• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK MINYAK IKAN DARI LIMBAH PENGOLAHAN FILET IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus) DAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal) EMA HASTARINI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK MINYAK IKAN DARI LIMBAH PENGOLAHAN FILET IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus) DAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal) EMA HASTARINI"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)

DAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal)

EMA HASTARINI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Patin Jambal (Pangasius djambal) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Ema Hastarini F 261070081

(3)

EMA HASTARINI. Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Patin Jambal (Pangasius

djambal). Under the direction of DEDI FARDIAZ, HARI EKO IRIANTO and

SLAMET BUDIJANTO.

Patin (Pangasius sp) which is the common name is catfish, has been well-known as a highly economic freshwater fish in Indonesia. Its high lipid content considered as source of unsaturated fatty acids including omega-3 which brings advantages for human health. This research project aims to obtain physico-chemical characteristics of the purified oil derived from the waste of Siam (Pangasius hypothalamus) and Jambal (Pangasius djambal) catfish fillet production, particularly on its fatty acids and glycerides profile. The project had been done in stages including raw material (waste from catfish fillet processing) characterization, oil extraction, oil purification, and purified oil characterization. Fish oil extraction is conducted by using a modified wet rendering method. During the catfish fillet processing, besides of getting the flesh-fillet as the main product, it remains also the other parts of fish (waste) that can be classified into 6 components i.e. head, spin-fin, skin, belly flap, trimmed flesh, and viscera. The head, belly flap, and viscera are considered to be the potential parts using for raw material in fish oil production that could yield the crude oil of 9.84%, 28.52%, and 20.34%, respectively derived from Siam, while 9,54%, 25,60% dan 30,05% derived from Jambal catfish. Fatty acids profile derived from both Siam and Jambal catfish showed that the palmitic and oleic acids are the major components. The percentage of long chain unsaturated fatty acid showed a higher amount of the total lipid, that were 53.24%, 54.38%, 52.74% respectively derived from head, belly flap, and viscera of Siam, and 62.70%, 62.92%, 61.97% derived from Jambal catfish. Even though only in small amount, Omega-3 fatty acids i.e. linoleic, EPA and DHA were detected in this experiment from both species. The typical result of FTIR spectrum profile were obtained. Nevertheless, in the range of 3050 – 2800 cm-1 representing the unsaturated fatty acids, FTIR

absorbance on Jambal catfish showed a bigger and more sharply spectrum. Glycerides profile resulted 19 types of TAG in both spesies. According to the standard, 11 types of TGA were identified, which are OLO, PLO, PLP, OOO, POO, POP, PPP, SOO, POS, PPS and LaPP/MMP, respectively based on ECN and retention time. Hydrolysis using lipase enzyme from mold Thermomyces lanuginosa could specifically hydrolyze the position of sn-1 and sn-3 of TAG into DAG and MAG. DSC results demonstrated the 3 zones of melting point of Siam catfish oil, i.e range of (-30) – (-16) C, range of (-16) – 25 C, and range of 25 – 46 C. While in Jambal catfish oil, it was earlier detected, i.e. at -34 C at the range up to 40 C.

Key words : Pangasius hypopthalmus, Pangasius djambal, extraction, fish oil, fatty acids profile, glycerides profile.

(4)

EMA HASTARINI. Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Patin Jambal (Pangasius

djambal) dibawah bimbingan DEDI FARDIAZ, HARI EKO IRIANTO dan

SLAMET BUDIJANTO.

Ikan Patin memiliki kandungan lemak yang tinggi dan merupakan sumber asam lemak tidak jenuh termasuk asam lemak omega 3 yang memiliki fungsi positif bagi kesehatan manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan ekstraksi, memurnikan dan mengkarakterisasi minyak ikan dari limbah pengolahan fillet ikan patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Jambal (Pangasius djambal) terutama mengenai profil asam lemak dan profil gliserida pada minyak ikan patin.

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang meliputi karakterisasi bahan baku limbah filet ikan patin, ekstraksi minyak ikan, pemurnian minyak ikan dan karakterisasi minyak ikan murni. Ekstraksi minyak ikan yang digunakan menggunakan metode wet rendering (Sathivel et al. 2008 yang dimodifikasi). Tahap pemurnian minyak yang dilakukan adalah proses pemucatan yang dikombinasikan dengan pemanasan dan pengadukan. Setelah melalui tahap pemurnian, minyak ikan patin murni yang didapatkan kemudian disimpan didalam botol gelap dan disimpan pada suhu -18 ºC hingga dianalisa.

Pada proses pengolahan filet ikan patin, selain daging filet sebagai hasil utama, didapatkan bagian tubuh lainnya sebagai sisa ataupun limbah sebanyak enam (6) bagian. Keenam bagian limbah tersebut meliputi kepala, tulang-ekor (bagian tulang badan yang bersambungan dengan ekor), kulit, daging belly flap (daging pada bagian perut), daging sisa trimming (daging sisa perapian filet) dan isi perut. Kadar lemak bagian – bagian tubuh ikan patin berkisar antara 2.72% hingga 35.32%. Bagian yang terendah kadar lemaknya adalah daging fillet skinless yaitu 2.72% untuk ikan patin Siam dan 2.89% untuk Jambal dan bagian yang tertinggi yaitu daging belly flap sebesar 36.21% untuk patin Siam dan 36.50% untuk patin Jambal. Bagian limbah yang didapatkan digunakan sebagai bahan baku kemudian diekstraksi minyaknya menggunakan metode wet rendering yang dimodifikasi.

Bagian kepala, daging belly flap dan isi perut merupakan bagian yang potensial digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak ikan dengan rendemen minyak ikan kasar yang dihasilkan berturut – turut sebesar 9,84%, 28,52% dan 20,34% untuk ikan patin Siam dan 9,54%, 25,60% dan 30,05% untuk ikan patin Jambal.

Profil asam lemak minyak limbah ikan patin baik jenis Siam maupun Jambal menunjukkan bahwa asam lemak dominan adalah asam palmitat dan oleat. Persentase kelompok asam lemak tak jenuh rantai panjang memiliki jumlah yang lebih tinggi secara total keseluruhan yaitu sebesar 53.24%, 54.38%, 52.74%dan 62.70%, 62.92%, 61.97% berturut – turut untuk ikan patin jenis Siam dan Jambal bagian kepala, daging belly flap dan isi perut. Asam lemak omega 3 yaitu linolenat, EPA dan DHA terdeteksi pada penelitian ini baik minyak ikan dari limbah ikan Patin jenis Siam maupun Jambal. Kandungan asam lemak omega 3 minyak ikan dari limbah pengolahan filet ikan patin Siam lebih rendah dibandingkan dengan dari ikan patin Jambal yaitu 53.24%, 54.38%, 52.74%dan 3.35%, 3.15%, 2.95% berturut – turut untuk ikan patin jenis Siam dan Jambal bagian kepala, daging belly flap dan isi perut.

(5)

menunjukkan bahwa minyak ikan patin yang dihasilkan masih memiliki mutu yang bagus. Berkaitan pula dengan masih rendahnya angka peroksida yang didapatkan yang menunjukkan nilai maksimal sebesar 3.93 meq/kg untuk minyak ikan patin Siam pada bagian isi perut dan 7.77 meq/kg untuk minyak ikan patin Jambal juga pada bagian isi perut. Berdasarkan standar minyak ikan yang ditetapkan International Association of Fish Meal Manufacturers untuk angka peroksida sebesar 3-20 meq/kg dan kadar asam lemak bebas dibawah 7% sehingga minyak ikan patin murni yang dihasilkan masih masuk dalam standar minyak ikan yang ditetapkan. Angka iod dari minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan dengan minyak ikan patin Siam pada semua perlakuan dikarenakan kandungan asam lemak tidak jenuh dari minyak ikan patin Jambal lebih tinggi dibandingkan minyak ikan patin Siam.

Profil spektra FTIR minyak ikan patin Siam dan yang berasal dari minyak ikan patin Jambal, khususnya pada wilayah 3050 – 2800 cm-1 penyerapan FTIR

pada minyak ikan patin Jambal lebih besar dan tajam. Spektra pada wilayah tersebut menggambarkan adanya kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak ikan patin Siam maupun Jambal.

Sistem NARP-HPLC dalam penelitian ini menggunakan HPLC fase terbalik (reversed-phase) dengan kolom C-18, panjang 25 cm dan diameter 4.6 mm, dengan fase bergerak campuran aseton-asetonitril (85:15) dengan kecepatan elusi 0.8 ml per menit dan detektor RID, beberapa jenis TGA dalam minyak ikan patin Siam dan Jambal dapat dipisahkan dengan baik. Profil gliserida menghasilkan 19 jenis TAG baik pada minyak ikan limbah patin Siam maupun Jambal. Berdasarkan standar, dapat diidentifikasi sebanyak 11 jenis TGA, berturut-turut menurut ECN dan waktu retensinya adalah OLO, PLO, PLP, OOO, POO, POP, PPP, SOO, POS, PPS dan LaPP/MMP.

