mengubah pemikiran negatif yang memicu timbulnya self-injury, sedangkan terapi perilaku yang digunakan seperti manajemen kontingensi, aktivasi perilaku, managemen lingkungan (Guerdjikova, Gwizdowski, McCullumsmith, & Suppes, 2014). Kelebihan CBT adalah mampu merubah sekaligus antara perilaku maladaptif dan pemikiran yang distorsi serta membutuhkan waktu yang relatif singkat yaitu 8-12 minggu, dengan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan DBT (Guerdjikova dkk, 2014).

Individu dengan perilaku injury yang menerima CBT mengalami penurunan perilaku self-injury yang jauh lebih besar, pikiran untuk bunuh diri, gejala depresi dan kecemasan serta mengalami peningkatan harga diri, selain itu memiliki kemampuan pemecahan masalah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini merupakan bukti bahwa CBT efektif untuk individu dengan perilaku self-injury yang berulang dan kronis (Slee, Van Der Leeden, Arensman, & Spinhoven, 2008). CBT terbukti efektif untuk mencegah perilaku bunuh diri dan perilaku menyakiti diri sendiri (Labelle et al., 2015).

Perilaku self-injury yang menyertai gangguan yang satu dengan gangguan yang lain, memiliki kekhasan yang berbeda-beda termasuk perilaku self-injury yang menyertai gangguan tubuh dismorfik. Jika CBT terbukti efektif untuk menurunkan perilaku self-injury pada kriteria BPD, depresi, dan perilaku self-injury yang ditemukan tanpa adanya diagnosis lainnya (NSSI), maka berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas dilakukan penelitian dengan judul, “cognitive behavior therapy untuk menurunkan perilaku self-injury pada wanita dengan body dysmorphic disorder”. Pada penelitian ini yang akan ditreatment adalah kecenderungan perilaku maldaptif yang menyertai gangguan tubuh dismorfik yaitu perilaku self-injury.

(17)

5

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perilaku self-injury yang dialami oleh wanita dengan gangguan tubuh dismorfik bisa diturunkan dengan intervensi CBT.

KAJIAN PUSTAKA Self-injury

Perilaku melukai diri sendiri dapat diartikan sebagai perilaku melukai diri di permukaan tubuh yang dilakukan secara berulang (APA, 2013). Perilaku melukai diri sendiri yang dilakukan oleh individu dengan berbagai macam cara seperti; memotong, menggores, membakar, menggaruk hingga terluka dan memukul diri sendiri (Bentley et al., 2014). Self-injury adalah perilaku yang dilakukan oleh individu dengan sengaja untuk merusak tubuhnya sendiri dan dilakukan secara berulang namun terbukti tidak dengan niat bunuh diri. Melukai diri sendiri mencakup berbagai macam perilaku termasuk menelan zat yang beracun, membakar, memotong, menggaruk, membenturkan bagian tubuh, dan mencabut rambut (Prada dkk, 2018).

Self-injury atau self-harm biasanya bisa lihat dengan adanya tanda bekas luka goresan, bekas gigitan, bekas kulit yang terbakar, mata yang rusak, dan kulit yang rusak (Pattison & Kahan, 1983). Self-injury merupakan perusakan yang dilakukan oleh seseorang secara langsung dan disengaja untuk melukai jaringan tubuhnya, tanpa niat bunuh diri, dan tidak dengan tujuan untuk diterima dalam lingkungan sosial. Misalnya, mentato tubuh, menindik badan (Nock & Favazza, 2009 dalam De Riggi, Moumne, Heath, & Lewis, 2017). Klasifikasi self-injury adalah sebagai berikut (Nock, 2010),

Bunuh diri (berniat untuk mati)

Perilaku & pemikiran Menyakiti diri sendiri

Ide untuk bunuh diri Pikiran untuk bunuh diri Self-injury (Ringan, sedang, berat )

Bukan bunuh diri (tidak berniat untuk

mati)

Usaha untuk bunuh diri

Mengancam untuk bunuh diri

Berencana untuk bunuh diri

(18)

6

Tidak semua orang yang dengan pengalaman masa lalu yang buruk kemudian dengan mudah melakukan injury, hanya individu tertentu yang mempunyai kecenderungan perilaku self-injury. Individu tersebut biasanya memiliki kemungkinan secara genetis seperti emosi yang mudah bereaksi atau kondisi pemikirannya yang terlalu reaktif. Individu selanjutnya yang cenderung melakukan perilaku self-injury adalah individu yang mengalami kekerasan dalam keluarga atau mendapatkan perlakuan yang salah dan individu yang selalu mendapat kritikan dari keluarganya (Nock, 2010).

Terapi perilaku kognitif

Terapi perilaku-kognitif adalah sejumlah teknik perilaku dan teknik kognitif yang umumnya digunakan secara bersamaan hal ini didasarkan bahwa respon perilaku dan emosi sangat dipengaruhi oleh kognisi dan persepsi (Hofman & Asmundson dalam Hayes et al., 2011). Terapi perilaku adalah istilah umum untuk jenis terapi yang menangani gangguan kesehatan mental. Bentuk terapi ini adalah usaha untuk mengidentifikasi dan membantu merubah perilaku yang negatif yang merugikan kesehatan mental. Hal ini berdasarkan gagasan bahwa semua perilaku bisa dipelajari dan perilaku yang tidak sehat dapat diubah. Fokus terapi adalah pada masalah yang ada saat ini dan bagaimana cara mengubahnya (Eelen, 2018).

Terapi kognitif adalah terapi yang memfokuskan pada bagaimana mengubah pemikiran atau keyakinan negatif (Beck 1979; Beck & Freeman, 2004; Beck & Haigh, 2014). Pendekatan terapi kognitif terutama adalah untuk menolong klien mengatasi kesulitan dalam menghilangkan pikiran-pikiran atau keyakinan-keyakinannya yang tidak produktif dan menggantikannya dengan pemikiran-pemikiran yang lebih menolong untuk melakukan coping terhadap situasi yang menekan (Beck, 1979). Beberapa metode pendekatan kognitif tersebut adalah restrukturasi kognitif, melatih pikiran dan menghentikan pikiran.

Teknik perilaku-kognitif

Pada dasarnya terdapat kesamaan tertentu antara pendekatan terapi perilaku dan terapi kognitif dan hal tujuan dan prosedur. Banyak penelitian sebelumnya yang menunjukan bahwa terapi perilaku-kognitif adalah salah satu intervensi yang cukup efektif untuk mengatasi perilaku Self-injury (Slee & Spinhoven, 2008; Guerdjikova & Suppes, 2014; Labelle & Janelle, 2015). Beberapa prosedur atau metode dalam terapi perilaku-kognitif yang digunakan dalam penelitian adalah:

(19)

7 1. Latihan relaksasi,

latihan relaksasi adalah latihan yang mengajarkan kepada subjek untuk mencapai keadaan rileks dan menerapkan keterampilan baru tersebut apabila subjek menghadapi tekanan. Relaksasi akan membawa individu menjadi lebih rileks sehingga pada keadaan seperti itu, akan terjadi pengurangan reaksi emosi negatif, baik pada susunan saraf pusat, maupun pada susunan syaraf otonom dan lebih lanjut dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat baik jasmani maupun rohani. Latihan yang diajarkan kepada subjek untuk bersikap rileks dan menerapkan ketrampilan baru yang telah diperolehnya saat subjek merasa ingin melakukan perilaku self-injury dan kapanpun subjek memerlukannya. Latihan relaksasi efektif mengurangi kecemasan dengan memberi pasokan oksigen ke seluruh tubuh (Kim, Bae & Bae, 2018).

