• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Arus) dengan Hasil Tangkapan lkan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Arus) dengan Hasil Tangkapan lkan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda"

Copied!
242
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)

HUBUNGAN KONDlSl OSEANOGRAFI

(SUHU PERMUKAAN LAUT, KLOROFIL-A DAN ARUS)

DENGAN HASlL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KEClL

Dl PERAIRAN SELAT SUNDA

KHAIRUL AMRl

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(128)

ABSTRAK

Khairu~l Amri. Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a

dan Arus) dengan Hasil Tangkapan lkan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda.

Dibaw<ah bimbingan Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc dan Dr. Ir. Vincentius P.

Siregar, DEA.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendiskripsikan kondisi oseanografi dalam

bentuk sebaran suhu permukaan laut (SPL), klorofil-a dan arus perairan Selat Sunda selama~ satu siklus (empat musim); dan 2) menganalisa hubungan antara kondisi

oseanografi dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil berdasarkan data hasil

tangkapan selama pengamatan mulai Agustus 2000 sampai dengan Juli 2001. Data

yang digunakan terdiri dari data oseanografi dan data hasil tangkapan ikan pelagis

kecil. Data oseanografi terdiri dari dua data yaitu data hasil pengukuran in-situ dan data hasil pengukuran sensor satelit. Data hasil pengukuran in-situ yang digunakan adalah

data CTD selama pelayaran Kapal Riset KAL Baruna Jaya IV BPPT 25 Oktober-10 November 2000 dan KR Baruna Jaya Vlll LIP1 10-23 Juli 2001. Data hasil pengukuran

satelit yang digunakan yaitu: 1) data SPL hasil pantauan sensor AVHRR (Advanced

Very High Resolution Radiometer) satelit NOAA (National Oceanic anda Atmospheric

Adminsitration); 2) data sensor SeaWlFS (Seaviewing Wide Field -of-view Sensor)

satelit Seastar untuk melihat sebaran klorofil-a, dan 3) data simulasi pola arus hasil

penguk~uran satelit TopexIPoseidon. Data hasil tangkapan ikan pelagis diperoleh dari

kapal rnini purse seine berupa data hasil tangkapan ikan tongkol, kembung, banyar,

bentonlg, tembang dan layang. Metode penelitian yang digunakan adalah secara deskripltif.

Secara umum bila dibandingkan antara SPL hasil pengukuran satelit dengan

hasil pengukuran in-situ, terlihat adanya sedikit perbedaan kisaran suhu perairan pada

beberapa tempat, dan juga ada kesamaan di tempat lain. Berdasarkan citra satelit

terlihat nilai SPL Selat Sunda secara umum sedikit lebih tinggi jika dibandingkan

dengar) hasil pengukuran in-situ, atau dengan kata lain perairannya terlihat lebih

hangat. Namun pola sebaran SPL dari kedua jenis pengamatan menunjukan adanya

kemiripan, dimana massa air hangat berada di sebelah timur atau utara selat dan massa air yang lebih dingin berada di bagian selatan dan barat selat. SPL pada musim

(129)

lainnya. Hal yang sama juga terlihat pada hasil pengukuran salinitas, dimana pada MP

D

dan musim timur (MT) salinitas lebih tinggi masing-masing 32,7-33,7 %O dan 31,4-32,6

%o, sementara pada MB dan MP I salinitas lebih rendah yaitu 31.0%0 (rata-rata bulanan)

Perbeclaannya terletak pada pola sebarannya, dimana massa air yang bersalinitas

tinggi telihat berada di bagian barat dan selatan selat (Samudera Hindia) sementara

massa air yang bersalinitas rendah berada di bagian utara dan timur selat (Laut Jawa).

Dari citra klorofil-a terlihat bahwa tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di Selat Sunda

sangat dipengaruhi oleh aliran massa air yang berasal dari Laut Jawa yang mengandung klorofil-a dengan konsentrasi tinggi disamping asupan unsur-unsur hara

dari sungai yang bermuara di sekitar Selat Sunda dan juga proses upwelling. Musim

peralih,an II (MP 11) dan MT merupakan musim dengan tingkat kesuburan yang tinggi,

MB merupakan musim yang tingkat kesuburannya rendah.

Hasil tangkapan ikan pelagis perbulan tertinggi terjadi pada bulan Juni sementara hasil tangkapan tertinggi permusim terjadi pada musim timur. Hasil

tangkaipan terendah pada musim barat. Jumlah trip (upaya penangkapan) tertinggi

terjadi loada MT sementara trip terendah pada MP.

Berdasarkan sebaran kapal di lokasi fishing ground (FG) diketahui bahwa

operasi penangkapan terbanyak pada MP II dilakukan pada perairan dengan kisaran

suhu 29,O-29,5 OC, salinitas 33,2-33,3 %O (Oktober) dan kandungan klorofil-a tinggi

sekitar 1,O-3,O mg/m3. Pada MB operasi penangkapan terbanyak dilakukan pada

perairan dengan kisaran suhu 27,O-28,O OC dengan kandungan klorofil-a rendah sekitar

0,l-1,O rngl m3

.

Pada MP I operasi penangkapan terbanyak dilakukan di perairan

dengarr kisaran suhu 28,O-29,O OC dan kandungan klorofil-a sedang 1,O-2,O mgl m3.

Sementara pada MT operasi penangkapan terbanyak dilakukan pada perairan dengan

kisaran suhu 29,O-30,O OC, salinitas 31 $6-31,8 %O (Juli) dan kandungan klorofil-a tinggi

sekitar 2,O-3,5 mgl m3

.

Dari analisa hubungan antara kondisi oseanografi dengan hasil tangkapan ikan

pelagis kecil terlihat bahwa dengan kondisi SPL optimum dan kandungan klorofil-a tinggi yang berarti kesuburan perairan tinggi, maka hasil tangkapan ikan pelagis juga tinggi. Disamping itu, tinggi rendahnya kadar salinitas dan pola pergerakan massa air

(130)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:

"Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Arus)

dengan Hasil Tangkapan lkan Pelagis Kecil d i Perairan Selat Sunda"

adalah benar merupakan hasil karya Saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.

Semuai sumber data dan informasi yang digunakan secara jelas dan dapat diperiksa

kebenarannya.

(131)

HUBUNGAN KONDlSl OSEANOGRAFI

(SUHU PERMUKAAN LAUT, KLOROFIL-A DAN ARUS)

DENGAN HASlL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KEClL

Dl PERAIRAN SELAT SUNDA

KHAIRUL AMRl

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Dalam Bidang Teknologi Kelautan

Pada Program Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(132)

Judul Tesis : Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Arus) dengan Hasil Tangkapan lkan Pelagis Kecil d i Perairan Selat Sunda

Nania Mahasiswa : Khairul Amri Nonior Pokok : 99599

Program Studi : Teknologi Kelautan

Menyetujui :

Dr,, Ir. Diisman Manurunn, M.Sc. z t u a

2. Ketua Program Studi

/ *

F'rof. Dr.lr. Daniel R. Monintia

-

Tanggal Lulus : 29 April 2002

(133)

Penulis dilahirkan pada tanggal 05 Juni 1967 di Tungkar, Payakumbuh,

Sumatera Barat. Anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Khairuddin Am.

(ayah) dan ibu Syahrian (almarhumah). Pada tanggal 17 September 1999 penulis

menikah dengan Nia Tini Sabrani dan dikarunia seorang putra lahir 28 Juni 2000 yang diberi rtama Raihan Pujarestu.

