• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Anestesi

Sejak pertama kali ditemukan oleh William Thomas Green Morton pada tahun 1846, anestesi terus berkembang pesat hingga sekarang. Saat itu ia sedang memperagakan pemakaian dietil eter untuk menghilangkan kesadaran dan rasa nyeri pada pasien yang ditanganinya. Ia berhasil melakukan pembedahan tumor rahang pada seorang pasien tanpa memperlihatkan gejala kesakitan. Karena pada saat itu eter merupakan obat yang cukup aman, memenuhi kebutuhan, mudah digunakan, tidak memerlukan obat lain, cara pembuatan mudah, dan harganya murah. Oleh karena itu eter terus dipakai, tanpa ada usaha untuk mencari obat yang lebih baik. Setelah mengalami stagnasi dalam perkembangannya selama 100 tahun setelah penemuan morton barulah kemudian banyak dokter tertarik untuk memperlajari bidang anestesiologi, dan barulah obat-obat anestesi generasi baru muncul satu-persatu (Mangku dan Senapathi, 2010) Anastesi berasal dari bahasa Yunani yaitu An berati tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa atau sensasi tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah keadaan tanpa rasa (without

sensation) tetapi bersifat sementara dan dapat kembali kepada keadaan semula.

(Sudisma et al., 2006)

Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen yaitu hipnotik (tidak sadarkan diri = “mati ingatan’), analgesi (bebas nyeri = “mati rasa”), dan relaksasi otot rangka (“mati gerak”) (Mangku dan Senapathi, 2010) Untuk mencapai ke tiga target tersebut dapat digunakan hanya dengan mempergunakan satu jenis obat, misalnya eter atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus seperti tersebut di atas, yaitu obat yang khusus sebagai hipnotik, khusus sebagai analgesi, dan khusus sebagai obat pelumpuh otot. Ketiga target anestesia tersebut populer disebut dengan “Trias anestesi” (Mangku dan Senapathi, 2010)

(2)

Gambar 3. Trias Anestesi (Mangku dan Senapathi, 2010)

Dalam perkembangannya, anestesi digunakan secara luas, dalam bidang kedokteran hewan untuk menghilangkan nyeri dan kesadaran, juga digunakan untuk melakukan pengendalian hewan (restraint), keperluan penelitian biomedis, pengamanan pemindahan (transportasi) hewan liar, pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan ruda paksa (euthanasia). Tujuan anestesi dapat dicapai dengan pemberian obat anestesi secara tunggal maupun dengan balanced

anesthesia yaitu mengkombinasikan beberapa agen anestesi maupun dengan agen

preanestesi (McKelvey dan Hollingshead, 2003; Tranquilli et al., 2007).

Menurut Alex, (2010) balanced anesthesia dalam konteks ini meliputi yaitu a).Obat diberikan sebelum induksi anestesi (Premedikasi), b).Obat diberikan selama induksi anestesi, c).Obat diberikan selama maintenance anestesi. Anestesi merupakan tahapan yang paling penting dalam tindakan pembedahan, karena tindakan pembedahan belum dapat dilakukan bila anestesi belum diberikan (Pretto, 2002). Anestesi memiliki resiko yang jauh lebih besar dari prosedur tindakan pembedahan karena nyawa pasien yang dianestesi dapat terancam. Untuk pemilihan anestesi yang ideal dibutuhkan dalam menghasilkan sifat analgesi, sedasi, relaksasi, Unconsciousness (hilang kesadaran), keamanan dan kenyamanan untuk sistem vital, ekonomis, dan mudah dalam aplikasi baik di lapangan ataupun di ruang operasi. Namun, sampai saat ini anestesi yang memenuhi kriteria yang ideal belum ada (Fossum 1997).

Analgesi

Sedasi

Relaksasi

(3)

2.2. Anestesi Umum

Anestesi umum adalah subtansi yang dapat mendepres susunan saraf pusat (SSP) secara reversibel sehingga hewan kehilangan rasa sakit (sensibilitas) di seluruh tubuh, reflek otot hilang, dan disertai dengan hilangya kesadaran. Anestesi ini terdiri atas 2 jenis yaitu, anestesi volatil (inhalasi) dan non-volatil (injeksi/parenteral). Tanda-tanda anestesi umum telah bekerja adalah hilangnya kordinasi anggota gerak, hilannya respon saraf perasa dan pendengaran, hilangnya tonus otot, terdepresnya medulla oblongata sebagai pusat respirasi, dan vasomotor, dan bila terjadi overdosis hewan akan mengalami kematian. (Sudisma

et al., 2006).

