• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan Patin (Pangasius sp)

Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru – biruan. Kepala ikan relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan catfish. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut pendek yang berfungsi sebagai alat peraba (Susanto dan Amri 1998).

Gambar 1 Salah Satu Jenis Ikan Patin (Ikan Patin Siam)

Menurut Saanin (1984) klasifikasi dan identifikasi ikan patin adalah sebagai berikut :

Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub Ordo : Siluroidea Famili : Pangasidae Genus : Pangasius

Species : Pangasius pangasius

Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang cukup dikenal di Indonesia, serta memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Ikan patin banyak

dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk olahan baik segar maupun asap. Produk olahan ikan patin segar pada umumnya adalah pempek, nugget, bakso, otak – otak dan produk olahan perikanan lainnya. Daging ikan patin memiliki kandungan kalori dan protein yang cukup tinggi, rasa dagingnya khas, enak dan gurih. Ikan patin dinilai lebih aman untuk kesehatan karena kadar kolesterolnya rendah dibandingkan dengan daging ternak. Protein daging ikan patin cukup tinggi yaitu 16.58%.

Dalam bahasa Inggris catfish populer sebagai ikan lele atau ikan patin alias ikan kucing lantaran mempunyai "kumis". Jenis-jenis ikan patin menurut Khairuman dan Sudenda (2002) antara lain:

1. Patin lokal dengan nama ilmiah Pangasius spp. Salah satu jenis populer yang berpeluang menjadi komoditas ekspor adalah patin jambal (Pangasius djambal Bleeker) yang hidup di sungai-sungai besar di Indonesia. Jenis lain adalah patin kunyit yang hidup di sungai-sungai besar di Riau.

2. Pangasius polyuranodo (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan rios, riu, lancang), Pangasius micronemus (wakal, rius caring), Pangasius nasutus (pedado) dan Pangasius nieuwenbuissii (ikan lawang) yang penyebarannya hanya di Kalimantan Timur.

3. Pangasius bocourti yang terdapat di perairan umum di Vietnam dan merupakan komoditas ekspor ke Amerika Serikat, Eropa dan beberapa negara Asia.

4. Patin siam dengan nama latin Pangasius hypopthalmus adalah patin bangkok atau lele bangkok karena asalnya dari Bangkok (Thailand)

Ikan patin (pangasius pangasius) masih memiliki hubungan kekerabatan dengan ikan patin siam (Pangasius sutchi) yang berkembang dan tersebar di kawasan Asia Tenggara. Dalam klasifikasi biologi, ikan patin termasuk Ordo Ostariophysi, Familia Pangasidae dan Genus Pangasius (Djarijah 2001). Ikan Patin jambal (Pangasius djambal) termasuk kedalam kelompok Ikan lele yang berukuran besar, dimana kelompok Pangasius ini terdiri dari 19 species yang tersebar mulai dari daratan India, Indocina, Burma, Malaysia dan Indonesia (Khairuman dan Sudenda 2002).

Di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan ikan patin lokal (Pangasius sp). Salah satu jenis varietas ikan

patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan adalah ikan patin jambal (Pangasius djambal) (Djarijah 2001). Patin jambal adalah salah satu dari kelompok pangasius yang banyak terdapat di sungai, danau dan perairan umum lainnya di Indonesia dan banyak di jumpai di daerah Jambi, Riau dan Kalimantan. Dari hasil evaluasi di lapangan menunjukan bahwa ikan ini mempunyai karakter yang menguntungkan untuk budidaya dan bisa mencapai ukuran yang lebih besar dari 20 kg bobot badan namun ketersediannya masih bergantung dari hasil tangkapan di alam. Dengan keberhasilan Balai Budidaya Air Tawar Jambi dalam produksi massal benihnya sejak 2002, maka terbuka peluang usaha pembesarannya. Sehingga budidaya patin jambal dapat dijadikan arternatif komoditi air tawar untuk di masa mendatang.

Ikan patin merupakan salah satu komoditi ikan air tawar yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan serta memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin (Pangasius sp) ini mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Beberapa keunggulan ikan patin seperti tempat pemeliharaan tidak memerlukan air yang mengalir dan hanya dalam waktu pemeliharaan 6 bulan dapat mencapai panjang 35 – 40 cm (Djarijah 2001).

