• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air dan Implikasi Terhadap Kebijakan Pengelolaan Air untuk Pertanian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air dan Implikasi Terhadap Kebijakan Pengelolaan Air untuk Pertanian"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air dan Implikasi Terhadap Kebijakan Pengelolaan Air untuk Pertanian

Perubahan paradigma pendayagunaan sumberdaya air merupakan salah satu topik yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai implikasi yang sangat serius terhadap strategi pembangunan pertanian, khususnya sub sektor pangan. Hal ini disebabkan: (1) sektor pertanian merupakan pengguna terbesar sumberdaya air, dan (2) pengembangan sumberdaya air untuk pertanian merupakan determinan dari keberhasilan pengembangan produksi pangan. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa keberhasilan sebagian besar negara-negara berkembang dalam memacu pasokan pangan bagi penduduknya ditentukan oleh ekskalasi pendayagunaan sumberdaya air, khususnya pengembangan irigasi yang terjadi sejak revolusi hijau mendunia (Rosegrant and Svendsen, 1993; World Bank, 1982; Gleick, 1998; Gleick, 2000; Johansson, 2000).

Latar belakang perubahan paradigma terkait dengan upaya menghindari skenario buruk dari arah perkembangan yang mungkin terjadi apabila kecenderungan permintaan dan ketersediaan air tetap seperti sekarang ini (business as usual). Rosegrant and Hazell (2000) menyatakan bahwa tanpa adanya perubahan yang nyata dalam pengelolaan irigasi, penyediaan pangan di negara-negara berkembang akan sangat rawan karena pasokan air untuk pertanian akan terus berkurang. Hal itu juga terkait dengan fakta bahwa sampai saat ini kemampuan memitigasi anomali perilaku iklim masih belum handal sehingga banjir dan kekeringan masih merupakan salah satu ancaman paling nyata terhadap usahatani (Bouman, 2003; Katumi et al, 2002; Molden, 2002).

2.1.1. Ketersediaan Sumbedaya Air: Kondisi Sekarang dan Kecenderungannya Diperkirakan bahwa ketersediaan air tawar terbarukan (renewable fresh

water - RFW) di bumi ini adalah sekitar 47000 Km3/tahun. Dari jumlah itu, sekitar 41000 Km3 diantaranya potensial untuk dieksploitasi/didayagunakan. Kebutuhan manusia saat ini berkisar antara 38 – 64 % dari jumlah potensial tersebut (Gleick, 1998). Walaupun dalam jangka panjang berbagai kemajuan

(2)

teknologi memungkinkan peningkatan persentase air yang dapat diekstraksi, diperkirakan bahwa RFW yang tersedia secara relatif tidak akan mengalami perubahan yang sangat besar. Sementara itu populasi dunia yang pada tahun 1998 adalah sekitar 5.93 milyar, diproyeksikan pada tahun 2025 akan mencapai 8.039 milyar dan pada tahun 2050 akan mencapai 9.367 milyar jiwa (World Resources Institute, 1998). Berdasarkan angka-angka itu diperkirakan air tawar yang tersedia pada tahun 1998, 2025 dan 2050 adalah sekitar 6 918, 5 103 dan 4 380 m3 per orang per tahun; yang berarti pasokan air per kapita akan semakin berkurang.

Rata-rata kebutuhan minimum air tawar di negara maju adalah sekitar 1000 m3/tahun. Dengan teknologi dan manajemen yang sangat canggih (seperti di Israel misalnya), bagi negara-negara di wilayah semi-arid kebutuhan itu dapat ditekan menjadi 500 m3/kapita/tahun (Gleick, 1998). Angka 500 m3/kapita/tahun merupakan standard minimal untuk kehidupan (Seckler et al, 1998).

Sejak 30 tahun terakhir ini, perilaku iklim global cenderung berubah. Hal itu berimplikasi pula terhadap ketersediaan air tawar per kapita. Pola sebaran curah hujan antar tempat dan waktu mengalami perubahan-perubahan yang besar. Insiden banjir akibat curah hujan yang ekstrim tinggi terjadi di beberapa wilayah permukaan bumi, sementara itu di sisi lain curah hujan yang sangat sedikit dan musim kering yang berkepanjangan semakin banyak terjadi di berbagai tempat. Meskipun berbagai kemajuan teknologi telah dicapai, ternyata masih belum memadai untuk secara tepat memprediksi perilaku iklim dalam suatu periode yang cukup untuk melakukan berbagai tindakan mitigasi yang baik.

Diduga perubahan perilaku iklim itu disebabkan oleh peningkatan suhu global yang terkait dengan fenomena efek rumah kaca (greenhouse gases) akibat meningkatnya konsentrasi CO2, gas Methane, Nitrous Oxide, dan CFC-11. Beberapa pakar menyatakan bahwa meningkatnya frekuensi dan durasi El Nino berkaitan dengan meningkatnya suhu global (Trenberth and Hoar, 1996). Pada sektor pertanian, El Nino berdampak negatif karena mengacaukan proses dan siklus produksi pertanian. Secara umum anomali perilaku iklim cenderung berdampak negatif terhadap semua aspek kehidupan karena kemampuan untuk mengantisipasi dan memitigasi anomali tersebut pada umumnya kurang memadai.

(3)

Distribusi air tawar antar tempat dan antar waktu sangat bervariasi sehingga sebaran manfaat yang dirasakan oleh setiap komunitas juga bervariasi antar tempat dan waktu. Pada tahun 1994, 26 negara mengalami kekurangan pasokan untuk dapat memenuhi kebutuhan penduduk di wilayahnya. Persoalan itu di beberapa negara, terutama di Afrika dan Timur Tengah menjadi semakin kompleks karena dibarengi pula oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi (Gleick, 1998; Postel, 1994).

Meskipun secara agregat ketersediaan air tawar per kapita di Benua Asia di masa mendatang masih melimpah (tahun 2025 diperkirakan masih mencapai 2400 m3/kapita), tetapi di sejumlah negara atau wilayah di benua ini diprediksikan akan mengalami kekurangan air tawar yang serius. Sebagai ilustrasi, pada 2050 ketersediaan air tawar di India adalah sekitar 1207 m3/kapita/tahun; bahkan di Negara Bagian Tamil Nadu diperkirakan hanya sekitar 490 m3/kapita/tahun yang berarti di bawah ambang batas minimum (Seckler et al, 1998).

Di Indonesia, berkurangnya ketersediaan air tawar juga semakin nyata. Kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan untuk pertanian seperti di Nusa Tenggara Timur dan beberapa kabupaten di bagian selatan Pulau Jawa sering terjadi. Di beberapa wilayah pedesaan, kegagalan panen akibat kekeringan semakin sering terjadi dan dalam lima belas tahun terakhir kekurangan air irigasi di musim kemarau cenderung semakin dini (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1996). Meluasnya areal irigasi yang keandalan pasokannya menurun juga tampak dari ekskalasi kekeringan akibat pengaruh El Nino, seperti pada kejadian tahun 1997 yang menyebabkan produksi padi anjlok.

Prediksi Soenarno dan Syarif (1994) menunjukkan bahwa secara agregat air yang tersedia pada tahun 1995 diperkirakan masih lebih tinggi dari pada kebutuhan (122 697 versus 63 720 juta m3/tahun). Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut ternyata ada 3 tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang telah mengalami defisit (kebutuhan lebih tinggi dari ketersediaan) yaitu di DAS Cisadane-Ciliwung (3 406 vs 4 471 juta m3/tahun), DAS Citarum Hilir (6 619 vs 7 670 juta m3/tahun), dan DAS Brantas Hilir (4 637 vs 4 788 juta m3/tahun). Kajian tersebut juga membuat pemilahan DAS utama di Jawa berdasarkan tingkat kekritisan sumber

(4)

air menjadi 5 kategori: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan aman. Diperoleh kesimpulan bahwa dari seluruh (28) DAS utama di Pulau Jawa ternyata 3 DAS termasuk kategori sangat tinggi, 8 termasuk kategori tinggi, 3 termasuk kategori sedang, 7 termasuk rendah dan hanya 3 yang masih termasuk kategori aman.

Jumlah DAS kritis di Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Ciri utama DAS kritis adalah kadar sedimen tinggi, perbedaan debit maksimum – minimum sangat tinggi, waktu untuk mencapai permulaan puncak banjir maupun surut kembali sangat cepat. Pada tahun 1985, dari 85 DAS yang diamati terdapat 22 DAS kritis. Tahun 1990, meningkat menjadi 35 DAS yang kritis dan pada tahun 1995 meningkat lagi menjadi 60 DAS yang kritis bahkan 20 diantaranya terkategorikan sangat kritis. DAS-DAS tersebut terutama berada di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Proses degradasi terus berlanjut, bahkan makin parah sejak terjadinya krisis ekonomi. Menurut data dari Departemen Kehutanan, pada tahun 2005 terdapat 76 DAS yang kondisinya sangat kritis. Dari jumlah itu, 16 DAS terdapat di P. Jawa dan 60 DAS di luar P. Jawa. Rincian menurut wilayah adalah di Jawa Barat (6), Jawa Tengah (3), Daerah Istimewa Yogyakarta (1), Jawa Timur (6), Sumatera (16), Sulawesi (12), Nusa Tenggara Barat dan Bali (1), Nusa Tenggara Timur (5), Kalimantan (4), Maluku (2), dan Papua (4).

