• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Perilaku Self-injury pada Remaja Laki-laki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Dinamika Perilaku Self-injury pada Remaja Laki-laki"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Psikologi Talenta Mahasiswa Volume 1, No 1, Juli 2021

42

Dinamika Perilaku Self-injury pada Remaja Laki-laki

Arkadus Ianuar Guntur1*, Eva Meizara Puspita Dewi2, Ahmad Ridfah3

12 3Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia

* E-mail:sguntur11@gmail.com

Abstract

Self-injury is a coping behavior that has a negative psychological and physical impact on an individual. The case of self-injuryin adolescent boys is increasing. Self-injury is an early indication of suicidal behavior. The purpose of this study was to determine the dynamics ofbehavior self-injurymale adolescent. Subjects in this study were male adolescents who had done self-injuryseveral times in the past year. The number of research subjects was four people. The research method used by researchers is qualitative with a case study approach. The data analysis technique used is thematic data analysis. The results of the study proved that teenage boys did self-injurybecause of conflicts with their parents, broke up with their boyfriends, experienced bullying when they were still in school, and felt disappointed in themselves because of their mistakes. The form of behavior self-injurythat appears is hitting one's own body, cutting the skin with a sharp object, and pricking the skin with a pin. The impact that was felt after doing the self-injurywas a feeling of relief, satisfaction, pain, bleeding, and having a scar due to slicing the skin. The four participants had no problems interacting. The implication of this study is that an understanding of the dynamics ofbehavior self-injuryin male adolescents can help offenders to find better methods of reducing negative emotions.

Keyword: Self-injury, Boys, Dynamics

Abstrak

Self-injury merupakan perilaku coping yang berdampak buruk secara psikis maupun fisik pada individu. Kasus self-injury pada remaja laki-laki kian meningkat. Self-injury merupakan indikasi awal dari perilaku bunuh diri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika perilaku self-injury para remaja laki-laki. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki yang sudah pernah melakukan self-injury beberapa kali dalam satu tahun terakhir. Jumlah subjek penelitian adalah empat orang. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data tematik. Hasil penelitian membuktikan bahwa para remaja laki-laki melakukan self- injury karena konflik dengan orangtua, putus dengan pacar, mengalami bullying saat masih sekolah, dan merasa kecewa pada diri karena kesalahan yang diperbuatnya.

Bentuk perilaku self-injury yang muncul adalah memukul tubuh sendiri, mengiris kulit dengan benda tajam, dan menusuk kulit dengan jarum pentul. Dampak yang dirasakan setelah melakukan self-injury adalah muncul perasaan lega, puas, kesakitan, mengeluarkan darah, dan memiliki bekas luka akibat mengiris kulit. Keempat partisipan tidak memiliki masalah saat berinteraksi. Implikasi dari penelitian ini adalah pemahaman tentang dinamika perilaku self-injury pada remaja laki-laki dapat

(2)

43 membantu pelaku untuk menemukan metode yang lebih baik dalam meredakan emosi

negatif.

Kata kunci: Self-injury, Remaja Laki-Laki, Dinamika

PENDAHULUAN

World Health Organization (2017) mengemukakan bahwa perubahan perilaku, bentuk fisik, dan psikis menjadi kontributor utama pada masalah kesehatan mental individu di masa remaja.

Terdapat banyak gangguan kesehatan mental muncul pertama kali pada masa remaja awal dan berlanjut hingga masa dewasa. WHO (2014) melaporkan bahwa kasus bunuh diri dan self- injury pada remaja adalah salah satu penyebab utama dari kematian pada remaja itu sendiri.

Di Amerika Serikat, Klonsky (2011) melakukan sebuah penelitian tentang self-injury dengan melibatkan 439 partisipan di 48 negara bagian di Amerika dengan rentang usia 19 hingga 92 tahun. Hasil penelitian Klonsky menunjukkan hal menarik tentang self-injury yakni bahwa terdapat korelasi positif antara perilaku self-injury dan usia. Individu yang memiliki usia yang lebih muda akan lebih mudah melaporkan perilaku self-injury dibandingkan individu dewasa.