2. Restrukturasi kognitif,

Restrukturasi kognitif merupakan teknik yang dirancang untuk mengatasi pemikiran negatif (Beck & Beck, 2011), restrukurasi kognitif mengatasi pemikiran yang negatif atau tidak realistis yang mengarahkannya pada tingkah laku yang maladaptif. Restrukturasi kognitif merupakan konsep terapi kognitif yang bertujuan untuk mengubah pemikiran irasional maladaptif menjadi pemikiran yang lebih rasional dan meningkatkan pemikiran alternatif yang lebih berguna (A. T. Beck & Haigh, 2014).

3. Self management,

Teknik Self management adalah strategi perilaku yang berdasarkan pada pemantauan dan pengaturan perilaku serta penguatan. Self management meliputi: pemeriksaan sendiri terhadap perilaku yang akan diubah, mencatat perubahan itu sendiri, mendapatkan penguat apabila tujuannya tercapai (Skinner & Smith, 1999). Self-management merupakan serangkaian teknis untuk mengubah perilaku, pikiran, dan perasaan. Aspek yang merupakan prosedur self-management adalah cara: mengontrol reaksi terhadap stimulus atau pikiran dan perasaan yang menimbulkan respon tertentu, mengontrol reaksi terhadap tujuan perilaku, pikiran, dan perasaan yang ingin dicapai, pengubahan pikiran, perilaku dan perasaan, pengubahan emosi secara langsung (Skinner, 2013).

Cognitive Behavior Therapy Menurunkan Perilaku self-injury

CBT adalah sejumlah teknik kognitif dan teknik perilaku yang umumnya digunakan secara bersamaan sebagai satu paket. Didalam CBT terdapat suatu treatment yang melatih seseorang untuk meninggalkan irasional belief atau distorsi atau pemikiran yang negatif dan menggantikannya dengan pemikiran positif yang rasional dan proporsional, yang biasa

(20)

8

disebut dengan restrukturasi kognitif. Sedangkan teknik relaksasi adalah teknik latihan yang umum digunakan untuk meredakan stres dan mengurangi tekanan yang sedang dihadapi individu, sehingga mudah untuk mencapai rasa nyaman. Self-management adalah pengarahan diri untuk melakukan perencanaan, memusatkan perhatian, dan evaluasi terhadap aktivitas yang dilakukan. Di dalamnya terdapat kekuatan psikologis yang memberi arah pada individu untuk mengambil keputusan dan menentukan pilihannya serta menetapkan cara-cara yang efektif dalam mencapai tujuannya.

Self-injury adalah perilaku yang dilakukan oleh individu dengan sengaja untuk merusak tubuhnya sendiri dan dilakukan secara berulang namun terbukti tidak dengan niat bunuh diri. Melukai diri sendiri mencakup berbagai macam perilaku termasuk menelan zat yang beracun, membakar, memotong, menggaruk, membenturkan bagian tubuh, dan mencabut rambut (Prada dkk, 2018). Sedangkan tindakan self-injury tersebut merupakan ekspresi kemarahan, hukuman bagi diri sendiri yang bisa mendatangkan perasaan normal dan untuk mengalihkan perhatian, yang pada dasarnya digunakan untuk meredakan emosi negatif (Brown & Plener, 2017).

Selanjutnya perubahan perilaku dan perubahan kognitif merupakan variabel terkait dengan perubahan perilaku self-injury. Pemikiran individu yang irasional menyebabkan seseorang mengalami emosi negatif yang membuat individu mencari jalan keluar untuk mendapatkan perasaan normal dengan cara yang diciptakannya sendiri yaitu self-injury. Tujuan seseorang yang melakukan perilaku self-injury cenderung berpikir bahwa dengan melakukan perilaku self-injury maka dapat mengurangi emosi negatif, kecemasan dan perasaan menyalahkan diri sendiri, serta untuk memecahkan persoalan interpersonal (APA, 2013). CBT dengan teknik relaksasi mampu membuat seseorang menjadi lebih mudah mencapai rasa tenang sehingga mampu memunculkan pemikiran yang positif dan rasional dalam teknik restrukturasi kognitif. Perasaan tenang tersebut juga memberikan dukungan yang besar dalam memunculkan perilaku saat managemen diri. Sehingga dengan perasaan dan pemikiran positif dan rasional serta kemampuan managemen diri yang makin meningkat maka membuat subjek mampu meninggalkan perilaku self-injury. Metode intervensi CBT yang digunakan untuk mengatasi perilaku self-injury yaitu terapi kognitif termasuk pertanyaan socrates, restrukturasi kognitif untuk mengubah pemikiran negatif yang memicu timbulnya self-injury, dan terapi perilaku yang digunakan seperti manajemen kontingensi, aktivasi perilaku, managemen lingkungan (Guerdjikova dkk, 2014).

(21)

9 Kerangka berfikir

Bagan 2. Kerangka berpikir

Hipotesis penelitian

Hipotesis merupakan jawaban yang bersifat sementara sebab bisa salah atau benar. Hipotesis dalam penelitian ini adalah cognitive behavior therapy mampu menurunkan perilaku self-injury pada wanita dengan gangguan tubuh dismorfik.

METODE PENELITIAN Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan single case designs yang bersifat non eksperimental dari suatu treatment atau case study. Case study merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk meneliti suatu permasalahan melalui studi kasus yang terdiri 1 hingga 5 orang yang memiliki masalah tertentu, jenis penelitian ini sangat cocok digunakan dalam kondisi klinis terutama untuk mengevaluasi dampak dari suatu intervensi secara mendalam (Creswell, John W., 2015). langkah dalam mendesain suatu studi kasus yaitu: Menentukan dan mendefenisikan pertanyaan penelitian, menentukan desain dan instrumen penelitian, mengumpulkan data, menentukan teknik analisis data, mempersiapkan laporan akhir penelitian (Yin dalam Prihatsanti, Suryanto & Hendriani, 2018).

Cognitive Behavior Therapy Body Dysmorphic Disorder

(22)

10 Desain Penelitian

Elemen desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah ABA design, yaitu A adalah fase sebelum terapi, B adalah fase intervensi atau terapi dan kemudian dilanjutkan fase tindak lanjut yaitu fase A (Kazdin, 1998). Dalam penelitian desain ini, peneliti melakukan pengukuran pada tahap sebelum intervensi, kemudian melakukan evaluasi pada tahap intervensi atau selama proses interevensi dan melakukan pengukuran setelah intervensi, kemudian melakukan pengukuran pada tahap tindak lanjut untuk melihat sejauh mana hasil intervensi menetap atau mengalami perubahan.

