• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sekarang. Sehingga konflik-konflik seputar penguasaan sumber agraria masih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sekarang. Sehingga konflik-konflik seputar penguasaan sumber agraria masih"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

Konflik agraria terjadi akibat pengelolaan dan penataan sumber agraria berdasar atas orientasi pembangunan yang bersifat sentralistik hierarkhis. Orientasi ini masih terus berlanjut dan dipertahankan hingga era reformasi sekarang. Sehingga konflik-konflik seputar penguasaan sumber agraria masih terus berlagsung.1 Pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering terjadi pada berbagai jenis sengketa: pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan dan sarana pengairan, sarana wisata, arealkehutanan produksi, dan sarana militer.2

Tulisan ini membahas mengenai konflik yang terjadi antara pemerintah dan rakyat dengan jenis sengketa meliputi pembangunan saranan umum dan fasilitas perkotaan. Kasus yang akan dibahas dalam tulisan ini terdapat di wilayah Kabupaten Blora mengenai sengketa rumah dinas bupati dan alun-alun kota Blora. Dalam susunan Kabupaten yang ada di Jawa pada umunya memiliki ciri tata ruang terdapat alun-alun sebagai pusat kota dan tidak jauh dari sekitar alun-alun terdiri dari masjid, pasar dan adapula dibeberapa daerah terdapat rumah dinas

1

Departemen Dalam Negeri, Kesimpulan Hasil Rapat Kerja Kepala

Direktotat Agraria Propinsi Seluruh Indonesia, (Jakarta: Departemen Dalam

Negeri Direktorat Jendral Agraria, 1976), hlm.2.

2

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982), hlm.3.

(2)

bupati.3 Jika di daerah-daerah alun-alun dan rumah dinas merupakan aset dan milik Pemerintah, kecuali di daerah yang dahulunya bekas kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta alun-alun masih merupakan aset keraton. Begitu pula dengan alun-alun dan rumah dinas yang terdapat di wilayah Blora terdapat temuan kasus bahwa tanah tersebut merupakan milik perorangan dan bukan milik Pemerintah hingga sempat membawa kasus ini dipersidangan.

Awal tanah alun-alun dan rumah dinas bupati merupakan milik perseorangan adalah sebagai berikut dahulu wilayah kabupaten Blora masuk dalam wilayah Mataram dan yang menjadi Tumenggung adalah RT. Wilotikto (1749-1755).4 Setelah adanya pembagian wilayah pada masa perjajian Giyanti tahun 1755, Blora pada waktu itu masuk pada Kasunanan Surakarta dan Tumennggung yang menjabat Wilotikto mengundurkan diri dari jabatannya. Saat Blora mengalami kekosongan Pemerintahan terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Guntur alias Wiratmojo, beliau merupakan cicit Amangkurat IV.5 Pemberontakan yang dilakukan Raden Guntur hingga ke wilayah Rembang, Pati, Lasem, Surabaya. Hal tersebut membuat resah pihak keraton Kasunanan Surakarta, sehingga pihak Kasunanan meminta bantuan pada Kasultanan Jogjakarta dan pihak Kasultanan membuat sayembaya “Barang siapa bisa

3

Hadi Sabari Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm.34.

4

.Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah

Sosial 1880-1930, (Jakarta: Gudang Penerbit, 2008), hlm. 55.

5

Silsilah Kraton Kasunanan Surakarta, Koleksi Keraton Kasunanan Surakarta, Arsip silsilah Pakubuwono IV

(3)

menangkap Raden Guntur akan diberikan ganjaran Bumi Blora”. Raden Jayeng dan Wilotikto bersedia dan sanggup membunuh Raden Guntur.6