Oleh karena itu, remaja memiliki prevalensi melakukan self-injury yang tinggi dibanding individu dewasa.

Sutton (2007) mengemukakan bahwa self-injury merupakan mekanisme koping atau mengatasi kecemasan yang memiliki banyak dampak buruk, tetapi dapat mengatasi kecemasan tersebut. self-injury menjadi salah satu cara untuk mengatasi stres yang ekstrim dan bahkan bisa menjadi salah satu cara untuk dapat bertahan hidup dari stres. Mazelis (2008) mengemukakan bahwa self-injury merupakan perilaku individu yang dengan sengaja melukai tubuh sendiri sebagai cara mengatasi masalah emosi dan stres. Individu yang melakukan self-injury tidak ingin menciptakan rasa sakit pada fisik ataupun untuk mengakhiri hidup, tetapi lebih berfokus pada menenangkan perasaan sakit secara emosional yang sangat membuat mereka depresi.

WHO (2017) dalam laporan Mental Health Status of Adolescents mencatat bahwa di Indonesia sebesar 4 persen remaja laki-laki memiliki prevalensi lebih tinggi untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan remaja perempuan. Hal ini, selaras dengan hasil pilot studi yang dilakukan peneliti sebelum melakukan penelitian. Terdapat 8 remaja laki-laki dari 100 responden yang mengaku melakukan self-injury yang merupakan awal dari percobaan bunuh diri.

Higgins (2014) menjelaskan bahwa perilaku self-injury memiliki berbagai macam bentuk.

Perilaku self-injury tersebut dapat berupa menyayat bagian tubuh tertentu, menggigit, membakar, mematahkan tulang, mengukir tulisan atau simbol di kulit, menanamkan benda di

(3)

44 kulit, menarik rambut, membenturkan kepala ke benda keras, meninju diri sendiri, menusuk kulit dengan benda tajam, mengganggu penyembuhan luka agar tidak segera sembuh, menjepit tubuh, hingga meracuni diri. Sutton (2007) menjelaskan bahwa penyebab self-injury adalah faktor-faktor psikologis seperti merasa tidak kuat menahan emosi dan terjebak, stres, harga diri yang rendah tidak mampu mengekspresikan diri dengan baik, sering merasa hampa, tertekan, ingin mendapatkan perhatian dari orang lain, merasa putus asa, tidak mampu menerima realitas, merasa tidak berguna, frustasi, dan depresi.

Higgins (2014) mengemukakan bahwa perilaku self-injury dapat memberikan dampak serius pada psikis dan fisik dalam jangka pendek maupun panjang. Perilaku self-injury tidak menyelesaikan inti permasalahan yang dihadapi oleh pelaku self-injury. Oleh karena itu, setelah melakukan self-injury, individu akan mengalami perasaan malu dan perasaan bersalah karena telah melakukan self-injury. Self-injury merupakan cara cepat untuk menjadi individu yang lebih terisolasi, semakin menurunkan harga diri, menimbulkan dampak adiksi terhadap perilaku self-injury, dan bahkan dapat menggiring individu pada upaya bunuh diri. Perilaku ini umumnya dilakukan secara sukarela atau tanpa paksaan dari individu lain.

Higgins (2014) mengemukakan bahwa self-injury memiliki dampak yang bersifat jangka panjang. Pelaku self-injury akan meninggalkan bekas luka, mengiris bagian tubuh atau cutting dapat menyebabkan kehilangan darah dan dapat merusak tendon, saraf, dan jaringan otot pada tubuh. Individu yang menggunakan bahan korosif atau bahan beracun lain dapat membuat kulit tubuh menjadi rusak.