Menurut Sudisma, et al. (2006), agen anestesi umum dapat digunakan melalui injeksi, inhalasi, atau melalui gabungan injeksi dan inhalasi. Anestesi umum inhalasi yang sering digunakan pada hewan adalah halotan, isofluran, sevofluran, desfluran, diethyl eter, dan nitrous oksida. Anestesi umum yang diberikan secara injeksi meliputi barbiturat (thiopental, methohexical, dan pentobarbital), cycloheksamin (ketamin, tiletamin), etomidat, dan profol, seperti yang disajikan berikut :

(4)

Gambar 4. Klasifikasi Agen yang Digunakan Sebagai Anestesi Umum (McKelvey dan Hollingshead, 2003)

Anestesi injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksi, asorbsinya cepat, waktu induksi, durasi dan masa pulih dari anestesia berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki indeks terapuetik yang tinggi, tidak bersifat toksik, minimalisasi efek samping pada organ tubuh seperti saluran pernafasan dan kardiovaskuler, cepat dimetabolisme, tidak bersifat akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan otot, analgesik, dan sudah diketahui antidotnya. Untuk mendapatkan efek anestesia yang diinginkan dengan efek samping seminimal mungkin, anestesi dapat digabungkan atau dikombinasikan antara beberapa anestesi atau dengan zat lain sebagai preanestesi dalam sebuah teknik yang disebut balanced anesthesia (Mc Kelvey dan Hollingshead, 2003).

Anestesi umum Injeksi Barbiturat Short-Acting (pentobarbital) Ultrashort-acting (Thiopental, M ethohexical Cyclohexamin : Ketamin Tiletamin Profol Etomidat Inhalasi

Dietyl Eter Nitrous Oxide

Ca mpuran Halogen : Is ofluran, Halotan, Metoksifluran, Sevofluran,

(5)

2.3. Obat-Obat Anestesi

Keadaan anestesia dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Obat-obat anestesi umunya diklasifikasikan berdasarkan cara penggunaanya, yaitu :

1. Topikal, misalnya melalui kutaneus atau membran mukosa

2. Injeksi seperti intravena, subkutan, intramuskuler, dan intraperitoneal 3. Gastrointestinal misalnya secara oral atau rektal

4. Respirasi atau inhalasi, (Adam, 2001)

Dalam penelitian ini digunakan 3 jenis obat anestesi yaitu Atropin, Ketamin , dan Xilasin.

2.3.1. Atropin

Atropin berasal dari golongan antikolinergik yaitu obat yang berkhasiat menekan/menghambat aktivitas kolinergik atau parasimpatis. Atropin merupakan protipe tersier dari agen amin muskarinik. Atropin merupakan kristal tidak bewarna dan tidak berbau, atau putih, bubuk kristalin. Atropin dalam injeksi dilaporkan kompatibel dengan beberapa agen berikut seperti, benzquinamide HCl, butorphanol tartat, chlorpromazine HCl, cimetidin HCl (tanpa pentobarbital), dimenhydrinat, dipenhydramin HCl, dobutamin HCl, droperidol, fentanyl sitrat, glycopyrolate, hydromorpone HCl, hydroxizine HCl, meperidine HCl, pentazocine laktat, pentobarbital sodium, perphezanine, prochlorperazine edisilat, promazine HCl, prometazine HCl, dan skopolamin HBr. Dan dilaporkan tidak kompatibel dengan norepinephrin bitartat, metarominol bitartat, methohexital sodium, dan sodium bikarbonat. Kompatibilitasnya bergantung pada faktor pH, konsentrasi, temperatur dan diluent yang digunakan. (Plumbs, 2005).

Mekanisme kerja asetilkolin pada organ yang diinervasi serabut saraf otonom para simpatis atau serabut saraf yang mempunyai neurotransmitter asetil kolin. Obat ini menghambat muskarinik secara kompetitif yang ditimbulkan oleh

(6)

asetil kolin pada sel efektor organ tertentu pada kelenjar eksokrin, otot polos, dan otot jantung, namun efek yang lebih dominan pada otot jantung, usus, dan bronkus (Mangku dan Senapathi, 2010).

Menurut Plumb (2005), atropin seperti agen muskarinik lainnya, menghambat asetilkolin atau kolinergik lain secara kompetitif pada ikatan neuroefektor parasimpatik postganglionik. Dosis tinggi dapat memblok reseptor nikotinik pada autonomik ganglia dan pada ikatan neuromukuler. Efek farmakologik, berelasi pada dosisnya. Pada dosis rendah mengakibatkan salivasi, sekresi bronchial, dan keringat dihambat. Pada dosis moderat atropin mengakibatkan dilatasi dan menghambat akomodasi pada pupil, dan meningkatkan frekuensi jantung. Dosis tinggi akan menurunkan motilitas gastrointestinal dan saluran urinaria. Dan dosis yang sangat tinggi akan menghambat sekresi gastrik.

Atropin dikontraindikasikan pada pasien dengan glukoma, adhesi antara iris dan lensa, hipersensitif pada obat antikolinergik, takikardia sekunder hingga thyrotoxikosis atau insufiensi kardia, iskemi myokardia, penyakit obstruksi gastrointestinal, paralisis ileus, kolitis ulseraif berat, obstruksi uropathy, dan myastenia gravis. Atropin dapat memperburuk beberapa gejala yang terlihat dengan toksisitas amitras, mengakibatkan hypertensi, dan lebih lanjut lagi menghambat peristaltis (Plumb, 2005).