Pemberontakan Raden Guntur terjadi di daerah Kuwu yang berdekatan dengan Blora, maka Raden Jayeng Tirtonoto yang merupakan putra dari Bupati Lasem/ Rembang dibantu dengan Wilotikto yang merupakan putra menantu Bupati Lasem/ Rembang menghentikan pemberontakan yang dilakukan Raden Guntur dengan menggunakan keris Kyai Buntet dan kerisnya kala itu berada di Mangkunegaran.7 Atas jasa mereka berdua dalam menumpas pemberontakan maka Raja Surakarta pada waktu itu Sri Susuhanan Pakubuwono III memberikan ganjaran kepada mereka berdua untuk menduduki jabatan sebagai Bupati di wilayah Blora dan memberikan gelar Tumenggung, sejak saat itu pula Blora dibagi menjadi dua wilayah, yaitu:

a. Bagian Timur diberi nama Kanoman dengan Kabupatennya terletak di daerah Kridosono dan dipimpin oleh Raden Tumenggung Jayeng Tirtonoto.

b. Bagian Barat disebut daerah Kasepuhan dengan Kabupatennya terletak di daerah Sendang Sri/ Desa Kunden dan dipimpin oleh Raden Tumenggung Wilotikto. Satu tahun setelah kepemimpinan beliau, beliau

6

Pemberontakan Raden Guntur, Koleksi Keluarga RM Tejonoto Kusumaningrat Blora, Arsip Kode A: I (MA.PII)

7

(4)

wafat dan kepemimpinan di gantikan oleh istrinya, Raden Ayu Wilotikto dengan sebutan Tumenggung Rondo.8

Mengingat Raden Tumenggung Wilotikto tidak memiliki anak maka wilayah Blora disatukan Pemerintahannya di bawah Pemerintahan Raden Tumenggng Jayeng Tirtonoto. Tahun 1767 kekuasaan beliau semakin bertambah luas sehingga beliau membuka lahan untuk dijadikan pusat kota sekaligus pusat Pemerintahan yang saat itu masih berupa gerumbul semak belukar untuk didirikan rumah tempat tinggal Beliau dan anak keturunannya kelak. Tempat tinggal tersebut dilengkapi dengan alun-alun, rumah tempat tinggal bupati/ pemerintah serta magersari sebagai tempat tinggal para sentana / abdi dalem.

Pada awalnya rumah bupati yang dibuat oleh Raden Tumenggung Jayeng Tirtonoto masih terbuat dari papan atau kayu. Tahun 1837-1838 cucu Beliau yang bernama Raden Adipati Tirtonegoro, sebagai Bupati Blora ke-5 merombak rumah yang semula terbuat dari papan menjadi bangunan yang terbuat dari tembok dengan mengeluarkan biaya pribadi.9 Pada kurun waktu Pemerintahan Raden Mas Adipati Tjokronegoro III kembali dilakukan perbaikan dengan menggunakan biaya pribadi Tahun 1886-1912.

8

Wahyu Rizkiawan, “Rr Widyasitha Himayanthi, Sejarawan Muda Blora (1): Ungkap Bupati Kedua Keturunan Tionghoa”, Jawa Pos Radar Bojonegoro, 21 Februari 2016, hlm 31.

9

Riwayat Dibukanya Tanah dan Dibangunnya Rumah Bupati Blora , Koleksi Keluarga RM Tejonoto Kusumningrat.

(5)

Pada 3 Agustus 1891 dilakukan upacara peletakan batu pertama yang berisikan tentang pembangunan pendopo yang dihadiri oleh para petinggi Blora.10 Peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama beliau yang bernama Raden Mas Soedjoed Kusumaningrat yang kala itu masih berusia 8 tahun. Setelah Tjokronegoro III wafat putra beliau tidak bersedia menggantikan posisi Ayahnya menjadi Bupati karena ia tidak ingin melakukan kerjasama dengan pihak kolonial, sehingga jabatan Bupati kala itu diserahkan kepada Kanjeng Said Abdoel Kadir Jaelani (1912-1926).

Selama kurun waktu 2 tahun beliau menempati rumah kabupaten atas izin dari Raden Mas Soejoed Koesoemaningrat karena beliau sudah menempati rumah timur rumah Kabupaten .11 Setelah Said Abdoel Kadir Jaelani mempunyai rumah sendiri, ia pindah ke tempat tinggal barunya di daerah Jetis, sedangkan rumah Kabupaten dan magersari sempat dikuasai oleh Belanda.