Potensi dan Produksi Ikan Patin (Pangasius sp)

Menurut Thuy (2002) Ikan patin merupakan komoditi perikanan budidaya terbesar di sungai Mekong, Vietnam. Dimana ikan patin memiliki nama pasaran “pangasius‟. Produk ikan patin di Vietnam dikenal dengan nama “Tra” untuk ikan patin jenis Pangasius hypopthalmus dan “Basa” untuk ikan patin jenis Pangasius bocourti. Pada awalnya ikan patin jenis Pangasius bocourti yang dipasarkan terlebih dahulu, dengan daging berwarna putih dan kandungan lemak yang lebih tinggi. Namun seiring dengan perkembangan waktu, ikan patin jenis Pangasius hypopthalmus mulai dibudidayakan lebih intensif karena membutuhkan waktu budidaya yang lebih pendek dibandingkan jenis Pangasius bocourti. Perkembangan dari juvenil hingga ukuran panen untuk jenis Pangasius hypopthalmus hanya memerlukan waktu sekitar 6 bulan. Ikan jenis ini pun lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang oksigen.

Hingga kini kebutuhan ikan patin dalam negeri belum terpenuhi. Produksi ikan patin pada tahun 2004 mencapai 23.962 ton menjadi 51.000 ton pada tahun 2008. Impor patin setiap tahun rata – rata 1000 ton. Setiap tahun Vietnam

memproduksi 1 juta ton ikan patin dengan kemampuan memasok pasar dunia 250.000 ton diantaranya ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Permintaan pasar Eropa terus meningkat. Saat ini sekitar 25 persen pangsa pasar di Eropa membutuhkan ikan patin (Pusdatin KKP 2011). Semangat mengembangkan budidaya ikan patin di tanah air terganjal lemahnya daya saing. Hal ini terjadi akibat harga pakan ikan yang mahal karena sebagian masih impor sehingga harga filet yang dihasilkan menjadi tinggi.

Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan ikan dalam negeri dan luar negeri, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama 5 (lima) tahun terakhir terus mendorong pengembangan usaha budidaya ikan karena kegiatan penangkapan ikan harus dikendalikan, karena banyak kawasan laut yang dalam kondisi lebih tangkap. Dalam rangka mendukung pengembangan budidaya ikan, KKP telah menerapkan kebijakan Pengembangan Kawasan Komoditas Unggulan. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk memacu budidaya ikan 10 (sepuluh) komoditas unggulan termasuk didalamnya ikan patin (Ferinaldy 2009). Data produksi ikan patin tampak pada Tabel 1, dimana pada tahun 2005 sebesar 32.575 ton kemudian meningkat setiap tahunnya hingga mencapai 147.888 ton pada tahun 2010.

Tabel 1 Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas Utama (Ton)*

Rincian 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Patin 32,575 31,490 36,260 51,000 75,000 147,888 * = Data Produksi Ditjen Budidaya KKP (Pusdatin KKP 2011)

Menurut data statistik dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011, produksi budidaya ikan patin semakin meningkat dari tahun ke tahun. Selama kurang waktu 2007-2009 kenaikan rata-rata produksi komoditas patin selalu di atas 50% per tahun. KKP optimistis produksi patin Indonesia mampu mencapai 1,8 juta ton pada 2014 sehingga menjadikan ikan patin sebagai produk hasil perikanan yang potensial untuk dikembangkan.

Dalam rangka memanfaatkan lahan gambut yang banyak terdapat di Kalimantan, KKP melalui Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Mandiangin membuka instalasi untuk dimanfaatkan sebagai area pengembangan budidaya ikan patin. Keberhasilan panen ikan patin di lahan gambut menunjukkan bahwa uji coba kegiatan budidaya ikan dapat dilakukan di area-area yang tidak dapat

dimanfaatkan bahkan cenderung menimbulkan masalah, seperti halnya lahan gambut sejuta hektare di Kalimantan dan lahan tadah hujan di Gunung Kidul.