Dosis atropin yang dipakai pada anjing untuk preanestesi adalah

1. 0,022-0,044 mg/kg IM atau SC (Muir, dalam Plumb 2005)

2. 0,074 mg/kg IV, IM, atau SC (pak injeksi atropin, S.A-Fort Dodge, dalam Plumb 2005)

3. 0,02-0,04 mg/kg SC, IM, atau IV (Morgan 1988, dalam Plumb, 2005)

2.3.2. Ketamin

Ketamin adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “Rapid

(7)

nama dagang. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carsen, tahun 1965, yang digunakan sebagai obat anestesi umum (Mangku dan Senapathi, 2010). Ketamin berwarna putih, berbentuk kristal, mendidih pada suhu 258-261oC,

karakteristiknya berbau, dan akan mengalami presipitasi pada pH yang tinggi. Ketamin dapat bercampur secara kompatibel dalam spuit yang sama, namun jangan mencampur ketamin dengan barbiturat atau dizepam dalam satu spuit atau intravena yang sama karena presipitasi dapat terjadi (Plumb, 2005).

Mempunyai efek anelgesia yang sangat kuat, akan tetapi efek hipnotiknya lemah dan disertai dengan efek disosiasi. Pada mata obat ini menimbulkan lakrimasi, nistagmus, dan kelopak mata terbuka secara spontan. Pada jantung dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. Dan pada otot dapat menimbulkan kejang-kejang (Mangku dan Senapathi, 2010)

Menurut Plumb (2005), ketamin adalah anestesi umum dengan aksi yang cepat, juga memiliki aktivitas analgesik yang signifikan dan efek depresannya pada jantung kurang. Diperkirakan untuk induksi kedua anestesi secara fungsional mengganggu CNS melalui stimulasi berlebih pada CNS atau menginduksi bagian kataleptik. Ketamin menghambat GABA (gamma amino butiric acid) dan juga dapat memblok serotonin, norepineprin, dan dopamin pada CNS. Sistem

thalamoneocrotical ditekan ketika sistem limbik aktif. Induksi anestetik pada

stadium I dan II, tapi tidak pada stadium III. Pada kucing, dapat menyebabkan efek hypotermik ringan, temperatur tubuh turun rata-rata 1,60 C setelah pemberian

obat. Efeknya pada tonus otot dilaporkan bervariasi, tapi ketamin umumnya dapat menyebabkan peningkatan tonus otot atau tidak sama sekali. Ketamin tidak menghilangkan reflek pinnal dan pedal, baik photik, korneal, laringeal ataupun reflek pharingeal. Efeknya pada sistem kardiovaskuler meliputi peningkatan

cardiac output, frekuensi jantung, rataan tekanan aortik, tekanan arteri pulmonari,

dan tekanan venosus sentral. Efeknya pada seluruh daya tahan peripheral dilaporkan bervariasi. Efek kardiovaskuler secara sekunder dapat meningkatkan tonus sympathetik, ketamin juga memiliki efek negatif pada inotropik jika sistem

(8)

symphatetik telah diblok. Ketamin tidak menekan sistem respiratori secara signifikan, namun dosis yang lebih tinggi dapat menurunkan frekuensi nafas.

Ketamin diikontraindikasikan pada hewan yang memiliki hipertensi, gagal jantung, dan aneurysms arterial. Pabrik penghasil biasanya memperingatkan efek penggunaannya pada sistem hepatik dan insufiensi renalis. Kemudian karena ketamin tidak memberikan efek yang baik pada relaksasi otot, maka obat ini dikontraindikasikan digunakan tunggal dalam pembedahan mayor. Ketamin dapat meningkatkan tekanan CSF (cerebro spinal fluid) dan pemakaian tidak ditujukan pada hewan yang mengalami trauma pada kepala. Penggunaan Ketamin juga dipertimbangkan secara relatif kontraindikasinya ketika tekanan intraokuler meningkat dan prosedur yang melibatkan pharing, laring, atau trakea. Hewan yang kehilangan darah secara signifikan, pemberian dosis ketamin harus dikurangi. Untuk meminimalkan insiden reaksi emergensi, direkomendasikan untuk meminimalkan pembukaan (exposure) pada penanganan atau bunyi yang keras selama periode pemulihan (recovery). Pemantauan tanda vital tetap dilakukan selama fase pemulihan. Karena ketamin dapat meningkatkan tekanan darah, lakukan dengan hati-hati dalam mengontrol haemoragi pasca bedah (seperti

declawing). Tidak diperkenankan pemberian pakan atau air menjelang pembedahan, namun pada prosedur elektif direkomendasikan untuk tidak memberi pakan 6 jam sebelum pembedahan (Plumb, 2005).

Interaksi ketamin dengan obat narkotik, barbiturat atau dizepam dapat memperpanjang waktu pemulihan setelah anestesi ketamin. Ketika digunakan dengan halotan, rata-rata pemulihan (recovery) ketamin dapat diperpanjang, dan efek stimulatori pada jantung dari ketamin dapat dihambat. Pemantauan status jantung direkomendasikan dalam penggunaan ketamin dengan halothan. chloramphenicol (secara perenteral) dapat memperpanjang aksi anestesi pada ketamin. Hormon tiroid ketika diberikan bersamaan dengan ketamin dapat menginduksi hipertensi dan takikardia. Beta-blocker (seperti propranolol) dapat menjadi keuntungan dalam mengobati efek ini. Neuromuskular blokers (seperti succinylcholine dan tobucurrarin) dapat menyebabkan peningkatan atau

(9)

perpanjangan depresi respiratori (Plumb, 2005). Antidotum obat untuk Xilasin adalah dopram (Sudisma et al., 2006). Bille, (2012) melaporkan dari 204 anjing yang dianestesi ketamin 9 diantaranya mati, jadi resiko kematian dari penggunaan ketamin 4.41%.