Selama rumah Kabupaten dikuasai oleh Belanda, RM Soejoed Koesoemaningrat sudah berupaya agar rumah Kabupaten dikembalikan kepadanya sebagai pemilik yang sah baik secara lisan maupun secara tertulis. Pada 3 Maret 1920 Assisten Residen berkunjung ke kediaman beliau untuk menawarkan ganti rugi rumah Kabupaten, namun oleh beliau dijawab rumah tersebut tidak akan dijual karena merupakan peninggalan leluhur.12 Setelah

10

Peletakan Batu pertama pendopo Kabupaten Blora tanggal 3 Agustus

1891 oleh RM Soedjoed Kusumaningrat, Koleksi RM Tejonoto Kusumaningrat.

11

Rumah Kabupaten/ Rumah Pendopo merupakan sebutan masyarakat Blora untuk rumah Dinas Bupati Blora.

12

Catatan Perjalanan Ndoro Sumo No. XIIA, Koleksi keluarga RM Tejonoto Kusumaningrat

(6)

kejadian tersebut pemerintah Kolonial tidak memberikan kabar kepastian bahkan tahun 1920 mereka merombak bangunan rumah menjadi bentuk baru.13 Setelah bangunan yang dirombak selesai, Belanda menginstruksikan Said Abdoel Kadir Jaelani kembali mendiami rumah tersebut, namun satu bulan setelahnya beliau wafat.14

Selang beberapa waktu kemudian Tahun 1948 tentara Siliwangi datang ke Blora dan bermarkas di Kabupaten. Sedangkan dapur umum ditempatkan di rumah Raden Mas Soejoed Koesoemaningrat yang terletak disebelah timur kabupaten, dibantu oleh istri Raden Mas Tejonoto Kusumaningrat dan orang-orang sekitar magersari. Hanya beberapa bulan tentara Siliwangi di Blora karena setelah itu Belanda datang kembali untuk merebut kemerdekaan.15 Untuk menghindari agar Belanda tidak menggunakan rumah Kabupaten maka warga setempat berinisiatif untuk membumi hanguskan Kabupaten sehingga yang tersisa hanya tinggal dua pavilyun.

Setelah Belanda meninggalkan Blora, pavilyun sebelah timur digunakan untuk Kabupaten dan pavilyun barat digunakan untuk kantor Bank. Disini memang ada penguasaan oleh Pemerintah namun hanya terletak pada bangunannya saja sedangkan tanah tetap dalam pengusaan Raden Mas Soejoed

13

Ibid.

14

Wawancara dengan RA Manik Surastri tanggal 13 Januari 2016.

15

Wahyu Rizkiawan, “Rr Widyasintha Himayanthi (2): Ungkap Kesaksian Tokoh Blora Mengusir Belanda”, Jawa Pos Radar Bojonegoro, 22 Februari 2016, hlm 34.

(7)

Koesoemaningrat dan Raden Mas Tejonoto Kusumaningrat, hal ini dapat dilihat dari adanya surat peminjaman tanah dari beberapa penduduk.16

Sebelum 1966, kepemilikan alun-alun, rumah dinas Bupati Blora dan Magersari dipegang oleh RM Tejonoto Kusumaningrat, hingga 19 Maret 1966 RM Tejonoto Kusumaningrat mendapat surat ancaman dari Camat untuk menghentikan penggunaan tanah Kabupaten.17 Pada 22 Agustus 1973 RM Tejonoto memilih menyelesaikan sengketa tanah Kabupaten dan alun-alun melalui jalur hukum dan hingga membawa kasus ini ke tingkat Pengadilan tertinggi yaitu Pengadilan Kasasi. Sebelum sampai ke tingkat kasasi sempat ada penawaran ganti rugi dari DPRD Blora senilai Rp 1.000.000,00 , namun ditolak oleh pihak RM Tejonoto dan hasil kasasi juga menyatakan bahwa tuntutan ditolak. Setelah itu kasus ini menjadi terhenti.