Berdasarkan data dari KKP, produksi patin selalu meningkat dari tahun ke tahun, hal ini masih bisa ditingkatkan karena potensi lahan budidaya patin masih sangat luas,yaitu; berupa perairan umum (sungai, danau, waduk, rawa) serta perkolaman. Budidaya patin ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan secara massal. Setidaknya propaganda itu cukup berhasil menyulut semangat warga untuk membudidayakan ikan yang juga dikenal sebagai ikan lele tersebut. Budidaya patin pun mulai marak dikembangkan terutama di daerah-daerah yang kaya akan sungai.

Gambar 2 Peta Sebaran Ikan Patin di Indonesia

Pengembangan patin di Kabupaten Kampar, Riau, tak cukup sampai di budidaya saja, tapi juga akan dikembangkan sampai ke pengolahannya. Sebuah perusahaan patungan yang melibatkan Pemerintah provinsi Riau, Pemerintah kabupaten Kampar dan pihak swasta bersiap membangun pengolahan ikan patin untuk ekspor. Pada penyelenggaraan Catfish day 2009 di Jogjakarta tersimpulkan, pengembangan budidaya patin di Indonesia masih berorientasi pada produksi secara kuantitas, tetapi sama sekali belum menyentuh masalah pengembangan produk, apalagi mengembangkan sisi nilai produk yang tak mudah diukur (intangible) seperti pencitraan produk dan strategi promosi. Hal ini

menjadi perhatian dalam proses pengembangan dan peningkatan nilai tambah produk dari ikan patin.

Teknologi Pengolahan Ikan Patin (Pangasius sp)

Dalam dunia perikanan, ikan patin dikenal sebagai komoditas yang memiliki prospek cerah. Daging ikan patin memiliki karakteristik rasa yang sangat khas sehingga digemari masyarakat. Penyebaran konsumen penggemar daging ikan patin ini tidak terbatas di Indonesia saja tetapi juga sudah sampai ke negara – negara Eropa, Amerika dan negara – negara Asia sehingga ikan patin ini berpeluang untuk diekspor. Selama ini untuk memenuhi permintaan ekspor di dunia hanya dipenuhi dari pasokan produksi budidaya ikan patin di Vietnam yang memasoknya dalam bentuk filet.

Ikan patin merupakan salah satu ikan air tawar unggulan dan sudah mulai dibudidayakan dalam skala besar baik untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun ekspor. Ikan patin untuk ekspor biasanya diolah dalam bentuk filet, baik ”frozen filet” maupun ”breaded filet”. Masalah utama yang sering dihadapi dalam pengolahan filet ikan patin adalah bau lumpur, ”drip loss” dan ”oxidative rancidity” diikuti dengan perubahan warna filet menjadi kekuningan. Beberapa masalah teknis ini perlu mendapat perhatian dalam pengembangan riset mengenai ikan patin ini. Selain itu, ikan patin merupakan ikan yang berlemak tinggi. Kadar lemak yang tinggi dalam tubuh ikan patin menyebabkan daging ikan ini mudah sekali mengalami reaksi oksidasi.

Ikan patin yang biasa dikonsumsi memiliki berat sekitar 500 g hingga 1 kg. Bagian – bagian tubuh ikan patin yang biasanya dimanfaatkan konsumen terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan tujuan dan cara memanfaatkannya. Rendemen merupakan bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan. Rendemen juga merupakan suatu parameter yang paling penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa bagian tubuh ikan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan (Hadiwiyoto, 1993). Rendemen daging ikan sangat bervariasi tergantung pada jenis ikan, bentuk tubuh dan umur ikan (Suzuki 1981).

Pada Gambar 3 disajikan gambaran mengenai jumlah atau porsi pemanfaatan ikan patin per bagian tubuh berdasarkan data yang terdapat pada

Laboratorium Benih Ikan dan Laboratorium Lapangan Perikanan, Departemen Teknologi Manajemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor tahun 2003.

Gambar 3 Persentase Rendemen Ikan Patin (Pangasius sp).

Bagian tubuh ikan seperti kulit, kepala, sirip, tulang dan isi perut disebut dengan inedible portion atau bagian tubuh ikan yang tidak dapat dimakan, sementara dagingnya adalah edible portion atau bagian tubuh yang dapat dimakan (Zaitzev et al. 1969). Bagian tubuh yang tidak dapat dimakan tersebut umumnya dinamakan limbah hasil pengolahan perikanan dimana pemanfaatannya masih sebatas sebagai pakan ikan ataupun hewan ternak lainnya.