Subjek penelitian

Subjek penelitian adalah mahasiswi berusia 19 tahun yang didiagnosis body dysmorphic disorder dengan kecenderungan perilaku self-injury. Dari 25 subjek yang dilakukan skrining didapatkan 1 subjek yang memenuhi 6 kriteria BDD berdasarkan check list DSM_V. Sedangkan berdasarkan skala self harm inventory, subjek memiliki skor 13 yang berarti intensitas self-injury dalam keadaan berat. subjek penelitian menunjukan ciri-ciri sebagai berikut: 1). Subjek tampak cukup jelas memiliki ciri-ciri gangguan tubuh dismorfik dan dengan kecenderungan perilaku self-injury dengan menunjukan kondisi luka-luka bekas sayatan dilengan bagian dalam, 2). Subjek melakukan perilaku self-injury hampir setiap hari, 3). Subjek datang dengan motivasi menyembuhkan perilaku self-injury sehingga memungkinkan untuk mengikuti proses intervensi hingga selesai.

Variabel dan Asesmen

Variabel dalam penelitian ini adalah self-injury. Asesmen adalah pengumpulan dan analisis data agar dapat mengidentifikasikan dan mendeskripsikan tingkah laku yang menjadi problem atau fokus terapi, mengidentifikasikan penyebab-penyebab yang mungkin, memilih terapi yang cocok dan mengevaluasi hasil terapi (Garry & Marnat, 2010). Asesmen tersebut dilakukan sebelum terapi, selama terapi berlangsung, setelah terapi berakhir dan pada tahap tindak lanjut. Metode asesmen yang digunakan adalah wawancara, observasi, self-report (restrukturasi kognitif dan self-management) dan pemberian kuesioner, cek list DSM-V.

1. Wawancara

Pada penelitian ini wawancara yang dilakukan adalah untuk metode asesmen pada tahap pra intervensi, selama proses terapi intervensi, pasca intervensi dan tahap tindak lanjut . Wawancara pada tahap pra intervensi, digunakan untuk mengetahui kondisi subjek untuk menegakkan diagnosis dan perilaku maladaptif yang menyertainya sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan metode intervensi yang tepat. Wawancara selama proses intervensi, dilakukan untuk mengetahui perkembangan perilaku dan

(23)

11

pemikiran yang menjadi target terapi, serta mengidentifikasi hambatan yang dihadapi subjek apabila ada. Wawancara pasca intervensi, dilakukan untuk melihat perubahan yang diperoleh setelah proses intervensi. Terakhir adalah wawancara pada tahap tindak lanjut atau follow up, untuk mengetahui perilaku maladaptif subjek sesudah intervensi dihentikan, apakah perubahan itu relatif menetap.

2. Observasi

Observasi dilakukan oleh peneliti dan subjek sendiri terhadap perilaku yang menjadi target intervensi. Observasi yang dilakukan oleh peneliti meliputi sebelum pra intervensi untuk melihat gejala dan simtom-simtom yang tampak, untuk memperkuat diagnosis dan perilaku maladaptif yang merupakan data tambahan untuk menentukan intervensi yang tepat. Observasi dalam proses intervensi dan dilakukan pada setiap akhir sesi intervensi. Observasi pasca intervensi dan observasi pada tahap tindak lanjut atau follow up.

3. Self report

Self report dilakukan karena peneliti tidak mungkin turut melakukan observasi secara terus menerus dalam kondisi yang nyata. Dalam perilaku self-injury yang dilakukan oleh subjek, dapat dilakukan observasi langsung oleh subjek dalam kesehariannya. Dalam penelitian ini self report dibuat oleh subjek dalam pelaksanaan tugas self management dan pada pelaksanaan tugas restrukturasi kognitif,

4. Kuesioner skala

Skala yang diberikan dalam penelitian ini adalah self harm inventory, yang berisi 19 item pertanyaan. Sebelum dan sesudah treatment subjek diberikan skala self harm inventory untuk melihat intensitas perilaku self-injury (Sansone, Wiederman & Sansone, 1998). Skala ini awalnya terdiri atas 22 item, setelah dilakukan uji coba ternyata 3 item gugur, sehingga hanya 19 item yang sah digunakan untuk pengambilan data. Skala ini telah diadaptasi dalam bahasa indonesia dengan reliabilitas 1.00.

5. Ceck list DSM-5

Pada penelitian ini menggunakan cek list DSM-5 untuk menentukan diagnosa sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh DSM-5.

Teknik Cognitive Behavior Therapy

Teknik CBT adalah gabungan dari teknik perilaku dan teknik kognitif yang digunakan secara bersamaan, pada penelitian ini teknik CBT yang digunakan adalah latihan relaksasi, teknik restrukturasi kognitif dan self-management.

(24)

12 1. Latihan relaksasi

Latihan teknik relaksasi yang diberikan disini adalah teknik pernafasan dalam. Teknik pernafasan dalam terbukti cukup efektif dalam memperbaiki mood dan menurunkan tingkat stres (Perciavalle et al., 2017). Bernapas dalam-dalam membantu meredakan stres dengan mengaktifkan aktivitas sistem saraf melalalui pasokan oksigen yang keseluruh tubuh (Kim & Bae, 2018).

2. Restrukturasi kognitif

Metode ini digunakan sebagai salah satu metode intervensi dalam penelitian ini karena sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu mengurangi perilaku self-injury pada subjek yang disebabkan oleh pemikiran negatif yang irasional dengan menggantikannya kepemikiran yang lebih positif. Penerapan teknik ini antara lain adalah, 1). Memberikan pengetahuan kepada subjek agar lebih paham mengenai hubungan antara pikiran dan emosi serta tingkah laku, 2). Mengajari subjek, melakukan identifikasi terhadap pikirannya sendiri yang negatif atau irasional, 3). Mengajari subjek untuk menghasilkan pemikiran lain yang lebih positif atau rasional. Selain itu peneliti juga memberikan tugas kepada subjek untuk dilakukan di rumah agar subjek mampu lebih paham dalam memunculkan pemikiran yang lebih positif atau rasional dan menguntungkan.

3. Self management

Teknik Self management adalah strategi untuk mengubah perilaku yang menekankan pada pemantauan dan pengaturan perilaku serta pemberian penguatan (Skinner & Smith, 1999). Managemen yang digunakan disini adalah managemen lingkungan. Self-management merupakan serangkaian teknis untuk mengubah perilaku, pikiran, dan perasaan (Skinner, 2013).

Prosedur penelitian

Penelitian ini dilakukan kepada satu subjek yaitu wanita dengan diagnosis dengan diagnosis body dysmorphic disorder (BDD) dengan kecenderungan perilaku self-injury. Tahapan dalam penelitian ini adalah:

1. Hal pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pemilihan dan penentuan subjek 2. Penggalian data dengan aawancara dan observasi kepada subjek untuk menegakkan

diagnosis dan melihat adanya perilaku maladaptif yang menyertai diagnosis tersebut, berdasarkan bukti-bukti yang diberikan oleh subjek, terkait kondisi subjek sebelum diberikannya intervensi.