Pada 2010 terdapat hasil pemeriksaan BPK no. 104 B/R/LHP/XVIII.SMG/04/2010 yang mengatakan bahwa alun-alun dan rumah dinas merupakan milik perorangan. Dari hasil pemeriksaan BPK dijadikan acuan diadakan peyelesaian tanah yang berada di pusat Kota Blora. Tulisan ini akan membahas secara detail mengenai mengenai awal kepemilikan tanah yang terletak di pusat kota saat ini merupakan milik perorangan, proses peradilan yang berjalan selama proses penyelesaian status tanah dan kejelasan status pasca peradilan.

16

Arsip peminjaman tanah kabupaten oleh warga, Koleksi arsip keluarga RM Tejonoto Kusumaningrat Blora.

17

(8)

B. Rumusan Masalah

Dari kajian latar belakang masalah diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang status kepemilikan kawasan alun-alun kota Blora? 2. Bagaimana status tanah rumah dinas bupati dan alun-alun kota Blora

1983-2011?

3. Bagaimana proses hukum kepemilikan tanah rumah dinas bupati dan alun-alun kota Blora?

4. Kendala apa saja yang dihadapi dalam menyelesaikan sengketa agraria alun-alun kota Blora pada tahun 1965-2011?

C. Tujuan Penelitan

Penelitian dengan judul Status Kepemilikan Tanah Rumah Dinas Bupati dan Alun-Alun Kota Blora Tahun 1965-2011 memiliki empat tujuan:

1. Untuk mengetahui dan mengungkap bagaimana latar belakang status kepemilikan kawasan alun-alun kota Blora.

2. Mengetahui dan mengungkap status kepemilikan tanah rumah dinas bupati dan alun-alun kota Blora.

3. Untuk mengetahui proses hukum yang dilalui dalam mengungkap status tanah rumah dinas bupati dan alun-alun kota Blora.

4. Mengetahui kendala apa saja yang dihadapi selama penggugatan sengketa agraria alun-alun kota Blora pada tahun 1965-2011.

(9)

D. Manfaat Hasil Penelitian

Dari perumusan masalah diharapkan kajian ini dapat memberikan manfaat bagi:

1. Perkembangan ilmu sejarah sendiri dan sebagai bahan pijakan bagi sejarawan yang ingin memperdalam dan meneliti masalah ini.

2. Sebagai bahan masukan bagi Badan Pertanahaan Negara (BPN) dan Pemda Blora dalam menyelesaikan sengketa agraria yang hingga kini statusnya masih kabur dari segi sejarah.

3. Manfaat bagi untuk pribadi sehingga dapat lebih detail dan mengetahui secara mendalam mengenai masalah ini.

4. Adapun manfaat terakhir dalam penulisan ini sebagai bahan kajian dalam penyelesaian lanjutan bagi pihak keluarga maupun pemerintah kota Blora.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam kajian pustaka ini ditampilkan dan digunakan buku dan skripsi yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk mengemukakan teori-teori dan konsep. Adapun buku-buku tersebut antara lain adalah :

Buku “Pluralisme Hukum di Tengah Konflik Agraria” yang dikeluarkan oleh Epistema Institute pada tahun 2001, buku ini digunakan karena dalam salah satu bab buku ini memiliki kesamaan dengan tema yang diambil dan membahas

(10)

tentang permasalahan agraria dan penyelesaiannya secara hukum sengketa tanah yang berkaitan dengan kaum elit, mereka selalu memegang kendali dalam permasalahan utama hukum yang ada dan sulit untuk dilengserkan.

Buku kedua berjudul “Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan

Kembali Perkara Pidana” yang diterbitkan oleh Sinar Grafika 2004. Buku ini

dipilih karena dalam penulisan skripsi ini terdapat istilah-istilah dalam peradilan dan buku ini selain berisikan istilah penting dalam peradilan juga membahas secara lengkap mengenai peradilan kasasi. Pada skripsi ini terdapat penjelasan penyelesaian kasus melalui peradilan kasasi dan buku ini menjadi acuan lengkap membahas mengenai kasasi.