Degradasi sumberdaya air tidak hanya teramati dari menurunnya fungsi sungai, tetapi juga menyangkut kondisi air tanah (groundwater). Di beberapa lokasi yang intensitas penggunaan pompa irigasinya sangat padat (Nganjuk, Jombang, Kediri), derajat interferensi sumur pompa dengan sumur penduduk semakin meningkat. Di perkotaan, debit dan mutu air sumur penduduk semakin menurun. Di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, sebagaimana sering diberitakan di berbagai media massa, lebih dari 80 % sumur penduduk telah tercermar bakteri E. Colli. Di Bandung, seretnya aliran air PDAM di musim kemarau dan semakin dalamnya permukaan air sumur sudah sejak lama diketahui. Di Kalimantan, pada Musim Kemarau di beberapa kawasan Sungai Barito dan Sungai Sampit semakin sering dijumpai adanya beberapa perahu yang kandas karena susut volume air sungai melampui ambang batas normal. Kesemuanya itu menunjukkan bukti-bukti bahwa ketersediaan sumberdaya air semakin langka.

(5)

2.1.2. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air

Air adalah unsur pendukung utama dasar kehidupan. Eksistensi makhluk hidup tergantung pada sumberdaya ini sehingga peranannya sangat strategis. Secara historis, ketersediaan sumberdaya air merupakan salah satu determinan pertumbuhan ekonomi dan wilayah. Dalam konteks ini, peranan sungai sangat besar. Ketika eksploitasi sumberdaya alam belum intensif, sungai merupakan pemasok kebutuhan air paling dominan. Di masa lampau, ketika kondisi debit air sungai masih normal, cukup banyak sungai yang berfungsi pula sebagai jalur transportasi yang murah. Oleh sebab itu secara historis lokasi-lokasi pusat pertumbuhan ekonomi ataupun pusat-pusat peradaban di masa lampau seringkali berada di dekat sungai. Di era modern, meskipun konstelasi nilai dalam pembangunan peradaban mengalami perubahan, sumberdaya air masih tetap berperan besar sebagai determinan keberhasilan pembangunan ekonomi. Banyak contoh menunjukkan bahwa keberhasilan sebagian besar negara agraris menghindarkan diri dari ekskalasi kelaparan ditentukan oleh keberhasilan investasi dalam pengembangan sumberdaya air (irigasi).

Peran strategis sumberdaya air tampak pula dari keterkaitannya yang sangat erat dalam kancah konflik. Secara historis, perebutan sumberdaya air sering menjadi obyek pemicu konflik. Sebaliknya, dalam rangka melumpuhkan lawan, (prasarana) sumberdaya air sering dijadikan sasaran penghancuran. Beberapa kasus menonjol dapat disimak misalnya dalam Gleick (1998) sebagai berikut. Dalam penggal waktu antara 3000 SM – 323 SM tercatat ada 15 peristiwa konflik antar negara ataupun antar komunitas yang melibatkan kekuatan militer. Kemudian sejak abad XV – sekarang tercatat ada 37 peristiwa konflik. Dari jumlah itu terdapat 28 peristiwa konflik yang melibatkan kekuatan militer baik dalam bentuk perang (23 kasus) maupun sekedar manuver ancaman (5 kasus).

Berpijak dari fenomena tersebut, masuk akal jika pengelolaan sumberdaya air menjadi salah satu agenda yang penting dalam mendukung perdamaian dunia, karena di dunia ini terdapat ratusan daerah aliran sungai yang bersifat lintas negara (international river basin – IRB) dari yang hanya melibatkan dua atau tiga negara sampai yang melibatkan lebih dari 10 negara. Pada saat ini tercatat ada 261

(6)

IRB (Wolf et al, 1999 dalam Gleick, 2000). Jumlah IRB terbanyak adalah di Benua Afrika. Dari keseluruhan IRB, terdapat 19 IRB dimana jumlah negara pemanfaatnya lebih dari 5 negara per IRB tersebut. Sebagai ilustrasi, di Benua Asia terdapat 5 IRB dengan karakteristik seperti itu yakni: Tarim yang cakupan wilayahnya meliputi suatu kawasan sangat luas yang otoritasnya berada di 7 negara yang berbeda (China, Kyrgizstan, Pakistan, Tajikistan, Kazakhstan, Afganistan, dan India); Ganges/Brahmaputra/Meghna yang mencakup wilayah yang termasuk dalam 6 negara (India, China, Nepal, Bangladesh, Buthan, dan Myanmar); Jordan (Jordania, Israel, Syria, West Bank, Lebanon, dan Mesir); Tigris-Euphrat/Shatt al Arab (Irak, Turki, Iran, Syria, Jordan, dan Saudi Arabia); Mekong (Laos, Thailand, China, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar).

Paradigma yang berkembang pada masa yang lampau, yakni ketika kelangkaan dan degradasi sumberdaya air belum menampakkan sosoknya; adalah bagaimana mengembangkan rekayasa teknik-sosial-budaya dalam rangka mengeksploitasi sumberdaya air sedemikian rupa sehingga kebutuhan terpenuhi. Muatan dimensi lingkungan dalam strategi investasi pengembangan sumberdaya air sangat kurang, dan pendekatannya seringkali mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. Fokus sasaran pengembangan adalah bagaimana memaksimalkan keuntungan ekonomi secara agregat dan cenderung bersifat jangka pendek. Strategi pendayagunaan sumberdaya air yang tercipta dari paradigma seperti itu termanifestasikan secara jelas dalam perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan dam-dam raksasa dan sistem irigasi skala besar yang menjadi trend di hampir semua negara berkembang bersamaan dengan berlangsungnya revolusi hijau. Secara ringkas, paradigma tersebut mendorong pengembangan sumberdaya air berbasis pengelolaan pasokan (supply management)

Secara empiris, pendekatan pengelolaan pasokan tersebut berhasil mendorong pertumbuhan produksi pangan secara dramatis sehingga dalam waktu yang relatif pendek beberapa negara berhasil mencapai swasembada pangan. Akan tetapi setelah 2 – 4 dasawarsa kemudian, beberapa dampak negatif mulai muncul. Secara teknis pengembangan dam-dam besar dan sistem irigasi skala besar mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat besar dalam arsitektur hamparan (landscape), perubahan drastis dalam habitat alami, dan dalam

(7)

kasus-kasus tertentu terjadi pemindahan komunitas setempat secara paksa. Di sisi yang lain, keberhasilan peningkatan produksi pangan yang terfokus pada jenis-jenis komoditas pangan tertentu (terutama beras) mendorong pula terjadinya perubahan menu konsumsi masyarakat yang berujung pada meningkatnya ketergantungan yang terlampau tinggi pada komoditas tertentu dan kurang terdiversifikasi. Pada akhirnya yang terjadi – terutama di negara berkembang – adalah perlombaan antara laju pertumbuhan kebutuhan pangan dan laju pertumbuhan pasokan; dimana laju pertumbuhan pasokan semakin melambat seiring dengan degradasi fungsi dam-dam tersebut sebagai akibat dari terabaikannya prinsip-prinsip pelestarian. Di beberapa negara berkembang di wilayah arid dan semi-arid dam-dam raksasa dan sistem-sistem irigasi skala besar itu fungsinya semakin tidak memadai; dan karenanya manfaat investasi tidak sesuai harapan semula (Postel 1992 dalam Gleick, 1998).

Di masa mendatang pengembangan sistem irigasi besar dengan dukungan dam-dam raksasa semakin tidak populer. Alasannya adalah investasi yang dibutuhkan sangat besar, sementara itu berbagai keberatan yang berkaitan dengan efektivitas pembiayaannya, masalah lingkungan, dan gejolak sosial yang timbul akibat pemindahan komunitas lokal tampaknya terlampau kuat untuk dipatahkan oleh argumen yang berpijak pada manfaat ekonomi yang diharapkan dapat dipetik. Dengan kata lain, semakin sulit untuk memperoleh bantuan pinjaman dari lembaga donor internasional apabila suatu negara mengembangkan investasi di bidang sumberdaya air dengan orientasi seperti masa lampau yang umumnya kurang mengedepankan aspek pelestarian lingkungan dan prinsip demokrasi.

Dalam berbagai forum seminar internasional, sederetan dampak negatif tersebut semakin banyak didiskusikan bersamaan dengan meluasnya wacana tentang hak-hak asasi manusia, demokratisasi dan perlunya pelestarian lingkungan di tengah situasi liberalisasi perdagangan. Hasil-hasil diskusi kemudian ditindak lanjuti dengan berbagai studi empiris di berbagai negara yang dibiayai oleh lembaga-lembaga dana internasional. Rekomendasi yang dihasilkan dari berbagai studi tersebut adalah perlunya mengubah paradigma pendayagunaan sumberdaya air. Maka sejak paruh kedua dasawarsa 90-an era baru dalam pendayagunaan sumberdaya air semakin menampakkan sosoknya.