Dosis penggunaan pada anjing.adalah

1. Diazepam 0,5 mg/kg IV, lalu ketamin 10 mg/kg IV untuk induksi anestesi umum (Booth 1988, dalam Plumb 2005).

2. Midazolam 0,066-0,22 mg/kg IM atau IV lalu ketamin 6.6-11 mg/kg IM (Mandsager 1988, dalam Plumb 2005).

3. Xilasin 2.2 mg/kg IM, dalam 10 menit diberi ketamin 11 mg/kg IM. anjing dengan berat lebih dari 22.7 kg (50 pon) dosis dikurangi pada kedua obat di atas sebesar 25% (Booth 1988, dalam Plumb 2005)

4. Atropin (0,044 mg/kg) IM, dalam 15 menit diberi xylazin (1.1 mg/kg) IM, 5 menit kemudian diberi ketamin (22 mg.kg) IM (Booth 1988, dalam Plumb 2005).

Sebagai catatan, xilasin-ketamin dapat menginduksi aritmia kardia, edema pulmonary, dan depresi respiratori pada anjing. Obat ini harus dikombinasikan dengan hati-hati (Plumb, 2005).

2.3.3. Xilasin

Xilasin merupakan golongan alpha2-adrenergic agonist, digunakan sebagai sedatif dan analgesik pada beragam spesies, namun penggunaannya pada kucing dapat menimbulkan emetik (muntah). Xilasin dilaporkan kompatibel dicampur dengan beberapa obat seperti acepromazine, buprenorphine, butorphanol, dan meripidine dalam satu spuit. (Plumb, 2005)

Xilasin diklasifikasikan sebagai sedatif/analgesik dengan kemampuan relaksasi otot. Meskipun proses xilasin memiliki kemiripan aksi farmakologis dengan morphine, xilasin tidak menyebabkan eksitasi CNS (central nervous

(10)

CNS. Xilasin menyebabkan relaksasi otot rangka melalui jalur sental termediasi (central mediated pathaways). Emesis (muntah) sering dijumpa pada kucing dan kadang-kadang juga dijumpai pada anjing yang diberi xilasin. Ketika melalui mediasi sentral, baik dopaminergik bloker (seperti, phenotiazine) maupun

alpha-blokers (yohimbine, tolazoline) memblok efek emetik. xilasin tidak menyebabkan

muntah pada kuda, sapi, domba atau kambing. xilasin menekan mekanisme thermolegulatori. (Plumb, 2005)

Efek pada sistem kardiovaskuler meliputi peningkatan inisial total resistensi periperal dengan peningkatan tekanan darah diikuti dengan periode panjang dari tekanan darah yang rendah. Efek bradikardia dapat terlihat pada beberapa hewan yang mengalami heart blok derajat 2-3 atau aritmia yang lain. Menurunkan cardiac output sebesar 30%. xilasin dilaporkan dapat meningkatkan efek aritmogenik dari epineprin pada anjing. (Plumb, 2005)

Efek xilasin pada fungsi respiratori secara klinis jarang terlihat, namun dalam dosis yang tinggi dapat mengakibatkan menekan sistem pernapasan, dengan penurunan volume tidal dan frekuensi nafas. Pada anjing brachycephalic dan kuda dengan gangguan pernapasan atas dapat mengakibatkan dyspnea. (Plumb, 2005)

Xilasin juga dapat menginduksi peningkatan glukosa darah sekunder, hingga menurunkan kadar insulin dalam serum pada hewan non diabetes Penggunaannya pada anjing, kuda, dan kucing diindikasikan dapat menghasilkan sedasi dengan periode analgesi yang pendek, dan digunakan sebagai preanestesi sebelum anestesi lokal atau umum. (Plumb, 2005)

Kontraindikasi obat ini yaitu, hewan yang sudah diberi epinephrin atau hewan yang mengalami aritmia ventrikel. Dan memiliki efek yang lebih ekstrim pada hewan yang mengalami disfungsi jantung, hypotensi atau shock, disfungsi respiratori, insufiensi berat sistem hepatik dan renal. Efek khusus pada anjing adalah tremor otot, bradikardia dengan A-V blok parsial, frekuensi repiratori

(11)

turun, dan urinasi meningkat. Dapat dikombinasikan dengan yohimbin, atipamezole, dan tolazoline untuk mempercepat waktu pemulihan. (Plumb, 2005)

Dosis pada anjing adalah :

1. 1,1 mg/kg IV, 1,1-2,2 mg/kg IM atau SC (Rompun@-Miles dalam Plumbs

2005)

2. 0,6 mg/kg IV, IM sebagai sedatif (Morgan 1988, dalam Plumb 2005) 3. Untuk mengobati krisis hypoglikemi (dengan dektrose IV) : 1,1 mg/kg IM

(Schall 1985, dalam Plumbs 2005)

4. 0,5-1,0 mg/kg IV atau 1-2 mg/kg IM (Davis, 1985 dalam Plumb 2005) 5. Sebagai analgesik 0,1-1 mg/kg IV, IM, atau SC, untuk pasca operatif

berkisat 0,1-0,5 mg/kg IV, IM, atau SC (Caroll 1999 dalam Plumb 2005).