Menyelesaikan pendidikan dasar pada SD Negeri Tungkar, Payakumbuh tahun

1981 dan SMP Negeri Situjuh, Payakumbuh tahun 1984. Selanjutnya penulis

meneruskan pendidikan pada Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SPP-SUPM)

Negeri Bogor dan lulus tahun 1987. Setamat dari SUPM Negeri Bogor penulis bekerja

sebagai "aquaculturist" pengembangan tambak udang intensif PT. Migratirta Saranindo

di Larripung hingga tahun 1990. Tahun 1991 penulis melanjutkan pendidikan pada

Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Satya

Negara Indonesia (USNI) di Jakarta. Sambil melanjutkan kuliah penulis bekerja sebagai

staf retJaksi Majalah Agrisbisnis "Tumbuh" dan menulis pada berbagai media massa di

Jakarta. Setelah meraih gelar sarjana, pada Mei 1998 penulis bergabung dengan

Kompetensi Inti (KI) lnderaja (Core Competence-Remote Sensing) pada Laboratorium Remotle Sensing & GIs, Direktorat Teknologi lnventarisasi Sumberdaya Alam, Badan

Pengkiajian dan Penerapan Teknologi (Dit. TISDA-BPPT).

Pada tahun 1999 penulis yang juga menjadi dosen luar biasa pada

almamaternya ini mendapatkan beasiswa internal KI lnderaja Dit.TISDA-BPPT untuk melanjutkan pendidikan S-2 pada Program Studi Teknologi Kelautan (TKL), Program

Pascasarjana IPB. Pada 29 April 2002 penulis dinyatakan lulus dengan gelar Magister

Sains.

(134)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

rahmat dan ridha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan

penyuslman tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapatan terima kasih yang tulus

kepada Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc dan Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA sebagai

dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingannya selama perkuliahan,

penelitian sampai penulisan hingga tersusunnya tesis ini. Ir. Nani Hendiarti, M.Sc

beserta jajaran pimpinan Dit. TISDA-BPPT yang telah memberikan beasiswa internal.

Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan dan

Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto selaku Direktur Program Pascasarjana IPB. Bapak

Atung tiendi staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Dati ll Pandeglang, Bapak Yayat

Hidayat dan Bapak Djamhari selaku Kepala TPI Labuan dan Bapak Dono (Nahkoda

K.M. "Sri Maju") beserta ABK yang telah memberikan kemudahan dan tumpangan

selama pelayaran dan pengambilan data di Selat Sunda.

Tak lupa kepada isteri terkasih Nia serta belahan jiwaku ananda Raihan

Pujarestu yang banyak terabaikan selama penyelesaian studi ini. Saya hanya bisa

berdoa semoga semua pengorbanan ini tercatat dalam fitrah illahi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2002

(135)

DAFTAR IS1

Halaman PRAIWTA

...

viii DAF-TAR IS1

...

ix DAF-TAR GAM BAR

...

xi DAFTAR TABEL

...

xii

...

DAFTAR LAMPIRAN xiii

...

1

.

F'ENDAHULUAN

1

.

1

.

Latar Belakang

...

...

1.2. Perumusan Masalah

...

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

LANDASAN TEORlTlS

...

2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Sunda

...

2.2. Sumberdaya lkan Pelagis

...

2.2.1. lkan Kembung

...

...

2.2.2. lkan Banyar

2.2.3. lkan Tembang

...

2.2.4. lkan Selar Bentong

...

2.2.5. IkanTongkol

...

...

2.2.6. lkan Layang

2.3. Kondisi Oseanografi Perairan

...

2.3.1. Suhu

...

...

2.3.2. Salinitas

...

2.3.3. Klorofil-a

2.4. Citra Satelit

...

2.4.1. Citra Suhu Permukaan Laut

...

2.4.2. Citra Produktifitas Primer

...

21.5. Alat Tangkap

...

3

.

METODE PENELlTlAN

...

22 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

...

22
(136)

3.3.1

.

Data oseanografi

...

...

3.3.2. Data hasil tangkap

...

:3.4. Metode Analisis Data

3.4.1. Data in-situ

...

...

3.4.2. Citra satelit

...

3.4.2.1. Citra SPL

...

3.4.2.2. Citra Klorofil-a

3.4.2.3. Pola arus

...

...

3.4.3. Data hasil tangkapan

...

:3.5. Hubungan Kondisi Oseanografi Dengan Hasil Tangkapan

4

.

OSEANOGRAFI SELAT SUNDA

...

...

4.1. Suhu Permukaan Laut

...

4.1.1. SPL Pengukuran Satelit

...

4.1.2. SPL in-situ

4.2. Klorofil-a

...

4.3. Salinitas

...

...

4.4. Curah Hujan

...

4.5. Pola Arus Permukaan

DAERAH PENANGKAPAN DAN HASlL TANGKAPAN

...

!j.l. Peta Daerah Penangkapan

...

!j.2. Trip Penangkapan

...

!j.3. Sebaran Kapal di Daerah Penangkapan

...

!5.4. Hasil Tangkapan lkan Pelagis

...

5.4.1. IkanTongkol

...

5.4.2. lkan Kembung

...

5.4.3. lkan Banyar

...

5.4.4. lkan Tembang

...

...

5.4.5. lkan Bentong

(137)

...

6

.

HUBUNGAN KONDlSl OSEANOGRAFI DENGAN TANGKAPAN 106
(138)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1

.

Peta Lokasi Penelitian

...

2

.

J~enis-jenis ikan pelagis yang menjadi objek penelitian

...

3

.

Cliagram alir penelitian

...

4

.

S'PL bulan Agustus

...

5

.

StPL bulan September

...

6

.

SPL bulan Oktober

...

7

.

SPL bulan November

...

8

.

SPL bulan Desember

...

9

.

SPL bulan Januari

...

10

.

SPL bulan Pebruari

...

11

.

S;PL bulan Maret

...

12

.

S;PL bulan April

...

13

.

S;PL bulan Mei

...

14

.

S;PL bulan Juni

...

15

.

S;PL bulan Juli

...

16

.

Siebaran mendatar SPL In-situ Musim Peralihan II

...

17

.

Sebaran menegak SPL In-situ Musim Peralihan II

...

18

.

Sebaran mendatar SPL In-situ Musim Timur

...

...

19

.

Sebaran menegak SPL In-situ Musim Timur

20

.

C:itra Klorofil-a Musim Peralihan II

...

21

.

C:itra Klorofil-a Musim Barat

...

22

.

Ciitra Klorofil-a Musim Peralihan I

...

23

.

C:itra Klorofil-a Musim Timur

...

24

.

Siebaran Mendatar Salinitas Musim Peralihan II

...

25

.

Siebaran Menegak Salinitas Musim Peralihan II

...

26

.

Siebaran Mendatar Salinitas Musim Timur

...

27

.

S;ebaran Menegak Salinitas Musim Timur

...

...

.

28 F'luktuasi Curah Hujan di Stasiun Pengukuran Lampung

(139)

31

.

F'ola Arus data TopexlPoseidon Musim Peralihan II

...

32

.

F'ola Arus Data Pengukuran In-situ Musim Peralihan II

...

33

.

F'ola Arus data TopexlPoseidon Musim Barat

...

34

.

F'ola Arus data TopexlPoseidon Musim Peralihan I

...

35

.

F'ola Arus data TopexlPoseidon Musim Timur

...

36

.

F'eta Daerah Penangkapan lkan per 10 mil2 di Selat Sunda

...

37

.

FZluktuasi Trip Mini Purse Seine Agustus 2000 s.d Juli 2001

...

38

.

Perbandingan Trip Sepuluhharian Purse Mini Seine 2001

...

39

.

Total Trip Penangkapan 2000-2001

...

40

.

Sebaran Kapal Mini Purse Seine Musim Peralihan II

...

41

.

Sebaran Kapal Mini Purse Seine Musim Barat

...

42

.

Sebaran Kapal Mini Purse Seine Musim Peralihan I

...

43

.

Sebaran Kapal Mini Purse Seine Musim Timur

...

44

.

I-lasil Tangkapan Bulanan Tongkol Agst-Des 2000

...

45

.

Hasil Tangkapan Sepuluh harian Tongkol Jan-Jul 2001

...

46

.

tiasil Tangkapan Bulanan Kembung Agst-Des 2000

...

...