(8)

Pada prinsipnya, paradigma baru dalam pendayagunaan sumberdaya air adalah bagaimana mendayagunakan sumberdaya tersebut secara bijaksana dengan cara mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya alam, hak-hak asasi manusia, demokrasi, dan efisiensi sedemikian rupa sehingga kemakmuran dan keadilan yang tercipta dapat dinikmati oleh semua; untuk generasi sekarang dan generasi mendatang.

Dalam paradigma baru, kuatnya komitmen untuk mengimplementasikan prinsip hak-hak asasi manusia dilandasi pertimbangan bahwa air merupakan unsur utama pendukung kehidupan sehingga akses tiap individu terhadap air harus dapat dijamin. Komitmen tersebut semakin relevan pula untuk mengkondisikan perdamaian mengingat secara empiris di dunia ini terdapat ratusan IRB. Penegasan prinsip demokrasi dan pelestarian sumberdaya alam merupakan konsekuensi logis dari sistem pengelolan sumberdaya alam yang berkelanjutan, sedangkan efisiensi merupakan jawaban terhadap meningkatnya kelangkaan.

Upaya-upaya memasyarakatkan paradigma baru tersebut kepada masyarakat global tidak dapat dipisahkan dari suatu deklarasi yang disebut "Dublin Principle". Pada Bulan Januari 1992, sekitar 500 wakil dari 100 negara, 80 LSM internasional dan berbagai organisasi non pemerintah lainnya bertemu di Dublin, Irlandia dalam rangka persiapan Earth Summit di Rio de Janeiro, Bulan Juni 1992. Pada waktu itu dirumuskan empat pedoman yang terkenal dengan nama "Dublin Principle" yakni: (1) Fresh water is a finite and vulnerable resource,

essential to sustain life, development and environtment, (2) Water development and management should be based on a participatory approach, involving users, planners and policy-makers at all levels, (3) Women play a central part in the provision, management and safeguarding of water, and (4) Water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic goods.

Pada Bulan Agustus 1996 setelah melalui proses panjang sejak beberapa tahun sebelumnya, 9 lembaga internasional sepakat membentuk The World Water

Council (WWC). Kesembilan lembaga internasional tersebut adalah: International Water Resources Association (IWRA), International Commision on Irrigation and Drainage (ICID), Canadian International Development Agency (CIDA), The

(9)

World Bank (WB), International Association on Water Quality (IAWQ), International Water Supply Association (IWSA), United Nations Development Programme (UNDP), The World Conservation Union (WCU), dan The Water Supply and Sanitation Collaborative Council (WSSCC).

Markas besar WWC adalah di Marseilles, Perancis. Lembaga ini dirancang untuk berfungsi sebagai "the world's water-policy thinktank". Salah satu keluaran yang telah dihasilkan forum pertemuan WWC adalah "Vision for Water, Life, and

the Environtment" yang sasarannya adalah untuk melakukan analisis dan

pengintegrasian berbagai aktivitas terkait yang mempengaruhi kehidupan manusia dan ekosistemnya dan dimaksudkan untuk opsi-opsi kebijakan yang berkenaan dengan pemantapan ketahanan pangan melalui aquakultur, lahan kering, dan pertanian beririgasi, penyediaan pasokan air dan jasa sanitasi, pengelolaan sumberdaya air untuk fungsi-fungsi ekonomi termasuk produksi listrik, dan proteksi lingkungan termasuk kawasan pantai dan lahan basah.

Sebenarnya, lahirnya Dublin Principle terkait pula dengan berbagai konferensi tentang perlunya memperlakukan air sebagai barang ekonomi yang sejak awal 90-an cukup banyak dibahas para pakar ekonomi sumberdaya di berbagai forum internasional. Sebagai ilustrasi adalah sebagai berikut. Second

World Water Forum (SWWF 2000) menekankan bahwa analisis tentang nilai air

sangat penting sebagai salah satu acuan dalam alokasi air antar pengguna yang berkompetisi. Konferensi internasional tentang air dan lingkungan (International

Conference on Water and the Environment – ICWE) di Dublin pada Bulan Januari

1992 mengemukakan bahwa sangat rendahnya kesadaran tentang nilai air merupakan salah satu sebab terjadinya kerusakan pendayagunaan sumberdaya dan lingkungan (ICWE, 1992). Terkait dengan itu The United Nations Conference on

Environment and Development pada Bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro juga

menggaris bawahi bahwa peranan air sebagai suatu sumberdaya ekonomi dan sosial seharusnya tercermin dari mekanisme pengelolaan kebutuhan akan sumberdaya tersebut. Lembaga internasional lain seperti World Bank (1993) maupun FAO (1994) juga menekankan pentingnya perubahan strategi pendayagunaan sumberdaya air yang lebih menekankan pada peningkatan efisiensi penggunaan dalam kerangka pembangunan yang lebih ramah lingkungan.

(10)

2.1.3. Implikasi Terhadap Sistem Pengelolaan Irigasi

Dalam lingkup global, hasil kajian Shiklomanov (1998) menyebutkan bahwa pada tahun 1995 dari total penyadapan (withdrawal) sebesar 3765 Km3/tahun, sekitar 66 % diantaranya adalah untuk sektor pertanian. Jika ditinjau dari sisi penggunaannya (consumptive use), maka dari total penggunaan sekitar 2329 Km3/tahun, 86 % diantaranya adalah untuk sektor pertanian1. Laju pertumbuhan kebutuhan sektor non pertanian yang lebih tinggi dari sektor pertanian (terutama untuk kebutuhan rumah tangga memperoleh prioritas utama) dalam 25 tahun menyebabkan pangsa sektor pertanian memang mengalami sedikit penurunan. Meskipun demikian, Shiklomanov memprediksi bahwa penyadapan dan penggunaan sektor pertanian masih akan mencapai 60 – 83 %. Estimasi Seckler et al (1998) menyebutkan bahwa pada tahun 1990 penggunaan air oleh sektor pertanian adalah sekitar 2084 Km3/tahun dan akan mencapai 3376 Km3/tahun; tetapi jika dapat dilakukan peningkatan efisiensi irigasi secara signifikan maka dapat ditekan menjadi 2432 Km3/tahun.

Terdapat dua sumber air yang lazim dimanfaatkan untuk irigasi yaitu air permukaan dan air tanah. Air permukaan yang digunakan untuk irigasi berasal dari air limpasan curah hujan yang selanjutnya mengalir di sungai atau tersimpan dalam cekungan permukaan bumi seperti danau ataupun situ-situ. Air tanah terdiri dari dua kategori yakni yang berada di dalam celah bebatuan di bawah tanah (subsurface water) maupun dalam celah bebatuan yang sepenuhnya jenuh air (groundwater) (Hardjoamidjojo, 1999). Untuk memperoleh pasokan air irigasi dari air permukaan itu dilakukan pengumpulan dan penyimpanan (reservoir) dengan cara membangun waduk, atau dengan cara membendung sungai. Penyadapan air tanah untuk irigasi dilakukan dengan pemompaan. Lazimnya distribusi air irigasi (baik irigasi permukaan maupun air tanah) ke lahan pertanian memanfaatkan daya gravitasi melalui saluran air terbuka ataupun saluran tertutup.

1

Ada tiga istilah penting dalam konteks penggunaan air: water use, withdrawal, dan consumption use. Interpretasinya (Gleick, 1998) sebagai berikut. Water use merupakan istilah umum untuk penggunaan air, jadi dapat berupa withdrawal, gross water use, ataupun consumptive use. Withdrawal mengacu pada kegiatan penyadapan air dari suatu sumber untuk disimpan ataupun digunakan. Consumption use mengacu pada penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan untuk berlangsungnya suatu proses atau kegiatan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan kembali (reuse) dari (sebagian) air tersebut tidak dapat terjadi dengan segera.

(11)

Meskipun hasil estimasi para pakar bervariasi, tetapi ada 2 kesimpulan umum yang konvergen (Seckler et al, 1998; Shiklomanov, 1998). Pertama, penggunaan air masih belum efisien dan lebih rendah dari rata-rata agregat. Kedua, sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar (50 – 90 %) dan diperkirakan masih akan tetap dominan sampai seperempat abad ke depan.

Para pakar dari International Water Management Institute (IWMI) mengemukakan bahwa salah satu strategi yang efektif untuk meningkatkan efisiensi irigasi agar produksi pangan dapat ditingkatkan meskipun sumberdaya air semakin langka adalah dengan cara meningkatkan produktivitas air irigasi (Molden 1997; Molden et al, 2001; Barker and Kijne 2001). Gerakan "more crop

per drop" yang dicanangkan oleh International Water Management Institute

(IWMI) merupakan salah satu bentuk sosialisasi pendekatan tersebut di atas. Selain itu, diperlukan pula tindakan-tindakan yang ditujukan untuk menghemat air yang tersedia misalnya dengan cara recycling, perbaikan kehandalan pasokan (reliability in supplies), irigasi tepat jumlah dan tepat waktu (precision on

irrigation), aplikasi irigasi berbiaya murah di lahan tadah hujan (low-cost precision irrigation technologies for rain-fed areas), serta adanya dukungan

kebijaksanaan, institusi dan sistem insentif untuk efisiensi irigasi (International Water Management Institute – IWMI, 2000).