2.3.4. Interaksi pemakaian atropin, xilasin, dan ketamin

Ketamin mempunyai sifat analgesik yang sangat kuat dan bila digunakan secara tunggal akan menimbulkan relaksasi otot yang jelek, dan bahkan pada anjing akan menimbulkan kekejangan otot dengan durasi kerja yang singkat. Penambahan golongan alpha-2 adrenoseptor stimulan seperti xilasin atau

benzodiazepin seperti diazepam, atau midazolam akan mengkatkan relaksasi otot.

(Bishop, 1996). Menurut Sawyer, (2007) xilasin dapat menurunkan dosis ketamin sebesar 25%, meningkatkan relaksasi otot, dan mengurangi efek samping dari ketamin.

Namun aktivitas xilasin pada susunan saraf pusat melalui aktivasi atau stimulasi reseptor alpha2 adrenoceptor, menyebabkan penurunan pelepasan simpatis dan mengurangi pengeluaran norapinephrin, dan dopamin sehingga menyebabkan relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan saraf dan dapat menyebabkan muntah. Xilasin juga dapat menekan thermoregulator (Adams, 2001).

Atropin yang merupakan obat antimuskarinik digunakan untuk mengurangi salivasi dan sekresi bronchial, dan untuk melindungi serta mencegah

(12)

kejadian artimia yang disebabkan oleh prosedur obat-obatan anestesi. Sebagai premedikasi, atropin diindikasikan pada anjing untuk mencegah sejumlah saliva yang menghalangi jalannya nafas. Atropin dan hyoscin tidak direkombinasikan untuk premedikasi pada kuda karena dapat menyebabkan eksitasi dan midriasis. Atropin mencegah efek samping muskarinik dari antikolinesterase, yang digunakan untuk mengembalikan pengaruh non-depolarisasi obat-obat neuromuskular blok. Antimuskarinik sangat penting untuk pengobatan bradikardia dan atropin adalah obat yang paling umum digunakan. Jadi tujuan utama dari penggunaan atropin dalam kombinasi ketamin-xilasin adalah untuk menurunkan pengaruh hipersalivasi dan bradikardi dari xilasin (Bishop, 1996).

2.4. Durasi, Induksi, dan Pemulihan

Waktu induksi (induction time) adalah waktu yang diukur dari awal penyuntikan sampai awal terjadinya anestesia yaitu hilangnya rasa sakit (dijepit, pada telinga, ekor, dan interdigiti), hilangnya reflek (palpebral, pupil, dan pedal) dan bola mata menuju ventrocanthus. Lama anestesi (duration of actions) adalah waktu yang diukur dari mulai kejadian anestesia sampai hewan mulai sadar yaitu ada tidaknya gerakan (ekor, kaki, telinga atau kepala), ada tidaknya respon rasa sakit (dijepit dengan pinset pada telinga, ekor, dan interdigiti), ada tidaknya suara dari hewan, ada tidaknya reflek (palpebral, pupil, dan pedal). Waktu pemulihan (recovery) adalah waktu yang diukur dari hewan mulai sadar sampai hewan bisa berdiri dengan keempat kaki (Sudisma et al., 2012).

Atropin diberikan 15-30 menit sebelum induksi, namun efek muncul 10 menit setelah injeksi intramuskuler dengan masa durasi sekitar 2 jam. Dilatasi pupil ditemukan selama fase pemulihan, jadi tempat harus terlindung dari cahaya langsung (Sawyer, 2007). Dalam pelaksanaan pembedahan, induksi ketamin muncul 1-8 menit setelah injeksi intramuskuler, dan fase pemulihannya selama 5 jam. Induksi ketamin dapat dilakukan baik injeksi intramuskuler atau intravena. Jika obat diberikan 10-20 mg/kg diberikan secara intamuskuler, efek onsetnya akan muncul 1-2 menit pertama, namun jika diberikan secara intravena dengan

(13)

dosis 1-2 mg/kg akan menimbulkan onset yang lebih cepat, namun durasinya akan lebih pendek dari pada injeksi intramuskuler. Prosedur terakhir (intavena) dapat dilakukan untuk prosedur yang memerlukan waktu kurang dari 30 menit, tapi akan diikuti dengan fase pemulihan 2-6 jam (Alex, 2010). Sedangkan Edwins (2007), melaporkan Injeksi ketamin dengan xilasin sebagai premedikasi secara intramuskuler menghasilkan waktu induksi 5 menit setelah injeksi, durasi 25 menit, dan masa pemulihan 30 menit pada anjing.