(25)

13

4. Subjek diberikan self harm inventory untuk melihat intensitas perilaku self-injury yang dialami

5. Hasil skor self harm inventory dan hasil observasi wawancara pra intervensi digunakan sebagai pretest.

6. Peneliti meminta persetujuan kepada subjek untuk mengikuti proses intervensi hingga selesai.

7. Peneliti menentukan jenis intervensi yaitu terapi CBT karena cocok dengan masalah yang sedang dialami oleh subjek.

8. Peneliti memulai intervensi tahap pertama yakni menjalin raport yang baik serta membangun komitmen dan melakukan asesmen awal pada subjek.

9. Intervensi diberikan sebanyak 10 sesi dan dengan 2 kali follow up 10. Tahap-tahap intervensi adalah sebagai berikut,

a) Sesi pertama: inform consent, menjelaskan masalah dan metode intervensi. b) Sesi kedua: komitmen untuk berubah dan latihan relaksasi

c) Sesi ketiga: mengajari hubungan antara kognitif, emosi dan perilaku d) Sesi keempat: mengidentifikasi pemikiran negatif/distorsi kognitif

e) Sesi kelima: Melatih untuk mengubah pemikiran negatif ke pemikiran positif dan pemberian homework/PR restrukturasi kognitif.

f) Sesi keenam: evaluasi homework/PR restrukturasi kognitif g) Sesi ketujuh: implementasi program dalam self management h) Sesi kedelapan: evaluasi implementasi program

i) Sesi kesembilan: mencegah relaps

j) Sesi kesepuluh: evaluasi dan terminasi, sebagai posttest

11. Monitoring dilakukan dalam setiap akhir sesi dan pencatatan perubahan perilaku self-injury dilaporkan setiap minggu, karena rata-rata frekuensi self-self-injury yang diambil sebagai pretest diukur dalam satu minggu dan dalam prsoses intrevensi bisa 1 atau 2 kali sesi per minggu.

12. Peneliti melakukan pemeriksaan perbedaan antara sebelum dan sesudah intervensi

13. Peneliti melakukan folow up 2 minggu pasca intervensi untuk melihat hasil intervensi setelah 2 minggu pasca intervensi

14. Peneliti melakukan evaluasi tindak lanjut yaitu follow up 9 bulan kemudian untuk melihat sejauh mana hasil treatment menetap pada subjek dan perubahan apa serta kendala apa yang dialami oleh subjek

(26)

14 HASIL PENELITIAN

Relaksasi

Hasil latihan relaksasi yang dilakukan oleh subjek menjadi sebuah ketrampilan baru yang dapat dilakukan oleh subjek ketika dalam keadaan tertekan dan ketika keinginan untuk melakukan self-injury tersebut muncul. Sebelum intervensi, ketika subjek mengalami tekanan, subjek merasa tegang dan subjek kesulitan dalam mencapai perasaan tenang dan nyaman sehingga sulit untuk berfikir positif. Berdasarkan wawancara, setelah melakukan latihan relaksasi secara rutin, ketegangan subjek menurun dan mudah untuk mendapatkan perasaan tenang. Sedangkan berdasarkan observasi sebelum intervensi subjek tampak tegang dan gugup namun setelah intervensi subjek tampak lebih tenang dan rileks.

Restrukturasi kognitif

Pada hasil intervensi restrukturasi kognitif ini subjek menyadari bahwa selama ini pemikirannya adalah irasional dan negatif yang memberikan dampak negatif terhadap perilaku subjek. Setelah mendapatkan intervensi, subjek mampu mengganti pemikiran negatifnya dan mengembangkan pemikiran positif. Melalui teknik restrukturasi kognitif ini, termasuk melalui tugas dirumah yang diberikan, subjek secara berangsur mampu berfikir lebih positif mengenai dirinya. Sedangkan perubahan pemikiran negatif kepemikiran positif bisa dilihat ditabel dibawah ini,

Tabel 1. Perubahan Pemikiran

No Pemikiran negatif sebelum intervensi

Pemikiran positif sesudah intervensi

1 Semua orang melihat saya dan benar yang jelek dan besar

Saya tidak jelek, saya biasa saja. Masih banyak yang lebih besar dari saya dan hidupnya baik-baik saja dan sukses masa depannya.

2 Semua keluarga tidak mencintai saya Masih ada ayah yang mencintai yang rajin menelpon dan kakak yang sering datang jauh-jauh untuk menjenguk. 3 Semua orang tidak ada yang

menyukai dan peduli pada saya

Masih ada yang peduli pada saya, sebagian teman ada yang peduli mengantar saya berobat

4 Saya tidak punya kelebihan apa-apa, orang lain selalu lebih dari saya

Semua orang punya kelebihan dan kekurangan, saya juga punya kelebihan dan orang lain juga punya kelebihan 5 Saya tidak berharga dan tidak

berguna

Semua manusia berharga dan Allah menciptakan manusia pasti ada gunanya

(27)

15 6 Sungguh kulit saya benar-benar jelek

dan mengerikan

Sekarang banyak teknologi untuk mengobati kulit dan banyak orang dengan kulit lebih parah punya kehidupan yang baik-baik saja

7 Organ intim saya tidak seimbang, sehingga saya tidak akan ada yang menikahi

Wanita itu punya organ intim yang beragam, orang lain tidak memikirkan hal itu dan masih banyak orang cacat mendapatkan jodoh yang baik

8 Orang lain lebih pantas dicintai Setiap orang pantas dicintai, sayapun juga pantas dicintai dengan menonjolkan kelebihan yang saya miliki

Self-Management

Hasil dengan teknik ini terdapat perubahan perilaku sebelum dan sesudah intervensi. Subjek melakukan perilaku self-injury pada saat berada didalam kamar sendirian, khusunya dimalam hari sebelum tidur. Sebelum intervensi ketika keinginan untuk melakukan self-injury muncul subjek tidak melalukan perilaku apapun dan tetap berdiam diri dikamar, namun seiring bertambahnya sesi intervensi subjek mampu menunjukkan perubahan perilaku. Selama proses intervensi, apabila muncul keinginan untuk melakukan self-injury, subjek segera mengkondisikan diri dan lingkungan agar subjek tidak sendirian berada didalam kamar. Sehingga perubahan perilaku pada akhir intervensi subjek mampu menunjukan perilaku-perilaku yang membuat subjek tidak sendirian, yang akhirnya mampu menghindarkan diri dari perilaku self-injury. Perubahan perilaku selama proses intervensi dan setelah intervensi bisa dilihat pada tabel 2 dibawah ini,

Minggu Sebelum intervensi Sesudah intervensi Self-injury

0 - - 4x

1 - Keluar kamar dan berbicara dengan teman, makan bersama teman, mendengarkan musik, bermain dikamar teman

3x

2 - Keluar kamar untuk berbelanja, menonton televisi diluar kamar, berkunjung dikamar teman, membaca, olah raga diteras

2x

3 - Keluar kamar untuk membuat minuman, bermain dikamar teman sampai

3x Tabel 2. Perubahan perilaku

(28)

