• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN SULTANAAT GROUND DI KECAMATAN GAMPING KABUPATEN SLEMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN SULTANAAT GROUND DI KECAMATAN GAMPING KABUPATEN SLEMAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

51 KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN SULTANAAT GROUND DI

KECAMATAN GAMPING KABUPATEN SLEMAN

The Local Wisdom in Utilizing Sultanaat Ground in District Gamping, Sleman

Marsudi

Jurusan Ilmu Adminitrasi

FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta

( Diterima tanggal 3 Maret 2014 , disetujui 29 Maret 2014)

Abstract

The problem in this research is how the local wisdom makes utilizing of Sultanaat Ground in District Gamping, Sleman. For the analitical data, it is used Qualitative Inductive Method, based on the fenomology paradigm.

The invention of this research is that the management of Sultanaat Ground done by the Palace is through the local wisdom. The utilization of Sultanaat Ground is by publishing a letter of a long term rent land approvement. The Palace also gives authority to the local government for managing the Sultanaat Ground through special authority letter, as giving permission to build a building. Then the Palace implements local wisdom principal which is “ a shelter “, or a kind from the Palace for its people.

Key words : Local Wisdom, Utilizing Sultanaat Ground

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Propinsi DIY merupakan salah satu daerah yang istimewa di Indonesia. Salah satu fakta sejarah yang memperkuat status keistimewaan DIY diantaranya adalah adanya Maklumat Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VII yang dikeluarkan 5 September 1945 dan 30 Oktober 1945, yang merupakan titik tolak integrasi Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dimana di dalam maklumat tersebut disebutkan “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia”. Di samping itu, keistimewaan DIY diperkuat lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY, yang di dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Propinsi DIY diberi

(2)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

52

kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

Keistimewaan itu salah satunya terlihat pada status kepala daerah, dimana sejak kemerdekaan RI, kepala daerah di DIY selalu dipegang oleh Sultan Yogyakarta. Tidak hanya terbatas pada itu, keistimewaan tersebut juga mencakup pemerintahan, pendidikan, kebudayaan, anggaran keistimewaan, dan posisi keraton. Di samping itu, aspek pertanahan juga menjadi salah satu simbol keistimewaan, dimana pada awalnya di Propinsi DIY tidak pernah ada tanah negara. Semua tanah di DIY merupakan Sultanaat Ground (tanah milik Kasultanan sebagai lembaga kraton), yang sejak kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah. Selain yang diberikan kepada pemerintah daerah, masih terdapat tanah milik Keraton Yogyakarta (Sultanaat Ground) dan tanah milik Puro Pakualaman (Paku Alamanaat Ground). Status tanah ini dapat dikategorikan sebagai tanah Ulayat (tanah adat), karena merupakan peninggalan leluhur yang dimiliki lembaga Keraton dan Pakualaman.

Sultanaat Ground (SG) dan Paku Alamanaat Ground (PAG) ini luasnya mencapai ribuan hektar (yang sampai saat ini belum ada pendataan pasti dari luas keseluruhan) dan tersebar di mana-mana,

antara lain di Bantul, Kulonprogo, Sleman dan Kota Yogya.

Pada dasarnya, tanah ini tidak memiliki kepastian hukum formal. Hal ini dapat dilihat dari sejarah aturan pertanahan di DIY, terkait dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, dimana setelah itu pada tahun 1984, keluar Keppres No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY yang diikuti beberapa Kepmendagri, diantaranya Kepmendagri No. 69 Tahun 1984 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah hak Milik Perorangan Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 1954. Mengacu pada kepmendagri tsb, semua tanah di DIY sudah dapat diberlakukan UUPA, kecuali tanah SG dan PAG (yang masih harus ditetapkan secara khusus)

Meskipun demikian, dari pihak keraton sendiri telah mengeluarkan kebijakan mengenai pemanfaatan dan pengelolaan Sultanaat Ground tersebut, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Paniti Kismo yang merupakan lembaga keraton. Salah satunya adalah dengan memberikan status ngindung atau magersari bagi tanah yang dimanfaatkan oleh masyarakat dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Status ngindung atau magersari ini diperkuat dengan adanya bukti surat kekancingan magersari yang

(3)

53

dikeluarkan pihak keraton, namun tidak bersertifikat resmi dari pemerintah. Sedangkan untuk mendirikan bangunan permanen di atas tanah magersari ini diperlukan izin dari BPN, sehingga meski tanahnya merupakan tanah kraton dan izin pemanfaatannya melalui lembaga di kraton, untuk urusan mendirikan bangunan tetap dibutuhkan IMB dari pemerintah daerah.

Tidak adanya kepastian hukum yang formal mengenai tanah ini dan adanya kebijakan-kebijakan diluar kebijakan kraton mengenai pemanfaatan tanah, baik dari pemerintah pusat maupun yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, membuat kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak kraton menjadi kebijakan tunggal dalam pemanfaatan Sultanaat Ground di DIY pada umumnya, dan juga di Kecamatan Gamping khususnya yang juga terdapat Sultanaat Ground di wilayahnya.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan pada latar belakang diatas, maka masalah yang akan dikaji adalah : ‘Bagaimana kearifan lokal dalam penggunaan Sultanaat Ground di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman’ ?

II. TINJAUAN PUSTAKA Kearifan Lokal

Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Sedangkan menurut I Ketut Gobyah (dalam Sartini, 2004), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas, dimana biasanya merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Sedangkan Imam mengatakan, secra substabsial local wisdom merupakan norma yang berlaku dalam dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenaranya dan

(4)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

54

menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari.

Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Nurma Ali Ridwan (2007), kearifan lokal merupakan akumulasi dari hasil aktivitas budi dalam menyikapi dan memperlakukan lingkungan atau disebut juga sebagai pengetahuan lokal, dimana hal tersebut menggambarkan cara bersikap dan bertindak kita untuk merespon perubahan-perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun kultural. Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain memberikan informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu:

1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. 2. Berfungsi untuk pengembangan

sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate. 3. Berfungsi untuk pengembangan

kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.

4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. 5. Bermakna sosial misalnya upacara

integrasi komunal/kerabat.

6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.

7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.

8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client

Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah kearifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Dari beberapa hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, yang berfungsi dalam mengatur hampir semua ranah kehidupan masyarakat.

Pengertian Lahan

Menurut Jayadinata, lahan berarti tanah yang sudah ada peruntukannya dan umumnya ada pemiliknya (perorangan atau lembaga). Sedangkan dalam penguasaan atau pemilikan tanah oleh rakyat di suatu negara, terdapat dua prinsip yang berbeda: a. Di suatu negara agraris, dimana

nafkah sebagian besar rakyat adalah pertanian, sehingga mereka bergantung kepada tanah, untuk keadilan, maka prinsipnya: tanah itu

(5)

55

oleh negara dibagikan kepada sebanyak mungkin penduduk (dengan hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dsb), sehingga pemilikan/penguasaan tanah bagi keluarga/pengusaha adalah terbatas/kecil.