Pemberian xilasin secara tunggal pada anestesi epidural pada kuda, menghasilkan induksi 15 menit dengan durasi 2-5 jam. (Alex, 2010). Luna, et al. (2000), melaporkan kombinasi anestesi xilasin dan ketamin dengan premedikasi Methotrimprazin secara intramuskuler menghasilkan waktu induksi 6 menit dengan durasi 52 menit dan waktu pemulihan sekitar 95 menit, namun pemulihan dengan menggunakan kombinasi methotrimprazin, romifidin, dan ketamin adalah 132 menit. Namun dalam penelitian Abbasi et al. (2014), Xilasin secara intravena memiliki masa induksi sekitar 93-113 detik setelah penyuntikan, dengan durasi 62-68 menit. Penyuntikan burung merpati dengan kombinasi anestesi atropin-xilasin-ketamin secara Intramuskuler menghasilkan waktu induksi 13 menit, dengan durasi 83 menit dan fase pemulihan 140 menit (Gorda dan Wardhita, 2010). Namun saat ini waktu induksi, durasi dan pemulihan kombinasi anestesi atropin-xilasin-ketamin secara subkutan belum banyak diketahui.

2.5. Administari Obat Secara Subkutan

Injeksi subcutan adalah pemberian obat dengan cara memasukkan obat kedalam jaringan subcutan di bawah kulit dengan menggunakan spuit. Diantara banyak jenis obat yang diberikan secara subcutan adalah vaksin, obat preanestetik, narkotik, insulin, dan heparin. Tehnik ini digunakan apabila kita ingin obat yang disuntikkan akan diabsorpsi oleh tubuh dengan pelan dan berdurasi panjang (slow

and sustained absorption). Biasanya volume obat yang disuntikkan terbatas pada

1-2 ml per sekali suntik. Injeksi subkutan tidak menyusahkan dan biasanya rasa nyeri minimal dari pada injeksi intramuskuler untuk volume obat yang sedikit.

(14)

Injeksi subkutan hanya sesuai untuk obat noniritant. Efek sirkulasi lokal yang terjadi seperti menjadi panas, dehidrasi, dan shock hipovolemik (Christic et al., 2008). Keuntungan pemberian injeksi subkutan efeknya lebih cepat dan teratur. Khususnya suntikan secara subkutan,dimana absorpsinya terjadi lambat dan konstan sehingga efeknya dapat bertahan lama (Darma et al., 2013). Menurut Wanamaker (2004), wilayah intrascapular adalah area yang sebaiknya dihindari ketika pemberian obat subkutan.

2.6. Mekanisme Kerja Obat Anestesi

Saat ini diyakini bahwa anestesia terjadi karena adanya perubahan neurotransmisi diberbagai bagian SSP (sistem saraf pusat). Kerja neurotransmiter di pascasinaps akan diikuti dengan pembentukan second messenger. Dalam hal ini cAMP (siklik adenosin monofosfat/adenosin monophosphat cyclic) yang selanjutnya mengubah transmisi di neuron. Di samping asetilkolin neurotransmiter klasik, dikenal juga katekolamin, serotonin, GABA (gamma

amino butyric acid), adenosin, serta berbagai asam amino dan peptida endogen

yang bertindak sebagai neurotrasmiter atau yang memodulasi neurotransmitter di SSP, misalnya asam glutamat dengan mekanisme hambatan pada reseptor N-metil-D-Aspartat (Gunawan, et al, 2011).

Teori yang mendasari kerja anestesi umum sampai saat ini belum begitu jelas. Berdasarkan perkembangan sejarah, Anestesi pertama ditemukan pada tahun 1846 di Boston oleh William Thomas Green Morton yang menggunakan eter sebagai anestesi. Dengan penemuan eter sebagai anestesi sangat mendorong perkembangan ilmu bedah. Tahun 1847 muncul teori mekanisme anestesi oleh Vonbibra, dan Harles, anestesi bekerja karena larut dalam lipid di otak. Tahun 1899 muncul teori Hans Meyer dan 1901 oleh Charles Overton yang dikenal dengan teori “Meyer-Overtone”, potensi anestesi berhubungan dengan kelarutan bahan anestesi pada lemak. Anestesi akan larut pada lipid dan merusak struktur lipid membran saraf. Teori membran protein menyatakan bahwa membran sel saraf mengandung protein dan agen anestesi akan terikat pada protein sehingga

(15)

mempengaruhi saluran ion. Akhirnya teori yang masih bisa diterima sampai saat ini adalah teori saluran ion yang dipengaruhi oleh neurotransmitter dan reseptor. Anestesi kan bekerja mempengaruhi 2 jenis reseptor yaitu,

1. Reseptor GABA (gamma amino butyric acid) terutama reseptor GABA-A merupakan reseptor inhibiratori

2. Reseptor glutamat merupakan reseptor eksitatori pada sub tipe NMDA (n-methyl d-aspartat)

Gambar 5. Wilayah Penghambatan GABA, Sumber ; Lullman, 2005.