47

.

tiasil Tangkapan Sepuluh harian Kembung Jan-Jul 2001

48

.

tiasil Tangkapan Bulanan Banyar Agst-Des 2000

...

49

.

liasil Tangkapan Sepuluh harian Banyar Jan-Jul2001

...

...

50

.

tiasil Tangkapan Bulanan Tembang Agst-Des 2000

51

.

tiasil Tangkapan Sepuluh harianTembang Jan-Jul 2001

...

52

.

tiasil Tangkapan Bulanan Bentong Agst-Des 2000

...

...

53

.

tiasil Tangkapan Sepuluh harian Bentong Jan-Jul 2001

54

.

tiasil Tangkapan Sepuluh harian Layang Jan-Jul 2001

...

...

55

.

Fluktuasi CPUE lkan Pelagis Agustus 2000 s.d Juli 2001

.

...

56

.

Perbandingan Tangkapan lkan Pelagis Agst 2000-Juli 2001

...

.

57 Pola Ruaya lkan Layang Musim Barat (Hardenberg, 1937)

...

.

58 Pola Ruaya lkan Layang Musim Timu (Hardenberg, 1937)

(140)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1

.

C:itra SPL NOAA-AVHRR Terpilih

...

28

2

.

C:urah Hujan Rata-rata (mm) Bulanan Perairan Selat Sunda

...

75

3

.

F'eriode Bulan Purnama Selama Januari s.d Juli 2001

...

89

4

.

Jumlah Total Trip Penangkapan Permusim Kapal Mini

...

90

5

.

F!ingkasan Kondisi Oseanografi Selat Sunda

...

108
(141)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1

.

F'osisi Stasiun CTD Musim Peralihan II

...

122 2

.

F'osisi Stasiun CTD Musim Timur

...

123

3

.

F'osisi Stasiun Pengukuran Curah Hujan

...

124

...

4

.

Jumlah Hasil tangkapan lkan Pelagis Agst 2000-Juli 2001 125

...

(142)

1

.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Selat Sunda merupakan selat yang dinamis, terletak di antara Pulau Sumatera

dan P ~ ~ l a u Jawa dimana massa air Laut Jawa bercampur dengan massa air yang

berasal dari Samudera Hindia. Luas perairan lebih kurang 8.138 km2. Berbentuk

seperti corong, dimana bagian utara lebih sempit (k 24 km) dan lebih dangkal (1 80m),

sedangkan bagian selatan memiliki lebar sekitar 100 km dan kedalaman mencapai

1575 rn (Birowo, 1983). Pada bagian selatan Selat Sunda perairannya sangat

dipengaruhi oleh kondisi perairan Samudera Hindia.

lkan pelagis kecil merupakan sumberdaya perikanan yang sangat potensial

yang ditangkap nelayan mini purse seine di perairan Selat Sunda. Beberapa jenis ikan

pelagis kecil yang dominan ditangkap nelayan di perairan Selat Sunda adalah ikan

kembung, ikan banyar, layang, lemuru, ternbang, bentong, tongkol dan tenggiri.

Sumberdaya ikan pelagis adalah jenis-jenis ikan yang hidup atau menghuni per-

airan lapisan permukaan sampai ke lapisan tengah (mid layer). Keberadaan sumber-

daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya

sangat berfluktuasi di suatu perairan. Laevastu dan Hayes (1980) mengatakan bahwa

perubalhan suhu perairan yang sangat kecil(* 0.02 OC) dapat menyebabkan perubahan

densitas populasi ikan di perairan tersebut.

Suhu merupakan parameter lingkungan yang paling sering diukur di laut karena

berguna dalam mempelajari proses-proses fisika, kimia dan biologi yang terjadi di laut.

Pola dilstribusi suhu permukaan laut dapat digunakan untuk mengindentifikasi parame-

(143)

umbalan akan membawa massa air yang kaya akan zat hara yang akan meningkatkan

produk.tifitas perairan sehingga mendukung proses kehidupan di laut.

Untuk mempelajari potensi Selat Sunda sebagai daerah penangkapan ikan,

khsususnya ikan pelagik kecil diperlukan data yang meliputi suhu, kesuburan dan arus.

Pengukuran suhu selain pengukuran langsung di lapangan dapat juga dilakukan

secara tidak langsung dengan menggunakan sensor satelit. Sensor thermal dapat

digunakan untuk mengukur suhu permukaan laut (Butler et.al, 1988). Data suhu

permul~aan laut (SPL) dari satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric

Administration) yang menggunakan sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution

Radiometer) dapat diperoleh di LAPAN dan BPPT dalam bentuk data mentah (raw

data) ataupun data olahan (precessing).

Kesuburan perairan dapat diketahui dengan mengukur produktifitas primer

dengan sensor optik karena sifat pigmen klorofil (dalam ha1 ini klorofil-a) yang khas

(Susilo, 1997). Data indraan sensor optik SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field-of

-

view

Sensoi.) dari satelit Seastar tersedia dalam bentuk data mentah (raw data) ataupun

data olahan (processing) dalam format LAC atau GAC. Data dalam Format GAC

(Global Area Coverage) dapat di-download di internet sementara data dalam format

GAC (Global Area Coverage) diperoleh melalui pemesan.

Selain pengukuran arus di perairan, data estimasi sensor altimeter dari Satelit

TopexlPoseidon sudah tersajikan dalam pola arus yang disediakan dalam beberapa

website.

Ketiga parameter yang disebutkan di atas merupakan bahan pokok dalam

menganalisis perairan Selat Sunda sebagai suatu daerah penangkapan dan juga dalam

upaya mencari wilayah perairan potensial yang masih dapat dimanfaatkan secara

optimal ditilik dari kondisi perairan dan lokasi penangkapan musiman dikunjungi

(144)

1.2 Perurnusan Masalah

Penelitian mengenai keterkaitan faktor lingkungan perairan seperti suhu

pemukaan laut untuk menduga kelimpahan ataupun

fishing ground

ikan pelagis sudah

sering dilakukan di beberapa perairan di Indonesia. Namun demikian, kajian terhadap

hubungan sebaran suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a sebagai indikasi

kandungan produktifitas primer dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil masih jarang

dilakukian. Padahal keberadaan ikan pelagis di suatu perairan tidak hanya tergantung

kepada kondisi suhu perairan semata tetapi juga kesuburan perairan serta sejumlah

faktor oseanografi lainnya seperti arah dan kuat arus.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian secara

terintegrasi untuk mengetahui hubungan antara kondisi oseanografi (sebaran suhu

permulcaan laut, klorofil-a dan arus) terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil di

perairan Selat Sunda. Data yang digunakan adalah citra suhu permukaan laut hasil

pantauian sensor AVHRR, citra sebaran klorofil-a hasil pantauan sensor SeaWiFS,,

citra pola arus hasil pengukuran Satelit Topex/Poseidon, dan data hasil pengukuran

parameter oseanografi lainnya.

Hipotesa yang akan dibuktikan adalah bahwa hasil tangkapan ikan pelagis kecil

bergar~tung pada parameter-parameter oseanografi perairan dalam ha1 ini sebaran

suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a serta arah dan kecepatan arus.

1.3.Tujjuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

I. Mendiskripsikan kondisi oseanografi dalam bentuk sebaran SPL dan klorofil-a

(145)

2. Menganalisa hubungan antara kondisi oseanografi dengan hasil tangkapan

ikan pelagis kecil berdasarkan data hasil tangkapan selama pengamatan.

Penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian

selanjiitnya yang berkaitan dengan analisa hasil tangkapan berdasasarkan kajian

(146)

2. LANDASAN TEORlTlS

2.1. Koadaan Umum Perairan Selat Sunda

Perairan Selat Sunda terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa

merup,akan perairan pertemuan Samudera Hindia dan Laut Jawa. Luas perairannya

lebih kurang 8.138 km2. Berbentuk seperti corong, bagian utara lebih sempit (+24 km)

dan leloih dangkal (580 m). Sedang bagian selatan memiliki lebar sekitar 100 km dan

kedalaman mencapai 1575 m (Birowo, 1983). Karena sempit dan dangkalnya selat di

bagian utara maka, menurut Birowo dan Arief (1983) pertukaran massa air antara laut

Jawa tjan Samudera Hindia kecil saja. Berdasarkan pola arus di daerah perairan ini,

aliran air dari Laut Jawa ke arah Samudera Hindia adalah dominan. Sementara pada

bagian selatan Selat Sunda, perairannya sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan

Samuclera Hindia.

Menurut Birowo (1983), Selat Sunda dipengaruhi oleh angin musim tenggara

dan mlusim barat laut. Angin musim tenggara terjadi pada bulan April sampai dengan

September, sedangkan musim barat laut terjadi pada bulan Oktober sampai Maret.

Bulan April sampai Mei angin cenderung bertiup dengan kecepatan 2-8 midetik dari

arah ui:ara dan timur. Angin yang bertiup dari arah barat daya cenderung ke barat pada

bulan Desember, sedangkan pada bulan Januari dari arah barat, dan pada bulan

Pebruari dari arah barat laut cenderung ke barat dengan kecepatan bervariasi antara 5-

10 mldetik.

Selama musim barat umumnya gelombang cukup besar, yaitu bervariasi sekitar

0,5 m tlampai 1,5 m, bahkan dapat mencapai 1,5 m sampai 2 m pada bulan Desember

dan Januari. Sedangkan pada musim timur ketinggian gelombang biasanya antara 0,5

(147)

6

Di Selat Sunda pergerakan massa airnya merupakan kombinasi arus pasang

surut dan arus musiman. Pada waktu-waktu tertentu arus perairan ini terasa kuat, akan

tetapi sirkulasi air antara Laut Jawa dan Samudera Hindia lemah (0,5 x 10 6 m3/detik).

Sepanjang tahun arah alirannya ke barat daya (Samudera Hindia), pada bulan

Nopeniber arahnya kadang-kadang berubah ke timur laut, kecepatannya bervariasi

sekitar 0,2 sampai 0,7 mldetik (Wyrtki, 1961).

Salintas pada lapisan permukaan perairan Selat Sunda umumnya berkisar

antara 31,5-33,4°/,. Ada kecenderungan nilai ini meningkat dari perairan dekat Laut

Jawa ke arah Samudera Hindia. Menurut Hardenberg (1937) selama musim timur

sedang berlangsung, air dengan salinitas tinggi mengalir dari Laut Flores masuk ke

Laut Jawa dan keluar melalui Selat Gaspar, Selat Karimata dan Selat Sunda. Pada

musim barat, menurut Hardenberg (1937) terjadi pengenceran massa air di Selat

Sunda yang berasal dari air tawar dari muara-muara sungai di Sumatera bagian selatan

dan Elangka. Sehingga salinitas menjadi rendah. Pada bulan Maret, pengaruh

pengeinceran salinitas selama musim barat berlangsung telah mereda. Menurut

Berlage (1927) dalam bulan Maret, massa air yang berasal dari Laut Cina Selatan

yang terdorong ke Laut Jawa sebagian membelok ke arah selatan melalui Pulau-

Pulau Seribu masuk ke Selat Sunda.

Hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1981, memperlihatkan bahwa suhu

lapisan permukaan Selat Sunda bervariasi antara 28,IO-29,5 OC dengan

kecentferungan meningkat dari selatan ke utara. Berdasarkan hasil pantauan satelit

tahun 1994, diketahui bahwa rata-rata suhu permukaan laut Selat Sunda adalah 29,32

OC pacla bulan Mei; 30,OI OC pada bulan Juni; 29,19 OC pada bulan Juli; dan 27,28 OC

pada bulan Agustus (Amri, 1997). Menurut Birowo dan Uktolseja (1981), suhu

permultaan laut perairan Selat Sunda akan relatif tinggi pada musim peralihan dan

(148)

7

disebabkan karena tingginya evaporasi, angin yang kuat, dan kelembaban udara yang

relatif rendah, sehingga mengakibatkan energi evaporasi lebih tinggi daripada radiasi

matahari yang diterima, ini menyebabkan pendinginan permukaan laut. Rendahnya

suhu di musim barat disebabkan oleh masukan air hujan dan masukan massa air tawar

dari tirrlur laut yang dingin (Birowo dan Uktolseja, 1981).

2.2. Su~mberdaya lkan Pelagis

Sumberdaya ikan pelagis adalah jenis-jenis ikan yang hidup atau menghuni

perairan lapisan permukaan sampai lapisan tengah (mid layer). Sumberdaya perikanan

pelagis kecil merupakan sumberdaya yang paling melimpah di perairan Indonesia.

Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena terutama penyebarannya

adalah di perairan dekat pantai. Di daerah-daerah dimana terjadi proses penaikkan

massa air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar.

Sumberdaya perikanan pelagis kecil makanan utamanya adalah plankton,

sehingga kelimpahannya sangat tergantung kepada faktor-faktor lingkungan. Oleh

karena itu, kelimpahan sumberdaya ini sangat berfluktuasi dan tergantung kepada

lingkungan perairannya.

Musim ikan pelagis di perairan Indonesia umumnya berlangsung pada akhir

musim timur dan awal musim barat (sekitar bulan Agustus sampai November). Hal ini'

berhubungan dengan kesuburan perairan akibat adanya upwelling pada musim timur

seperti yang terjadi di Laut Banda, Samudera Hindia dan Laut Jawa bagian timur

(Puslibangkan, 1994).

lkan pelagis umumnya senang bergerombol baik dengan kelompoknya maupun

(149)

dan te~tarik pada benda-benda terapung. Terdapat kecenderungan ikan pelagis kecil

bergerombol berdasarkan kelompok ukuran.

Kebiasaan makan ikan pelagis kecil umumnya waktu matahari terbit dan saat

matahari terbenam. Kebanyakan ikan pelagis termasuk pemakan plankton, baik

planktcln nabati (fitoplankton) maupun plankton hewani (zoo plankton).

Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang sering tertangkap di perairan Selat Sunda

adalah ikan layang, banyar, kembung, lemuru, ternbang, dan bentong. Masing-masing

jenis ikan pelagis yang ditangkap di Selat Sunda tersebut mempunyai musim

penangkapan tersendiri yang biasanya dikategorikan menjadi tiga musim yaitu musim

puncak:, musim sedang dan musim kurang.

2.2.1. lkan Kembung

Spesies ikan kembung menurut Saanin (1968) terdiri atas Rastrelliger

kanag~rtta, Rastrelliger neglectus dan Rastrelliger branchysoma. Yang disebut sebag ai

ikan kembung di sini adalah spesies Rastrelliger branchysoma dengan nama lain

sebagai kembung perempuan.

lkan kembung mempunyai bentuk tubuh pipih agak lebar. Panjang kepala sama

atau sedikit lebih pendek dari tinggi badan. Panjang baku

3,743

kali tinggi badan.

Warna tubuh keperakan dan pada bagian punggung hijau kebiruan. lkan kembung

yang sering tertangkap berukuran 16 cm. Makanan ikan kembung terdiri dari diatom

31 %, organisme lainnya 9% dan jasad tidak teridentifikasi 60% (Puslitbangkan, 1994).

Kembung melakukan migrasi untuk memijah dan mencari makan (Rounsefell

dan Everhart, 1953). Susanto (1961) secara spesifik berpendapat bahwa kembung

perempuan melakukan migrasi untuk mencari makanan dan mencari daerah

pemijahan. Selain itu, faktor yang mempengaruhi migrasi tersebut adalah kekuatan

(150)

lkan kembung perempuan yang menyebar di perairan dekat pantai karena

mereka hidup pada perairan dengan kadar garam rendah (Pasaribu, 1967). lkan

kemburlg umumnya memijah pada sekitar musim barat (Nurhakim, 1993).