Peneliti tertarik untuk meneliti topik penelitian ini karena fenomena melukai diri atau self- injury sudah menjadi tren di kalangan para remaja tetapi masih sedikit penelitian yang dilakukan di Indonesia, terutama yang melibatkan remaja laki-laki sebagai partisipan penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini akan berfokus pada dinamika psikologis dari remaja laki-laki di Kota Makassar sebagai pelaku self-injury. Peneliti akan menggali sebab, akibat, dan bentuk dari munculnya perilaku tersebut pada remaja laki-laki. Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui dinamika perilaku self-injury yang terjadi pada remaja laki-laki terutama di Kota Makassar.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, kuesioner, dan dokumentasi dokumen yang diperoleh dari subjek penelitian. Tujuannya adalah untuk mengetahui pemaknaan subjektif dari subjek penelitian dan akan fokus pada dinamika perilaku

(4)

45 self-injury yang mereka telah lakukan terutama pada alasan, bentuk perilaku, dan dampak dari perilaku tersebut.

Penelitian ini melibatkan empat orang partisipan yang berjenis kelamin laki-laki dan saat penelitian dilakukan mereka berstatus mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri di Kota Makassar. Peneliti menemukan subjek penelitian dengan cara menyebarkan kuesioner melalui beberapa kolega dan disebarkan di media sosial. Setelah kuesioner disebarkan, kemudian peneliti membuat janji temu dengan subjek penelitian untuk melakukan wawancara awal untuk mengindentifikasi perilaku subjek tersebut.

Subjek penelitian yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak empat orang remaja laki-laki.

Subjek penelitian memiliki rentang usia 18 hingga 20 tahun. Tiga orang subjek penelitian saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri di Kota Makassar dan satunya adalah seorang guru muda di salah satu sekolah swasta di kota yang sama.

Proses wawancara dilakukan sebanyak dua kali untuk masing-masing subjek penelitian.

Teknik analisis dalam penelitian ini adalah analisis tematik. Hanurawan (2016) mengemukakan bahwa teknik analisis tematik merupakan analisis makna berdasarkan tema-tema yang paling menonjol dan berhubungan dengan kategori-kategori di tujuan penelitian. Prosedur dalam melakukan analisis ini adalah melakukan transkrip data, penelaahan kembali secara cermat dan berulang pada transkrip, klasifikasi data ke dalam unit-unit analisis yang bermakna, membuat kode atau koding pada data yang telah di transkripsi, mengembangkan segmentasi atau sistem kategori, membuat matriks penelitian yang akan digunakan untuk pedoman hasil penelitian.

Peneliti menggunakan metode verifikasi data dengan cara member check, dalam penelitian ini. Hanurawan (2016) mengemukakan bahwa validitas dalam penelitian fenomenologi adalah dengan cara cek partisipan atau member check. Partisipan melakukan penelaahan pada kesimpulan hasil awal penelitian yang merupakan hasil interpretasi dari pengalaman fenomenologis mereka. Member check yang dilakukan peneliti adalah dengan melakukan wawancara untuk kedua kalinya pada seluruh partisipan.

(5)

46 HASIL

Gambar 1. Dinamika Perilaku Self-injury MIT

Berdasarkan gambar 1, faktor penyebab yang melatarbelakangi perilaku self-injury yang dilakukan oleh MIT adalah konflik dengan orangtuanya. Kedua orangtua MIT, selalu membandingkan MIT dengan kakaknya yang memiliki nilai akademik yang lebih baik dari dirinya. Pembandingan dan tuntutan tersebut ternyata memberikan trauma pada MIT dan membuat dirinya mudah panik, apalagi jika sudah mendekati waktu ujian di setiap jenjang pendidikan yang dia lalui. Perasaan panik tersebut mendorong MIT untuk melakukan self- injury untuk meredakan perasaan paniknya. Perilaku self-injury yang biasa dilakukan oleh MIT adalah menampar wajahnya hingga berdarah, mengorek luka yang belum sembuh, meletakkan benda panas ke kulit, dan menggigit jari. MIT mengaku bahwa dia merasa lega dan lebih stabil setelah melakukan self-injury, walaupun mengeluarkan darah dan menimbulkan bekas serta sakit secara fisik, MIT tidak keberatan melakukan self-injury yang penting perasaan paniknya bisa berkurang.