Reseptor GABA dan Glutamat adalah reseptor yang sebagian besar terletak pada otak khususnya hipothalamus yang merupakan target kerja anestesi, yaitu di daerah tuberomammilary nucleous (TMN) (Miller, 2010 ; Pretto 2002). Anestesi umum injeksi (kecuali ketamin) akan bekerja melalui reseptor GABA-A pada otak khususnya subtipe β3 sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran (unconciousness) dan pada reseptor GABA-A subtipe β2 (50% pada CNS) akan menyebabkan sedasi. Sedangkan Anestesi ketamin, anestesi gas, N2O, xenon, dan

sejenisnya akan bekerja sedikit atau lemah pada reseptor GABA-A atau glisin, tetapi sangat kuat pada reseptor glutamat subtipe (NMDA) sehingga menyebabkan terjadinya analgesik kuat. (Miller, 2010). Anestesi umum meningkatkan kerja GABA dan menginduksi saluran ion Cl. Secara umum pada dosis yang tinggi, anestesi secara langsung mengaktivasi reseptor GABA-A

(16)

walaupun tanpa GABA. Pengaruh fungsional anestesi pada reseptor GABA-A sengat tergantung pada komposisi reseptor subunitnya (Miller, 2010).

2.7. Stadium Anestesi Umum

Semua zat anestetik menghambat SSP secara bertahap, yaitu mula-mula dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat adalah medula oblongata tempat pusat vasomotor dan pernapasan. Anestesi umum dibagi menjadi 4 stadium, yaitu stadium I (anelgesia), stadium II (eksitasi), stadium III (pembedahan), dan stadium IV (depresi medulla oblongata) (Gunawan, et al, 2011).

2.7.1 Stadium I (Anelgesia)

Stadium anelgesia dimulai sejak pemberian anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri (anelgesia), tetapi masih sadar (Gunawan, et al, 2011). Pernapasan masih dipengaruhi kemauan dan keras, frekuensi nafas, dan pulsus meningkat, pupil melebar, terjadi urinasi, dan defekasi (Sudisma et al., 2006)

2.7.2 Stadium II (Eksitasi)

Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran sampai munculnya pernapasan yang teratur yang merupakan tanda dimulainnya stadium pembedahan. Pada stadium ini, hewan tampak mengalami delirium (sensasi) dan eksitasi dengan gerakan diluar kehendak (meronta-ronta). Pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka meningkat, kadang sampai mengalami inkontinesia, dan muntah. Hal ini terjadi karena hambatan pada pusat inhibisi. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, maka pada stadium ini harus diusahakan cepat dilalui (Gunawan et al., 2011). Menurut Sudisma et a.l (2006), pada tahap ini kehilangan kesadaran, respon terhadap stimulasi meningkat (hewan masih berteriak di bawah sadar), gerakan kaki ke belakang masih keras, nafas singkat dan tidak teratur, reflek menelan, dan muntah, masih ada, dan reflek batuk masih ada.

(17)

2.7.3 Stadium III (Pembedahan)

Stadium III dimulai dengan tumbulnya kembali pernapasan yang teratur dan berlangsung sampai pernapasan spontan hilang. Menurut Gunawan et al. (2011) pada stadium ini dibagi lagi menjadi 4 tingkat dan tiap tingkatan dibedakan dari perubahan pada gerakan bola mata, refleks bulu mata dan konjungtiva, tonus otot dan lebar pupil yang menggambarkan semakin dalamnya pembiusan.

a. Tingkat 1 : Pernapasan teratur, spontan, dan seimbang antara pernapasan dada dan perut, gerakan bola mata terjadi di luar kehendak, miosis, sedangkan tonus otot rangka masih ada (Gunawan et al., 2011). Menurut Sudisma et al (2006), stadium III tingkat I ditandai dengan pernafasan bebas dari kemauan gerakan kaki ke belakang terhenti, bola mata bergerak dari sisi satu ke sisi lainnya, makin lama anestesi bola mata bergerak lemah, dan berhenti bila masuk ke tingkat II, reflek palpabre, konjungtiva, dan kornea segera hilang setelah masuk ke tingkat I. Pada anjing dan kucing reflek pedal masih ada dan cepat. Anestesi tingkat I digunakan untuk pemeriksaan foto Rontgen (X-ray), operasi membuka abses dan operasi kecil lainnya.

b. Tingkat 2 : Pernapasan teratur sampai frekuensinya lebih kecil, bola mata tidak bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai melemas, dan refleks laring hilang, sehingga pada tahap ini dapat dilakukan intubasi (Gunawan et al., 2011). Menurut Sudisma et al. (2006), ditandai dengan adanya sedikit perubahan pada sifat respirasinya sampai tingkat berikutnya, frekuensi nafas meningkat sedangkan amplitudonnya menurun, reflek laring masih ada hingga pertengahan tingkat ini. Pada kuda, sapi, domba, dan babi bola mata terfixir di tengah, pada anjing dan kucing bola mata pada ventrocantus (sudut medial) menggeser ke bawah. Relaksasi otot lebih nyata kecuali otot abdomen, reflek pedal pada anjing dan kucing

(18)

masih ada tetapi lemah. Menurut Welsh (2009), pada tingkat 2 dan 3 ini prosedur pembedahan yang paling memuaskan.