Kelompok ikan kembung dapat ditemukan dengan melihat tanda-tanda di laut

pada r;iang hari. Tanda-tanda itu seperti perairan kelihatan lebih pekat dari

sekelilirlgnya serta adanya percikan-percikan yang disebabkan gerakan kelompok ikan

tersebut. Tanda ini adalah khas untuk kembung perempuan. Pada malam hari dalam

keadaan gelap kembung perempuan berada di lapisan permukaan. Bagian punggung

ikan ini kelihatan berkilau-kilau. Adanya cahaya memudahkan penemuan ikan ini. Itu

pula sebabnya penangkapan ikan ini umumnya dilakukan pada malam hari dalam

keadaan gelap (Pasaribu, 1967).

2.2.2. lkan Banyar

lkan banyar (Rastrelliger kanagurfa) merupakan kelompok ikan kembung yang

biasa clisebut sebagai kembung lelaki. lkan banyar mempunyai bentuk tubuh yang

panjang dan agak pipih. Kepala sedikit lebih panjang dari tinggi badan. Panjang baku

4,3-5,2 kali tinggi badan. Warna tubuh keperakan dan pada bagian punggung hijau

kebiruan. Di bawah gurat sisi terdapat 2 buah garis memanjang berwarna biru. Pada

tubuh bagian samping atas memiliki deretan noda-noda hitam. Pada tubuh di dekat

sirip dada terdapat noda berwarna hitam. Sirip berwarna terang. Yang sering

tertangltap berukuran 19 cm. Makanan ikan banyar sama dengan kembung yaitu terdiri

dari Dlatome 31%, organisme lainnya 9% dan jasad tidak teridentifikasi 60%

(Puslitbangkan, 1994).

llkan banyar memiliki daerah penyebaran yang luas. lkan banyar ini sulit dicari

(151)

10

dan dijumpai pada perairan yang jemih dan agak jauh dari pantai karena menyukai

kadar garam yang lebih dari

23,O

'1,

.

lkan banyar memiliki dua kali masa pemijahan, pertama biasanya berlangsung

pada rrlusim barat (dari bulan Oktober sampai Pebruari) dan yang kedua pada musim

timur (dari bulan Juni sampai September). lkan ini berpijah untuk yang pertama kali

pada ulmur sekitar 2 tahun (Puslitbangkan, 1994).

2.2.3. lkan Tembang

Tembang (Sardinella fimbriata) merupakan ikan permukaan dan hidup di

perairan pantai serta suka bergerombol pada areal yang luas sehingga sering

tertangkap bersama-sama dengan ikan lemuru (Fischer dan Whitehead, 1974).

Di Laut Jawa jenis tembang terpenting adalah Sardinella fimbriata (Hutomo dan

Martosewojo, 1975). Tembang tersebar di perairan pantai Indonesia hingga ke utara

sampai ke Taiwan, ke selatan sampai ujung utara Australia dan ke barat sampai ke

Laut Merah.

Daerah penyebaran tembang cukup luas hampir di seluruh wilayah perairan

Indonesia, terutama di daerah Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi

Selatar~, dan Arafuru (Direktorat Jenderal Perikanan, 1989). lkan ini banyak didaratkan

di pelabuhan perikanan sepanjang pantai utara Jawa terutama di Pekalongan, yang

menduduki urutan kedua terbanyak tertangkap setelah ikan layang.

2.2.4. lkan Selar Bentong

lkan selar (Selaroides spp.) termasuk dalam kelompok ikan-ikan pelagis kecil.

Di Indonesia terdapat tiga jenis selar yaitu selar kuning (Selaroides leptolepis), selar

(152)

11

Selar sebagaimana umumnya ikan-ikan dari famili Carangidae melakukan

pemijalian pada malam hari. Telur ikan selar banyak ditemukan di Laut Jawa, sekitar

Selat Siunda dan Madura pada bulan Juni sampai Oktober, meskipun pada bulan-bulan

lainnya ditemukan pula dalam jumlah kecil. Pemijahan berlangsung pada perairan

dengar) salinitas 31-33 '1,. Masa inkubasi telur ikan selar ini sangat pendek yakni

kurang dari 12 jam (Delsman, 1972).

2.2.5. lkan Tongkol

lkan tongkol (Euthynnus sp.) termasuk ke dalam keluarga Scombridae. Bentuk

tubuhnya seperti cerutu dengan kulit yang licin. lkan ini termasuk perenang cepat dan

terkuat di antara ikan-ikan laut yang berangka tulang, disamping ikan-ikan tenggiri

(Djuhanda, 1981). Penyebaran ikan tongkol sangat luas meliputi perairan tropis dan

sub tropis, termasuk Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Samudera Atlantik (FAO,

1986). Menurut Saanin (1954), daerah-daerah penyebaran ikan tongkol di perairan

Indonesia adalah Laut Maluku, Laut Sawu, Samudera Hindia, sebelah selatan Nusa

Tenggara dan di sebelah barat Sumatera.

Tongkol termasuk bagian tuna pantai (coastal tuna), disamping 'frigate tuna'

(Auxis thazard) dan 'longtail tuna' (Thunnus tonggol). lkan ini merupakan jenis tuna

paling lrecil dengan ukuran rata-rata 2-5 kglekor (Saanin, 1954).

Musim tongkol berbeda-beda untuk tempat yang berlainan, walaupun

spesiesnya sama. Perbedaan ini disebabkan perubahan suhu perairan, perubahan

arus, dim lain-lain (FAO, 1983). Musim tongkol di Laut Jawa terjadi pada bulan Oktober

sampai bulan Pebruari yaitu pada musim hujan (Langkong, 1984). Pada bulan-bulan ini

terdapa~t populasi besar dari Stolephores sp. yang merupakan ikan yang sangat

(153)

12

Meskipun ikan-ikan yang dewasa secara seksual bertemu sepanjang tahun, ada

bermacam-macam puncak musim untuk bertelur menurut tempat, misalnya bulan

Maret-lMei di perairan Philipina, selama periode bulan OktoberINopember-AprilIMei di

sekitar Seychelles, dari periode Januari sampai Juli di Afrika Timur dan di perairan

lndonesia terjadi dalam bulan Agustus sampai Oktober (FAO, 1983).

Tongkol tergolong ikan epipelagik dengan kisaran temperatur yang disenangi

antara 18,O

-

29,O OC. Dalam penyebarannya tongkol cenderung membentuk kumpulan

multispecies menurut ukurannya, misalnya kumpulan Thunnus albacares, Katsuwonus

pelamis, Auxis sp dan Megalopsis cardyla (Carangidae) (FAO, 1 983). Berdasarkan

daerah penangkapan dan besarnya ikan tongkol termasuk golongan ikan pelagis

berukuran besar dan hidup pada permukaan air laut (Hadiwiyoto, 1983).

2.2.6. l kan Layang

Spesies ikan layang yang ada di Indonesia adalah Decapterus russelli dan

Decapterus macrosoma. D.ruselli mempunyai nama sinonim D. maruadsi dengan nama

umum ikan layang atau round scad. Sedang Decapterus macrosoma mempunyai nama

umum ikan layang deles atau layang scad (Nurhakim et.al., 1987). lkan ini hidup di

perairan lepas pantai yang berkadar garam tinggi dan membentuk gerombolan besar.