Hidrolisis menggunakan enzim lipase yang diperoleh dari kapang Thermomyces lanuginosa mampu menghidrolisis secara spesifik posisi sn-1 dan sn-3 dari TAG menjadi DAG dan MAG. Pola hidrolisis yang terjadi hampir sama di antara minyak ikan patin Siam dan Jambal, namun setelah hidrolisis 48 jam, pada minyak ikan patin Jambal masih tersisa sejumlah kecil OLO, PLO, POO dan POP.

Hasil Analisa DSC menunjukkan bahwa terdapat tiga zona titik pencairan minyak pada patin Siam yaitu – 30 sampai – 16 oC, kisaran suhu – 16 sampai 25 oC, dan kisaran suhu 15 sampai 46 oC. Sedangkan pada patin Jambal, titik cair

terdeteksi lebih awal yaitu pada suhu -34 oC dengan kisaran suhu sampai dengan 40 oC.

Kata kunci : Pangasius hypopthalmus, Pangasius djambal, ekstraksi, minyak ikan, profil asam lemak, profil gliserida

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan

laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan

tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya

tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)

DAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal)

EMA HASTARINI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :

Dr. Nancy Dewi Yuliana, MSc

Dr. Wini Trilaksani, MSc

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

Prof. Dr. Rosmawaty Peranginangin, MS

Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc

(9)

Patin Jambal (Pangasius djambal)

Nama : Ema Hastarini

NRP : F 261070081

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto, M.Sc Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr. Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pangan

Dr. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktoral pada Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, MSc selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, arahan, dukungan dan semangat selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan dukungan bagi pelaksanaan penelitian 3. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr selaku anggota komisi pembimbing yang juga telah membimbing dan mengarahkan bagi pelaksanaan penelitian

4. Ibu Dr. Nancy Dewi Yuliana, MSc dan Dr. Wini Trilaksani, MSc selaku penguji luar komisi pada sidang tertutup atas masukan dan sarannya

5. Ibu Dr. Rosmawaty Peranginangin, MS dan bapak Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc selaku penguji luar komisi pada sidang terbuka atas saran, masukkan dan kritikan yang membangun demi sempurnanya karya ilmiah ini 5. Kepala Badan Litbang Kelautan dan Perikanan atas beasiswa yang telah diberikan

6. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Biotek Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP) yang telah memberikan ijin untuk melanjutkan program studi Doktoral

7. Teman – teman dan sahabat – sahabatku.. Yeni, Diah Ayu, Yanti, Devi, Ida, Didi, Wawan, Bakti atas persahabatan yang luar biasa, kebersamaan dan dorongan semangat serta bantuannya selama penelitian berlangsung

8. Kakelti dan rekan-rekan di Kelti Pengolahan Produk, Lab pengolahan dan sensori (pak Sahid, Hasta, Ika dan pak Yayat), Lab. Kimia (Indra dan pak Iim) dan Lab. Bioteknologi (Maya, Asri, Gintung) BBPP4KP atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.

7. Teman - teman IPN IPB: Mba Rini, Pak Mursalin, Arif, Inneke, bu Elvira, mbak Wulan, pak Rahman atas bantuan, dan kerjasamanya.

8. Ayahanda Suwardi (alm) dan ibunda Wiryatmi, atas kasih sayang, dorongan moril dan materiil, pengorbanan dan kesabarannya dalam mendukung penulis menyelesaikan pendidikan serta ibu mertua yang senantiasa mendoakan penulis demi kelancaran dalam menempuh pendidikan ini.

9. Kakak – kakak tersayang di Jakarta, Semarang dan Yogya serta Makassar yang senantiasa memberikan support tak henti – hentinya dan doa demi keberhasilan penulis menyelesaikan karya ilmiah ini

10. Semua pihak yang telah membantu dalam melaksanakan pendidikan dan penelitian ini semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal.

Secara khusus dan terimakasih yang sedalam-dalamnya tak lupa penulis haturkan kepada suami tercinta Gusran Wasirnur dan ananda tersayang Rajendra Gama Khosyirio atas kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, motivasi dan hiburannya dalam menemani penulis menyelesaikan pendidikan ini.

Bogor, Juli 2012 Ema Hastarini

(11)

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 20 Agustus 1973 dari Ayah Suwardi (alm) dan Ibu Wiryatmi yang merupakan anak kedelapan dari delapan bersaudara.

Tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan S-1 pada Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan S-2 ke Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada melalui program beasiswa URGE, Dikti. Penulis melanjutkan studi program Doktoral pada tahun 2007 di Program Studi Ilmu Pangan, Departemen ITP, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui program beasiswa Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak tahun 2002 sampai sekarang sebagai peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan-Balitbang KP- Kementrian Kelautan Perikanan dan bergabung dengan kelompok peneliti bidang pengolahan produk Kelautan dan Perikanan. Peneliti telah melakukan beberapa penelitian di bidang pengolahan produk antara lain kandungan asam lemak omega 3 pada makro dan mikroalga, diversifikasi produk udang dan ikan air tawar, pengembangan teknologi pengolahan filet dan produk – produk berbasis surimi dan saat ini sedang melakukan penelitian dengan topik karakteristik minyak ikan dari limbah pengolahan filet ikan patin. Publikasi penelitian yang terkait penelitian disertasi dengan judul Karakteristik Minyak Ikan dari Limbah Pengolahan Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan Jambal (Pangasius djambal) telah diterima di jurnal Agritech, Universitas Gadjah Mada dan akan diterbitkan pada bulan November 2012.

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 Manfaat ... 4 Hipotesis ... 4 TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin (Pangasius sp) ... 5

Potensi dan Produksi Ikan Patin (Pangasius sp) ... 7

Teknologi Pengolahan Ikan Patin (Pangasius sp) ... 10

Lemak dan Minyak ... 12

Minyak Ikan ... 13

Pemurnian Minyak Ikan ... 14

Karakterisasi Minyak Ikan ... 16

Asam Lemak ... 18

Asam Lemak Omega 3 ... 20

Komposisi dan Distribusi Asam Lemak pada Trigliserida ... 22

Peranan dan Manfaat Nutrisi Lemak berdasarkan Komposisi Asam Lemak ... 24

Manfaat Minyak Ikan dalam Bidang Pangan dan Kesehatan ... 25

Aplikasi Minyak Ikan pada Produk Pangan ... 27

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 28

Bahan ... 28

Alat ... 28

METODE ... 28

(13)

Tahap IV: Karakterisasi Minyak Ikan Patin Murni ... 32 PROSEDUR ANALISIS ... 33 Kadar lemak ... 33 Kadar iodine ... 33 Angka Asam ... 34 Bilangan penyabunan ... 34 Bilangan Peroksida ... 34

Profil asam lemak ... 35

Analisa gugus fungsi………36

Penentuan Profil Gliserida...37

Warna...37

Viskositas...38

Titik leleh (Melting Point) dengan alat DSC ... 38

Analisis Data ... 38

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Bahan Baku Ikan Patin ... 39

Proses Pemfiletan Ikan Patin ... 41

Limbah Pengolahan Filet Ikan Patin ... 43

Kadar Lemak Limbah Ikan Patin ... 46

Profil Asam Lemak Minyak Limbah Ikan Patin ... 47

Pemurnian Minyak Ikan Patin ... 52

Karakteristik Minyak Ikan Patin ... 53

Karakteristik Kimia Minyak Ikan Patin ... 54

Profil Asam Lemak Minyak Ikan Patin ... 55

Profil Spektra FTIR Minyak Ikan Patin ... 57

Profil Gliserida Minyak Ikan Patin ... 60

Pola Hidrolisis TAG Minyak Ikan Patin ... 63

Karakteristik Fisik Minyak Ikan Patin ... 65

Warna Minyak Ikan Patin ... 65

Viskositas Minyak Ikan Patin ... 66

(14)

Saran ... 73

(15)

Halaman

1. Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas Utama ... 8

2. Kandungan Lemak, Protein dan Kadar Air bagian-bagian Limbah catfish ... 12

3. Profil dan Komposisi Asam Lemak Catfish dari bagian – bagian limbah yang berbeda ... 19

4. Perbandingan Profil Asam Lemak Isi perut Catfish dengan Daging Fillet Beberapa Jenis Ikan Lainnya ... 20

5. Jumlah Maksimum Penggunaan Ingredien Pangan Omega pure ... 26

6. Bagian – bagian Tubuh Ikan Patin ... 44

7. Kadar Lemak Bagian – bagian Tubuh Ikan Patin Siam dan Jambal ... 47

8. Profil Asam Lemak dari Bagian – bagian Tubuh Ikan Patin Siam dan Jambal ... 49

9. Rendemen Minyak Ikan Patin Murni ... 53

10. Hasil Analisa Kimia Minyak Ikan Patin Murni ... 54

11. Profil Asam Lemak Minyak Ikan Patin Siam dan Jambal Murni ... 56

12. Korelasi pola FTIR minyak ikan Patin Siam dan Jambal dibandingkan dengan Minyak Ikan MaxEPA (Jun, 2009) ... 59

13. Jenis TAG yang Teridentifikasi... ... 62

14. Pola Hidrolisis TAG Minyak Ikan Patin oleh Lipase (Lipozyme TL IM) setelah Hidrolisis selama 12, 18, dan 48 jam pada Inkubasi Suhu 55 oC ... 64