Salah satu contohnya adalah Indonesia. b. Di suatu negara industri, dimana

nafkah sebagian besar penduduk adalah industri, maka hanya sedikit saja rakyat yang bertani atau yang bergantung kepada tanah, sehingga untuk memudahkan pengelolaan, prinsipnnya: tanah oleh negara dibagikan kepada sebagian kecil dari

penduduk, sehingga

pemilikan/penguasaan tanah per keluarga/perusahaan dapat luas. Hal ini dapat memungkinkan adanya sistem-sistem tuan-tuan tanah yang memiliki/menguasai tanah yang luas sekali.

Contohnya negara-negara di Eropa dan Amerika.

Pemanfaatan Lahan

Berdasarkan kamus penataan ruang, pemanfaatan lahan merupakan penggunaan tanah untuk aktivitas atau kegiatan orang atau badan hukum yang dapat ditunjukkan secara nyata. Sedangkan penggunaan lahan adalah wujud kegiatan

penguasaan tanah supaya dapat memberi manfaat berupa hasil dan/atau jasa tertentu, mewujudkan tata ruang, dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Di dalam penggunaan lahan, menurut Steigenga dalam Jayadinata, Firey menunjukkan pengaruh budaya yang besar dalam adaptasi ruang, dan ia berkesimpulan bahwa: ruang dapat merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial (misalnya penduduk sering memberikan nilai sejarah yang besar kepada sebidang tanah). Berhubung dengan pendapat Firey itu, Chapin menggolongkan tanah dalam tiga kelompok, yaitu yang mempunyai:

a. nilai keuntungan, yang

dihubungkan dengan tujuan ekonomi, dan yang dapat dicapai dengan jual – beli tanah di pasaran bebas;

b. nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat; c. nilai sosial, yang merupakan hal

yang mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dsb), dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian,

(6)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

56

tradisi, kepercayaan, dan sebagainya.

Menurut Chapin (1979), ada 2 aspek yang mempengaruhi penggunaan lahan, yaitu aspek aspasial (perekonomian-kependudukan) dan spasial (sistem aktifitas, sistem pengembangan lahan dan sistem lingkungan). Dimana kependudukan terkait dengan perkembangan penduduk yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan mobilitas penduduk. Kualitas penduduk berkaitan dengan keadaan masyarakat dan masalah sosial, sedangkan kuantitas penduduk berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk baik secara umum maupun dilihat dari komposisi penduduknya. Mobilitas

penduduk berkaitan dengan

migrasi/urbanisasi.

Sedangkan perekonomian, menyangkut perkembangan kegiatan ekonomi yang diindikasikan dengan bertambahnya jumlah produksi dan distribusi yang dilakukan sektor industri, perdagangan dan jasa, dimana sektor- sektor tersebut dalam perkembangan kegiatannya memerlukan lahan di lingkungan perkotaan. Kegiatan-kegiatan tersebut memerlukan lokasi lahan yang strategis untuk menjalankan kegiatannya. Posisi tersebut akhirnya membentuk pola penggunaan lahan yang dipergunakan oleh berbagai aktivitas perekonomian.

Sistem kegiatan/aktifitas, dalam hal ini berkaitan dengan cara manusia dan kelembagaannya mengatur urusannya sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya dan saling berinteraksi dalam waktu dan ruang. Interaksi antara berbagai aktifitas tersebut dilakukan melalui komunikasi dengan menggunakan sistem transportasi berupa jaringan jalan yang banyak mempengaruhi pemanfaatan ruang, yang biasanya jika di suatu tempat dibangun jalan baru, maka akan diikuti oleh berkembangnya lahan-lahan terbangun baru untuk berbagai aktivitas manusia di sisi kiri-kanan jalan. Sistem pengembangan lahan berfokus pada proses pengubahan ruang dan penyesuaiannya untuk kebutuhan manusia dalam menampung kegiatan yang ada dalam susunan sistem kegiatan.

Tanah Adat/Tanah Ulayat

Tanah ulayat merupakan bidang

tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.

(7)

57

Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

("http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_ulaya t")

Sejarah Pertanahan di DIY

dalam Kaitannya dengan Sultanaat Ground

Kasultanan Yogyakarta sebagai suatu negara kecil juga memiliki kekuasaan yang besar atas tanahnya. Pada jaman dahulu, ketika Kerajaan Mataram masih sebagai negara berdaulat dan belum dibawah kekuasaan penjajah Belanda, pada prinsipnya, semua tanah yang ada dalam wilayah kerajaan adalah milik raja. Pada waktu itu, rakyat hanya diberi hak/wewenang untuk meminjam tanah tersebut dari raja (hanggaduh), sekalipun meminjamnya turun temurun (hanggaduh run-temurun).

Setelah adanya Perjanjian Giyanti dan lahirnya Kasultanan Ngayogyokarto, prinsip dasar mengenai pertanahan tersebut tetap dianut. Perjanjian Giyanti yang terjadi antara Pangeran Mangkubumi, Sri Susuhunan Paku Buwono III (pengganti Paku Buwono II) dan Pemerintah Belanda menjadikan dasar

bahwa untuk Kasultanan Yogyakarta, pemilik sebenarnya dari seluruh aset yang ada di Kasultanan adalah Sultan Hamengku Buwono I, di samping karena adanya prinsip mengenai pertanahan tersebut, juga karena pada dasarnya perjanjian itu merupakan perjanjian pribadi Pangeran Mangkubumi dengan pihak Kasunanan dan Belanda sebelum diangkat menjadi sultan.

Setelah diangkat menjadi sultan, secara yuridis, antara pribadi dengan negara akan menjadi satu lembaga kerajaan dan nantinya akan memiliki konsekuensi-konsekuensi logis, aset yang tadinya milik pribadi secara otomatis akan menjadi milik kerajaan juga. Oleh karenanya, ada pelimpahan kewenangan dan sistem yang mendukung pengelolaan aset tersebut, yaitu adanya “sistem waris inti”, yang merupakan sistem pewarisan aset di kraton, yang mana walaupun aset-aset itu pada mulanya adalah milik HB I secara pribadi, namun secara yuridis hukum adat, diatur kepemilikan dan kewenangan terhadap aset tersebut ada pada pengganti setiap sultan. Dengan begitu,nantinya sebagian dari aset akan dibagi dan diwariskan kepada keturunan tiap sultan,sedangkan yang sebagian lagi tetap menjadi aset sultan tapi dikelola oleh kraton sebagai lembaga dan seperti itu berlaku seterusnya pada tiap sultan. Oleh

(8)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

58

karena itu, sebagai intepretasi milik pribadi, untuk tanahnya disebut sebagai “tanah sultan (sultan ground)”. Di samping itu karena besarnya kepercayaan pengikut setianya, pengaturan tanah seisinya dipercayakan kepada beliau sultan sebagai Kagungan Dalem Noto.

Pada masa setelah pemerintahan HB I, terjadi pergolakan politik & kekuasaan, dimana Belanda mulai melakukan intervensinya terhadap Kasultanan, akan tetapi ditentang oleh HB II dan juga keturunan-keturunannya. Sampai ketika Raffles (penjajahan oleh Inggris) berkuasa pada tahun 1813, politik adu domba dijalankan hingga Pangeran Notokusumo (yang merupakan saudara HB II) memisahkan diri dan mendirikan Kadipaten Pakualaman. Pergolakan-pergolakan semacam itu terus berlangsung hingga jaman Perang Diponegoro usai, kira-kira setelah masa pemerintahan HB VI – VII.