Selain instrumen kebijakan yang ditujukan untuk mendorong pelaku pengguna air irigasi berupaya meningkatkan efisiensi irigasi, upaya mewujudkan peningkatan produktivitas air irigasi membutuhkan pula perbaikan teknologi di bidang agronomi maupun pengelolaan irigasi. Di bidang agronomi, langkah-langkah yang perlu ditempuh antara lain adalah: (1) perbaikan varietas tanaman, terutama penciptaan dan penerapan varietas genjah unggul berdaya hasil tinggi, (2) perbaikan pola tanam, dengan cara mengutamakan komoditas tanaman pangan hemat air, dan (3) perbaikan teknik budidaya yang mencakup perbaiki pengolahan tanah, pemupukan, serta pemberantasan gulma dengan teknik yang memungkinkan konsumsi air lebih rendah. Di bidang pengelolaan air, langkah-langkah yang diperlukan adalah: (1) irigasi tepat waktu, (2) teknik irigasi yang efisien, misalnya dengan cara mengurangi praktek irigasi alir (flow irigation) atau dengan cara mengembangkan furrow irrigation, sprinkkler irrigation, maupun

(12)

drip irrigation jika layak, dan (3) realokasi air ke komoditi pertanian yang bernilai

ekonomi bernilai tinggi.

Kini pakar-pakar internasional di bidang pangan dan irigasi semakin tertarik melakukan pengkajian tentang prospek pemanfaatan jenis-jenis tanaman yang hemat air sebagai sumber pangan masa depan. Dalam konteks demikian itu, usahatani padi konvensional cenderung menjadi inferior karena dengan teknologi yang selama ini diaplikasikan, termasuk kategori boros air. Beberapa hasil penelitian, misalnya Pimental et al. (1997) dan Tuong and Bhuiyan (1994) menyebutkan bahwa untuk menghasilkan 1 Kg padi, dibutuhkan air 1900 – 5000 liter. Angka itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan kebutuhan air untuk kentang, gandum, dan jagung yang masing-masing hanya berkisar pada 500 – 1500, 900 – 2000, dan 1000 – 1800 liter.

Salah satu implikasi pokok perubahan paradigma pendayagunaan sumberdaya adalah perlunya penyesuaian kebijaksanaan dan strategi pengembangan atau pengelolaan sumberdaya tersebut. Ini membutuhkan sejumlah pembaharuan yang seringkali bersifat sangat mendasar karena menyentuh langsung pilar-pilar pokok kerangka hukum (legal framework) yang selama ini dianut oleh suatu negara. Oleh karena itu proses penyesuaian/pembaharuan tersebut tidak mudah dilakukan. Sejumlah resistensi muncul karena khawatir pembaharuan – yang secara empiris memang disponsori oleh lembaga-lembaga internasional dan para pakar dari negara penganut paham liberal/kapitalis – itu pada akhirnya bermuara pada kepentingan kaum kapitalis.

Di Indonesia proses pembahasan pembaharuan kerangka hukum pengelolaan sumberdaya air juga telah dirintis sejak awal dasawarsa 90-an. Sampai tahun 1997 pembahasan konsep pembaharuan tersebut tidak mengalami kemajuan yang berarti, tetapi sejak tahun 1998 – seiring dengan reformasi politik dan ekonomi yang terjadi sejak krisis ekonomi melanda negeri ini – pembahasan dan perumusan konsep pembaharuan tersebut mengalami kemajuan nyata. Dengan adanya INPRES No. 3/1999, secara formal pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi dicanangkan; yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 77/2001. Selanjutnya diterbitkan Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 529

(13)

tahun 2001 tentang Pedoman Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi (PPI) kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayan P3A.

Air adalah sumberdaya publik yang sangat vital. Oleh karena itu arah kebijakan di bidang irigasi khususnya maupun sumberdaya air pada umumnya sangat dipengaruhi oleh arah perkembangan sosial politik. Sebagai contoh, hal ini tampak misalnya dari perbedaan yang terjadi antara strategi dan kebijakan keirigasian dari PP 77/2001 dengan arah dan strategi kebijakan yang dapat dirumuskan jika mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2004. Pada PP 77/2001, orientasi untuk mengurangi peranan pemerintah dan meningkatkan kemandirian organisasi petani dalam pengelolaan irigasi lebih jelas dan terarah. Sementara itu, dari UU Nomor 7 Tahun 2004 tersirat bahwa semangat untuk memandirikan petani justru mengendur dan di sisi lain dominasi peranan pemerintah meningkat. Diduga, hal ini merupakan akibat dari kecenderungan untuk menciptakan kebijakan yang populis yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan dinamika politik terjadi sejak era reformasi terjadi di negeri ini.

Jika dikaitkan dengan esensi pokok dari sistem pengelolaan irigasi yang berazaskan efisiensi, pemerataan, keberlanjutan dan kemandirian maka orientasi kebijakan sebagaimana tersirat dalam PP 77/2001 tampaknya lebih sesuai. Berdasarkan justifikasi itu, tinjauan terhadap UU No. 7 Tahun 2004 berikut implikasinya terhadap kebijakan di bidang keirigasian tidak dibahas lebih lanjut. Selain itu, adalah fakta bahwa sampai saat ini proses perumusan kebijakan yang merupakan tindak lanjut UU tersebut belum selesai.

Secara umum dapat dikatakan adanya perubahan mendasar pada PP 77/2001 jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yakni PP 23/1982, terutama yang berkenaan dengan tujuan dan sasaran pengelolaan irigasi yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan pendapatan petani (pasal 2 dan pasal 6 ayat 2). Pasal-pasal ini juga menunjukkan bahwa orientasi pengelolaan irigasi tidak lagi untuk mendukung swasembada beras semata, tetapi sudah mengantisipasi munculnya diversifikasi tanaman seperti juga ditekankan dalam penjelasan umum PP 77/2001.

(14)

Jika pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi sebagaimana yang dimaksud dalam PP 77/2001 terwujud maka karakteristik irigasi akan berubah dari irigasi protektif ke arah irigasi produktif. Perbedaan karakteristik antara irigasi protektif dengan irigasi produktif adalah sebagai berikut (Wolter and Burt, 1987):

Tipe pengelolaan sistem irigasi Unsur pembeda

Irigasi protektif Irigasi produktif 1. Tujuan Menyelamatkan tanaman dari

kekurangan air akibat penyimpangan cuaca

Optimum kecukupan air untuk budidaya tanaman

2. Azas manajemen irigasi

Pemerataan perolehan air di seluruh petak yang dilayani

Nilai produktivitas lahan yang memperoleh layanan irigasi

3. Tanaman yang dibudidayakan

Tanaman pangan sebagai bagian dari subsistence farming

Tanaman niaga yang dibutuhkan pasar 4. Orientasi produksi Kepastian usahatani Produksi optimal

(keuntungan maksimum) 5. Status air irigasi Sebagai peredam risiko dalam

proses produksi

Sebagai modal usahatani dan sarana produksi 6. Sistem manajemen

yang dikehendaki

Penyebaran air di seluruh petak layanan

Pemberian air dengan produk-tivitas usahatani yang optimal

7. Hak atas air dan keadilan (equity)

Jatah pasokan ditentukan oleh volume maksimum untuk menghindari gagal panen

Jatah pasokan air ditentukan oleh nilai manfaat

Dalam PP 77/2001, upaya untuk mewujudkan good governance for

irrigation ditempuh dengan melakukan pembagian peran yang lebih jelas antara

pemerintah dan masyarakat. Peran pemerintah terdiri dari 4 fungsi yaitu: (1) sebagai regulator, (2) sebagai enabler, (3) sebagai fasilitator, dan (4) apabila masyarakat belum atau tidak mampu untuk melakukannya dapat bertindak sebagai penyedia barang dan jasa secara terbatas. Pelaksanaan manajemen irigasi bergeser dari joint management pemerintah – petani menjadi manajemen provisi dimana petani menjadi pelaku utama. Kesimpulannya, pada PP 77/2001 ini orientasi untuk lebih memberdayakan petani dalam pengelolaan irigasi telah dikondisikan dalam aturan main yang lebih jelas.

(15)

2.1.4. Implikasi Terhadap Strategi Pengembangan Produksi Pangan

Secara umum prinsip utama dari strategi pengembangan produksi pangan yang sesuai dengan paradigma baru dalam pendayagunaan sumberdaya air adalah bahwa pertumbuhan produksi pangan akan berkelanjutan (sustainable) jika ketersediaan sumberdaya air juga sustainable; dan pendayagunaannya dilandasi filsafat bahwa air itu langka, setiap individu berhak memperoleh air, dan karakteristik intrinsik air tunduk kepada hukum-hukumnya secara mandiri (hidrologi). Dimensi yang tercakup dalam aspek keberlanjutan adalah kuantitas, kualitas, waktu, dan tempat. Dalam paradigma baru, tidak sesuai lagi menerapkan pandangan bahwa air harus didayagunakan sesuai dengan kebutuhan usahatani. Pandangan yang relevan adalah seraya mempertimbangkan tuntutan pasar produksi pertanian, usahatani harus menyesuaikan diri dengan ketersediaan air.