Dengan menerapkan teknologi pangan yang kita miliki, peluang tersebut dapat dimanfaatkan, ikan tidak hanya diolah dalam bentuk filet tetapi juga dalam bentuk produk olahan ikan patin lainnya. Demikian pula limbah yang selama ini terbuang seperti kepala, kulit, tulang dan isi perut yang sebenarnya masih banyak mengandung protein dan lemak, diharapkan bisa menghasilkan produk yang bernilai tambah dari limbah tersebut untuk meningkatkan nilai ekonomis.

Pada pengolahan filet ikan patin terdapat limbah yang selama ini terbuang ataupun hanya dimanfaatkan sebatas sebagai bahan baku pakan ikan

dengan nilai jual yang rendah. Limbah tersebut meliputi kepala, tulang, ekor, belly flap (daging bagian perut), daging sisa trimming (pengeratan/perapian filet) dan isi perut (viscera) yang mengandung lemak abdomen sangat banyak. Limbah dari proses pengolahan filet ikan patin ini dapat dikembangkan menjadi produk yang bernilai tambah terutama dari bagian lemak yang kemungkinan mengandung asam – asam lemak yang berguna bagi kesehatan. Bagian – bagian limbah ikan lele juga memiliki kandungan nutrisi yang tinggi seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan Lemak, Protein dan Air Bagian-bagian Limbah Ikan Lele

Bagian-bagian limbah ikan lele

Kadar Lemak (%) Kadar Protein (%) Kadar air (%)

Isi perut 33.6 14.7 50.1 Saluran pencernaan 5.8 13.4 79.5 Hati 8.8 11.4 74.9 Gallbladder 0.3 2.6 88.9 Lemak simpanan perut 90.7 1.3 8 Daging filet 9 14.4 74.4

Daging belly flap 14.7 13.5 71.2

Sumber : Sathivel et al. (2002)

Lemak dan Minyak

Lemak dan minyak merupakan senyawaan trigliserida dari gliserol. Dalam pembentukannya, trigliserida merupakan hasil proses kondensasi satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak (umumnya ketiga asam lemak tersebut berbeda –beda), yang membentuk satu molekul trigliserida dan satu molekul air . Bila R1=R2=R3 , maka trigliserida yang terbentuk disebut trigliserida sederhana (simple triglyceride), sedangkan bila R1, R2,R3, berbeda, maka disebut trigliserida campuran (mixed triglyceride).

Lemak dan minyak terdiri dari trigliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Trigliserida dapat berwujud padat atau cair tergantung komposisi asam lemak penyusunnya. Lemak dan minyak tidak berbeda dalam bentuk umum trigliseridanya dan hanya berbeda

dalam bentuk wujudnya (Ketaren 1986). Struktur trigliserida adalah sebagai berikut:

Gambar 4 Trigliserida (Ketaren 1986)

Minyak-minyak dan lemak merupakan bagian dari lipida yang didalamnya larut vitamin-vitamin A,D,E dan K. Sebagai sumber asam lemak essential, merupakan sumber energi yang tinggi. Minyak, lemak berperanan dalam pembentukan susunan didalam memperbaiki penampilan dan memberikan cita rasa (Giese, 1996). Minyak dan lemak menghasilkan energi yang lebih tinggi dari pada karbohidrat dan protein.

Minyak Ikan

Minyak ikan merupakan komponen lemak dalam jaringan tubuh ikan yang telah diekstraksi dalam bentuk minyak. Minyak ikan mempunyai jenis asam lemak yang lebih beragam dibandingkan dengan jenis minyak yang lain, dengan kandungan asam lemak omega 3 yaitu EPA dan DHA yang umum dijumpai pada minyak ikan (Estiasih 2009).

Proses untuk mendapatkan minyak ikan dengan kualitas yang baik ada 2 tahap penting yang harus diperhatikan yaitu proses ekstraksi minyak dan proses pemurnian minyak. Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Pemurnian (refining) adalah suatu proses yang bertujuan untuk menghilangkan rasa dan bau yang tidak enak, warna tidak menarik dan untuk memperpanjang umur simpan sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam industri (Ketaren 1986). Menurut Estiasih (2009), untuk menjadikan minyak ikan kasar yang dihasilkan layak konsumsi maka perlu dilakukan pemurnian. Pemurnian ini perlu dilakukan karena minyak atau lemak yang dihasilkan dalam proses

ekstraksi umumnya mengandung kotoran yang ikut terekstraksi dan kotoran tersebut dapat menimbulkan kerusakan yang mengakibatkan kualitas minyak yang dihasilkan akan menurun.