Dengan adanya berbagai pergolakan tersebut, muncul kekhawatiran Belanda terhadap kekuatan Kasultanan, sehingga politik kontrak semakin diperketat hingga mengatur masalah kewilayahan, terutama pertanahan. Dan pada abad 19, ketika Belanda membutuhkan tanah untuk perusahaan-perusahaannya, menjadi lebih mudah karena cukup meminta tanah dari sultan, baik dalam bentuk meminjam,

menyewa, ataupun hak milik. Mengingat hal ini, maka perusahaan Belanda dapat menguasai tanah dalam bentuk Recht van Opstall (R.v.O) – pada jaman republik dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan, Recht van Eigendom (R.v.E) – pada jaman republik dikonversi menjadi hak milik, dan sebagainya.

Dengan demikian, berdasar politik kontrak tersebut, tanah sultan (Sultan Ground) itu sendiri terdiri dari dua jenis:

(1) Tanah Mahkota (Crown

Domain), yaitu Sultan Ground

yang diperuntukkan dan diatasnya berdiri bangunan-bangunan atau suatu lahan terbuka yang digunakan untuk atribut kerajaan dan tidak bisa diwaris, yang disebut dengan, seperti kraton, alun-alun, kepatihan, Pasar Beringharjo, masjid besar,

Pesanggrahan Ambarukmo,

Ambarbinangun, hutan jati di Karang Asem – Gunung Kidul; (2) Sultanaat Ground, yaitu Sultan

Ground yang dikelola oleh kraton

sebagai lembaga Kraton

Ngayogyokarto Hadiningrat, dimana diatasnya bisa diberikan hak, baik yang tunduk pada hak-hak barat maupun hak-hak-hak-hak pribumi. Tanah ini merupakan Sultan Ground yang bisa diakses oleh rakyat.

(9)

59

Untuk Sultanaat Ground, dengan jelas terbagi menjadi dua, yaitu:

(1) Tanah-tanah yang tetap dikuasai oleh hukum adat (tanah-tanah yang berada di tangan rakyat – tunduk pada hak-hak pribumi), yang dalam

bahasa Belanda disebut

“Inlandsche-gronden”, dan

(2) Tanah-tanah yang tetap dikuasai oleh hukum Eropa (tanah-tanah yang diberikan pada orang-orang atau perusahaan-perusahaan Belanda), yang disebut dengan istilah “Europesche-gronden”. Kemudian, untuk mengurangi beban rakyat dengan masuknya perusahaan-perusahaan Belanda, maka diadakan reorganisasi dengan dikeluarkan Rijksblaad Kasultanan Yogyakarta 1918/16 dan Rijksblaad Kadipaten Paku Alaman 1918/18 yang lebih kurang isinya “Sakabehing bumi kang ora ono tondho yektine kadarbe ing liyan mowo wewenang eigendom, dadi bumi kagungan Kraton Ingsun” (semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikannya selain yang dikenai hak eigendom, menjadi tanah milik Kraton). Selanjutnya, setelah seluruh tanah selain yang dikenai hak eigendom dinyatakan menjadi milik Kraton, kemudian diberikan haknya, berupa:

(1) Hak anganggo turun-temurun kepada masyarakat di luar Kotapraja;

(2) Hak andarbe kepada kelurahan (disebut tanah desa); dan

(3) Untuk masyarakat Kotapraja, berdasarkan Rijksblaad Kasultanan

Yogyakarta 1925/23 dan

Rijksblaad Kadipaten Paku Alaman 1925/25, diberikan hak andarbe; (4) Lalu sisanya, yang berupa tanah

liar kosong, hutan belukar, dan sebagainya merupakan tanah domein bebas dari Kasultanan Yogyakarta – Kadipaten Paku Alaman.

Dengan dibentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1950, Propinsi DIY diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, salah satunya dalam bidang pertanahan. Untuk itu, dikeluarkan Perda No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di DIY, dimana hak atas tanahnya adalah sebagai berikut:

(1) Kotamadya

a) Tanah hak milik rakyat (hak andarbe) bds Rijksblaad No. 23 dan 25 Tahun 1925

b) Tanah hak barat (eigendom, opstal, dan hak pakai menurut hukum barat)

(10)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

60

d) Tanah pemerintah daerah (2) Kabupaten

a. Tanah hak milik bds Perda No. 5 tahun 1954 Pasal 4

b. Tanah hak barat c. Tanah SG dan PAG d. Tanah Pemerintah daerah

(3) Kelurahan/desa dengan penggunaan sebagai : a. Kas desa b. Tanah bengkok/lungguh c. Pengarem-arem d. Kepentingan umum

Dilanjutkan dengan keluarnya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria yang bersifat nasional, mendasarkan Diktum Ke-empat A yang menyatakan : “hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini dihapus dan beralih kepada negara”, dan menurut Diktum

Ke-empat B menyatakan bahwa

“pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”, namun sampai sekarang belum pernah ada, maka baru berlaku sebatas (1) tanah hak barat dan (2) selain ketentuan-ketentuan yang mengatur hak atas tanah dan pendaftaran tanah adat. Kemudian, pada tahun 1984, keluar Keppres No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY

yang diikuti beberapa Kepmendagri, diantaranya Kepmendagri No. 69 Tahun 1984 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Hak Milik Perorangan Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 1954. Mengacu pada Kepmendagri tersebut, maka semua tanah di DIY sudah dapat diberlakukan UUPA, kecuali tanah SG dan PAG.

III. METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian

Di dalam bukunya, Lexy J. Moleong (2001) menjelaskan bahwa dalam sebuah penelitian ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kuantitatif adalah metode penelitian yang didasarkan pada analisa perhitungan secara statistikal. Sedangkan metode kualitatif adalah metode penelitian yang analisanya didasarkan pada olah data, ditambah pengamatan dan wawancara yang outputnya berupa data diskriptif.

Dengan mempertimbangkan

tujuan, subyek, dan obyek studi yang ditetapkan, maka penelitian ini menggunakan metode pendekatan

INDUKTIF – KUALITATIF, dengan

bertumpu pada paradigma

(11)

61

pada penelitian yang dilakukan berawal dari pengamatan kasus di lapangan (dalam hal ini implementasi kebijakan mengenai sultanaat ground), bersifat eksploratif, dimana teori-teori tidak digunakan untuk

melakukan analisis, melainkan sekedar sebagai background untuk memahami dan mengarahkan fokus penelitian.

Gambar 1 Analisis Metode Induktif Kualitatif

IV. HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN PENGELOLAAN SULTANAAT GROUND

Sultanaat Ground sebagai bagian

dari Sultan Ground milik Kasultanan Yogyakarta yang dapat diakses oleh masyarakat umum, baik itu rakyat biasa, pihak swasta, maupun pemerintah, pengelolaannya merupakan kewenangan kraton sebagai lembaga Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa semua tanah di DIY sudah dapat diberlakukan UUPA, kecuali sultanaat ground dan PAG. Berdasarkan hal tersebut, maka pengelolaan Sultanaat

Ground sepenuhnya berdasarkan pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Kasultanan Yogyakarta.

Pengelolaan sultanaat ground yang akan dibahas pada subbab ini merupakan proses pengelolaan secara umum yang diterapkan kraton terhadap sultanaat ground di DIY.