15. Hasil Analisa Warna Minyak Ikan Patin ... 65

16. Viskositas Minyak Ikan Patin Murni ... 67

17. Perbandingan Minyak Ikan Patin dari bagian isi perut berdasarkan nilai viskositas, angka iod dan kandungan asam lemak tidak jenuh ... 67

(16)

Halaman

1. Salah Satu Jenis Ikan Patin (Ikan Patin Siam) ... 5

2. Peta Sebaran Ikan Patin di Indonesia ... 9

3. Persentase Rendemen Ikan Patin (Pangasius sp) ... 11

4. Trigliserida ... 13

5. Hasil Analisa Melting Point menggunakan alat DSC dari Catfish Visceral Oil ... 16

6. Tipikal Termogam DSC untuk (a) Asam Palmitat dan (b) DHA ... 17

7. Struktur EPA dan DHA ... 20

8. Struktur Trigliserida ... 23

9. Tahapan Umum Penelitian ... 29

10. Diagam alir proses ekstraksi minyak ikan patin ... 31

11. Bahan Baku Ikan Patin (a) Siam (b) Jambal ... 39

12. Proses Pemfiletan Ikan Patin ... 42

13. Ektraksi minyak Ikan Patin pada Suhu 70 ºC ... 48

14. Rendemen Minyak Ikan Kasar Ikan Patin Siam dan Ikan Patin Jambal ... 51

15. Pemurnian Minyak Ikan Patin ... 52

16. Profil spektra FTIR minyak Ikan Patin Siam ... 58

17. Profil spectra FTIR minyak Ikan Patin Jambal ... 58

18. Profil TAG utama dalam minyak ikan patin Siam dan Jambal ... 61

19. Contoh Kromatogram Minyak Ikan Patin Siam setelah Hidrolisis dengan lipase (Lipozyme, TL IM) selama 12 jam pada Suhu 55 oC ... 63

20. Profil Termogram DSC Minyak Ikan Patin Siam ... 68

21. Profil Termogram DSC Minyak Ikan Patin Jambal ... 70

22. Perbedaan Pola Karakteristik Termal Minyak Bagian Limbah Ikan Patin, yaitu Bagian (A) kepala (B) bagian belly flap, dan (C) isi perut... ... 71

(17)

1. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam

Bagian Kepala...80 2. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam

Bagian Daging Belly Flap...81 3. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam

Bagian isi perut...82 4. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Jambal

Bagian Kepala...83 5. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam

Bagian Daging Belly Flap...84 6. Puncak – puncak Spektrum FTIR Minyak Ikan Patin Siam

Bagian Isi Perut...85 7. Analisa Statistik Kadar Lemak Ikan patin Siam dan Jambal...86 8. Analisa Statistik Rendemen Minyak Murni dan Hasil Analisa

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan patin termasuk komoditas ikan yang banyak diminati dan produksinya mengalami peningkatan secara signifikan selama beberapa tahun terakhir, yaitu pada tahun 2004 produksinya adalah sebesar 23.962 ton dan meningkat menjadi 51.000 ton pada tahun 2008 kemudian pada tahun 2010 produksi budidaya ikan patin mencapai 147.888 ton (Pusdatin KKP 2011). Produksi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun ini menjadikan ikan patin sebagai produk hasil perikanan yang potensial untuk dikembangkan.

Di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan ikan patin lokal (Pangasius sp). Salah satu jenis varietas ikan patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan adalah ikan patin jambal (Pangasius djambal) (Djarijah 2001). Ikan Patin adalah salah satu ikan air tawar yang sangat populer dikonsumsi di seluruh dunia. Negara-negara besar seperti Amerika, Inggis, dan Prancis memerlukan 500 ton ikan patin sebagai bahan makanan sehari-hari. Di negara tersebut, patin biasanya diolah menjadi makanan yang cukup digemari masyarakat setempat karena dagingnya yang putih dan gurih. Selama ini untuk memenuhi permintaan ekspor di dunia hanya dipenuhi dari pasokan produksi budidaya ikan patin di Vietnam yang memasoknya dalam bentuk filet. Setiap tahun Vietnam memproduksi 1 juta ton ikan patin dengan kemampuan memasok pasar dunia 250.000 ton diantaranya ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Permintaan pasar Eropa terus meningkat sampai saat ini (Pusdatin KKP, 2011).

Ikan Patin memiliki kandungan lemak yang tinggi dan merupakan sumber asam lemak tidak jenuh yang sangat baik, termasuk asam lemak omega 3 yang memiliki fungsi positif bagi kesehatan manusia. Asam lemak omega-3 seperti asam eikosa pentaenoat (C20:5) dan asam dokosa heksaenoat (C22:6) umumnya terdapat dalam minyak atau lemak ikan. Keuntungan mengkonsumsi asam lemak omega-3 adalah adanya tendensi dapat menurunkan kadar kolesterol dan lemak dalam darah sehingga tidak terjadi penimbunan pada dinding pembuluh darah (Pak 2005).

Ikan Patin di Indonesia sebagian besar dijual dalam bentuk produk filet segar ataupun beku selain dijual sebagai ikan utuh. Rendemen daging ikan pada

(19)

proses pengolahan filet umumnya mencapai sekitar 45%, sedangkan bagian lainnya termasuk isi perut, lemak abdomen, tulang, kulit dan hasil pengeratan atau trimming sebesar 55% belum dimanfaatkan secara optimal (Sathivel et al. 2002). Pada umumnya yang dikonsumsi adalah bagian daging ikan patin, tetapi sesungguhnya keseluruhan tubuh ikan termasuk isi perut dapat dimanfaatkan untuk industri manufaktur pembuatan produk pasta atau ekstraksi minyak ikan untuk meningkatkan nilai tambah produk.

Proses pengolahan ikan umumnya menghasilkan limbah hingga lebih dari 50% dari keseluruhan berat ikan yang diolah. Limbah dari proses pengolahan ikan biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan pakan ikan, selain minyak (Zuta et al. 2003). Pada pengolahan ikan patin ada juga bagian-bagian yang umumnya terbuang seperti timbunan lemak abdomen yang terdapat di bagian perut patin serta organ dalam tubuh ikan seperti hati, saluran pencernaan, insang dan telur. Bagian-bagian yang terbuang tersebut hanya digunakan untuk bahan pembuatan pakan ikan, sehingga masih diperlukan pengembangan pemanfaatan isi perut ikan patin termasuk didalamnya lemak abdomen untuk meningkatkan nilai tambah produk. Menurut Hwang et al. (2004), isi perut ikan lele termasuk didalamnya seperti saluran pencernaan, hati, empedu dan deposit lemak pada abdomen lemak merupakan sumber lemak yang potensial untuk dikembangkan dengan kandungan omega 3 yang tinggi.

Kandungan lemak dan komposisi asam lemak dari ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya (1) lingkungan tempat hidupnya (2) spesies (3) jaringan tubuh (4) makanan (Hadiwiyoto 1993). Umumnya lemak disimpan di dalam tubuh ikan untuk keperluan saat migrasi yang lama dan untuk membangun kelenjar- kelenjar tertentu. Sebagai contoh ikan hiu mengandung minyak hati sampai 80% dari lemak total dalam bentuk squalene. Deposit lemak pada ikan patin cenderung disimpan di bagian perut (abdomen) dengan berat sekitar 7% dari berat total tubuh ikan. Depot lemak sendiri umumnya ditemukan di sepanjang struktur daging ikan dengan kandungan yang bervariasi antar species (Ratna 1998).

Beberapa penelitian sebelumnya seperti Hwang et al. (2004) melaporkan bahwa isi perut ikan lele mengandung lebih banyak lemak dan asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA) dibandingkan dengan dagingnya. Sathivel et al. (2002) menganalisa komposisi asam lemak minyak kasar yang diekstraksi dari isi perut ikan lele dengan berat sekitar 14% dari berat tubuhnya. Hasil ekstraksinya

(20)

menunjukkan bahwa total asam lemak tidak jenuh dari minyak isi perut ikan lele sekitar 26.13% sedangkan dari daging filetnya sekitar 25.93%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bagian tubuh yang berbeda akan memberikan karakteristik yang berbeda pula ditinjau dari profil dan komposisi asam lemaknya.