(6)

47 Gambar 2. Dinamika Perilaku Self-injury ASPP

Berdasarkan gambar 2, faktor penyebab ASPP melakukan self-injury cukup kompleks.

Selain karena putus dengan pacar yang membuatnya sakit hati, ASPP mengakui bahwa sebelum putus dia pernah melihat teman kelasnya mengiris tangan dan menegur temannya. Namun, setelah putus, ingatan tentang temannya datang dan ASPP mencoba melakukan self-injury.

Perilakunya tersebut dilakukan untuk meredakan rasa sakit karena sudah diputuskan oleh pacarnya. ASPP menjelaskan pada peneliti bahwa perilaku self-injury yang dia lakukan adalah mengiris lengannya dengan beda tajam seperti pisau dan sangkur. Meskipun berdarah dan tersisa bekas luka akibat irisan tersebut, ASPP mengakui bahwa perasaan sakit hati yang ia rasakan ketika mengingat peristiwa diputuskannya dirinya tersebut bisa berkurang.

(7)

48 Gambar 3. Dinamika Perilaku Self-injury AP

Berdasarkan gambar 3, AP melakukan self-injury karena pernah mengalami bullying saat ia masih SMP. Saat itu ia mengalami body shaming oleh seluruh teman kelasnya dan itu memberikan luka batin dalam dirinya. Badannya yang dulu kurus, dekil, kulit gelap, dan agak kemayu membuat dirinya dirundung oleh teman sekelasnya. Perasaan sakit hati akibat dibully tersebut membuat AP trauma. Perasaan sakit tersebut akhirny menggiring AP untuk melakukan self-injury untuk meredakan emosi negatif tersebut. AP mengakui bahwa bentuk perilaku self- injury yang dia lakukan adalah menggores kulitnya dengan silet dan menusuk kulit dengan jarum pentul. Walaupun berdarah, sakit, dan menimbulkan bekas luka tetapi AP menjelaskan bahwa hal tersebut efektif untuk mengurangi rasa sakit hati yang pernah timbul dari traumanya.

(8)

49 Gambar 4. Dinamika Periaku Self-injury CM

Berdasarkan gambar 4, CM melakukan self-injury karena merasa kecewa terhadap dirinya sendiri. Perasaan kecewa, marah, dan menyesal terhadap dirinya itu muncul akibat dia sudah berhubungan badan dengan pacarnya. CM merasa menyesal tetapi di satu sisi terus menerus meminta melakukan hubungan badan jika ada kesempatan. Sehingga samar-samar, sepertinya CM melakukan self-injury karena menyesali perasaan adiksi yang timbul dalam dirinya. Untuk menghilangkan perasaan penyesalannya inipun, CM melakukan self-injury dengan cara menampar pipinya berulang kali dengan keras. Kerap kali juga meninju dirinya sendiri.

Walaupun merasa sakit, CM mengakui bahwa masih sulit untuk mengurangi adiksinya tersebut, tetapi kecemasannya akibat rasa penyesalan karena teradiksi untuk melakukan hubungan badan tersebut mereda.

(9)

50 DISKUSI

Gambar 5. Kesimpulan Dinamika Perilaku Self-injury Remaja Laki-laki di Kota Makassar Perilaku self-injury merupakan suatu cara atau mekanisme coping untuk mengatasi kecemasan atau emosi negatif yang muncul pada individu. Posner, Brodsky, Yershova, Buchanan, dan Mann (2014) menjelaskan bahwa perilaku self-injury memiliki perbedaan dengan suicide, tetapi perilaku ini dapat menjadi indikator awal dari perilaku bunuh diri. Self- injury dan suicide dibedakan dengan niat individu yang melakukannya. Jika suicide mensyaratkan bahwa individu tersebut berniat untuk mengakhiri hidupnya, maka self-injury tidak sampai bunuh diri. Pelaku self-injury hanya memiliki niat untuk mengurangi rasa sakit secara psikis yang mereka alami dengan rasa sakit fisik yang sengaja mereka lakukan.