Bagi Indonesia urgensi reformulasi strategi pengembangan produksi pangan bukan sekedar mengikuti trend penyesuaian terhadap perubahan paradigma, tetapi sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari cara pemecahan permasalahan empiris. Menyimak kondisi empiris, butir-butir permasalahan pokok yang dihadapi Indonesia di bidang pangan saat ini maupun masa mendatang adalah sebagai berikut. Pertama, pada sisi permintaan terlihat bahwa kebutuhan pangan terus meningkat dan ketergantungan terhadap beras masih sangat tinggi. Mengacu pada data SUSENAS, rata-rata konsumsi beras dalam periode 10 tahun terakhir adalah sekitar 125 Kg/kapita/tahun. Diversifikasi konsumsi pangan sumber karbohidrat belum mencapai sasaran yang diharapkan karena: (1) diversifikasi justru mengarah pada gandum, (2) untuk golongan menengah ke bawah meningkatnya pendapatan diiringi pula peningkatan konsumsi beras per kapita. Kedua, di sisi pasokan terjadi kemunduran laju pertumbuhan. Hal ini dapat disimak misalnya pada Rosegrant et al (1997), Dillon

et al (1999), Simatupang (2000), Sawit (2001), BAPPENAS – USAID (2000),

BAPPENAS (2001a) dan BAPPENAS (2001b). Salah satu kesimpulan dari terbitan tersebut antara lain menyebutkan bahwa sejak dasawarsa terakhir kapasitas negeri ini dalam menyediakan pangan secara mandiri cenderung turun. Ketiga, ketersediaan sumberdaya air sebagai kendala pengembangan produksi padi makin nyata. Insiden banjir di musim hujan maupun kekeringan di musim

(16)

kemarau semakin sering dan secara agregat luasannya meningkat (Sumaryanto dan Friyatno, 1999). Selain merupakan akibat dari perilaku iklim yang makin sulit diprediksi, hal ini disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor berikut: (1) degradasi daerah tangkapan air akibat kerusakan hutan, (2) menyusutnya ruang-ruang retensi air, (3) menurunnya fungsi sungai, (4) implementasi tata ruang cenderung kurang mempedulikan aspek pelestarian lingkungan.

Pertumbuhan produksi bersumber dari dua faktor yaitu pertambahan areal panen dan peningkatan produktivitas. Berdasarkan data empiris, kajian Simatupang (2000) maupun Dillon et al (1999) menyimpulkan bahwa dalam dasawarsa terakhir ini terjadi kemandegan dalam peningkatan produktivitas. Dalam kaitan ini, mengingat prospek perluasan areal tanam melalui pengembangan areal pesawahan baru (new construction) sangat terbatas maka perlu diupayakan peningkatan intensitas tanam dan minimisasi puso melalui penerapan pola tanam yang optimal.

Peran penting irigasi dalam pertumbuhan produksi pangan nasional dapat disimak dari kontribusinya dalam memproduksi pangan maupun peran relatifnya dalam pertumbuhan produksi pangan. Lebih dari 90 % produksi padi nasional berasal dari lahan pertanian beririgasi (sawah). Hasil studi World Bank (1982) menyimpulkan bahwa kontribusi irigasi terhadap laju kenaikan produksi padi di Indonesia selama kurun waktu 1972 – 1981 tak kurang dari 16.5 %; dan bersama-sama dengan faktor-faktor input utama (varietas unggul, pupuk buatan, pestisida) secara simultan kontribusinya mencapai 75 %. Menyimak perkembangan yang terjadi dalam dua dekade terakhir, diduga kuat fenomena tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti, sehingga ketersediaan air irigasi masih tetap merupakan determinan dari pasokan pangan domestik.

Dalam jangka panjang, strategi penyediaan pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan yang mantap harus disesuaikan dengan paradigma baru dalam pendayagunaan sumberdaya air sebagaimana disebut di atas. Strategi yang harus ditempuh adalah: seraya tetap mendorong pertumbuhan produksi padi dengan penggunaan air irigasi secara efisien, diversifikasi pertanian khususnya pangan harus lebih diprioritaskan. Dalam konteks itu, kebijakan pemerintah untuk

(17)

mendorong berkembangnya sistem pertanian komersial sangat diperlukan. Ini dapat ditempuh misalnya melalui pengembangan infrastruktur pedesaan, peningkatan aktivitas penelitian dan pengembangan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi, peningkatan akses petani terhadap kapital, dan sebagainya (Pingali and Rosegrant, 1995). Sudah barang tentu realisasinya membutuhkan sejumlah intervensi pemerintah yang bahwa untuk mewujudkannya membutuhkan waktu yang panjang karena keberhasilan diversifikasi pangan mensyaratkan pendekatan dari sisi pasokan maupun permintaan secara simultan.

Pada hakekatnya, ketahanan pangan yang berkelanjutan pada komunitas di wilayah tropika memang memerlukan diversifikasi pangan sebagai salah satu pilar. Secara alamiah (fitrah), wilayah tropika ditakdirkan kaya keanekaragaman hayati: lebih banyak species, tetapi populasi massive per jenis species lebih sedikit. Oleh sebab itu, suatu sistem pendayagunaan yang mengakibatkan dominasi suatu species secara eksesif berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem dan dapat berakibat munculnya hambatan permanen dalam mengoptimalkan sumberdaya lingkungan untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang berguna bagi kehidupan dalam arti luas.

Keberhasilan diversifikasi pangan mengandung makna mendekatkan diri dengan kondisi alamiah wilayah tropika. Berkurangnya konsumsi beras per kapita bukan hanya mengurangi kebutuhan air untuk pertanian, tetapi juga mempunyai implikasi meluasnya persediaan lahan untuk pangan karena spektrum pangan meluas – status lahan tadah hujan sebagai lumbung pangan meningkat karena dalam pola konsumsi pangan yang lebih terdiversifikasi, anggota gugus pangan bertambah banyak.

Meskipun diversifikasi pangan perlu dikembangkan, peningkatan produksi padi juga harus tetap dilakukan. Dalam hal ini ada dua opsi penting yang harus ditempuh: (1) pengembangan padi lahan kering/gogo, (2) peningkatan produktivitas padi sawah. Pengembangan padi lahan kering perlu didukung penelitian pemuliaan tanaman yang diarahkan untuk memperoleh varietas yang rasanya lebih enak dan produktivitasnya lebih tinggi, dan teknik budidaya yang lebih baik. Dalam pengembangan padi sawah terdapat tiga aspek penting yang

(18)

perlu diperhatikan: (1) pada saat ketersediaan air tidak langka (musim hujan), pola mina-padi perlu memperoleh prioritas pengembangan (dengan demikian produktivitas air meningkat), (2) efisiensi irigasi harus ditingkatkan, dan (3) eksistensi lahan sawah produktif harus dipertahankan.

Upaya untuk mempertahankan eksistensi lahan sawah diwujudkan melalui pengendalian atau meminimalkan alih fungsi (konversi) lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Hal ini dilandasi pengalaman empiris bahwa alih fungsi lahan sawah tidak hanya menyebabkan menciutnya areal pesawahan yang tersisa, tetapi dampak rambatannya adalah terjadinya degradasi kualitas sawah di sekitarnya dan terjadinya percepatan laju alih fungsi lahan sawah tersebut secara agregat (Sumaryanto et al, 1996; Sumaryanto and Suhaeti, 1997; Sumaryanto dan Sudaryanto, 2005). Untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah dibutuhkan law

enforcement yang memadai dalam implementasi kebijaksanaan tata guna lahan

yang telah ada selama ini secara tegas dan konsisten.

Dalam jangka panjang, pembangunan areal pesawahan yang baru (new

construction) memang perlu dilakukan. Berdasarkan kondisi empiris, hal itu

hanya dapat dilakukan di Luar P. Jawa. Namun perlu digaris bawahi bahwa pendekatan yang diperlukan tidak sama dengan pola pengembangan yang lalu. Dari sudut pandang pembiayaan, pengembangan irigasi skala besar dengan dukungan dam-dam raksasa tidak prospektif. Pembangunan dam-dam raksasa akan populer hanya jika sifat multipurpose-nya sangat menonjol, aspek pelestarian lingkungan dikedepankan, dan keseluruhan proses pembangunannya (sejak perencanaan) dilakukan melalui pendekatan partisipatif seluruh lapisan masyarakat secara demokratis. Tanpa pemenuhan kondisi tersebut sulit memperoleh dukungan dari lembaga keuangan internasional. Untuk dam-dam raksasa yang telah ada, mengingat investasi untuk membangunnya sangat mahal maka upaya peningkatan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan harus secara simultan dapat dimaksimalkan.