Hasil-hasil penelitian di atas menjadi dasar bagi penelitian ini dimana bagian-bagian limbah yang didapatkan dari proses pengolahan filet ikan patin dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Limbah ikan patin yang didapatkan dari proses pengolahan filet selama ini dimanfaatkan hanya untuk bahan baku pakan ikan, yaitu bagian kepala, tulang, dan kulit. Harga jual limbah patin itu berkisar Rp 1.000 per kg. Harga yang sangat rendah untuk limbah ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemanfaatan limbah ikan patin menjadi produk yang dapat dimakan dan memiliki kandungan nutrisi yang tinggi. Dengan menerapkan teknologi pangan yang kita miliki, peluang tersebut dapat dimanfaatkan, tidak hanya ikan diolah dalam bentuk filet tetapi juga dalam bentuk produk olahan ikan patin lainnya. Demikian pula limbah yang selama ini terbuang seperti kepala, kulit, tulang dan isi perut yang sebenarnya masih banyak mengandung protein dan lemak, diharapkan bisa menghasilkan produk yang bernilai tambah dari limbah tersebut untuk meningkatkan pendapatan. Limbah ikan patin akan diekstrak menjadi minyak ikan patin dan diproses lebih lanjut untuk kemudian dikarakterisasi sebagai dasar bagi pengembangan produk pangan maupun ingredien pangan.

Penelitian profil dan komposisi asam lemak dari beberapa limbah ikan telah banyak dilakukan (Sathivel et al. 2002; Hwang et al. 2004), namun untuk jenis – jenis ikan patin yang ada di Indonesia belum dilakukan, baik untuk ikan patin jenis Siam maupun jenis Jambal yang merupakan dua jenis ikan patin terbanyak dikonsumsi di Indonesia. Penelitian mengenai profil gliserida dari minyak limbah ikan patin juga belum dilakukan hingga saat ini.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data karakteristik fisiko-kimia minyak yang telah dimurnikan dari minyak hasil ekstraksi limbah pengolahan filet ikan patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan patin Jambal (Pangasius djambal).

(21)

Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai karakteristik minyak yang diperoleh dari limbah hasil pengolahan filet ikan patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dan patin Jambal (Pangasius djambal) sebagai dasar pengembangannya menjadi produk ingredien pangan.

Hipotesis

Minyak ikan yang diekstrak dari dua jenis ikan patin (patin Siam dan patin Jambal) dan bagian limbah yang berbeda akan memberikan karakteristik fisiko-kimia yang berbeda

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Patin (Pangasius sp)

Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru – biruan. Kepala ikan relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan catfish. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut pendek yang berfungsi sebagai alat peraba (Susanto dan Amri 1998).

Gambar 1 Salah Satu Jenis Ikan Patin (Ikan Patin Siam)

Menurut Saanin (1984) klasifikasi dan identifikasi ikan patin adalah sebagai berikut :

Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub Ordo : Siluroidea Famili : Pangasidae Genus : Pangasius

Species : Pangasius pangasius

Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang cukup dikenal di Indonesia, serta memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Ikan patin banyak

(23)

dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk olahan baik segar maupun asap. Produk olahan ikan patin segar pada umumnya adalah pempek, nugget, bakso, otak – otak dan produk olahan perikanan lainnya. Daging ikan patin memiliki kandungan kalori dan protein yang cukup tinggi, rasa dagingnya khas, enak dan gurih. Ikan patin dinilai lebih aman untuk kesehatan karena kadar kolesterolnya rendah dibandingkan dengan daging ternak. Protein daging ikan patin cukup tinggi yaitu 16.58%.

Dalam bahasa Inggris catfish populer sebagai ikan lele atau ikan patin alias ikan kucing lantaran mempunyai "kumis". Jenis-jenis ikan patin menurut Khairuman dan Sudenda (2002) antara lain:

1. Patin lokal dengan nama ilmiah Pangasius spp. Salah satu jenis populer yang berpeluang menjadi komoditas ekspor adalah patin jambal (Pangasius djambal Bleeker) yang hidup di sungai-sungai besar di Indonesia. Jenis lain adalah patin kunyit yang hidup di sungai-sungai besar di Riau.

2. Pangasius polyuranodo (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan rios, riu, lancang), Pangasius micronemus (wakal, rius caring), Pangasius nasutus (pedado) dan Pangasius nieuwenbuissii (ikan lawang) yang penyebarannya hanya di Kalimantan Timur.

3. Pangasius bocourti yang terdapat di perairan umum di Vietnam dan merupakan komoditas ekspor ke Amerika Serikat, Eropa dan beberapa negara Asia.

4. Patin siam dengan nama latin Pangasius hypopthalmus adalah patin bangkok atau lele bangkok karena asalnya dari Bangkok (Thailand)

Ikan patin (pangasius pangasius) masih memiliki hubungan kekerabatan dengan ikan patin siam (Pangasius sutchi) yang berkembang dan tersebar di kawasan Asia Tenggara. Dalam klasifikasi biologi, ikan patin termasuk Ordo Ostariophysi, Familia Pangasidae dan Genus Pangasius (Djarijah 2001). Ikan Patin jambal (Pangasius djambal) termasuk kedalam kelompok Ikan lele yang berukuran besar, dimana kelompok Pangasius ini terdiri dari 19 species yang tersebar mulai dari daratan India, Indocina, Burma, Malaysia dan Indonesia (Khairuman dan Sudenda 2002).

Di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan ikan patin lokal (Pangasius sp). Salah satu jenis varietas ikan

(24)

patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan adalah ikan patin jambal (Pangasius djambal) (Djarijah 2001). Patin jambal adalah salah satu dari kelompok pangasius yang banyak terdapat di sungai, danau dan perairan umum lainnya di Indonesia dan banyak di jumpai di daerah Jambi, Riau dan Kalimantan. Dari hasil evaluasi di lapangan menunjukan bahwa ikan ini mempunyai karakter yang menguntungkan untuk budidaya dan bisa mencapai ukuran yang lebih besar dari 20 kg bobot badan namun ketersediannya masih bergantung dari hasil tangkapan di alam. Dengan keberhasilan Balai Budidaya Air Tawar Jambi dalam produksi massal benihnya sejak 2002, maka terbuka peluang usaha pembesarannya. Sehingga budidaya patin jambal dapat dijadikan arternatif komoditi air tawar untuk di masa mendatang.

Ikan patin merupakan salah satu komoditi ikan air tawar yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan serta memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin (Pangasius sp) ini mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Beberapa keunggulan ikan patin seperti tempat pemeliharaan tidak memerlukan air yang mengalir dan hanya dalam waktu pemeliharaan 6 bulan dapat mencapai panjang 35 – 40 cm (Djarijah 2001).

Potensi dan Produksi Ikan Patin (Pangasius sp)

Menurut Thuy (2002) Ikan patin merupakan komoditi perikanan budidaya terbesar di sungai Mekong, Vietnam. Dimana ikan patin memiliki nama pasaran “pangasius‟. Produk ikan patin di Vietnam dikenal dengan nama “Tra” untuk ikan patin jenis Pangasius hypopthalmus dan “Basa” untuk ikan patin jenis Pangasius bocourti. Pada awalnya ikan patin jenis Pangasius bocourti yang dipasarkan terlebih dahulu, dengan daging berwarna putih dan kandungan lemak yang lebih tinggi. Namun seiring dengan perkembangan waktu, ikan patin jenis Pangasius hypopthalmus mulai dibudidayakan lebih intensif karena membutuhkan waktu budidaya yang lebih pendek dibandingkan jenis Pangasius bocourti. Perkembangan dari juvenil hingga ukuran panen untuk jenis Pangasius hypopthalmus hanya memerlukan waktu sekitar 6 bulan. Ikan jenis ini pun lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang oksigen.

Hingga kini kebutuhan ikan patin dalam negeri belum terpenuhi. Produksi ikan patin pada tahun 2004 mencapai 23.962 ton menjadi 51.000 ton pada tahun 2008. Impor patin setiap tahun rata – rata 1000 ton. Setiap tahun Vietnam

(25)

memproduksi 1 juta ton ikan patin dengan kemampuan memasok pasar dunia 250.000 ton diantaranya ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Permintaan pasar Eropa terus meningkat. Saat ini sekitar 25 persen pangsa pasar di Eropa membutuhkan ikan patin (Pusdatin KKP 2011). Semangat mengembangkan budidaya ikan patin di tanah air terganjal lemahnya daya saing. Hal ini terjadi akibat harga pakan ikan yang mahal karena sebagian masih impor sehingga harga filet yang dihasilkan menjadi tinggi.

Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan ikan dalam negeri dan luar negeri, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama 5 (lima) tahun terakhir terus mendorong pengembangan usaha budidaya ikan karena kegiatan penangkapan ikan harus dikendalikan, karena banyak kawasan laut yang dalam kondisi lebih tangkap. Dalam rangka mendukung pengembangan budidaya ikan, KKP telah menerapkan kebijakan Pengembangan Kawasan Komoditas Unggulan. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk memacu budidaya ikan 10 (sepuluh) komoditas unggulan termasuk didalamnya ikan patin (Ferinaldy 2009). Data produksi ikan patin tampak pada Tabel 1, dimana pada tahun 2005 sebesar 32.575 ton kemudian meningkat setiap tahunnya hingga mencapai 147.888 ton pada tahun 2010.

Tabel 1 Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas Utama (Ton)*

Rincian 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Patin 32,575 31,490 36,260 51,000 75,000 147,888 * = Data Produksi Ditjen Budidaya KKP (Pusdatin KKP 2011)

Menurut data statistik dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011, produksi budidaya ikan patin semakin meningkat dari tahun ke tahun. Selama kurang waktu 2007-2009 kenaikan rata-rata produksi komoditas patin selalu di atas 50% per tahun. KKP optimistis produksi patin Indonesia mampu mencapai 1,8 juta ton pada 2014 sehingga menjadikan ikan patin sebagai produk hasil perikanan yang potensial untuk dikembangkan.

Dalam rangka memanfaatkan lahan gambut yang banyak terdapat di Kalimantan, KKP melalui Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Mandiangin membuka instalasi untuk dimanfaatkan sebagai area pengembangan budidaya ikan patin. Keberhasilan panen ikan patin di lahan gambut menunjukkan bahwa uji coba kegiatan budidaya ikan dapat dilakukan di area-area yang tidak dapat

(26)

dimanfaatkan bahkan cenderung menimbulkan masalah, seperti halnya lahan gambut sejuta hektare di Kalimantan dan lahan tadah hujan di Gunung Kidul.

Berdasarkan data dari KKP, produksi patin selalu meningkat dari tahun ke tahun, hal ini masih bisa ditingkatkan karena potensi lahan budidaya patin masih sangat luas,yaitu; berupa perairan umum (sungai, danau, waduk, rawa) serta perkolaman. Budidaya patin ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan secara massal. Setidaknya propaganda itu cukup berhasil menyulut semangat warga untuk membudidayakan ikan yang juga dikenal sebagai ikan lele tersebut. Budidaya patin pun mulai marak dikembangkan terutama di daerah-daerah yang kaya akan sungai.

Gambar 2 Peta Sebaran Ikan Patin di Indonesia

Pengembangan patin di Kabupaten Kampar, Riau, tak cukup sampai di budidaya saja, tapi juga akan dikembangkan sampai ke pengolahannya. Sebuah perusahaan patungan yang melibatkan Pemerintah provinsi Riau, Pemerintah kabupaten Kampar dan pihak swasta bersiap membangun pengolahan ikan patin untuk ekspor. Pada penyelenggaraan Catfish day 2009 di Jogjakarta tersimpulkan, pengembangan budidaya patin di Indonesia masih berorientasi pada produksi secara kuantitas, tetapi sama sekali belum menyentuh masalah pengembangan produk, apalagi mengembangkan sisi nilai produk yang tak mudah diukur (intangible) seperti pencitraan produk dan strategi promosi. Hal ini

(27)

menjadi perhatian dalam proses pengembangan dan peningkatan nilai tambah produk dari ikan patin.

Teknologi Pengolahan Ikan Patin (Pangasius sp)

Dalam dunia perikanan, ikan patin dikenal sebagai komoditas yang memiliki prospek cerah. Daging ikan patin memiliki karakteristik rasa yang sangat khas sehingga digemari masyarakat. Penyebaran konsumen penggemar daging ikan patin ini tidak terbatas di Indonesia saja tetapi juga sudah sampai ke negara – negara Eropa, Amerika dan negara – negara Asia sehingga ikan patin ini berpeluang untuk diekspor. Selama ini untuk memenuhi permintaan ekspor di dunia hanya dipenuhi dari pasokan produksi budidaya ikan patin di Vietnam yang memasoknya dalam bentuk filet.

Ikan patin merupakan salah satu ikan air tawar unggulan dan sudah mulai dibudidayakan dalam skala besar baik untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun ekspor. Ikan patin untuk ekspor biasanya diolah dalam bentuk filet, baik ”frozen filet” maupun ”breaded filet”. Masalah utama yang sering dihadapi dalam pengolahan filet ikan patin adalah bau lumpur, ”drip loss” dan ”oxidative rancidity” diikuti dengan perubahan warna filet menjadi kekuningan. Beberapa masalah teknis ini perlu mendapat perhatian dalam pengembangan riset mengenai ikan patin ini. Selain itu, ikan patin merupakan ikan yang berlemak tinggi. Kadar lemak yang tinggi dalam tubuh ikan patin menyebabkan daging ikan ini mudah sekali mengalami reaksi oksidasi.

Ikan patin yang biasa dikonsumsi memiliki berat sekitar 500 g hingga 1 kg. Bagian – bagian tubuh ikan patin yang biasanya dimanfaatkan konsumen terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan tujuan dan cara memanfaatkannya. Rendemen merupakan bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan. Rendemen juga merupakan suatu parameter yang paling penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa bagian tubuh ikan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan (Hadiwiyoto, 1993). Rendemen daging ikan sangat bervariasi tergantung pada jenis ikan, bentuk tubuh dan umur ikan (Suzuki 1981).

Pada Gambar 3 disajikan gambaran mengenai jumlah atau porsi pemanfaatan ikan patin per bagian tubuh berdasarkan data yang terdapat pada

(28)

Laboratorium Benih Ikan dan Laboratorium Lapangan Perikanan, Departemen Teknologi Manajemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor tahun 2003.

Gambar 3 Persentase Rendemen Ikan Patin (Pangasius sp).

Bagian tubuh ikan seperti kulit, kepala, sirip, tulang dan isi perut disebut dengan inedible portion atau bagian tubuh ikan yang tidak dapat dimakan, sementara dagingnya adalah edible portion atau bagian tubuh yang dapat dimakan (Zaitzev et al. 1969). Bagian tubuh yang tidak dapat dimakan tersebut umumnya dinamakan limbah hasil pengolahan perikanan dimana pemanfaatannya masih sebatas sebagai pakan ikan ataupun hewan ternak lainnya.

Dengan menerapkan teknologi pangan yang kita miliki, peluang tersebut dapat dimanfaatkan, ikan tidak hanya diolah dalam bentuk filet tetapi juga dalam bentuk produk olahan ikan patin lainnya. Demikian pula limbah yang selama ini terbuang seperti kepala, kulit, tulang dan isi perut yang sebenarnya masih banyak mengandung protein dan lemak, diharapkan bisa menghasilkan produk yang bernilai tambah dari limbah tersebut untuk meningkatkan nilai ekonomis.

Pada pengolahan filet ikan patin terdapat limbah yang selama ini terbuang ataupun hanya dimanfaatkan sebatas sebagai bahan baku pakan ikan

(29)

dengan nilai jual yang rendah. Limbah tersebut meliputi kepala, tulang, ekor, belly flap (daging bagian perut), daging sisa trimming (pengeratan/perapian filet) dan isi perut (viscera) yang mengandung lemak abdomen sangat banyak. Limbah dari proses pengolahan filet ikan patin ini dapat dikembangkan menjadi produk yang bernilai tambah terutama dari bagian lemak yang kemungkinan mengandung asam – asam lemak yang berguna bagi kesehatan. Bagian – bagian limbah ikan lele juga memiliki kandungan nutrisi yang tinggi seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan Lemak, Protein dan Air Bagian-bagian Limbah Ikan Lele

Bagian-bagian limbah ikan lele

Kadar Lemak (%) Kadar Protein (%) Kadar air (%)

Isi perut 33.6 14.7 50.1 Saluran pencernaan 5.8 13.4 79.5 Hati 8.8 11.4 74.9 Gallbladder 0.3 2.6 88.9 Lemak simpanan perut 90.7 1.3 8 Daging filet 9 14.4 74.4

Daging belly flap 14.7 13.5 71.2

Sumber : Sathivel et al. (2002)

Lemak dan Minyak

Lemak dan minyak merupakan senyawaan trigliserida dari gliserol. Dalam pembentukannya, trigliserida merupakan hasil proses kondensasi satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak (umumnya ketiga asam lemak tersebut berbeda –beda), yang membentuk satu molekul trigliserida dan satu molekul air . Bila R1=R2=R3 , maka trigliserida yang terbentuk disebut trigliserida sederhana (simple triglyceride), sedangkan bila R1, R2,R3, berbeda, maka disebut trigliserida campuran (mixed triglyceride).