Panjang tubuhnya dapat mencapai 30 cm, umumnya antara 20-30 cm, bentuk badan

agak n~emanjang dan agak gepeng (Direktorat Jenderal Perikanan, 1989). Dalam

statistik; perikanan, keduanya dikelompokkan dalam satu kategori, yaitu ikan layang

(Decapterus spp) (Widodo, 1 988).

lkan layang termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagik, tidak menetap

dan suku bergerombol. Jenis ikan ini tergolong stenohaline, hidup di perairan yang

berkadar garam relatif tinggi (32-34 ')1, dengan kisaran yang sempit dan menyenangi

(154)

layang berkisar antara 32-32,5 '1,. lkan layang banyak terdapat di perairan yang berjaralc 37-56 km dari pantai (Weber dan de Beaufort, 1931; Hardenberg, 1937).

lkan layang biasanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum,

yaitu sebesar 17 OC. Suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan penangkapan

adalah sekitar 20-30 OC. Sedang suhu selang distribusi ikan layang berkisar antara 12-

25 OC (Laevastu dan Hela, 1970). lkan layang umumnya memiliki dua kali masa

pemijatlan per tahun dengan puncak pemijahan pada bulan MaretJApril (musim barat)

dan AgustusISeptember (musim timur) (Puslitbangkan, 1994). lkan layang deles

(D.macrosoma) memijah selama beberapa bulan dengan puncaknya pada bulan

Agustu:s/September (Widodo, 1988).

Menurut Asikin (1971), ikan layang muncul ke permukaan karena dipengaruhi

oleh ruiaya harian dari plankton hewani (zoo plankton) yang terdapat di suatu perairan.

Secara spesifik, makanan ikan layang terdiri dari copepoda 39%, crustacea 31% dan

organisme lainnya 30% (Puslitbangkan, 1994).

Ruaya ikan layang di perairan Indonesia mempunyai hubungan dengan

pergerakan massa air laut, walaupun secara tidak langsung. Menurut penelitian

Hedenberg (1937), populasi layang yang berasal dari Samudera Hindia beruaya

melalui Selat Sunda ke Laut Jawa sampai di sebelah utara Cirebon. Dari hasil

penganiatan Burhanuddin et.al. (1984) ternyata bahwa, pada bulan Maret di Selat

Sunda terdapat dua populasi yang berbeda, yaitu populasi layang yang tertangkap

oleh para nelayan di Kota Agung (Teluk Semangka) dan populasi layang yang

ditangkap oleh para nelayan di Labuan. Populasi layang yang tertangkap di Labuan

diduga sesuai dengan hipotesa Hardenberg (1937) sebagai layang barat yang

berasal dari Samudera Hindia. Populasi ini tidak beruaya, hanya terbatas di

lingkungan Selat Sunda saja atau sedikit meluas ke perairan di dekatnya. Sementara

(155)

populasi layang utara karena, populasi yang tertangkap di Kota Agung sama dengan

yang tertangkap di Pulau Panggang, Pulau Bawean, Masa Lembo dan Selat Bali.

Hardenberg (1937) juga menyatakan bahwa layang utara yang berasal dari Laut

Cina S~slatan (Natuna) tidak pernah masuk ke Selat Sunda dalam musim barat

karena salinitas rendah.

2.3. Kondisi Oseanografi Perairan

Keberadaan sumberdaya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan,

sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. Selanjutnya Gunarso

(1985) menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan akan mempengaruhi pola

kehidugan ikan-ikan baik yang menyangkut periode migrasi musiman, pertumbuhan

dan kaberadaannya. Secara umum diketahui bahwa sebaran kelimpahan ikan

berhubungan erat dengan karakteristik lingkungannya. Sebaran pada suatu musim

digambarkan melalui beberapa kategori, dimana hasilnya memperlihatkan pola yang

berbeda (Nugroho et.a1.,1993). Suatu laporan penelitian yang pernah dilakukan oleh

Amin dan Nugroho (1992) memberikan informasi lebih lanjut bahwa pada musim barat

kelompok-kelompok ikan lebih banyak ditemukan pada lapisan permukaan (0-100 m).

Pada lepisan tersebut kelompok-kelompok ikan terkonsentrasi pada daerah dekat

pantai tcsrutama sekitar Pulau Enggano dan Selat Sunda. Sedangkan pada lapisan 100-

200 m terkonsentrasi di dekat Selat Sunda. Scallabrin dan Masse (1993) dalam Hamel

(1999) menyatakan bahwa tingkah laku kelompok ikan dan distribusi spasialnya

berhubungan secara signifikan dengan kondisi cuaca dan oseanografi.

2.3.1. Suhu

I-aevastu dan Hayes (1981) mengatakan bahwa perubahan suhu perairan yang

(156)

perairan (di daerah sub tropis). Lebih lanjut dikatakan bahwa ikan-ikan pelagis akan

bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi, atau mencari daerah yang kondisi

suhunya lebih rendah. Selanjutnya juga dinyatakan, kelimpahan suatu jenis ikan pada

suatu daerah penangkapan dipengaruhi perubahan suhu tahunan serta berbagai

keadaen lainnya.

Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan; aktifitas dan mobilitas

gerakan; ruaya, penyebaran, dan kelimpahan; penggerombolan, maturasi, fekunditas

dan pemijahan; masa inkubasi dan penetasan telur serta kelulusanhidup larva ikan.

Perubahan suhu perairan menjadi dibawah suhu normal/suhu optimal

menyebabkan penurunan aktivitas gerakan dan aktivitas makan serta menghambat

berlangsungya proses pemijahan. Pada umumnya semakin bertambah besar ukuran

dan semakin tua ikan, ada kecenderungan menyukai dan mencari perairan dengan

suhu yiang lebih rendah di perairan yang lebih dalam.

Menurut Gunarso (1985), bahwa fluktuasi suhu dan perubahan geografis

merupakan faktor penting dalam upaya merangsang dan menentukan

pengkonsentrasian gerombolan ikan. Sehingga suhu memegang peranan dalam

penentluan daerah penangkapan ikan.

Menurut Laevastu dan Hela (1970) untuk meramalkan berhasil tidaknya suatu

penangkapan ikan hams memperhatikan: a) Suhu optimum dari semua jenis ikan yang

menjadli tujuan penangkapan; b) Pengamatan hidrografi dan meteorologi untuk

membeirikan keterangan mengenai isotermal permukaan ; c) Perubahan keadaan

hidrogr,afi harus dapat diramalkan.

Laevastu dan Hela (1970), menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi suhu permukaan laut (SPL) adalah kondisi meteorologi, arus

permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi, dan perubahan bentuk es di

(157)

curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan

intensitas matahari. Dengan demikian suhu permukaaan laut biasanya mengikuti pola

musiman.

Suhu perairan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan laut.

Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis

hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi. lkan mempunyai kisaran suhu

optimum untuk hidupnya. Pengetahuan tentang suhu optimum ini akan bermanfaat

dalam peramalan keberadaan kelompok ikan, sehingga dapat dengan mudah

dilakukan penangkapan.

2.3.2. Salinitas

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi

air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 1987). Sedangkan Ross (1970)

mengatakan bahwa salinitas permukaan laut tergantung pada perbedaan evaporasi

dan prc?sipitasi.

Salinitas permukaan di laut terbuka, bervariasi antara 33-37%0 dengan nilai

rata-rata 35%0. Pada perairan dangkal, lapisan homogen berada hingga ke dasar,

dengan salinitas dan suhu yang homogen (Nontji, 1987).

Nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman.

Peruba~han terbesar dari salinitas terjadi di kedalaman antara 100-1000 m. Daerah

dimana terjadi perubahan salinitas yang sangat cepat disebut lapisan haloklin.

Berdas'arkan pola distribusi salinitas secara vertikal, maka Ross (1970) membagi kolom

perairan berdasarkan atas 4 zona, yaitu: a) Zona permukaan tercampur dengan baik,

ketebalan 50-100 m, dan memiliki nilai salinitas yang seragam ;b) Zona dimana terjadi

perubahan salinitas yang secara relatif besar, dan disebut zona haloklin ; c) Zona

(158)

lapisan dasar laut ; d) Zona pada kedalaman 600-1000 m, dimana nilai salinitas

menjacli minimum.

Menurut Laevastu dan Hela (1970), variasi salinitas pada daerah lepas pantai

relatif llebih kecil dibanding dengan daerah pantai, ha1 ini karena pengaruh run-off dari

daratan. Variasi salinitas ini sering digunakan untuk mengindikasikan perubahan massa

air.