16

mengantuk, segera kedapur untuk memasak

4 - Membaca, mendengarkan musik,

bermain media sosial dihp, olahraga ringan di luar kamar, menonton dikamar teman

2x

5 - Olah raga ringan didalam kamar, keluar membeli buku, keluar kamar dan menonton dikamar teman, menata kamar mesikipun sudah bersih, berbelanja

1x

6 - Keluar kamar dan bercerita dengan teman diteras, berbelanja, olah raga ringan, segera mandi, membaca diteras

1x

7 - Segera keluar kamar, masuk kamar mandi untuk berwudhu, segera masuk kamar dan mandi, keluar kamar masuk dapur untuk membuat minuman

0x

8 - Berwudhu lalu keluar kamar, membuka pintu kamar dan menghubungi teman, membaca buku, menonton tayangan media sosial, segera mandi, menonton dengan makan es krim, menerima ajakan teman untuk jalan-jalan

0x

Dari tabel 2 diatas, dapat dilihat perubahan perilaku sebelum dan sesudah intervensi. Pada minggu pertama sebelum intervensi subjek tidak menunjukan perilaku untuk menciptakan suatu kondisi agar subjek tidak sendirian berada didalam kamar. Subjek tidak memiliki perilaku untuk mencegah ketika keinginan untuk melakukan self-injury tersebut muncul. Pada minggu pertama, subjek dapat melakukan 4 perilaku dalam satu minggu sehingga perilaku self-injury menurun menjadi 3 kali permingu. Uuntuk minggu ke 2 sampai minggu ke 8 yaitu akhir intervensi, jumlah perilaku yang bisa dilakukan subjek bervariasi dan semakin bertambah kemudian diikuti oleh penurunan perilaku self-injury yang signifikan. Hal ini menunjukan bahwa terdapat perubahan perilaku agar tidak melakukan self-injury, dan semakin bertambah sesi semakin bertambah pula perilaku yang mampu dilakukan oleh subjek.

Hasil penurunan self-injury

Intervensi yang diberikan menunjukan hasil penurunan self-injury yang sebelumnya diawali dengan perubahan perilaku dan perubahan pemikiran. Pada proses intervensi, subjek mencatat dalam lembaran sebagai bentuk self report, yaitu mencatat perilaku self injury dari hari pertama

(29)

17

hingga akhir intervensi. Pada setiap sesi diadakan evaluasi dan dicatat pikiran negatif yang muncul, kemudian mencatat apa saja perilaku managemen diri yang subjek lakukan. Subjek mencatat pula frekuensi self-injury dilembaran tugas rumah yang diberikan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar grafik dibawah ini,

Gambar 1. Penurunan perilaku self-injury

Berdasarkan gambar 2 diatas, dapat diketahui bahwa terdapat penurunan perilaku self-injury sebelum dan sesudah mendapatkan intervensi. Sebelum intervensi subjek melakukan self-injury rata-rata sebanyak 4 kali dalam seminggu dan setelah intervensi subjek tidak menunjukkan adanya perilaku self injury atau 0 kali perminggu. Berdasarkan evaluasi, selama proses intervensi subjek masih beberapa kali melakukan self injury, yang awalnya 4 kali dalam seminggu kemudian menjadi 3 kali dalam seminggu. Selanjutnya minggu ke 2 hingga minggu ke 7 terjadi perilaku self-injury yang fluktuatif yaitu 2, 3, 2, 1, 1, 0 per minggu. Disini dilakukan evalusi, apa yang menyebabkan subjek kembali melakukan self-injury menjadi 3 kali per minggu setelah adanya penurunan dari 2 kali perminggu, hal tersebut karena subjek tidak memasukkan relaksasi dalam dan mengurangi perilaku yang biasa subjek lakukan dalam program managemen diri pada minggu tersebut. Setelah memasukan relaksasi pada minggu berikutnya menurun lagi ke 2 dan kemudian menjadi 1 kali per minggu. Kemudian pada minggu ke 7 dan 8, telah menjadi 0 kali permimggu.

Selanjutnya, pada tahap evaluasi tindak lanjut dilakukan follow up yang kedua yaitu 9 bulan kemudian setelah akhir intervensi. Pengukuran kembali dilakukan untuk melihat sejauh mana

4 3 2 3 2 1 1 0 0 0 1 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 M0 M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 F1 F2 F r e k u e n si s e lf_ in ju r y Keterangan:

(30)

18

perubahan perilaku self-injury subjek menetap setelah kurun waktu selama itu. Berdasarkan wawancara dan pengukuran skala menunjukan bahwa subjek kembali melakukan perilaku self- injury dengan rata-rata 1 kali perminggu sejak 3 bulan yang lalu.

PEMBAHASAN

Perilaku self-injury merupakan perilaku pengrusakan terhadap dirinya sendiri pada bagian permukaan tubuh yang dilakukan secara berulang kali (APA, 2013). Perilaku melukai diri sendiri dilakukan oleh individu dengan berbagai macam cara seperti; memotong, menggores, membakar, menggaruk hingga terluka dan memukul diri sendiri (Bentley et al., 2014). Pemikiran yang negatif atau irasional menyebabkan terjadinya perilaku self-injury yang dilakukan oleh individu dengan caranya sendiri sebagai bentuk jalan keluar untuk melampiaskan emosi negatifnya.

Selanjutnya untuk mengurangi perilaku self-injury tersebut, maka digunakan metode intervensi yang bertujuan untuk merubah pemikiran negatif atau distorsi ke pemikiran yang lebih positif dan rasional. Dipilihlah CBT sebagai salah satu bentuk intervensi untuk mengatasi perilaku maladaptif yaitu self-injury. Didalam CBT, subjek dengan perilaku self-injury dilatih untuk meninggalkan pemikiran yang negatif atau distorsi yang menyebabkan terjadinya perilaku self-injury tersebut. Selain itu subjek diberi ketrampilan baru yaitu latihan relaksasi dan managemen diri agar mampu mengontrol emosi ketika minat untuk melakukan perilaku tersebut muncul. Target dalam CBT ini adalah subjek mampu menurunkan perilaku self-injury yang menyertai diagnosis BDD.

Relaksasi yang diberikan disini adalah sebuah teknik pernafasan dalam, yang menurut subjek merupakan teknik yang paling mudah untuk dilakukan dimana saja dan kapan saja. Subjek bisa dengan mudah mengingat prosedur relaksasi yaitu teknik pernafasan dalam, teknik ini membantu subjek dalam mencapai rasa nyaman dan mendapatkan perasaan tenang. Dengan perasaan yang tenang subjek lebih mudah melakukan managemen diri dan lebih mudah memunculkan pikiran positif sehingga keinginan untuk menyakiti diri sendiri tersebut bisa diatasi. Perasaan nyaman dan kondisi yang relaks yang didapatkan setelah melakukan relaksasi sangat membantu subjek dalam menjalankan sesi terapi yang lebih sulit yaitu restrukturasi kognitif dan managemen diri.