Lemak dan minyak terdiri dari trigliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Trigliserida dapat berwujud padat atau cair tergantung komposisi asam lemak penyusunnya. Lemak dan minyak tidak berbeda dalam bentuk umum trigliseridanya dan hanya berbeda

(30)

dalam bentuk wujudnya (Ketaren 1986). Struktur trigliserida adalah sebagai berikut:

Gambar 4 Trigliserida (Ketaren 1986)

Minyak-minyak dan lemak merupakan bagian dari lipida yang didalamnya larut vitamin-vitamin A,D,E dan K. Sebagai sumber asam lemak essential, merupakan sumber energi yang tinggi. Minyak, lemak berperanan dalam pembentukan susunan didalam memperbaiki penampilan dan memberikan cita rasa (Giese, 1996). Minyak dan lemak menghasilkan energi yang lebih tinggi dari pada karbohidrat dan protein.

Minyak Ikan

Minyak ikan merupakan komponen lemak dalam jaringan tubuh ikan yang telah diekstraksi dalam bentuk minyak. Minyak ikan mempunyai jenis asam lemak yang lebih beragam dibandingkan dengan jenis minyak yang lain, dengan kandungan asam lemak omega 3 yaitu EPA dan DHA yang umum dijumpai pada minyak ikan (Estiasih 2009).

Proses untuk mendapatkan minyak ikan dengan kualitas yang baik ada 2 tahap penting yang harus diperhatikan yaitu proses ekstraksi minyak dan proses pemurnian minyak. Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Pemurnian (refining) adalah suatu proses yang bertujuan untuk menghilangkan rasa dan bau yang tidak enak, warna tidak menarik dan untuk memperpanjang umur simpan sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam industri (Ketaren 1986). Menurut Estiasih (2009), untuk menjadikan minyak ikan kasar yang dihasilkan layak konsumsi maka perlu dilakukan pemurnian. Pemurnian ini perlu dilakukan karena minyak atau lemak yang dihasilkan dalam proses

(31)

ekstraksi umumnya mengandung kotoran yang ikut terekstraksi dan kotoran tersebut dapat menimbulkan kerusakan yang mengakibatkan kualitas minyak yang dihasilkan akan menurun.

Minyak ikan yang diperoleh sebagai hasil samping dari pengolahan tepung ikan dan ikan kaleng sering mengandung banyak kotoran. Kotoran pada minyak ikan dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu pertama adalah kotoran yang tidak larut dalam minyak (kotoran fisik, air dan protein), kedua adalah kotoran yang berbentuk suspensi koloid dalam minyak (fosfatida dan karbohidrat) dan ketiga adalah kotoran yang terlarut dalam minyak, yaitu asam lemak bebas, pigmen, mono dan digliserida, senyawa hasil oksidasi, logam dan bahan-bahan yang tak tersabunkan (Irianto 2002). Minyak ikan tersebut dapat ditingkatkan mutunya agar layak dikonsumsi manusia dengan memurnikannya dengan beberapa macam metode.

Penelitian mengenai pemanfaatan limbah hasil pengolahan ikan Salmon untuk minyak telah dilakukan oleh Wu et al. (2008), dimana diketahui ikan Salmon banyak mengandung asam lemak omega 3 yang sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Penelitian Sathivel et al. (2009) adalah membandingkan sifat fisika dan kimia minyak ikan lele dari proses ekstraksi yang berbeda. Sebagian besar minyak dari ikan lele terdapat pada isi perutnya, dimana mengandung sekitar 33% lipid. Limbah ikan lele terutama isi perutnya dapat digunakan untuk menghasilkan minyak ikan yang bisa dikonversi menjadi edible oil ataupun produk biodiesel.

Pemurnian Minyak Ikan

Pemurnian minyak ikan dilakukan untuk menghilangkan komponen yang tidak dikehendaki ataupun pengotor karena mengakibatkan efek yang merugikan bagi kualitas minyak secara keseluruhan (Estiasih 2009). Proses pemurnian minyak ikan dapat dilakukan dengan mengikuti tahapan proses penghilangan gum, penghilangan asam lemak bebas, pemucatan, dan deodorisasi ataupun memilih diantaranya untuk kemudian dikombinasikan agar mendapatkan hasil yang terbaik. Berikut ini adalah penjelasan mengenai tahapan proses pemurnian tersebut.

Penghilangan gum merupakan proses pemisahan getah dan lender yang terdiri dari fosfatida, protein, residu karbohidrat, air, dan resin tanpa mengurangi jumlah

(32)

asam lemak bebas dalam minyak. Penghilangan gum dilakukan dengan penambahan NaCl 8% kedalam minyak ikan pada suhu 60 ºC selama 15 menit. Larutan NaCl yang ditambahkan sebanyak 40% dari volume minyak yang dimurnikan dan selama degumming dilakukan pengadukan.

Penghilangan asam lemak bebas adalah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (soap stock).

Netralisasi dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH 1N ke dalam minyak yang sudah mengalami proses degumming. Larutan NaOH 1N ditambahkan dalam minyak ikan pada suhu 60 ºC selama 15 menit. Jumlah NaOH yang ditambahkan ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

%NaOH = %FFA x 0,142

Selanjutnya minyak yang telah dinetralkan dibiarkan beberapa saat supaya terjadi pemisahan sabun yang terbentuk. Lapisan sabun berada pada lapisan bawah dan lapisan minyak pada bagian atas. Kemudian sabun tersebut diambil. Untuk menghilangkan sabun-sabun yang masih tersisa, pada minyak ikan ditambahkan air panas sambil diaduk dan kemudian dibiarkan supaya terjadi pemisahan minyak dan air. Setelah itu air yang terpisah dibuang.

Pemucatan ialah suatu proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan atau memucatkan warna yang tidak disukai (Windsor dan Barlow 1981). Pemucatan dilakukan dengan penambahan adsorben, umumnya dilakukan dalam ketel yang dilengkapi dengan pipa uap dan alat penghampa udara. Minyak dipanaskan pada suhu 105 ºC selama 1 jam. Adsorben ditambahkan saat minyak mencapai suhu 70-80 ºC sebanyak 1-1,5% dari berat minyak. Selain warna, diserap pula suspensi koloid dan hasil degradasi minyak seperti peroksida.

Deodorisasi adalah suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan bau dan rasa yang tidak enak dalam minyak. Prinsip proses deodorasi, yaitu penyulingan minyak dengan uap panas pada tekanan atmosfer

(33)

atau pada keadaan hampa. Proses deodorasi dilakukan dengan cara memompa minyak ke dalam ketelen deodorasi. Kemudian minyak tersebut dipanaskan pada suhu 200-250 ºC pada tekanan 1 atmosfer dan selanjutnya pada tekanan rendah (kurang lebih 10 mmHg), sambil dialiri uap panas selama 4-6 jam untuk mengangkut senyawa yang dapat menguap. Setelah proses deodorisasi selesai, minyak ikan kemudian didinginkan sehingga suhu menjadi kurang lebih 84 ºC dan selanjutnya minyak ikan dikeluarkan

Karakterisasi Minyak Ikan

Menurut Bimbo (1998), minyak ikan yang akan dikonsumsi harus memenuhi standar food gade. Standar tersebut berdasarkan pada karakteristik minyak ikan yang dihasilkan, disesuaikan dengan metode pengolahan dan sumber minyak ikan itu berasal. Beberapa hal yang mempengaruhi kualitas minyak ikan yang dihasilkan adalah jenis ikan apakah liar atau budidaya, musim saat ikan ditangkap ataupun umur ikan.

Analisa minyak ikan lele menggunakan alat DSC (Differensial Scanning Calorimetry) disajikan pada Gambar 5 yang merupakan hasil penelitian dari Sathivel et al. (2008). Termogram yang dihasilkan merupakan hasil analisa titik cair dari minyak isi perut ikan lele.

Gambar 5 Hasil Analisa Melting Point menggunakan alat DSC dari minyak visera ikan lele (Sathivel et al. 2008)

(34)

Berdasarkan penelitian Sathivel et al. (2008), melting point dari minyak isi perut ikan lele berkisar antara -46.2 – 21.2 ºC untuk minyak kasarnya. Tren titik cair dari minyak ikan isi perut lele ini menggambarkan kandungan asam lemaknya, dimana memiliki total kandungan asam lemak tidak jenuh diatas 68%. Titik cair yang memiliki nilai negatif berkaitan dengan kandungan asam lemak tidak jenuhnya. Sedangkan untuk hasil analisa DSC asam lemak Palmitat dan DHA pada Gambar 6.

Gambar 6 Tipikal Termogam DSC untuk (a) Asam Palmitat dan (b) DHA (Sathivel et al. 2008)

Termogram pada gambar diatas merupakan puncak titik cair dari asam lemak palmitat dan DHA, dimana alat DSC dipanaskan dari suhu -75 hingga 120 ºC. Puncak titik cair ini sangat tajam, menggambarkan hanya satu asam lemak yang dianalisa, dibandingkan dengan termogram pada Gambar 5 yang menggambarkan Trigliserida dengan kandungan asam lemak yang bervariasi sehingga puncak titik cairnya berbentuk landai dan tidak tajam (Sathivel et al. 2008),

(35)

Asam Lemak

Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di antara atom-atom karbon penyusunnya. Semakin panjang rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut. Asam lemak jenuh bersifat lebih stabil daripada asam lemak tak jenuh. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah bereaksi dengan oksigen (mudah teroksidasi).