Minyak ikan yang diperoleh sebagai hasil samping dari pengolahan tepung ikan dan ikan kaleng sering mengandung banyak kotoran. Kotoran pada minyak ikan dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu pertama adalah kotoran yang tidak larut dalam minyak (kotoran fisik, air dan protein), kedua adalah kotoran yang berbentuk suspensi koloid dalam minyak (fosfatida dan karbohidrat) dan ketiga adalah kotoran yang terlarut dalam minyak, yaitu asam lemak bebas, pigmen, mono dan digliserida, senyawa hasil oksidasi, logam dan bahan-bahan yang tak tersabunkan (Irianto 2002). Minyak ikan tersebut dapat ditingkatkan mutunya agar layak dikonsumsi manusia dengan memurnikannya dengan beberapa macam metode.

Penelitian mengenai pemanfaatan limbah hasil pengolahan ikan Salmon untuk minyak telah dilakukan oleh Wu et al. (2008), dimana diketahui ikan Salmon banyak mengandung asam lemak omega 3 yang sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Penelitian Sathivel et al. (2009) adalah membandingkan sifat fisika dan kimia minyak ikan lele dari proses ekstraksi yang berbeda. Sebagian besar minyak dari ikan lele terdapat pada isi perutnya, dimana mengandung sekitar 33% lipid. Limbah ikan lele terutama isi perutnya dapat digunakan untuk menghasilkan minyak ikan yang bisa dikonversi menjadi edible oil ataupun produk biodiesel.

Pemurnian Minyak Ikan

Pemurnian minyak ikan dilakukan untuk menghilangkan komponen yang tidak dikehendaki ataupun pengotor karena mengakibatkan efek yang merugikan bagi kualitas minyak secara keseluruhan (Estiasih 2009). Proses pemurnian minyak ikan dapat dilakukan dengan mengikuti tahapan proses penghilangan gum, penghilangan asam lemak bebas, pemucatan, dan deodorisasi ataupun memilih diantaranya untuk kemudian dikombinasikan agar mendapatkan hasil yang terbaik. Berikut ini adalah penjelasan mengenai tahapan proses pemurnian tersebut.

Penghilangan gum merupakan proses pemisahan getah dan lender yang terdiri dari fosfatida, protein, residu karbohidrat, air, dan resin tanpa mengurangi jumlah

asam lemak bebas dalam minyak. Penghilangan gum dilakukan dengan penambahan NaCl 8% kedalam minyak ikan pada suhu 60 ºC selama 15 menit. Larutan NaCl yang ditambahkan sebanyak 40% dari volume minyak yang dimurnikan dan selama degumming dilakukan pengadukan.

Penghilangan asam lemak bebas adalah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (soap stock).

Netralisasi dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH 1N ke dalam minyak yang sudah mengalami proses degumming. Larutan NaOH 1N ditambahkan dalam minyak ikan pada suhu 60 ºC selama 15 menit. Jumlah NaOH yang ditambahkan ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

%NaOH = %FFA x 0,142

Selanjutnya minyak yang telah dinetralkan dibiarkan beberapa saat supaya terjadi pemisahan sabun yang terbentuk. Lapisan sabun berada pada lapisan bawah dan lapisan minyak pada bagian atas. Kemudian sabun tersebut diambil. Untuk menghilangkan sabun-sabun yang masih tersisa, pada minyak ikan ditambahkan air panas sambil diaduk dan kemudian dibiarkan supaya terjadi pemisahan minyak dan air. Setelah itu air yang terpisah dibuang.

Pemucatan ialah suatu proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan atau memucatkan warna yang tidak disukai (Windsor dan Barlow 1981). Pemucatan dilakukan dengan penambahan adsorben, umumnya dilakukan dalam ketel yang dilengkapi dengan pipa uap dan alat penghampa udara. Minyak dipanaskan pada suhu 105 ºC selama 1 jam. Adsorben ditambahkan saat minyak mencapai suhu 70-80 ºC sebanyak 1-1,5% dari berat minyak. Selain warna, diserap pula suspensi koloid dan hasil degradasi minyak seperti peroksida.