Perubahan salinitas dan suhu sangat mempengaruhi densitas suatu perairan.

Ross ('1970) menyatakan bahwa densitas ditentukan oleh indek antara 3 variabel, yaitu

salinitas, suhu dan tekanan. Secara umum densitas meningkat dengan meningkatnya

salinitas, tekanan atau kedalaman.

Keadaan nilai salinitas di perairan di pantai utara Jawa pada bulan Desember,

erat hubungannya dengan keadaan sirkulasi air laut. Keadaan nilai salinitas yang

semakin tinggi ke arah timur menunjukkan adanya aliran air laut dari Laut Cina Selatan

masuk ke Laut Jawa, tetapi air dari Laut Cina Selatan tersebut masih belum

mempemgaruhi kondisi air di sekitar perairan utara Jawa. Hal ini ditunjukkan oleh masih

adanya! air yang bersalinitas di atas 33 %o. lsohalin 33 %O merupakan indikator massa

air Laut Flores yang masuk ke Laut Jawa. Massa air Laut Cina Selatan yang mengalir

ke Laut Jawa pada bulan Desember mempunyai salinitas yang lebih rendah akibat

terjadin~ya pengenceran oleh curah hujan dan aliran air sungai di sepanjang pantai timur

Sumatcxa dan pantai barat Kalimantan (Hadikusumah eta/, 1980).

2.3.3.

Klorofil-a

Klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktifitas primer yang ditunjukkan

dengar~ besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan

(159)

produklifitas primer perairan laut terbuka. Menurut Valiela (1984) produktifitas primer

perairan pantai melebihi 60% dari produktifitas yang ada di laut.

Laju produktifitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika.

Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah

pencarnpuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air dan laju tenggelam sel

(fitoplankton) (Gabric and Parslow, 1989). Beberapa penelitian tentang produktifitas

primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa

kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian atas lapisan

termok:lin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir

homoglen.

Laju produktifitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson. Hal

ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Dari pengamatan

sebara~n konsentrasi klorofil-a di perairan lndonesia diperoleh bahwa konsentrasi

klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi

upwel4ing di beberapa perairan tenrtama di perairan lndonesia bagian timur. Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat ini di

perairan lndonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai

konseritrasi nutrient di perairan lebih kecil. Perbedaan konsentrasi klorofil-a pada kedua

muson tersebut dikemukakan oleh beberapa peneliti. Nontji (1974) dalam Monk et.al

(1 997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan lndonesia kira-kira

0,19 mlg/m3, dan 0,16 mg/m3 selama musim barat, 0,21 mg/m3 selama musim timur.

2.4. Citra Satelit

Pengamatan kondisi oseanografi seperti suhu permukaan laut, kandungan

(160)

suatu cara untuk mendapatkan data secara multitemporal dan multi spasial di suatu

perairan yang cukup luas pada waktu yang sama. Keadaan ini sulit dilakukan dengan

cara konvensional yaitu dengan pengukuran secara langsung di lapangan. Citra suhu

permukaan laut dapat diperoleh dari hasil pengukuran sensor thermal sementara citra

klorofil-a dapat diperoleh dari pengukuran sensor optik dan pola arus (arah dan

kecepatan) dapat diukur dengan sensor satelit radar.

2.4.1. Citra Suhu Permukaan Laut

Untuk menentukan SPL dari data satelit NOAA-AVHRR dilakukan peng-

ukuran terhadap radiasi infra merah pada panjang gelombang 3 ,u m

-

14 ,u m

dengar) menggunakan band 3, 4 dan 5. Pengukuran spektral infra merah yang

dipancarkan oleh permukaan laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada

lapisan permukaan sampai kedalaman 0,l mm. Walaupun demikian, pada sebagian

besar permukaan laut, kecuali perairan kutub, kedalaman 0 m

-

20 m merupakan

lapisan pencampuran (mixed layer) dimana suhu cukup homogen (Robinson, 1985).

Suhu permukaan laut (SPL) yang dapat dipantau oleh satelit merupakan

parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh dominan bagi keberadaan

sumbe~rdaya hayati laut. Menurut Widodo (1999) pengamatan dan monitoring fenomena

oseanografi dan sumberdaya hayati laut mengharuskan penggunaan banyak data

dalam lselang waktu observasi tertentu (harian, mingguan, bulanan atau tahunan). Citra

suhu permukaan laut (SPL) dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk

mengetahui pola distribusi SPL, arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan

perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan

(161)

2.4.2. Citra Produktifitas Primer

Sensor ocean color dari satelit dapat menyediakan data kuantitatif tentang

global ocean bio-optical properties yang dapat memberikan data atau informasi tentang

adanya~ variasi warna perairan (ocean color) sebagai implementasi dari adanya

perbedaan konsentrasi klorofil-a (produktifitas primer) dalam perairan. Apabila sebaran

produktifitas primer dapat diketahui akan menjadi indikator yang lebih tepat untuk

penentuan fishing ground (Susilo, 1997).

Pendeteksian klorofil-a dalam suatu perairan adalah dengan pengukuran

radiansi warna perairan pada spektrum 433-520 nm dari band 2, 3, dan 4 dari sensor

SeaWilFS. Dengan menggunakan sensor dari satelit Seastar ini maka tingkat

kandurlgan klorofil dari suatu perairan dapat diketahui.

2.5. Aliat Tangkap

Kapal-kapal yang mendaratkan hasil tangkapan ikan pelagis di Selat Sunda dari

jenis pukat cincin mini (mini purse seine). Pukat cincin adalah jenis alat tangkap yang

khusua digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang bersifat pelagic shoaling species,

dimana ikan-ikan tersebut membentuk gerombolan (shoal) serta berada di dekat

permukaan air (Ayodhyoa, 1981). Selain itu juga diharapkan agar densitas gerombolan

ikan tersebut tinggi, yang berarti jarak antara ikan yang satu dengan lainnya dekat

sekali.

Menurut Ayodhyoa (1981), bahwa prinsip penangkapan ikan dengan pukat

cincin edalah dengan melingkari suatu gerombolan ikan dengan jaring, setelah itu jaring

bagian bawah dikerucutkan, sehingga ikan-ikan terkumpul pada bagian kantong.

Denga~n kata lain memperkecil ruang gerak ikan yang akhirnya tertangkap. ~ a d i mata

jaring lianyalah sebagai penghadang ikan dan bukan sebagai penjerat seperti halnya

(162)

2 1

Kapal pukat cincin mini berukuran panjang antara 10-15 m dan hampir sebagian

besar menggunakan mesin tempel (outboard angine) dengan panjang jaring maksimal

300 m. Sedangkan kapal pukat cincin besar berukuran panjang 15-30 m dengan

menggunakan mesin motor diesel (inboard engine) untuk panjang jaring lebih dari 400

m. Menurut Atmadja dan Shadotomo (1985), bahwa bobot mati kapal pukat cincin

mengalami evolusi dari tahun ke tahun dengan berbagai kisaran berat kotor atau

gross

(163)

3. METODE PENELlTlAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Selat Sunda pada posisi 05:00:00 O LS

sampai 07:00:00 O LS dan 104:OO:OO O BT sampai 106:30:00 O BT (Gambar 1).

Peta Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama satu siklus (4 musim) mulai Agustus 2000

sampai dengan Juli 2001 dan dibagi dalam dua tahapan kegiatan. Pertama,

pengarnbilan data lapangan (in-situ). Data lapangan yang diambil adalah: 1) data

oseanografi (suhu, salinitas, arus); 2) data hasil tangkapan ikan pelagis kecil, dan 3)

data pcmdukung lainnya seperti data curah hujan. Kedua, pengolahan dan analisa data

dilakukan di di Lab. Remote Sensing & GIs (TISDA Terpadu), Pusat Pengkajian dan

Penera~pan Teknologi lnventarisasi Sumberdaya Alam (P3-TISDA), Badan Pengkajian

dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Data yang diolah adalah data oseanografi

hasil pengukuran lapangan dan hasil pengukuran sensor satelit, serta data hasil

(164)

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

(1) Data oseanografi hasil pengukuran lapangan, (2) Citra SPL hasil

pengukuran sensor AVHRR satelit NOAA, (3) Citra klorofil-a hasil pengukuran sensor

SeaWiFS satelit Seastar, (4) Pola arus (arah dan kecepatan) dan tinggi muka laut

(TML) satelit TopexPoseidon, (5) Data hasil tangkapan ikan pelagis kecil (mini purse

seine), (6) Data curah hujan, (7) Peta LLN Perairan Selat Sunda skala 1 :500.000.