Buku ketiga berjudul “Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan

Budaya” yang diterbitkan oleh Penerbit Kompas pada tahun 2008. Buku ini

menjelaskan bahwa tanah memiliki peran yang penting dalam hal ekonomi sebagai status sosial yang ada di masyarakat dan dalam hal sosial budaya tanah sebagai jati diri dan jati luhur bangsa. Hal ini sama halnya dengan tanah alun-alun Blora yang memiliki peranan sosial, ekonomi maupun budaya.

Buku keempat berjudul “Ensiklopedi Blora jilid 1: Sejarah Blora dari

Masa ke Masa”yang diterbitkan oleh Yayasan Utama Indonesia pada 2011. Buku

ini menjelaskan mengenai Pemerintahan Blora dari masa ke masa sehingga terdapat bukti apabila tanah alun-alun dan rumah dinas Bupati Blora diperoleh secara turun-temurun.

(11)

Buku kelima berjudul “Hukum Agraria Indonesia” karya Prof. Boedi Harsono yang diterbitkan oleh Penerbit Djambatan tahun 1982. Buku ini menjelaskan berbagai pokok permasalaahn agraria secara garis besar yang ada di Indonesia dan dari buku ini dapat diketahui termasuk dalam kategori konflik hukum apa yang digunakan dalam menyelesaikan kasus alun-alun kota Blora.

Selanjutnya selain menggunakan referensi buku dalam penelitian ini juga menggunakan skripsi dalam mendukung sumber yang ada. Menggunakan skripsi berjudul “Tinjauan Kasus Beberapa Masalah Tanah” yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada pada tahun 1982. Skripsi ini terdapat studi kasus mengenai tanah yang terdapat konflik agraria dan salah satunya juga terdapat masalah mengenai tanah magersari yang terdapat di area keraton Yogyakarta kala itu pihak kraton juga melakukan penyelesaian terhadap konflik yang berkepanjangan, namun kasus tersebut juga belum terselesaikan seluruhnya karena ada beberapa yang sudah memiliki sertifikat pribadi bahkan ada pula yang kepemilikan tanah tidak tercantum di Pemerintahan. Hal ini memiliki kesamaan dengan magersari di Blora yang hingga saat ini belum terselesaikan.

(12)

F. Metode Penelitian

1. Bentuk Penulisan

Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam suatu rangkaian penelitian, kiranya metode penelitian yang dirancang secara tepat, sehingga dapat mencapai hasil penelitian yang maksimal dan memuaskan. Metode sejarah adalah sekumpulan prinsip dan aturan yang sistematis, yang dimaksud untuk memberikan bantuan secara efektif dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesa daripada hasil-hasil dalam bentuk tertulis.18

18

Nugroho Notosuman, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), hlm . 11.

(13)

Adapun langkah dalam metode sejarah adalah sebagai berikut. Pertama heuristik sumber, merupakan langkah awal dari suatu penelitian sejarah. dalam langkah ini yang dilakukan adalah mencari sumber sebanyak mungkin dan sumber tersebut harus dalam cakupan tema dan permasalahan yang diteliti. Kedua adalah kritik sejarah, setelah data terseleksi dan terklarifikasi sumber menjadi paparan data menurut permasalahan dari kajian tersebut, maka langkah selanjutnya adalah mencoba melakukan kritik sumber. Kritik intern dan eksteren diperlukan bagi sumber-sumber dalam penulisan sejarah, karena dengan kedua kritik tersebut sumber telah menjadi data yang autentik dan kredibel. Ketiga adalah intepretasi sejarah, merupakan penafsiran terhadap sumber yang dapat dipercaya. Keempat adalah historiografi, merupakan langkah terakhir dalam metode sejarah. Dalam historiografi ini penelitian sejarah dibuat dalam sutu kisah sejarah.19