Asam lemak, bersama-sama dengan gliserol, merupakan penyusun utama minyak nabati atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipida pada makhluk hidup. Asam lemak ini mudah dijumpai dalam minyak masak (goreng), margarin, atau lemak hewan dan menentukan nilai gizinya. Secara alami, asam lemak bisa berbentuk bebas (karena lemak yang terhidrolisis) maupun terikat sebagai gliserida. Sejumlah studi menunjukkan bahwa profil asam lemak sangat bergantung pada komposisi lemak pada makanan yang dikonsumsi ikan (Sargent et al. 1995). Penelitian Waagbo et al. (1993) mengenai pemberian pakan ikan Salmon dengan 3 tingkat kandungan omega 3 yang berbeda memberikan hasil bahwa terjadi kenaikan pada kandungan asam lemak omega 3 dari ikan Salmon tersebut.

Penelitian mengenai profil dan komposisi asam lemak pada daging filet ikan lele dan bagian – bagian limbah ikan lele yaitu isi perut, saluran pencernaan, hati, gallbladder, lemak simpanan perut dan daging belly flap telah dilakukan Sathivel et al. (2002) dengan hasil tampak pada Tabel 3.

Pada hasil penelitian tersebut tampak bahwa minyak yang didapatkan dari masing – masing bagian limbah ikan lele dan daging filetnya menunjukkan profil dan komposisi asam lemak yang berbeda. Hal ini menjadi dasar bagi penelitian lebih lanjut bahwa bagian – bagian limbah yang berbeda sangat berpengaruh terhadap minyak ikan yang dihasilkan terutama dalam profil asam lemaknya.

(36)

Tabel 3 Profil dan Komposisi Asam Lemak Ikan Lele dari Bagian – bagian Limbah yang Berbeda (mg/g)

Asam Lemak Isi perut Saluran pencernaan

Hati Empedu Lemak simpanan Filet Daging belly flap C14:0 9.5 1.4 0.3 0.3 5.2 6.8 10.4 C16:0 76.2 43.2 7.2 5.3 33.9 70.4 83.6 C16:1 10.9 3.7 1.1 1.3 5.1 14.0 10.8 C18:0 32.9 10.9 6.7 13.9 13.1 29.7 35.6 C18:1 145.7 62.0 12.2 3.1 52.7 149.5 175.7 C18:2 73.1 1.5 2.8 0.4 29.5 65.6 81.2 C18:3 7.5 17.3 0.3 0.2 4.3 6.0 8.3 C20:0 1.9 0.6 0.2 0.5 0.9 1.5 1.9 C20:1 11.9 1.9 1.0 0.9 4.6 7.9 10.9 C20:2 3.5 1.3 0.2 2.1 2.2 2.3 3.6 C22:4 4.5 3.0 6.4 2.8 1.9 4.7 6.4 C22:6 4.2 3.6 4.0 9.2 1.8 9.3 10.7 Jenuh 121.0 56.2 14.4 25.0 53.0 108.4 131.5 Tak jenuh 261.3 94.7 28.0 79.4 102.1 259.3 307.5 Sumber : Sathivel et al (2002)

Perbedaan jenis ikan juga sangat mempengaruhi profil asam lemak dari minyak ikan yang dihasilkan seperti tampak pada Tabel 4 yang menunjukkan hasil penelitian dari Sathivel et al (2002).

Hasil penelitian Sathivel menunjukkan bahwa total PUFA dari isi perut ikan lele lebih tinggi dibandingkan dari daging filetnya, demikian pula dari ikan salmon dan tuna sedangkan asam lemak omega 3 (C18:3 dan C22:6) yang terdeteksi dari isi perut ikan lele adalah sebesar 12.4% dari total PUFA. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa limbah dari ikan lele yang berupa isi perut merupakan sumber potensial untuk dibuat menjadi minyak ikan yang kemudian dapat dimurnikan menjadi edible oil. Minyak ikan yang didapatkan dari isi perut ikan lele juga bisa dimanfaatkan sebagai flavor untuk pangan dan dapat dijadikan pangan fungsional (Prinyawiwatkul et al. 2002).

(37)

Tabel 4 Perbandingan Profil Asam Lemak Isi perut Ikan lele dengan Daging Filet Beberapa Jenis Ikan Lainnya (g/100g)

Asam lemak (g/100g bahan) Ikan lele liar Ikan lele budidaya Salmon budidaya Tuna Sirip biru Isi perut Ikan lele Jenuh C14:0 0.06 0.09 0.49 0.14 0.42 C16:0 0.44 1.23 1.30 0.81 3.35 C18:0 1.5 0.35 0.28 0.31 1.44

Tak jenuh tunggal

C16:1 0.18 0.28 0.67 0.16 0.48

C18:1 0.59 3.17 1.78 0.92 6.40

C20:1 0.02 0.07 1.19 0.28 0.55

Tak jenuh jamak

C18:2 0.10 0.88 0.59 0.05 3.21

C18:3 0.07 0.10 0.09 0.00 0.33

C20:4 0.15 0.09 1.15 0.04 0.20

C22:6 0.23 0.21 1.29 0.89 0.18

Omega 3 0.30 0.31 1.38 0.89 0.51

Sumber : Sathivel et al. (2002)

Asam Lemak Omega 3

Asam lemak omega-3 adalah asam lemak poli tak jenuh yang mempunyai ikatan rangkap banyak, ikatan rangkap pertama terletak pada atom karbon ketiga dari gugus metil. Ikatan ketiga dari ikatan rangkap sebelumnya. Gugus metil adalah gugus terakhir dari rantai asam lemak. Contoh asam lemak omega-3 adalah asam lemak eikosapentaenoat EPA (C 20: 5, ω-3), dan asam lemak dokosaheksaenoat DHA (C 22: 6, ω-3). Struktur Omega-3 EPA dan DHA adalah sebagai berikut:

(38)

Asam lemak Omega-3 EPA sangat bermanfaat untuk kesehatan diantaranya mengurangi resiko penyakit jantung dan menghambat penyempitan pembuluh darah. Selain itu, Omega-3 juga berkhasiat untuk memperbaiki tekanan darah pada penderita hipertensi serta penyakit diabetes. Sedangkan DHA merupakan komponen yang penting untuk pertumbuhan otak, pertumbuhan retina mata (penglihatan) yang baik serta pembentukan saraf-saraf yang baik. Kekurangan asam lemak Omega-3 dapat mengakibatkan gangguan saraf dan penglihatan. Pada bayi kekurangan asam lemak Omega-3 dapat mengakibatkan proses pembentukan sel neuronnya terhambat sehingga bayi bisa cacat, kualitasnya rendah serta proses tumbuh kembang sel otak tidak normal atau di bawah optimal (Almatsier 2003).

Asam lemak rantai panjang omega-3 yang ditemukan pada minyak ikan bisa dimanfaatkan untuk mengurangi resiko penyakit jantung, stroke, menlarutkan kolesterol dalam darah dan mempertahankan kinerja dari otak dan sistem syaraf. Pada temuan lain juga dijumpai bahwa suplementasi minyak ikan dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi resiko penyumbatan pembuluh darah dan dapat mengurangi tekanan jantung yang tidak beraturan (Wang et al., 2004).

Pada minyak ikan dan hewan laut, PUFA dalam konsentrasi tinggi ditemukan di posisi sn-2 dan sebagian di posisi sn-3, asam miristat, palmitat dan palmitoleat di posisi sn-3, asam oleat dan MUFA terutama di posisi sn-1 dengan kecendrungan semakin panjang rantainya akan terdapat pada posisi sn-3 (Christie 1989).

Jumlah PUFA (polyunsaturated fatty acids) yang optimum untuk dikonsumsi adalah 6-10 % dari total energi yang dibutuhkan setiap hari. Kekurangan PUFA dapat menyebabkan risiko terkena kanker, menurunkan kekebalan tubuh, meningkatkan risiko arteriosklerosis, meningkatkan jumlah peroksida sehingga mempercepat proses penuaan dan meningkatkan risiko terkena batu empedu (Nurjanah 2002).

Ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat tinggi sehingga oksidasi lemak sangat mungkin terjadi selama proses pengolahan. Menurut Nair dan Gopakumar (1978) kandungan asam eikosapentanoat (EPA) ikan lele air tawar, air laut dan air payau adalah 3.78%, 5.54% dan 4.36% sedangkan kandungan asam dokosaheksanoat (DHA) masing – masing adalah 0.28%, 4.83% dan 1.59%.