Bentuk Pengelolaan oleh Kasultanan Yogyakarta dan Prinsip Hubungan Kraton dengan Pemakai Sultanaat Ground adalah “Pengakuan”

Secara mendasar, prinsip hubungan antara kraton dengan pihak pemakai sultanaat ground tersebut adalah adanya TEORI TEORI TEORI TEORI TEORI TEORI TEORI TEORI KONSEP KONSEP

TEMA TEMA TEMA

ui ui ui ui ui ui EMPIRIS

ABSTRAK

(12)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

62

pengakuan bahwa tanah yang ditempati oleh masyarakat itu adalah sultanaat ground. Intinya adalah sepanjang pemakai tanah itu mengaku bahwa tanah itu milik keraton. Hal ini sejalan dengan filosofi budaya jawa yang dianut oleh kraton, yaitu “hamemayu hayuning bawono”, yang secara harafiah diartikan mempercantik indahnya dunia. Dalam pengertian yang lebih hakiki adalah menjaga dan membangun keharmonisan kehidupan.

Hamemayu Hayuning Bawono

mengandung makna sebagai kewajiban melindungi, memelihara, serta membina

keselamatan dunia dan lebih

mementingkan berkarya untuk masyarakat dari pada memenuhi ambisi pribadi. Di dalam kaitannya dengan sultanaat ground ini memiliki makna bahwa kraton mempersilahkan tanah tersebut digunakan oleh siapa saja yang membutuhkan demi kesejahteraan rakyatnya, sehingga muncul ungkapan “tanah untuk rakyat”.

Meskipun demikian, di dalam mengelola sultanaat ground, kraton memiliki beberapa kebijakan, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatannya oleh masyarakat, seperti dalam ijin pemanfaataan dan ketertiban administrasi pemanfaatan atas tanah tersebut.

Sebagai bagian dari Sultan Ground yang diatasnya dapat diberikan hak dan dimanfaatkan oleh masyarakat umum,

Sultanaat Ground dapat diakses secara luas oleh masyarakat yang membutuhkan tanah, dengan status hak pakai atau pinjam pakai, jadi seolah-olah yang akan menggunakan itu menyewa pada kraton atau meminjam tanahnya untuk suatu kepentingan tertentu. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan yang dikeluarkan kraton yang tertuang di dalam perjanjian antara pihak kraton dengan pihak pemakai yang akan memanfaatkan Sultanaad Ground, yaitu “Surat Perjanjian Pinjam Pakai Tanah Milik Sri Sultan Hamengku

Buwono Karaton Ngayogyokarto

Hadiningrat” atau yang biasa disebut dengan “Surat Kekancingan Magersari”. Surat Kekancingan Magersari ini merupakan bentuk pengikat antara pemakai dengan empunya tanah, yaitu Kasultanan Yogyakarta, yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan di antara keduanya, mengenai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Perjanjian magersari ini merupakan wujud pengelolaan yang dilakukan oleh Kasultanan terhadap tanah-tanah yang

dimilikinya untuk mengontrol

pemanfaatannya.

Untuk mendapatkan surat perjanjian magersari tersebut, ada prosedur-prosedur tertentu yang harus dilalui oleh pihak calon pemakai melalui

(13)

63

Paniti Kismo. Begitu juga sebelum mengeluarkan surat kekancingan, ada beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh pihak kraton sebelum memberikan ijin pemanfaatan terhadap sultanaat ground yang dipilih bagi calon pemakai, seperti kondisi tanah setempat, kegiatan yang akan dilakukan di atas tanah itu, dan juga pertimbangan dari segi tata ruang daerah setempat.

Dalam hal ini, kondisi sultanaat ground yang dipilih oleh calon pemakai akan mempengaruhi jenis kegiatan yang dapat atau akan dilakukan di atasnya, apakah tanah tersebut cocok untuk pertanian, permukiman, atau usaha produktif yang lain. Dengan demikian, ketika kondisi tanahnya dirasa tidak sesuai untuk ijin pemanfaatan tertentu yang diajukan calon pemakai, maka bisa jadi ijin tersebut tidak akan turun, atau perlu ditinjau ulang maupun direkomendasikan untuk pemanfaatan yang lain.

Kraton Tunduk Pada Peraturan

Pemerintah Daerah

Di samping itu, jenis

kegiatan/aktivitas yang akan dilakukan tersebut sangat erat kaitannya dengan jenis pemanfaatan terhadap sultanaat ground yang bersangkutan dan di sisi lain, jenis pemanfaatan terhadap suatu lahan itu akan mempengaruhi tata ruang wilayah

setempat. Oleh karena itu, ketika mempertimbangkan ijin pemanfaatan untuk permohonan surat kekancingan magersari, pihak kraton juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat dalam hubungannya dengan tata ruang. Sebagai pemilik tanah, pihak kraton menyadari bahwa tanah miliknya secara administratif berada di dalam wilayah suatu pemerintahan tertentu. Mengingat luasan tanah yang tetap, sedangkan penghuninya terus bertambah dengan berbagai aktivitasnya, maka pemanfaatan sultanaat ground itu sendiri nantinya juga dapat mempengaruhi tata ruang wilayah setempat, sedangkan di sisi lain, yang bertanggung jawab mengenai tata ruang suatu wilayah adalah pemerintah daerah, sehingga diperlukan adanya koordinasi antara kraton dengan pemerintah daerah yang menjadi lokasi dari sultanaat ground yang bersangkutan supaya nantinya ijin pemanfaatan tanah yang dikeluarkan kraton tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah daerah mengenai tata ruang daerah setempat.

Jadi, ada kemungkinan surat kekancingan magersari ini tidak dapat turun/terpenuhi, apabila ketika ditinjau dari sisi tata ruangnya, permohonan pemanfaatannya tidak mendapatkan rekomendasi berdasarkan kebijakan dari pemerintah daerah setempat, atau bahkan

(14)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

64

mungkin, tanah yang akan dimohon tersebut direncanakan akan digunakan untuk kepentingan pemerintah sendiri, sehingga dengan pertimbangan lebih memprioritaskan pemanfaatan yang untuk kepentingan publik, maka ijin permohonan magersari tidak dapat diproses.

Setelah calon pemakai mengurus surat kekancingan magersari dan mulai semacam membayar biaya sewa atas pemanfaatan atas sultanaat ground yang dipakainya (untuk ketentuan administrasi dari pemakai kepada pemilik tanah. Hal ini juga bagian dari kebijakan kraton dalam mengelola tanahnya. Penertiban administrasi dilakukan juga dengan tujuan

mengontrol perkembangan

pemanfaatannya, apabila mungkin terjadi perubahan pemanfaatan ataupun adanya pengalihan hak pakai dari pemakai sebelumnya kepada pemakai yang baru.