2. Teknik Pengumpulan Data a. Sumber Primer

Sumber primer digunakan sebagai bahan (pendukung) utama penelitian mengenai Sengketa Agraria Alun-Alun Kota Blora dan Magersari Tahun 1965-1983. Dalam hal ini sudah mengkaji dan memilih beberapa arsip terkait masalah tersebut dan sudah melakukan kritik terhadap arsip terkait. Sebanyak 13 arsip terkait masalah ini, antara lain :

Arsip mengenai Riwayat dibukanya tanah dan dibangunnya rumah Bupati Blora oleh Raden Tumenggung Jayeng Tirtonoto. Arsip mengenai Silsilah

19

Laouis Gottschlak, Mengerti Sejarah, (Jakarta : UI Press, 1983), hlm. 34.

(14)

keturunan lajer Raden Tumenggung Jayeng Tirtonoto. Arsip mengenai Peletakan batu pertama pendopo Kabupaten Blora tanggal 3 Agustus 1891 oleh Raden Mas Soejoed Koesoemaningrat (putra sulung R.M. Adipati Tjokronegoro III). Arsip mengenai Nota Dinas Camat Kota Blora tanggal 27 Juli 1965, perihal peminjaman tanah sebelah timur pohon beringin Kabupaten. Arsip mengenai Hasil keputusan kasasi tanggal 28 April 1983. Dan beberapa surat bukti peminjaman dan nota dinas yang sudah didapat seperti yang terdapat pada lampiran. Sumber lain berupa surat hasil pemeriksaan dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Jawa Tengah yang mengatakan bahwa tanah alun-alun merupakan milik perorangan dan ditafsir dengan harga Rp 5.670.000.000,00 (lima miliar enam ratus tujuh puluh juta rupiah).

Sumber lain yang bukan berupa buku maupun laporan yang masih sejaman juga didapatkan seperti yang terdapat pada artikel, majalah maupun surat kabar harian

b. Sumber Sekunder

Dalam mendukung kembali fenomena masa lampau dalam suatu bentuk historiografi, sumber primer yang ada perlu didampingi dengan sumber sekunder. Hal ini dikarenakan sumber sekunder yang sebagian merupakan karya-karya buku literatur memiliki empat manfaat, yaitu untuk menjabarkan latar belakang yang cocok dengan bukti sejaman, untuk memperoleh petunjuk mengenai data bibliografis yang lainnya, untuk memperoleh kutipan atau petikan dari sumber

(15)

sejaman atau sumber lain dan memperoleh interpretasi dan hipotesa mengenai masalah atau untuk memperbaiki.20

c. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu cara dalam pengumpulan sumber. Tujuannya untuk memperoleh informasi yang memberikan keterangan sesuai objek penelitian. Menurut Koentjaraningrat, wawancara merupakan cara yang digunakan kala seseorang dengan tujuan suatu tugas tertentu ingin mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang informan dengan cara bercakap-cakap berhadapan dengan orang tersebut dengan tujuann untuk mengumpulkan keterangan dan data.21

Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara mendalam (indepth interview) yang dilakukan tanpa struktur dan berfokus, artinya dalam suatu pertanyaan tidak memiliki struktur tetal, yang selalu terpusat pada satu pokok permasalahan tertentu. Teknik ini digunakan disamping untuk mempererat hubungan antara peneliti dan informan juga untuk menciptakan suasana santai yang tidak terkesan tegang sehingga wawancara dapat berjalan dengan baik.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan kegiatan pengklarifikasian data yang telah terkumpul kedalam pola, kategori dan suatu rangkaian, sehingga dapat ditemukan kerangka pemikiran yang dapat mendukung suatu hipotesa kajian. Analisa yang

20

Ibid, hlm. 78

21

Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : PT. Gramedia, 1983), hlm. 129.