(31)

19

hasil yang sangat positif, hal ini bisa dilihat dari pemikiran negatif dalam diri subjek yang berkurang dan semakin berkembangnya pemikiran positif sehingga mampu menurunnya perilaku self-injury subjek. Hasil yang didapatkan adalah terjadi perubahan yang signifikan baik dalam pemikiran dan penurunan perilaku self-injury. Sehingga dapat disimpulkan bahwa CBT merupakan metode yang tepat untuk menurunkan perilaku self-injury. Hal ini sesuai dengan temuan peneliti sebelumnya bahwa CBT adalah terapi yang dapat mengubah keyakinan negatif yang memicu timbulnya self-injury. (Guerdjikova dkk, 2014;(Kaess et al., 2019).

Berdasarkan hasil evaluasi semakin bertambahnya perilaku managemen diri yang dilakukan oleh subjek maka semakin menurun frekuensi perilaku self-injury, dan semakin sedikit perilaku managemen diri yang dilakukan oleh subjek maka bertambah kembali frekuensi perilaku self-injury subjek. Bertambahnya sesi maka makin terlihat perubahan yang signifikan hingga akhirnya menunjukkan tidak adanya perilaku self-injury. Follow up dilakukan dua minggu setelah evaluasi terakhir intervensi dan subjek masih tetap mempertahankan pemikiran positifnya dan tetap melakukan self-management sebagai bentuk pengendalian dirinya. Selain itu subjek tidak menunjukan adanya perilaku self-injury. Subjek masih tetap melakukan relaksasi, apabila muncul pemikiran negatif dan ketika tiba-tiba keinginan untuk menyakiti diri sendiri itu muncul. Sehingga pada tahapan follow up ini subjek tidak menunjukan perilaku self-injury sama sekali, atau nol kali perminggu.

Metode intervensi CBT dengan tujuan penurunan perilaku self-injury disini membutuhkan waktu selama kurang lebih 2 bulan yaitu sekitar 9 minggu, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa CBT yang diberikan selama 8 - 12 minggu dengan tujuan untuk mengatasi gangguan nonsuicidal self-injury menunjukan hasil penurunan yang cukup signifikan. (Guerdjikova dkk, 2014). Selain penurunan self-injury, terdapat pula temuan yang lain yaitu setelah dilakukan pengukuran kembali pada tahap tindak lanjut 9 bulan kemudian, ditemukan bukti yang baru bahwa subjek melakukan kembali self-injury rata-rata 1 kali dalam seminggu sejak 3 bulan yang lalu. Sehingga efek CBT pada subjek dengan BDD ini berkisar kurang lebih 7 bulan.

Munculnya kembali perilaku self-injury yang dilakukan subjek karena faktor yang tidak terduga oleh subjek maupun terapis. Selama pandemi subjek kembali kerumah dikampung halamannya, yang mana dirumah tersebut subjek kembali bersama ibu dan keluarga besarnya. Keluarga dikampung halaman merupakan salah satu faktor penguat subjek merasa tidak

(32)

20

dihargai secara fisik sejak kecil dan dan adanya perasaan tidak diterima oleh ibunya. Kembalinya subjek ke kampung halamannya itu berarti subjek kembali ke lingkungan yang merupakan lingkungan dimana subjek mendapatkan perlakuan dan komentar negatif. Munculnya kembali perilaku self-injury tersebut dikarenakan kurang adanya sosial suport dari teman dan lingkungannya seperti yang biasa subjek dapatkan ketika mendapat intervensi dan pasca intervensi. Selain itu, kondisi subjek selama pandemi yang memaksa subjek pulang ke kampung halaman, menjadikan subjek kurang mampu memusatkan perhatian untuk melakukan relaksasi dan melakukan managemen diri, sehingga kemampuan subjek dalam mengembangkan pemikiran positif berkurang.

Namun meskipun begitu, frekuensi dalam melakukan perilaku self-injury setelah relaps, masih lebih rendah dibandingkan dengan frekuensi sebelum diberikan intervensi. Pada saat sebelum intervensi subjek rata-rata melakukan perilaku self-injury sebanyak 4 kali dalam seminggu dan setelah intervensi hasilnya 0 kali perminggu, kemudian pada evaluasi tindak lanjut 9 bulan kemudian subjek kembali melakukan self-injury rata-rata 1 kali perminggu. Hal ini masih bisa disimpulkan bahwa CBT efektif dalam menurunkan perilaku self-injury meskipun muncul kembali dalam rentang waktu tersebut. Dibutuhkan intervensi tambahan bagi subjek serta dibutuhkan sosial suport yang memadai agar subjek tidak melakukan self-injury.

Dalam penelitian ini terdapat kelebihan dan kekurangan, salah satu kelebihan dalam penelitian ini adalah gabungan antara ketiga teknik tersebut saling melengkapi sehingga mampu mengubah pikiran dan perilaku subjek, yang berdampak terhadap penurunan perilaku self-injury tersebut. Selain itu metode intervensi CBT lebih murah dan terjangkau dibandingkan dengan DBT (Guerdjikova dkk, 2014). Keterbatasan dalam penelitian ini adalah, tidak adanya pengukuran terhadap gangguan diagnosis utama yaitu BDD, untuk melihat apakah setelah intervensi dengan menggunakan CBT tersebut berdampak pula terhadap pengurangan gejal a BDD atau tidak, berdasarkan cek list DSM-V.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Hasil penelitian menunjukan bahwa subjek pengidap BDD dengan perilaku self-injury, telah mengalami penurunan perilaku self-injury melalui intervensi CBT. Teknik relaksasi yang menjadi ketrampilan baru bagi subjek mempermudah subjek untuk menurunkan ketegangan dan mendapatkan perasaan tenang sehingga mempermudah subjek dalam melakukan terapi restrukturasi kognitif, yaitu mempermudah subjek dalam usaha memunculkan pemikiran

(33)

21

positif dan meninggalkan pemikiran yang negatif. Selain itu keadaan yang tenang dalam diri subjek sekaligus mempermudah subjek untuk lebih memusatkan perhatian untuk melakukan managemen diri, dalam rangka pengalihan ketika perilaku self-injury tersebut muncul. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah melanjutkan pemberian intervensi dengan metode yang tepat untuk mengatasi gangguan diagnosis utama yaitu body dismorphic disorder. Saran yang bisa diberikan kepada subjek penelitian adalah sebaiknya subjek kembali menerapkan teknik-teknik yang telah diajarkan meskipun dalam keadaan pandemi.

(34)

22

Daftar pustaka

APA. (2013). Diagnostic And Statistical Manual of Mental Disorder Edition “DSM-5. Washinton DC: American Psychiatric Publishing.