Pada penelitian ini, peneliti ingin mendalami terkait dinamika perilaku self-injury pada remaja laki-laki yang ada di Kota Makassar dengan fokus penelitian ada pada faktor penyebab, bentuk perilaku, dan dampak dari perilaku self-injury tersebut.

1. Faktor Penyebab

Pelaku self-injury memiliki penilaian yang menjadikan stressor berakibat negatif pada dirinya dan cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melukai diri. Self-injury dijadikan sebagai salah satu mekanisme koping ketika pelaku self-injury berhadapan dengan stresor yang

(10)

51 tidak bisa mereka atasi. MIT, ASPP, AP, dan CM melakukan self-injury dengan faktor penyebab yang berbeda-beda.

MIT memiliki pengalaman saat kecil untuk dibanding-bandingkan oleh orangtuanya dengan sepupu dan kakaknya. MIT yang percaya bahwa dengan meraih prestasi akademik akan membuat dia diakui oleh ayahnya akhirnya sering merasa panik ketika mendapatkan tugas yang banyak dengan waktu pengumpulan yang cepat. Saat panik itulah, MIT sering berhadapan dengan emosi-emosi negatif yang sering tidak bisa diatasi dan memilih untuk memukul dirinya untuk menenangkan diri.

ASPP dan CM memiliki sumber atau penyebab munculnya perilaku self-injury yang sama, yakni bersumber dari mantan pacar atau di masa lalu adalah kekasih mereka. CM memiliki kekecewaan dan kemarahan terhadap dirinya karena sudah merusak pacarnya, dengan melakukan hubungan badan. Namun, ASPP memiliki masalah yang lebih kompleks dibandingkan dengan CM. ASPP walaupun tidak terlalu akrab dengan orangtuanya, khususnya adalah ayah, tetapi tidak pernah melukai dirinya karena berkonflik dengan orangtuanya. ASPP memiliki trauma dan melakukan self-injury setelah putus dengan pacarnya. Sedangkan AP melakukan self-injury karena dulu dia pernah menjadi korban bullying saat masih di SMP.

Sutton (2007) menjelaskan bahwa peristiwa yang traumatik biasanya memiliki dampak psikologis yang berbahaya. Peristiwa traumatis tersebut adalah kejadian yang membuat individu merasa tidak berdaya, terlukai, tidak aman, dan tidak dilindungi. Penyebab peristiwa traumatis ini seperti kehilangan orang yang disayangi, diperkosa, mengalami pelecehan seksual dan fisik, pelecehan secara emosional, ditelantarkan, mengalami kekerasan, pengabaian, dan bullying.

ASPP dan AP dapat digolongkan sebagai individu yang mengalami trauma di masa lalu. CM tidak termasuk dalam kategori trauma karena penyebab dia melakukan self-injury adalah karena melakukan hubungan badan dengan pacarnya. Pasca melakukan hubungan badan tersebut, CM menyesal dan melakukan self-injury. Sedangkan MIT, dia menanamkan nilai dalam dirinya bahwa dia harus memiliki prestasi akademik yang lebih dari teman-teman sebayanya, perilaku ini yang menurut Sutton (2007) adalah bentuk perfeksionisme.

2. Bentuk perilaku Self-injury

MIT dan CM melakukan self-injury dengan cara memukul diri. CM hanya menampar dirinya ketika merasa kecewa dan marah terhadap dirinya. Sedangkan ASPP meletakkan benda panas ke kulit, menggigit jari, mengorek luka basah, memukul paha dan kepala, dan memukul wajahnya. ASPP dan AP melakukan self-injurydengan cara mengiris kulit. AP menggunakan

(11)

52 silet dan jarum pentul untuk mengiris dan menusuk kulitnya. AP mengiris kulitnya di bagian telapak tangan dan menusuk pentul di belakang jarinya.

Keempat partisipan penelitian ini melakukan self-injury yang masuk dalam kategori moderate self-mutilation. Favazza (2006) mengemukakan bahwa moderate self-mutilation merupakan perilaku self-injury yang paling umum dan diasosiasikan sebagai bagian dari ganguan kesehatan mental seperti depresi, trauma, dan kecemasan. Bentuk perilakunya adalah mengiris kulit dan memukul diri.