Alat yang digunakan terdiri dari :

(1) Seperangkat komputer PC-IBM Compatible; (2) Software pengolah data satelit yaitu

E.R. MAPPER 6.0 untuk pengolahan citra SPL; SEADAS untuk pengolahan citra

klorofil-a; Adobe Photoshop/Paintshop Pro 5.5 untuk mengedit data pola arus dan TML

simula!si POM; Surfer 6 untuk mengolah data hasil pengukuran CTD dan current meter

serta data citra SPL menjadi data kontur SPL; (3) program basic untuk mempermudah

pengolahan raw data; serta (4) GPS (Global Positioning System) untuk menentukan

posisi geografis.

3.3. Metode Pengumpulan Data

3.3.1. Data oseanografi

a. Pengukuran lapangan

-

lData hasil pengukuran selama pelayaran Pre-JIGSE (Joint Indonesia-Germany

:Sumatera Expedition) KAL Baruna Jaya IV BPPT 25 Oktober s.d 10 November

:2000 (di Selat Sunda 25-28 Oktober) sebanyak 13 stasiun (periode musim

lperalihan 11). Posisi stasiun pengukuran CTD pelayaran Pre-JIGSE ini dapat

(165)

-

Data hasil pengukuran pelayaran KR Baruna Jaya Vlll LIP1 10-23 Juli sebanyak

2!3

stasiun pengamatan 2001 (periode musim timur). Posisi stasiun pengukuran

CTD pelayaran KR Baruna Jaya Vlll ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

b. Data satelit

-

Citra SPL dari data sensor AVHRR Satelit NOAA-12 hasil rekaman stasiun bumi

E3PPT Jakarta. Citra dipilih mewakili setiap 10 (sepuluh) harian selama bulan

pengamatan dalam format LAC (Local Area Coverage) dengan resolusi spasial

1.1 km.

-

Citra klorofil-a merupakan data dokumentasi (hasil proses) peneliti P3 TlSDA

-

E3PPT (Ir. Nani Hendiarti, M.Sc) yang berasal dari hasil rekaman sensor SeaWiFS

satelit Seastar yang diterima HRPT (High Resolution Picture Transmision) Centre

Remote Imaging, Sensing and Processing (CRISP) Singapura. Format data LAC

(Local Area Coverage) dengan resolusi spasial 1 km. Data yang digunakan

adalah data citra permusim masing-masing 1 citra mewakili musim peralihan II,

rnusim barat, dan musim peralihan I, serta 2 citra mewakili musim timur.

-

F'ola arus (arah dan kecepatan) serta TML hasil pengukuran Satelit

1-opex.Poseidon di-download dari internet perbulan (tiga data per musim) berupa

hasil simulasi POM (Princeton Ocean Model)-NPACNFS (North Pacific

FJowcast/Forecast System). Data ini di-download dari Website:

htttp;//www. 7320. nrlssc. navy. miVnpacnfs-www.

3.3.2. Data hasil tangkapan

Data hasil tangkapan ikan pelagis kecil dan lokasi penangkapan (fishing ground)

diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan mini purse seine dan data catatan

(166)

purse seine yang beroperasi di Selat Sunda. Data hasil tangkapan ikan pelagis yang

diperohsh adalah berupa data hasil tangkapan seluruh jenis ikan pelagis yang

tertangkap kapal mini purse seine selama Agustus 2000 s.d Juli 2001. Dari keseluruhan

hasil tangkapan, diambil 6 jenis ikan pelagis yang dominan tertangkap yakni ikan

kembu ng, banyar, tongkol, bentong, tem bang dan layang (Gambar 2).

3.4. Metode Analisis Data

3.4.1. Data in-situ

Data oseanografi hasil pengukuran in-situ (suhu dan salinitas) diolah dan

disajiken dalam bentuk sebaran mendatar dan menegak berdasarkan kedalaman

perairan. Sebaran mendatar dilakukan terhadap seluruh data pada stasiun pengamatan

sementara sebaran menegak dilakukan dengan meng-overlay beberapa stasiun

tertentu. Dari kontur sebaran mendatar dilakukan analisa untuk melihat pola sebaran

SPL dian salinitas sementara dari grafik sebaran menegak dilakukan analisa untuk

melihat kedalaman lapisan tercampur dan kemungkinan adanya lapisan termoklin.

3.4.2. Citra Satelit

3.4.2.1. Citra SPL

Penghitungan SPL dilakukan dengan pemrosesan citra kanal 3, 4 dan 5 dari

data sensor AVHRR. Metode penghitungan menggunakan formula McMillin and Crosby

(1 984) dengan metode sbb :

-

Split window ; SPL=T4+2.702 (T4-T5)-0.582-273.0

-

Triple window ; SPL=1.0239 T4+(0.9936 (T3-T5)-278.46)

Dimana : T3

=

brightness temperature channel 3

T4= brightness temperature channel 4

(167)
[image:167.818.145.799.18.540.2]
(168)

Nilai SPL yang ditampilkan pada citra berupa degradasi warna dari warna biru

muda sebagai indikator perairan dengan suhu yang lebih rendah sampai ke warna

merah tua yang menunjukkan suhu lebih tinggi. Warna hitam merupakan daratan dan

warna putih merupakan awan.

Untuk memudahkan pembacaan suhu secara kuantitatif, nilai

Gambar

Gambar 2. Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang menjardi objek penelitian di Selat Sunda (Surnbsllvrrww.flshbase.org)
Tabel 1. Citra SPL NOAA-AVHRR Terpilih
Gambar 3. Diagram Alir Penelitian
Gambar 4. C i  SPL Satelit NOAA-AVHRR Selat Sunda Agustus 2000
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mentawai, Perairan Bengkulu dan P.Enggano, Perairan Barat Lampung, Selat Sunda bagian Selatan, Perairan Selatan Pulau Jawa, Perairan Kalimantan bagian Barat, Selat

Selat Malaka bagian Utara, Perairan Lhokseumawe, Laut Jawa bagian Timur, Perairan Masalembu, Selat Makassar bagian Selatan, Perairan Pulau Rote, Laut Sawu, Perairan KupangLaut

Berdasarkan arsitektur jaringan tersebut dilakukan proses pelatihan dengan menggunakan data pelatihan yang tersedia, jika disain JST menunjukkan akurasi yang tinggi atau

Profil spektra FTIR minyak ikan patin yang diperoleh dari bagian kepala, belly flap, dan isi perut umumnya sama, namun ada perbedaan dalam ketajaman penyerapan FTIR khususnya pada

masing baris yang paling minimum dan setelah dihasilkan tablo yang baru atau tereduksi, lanjutkan dengan mengurangi entri biaya setiap kolom dari tablo transportasi yang

Angka infeksi terkait pelayanan kesehatan dibandingkan dengan angka- angka di rumah sakit lain melalui komparasi data dasar (lihat juga PMKP.4.2, EP 2 dan

Hasyim Asy’ari dalam penyebaran Islam di Jawa tahun 1899-1947 ini, menggunakan metode penulisan yaitu menggunakan metode studi literatur yang meliputi

 Di perairan Sebelah Barat P. Sumatera, Laut Cina Selatan, Perairan Selatan Pulau Jawa, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Timor, dan Laut Halmahera arus