Deodorisasi adalah suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan bau dan rasa yang tidak enak dalam minyak. Prinsip proses deodorasi, yaitu penyulingan minyak dengan uap panas pada tekanan atmosfer

atau pada keadaan hampa. Proses deodorasi dilakukan dengan cara memompa minyak ke dalam ketelen deodorasi. Kemudian minyak tersebut dipanaskan pada suhu 200-250 ºC pada tekanan 1 atmosfer dan selanjutnya pada tekanan rendah (kurang lebih 10 mmHg), sambil dialiri uap panas selama 4-6 jam untuk mengangkut senyawa yang dapat menguap. Setelah proses deodorisasi selesai, minyak ikan kemudian didinginkan sehingga suhu menjadi kurang lebih 84 ºC dan selanjutnya minyak ikan dikeluarkan

Karakterisasi Minyak Ikan

Menurut Bimbo (1998), minyak ikan yang akan dikonsumsi harus memenuhi standar food gade. Standar tersebut berdasarkan pada karakteristik minyak ikan yang dihasilkan, disesuaikan dengan metode pengolahan dan sumber minyak ikan itu berasal. Beberapa hal yang mempengaruhi kualitas minyak ikan yang dihasilkan adalah jenis ikan apakah liar atau budidaya, musim saat ikan ditangkap ataupun umur ikan.

Analisa minyak ikan lele menggunakan alat DSC (Differensial Scanning Calorimetry) disajikan pada Gambar 5 yang merupakan hasil penelitian dari Sathivel et al. (2008). Termogram yang dihasilkan merupakan hasil analisa titik cair dari minyak isi perut ikan lele.

Gambar 5 Hasil Analisa Melting Point menggunakan alat DSC dari minyak visera ikan lele (Sathivel et al. 2008)

Berdasarkan penelitian Sathivel et al. (2008), melting point dari minyak isi perut ikan lele berkisar antara -46.2 – 21.2 ºC untuk minyak kasarnya. Tren titik cair dari minyak ikan isi perut lele ini menggambarkan kandungan asam lemaknya, dimana memiliki total kandungan asam lemak tidak jenuh diatas 68%. Titik cair yang memiliki nilai negatif berkaitan dengan kandungan asam lemak tidak jenuhnya. Sedangkan untuk hasil analisa DSC asam lemak Palmitat dan DHA pada Gambar 6.

Gambar 6 Tipikal Termogam DSC untuk (a) Asam Palmitat dan (b) DHA (Sathivel et al. 2008)

Termogram pada gambar diatas merupakan puncak titik cair dari asam lemak palmitat dan DHA, dimana alat DSC dipanaskan dari suhu -75 hingga 120 ºC. Puncak titik cair ini sangat tajam, menggambarkan hanya satu asam lemak yang dianalisa, dibandingkan dengan termogram pada Gambar 5 yang menggambarkan Trigliserida dengan kandungan asam lemak yang bervariasi sehingga puncak titik cairnya berbentuk landai dan tidak tajam (Sathivel et al. 2008),

Asam Lemak

Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di antara atom-atom karbon penyusunnya. Semakin panjang rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut. Asam lemak jenuh bersifat lebih stabil daripada asam lemak tak jenuh. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah bereaksi dengan oksigen (mudah teroksidasi).

Asam lemak, bersama-sama dengan gliserol, merupakan penyusun utama minyak nabati atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipida pada makhluk hidup. Asam lemak ini mudah dijumpai dalam minyak masak (goreng), margarin, atau lemak hewan dan menentukan nilai gizinya. Secara alami, asam lemak bisa berbentuk bebas (karena lemak yang terhidrolisis) maupun terikat sebagai gliserida. Sejumlah studi menunjukkan bahwa profil asam lemak sangat bergantung pada komposisi lemak pada makanan yang dikonsumsi ikan (Sargent et al. 1995). Penelitian Waagbo et al. (1993) mengenai pemberian pakan ikan Salmon dengan 3 tingkat kandungan omega 3 yang

Dokumen terkait