3. Dampak Perilaku Self-injury

Higgins (2014) mengemukakan bahwa pelaku self-injury akan mendapatkan akibat dari perilaku yang mereka lakukan. Higgins menjelaskan bahwa ada dampak yang bersifat jangka panjang seperti akan ada bekas luka akibat mengiris kulit dan yang memukul diri akan memberikan dampak kerusakan organ dalam pada tubuh. Selain itu, Individu yang melakukan self-injury memiliki dampak secara psikis dan fisik akibat dari perilakunya. Dampak psikis yang dirasakan oleh pelaku self-injury adalah perasaan lega sedangkan secara fisik mereka akan merasakan sakit.

Higgins (2014) menjelaskan bahwa pelaku self-injury akan cenderung menghindari interaksi dengan orang lain. Namun, dari data lapangan yang ditemukan oleh peneliti, empat partisipan yang diwawancarai justru tidak menghindari interaksi dengan orang lain. Keempat partisipan ini memiliki banyak teman dan tidak terkendala dalam pergaulan.

Penelitian ini masih belum secara cukup sempurna, oleh karena itu terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian ini yang menurut peneliti dapat menjadi bahan dilakukan penelitian baru bagi peneliti selanjutnya. Kelemahan dalam penelitian ini adalah kurangnya partisipan penelitian. Peneliti dalam menemukan partisipan penelitian mengalami kesulitan karena individu yang terlibat dalam perilaku self-injury umumnya tidak menampakkan dirinya sebagai seorang pelaku self-injury di lingkungannya. Secara umum, mereka menutupi atau berusaha menghindari pengungkapan diri mereka agar mereka tidak dijauhi oleh lingkungan mereka.

Oleh karena itu, mencari atau menemukan individu pelaku self-injury adalah tantangan tersendiri bagi peneliti.

Selain itu, pemahaman akan perilaku self-injury hanya dibedakan melalui niat individu.

Pelaku self-injury melukai dirinya karena ingin meredakan emosi negatif yang muncul dalam dirinya dan mereka melakukan self-injury karena mereka tidak terpikirkan cara yang lain.

Untuk membedakan niat pelaku self-injury adalah kesulitan baru karena partisipan penelitian juga bingung dengan niat yang mereka bangun ketika melakukan self-injury.

(12)

53 Penelitian ini menjadikan remaja laki-laki sebagai responden utama dengan jumlah yang tidak banyak, oleh karena itu peneliti selanjutnya diharapkan untuk meneliti subjek yang sama dengan jumlah responden yang lebih banyak. Selain itu, penelitian ini menggunakan metode penelitian fenomenologis, oleh karena itu peneliti selanjutnya diharapkan untuk menggunakan metode penelitian yang lain seperti untuk memperdalam pemahaman tentang dinamika perilaku self-injury terutama pada para remaja laki-laki.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, maka terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut, yaitu:

Faktor yang menjadi penyebab remaja laki-laki di Kota Makassar melakukan self-injury bermacam-macam seperti konflik dengan orangtua, putus dengan pacar, dan trauma karena pernah dirundung (bullying). Peristiwa yang seperti ini bagi pelaku self-injury dapat menghasilkan emosi negatif seperti perasaan benci, marah, jengkel, dan rasa kecewa pada diri sendiri. Pelaku self-injury tidak mampu untuk menemukan cara yang lebih baik selain melakukan self-injury.

Bentuk perilaku yang dilakukan oleh pelaku self-injury adalah meletakkan benda panas ke kulit, menggigit jari, mengorek luka, memukul kepala dan paha, memukul wajah, mengiris lengan dengan pisau dan sangkur, mengiris telapak tangan dengan silet, menusuk kulit dengan jarum pentul, dan menampar pipi.