(39)

Asam lemak omega-3 yang dikenal dengan asam eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA) merupakan asam lemak tidak jenuh tinggi (Polyunsaturated Fatty Acid /PUFA) yang banyak terdapat dalam minyak ikan. Pada orang dewasa EPA dan DHA berperanan dalam pencegahan atherosklerosis, pertumbuhan tumor, thrombosis, hipergliseridemia dan tekanan darah tinggi. Asam lemak omega-3 dan omega-6 bermanfaat bagi kesehatan, yaitu dapat mencegah penyakit jantung, hipertensi dan radang sendi, serta DHA penting untuk perkembangan otak (Pak 2005).

Asam lemak omega 3 (EPA dan DHA) secara alami dapat diperoleh dari lemak ikan terutama ikan laut, tetapi tidak menutup kemungkinan juga terdapat pada lemak ikan air tawar. Kedua asam lemak ini tidak dapat disintesis oleh tubuh ikan tetapi disintesis oleh plankton yang merupakan pakan utama dari ikan (Hadipranoto 2005). Pada umumnya komposisi asam lemak dari minyak ikan bervariasi tergantung dari kebiasaan makan, kondisi lingkungan, umur, kematangan gonad dan species (Haliloglu et al. 2004).

Komposisi dan Distribusi Asam Lemak pada Trigliserida

Minyak dan lemak merupakan trigliserida dimana tiga asam lemak diesterkan pada gliserol. Lemak dan minyak dalam makanan normal terdiri dari trigliserida rantai panjang (Long Chain Triglycerides/LCT) dengan panjang rantai asam lemak dari 14 atom C ke atas, trigliserida rantai sedang (Medium Chain Triglyserides /MCT) dengan panjang rantai asam lemak dari 8-12 atom C, dan trigliserida rantai pendek (Short Chain Triglyserides/SCT) dengan panjang rantai asam lemak lebih kecil dari 8 (Gunstone dan Norris 1983).

Minyak dan lemak dari sumber tertentu mempunyai ciri khas yang berbeda dari sumber lainnya dimana tergantung pada komposisi dan distribusi asam lemak pada molekul trigliseridanya. Komposisi termasuk panjang rantai, kejenuhan dan ketidak jenuhan serta distribusi asam lemak pada molekul gliserol akan sangat mempengaruhi sifat-sifat lemak dan minyak baik fisik maupun kimia serta metabolismenya (Kritchevsky 1995).

Suatu lemak tertentu biasanya mengandung campuran dari trigliserida yang berbeda panjang dan derajat ketidakjenuhan asam-asam lemaknya. Disamping adanya komposisi asam lemak yang spesifik untuk setiap sumber lemak dan minyak, juga terdapat perbedaan distribusi posisi asam-asam lemak

(40)

dalam molekul gliserol pada triasilgliserolnya. Untuk menggambarkan distribusi asam lemak dalam molekul triasilgliserol, setiap atom karbon dalam molekul gliserol diberi nomor -1, -2 dan -3 atau α,β dan α . Posisi setiap asam lemak dalam molekul gliserol dinyatakan sesuai dengan tempatnya. Karena gliserol mengandung dua gugus hidroksil primer, dua asam lemak yang berbeda akan dapat diesterkan pada masing-masing posisi tersebut. Kemudian pusat asimetri terbentuk dan trigliserida yang terbentuk dari digliserida ini akan menunjukkan bentuk enentiomorpik. Posisi asam lemak dalam triasilgliserol dinyatakan dengan penomoran spesifik (Stereospesicific numbering /sn) yaitu sn-1, sn-2, sn-3 dimana pusatnya adalah gugus hidroksil sekunder yang selalu menunjukkan posisi 2, sedangkan atom karbon C-1 dan C-3 berada pada posisi 1 dan 3 (Gambar 8).

Gambar 8 Struktur Trigliserida (Christie 1987; Gunstone dan Norris 1983)

Distribusi posisi asam-asam lemak ini dapat diketahui dengan melakukan hidrolisis asam-asam lemak pada posisi sn-1 dan sn-3 oleh lipase pankreatik sehingga tinggal 2-monoasilgliserol yang dapat diisolasi dan ditransesterifikasi untuk penentuan asam lemaknya pada posisi sn-2 dengan kromatografi gas. Untuk penentuan asam lemak pada posisi sn-1 dan sn-3 dilakukan hidrolisis triasilgliserol dengan reagen Gignard (EtMgBr) sehingga dihasilkan diasilgliserol (isomer sn-1,2 dan sn-2,3). Diasilgliserol disintesa hingga menjadi fosfolipid yang kemudian dihidrolisis dengan fosfolipase A yang spesifik terhadap 1,2-diasilgliserofosfatida hingga menghasilkan lisofosfotida yang mengandung asam lemak pada posisi sn-1. Selanjutnya dilakukan transesterifikasi untuk penentuan

(41)

asam lemak pada posisi sn-1 dengan kromatografi gas. Asam lemak pada posisi sn-3 ditentukan dengan menganalisa 2,3-diasilgliserofosfatida (Christie 1987).

Peranan dan Manfaat Nutrisi Lemak berdasarkan Komposisi Asam Lemak

Susunan lemak adalah trigliserida yang terdapat campuran dari asam-asam lemak dengan rantai pendek, sedang dan panjang yang terikat pada molekul gliserol dibuat untuk pemakaian khusus. Susunan lemak banyak dikembangkan untuk pemakaian dalam bidang produksi pangan dan kesehatan (Haumann 1997). Dari segi nutrisi, komposisi dan distribusi asam-asam lemak dalam molekul gliserol sangat mempengaruhi pencernaan, penyerapan dan transportasi di dalam tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam lemak jenuh rantai panjang sangat sedikit diserap dari saluran pencernaan bila dibandingkan dengan asam-asam lemak tak jenuh atau asam lemak dengan rantai yang lebih pendek.

Trigliserida di dalam tubuh manusia hanya terhidrolisa oleh enzim pankreas pada posisi C1 dan C3 sedangkan C2 tetap dalam bentuk esternya. Ester yang masih terikat dengan gliserol pada posisi C2 biar bagaimanapun panjang rantainya tetap dapat diserap oleh tubuh sebagai sumber energi, sedangkan asam lemak bebas hasil hidrolisa pada posisi C1 dan C3 apabila berantai panjang sulit terabsorbsi oleh tubuh (Juliati 2002).

Variasi profil asam lemak pada minyak ikan akan mempengaruhi nilai gizi seperti halnya sifat organoleptik dan tekstur ikan (Palmeri; Turchini dan De Silva 2007). Lemak dan minyak memegang peranan penting dalam penentuan sifat fungsional dan cita rasa (flavor) produk-produk pangan. Peranan lemak dan minyak dalam bahan pangan anatara lain adalah merupakan komponen pembawa flavor dengan perbedaan titik leleh yang akan menentukan kelembutan, sifat pembentukan krim dan rasa dalam mulut dan juga dalam pembentukan struktur remah dari roti. Disamping sifat fungsionalnya, lemak dan minyak mempunyai aspek gizi yang penting seperti telah disebutkan yaitu sebagai sumber energi (9 kkal/gam) ; sumber dan pembawa asam lemak essensial dan vitamin A,D,E dan K ; prekursor dari prostaglandin, senyawa seperti hormon yang mengatur berbagai fungsi fisiologis dan juga penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tubuh (Giese 1996).

Gambar

Gambar 1 Salah Satu Jenis Ikan Patin (Ikan Patin Siam)
Tabel 1 Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas Utama (Ton)*
Gambar 2  Peta Sebaran Ikan Patin di Indonesia
Gambar 3  Persentase Rendemen Ikan Patin (Pangasius sp).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rang- ka perakitan varietas tahan penyakit blas dengan pe- nampilan agronomis yang sesuai harapan, telah di- lakukan pembentukan populasi haploid ganda (HG) dan silang balik

Penelitian ini menggunakan simulasi dengan software Maxsurf, kemudian dilakukan dengan metode perhitungan manual yang nantinya digunakan untuk menentukan jumlah

Keuntungan alat pengering pakaian berbasis arduino uno ini didalam rumah tangga sangat perlu dan mudah ketika hujan turun atau cuaca tidak panas kita dapat

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan umur bibit yang berbeda dengan pemberian pupuk N terhadap luas daun tanaman, interkasi

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan matematika realistic (PMR) dapat meningkatkan hasil

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gentamisin menurunkan jumlah sperma mencit secara bermakna (p <0,05) dan pemberian vitamin E pada mencit yang diinduksi

Penanganan terhadap efek samping yang dilakukan petugas TB paru pada pasien intensif adalah pemberian informasi waktu minum obat di malam hari dan pemberian

Dari pendapatan saya, saya dapat membiayai kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah anak saya seperti studytour maupun kegiatan ekstrakulikuler lainnya 10.. Dari pendapatan saya,