Beck, A.T. (1979). Cognitive Therapy and the Emotional Disorders. Boston: Meridian, peguin Books, Ltd

Beck, A. T., & Haigh, E. A. P. (2014). Advances in cognitive theory and therapy: The generic cognitive model. Annual Review of Clinical Psychology, 10, 1–24. https://doi.org/10.1146/annurev-clinpsy-032813-153734

Beck, A.T., & Freeman, A., Davis, D. (2004). Cognitive Personality disorders. In New York. Beck, J. S., & Beck, A. T. (2011). Cognitive Behavioral Therapy: Cognitive Basics and

Beyond. (2nd ed.). New York, NY, US: Guilford Press

Bentley, K. H., Nock, M. K., & Barlow, D. H. (2014). The four-function model of nonsuicidal self-injury: Key directions for future research. Clinical Psychological Science, 2(5), 638– 656. https://doi.org/10.1177/2167702613514563

Bresin, K., & Schoenleber, M. (2015). Gender differences in the prevalence of nonsuicidal self-injury: A meta-analysis. Clinical Psychology Review, 38, 55–64. https://doi.org/10.1016/j.cpr.2015.02.009

Brown, M. Z., Comtois, K. A., & Linehan, M. M. (2002). Reasons for suicide attempts and nonsuicidal self-injury in women with borderline personality disorder. Journal of Abnormal Psychology, 111(1), 198–202. https://doi.org/10.1037/0021-843X.111.1.198 Brown, R. C., & Plener, P. L. (2017). Non-suicidal Self-Injury in Adolescence. Current

Psychiatry Reports, 19(3), 1–8. https://doi.org/10.1007/s11920-017-0767-9

Cook, N. E., & Gorraiz, M. (2016). Dialectical behavior therapy for nonsuicidal self-injury and depression among adolescents: Preliminary meta-analytic evidence. Child and Adolescent Mental Health, 21(2), 81–89. https://doi.org/10.1111/camh.12112

Crowell, S. E., & Kaufman, E. A. (2016). Development of self-inflicted injury: Comorbidities and continuities with borderline and antisocial personality traits. Development and Psychopathology, 28(4), 1071–1088. https://doi.org/10.1017/S0954579416000705 De Riggi, M. E., Moumne, S., Heath, N. L., & Lewis, S. P. (2017). Non-Suicidal Self-Injury

in Our Schools: A Review and Research-Informed Guidelines for School Mental Health Professionals. Canadian Journal of School Psychology, 32(2), 122–143. https://doi.org/10.1177/0829573516645563

Eelen, P. (2018). Behaviour therapy and behaviour modification background and development. Psychologica Belgica, 58(1), 184–195. https://doi.org/10.5334/pb.450

(35)

23

Mothi, S. S., Krebs, G., Bowyer, L., Monzani, B., Veale, D., & Mataix-cols, D. (2019). Empirically defining treatment response and remission in body dysmorphic disorder. 1– 7.

Garry, & Marnat. (2010). Handbook Psychological Asessment. Edisi Kelima, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Greenberg, J. L., Phillips, K. A., Steketee, G., & Hoeppner, S. S. (2019). ScienceDirect Predictors of Response to Cognitive-Behavioral Therapy for Body Dysmorphic Disorder. Behavior Therapy, 50(4), 839–849. https://doi.org/10.1016/j.beth.2018.12.008

Guerdjikova, A. I., Gwizdowski, I. S., McElroy, S. L., McCullumsmith, C., & Suppes, P. (2014). Treating Nonsuicidal Self-Injury. Current Treatment Options in Psychiatry, 1(4), 325–334. https://doi.org/10.1007/s40501-014-0028-z

Hawton, K., Witt, K. G., Salisbury, T. L. T., Arensman, E., Gunnell, D., Hazell, P., Townsend, E., & van Heeringen, K. (2016). Psychosocial interventions following self-harm in adults: a systematic review and meta-analysis. The Lancet Psychiatry, 3(8), 740–750. https://doi.org/10.1016/S2215-0366(16)30070-0

Hayes, S. C., Villatte, M., Levin, M., & Hildebrandt, M. (2011). Open, aware, and active: Contextual approaches as an emerging trend in the behavioral and cognitive therapies. Annual Review of Clinical Psychology, 7, 141–168. https://doi.org/10.1146/annurev-clinpsy-032210-104449

Jenkins, G. R., Hale, R., Papanastassiou, M., Crawford, M. J., & Tyrer, P. (2002). Suicide rate 22 years after parasuicide: Cohort study. British Medical Journal, 325(7373), 1155. https://doi.org/10.1136/bmj.325.7373.1155

Kaess, M., Edinger, A., Fischer-Waldschmidt, G., Parzer, P., Brunner, R., & Resch, F. (2020). Effectiveness of a brief psychotherapeutic intervention compared with treatment as usual for adolescent nonsuicidal self-injury: a single-centre, randomised controlled trial. European Child and Adolescent Psychiatry, 29(6), 881–891. https://doi.org/10.1007/s00787-019-01399-1

Kaess, M., Koenig, J., Bauer, S., Moessner, M., Fischer-waldschmidt, G., Mattern, M., Herpertz, S. C., Resch, F., Brown, R., In-albon, T., Koelch, M., Plener, P. L., Schmahl, C., Edinger, A., & Consortium, S. (2019). Self-injury : Treatment , Assessment , Recovery ( STAR ): online intervention for adolescent non-suicidal self-injury - study protocol for a randomized controlled trial. 1–10.

Kazdin, A.E. (1998). Methodological Issues & Strategies in Clinical Research. Washington DC: American Psychological Association.

Kim, B., Bae, M., & Bae, S. (2018). A Study on Reducing Stress through Deep Breathing 1. 13(2), 1460–1464.

Kwon, H., Yoon, K. L., Joormann, J., & Kwon, J. H. (2013). Cultural and gender differences in emotion regulation: Relation to depression. Cognition and Emotion, 27(5), 769–782.

(36)

24 https://doi.org/10.1080/02699931.2013.792244

Labelle, R., Pouliot, L., & Janelle, A. (2015). A Systematic Review and Meta-Analysis of Cognitive Behavioural Treatments for Suicidal and Self-Harm Behaviours in Adolescents. 56(4), 368–378.

Nock, M. K. (2010). Self-Injury. Annual Review of Clinical Psychology, 6, 339–363. https://doi.org/10.1146/annurev.clinpsy.121208.131258

Owens, D., Horrocks, J., & House, A. (2002). Fatal and non-fatal repetition of self-harm. Systematic review. British Journal of Psychiatry, 181(SEPT.), 193–199. https://doi.org/10.1192/bjp.181.3.193

Pattison, E. M., & Kahan, J. (1983). The deliberate self-harm syndrome. In American Journal of Psychiatry (Vol. 140, Issue 7, pp. 867–872). https://doi.org/10.1176/ajp.140.7.867 Perciavalle, V., Blandini, M., Fecarotta, P., Buscemi, A., Di Corrado, D., Bertolo, L., Fichera,

F., & Coco, M. (2017). The role of deep breathing on stress. Neurological Sciences, 38(3), 451–458. https://doi.org/10.1007/s10072-016-2790-8

Perkins, B. A. (2019). Dysmorphic disorder the drive for perfection. Nursing Made Incredibly Easy. https://doi: 10.1097/01.NME.0000549614.97772.88

Prada, P., Perroud, N., Rüfenacht, E., & Nicastro, R. (2018). Strategies to deal with suicide and non-suicidal self-injury in borderline personality disorder, the case of DBT. Frontiers in Psychology, 9(DEC), 1–6. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.02595

Prihatsanti, U., Suryanto, S., & Hendriani, W. (2018). Menggunakan Studi Kasus sebagai Metode Ilmiah dalam Psikologi. Buletin Psikologi, 26(2), 126. https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.38895