Pemanfaatan Sultanaat Ground Memerlukan Surat Kekancingan Magersari dari Kraton

Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa untuk mengakses

sultanaat ground diperlukan adanya permohonan ijin pemanfaatan tanah tersebut kepada pemilik tanah, yaitu Kraton Ngayogyokarto, melalui lembaga kraton Paniti Kismo. Ijin pemanfaatan tersebut berupa Surat Kekancingan Magersari. Untuk mendapatkan surat perjanjian tersebut, ada prosedur-prosedur tertentu yang harus dilalui oleh pihak calon pemakai melalui Paniti Kismo. Dalam kaitannya dengan pemanfaataan ruang yang berdasarkan dengan kebijakan tata ruang daerah setempat, berdasar ketentuan dari Kasultanan, prosedur untuk mengurus surat Kekancingan itu sebelumnya terbagi menjadi dua, berdasar lokasi sultanaat ground yang disesuaikan dengan perkembangan ekonomi wilayahnya, yaitu untuk wilayah dengan pertumbuhan ekonomi cepat dan wilayah dengan pertumbuhan ekonomi biasa. Tahapan prosedurnya dapat dilihat pada bagan berikut :

Untuk pemrosesan surat

permohonan kekancingan yang masuk ke dalam paniti kismo itu sendiri, tahapannya

adalah sebagai berikut

Permohonan Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono sarto Kriyo Karaton Ngayogyokarto Paniti Kismo disposisi cek lapangan (ukur) Proses Surat Kekancingan

(15)

65

Gambar 2. Bagan Pemrosesan Permohonan Surat Kekancingan Magersari di Paniti Kismo (Terbaru / 2009 – sekarang)

Setelah selesai permohonan magersari diproses, calon pemakai dapat menempati sultanaat ground yang dipilih sesuai dengan jenis pemanfaatan yang tertera dalam kekancingan dan pengelolaan terhadap sultanaat ground itu sepenuhnya ada di tangan pemakai. Surat Kekancingan Magersari tersebut berlaku untuk pemakaian selama 10 tahun, setelah 10 tahun, nantinya dapat diperpanjang lagi. Hal tersebut ditetapkan seperti itu oleh pihak kraton untuk mengontrol pemanfaataan sultanaat ground yang dipakai oleh masyarakat umum, apabila terjadi perubahan dalam pemanfaatan maupun pemegang hak pakai.

Selain itu, kewajiban pemakai tidak hanya yang berhubungan dengan perijinan itu saja. Masih ada urusan administrasi dengan pihak kraton, sebagai pemilik tanah, yang harus dipenuhi. Urusan administrasi tersebut terkait dengan biaya sewa/pemakaian terhadap sultanaat ground , yang besarnya ditetapkan berdasar pada NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) setempat. Hal ini ditetapkan seperti itu supaya lebih realistis dan mengikuti perkembangan wilayah sekitar. Yaitu berupa pisungsung dan penanggalan, dimana pisungsung merupakan beaya suka

rela dari pemakai kepada keraton saat mengajukan permohonan hak atas sultanaat ground, sedangkan penanggalan merupakan beaya sewa yang harus dibayarkan per tahun dari pemakai kepada keraton.

Sedangkan untuk yang berupa lahan pertanian yang produktif dan

sejenisnya, diterapkan sistem bagi hasil antara pemakai/penggarap dengan pihak kraton tiap masa panen, yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Jadi, nanti sebagian hasil panennya diserahkan penggarap kepada kraton melalui lembaga pracimosono di dalam kraton. Di samping kewajiban administrasi kepada kraton, pemakai juga masih tetap dibebani oleh adanya pajak PBB, yang merupakan kewajiban terhadap pemerintah daerah setempat karena tanah dan bangunan yang ada di atasnya berada dalam wilayah pemerintahan yang bersangkutan.

Ketentuan Pemanfaatan Sultanaat Ground Kraton Tidak Membatasi Jenis Pemanfaatan Sultanaat Ground

Pada dasarnya, dari pihak Kasultanan Ngayogyokarto sendiri,

(16)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

66

sebagai pemilik tidak membatasi jenis pemanfaatan terhadap sultanaat ground yang dimohon untuk digunakan oleh masyarakat, baik itu untuk lahan terbangun ataupun tidak terbangun, termasuk lokasi dari sultanaat ground yang dimohon tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, selama lokasi dan pemanfaatan tanah tersebut sesuai dengan tata ruang wilayah setempat, mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah setempat dan lolos pertimbangan dari kraton, maka pasti diijinkan oleh kraton.

Hanya saja, untuk perubahan pemanfaatan harus dilakukan dengan sepengetahuan kraton. Hal ini, selain hubungannya dengan tata ruang, juga terkait dengan perubahan yang tertulis di dalam lembar magersari, sebagai salah satu kontrol dari kraton terhadap pemakaian sultanaat ground dan juga demi kepentingan pemakai sendiri ketika akan mengurus ijin tertentu atas kegiatan yang berlangsung di atas sultanaat ground tersebut, seperti untuk ijin usaha yang memerlukan rekomendasi pemilik.

Di samping itu, perubahan fungsi pemanfaatan nantinya juga akan berpengaruh terhadap kewajiban pemakai kepada kraton, yaitu dalam hal besaran penanggalan per tahunnya yang perhitungannya didasarkan pada besarnya

NJOP setempat. Oleh karena itu,

perubahan pemanfaatan harus

diberitahukan terlebih dahulu kepada pihak kraton, minimal pada saat pengurusan perpanjangan surat kekancingan magersari.

Selain perubahan pemanfaatan, hak pakai bagi pemegang surat kekancingan

magersari dapat dipindah

tangankan/dialihkan tapi harus dengan sepengetahuan kraton sebagai pemilik tanah. Jadi yang dapat berpindah hanya hak atas pakai tanahnya saja, bukan kepemilikan sultanaat ground . Ada dua

macam mekanisme perpindahan

/pengalihan hak pakai ini, yaitu lintir dan liyer.

Tidak Adanya Sanksi Terhadap Pelanggaran Kebijakan Kraton Mengenai Pemanfaatan Sultanaat Ground

Meskipun pihak kraton telah menetapkan beberapa kebijakan terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sultanaat ground miliknya, tetapi di dalam kenyataannya, kebijakan tersebut belum dapat berlaku secara sempurna di lapangan. Masih banyak terdapat proses-proses yang tidak sesuai dengan yang telah ditentukan kraton, baik itu karena faktor pengelolaan dari kraton sendiri, maupun dari faktor masyarakat sebagai pengguna tanah tersebut. Dikatakan oleh salah satu

(17)

67

staff Paniti Kismo, bahwa hal tersebut merupakan salah satu kelemahan dari pihak kraton yaitu sistem yang ada sampe saat ini masih longgar. Kraton kesulitan ngecek langsung ke lapangan, sumber daya pihak kraton terbatas, belum lagi tanah SG kan juga luas.

Di samping itu, faktor kurangnya informasi kepada masyarakat mengenai prosedur pemanfaatan dan juga bahkan ketidaktahuan masyarakat mengenai status tanah yang dipakainya tersebut juga berpengaruh terhadap tidak sempurnanya pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan oleh kraton. Sebagian besar kasus yang terdapat di lapangan adalah bahwa sultanaat ground tersebut sudah

dihuni terlebih dahulu oleh para pemakai, tanpa mengikuti prosedur yang sudah ada, baru kemudian, apabila tersedia informasi ataupun terjadi masalah yang berhubungan dengan tanah yang mereka tempati, pengajuan surat kekancingan magersari baru diurus.

Tidak adanya sanksi bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di lapangan juga menyebabkan rendahnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi kebijakan-kebijakan dalam pemanfaatan sultanaat ground itu. Karena prinsip yang dipegang keraton adalah keraton itu tidak akan meminta kecuali dikembalikan itulah yang disebut ‘sabda Pandita ratu’ ini secara hukum mengikat, tapi yang jelas tidak tegas dalam pemberian sanksi.

Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan oleh staff paniti kismo sebagaimana telah dikemukakan di awal, bahwa pada dasarnya, prinsip hubungan antara kraton dengan pihak pemakai sultanaat ground tersebut adalah adanya pengakuan bahwa tanah yang ditempati oleh masyarakat itu adalah sultanaat ground, itu sudah cukup bagi pihak kraton sebagai pemilik. Sebagai catatan, penempatan dan pemanfaatan sultanaat ground tanpa ijin dari kraton, disebut dengan “penguasaan”.

Hak dan Kewajiban Pemakai Sultanaat Ground

Salah satu kewajiban para pemakai sultanaat ground adalah memiliki Surat Kekancingan Magersari, dimana di dalamnya tercantum mengenai beberapa kewajiban dan hak pemakai. Di antaranya adalah:

a. Menerima sultanaat ground yang dimohon beserta segala keuntungan dan kerugian, serta beban-beban yang berhubungan dengan tanah tersebut; b. Menggunakan sultanaat ground yang

(18)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

68

diminta terhadap kraton sebagai pemilik dan dengan menjaga kepentingan pihak-pihak terkait; c. Berhak mendirikan bangunan di

atasnya sesuai dengan kepentingan yang ada;

d. Berkewajiban membayar administrasi per tahun kepada kraton selama memanfaatkan tanah tersebut.

Berkaitan dengan pembayaran administrasi tersebut, pihak kraton menentukan beberapa jenis biaya yang harus dipenuhi oleh pemakai, yaitu:

a. Pisungsung, merupakan biaya suka rela dari pemakai kepada kraton saat pertama kali mengajukan permohonan hak pakai atas sultanaat ground. Selama memanfaatkan sultanaat

ground tersebut, pembayaran

pisungsung hanya satu kali yang besarnya tergantung dari luas tanah dan lokasi tanah (kaitannya dengan NJOP setempat).

b. Penanggalan, merupakan biaya sewa yang harus dibayarkan per tahun dari pemakai kepada kraton. Perhitungan besarnya biaya sewa ini adalah sebagai berikut:

Pegangan Penghitungan Tarip Baru Penanggalan Magersari

(terhitung 23 November 2005)

a. Untuk luasan tanah kurang dari 150 m2, besarnya penanggalan setiap tahun adalah sebagai berikut :

b. Untuk luasan tanah lebih dari 150 m2, besarnya penanggalan setiap tahun adalah sebagai berikut :

Besarnya penanggalan ini ditetapkan sejak awal perjanjian magersari dibuat, jadi NJOP yang digunakan selama 10 tahun berikutnya adalah NJOP pada saat awal dikeluarkannya surat kekancingan magersari tersebut. Baru nanti setelah 10 tahun, apabila ada perubahan NJOP maka akan ditetapkan kembali sekaligus pada saat memperpanjang surat kekancingan magersari.

Selain penanggalan dan

diijinkannya adanya perubahan pemanfaatan, seperti pendirian bangunan di atasnya dengan sepengetahuan pihak kraton, hak pakai bagi pemegang surat

kekancingan magersari dapat

dipindahtangankan/dialihkan tapi harus dengan sepengetahuan kraton sebagai

(19)

69

pemilik tanah. Jadi yang dapat berpindah hanya hak atas pakai tanahnya saja, bukan kepemilikan sultanaat ground. Ada dua

macam mekanisme

perpindahan/pengalihan hak pakai ini, yaitu:

a. Lintir, yaitu melalui proses turun waris, dimana orang tuanya sebelumnya telah memiliki hak pakai atas sultanaat ground kemudian hak pakainya tersebut diwariskan kepada anaknya. Dari segi administrasi, proses lintir ini tidak memerlukan banyak biaya, hanya biaya untuk proses balik nama surat kekancingan magersari saja.

Untuk ketentuan mekanisme lintir selengkapnya, dapat dilihat pada bagian lampiran.

b. Liyer, ada dua proses untuk mekanisme liyer ini, yaitu sebagai berikut:

1) Jual beli; dalam hal ini, yang

diperjualbelikan bukan

tanahnya, melainkan hak pakai atas sultanaat ground. Perpindahan hak pakai atas sultanaat ground melalui proses ini cukup mahal dari segi administrasi, karena di samping biaya jual beli antara pemakai lama dengan pemakai baru, juga

dikenakan biaya dari kraton sebesar 15% dari harga jual beli hak pakai pada saat proses permohonan perubahan balik nama surat kekancingan magersari.

2) Turun waris; hampir sama dengan proses lintir, hanya saja dalam kondisi orang tua yang memiliki hak pakai asli atas sultanaat ground masih hidup, kemudian mewariskan hak pakainya kepada anaknya. Oleh karena

faktor pemegang surat

kekancingan magersari yang asli masih hidup, maka proses ini disejajarkan dengan proses pengalihan hak pakai secara jual beli. Sedangkan untuk biaya administrasi yang harus dipenuhi kepada kraton, karena proses ini adalah diwariskan dan bukan jual beli, maka untuk penentuan nominalnya adalah 15% dari NJOP setempat, tapi tidak harus besaran NJOP pada tahun yang sama saat proses turun waris itu dilangsungkan, melainkan dapat ditetapkan dari NJOP tahun-tahun sebelumnya, berdasarkan

proses mufakat secara

(20)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

70

Hubungan Pemakai dengan Pemerintah Daerah dalam Beraktivitas di Atas Tanah Sultanaat Ground (Cenderung Terabaikan)

Walaupun sultanaat ground merupakan tanah milik kasultanan, namun masyarakat yang memanfaatkan tanah tersebut beraktivitas di dalam suatu wilayah administratif pemerintahan tertentu. Oleh karenanya, dalam melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sultanaat ground, selain harus diketahui oleh pemilik tanah, juga ada beberapa ketentuan yang mengharuskan pemakai tanah untuk berhubungan dengan pemerintah daerah setempat.

Beberapa ketentuan tersebut diantaranya adalah untuk kegiatan berikut:

a. Izin Mendirikan Bangunan

Termasuk di dalamnya adalah kegiatan mendirikan, mengubah, dan membongkar bangunan. Baik untuk bangunan perumahan maupun non perumahan.

b. Izin Gangguan

Merupakan izin tempat usaha orang pribadi/badan hukum di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, gangguan dan kerugian. Biasanya untuk kegiatan-kegiatan non-rumah tangga.

c. Izin Usaha

Merupakan izin yang diberikan kepada orang pribadi atau badan untuk mendirikan dan menjalankan tempat usaha komersial ataupun industri. d. Izin Pemanfaatan Tanah

Yaitu izin peruntukan penggunaan tanah yang wajib dimiliki orang pribadi dan atau badan yang akan melaksanakan kegiatan dan atau kegiatan yang mengakibatkan perubahan peruntukan tanah pada bangunan/usaha yang dilakukan. Jadi, setelah calon pemakai selesai mengurus permohonan surat kekancingan magersari di kraton, maka beberapa ketentuan dari pemerintah di atas seharusnya dipenuhi terlebih dahulu sebelum melakukan dan atau merubah kegiatan di atas sultanaat ground yang bersangkutan. Hal ini salah satunya sebagai fungsi kontrol pemanfaatan ruang dalam wilayah pemerintahan yang bersangkutan.