c. Tingkat 3 : Ditandai dengan adanya respirasi otonom, frekuensi meningkat, amplitudo menurun, ada antara yang jelas pada inspirasi dan ekspirasi (kelihatan berhenti sebentar), inspirasi thorak ringan, ritme pernafasan terganggu jika masuk stadium selanjutnya, pada anjing dan kucing bola mata menuju ke tengah, reflek pedal hilang, otot abdomen relaksasi. Pernapasan perut lebih nyata dari pernapasan dada karena otot interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil mata lebar tetapi belum maksimal (Gunawan et al., 2011). Menurut Mangku dan Senapathi (2010), pada stadium inilah optimal dilakukan operasi.

d. Tingkat 4 : Pernapasan perut sempurna karena otot interkostal lumpuh total, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar, dan refleks cahaya hilang. Pembiusan hendaknya jangan sampai ke tingkat 4 ini sebab hewan akan sangat mudah sekali masuk ke stadium IV yaitu ketika pernapasan spontan melemah. Untuk mencegah ini, harus diperhatikan secara benar sifat dan dalamnya pernapasan, lebar pupil dibandingkan dengan keadaan normal, dan turunnya tekanan darah (Gunawan et al., 2011)

2.7.4. Stadium IV (Depresi medulla oblongata)

Stadium IV ini, dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III tingkat 4. Tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah kolaps, dan jantung berhenti berdenyut. Keadaan ini dapat segera disusul dengan kematian, kelumpuhan napas di sini hanya dapat diatasi dengan alat bantu napas dan sirkulasi (Gunawan et al., 2011). Menurut Sudisma et al. (2006), stadium ini ditandai dengan paralisa otot thorak sempurna, hanya diafragma yang masih aktif selama inspirasi, dinding thorak mengempes kedalam sehingga hewan tersengal-sengal, pulsus meningkat cepat, pupil menggembung, bola mata seperti mata ikan

(19)

(sekresi air mata terhenti), pernafasan melemah akhirnya hewan mati, warna mukosa mulut, mata, dan lidah menjadi abu-abu.

Tabel 1 : Reaksi Anestesi, Menurut Stadiumnya. Stadium

Anastesia

Depresi CNS Warna Mukosa Ukuran Pupil Aktivitas Bola Mata

Pernafasan

I Kortek Sensori

N/Kemerah-merahan

Kecil Dibawah sadar Cepat/irrreguler

II Motor Kortek

Kemerah-merahan

Dilatasi Meningkat Irreguler

III Plane 1 Otak tengah Kemerah-merahan/N

Lebih kecil Meningkat Pelan/reguler

III Plane 2 Spinal Cord N Miosis Terfiksir,

rotasi ventral

Pelan/reguler

III Plane 3 Spinal cord N/pucat Miosis Rotasi ke

ventral

Abdominal

III Plane 4 Spinal cord Pucat Lebih besar Sentral Abdominal semakin

dangkal

IV Medulla Pucat/cyanotik Midriatik Sentral Tidak ada

Stadium Anestesi Pulsus Reflek Palpebrae Reflek Cornea

Kedangkalan Batuk Reflek Pedal Keterangan I Cepat/ti nggi + + + + + Analgesi II Cepat/ti nggi + + + + + Unconscious

III Plane 1 N Kecil + - + +

III Plane 2 N - Kecil - - -

III Plane 3 Turun - - - - -

III Plane 4 Turun - - - Reflek anal

kecil sekali

IV shock - - - Sphinter anal

relaksasi Sumber : Dugdale, Alex, 2010.

Gambar

Gambar  3.  Trias Anestesi (Mangku  dan  Senapathi,  2010)
Gambar  4.  Klasifikasi  Agen  yang  Digunakan  Sebagai  Anestesi  Umum  (McKelvey  dan Hollingshead,  2003)
Gambar  5. Wilayah  Penghambatan  GABA,  Sumber  ; Lullman,  2005.

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya nyeri yang dirasakan disebabkan oleh kecemasan penderita yang menyebabkan otot-otot punggung menjadi tegang dan menimbulkan rasa nyeri. Berdasarkan lama perjalannya

- Dengan menggunakan alat bantu yang lebih produktif, menambah jumlah pekerja, penggunaan material yang lebih cepat, penerapan inovasi dalam konstruksi dapat mereduksi durasi

Diagnosis IMA EST ditegakkan apabila memenuhi kriteria berikut : adanya nyeri dada khas infark (durasi nyeri lebih dari.. 20 menit, tidak respon sepenuhnya dengan

Gejala yang paling umum terjadi pada CTS adalah nyeri pada pergelangan tangan, rasa kesemutan, rasa nyeri atau kebas pada bagian distribusi nervus medianus

Ada satu postulasi yang menyatakan bahwa pulih sadar yang cepat setelah penggunaan anestesi inhalasi dengan solubilitas rendah menginisiasi terjadinya agitasi

Selain itu, dapat menimbulkan sensasi suhu terhadap nerve endings kulit pada organ urogenitalia eksterna, menstimulus jalur persarafan, menghilangkan rasa nyeri dan membantu

Dikatakan nyeri somatik, yang dibagi lagi atas 2 kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam, apabila rasa nyeri berasal dari kulit, otot, persendian, tulang

1) Nyeri supervisial yaitu yang timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti laselarasi. Nyeri ini memiliki durasi yang pendek dan sensasi yang tajam. 2) Nyeri