Dalam jangka pendek – menengah perbaikan kinerja irigasi sangat urgen karena secara empiris pada saat ini banyak jaringan irigasi yang kinerjanya sangat rendah jika dibandingkan dengan disain awal. Padahal keberlanjutan fungsi sawah

(19)

ditentukan oleh kinerja irigasi. Turunnya kinerja irigasi antara lain terlihat dari semakin pendeknya ketersediaan air yang cukup di musim kemarau dan rentannya hamparan sawah terhadap bahaya banjir di musim hujan. Penyebab utamanya adalah: (1) memburuknya kinerja jaringan irigasi, (2) menurunnya ketersediaan air yang menjadi sumber air irigasi, dan (3) kombinasi dari keduanya. Memburuknya kinerja jaringan irigasi disebabkan oleh: (1) disain jaringan irigasi yang tidak tepat, (2) sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang jelek, atau (3) kombinasi dari keduanya (Arif, 1996 dan Osmet, 1996). Sementara itu turunnya pasokan air yang menjadi sumber untuk irigasi disebabkan oleh degradasi fungsi sungai maupun daerah tangkapan air di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS).

2.2. Pemberlakuan Pungutan Air Irigasi Sebagai Instrumen Peningkatan Efisiensi Irigasi Melalui Pendekatan Pengelolaan Permintaan

Seperti di kemukakan di atas, untuk mengantisipasi meningkatnya kelangkaan air irigasi ada dua strategi yang dapat ditempuh yaitu: (1) melalui pengelolaan pasokan (termasuk pengembangan prasarana baru) dan (2) melalui pengelolaan permintaan dengan cara mengoptimalkan penggunaan air irigasi. Ketika air semakin terbatas, pendekataan pengelolaan permintaan perlu digalakkan karena dipandang lebih memadai (Winpenny 1994; Hellegers 2002).

Instrumen yang dapat dimainkan dalam pendekatan pengelolaan permintaan tergantung pada kerangka perundang-undangan (legal framework) yang dianut. Secara teoritis, dalam komunitas petani yang menganut sistem pertanian komunal terkomando, dapat ditempuh melalui pengaturan pola tanam dengan sistem jatah. Keberhasilan sistem kelembagaan seperti itu sangat tergantung pada keberhasilan menegakkan aturan bagi anggota kelompoknya (law

enforcement). Kelemahan pendekatan ini adalah: (1) sulit diimplementasikan pada

wilayah irigasi yang sangat luas, terlebih-lebih jika konfigurasi hamparan yang tercakup dalam sistem layanan irigasi melibatkan berbagai kelompok masyarakat tani yang kulturnya beragam, (2) tingkat efisiensi yang dapat dicapai sangat tergantung pada ketepatan disain pola tanam dan dukungan prasarana fisik, dan (3) kurang populer di era demokrasi karena pola ini dianggap kurang aspiratif.

(20)

Instrumen lain yang banyak dibahas para pakar adalah dengan menciptakan insentif untuk melakukan efisiensi dengan penetapan harga air (water pricing – untuk selanjutnya dalam penelitian ini disingkat WP). Sebagaimana dinyatakan dalam Johansson (2000), salah satu cara memperbaiki alokasi, efisiensi, dan mendorong konservasi penggunaan air irigasi adalah melalui penetapan harga air ("Water pricing, wether by administrative mandate or

by market force, is an important way to impprove water allocations and to encourage conservation"). Secara teoritis, WP dapat dimanfaatkan untuk

mendukung tujuan (Unver and Gupta, 2002):

1. Finansial: untuk membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi dan menutup (sebagian) modal investasi.

2. Efisiensi: mendorong alokasi sumberdaya ke penggunaan yang lebih produktif.

3. Pemerataan: potensial untuk mereduksi senjang distribusi pendapatan.

Fungsi WP untuk mengkondisikan pemerataan pendapatan masih banyak diperdebatkan. Molle (2002) cenderung skeptis karena "user pays principle" yang merupakan landasan penerapan WP dapat berdampak buruk bagi petani miskin. Akan tetapi ia sependapat bahwa WP kondusif untuk meningkatkan produktivitas air irigasi maupun realokasi air irigasi ke usahatani komoditas hemat air.

Upaya penerapan WP sebagai instrumen untuk meningkatkan efisiensi irigasi terkait pula dengan keinginan untuk mengakhiri kesalahan persepsi tentang nilai ekonomi air. Selama ini air dinilai terlalu rendah sehingga pemanfaatannya boros – water is consistenly undervalued, and as a result is chroniclly overused (Postel, 1992; World Bank, 1993; Asian Development Bank – ADB, 2000).

Secara empiris, efektivitas WP untuk mendorong efisiensi penggunaan air di sektor domestik dan industri adalah sangat berbeda jika dibandingkan dengan di sektor pertanian (irigasi). Di sektor domestik dan industri peningkatan harga air pada umumnya efektif untuk mendorong penghematan konsumsi air (Dinar and Subramanian, 1997). Di sektor pertanian performanya berbeda. Penerapan WP di sektor pertanian dapat dikatakan masih dalam perjalanan awal dan sosok perkembangannya di berbagai negara juga beragam beragam. Beberapa penelitian dari IFPRI (International Food Policy Research Institute) dan beberapa penelitian

(21)

yang disponsori oleh Bank Dunia di beberapa negara di Amerika Selatan, Asia Tengah, Asia Selatan, Afrika Tengah, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa penegakan hak-hak atas air yang ditindak lanjuti dengan kajian penentuan harga air (water pricing) ternyata dapat diimplementasikan dan cukup efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi (Johansson, 2000). Di sisi lain, beberapa studi empiris juga menunjukkan sejumlah hambatan yang dihadapi dalam aplikasi WP. Sebagai ilustrasi, penelitian Gomez-Limon and Berbel (2000) di tiga lokasi di Spanyol memperoleh kesimpulan bahwa meningkatnya biaya irigasi akibat penerapan WP menyebabkan pendapatan petani turun sehingga penerapannya mengalami hambatan. Penelitian Ray (2002) di India kawasan barat memperoleh kesimpulan bahwa peningkatan biaya irigasi akibat penerapan WP, karena tidak diikuti oleh peningkatan harga komoditas pertanian, mengalami hambatan politis. Di Mesir, penerapan WP dengan metode volumetric pricing memang berhasil menurunkan penggunaan air irigasi sebesar 15 %, tetapi pendapatan petani juga turun 25 % sehingga tidak dapat berkembang karena dianggap tidak realistis (Perry, 1996). Pelajaran penting yang dapat dipetik dari hasil-hasil studi tersebut adalah bahwa penerapan water pricing harus mempertimbangkan aspek yang lebih luas. Secara historis, nilai-nilai yang tercakup dalam pengembangan sumberdaya air untuk pertanian memang berbeda dengan apa yang terjadi pada sektor non pertanian. Penerapan water pricing harus dikemas dalam bentuk kelembagaan yang dapat menampung aspirasi masyarakat luas karena terkait dengan aspek-aspek sosial, budaya, bahkan aspek politik sehingga cenderung sensitif (Varela-Ortega et al 1998; Hellegers, 2002).

Terdapat beberapa metode WP yang dapat diterapkan, antara lain:

volumetric pricing, output pricing, per unit area, tiered pring, two-part tariff, dan betterment levy (Boss and Walter, 1990; Tsur and Dinar, 1997). Dalam volumetric pricing, biaya air yang harus dikeluarkan didasarkan pada volume air yang

dikonsumsi. Pada output pricing, biaya air ditentukan oleh kuantitas output yang dihasilkan dari penggunaan air tersebut. Sesuai dengan istilahnya, pada metode

per unit area, dasar perhitungannya adalah luas garapan usahatani yang

menggunakan air irigasi. Metode tiered pricing adalah suatu multi-rate volumetric

(22)

dikonsumsi melebihi suatu ambang batas tertentu. Pada two-part tariff, biaya air terdiri dari dua komponen yaitu biaya tetap pertahun yang dikenakan untuk hak penggunaan air, dan pungutan air yang didasarkan pada didasarkan pada harga marginal yang tetap untuk setiap unit volume air yang dikonsumsi. Dalam metode

betterment levy, biaya air dipungut per area dimana nilainya didasarkan atas

peningkatan nilai lahan akibat adanya irigasi.

Tingkat kemudahan untuk mengimplemantasikan skim (pricing scheme) dan mengontrol permintaan dari masing-masing metode tersebut berbeda. Perbandingan antar metode tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut (Boss and Walter, 1990):

Skim harga (pricing scheme) Implementasi Kemampuan untuk mengontrol permintaan

Volumetric pricing Sulit Mudah

Output pricing Relatif mudah Relatif mudah

Per area pricing Paling mudah Sulit

Tiered pricing Relatif sulit Relatif mudah

Two-part tariff Relatif sulit Relatif mudah

Betterment levy Relatif sulit Sulit

Secara teoritis metode yang paling efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air adalah volumetric pricing. Jelas bahwa penerapan metode ini membutuhkan peralatan yang dapat digunakan untuk mengontrol volume sampai di tingkat pengguna/konsumen dan dari sudut pandang kelembagaan dimungkinkan berlakunya mekanisme pasar. Oleh karena itu pada sistem irigasi permukaan penerapannya sangat terbatas, bahkan hampir mustahil. Metode ini dapat diterapkan pada sistem irigasi yang distribusinya menggunakan sistem saluran tertutup dan secara teknis volume maupun wilayah layanan mudah dikontrol. Contoh populer adalah pada sistem irigasi pompa. Pada sistem irigasi pompa, volume konsumsi air irigasi dapat ditaksir dari debit (discharge) dikalikan jangka waktunya (jam pemompaan) dan biasanya luas areal layanan irigasi (command area) relatif kecil.