Demikian, adanya berbagai koordinasi tersebut ditujukan sebagai upaya pengendalian pemanfaatan lahan, terutama untuk wilayah dengan perkembangan ekonomi cepat dan juga agar tidak terjadi kesalahpahaman (terutama dalam hal kepentingan

(21)

71

pemanfaatan) antara pihak kraton, pemakai, dan juga pemerintah sendiri.

PEMANFAATAN SULTANAAT

GROUND DI KECAMATAN

GAMPING

Pada dasarnya, pemanfaatan sultanaat ground ini merupakan salah satu bentuk pengelolaan dari tanah itu sendiri yang dilakukan oleh masyarakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub bab pengelolaan sultanaat ground, bahwa ketika tanah itu telah dipakai atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum, maka secara otomatis, hak pengelolaan terhadap tanah itu sepenuhnya ada di tangan pemakai, tentu saja seharusnya dengan sepengetahuan pihak pemilik, yaitu Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Pemanfaatan sultanaat ground ini pada dasarnya tidak dibatasi oleh pemiliknya, selama sesuai dengan aturan tata ruang yang berlaku di daerah setempat dan juga tidak menimbulkan konflik kepentingan dengan berbagai pihak. Untuk dapat mengakses sultanaat ground ini, seharusnya calon pemakai memohon ijin terlebih dahulu kepada pemiliknya, sehingga memperoleh Surat Kekancingan Magersari yang dikeluarkan oleh kraton melalui lembaga paniti kismo, sebagai tanda bukti yang sah atas ijin pemakaian tanah tersebut. Namun, meskipun

demikian, melihat dari luasnya sultanaat ground yang ada

Merupakan izin yang diberikan kepada orang pribadi atau badan untuk mendirikan dan menjalankan tempat usaha komersial ataupun industri. Hubungan Pemakai dengan Pemerintah Daerah dalam Beraktivitas di Atas Tanah Sultanaat Ground (Cenderung Terabaikan)

Walaupun sultanaat ground merupakan tanah milik kasultanan, namun masyarakat yang memanfaatkan tanah tersebut beraktivitas di dalam suatu wilayah administratif pemerintahan tertentu. Oleh karenanya, dalam melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sultanaat ground, selain harus diketahui oleh pemilik tanah, juga ada beberapa ketentuan yang mengharuskan pemakai tanah untuk berhubungan dengan pemerintah daerah setempat.

Ragam Pemanfaatan Sultanaat Ground

Berdasarkan data dan pengamatan di lapangan, sultanaat ground yang ada di Kecamatan Gamping dimanfaatkan dalam berbagai bentuk di dalam fungsi sebagai kawasan budidaya, baik itu terbangun maupun tidak terbangun. Sedangkan untuk kawasan lindung adalah sultanaat ground

(22)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

72

yang terletak di pinggir bantaran sungai ataupun pinggir jalur rel kereta api yang berfungsi sebagai sempadan sungai atau sempadan rel. Beberapa sultanaat ground yang tercatat di data sekunder dan peta desa lama ada yang sudah berkurang luasnya atau bahkan hilang sama sekali karena terkena erosi sungai ataupun pelebaran jalan. Di samping itu, ada juga beberapa pemakaman umum yang tercatat sebagai sultanaat ground pada data sekunder.

Masyarakat Memanfaatkan Sultanaat Ground untuk Berbagai Kegiatan

Sultanaat ground dalam bentuk terbangun sebagian besar dimanfaatkan dengan fungsi permukiman. Selain itu, ada juga yang digunakan sebagai tempat usaha, fungsi mix-use antara rumah tinggal – tempat usaha atau rumah tinggal – kantor, dan ada juga yang dimanfaatkan sebagai fasilitas sosial, seperti tempat ibadah.

1) Permukiman

Kecenderungan pemanfaatan sultanaat ground di Kecamatan Gamping dengan fungsi ini dapat terlihat pada beberapa blok yang di sekitarnya padat permukiman ataupun dekat dengan pusat aktivitas ekonomi, pendidikan, dan kemudahan akses transportasi

utama, seperti yang ada di sekitar ringroad barat dan selatan (dekat

dengan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta dan berbatasan langsung dengan STIKES A. Yani Yogyakarta), sekitar Pasar Gamping dan Pasar Induk Buah dan Sayur Gamping. Di samping itu, ada pula perumahan di Desa Balecatur

yang didirikan oleh

pengembang/developer

perumahan di atas satu blok sultanaat ground, hanya saja letaknya cukup jauh dari jalan utama (Jalan Wates) dan berada di lereng pegunungan, yang jika ditinjau dari segi ekonomis, akan lebih murah jika dibandingkan dengan perumahan yang terletak di dekat jalan utama.

2) Tempat usaha

Pemanfaatan sultanaat ground sebagai tempat usaha pada dasarnya letaknya menyatu dengan kawasan permukiman di sekitarnya karena tidak begitu dominan di Kecamatan Gamping. Adapun usahanya, diantaranya adalah industri kecil, seperti bakpia dan oleh-oleh khas jogja

yang terletak di Desa

(23)

73

pemiliknya memasarkan hasil produksinya dengan membuka toko sendiri di dekat pasar Gamping di pinggir Jalan Wates, tapi dengan status tanah hak milik. Selain itu, ada juga perusahaan furniture “Matarindo,

Kontraktor Interior dan

Furniture” yang berada di Dusun Dowangan, Desa Banyuraden, terletak di pinggir jalan ringroad barat.

3) Mix-use

Sama halnya dengan sultanaat

ground yang dimanfaatkan

sebagai tempat usaha, fungsi mix-use yang dipilih oleh pemakai letaknya menyatu dengan kawasan permukiman. Sebagian besar yang memanfaatkan dengan bentuk ini biasanya berupa

perpaduan tempat usaha

(perdagangan/jasa) dengan tempat tinggal, dimana usahanya adalah sektor informal, seperti toko-toko

kecil yang menyediakan

kebutuhan bagi masyarakat sekitar, sebagai contohnya adalah yang berada di kompleks permukiman sultanaat ground di berbatasan dengan STIKES A. YANI (Dusun Gamping Kidul), ada yang memanfaatkannya

sebagai tempat tinggal sekaligus warung makan dan wartel yang salah satunya menyediakan kebutuhan bagi mahasiswa STIKES dan juga untuk warga sekitar.

Selain perpaduan tempat usaha (perdagangan/jasa) dengan tempat tinggal, ada juga yang berupa perpaduan antara kantor dengan tempat tinggal, seperti yang ada di pinggir jalan ringroad barat Dusun Dowangan, Desa Banyuraden, Law Office Achiel Suyanto, S. & Partner, yang juga digunakan sebagai tempat tinggal.