(16)

digunakan untuk menganalisa deskriptif kuantitatif, yaitu suatu analisa yang didasari pada suatu hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis dalam suatu tertentu. Sesuai dengan bentuk penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kuantitatif, maka teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis kuantitatif. Adapun langkah-langkah dalam melakukan teknik kuantitatif adalah sebagai berikut: a) menelaah seluruh data yang terkumpul, b) meredusi data dengan jalan membuat abstraksi, c) menyususn kedalam satuan-satuan untuk selanjutnya dikategorikan, dan d) memeriksa keabsahan data.22

G. Sistematika Skripsi

Sistematika skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan sedikit gambaran mengenai penulisan di dalam penelitian ini. Adapun penulisan skripsi ini nanti terdiri dari empat bab dengan beberapa sub bab terkait masalah yang dibahas agar lebih memudahkan, antara lain :

BAB I PENDAHULUAN, pada bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika skripsi.

22

Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kuantitatif, (Bandung: PT. Remaja Rasda Karya, 1991), hlm. 190.

(17)

BAB II SEJARAH STATUS KEPEMILIKAN RUMAH DINAS BUPATI DAN ALUN-ALUN KOTA BLORA, pada bab ini dijabarkan secara rinci mengenai Sejarah Kabupaten Blora, Sejarah awal alun-alun, rumah dinas dan tanah magersari Kota Blora dan pada bab ini juga dijabarkan mengenai peletakan batu pertama yang menandai awal berdirinya rumah dinas.

BAB III PROSES PERADILAN STATUS TANAH 1965-1983, bab ini membahas mengenai pokok permasalahan awal terjadi peminjaman tanah yang dilakukan warga Tahun 1965 bagaimana tanah tersebut diwariskan secara turun-temurun, awal mula adanya permasalahan dan gugatan, serta bagaimana proses gugatan dan peradilan berlangsung dari tingkat Pengadilan Negeri Daerah, Pengadilan Tingkat Banding hingga naik ke Pengadilan tingkat kasasi Mahkamah Agung dan kendala apa saja yang menghambat proses gugatan hingga menyebabkan kasus terhenti cukup lama dan belum terselesaikan.

BAB IV KESADARAN HUKUM KELUARGA RM TEJONOTO DAN KENDALA YANG DIHADAPI, pada bab ini membahas mengenai pengambilan dokumen asli kasus 1983 serta kendala apa yang dihadapi selama proses gugatan sebelumnya dan bagaimana proses penyelesaian yang dilakukan serta upaya apa yang dilakukan kedua belah pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut dan mengapa hingga saat ini kasus tersebut belum juga terselesaikan.

BAB V KESIMPULAN, bagian ini merupakan penutup dari penelitian kajian dan berisi paparan yang berupa kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

31 Dalam posisi anak perempuan sebagai ibu maka ia tergolong ahli waris pada masyarakat karo hal ini juga dengan syarat bahwa si ibu tersebut tidak mempunyai anak laki-laki,

Hasil penelitian yang diolah dengan program SPSS menunjukan bahwa nilai Adjusted R Square sebesar 0.573 artinya 57,3% peningkatan pendapatan nasabah dipengaruhi oleh produk

Dalam penelitian ini terdapat tiga variable (X1,X2,dan Y) maka, ke 3 variabel akan di peroses secara bersamaan sehingga varibel satu dan yang lainnya dapat saling

Penulis akan membuat sebuah pembangkit listrik yang bersifat mengubah gerakan menjadi tenaga listrik, seperti kincir air tetapi akan memakai gaya gravitasi sebagai

Posisi tubuh yang tidak alamiah dan cara kerja yang tidak ergonomis selama melakukan pekerjaan dalam kurun waktu yang cukup lama dan dilakukan terus menerus

Berdasarkan data pada tabel B.1, teh hitam Kombucha lokal di Bali pada waktu fermentasi hari ke-1 menunjukkan aktivitas antioksidan yang optimal karena memiliki pH

Pentingnya metabolisme enzim ini adalah bahwa ia membawa tentang pertukaran bebas antara kelompok amino glutamat (yang merupakan asam amino yang paling umum) dan aspartat yang

hubungan laju perpindahan panas reheater terlihat linier naik meskipun pada skala yang lebih kecil, sedangkan pada grafik hubungan laju perpindahan panas masuk