Rautio, D., Jassi, A., Krebs, G., Andrén, P., Monzani, B., Gumpert, M., Lewis, A., Peile, L., Sevilla-Cermeño, L., Jansson-Fröjmark, M., Lundgren, T., Hillborg, M., Silverberg-Morse, M., Clark, B., Fernández de la Cruz, L., & Mataix-Cols, D. (2020). Clinical characteristics of 172 children and adolescents with body dysmorphic disorder. European Child and Adolescent Psychiatry, 0123456789. https://doi.org/10.1007/s00787-020-01677-3

Sansone, R. A., Wiederman, M. W., & Sansone, L. A. (1998). The self-harm inventory (SHI): Development of a scale for identifying self-destructive behaviors and borderline personality disorder. Journal of Clinical Psychology, 54(7), 973–983. https://doi.org/10.1002/(SICI)1097-4679(199811)54:7<973::AID-JCLP11>3.0.CO;2-H Selby, E. A., Bender, T. W., Gordon, K. H., Nock, M. K., & Joiner, T. E. (2012). Non-suicidal

self-injury (NSSI) disorder: A preliminary study. Personality Disorders: Theory, Research, and Treatment, 3(2), 167–175. https://doi.org/10.1037/a0024405

Shaffer, D., & Jacobson, C. (2009). Proposal to the DSM–V childhood disorder and mood disorder work groups to include non-suicidal self-injury (NSSI) as a DSM–V disorder.

(37)

25

American Psychiatric Association. Retrieved from http://www.dsm5 .org/Pages/Default.aspx

Skinner, B. F. (2013). B. F. Skinner. June 2002, 1–19.

Skinner, B. F., & Smith, L. M. (1999). B. f. skinner (1904-1990). XXIV(3), 1–9.

Slee, N., Garnefski, N., Van Der Leeden, R., Arensman, E., & Spinhoven, P. (2008). Cognitive-behavioural intervention for self-harm: Randomised controlled trial. British Journal of Psychiatry, 192(3), 202–211. https://doi.org/10.1192/bjp.bp.107.037564

Stanley, B., Gameroff, M. J., Michalsen, V., & Mann, J. J. (2001). Are suicide attempters who self-mutilate a unique population? American Journal of Psychiatry, 158(3), 427–432. https://doi.org/10.1176/appi.ajp.158.3.427

Steggals, P., Graham, R., & Lawler, S. (2020). Self-injury in social context: an emerging sociology. Social Theory and Health, 18(3), 201–210. https://doi.org/10.1057/s41285-020-00149-7

(38)

26

(39)

27

MODUL INTERVENSI COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY

Cognitive Behavior Therapy untuk Menurunkan Perilaku Self-Injury pada Wanita dengan Body Dysmorphic Disorder

I. Pengantar

Gangguan tubuh dismorfik didefinisikan sebagai individu dengan kondisi yang cenderung untuk membesar-besarkan kekurangan fisik yang menurut penderitanya terdapat pada penampilannya. Cacat yang ada mungkin sedikit atau hanya dugaan tetapi penderitanya dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memperbaikinya (De la Cruz, Enander, Ruck & Wilhelm, 2019). Orang dengan gangguan tubuh dismorfik ditandai dengan fokus yang berlebihan pada cacat yang dirasakan terdapat pada penampilannya dan menyebabkan kesulitan yang signifikan serta terganggunya fungsi sosial (American Psychiatric Association, 2013).

Gangguan tubuh dismorfik merupakan gangguan kronis yang bisa bertahan lama jika tidak ditreatment dan berkaitan dengan tingginya tingkat rawat inap psikiatri serta perilaku bunuh diri (De la cruz dkk., 2019). Sedangkan dampak lain dari gangguan tubuh dismorfik ini adalah terkait dengan kebiasaan yang berulang-ulang misalnya menusuk-nusuk kulitnya, depresi, obsessive compulsive dan penyalah gunaan zat (Perkins, 2019). Sehingga gangguan tubuh dismorfik berkaitan dengan perilaku Self-injury, penelitian menunjukan pengidap gangguan tubuh dismorfik, 51,1 % melakukan perilaku self-injury baik dimasa lalu ataupun dimasa sekarang (Rautio, Jassi, Krebs & Andrén, 2020).

Dampak dari perilaku self-injury secara psikologis dan fisik, secara signifikan merugikan individu yang melukai diri sendiri dan sering kali membuat stres teman dan keluarga mereka. Selain itu perilaku self-injury adalah prediktor paling kuat dari upaya bunuh diri di masa yang akan datang dan sebuah penelitian menunjukkan bahwa 70% remaja dengan self-injury melaporkan adanya upaya bunuh diri dalam perjalanan hidup mereka (Nock et al., 2006). Hal ini menunjukan hubungan yang kuat bahwa self-injury berkaitan erat dengan ancaman bunuh diri, dan ini didukung oleh penelitian bahwa 1,8% pasien dengan perilaku nonsuicidal self-injury, melakukan tindakan bunuh diri dalam waktu 1 tahun setelah kejadian (Owens et al., 2002) dan mencapai 8,5% melakukan bunuh diri dalam periode 22 tahun (Jenkins et al., 2002).

Berkaitan dengan dampak yang cukup signifikan terhadap perilaku self injury ini maka diperlukan perawatan atau suatu metode intervensi untuk menurunkan dan

Gambar

Tabel 1. Perubahan Pemikiran  No  Pemikiran negatif sebelum
Gambar 1. Penurunan perilaku self-injury
TABEL 1. OBSERVASI BERDASARKAN BASIC ID
Tabel 3. SELF HARM INVENTORY
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis dalam penelitian ini adalah penerapan metode social story dapat menurunkan perilaku seksual yang tidak sesuai pada remaja laki-laki dengan Autism Spectrum Disorder.

Manfaat praktis yang dapat diperoleh pada penelitian ini adalah dengan intervensi Cognitive Behavior Therapy (CBT), dapat membantu subjek mengenali gejala-gejala rasa

Hasil asesmen menunjukkan bahwa kedua partisipan memiliki kesalahan berpikir terkait penampilan yang memunculkan ciri-ciri BDD, seperti penilaian negatif terhadap

Cognitive Behavior Therapy merupakan salah satu metode yang bisa dilakukan untuk mengurangi kecemasan yang dialami oleh korban bullying.. Disarankan kepada tenaga

Hasil intervensi tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Haikal (2022) bahwa CBT bertujuan untuk mengubah pikiran negatif menjadi pikiran

Pada kasus subjek intervensi yang digunakan untuk mengurangi perilaku agresi fisik adalah behavioral therapy dengan teknik operant conditioning dan observational learning

Pada penelitian ini, peneliti ingin mendalami terkait dinamika perilaku self-injury pada remaja laki-laki yang ada di Kota Makassar dengan fokus penelitian ada pada

Memperoleh komitmen subjek untuk melakukan intiervensi PERTEMUAN PERTAMA Judul materi: mari berkenalan apa itu kecemasan berbicara di depan umum dan terapi berfikir perilaku