4) Fasilitas sosial

Fasilitas sosial yang didirikan di atas sultanaat ground diantaranya berupa bangunan tempat ibadah, seperti masjid yang ada di Dusun Gamping kidul dan gereja di Dusun Gamping Tengah, Desa

Ambarketawang. Untuk

pemanfaatan dalam bentuk ini, biasanya merupakan koordinasi bersama antarwarga setempat. Selain tempat ibadah, di Dusun Jatisawit, Desa Balecatur ada beberapa blok sultanaat ground yang dikelola oleh Yayasan Taman Makam Wiratama 45 yang

(24)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

74

dimanfaatkan sebagai Taman Makam Pejuang 45 (TMP 45). Di Desa Trihanggo, ada juga

sultanaat ground yang

dimanfaatkan sebagai fasilitas pendidikan, yaitu Sekolah Dasar, dimana dulunya tempat tersebut dimanfaatkan sendiri oleh pihak kraton, “Sultanaat School”. Begitu juga dengan yang di Desa Ambarketawang, ada blok

sultanaat ground yang

peruntukannya sebagai fasilitas pendidikan, yaitu Sekolah Dasar Gamping 1.

Pemanfaatan Sultanaat Ground dalam Bentuk Pertanian Tidak Memerlukan Surat Kekancingan Magersari

Sultanaat ground dalam bentuk tidak terbangun biasanya digunakan dengan fungsi pertanian, yang dapat berupa pertanian lahan basah, seperti sawah (padi), maupun pertanian lahan kering, seperti ladang ataupun tegalan. Selain itu, ada beberapa sultanaat ground yang digunakan sebagai kolam ikan yang dikelola oleh warga setempat dengan memanfaatkan lahan pertanian yang sudah tidak produktif. Pemanfaatan sultanaat ground yang seperti ini biasanya tidak memerlukan surat kekancingan magersari

untuk dapat mengaksesnya, cukup dengan meminta ijin ke kraton ataupun pemerintah desa untuk dapat menggarapnya. Sedangkan sebagai timbal baliknya, diadakan pembagian hasil dari pengelolaan pertanian tersebut, antara penggarap dengan pihak kraton sebagai pemilik ataupun pemerintah desa sebagai salah satu bentuk pengakuan bahwa tanah yang digarapnya bukan tanah milik pribadi.

V. KESIMPULAN

1. Pengelolaan sultanaat ground yang dilakukan oleh kraton meliputi menetapkan kebijakan (kearifan lokal) pemanfaatan sultanaat ground, diantaranya dengan mengeluarkan surat kekancingan magersari sebagai pemberian hak pemanfaatan atas tanah tersebut. Di samping itu, kraton juga memberikan beberapa kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membantu pengelolaan sultanaat ground melalui surat kewenangan

khusus, seperti memberikan

rekomendasi ijin pemanfaatan atas sultanaat ground. Namun secara khusus, kraton tidak mengawasi pemanfaatan tanahnya, karena setelah tanah itu digunakan oleh masyarakat, maka kewajiban terhadap tanah tersebut menjadi tanggung jawab pemakai.

(25)

75

2. Adanya kemudahan akses terhadap tanah tersebut jika dibandingkan dengan tanah biasa pada umumnya menyebabkan pemakai lebih tunduk kepada kraton dibanding pemerintah setempat, sehingga tidak terlalu mementingkan aspek legalitas. Kemudahan tersebut menjadi salah satu bentuk konkret dari prinsip “tanah untuk rakyat” yang dianut kraton sebagai pemilik tanah. Secara umum, masyarakat mengakui tanah tersebut sebagai tanah kagungan dalem dan meskipun kebijakan (kearifan lokal) pemanfaatannya tidak dijalankan sepenuhnya oleh pemakai.

3. Pada dasarnya, selain adanya bentuk “pengakuan” yang dikehendaki oleh kraton bagi siapapun yang memanfaatkan tanahnya, kraton sendiri tidak akan meminta tanah itu kembali kecuali dikembalikan oleh pemakainya. Dengan prinsip kraton tersebut,

masyarakat pengguna merasa

dilindungi oleh kraton ketika memanfaatkan sultanaat ground, terutama bagi yang memiliki surat kekancingan magersari, karena dengan memiliki surat tersebut sudah dapat dianggap legal memempati tanah itu dan pemerintah daerah sendiri juga tidak dapat mengusik hak atas tanah itu, kecuali pemanfaatannya

bertentangan dengan aturan tata ruang. Bahkan, sekalipun mereka mengakses tanah itu dengan cara yang bertentangan dengan kebijakan (kearifan lokal) yang telah ditentukan kraton, pemakai masih merasa terlindungi. Tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran yang ada dianggap sebagai bentuk penjamin keamanan menempati sultanaat ground, yang oleh pemiliknya dibebaskan untuk jenis kegiatan apapun selama tidak bertentangan dengan tata ruang setempat.

4. Di dalam implementasinya, prinsip kearifan lokal yang dilakukan oleh kraton ini merupakan salah satu bentuk “pengayoman” atau kebaikan kraton terhadap rakyatnya dan diterima oleh rakyatnya. Hal ini sebagai bentuk

identitas kraton terhadap

keberadaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Hak Atas Tanah Kraton Kasultanan Yogyakarta- Kadipaten Pakualaman.

BPN, Yogyakarta.

Anonim. 2002. Kronologis Riwayat Pertanahan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(26)

Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76

76

BPN. Yogyakarta.

Anonim. 2002.Sejarah dan Struktur Pertanahan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

BPN. Yogyakarta.

Chapin, F. Stuart Jr, Edwar J. Kaise. 1979. Urban Land Use Planning, University of

Illionis Press Urban Chicago. London.

Geertz , C. 1992. Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta. Gobyah. I. Ketut 2003. Berpijak Pada Kearipan Lokal, www.bali pos.co.id. Imam.S.Ernawi.Makalah Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Hermonisasi

Penataan Ruang dan Budaya Untuk Mengoftimalkan Potensi kota. Maleong Lexy.K.2006. Metodologi Penelitian Kualitatif.PT. Remaja

Rosdakarya.Bandung

Ridwan, NA. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal . IBDA,Vol 5, No,1 Januari-Juni

(27)

77

Gambar

Gambar 1 Analisis Metode Induktif Kualitatif  IV.  HASIL PENELITIAN DAN

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya dilakukan formulasi sediaan emulgel mengandung fraksi etil asetat KBKM menggunakan formula basis FA dengan minyak zaitun sebagai fasa minyak. Formulasi emulgel

Dalam hal ini akan dilihat pengaruh modal sosial terhadap pertalian usaha yang mengkaji karakteristik modal sosial pada klaster yang difokuskan terhadap jaringan

Faktor kegiatan manusia yang dapat menyebabkan banjir adalah adanya pemukiman liar di daerah bantaran sungai, penggunaan alih fungsi resapan air untuk pemukiman, tata kota yang

Once upon a time, Roro Anteng and Joko Seger lived on the foot of Mount Bromo.. After six years of marriage, they had not had

Pekerjaan : Siring timbun jalan lingkungan menuju kuburan RT1. Nama Perusahaan/Alamat

Berdasarkan RTRW tersebut pemanfaatan ruang seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, pelabuhan dan pemukiman di wilayah pesisir ini hanya boleh dilakukan

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Antara Keterampilan Mengajar Guru Dengan Motivasi Belajar. Variabel Penelitian ini mengunakan variabel bebas,

Dari hasil tersebut rata-rata menghasilkan kandungan energi diatas 4.000 kal/gr, hal ini telah membuktikan bahwa biorang dari sampah kehutanan (daun jati) dan sampah