Dampak perilaku yang ditimbulkan dari perilaku self-injury dibagi atas dua yakni dampak psikis dan fisik. Dampak psikis yang dirasakan oleh remaja laki-laki yang melakukan self-injury adalah perasaan lega, puas, sedih, dan bahkan sampai memunculkan suicidal thought.

Sedangkan dampak fisik yang dialami adalah sakit secara fisik, terdapat bekas luka sayatan, dan mengeluarkan darah akibat sayatan dan pukulan.

Temuan baru yang ditemukan oleh peneliti adalah keempat responden tidak memiliki masalah dengan pergaulannya dengan teman sebaya. Dalam penelitian ini, peneliti berharap para subjek penelitian untuk mampu mulai menemukan cara menyalurkan emosi negatif dengan cara yang lebih baik. Peneliti menyarankan untuk menyalurkan emosi negatif dapat dilakukan dengan cara relaksasi ataupun berolahraga. Namun, jika sudah dalam kondisi yang tidak memungkinkan lagi atau dalam artian sudah parah, peneliti menyarankan untuk segera menghubungi tenaga professional yang dapat diakses dengan mudah melalui platform media sosial atau aplikasi yang sudah disediakan di internet.

(13)

54 REFERENSI

Favazza, A. R. (2006). Self-injurious behavior in college students. Journal of Pediatric, 6(117), DOI: 10.1542/peds.2006-0840.

Hanurawan, F. (2016). Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.

Higgins, M. (2014). Teen self-injury. Minnesota: Essential Library.

Klonsky, E. D. (2011). Non-suicidal selfinjury in United States adults: prevalence, sociodemographics, topography and functions. Psychological Medicine, pg. 1-6, DOI:

10.1017/S0033291710002497.

Mazelis, R. (2008). Self-injury: understanding and responding to people who live with self- inflicted violence. Article of Mental Health. National Center For Trauma-Informed Care (NCTIC).

Sutton, J. (2007). Healing The Hurt Within: Understanding Self Injury and Self Harm and Heal The Emotional Wounds. Oxford: How To Books.

World Health Organization. (2017). Mental health status of adolescents in South-East Asia:

Evidence for action, ISSBN: 978-92-9022-573-7.

Gambar

Gambar 1. Dinamika Perilaku Self-injury MIT
Gambar 5. Kesimpulan Dinamika Perilaku Self-injury Remaja Laki-laki di Kota Makassar   Perilaku  self-injury  merupakan  suatu  cara  atau  mekanisme  coping  untuk  mengatasi  kecemasan  atau  emosi  negatif  yang  muncul  pada  individu

Referensi

Dokumen terkait

Uraian latar belakang permasalahan yang ada diatas merupakan alasan peneliti melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul: Hubungan Kemampuan Kognitif dalam

Pada usia 13 tahun, saat duduk di kelas 5 SD, Mizar dan keluarganya memutus- kan pindah ke Kampung Bojong. Walau berjarak tidak lebih dari 3 kilometer, Mizar kecil dituntut harus

Auditor Trampil Pemula, dan Auditor Trampil Pratama serta Auditor Ahli Pratama sampai dengan Auditor Ahli Madya yang berada di Kantor Pusat, apabila dalam jangka waktu 6 (enam)

Dikarenakan nilai Fhitung lebih besar dari Ftabel (14,084 > 3,354) dan nilai signifikansi 0,000 < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya price earning ratio dan

Selain itu, peningkatan keterampilan proses sains pada anak melalui metode eksperimen berbahan alam ini terjadi karena adanya pendekatan guru yang dilakukan pada setiap

Penelitian ini dilakukan dengan menguji perkembangan kuat tekan beton high volome fly ash pada umur 14 hari, 28 hari dan 56 hari dan sebagai pembanding yaitu kuat tekan

it is due to being lapsed then fall down and the noise of the aircraft machine; in preparing WST and LST, it is due to being struck by operational vehicles and the noise

Karena siswa kurang memahami konsep segi tiga dan siswa tidak dapat mengerjakan soal-soalnya untuk membantu dan meningkatkan prestasi siswa dalam belajar