(23)

Secara empiris metode water pricing yang paling luas diterapkan di bidang irigasi adalah per unit area (area basis). Hasil penelitian Boss and Walter (1990) di beberapa negara menunjukkan bahwa pada wilayah irigasi seluas sekitar 12.2 juta hektar (agregat dari beberapa negara), lebih dari 60 % menerapkan per unit area, 25 % menggunakan volumetric pricing, dan sekitar 15 % menerapkan kombinasi kedua metode tersebut. Fenomena seperti itu masih terjadi sampai sekarang, terutama di negara-negara berkembang (Rosegrant et al, 2002).

Sampai saat ini penentuan biaya irigasi yang dibebankan kepada petani di Indonesia didekati dari sisi penyediaan (supply management) yang didasarkan pada sistem pengelolaan kemitraan (joint management) pemerintah – petani sebagaimana yang dimaksudkan dalam PP 23/1982. Kerangka pemikirannya adalah sebagai berikut. Dengan sasaran akhir petani dapat membiayai operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi secara mandiri maka petani (melalui Perkumpulan Petani Pemakai Air – P3A) dilatih ikut menanggung biaya OP irigasi di petak tertier. Untuk itu di wilayah irigasi yang investasi pembangunannya disponsori oleh pemerintah (irigasi teknis) dan kinerja irigasinya baik, diberlakukan Iuran Pelayanan Air Irigasi (IPAIR). Jumlah IPAIR per hektar adalah sama dengan biaya OP di petak tertier ditambah dengan biaya pengumpulannya kemudian dibagi dengan luas layanan irigasi dalam petak tertier tersebut. Nilai IPAIR/hektar bervariasi antar daerah. Pada awal perkembangan (1987 – 1992) IPAIR yang dibebankan ke petani adalah berkisar antara Rp. 8000 – Rp. 12 000/hektar. Sejak tahun 1995/1996 meningkat menjadi Rp. 18 000 – Rp. 24 000/hektar.

Pengelolaan dana IPAIR dikoordinasikan oleh Dinas Pengairan. Biasanya digunakan untuk menambah biaya perbaikan jaringan irigasi (di level tertier) yang rusak dan memerlukan perbaikan mendesak. Penentuan jumlah maupun lokasi sasaran dilakukan oleh pemerintah (melalui Dinas Pengairan). Dalam praktek, jumlah IPAIR yang terkumpul ternyata jauh dari memadai jika dibandingkan dengan total biaya yang dibutuhkan untuk operasi dan pemeliharaan irigasi.

Dalam praktek, biaya irigasi yang ditanggung petani tidak hanya IPAIR. Terdapat sejumlah biaya irigasi lainnya seperti iuran P3A, iuran desa (yang terkait dengan usahatani padi), dan (kadang-kadang) biaya irigasi yang sifatnya

(24)

informal. Bahkan sebagian petani yang kebutuhan airnya tak dapat dipenuhi dari irigasi permukaan harus mengeluarkan pula biaya tambahan untuk irigasi pompa.

Pada dasarnya, IPAIR termasuk kategori per area pricing. Kelemahan mendasar dari pola pembiayaan OP irigasi di level tertier dengan pendekatan seperti tersebut di atas adalah:

1. Tidak ada insentif untuk menggunakan irigasi secara efisien. 2. Mekanisme kontrol dalam pengelolaan IPAIR tidak efektif.

3. Tidak ada insentif bagi P3A untuk meningkatkan kapabilitasnya dalam pembiayaan OP irigasi.

4. Hanya efektif diterapkan di petak-petak tertier yang kinerja irigasinya baik. Sesuai dengan PP 77/2001 telah dikemukakan bahwa di masa mendatang kapabilitas P3A untuk membiayai OP irigasi di petak tertier harus ditingkatkan. Selain itu, P3A juga dihadapkan pada: (1) perkembangan sistem usahatani yang semakin berdiversifikasi (secara normatif P3A memang harus mengembangkan diversifikasi usahatani agar pendapatan usahatani meningkat), dan (2) karena air irigasi akan semakin langka maka penggunaannya harus semakin efisien. Oleh karena itu perlu diciptakan sistem pungutan air irigasi (water charging) yang sesuai. Ini dapat didekati dengan metode pemberlakuan harga air (water pricing) yang aplikasinya disesuaikan dengan kerangka hukum yang berlaku.

2.3. Valuasi Air Irigasi

Secara teoritis, sistem pungutan pelayanan air irigasi yang kondusif untuk mendorong efisiensi penggunaan air irigasi dapat diciptakan dengan menerapkan "user's pay principle" (Tiwari and Dinar, 2000). Untuk itu langkah awal yang harus ditempuh adalah melakukan valuasi yakni suatu upaya yang ditujukan untuk mengestimasi harga1 sumberdaya tersebut. Valuasi memiliki dua sisi mata uang: di satu sisi, mensyaratkan berlakunya asumsi bahwa obyek yang dikaji dapat didekati dengan ilmu ekonomi; di sisi lain mempunyai implikasi bahwa hasil valuasi relevan untuk menyusun kebijaksanaan di bidang ekonomi yang terkait.

1

Valuation: 1. the act of process of valuing, 2. the estimated or determined market value of a thing, 3. judgment or appreciation of worth or character (Webster's Ninth New Collegiate Dictionary).

(25)

Menurut Young (1996) terdapat tiga pendekatan yang lazim digunakan untuk melakukan valuasi air atau mengestimasi nilai ekonomi air yaitu: (1)

residual imputation approach (RIA), (2) hedonic approach (HA), dan (3) the alternative cost approach (ACA). Kesesuaian penerapan masing-masing

pendekatan tersebut tergantung pada substansi permasalahan yang dihadapi.

RIA merupakan metode pendekatan yang sering digunakan, meskipun

tidak berarti sesuai untuk semua keadaan. Prinsip metode ini adalah mengestimasi harga bayangan (shadow pricing). Dalam RIA, incremental contribution setiap input dalam proses produksi harus ditentukan. Jika harga-harga semua masukan yang digunakan dapat teridentifikasi (ada pasarnya) kecuali satu – air irigasi, maka sisa dari nilai produk diperhitungkan sebagai residual input (Heady, 1952).

Pendekatan kedua yakni HA lebih sesuai diaplikasikan jika faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku penawaran dan permintaan air irigasi relevan untuk mengukur willingness to pay (WTP). Ini merupakan salah satu bentuk dari pendekatan valuasi non-market secara tidak langsung (Fauzi, 2004). Metode ini lebih lazim diterapkan pada kajian permintaan air untuk kebutuhan konsumtif, ataupun pada valuasi air dalam konteks lingkungan; bukan untuk permintaan air sebagai intermediate goods. Jika diaplikasikan dalam valuasi air irigasi, aplikasi metode HA didekati melalui estimasi harga lahan sehingga disebut "land value

approach" (Young, 1996). Ini dapat dilakukan jika pasar lahan di lokasi yang

diteliti cukup kompetitif sehingga perbandingan nilai lahan yang diderivasikan dari penggunaan lahan untuk tiap sektor perekonomian dapat diidentifikasi dengan baik dan meyakinkan (reliable).

Pendekatan ketiga yakni ACA didasarkan pada sudut pandang bahwa WTP untuk suatu barang atau jasa publik tidak lebih besar daripada biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan barang dan jasa tersebut apabila menggunakan proses atau teknologi yang lain (alternatif). Pendekatan ini paling sesuai diaplikasikan dalam valuasi air untuk proyek pengembangan sumberdaya air yang bersifat sasaran ganda atau multipurpose water projects (Young, et al, 1982). Aplikasi pendekatan ini membutuhkan data dan informasi yang sangat lengkap.

(26)

Dari argumen tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang paling sesuai diterapkan dalam penelitian ini adalah RIA. Beberapa penelitian yang relatif baru seperti Tsur et al (2002) maupun Berbel and Gomez-Limon (2000) pada dasarnya juga menerapkan pendekatan seperti itu.

Derivasi RIA memerlukan dua postulat pokok. Pertama, keseimbangan kompetitif mensyaratkan harga-harga sumberdaya (masukan) sama dengan nilai marginal produk yang dihasilkan. Dalam hal ini, produsen diasumsikan memaksimalkan laba. Kedua, dengan asumsi bentuk fungsi produksinya adalah fungsi homogen berderajat satu (constant return to scale) maka terpenuhi syarat bahwa total nilai produk dapat dibagi habis oleh sumbangan dari masing-masing masukan sehingga setiap masukan "dibayar" menurut produktivitas marginalnya (memenuhi teorema Euler).

Ilustrasi ringkas adalah sebagai berikut. Misalkan dalam suatu proses produksi pertanian, untuk menghasilkan suatu produk Y dipergunakan masukan: modal (K), tenaga kerja (L), masukan lain (R) dan air irigasi (W). Maka fungsi produksi tersebut dapat dituliskan:

) , , , (K L R W f Y  (1)

Dengan asumsi pasar masukan dan keluaran bersaing sempurna, harga diasumsikan tetap (given). Berdasarkan postulat kedua tersebut di atas maka:

TVPY = (VMPK x QK) + (VMPL x QL) + (VMPR x QR) + (VMPW x QW) (2)

dimana TVP adalah total nilai produk, VMPK, VMPL, VMPR, VMPW masing-masing adalah nilai produk marginal K, L, R, dan W; sedangkan Q merupakan kuantitas masing-masing input tersebut. Dengan postulat pertama, maka

K K L L R R

W W

Y P Q P Q P Q P Q

TVP  (  )(  )(  )   (3)

Dengan demikian, harga air irigasi dapat ditentukan sebagai berikut:

W R R L L K K Y W Q Q P Q P Q P TVP P *  (  )(  )(  ) (4)

Salah satu varian pendekatan RIA adalah metode perubahan pendapatan bersih (change in net income - CINI). Ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari metode RIA yang lazim pula disebut "the Valuation of Productivity Change"

(27)

atau VPC (Young, 1996). Dengan metode CINI estimasi harga air dari proses produksi multi-product dengan multi input mudah dilakukan.

Misalkan Y adalah vektor keluaran komoditas-komoditas yang diusahakan dan X adalah vektor masukan yang digunakan, dan P adalah harga-harga masukan dan keluaran. Dengan asumsi bahwa petani adalah price taker maka pendapatan bersih (Z) yang diperoleh dari pengusahaan seperangkat jenis komoditas dapat dipresentasikan:

 

      n j xj i m i yi i P X P Y 1 * 1 * Z (5)

dan perubahan pendapatan bersih adalah: 0

Z Z Z1

 (6)

dimana 'subscript' 0 dan 1 menunjukkan status ketersediaan air. Z menunjukkan tambahan surplus ekonomi yang diperoleh dari status 0 ke status 1.

Dalam aplikasi CINI dibutuhkan sejumlah a priori judgment terutama menyangkut: (a) luas usahatani per jenis tanaman, (b) respon tanaman terhadap penggunaan air, dan (c) teknologi distribusi air yang digunakan. Ini diperlukan agar model yang dikembangkan tidak menghasilkan solusi yang "artificial" – dalam arti jauh sekali dari realitas (Young, 1996). Itu dapat dilakukan melalui pemahaman kondisi empiris yang berkaitan dengan pola pengusahaan komoditas secara komprehensif.

2.3.1. Permasalahan Konseptual Dalam Spesifikasi Fungsi Produksi

Dari pembahasan di atas tampak bahwa dalam valuasi air irigasi dalam pengembangan model water-crop production function (w-cpf) merupakan langkah pertama yang harus ditempuh. Dalam konteks itu muncul dua jenis permasalahan konseptual berikut. Pertama, berkaitan dengan kelengkapan daftar masukan yang digunakan dalam proses produksi. Semakin banyak jumlah variabel (masukan) yang tidak terikutkan dalam model maka hasil valuasi semakin bias ke atas (overstated). Ketidak lengkapan jumlah variabel yang dicakup dalam model umumnya terjadi manakala pendekatan jangka pendek (short run) digunakan untuk merepresentasikan kondisi jangka panjang (long run) sehingga masukan

(28)

yang seharusnya bersifat variabel diasumsikan bersifat tetap. Masalah kedua berkaitan dengan akurasi pendugaan respon tingkat output terhadap jenis masukan tertentu (Young, 1996).

Selain kedua permasalahan tersebut, kesulitan yang dihadapi dalam pengukuran empiris penggunan air irigasi juga mengakibatkan spesifikasi peranan air dalam fungsi produksi tidak dapat ditentukan. Pada sistem irigasi permukaan (surface irrigation) dengan teknik alir-genang (flow irrigation), petani tidak pernah mengukur kuantitas air yang digunakan dalam usahataninya sehingga pengumpulan data melalui metode survey sosial ekonomi tidak dapat ditempuh. Oleh sebab itu, para peneliti umumnya lebih menyukai estimasi w-cpf melalui percobaan (experimental production function). Dengan pendekatan ini respon produksi terhadap tingkat penggunaan air irigasi dapat diketahui dengan tepat.

Bouman dan Tuong (2000) berdasarkan suatu meta analysis terhadap sejumlah hasil penelitian (lebih dari 30) menyimpulkan bahwa respon produksi padi terhadap air merupakan suatu fungsi "negative exponential growth" dengan bentuk persamaan:

1  (W W0

P

A Y e

Y      , dimana YA adalah produktivitas

aktual, YP adalah produktivitas potensial yaitu produktivitas yang dicapai pada

kondisi air tidak merupakan pembatas, W adalah tingkat penggunaan air (mm),

W0 adalah ambang batas penggunaan air (no-yield water application threshold),

dan adalah efisiensi penggunaan air semula (initial water use efficiency). Perlu dicatat bahwa produksi pada YP tidak sama dengan evapotranspirasi padi, karena

produksi optimal padi masih memerlukan adanya tambahan air untuk penggenangan pada tahap-tahap tertentu pertumbuhannya. Bentuk hubungan yang lain adalah seperti yang dikemukakan dalam Dinar and Letey (1996) maupun Rosegrant et al (2000) dalam studinya di Maipo River Basin di Chile sebagai berikut:                       max 2 max 1 0 ln E w a E w a a Y Y i i P A

dimana wi menunjukkan air yang meresap (infiltrated water), Emax adalah

(29)

2.3.2. Pendekatan Kuantitatif Untuk Valuasi Air Irigasi Dengan Metode CINI Metode kuantitatif yang lazim digunakan untuk mengetahui hubungan antara produksi dan tingkat penggunaan masukan dapat berupa pendekatan ekonometrik ataupun pendekatan pemrograman matematis. Jika data kuantitatif produksi dan seluruh masukan yang digunakan dalam proses produksi tersedia dan handal (reliable), dan model ekonometrik yang dikembangkan tepat sehingga hampir semua variasi perilaku produksi dapat diterangkan dengan baik oleh variasi variabel penjelasnya maka hasil estimasi harga air melalui pendekatan ekonometrik adalah lebih baik karena merupakan pendekatan positif. Kesulitan aplikasi model ekonometrik untuk pendugaan respon produksi terhadap air irigasi terkait dengan dua faktor berikut:

1. Data tentang kuantitas air yang digunakan dalam proses produksi pada umumnya hanya dapat diperoleh dari percobaan. Oleh karena itu sulit digali dari survey sosial ekonomi.

2. Secara empiris, ketersediaan air tidak hanya mempengaruhi produktivitas usahatani tetapi juga mempengaruhi spektrum komoditas yang diusahakan. Akibatnya, himpunan komoditas yang akan dihasilkan sulit dispesifikasikan karena selalu berubah seiring dengan perubahan kuantitas air yang tersedia.

Pendekatan dengan pemrograman matematis (mathematical programming, MP) dapat mengatasi persoalan yang ditimbulkan oleh peranan ganda dari air irigasi seperti itu (butir 2). Kelebihan lain dari pendekatan dengan pemrograman matematis terletak pada: (1) fleksibilitasnya dalam mengakomodasikan tujuan penggunaan sumberdaya yang dilandasi motivasi yang bersifat ganda dan multi dimensi, dan (2) elegansinya untuk menginkorporasikan implikasi dari distribusi spatial dan temporal air irigasi (Hazell and Norton, 1986; Rae, 1994). Bahkan dalam Young (1996) dinyatakan bahwa pemrograman matematis juga memiliki keunggulan dalam situasi dimana terdapat suatu keragaman dalam aplikasi teknologi untuk masing-masing aktivitas. Keterbatasan utama pendekatan ini adalah merupakan pendekatan normatif, dan bersifat deterministik sehingga pengaruh acak dari kesalahan pengukuran ataupun galat yang sifatnya stokastik tidak dapat dikaji dengan baik.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan menurut Eko Sumberjaya,2016 dengan judul Pengaruh Pengetahuan Pajak, Sanksi Pajak dan Peran Konsultan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil dan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat komponen pembentukan karakter (moral knowing, moral feeling, dan moral behavior) guru di sebuah lembaga pendidikan

Kepada petani diharapkan agar dapat menambah jumlah luas lahan untuk mendorong peningkatan produksi kakao di Provinsi Aceh dan diharapkan juga penggunaan tenaga

ObservasiSPBKuntuk tanggal 17 Juli 2017menunjukan sebagian besar ProvinsiRiau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur,Bali, NTB, NTT,

Dengan ini menyatakan bahwa dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak mendapat keseluruhan atau sebagaina tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin, atau

Sebagai tuan rumah bagi CIFOR, kami berharap Pemerintah Indonesia dan juga seluruh warga negara Indonesia, dapat sama-sama merasa bangga dengan hasil kajian tim ahli tersebut

Ada Beberapa tokoh perempuan Banjar yang ditulis dalam penelitian ini dengan tujuan untuk membuka pemikiran bahwa perempuan Banjar adalah perempuan-perempuan cerdas yang

3.1 Menemukan makna kata tertentu dalam kamus secara cepat dan tepat sesuai dengan konteks yang diinginkan melalui kegiatan membaca memindai2. 3.2 Menyimpulkan isi bacaan