• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGEMBANGKAN SEKOLAH SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR BERBASIS MANAJEMEN MUTU TERPADU PENDIDIKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGEMBANGKAN SEKOLAH SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR BERBASIS MANAJEMEN MUTU TERPADU PENDIDIKAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MENGEMBANGKAN SEKOLAH SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR BERBASIS MANAJEMEN MUTU TERPADU

PENDIDIKAN Siti Masfufah

Kepala SD Negeri Lengkong 1, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur

Abstract

Either to be owned by the principals management competence of the school/madrasah is to manage and developing the school/ madrasah towards a effective learning organizations.To achieve the necessary technical or manner. One way that can be used to achieve it was to implement an total quality management in education.Therefore recommend that every head of school/ madrasah familiar with school as learning organization concept and total quality management in education. This article describes how total quality management using to achieve school as the learning organizations.

Keywords: Learning organization, total quality management in

(2)

PENDAHULUAN

Lampiran Permendiknas No. 13 Tahun 2007, tentang Standar Ke-pala Sekolah/Madrasah menegas-kan bahwa seorang kepala sekolah harus memiliki 4 kompetensi yang dipersyaratkan, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi mana-jerial, kompetensi kewirausahaan, dan kompetensi supervisi. Kompe-tensi manajerial antara lain me-wajibkan kepala sekolah untuk mampu “mengelola perubahan dan pengembangan sekolah/madrasah menuju organisasi pembelajar yang efektif.”

Bagi para kepala sekolah yang mengambil studi lanjutan (S2 atau S3) manajemen pendidikan, barang-kali tidak begitu kesulitan mema-hami apa yang dimaksud dengan sekolah/madrasah sebagai “organi-sasi pembelajar.” Namun bagi seba-gian besar kepala sekolah yang studi lanjutannya beraneka ragam, jelas tidak mudah memahami apa yang dimaksud dengan sekolah/ madrasah sebagai organisasi pem-belajar, lebih-lebih bagaimana menjadikannya efektif.

Istilah organisasi pembelajar digunakan oleh Garrat (1987), yang sebagian berasal dari gerakan “In Search of Excellence” di Eropa.

Namun menurut Dale (2003), ke-lihatannya Sir Geoffrey Hollan-lah”ketika menjadi Sekretaris Tetap Departemen Tenaga Kerja Inggris” yang mencetuskan awal dengan mengatakan, “Jika kita mau ber-tahan hidup, secara individu atau sebagai perusahaan, ataupun seba-gai bangsa, kita harus menciptakan tradisi perusahaan pembelajar.” Dia melemparkan tantangan untuk mencari contoh-contoh praktik ter-baik (best practices) sehingga “orga-nisasi pembelajar” bisa dijiplak dan diperbanyak.

Berdasarkan konsep organisasi pembelajar, maka dipandang pen-ting agar organisasi mempunyai kebijakan dan sistem yang memadai untuk memastikan bahwa seluruh staf dari eksekutif paling senior sampai staf operasi dan klerikal se-cara aktif mengikuti suatu bentuk pembelajaran yang tepat. Di Ing-gris, Indus-trial Society telah mener-bitkan Managing Best Practice Guide yang menguraikan berbagai macam tindakan yang bisa diikuti dan macam suasana yang dibutuhkan agar organisasi bisa “terus- menerus mentransformasi diri.” Dari situlah kemudian didapat konsep organi-sasi pembelajar, yaitu sebuah orga-nisasi yang memfasilitasi pem-belajaran dari seluruh anggotanya

(3)

dan secara terus menerus mentrans-formasi diri (Dale, 2003).

Pertanyaannya ialah, apakah sekolah itu suatu organisasi? Jika suatu organisasi, bagaimana men-jadikannya sebagai organisasi pem-belajar? Tidaklah mungkin untuk menjelaskan lebih lanjut tanpa mempertimbangkan lebih dahulu apakah sebuah organisasi mem-punyai eksistensi sendiri yang ter-pisah dari eksistensi para anggota-nya, atau hanya sekadar badan yang merupakan hasil dari kumpulan dan susunan para anggotanya. Organi-sasi dijumpai dalam seluruh bagian masyarakat. Jelas mustahil hidup dalam masyarakat tanpa berhubu-ngan deberhubu-ngan suatu organisasi dalam satu bentuk atau format.

Oleh karena pentingnya organi-sasi bagi kehidupan kita sehari-hari, kajian mengenai perilaku dalam organisasi telah menjadi sebuah di-siplin sendiri. Jika diikuti pendapat Gibson, Donnely, & Ivancevich (1996), bagaimana pun organisasi jauh lebih dari sekadar sarana penyediaan barang dan jasa, organi-sasi menciptakan keadaan dimana sebagian besar dari kita meng-habiskan hidup kita, dalam hal ini organisasi mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku kita.

Dengan demikian, sekolah pada dasarnya adalah organisasi karena memenuhi unsur-unsur yang mesti terkandung dalam organisasi.

Sebagai pimpinan sekolah yang harus mempunyai kemampuan menjadikan sekolah sebagai orga-nisasi pembelajar, maka diperlukan telaah lebih jauh dan mendiskusi-kannya secara luas terkait cara ba-gaimana mencapainya. Untuk itulah artikel ini bertujuan menge-tengahkan gagasan dengan fokus bagaimana manajemen mutu terpadu pendidikan dapat dijadikan sarana untuk mencapai sekolah sebagai organisasi pembelajar.

PEMBAHASAN

Sekolah: Organisasi Pembelajar

Menurut Dale (2003), jika tiap organisasi unik dan punya identitas organisasi, maka organisasi itu harus mampu belajar. Pembelaja-ran, sebagaimana sudah didefinisi-kan, adalah suatu kegiatan bertuju-an ybertuju-ang diarahkbertuju-an pada pemerole-han dan pengembangan keterampil-an dketerampil-an pengetahuketerampil-an serta aplikasi-nya. Lebih lanjut, Lundberg (1995), sebagaimana dikutip Dale (2003), mengatakan bahwa organisasi pem-belajar tidaklah semata-mata menyangkut jumlah pembelajar

(4)

masing-masing anggota organisasi, namun pembvelajaran itu mem-banngun pemahaman yang luas terhadap keadaan internal maupun eksternal melalui kegiatan-kegiatan dan sistem-sistem yang tidak ter-gantung pada anggota-anggota tertentu.

Organisasi pembelajar adalah suatu proses yang seolah-olah me-ngikat beberapa sub-proses, misal-nya perhatian, penafsiran, pen-carian, pengungkapan dan penemu-an, pilihpenemu-an, pengaruh dan penilaian. Organisasi pembelajaran mencakup baik unsur kognitif, misalnya pe-ngetahuan dan wawasan yang di-miliki bersama oleh para anggota organisasi maupun kegiatan organi-sasi yang berulang-ulang, misalnya rutinitas dan perbaikan tindakan. Ada proses yang sah dan tanpa henti untuk memunculkan ke permuka-an dpermuka-an menguji praktik-praktik organisasi serta penjelasan yang menyertainya. Dengan demikian, organisasi pembelajar ditandai dengan pengertian kognitif dan perilaku (Lundberg dalam Dale, 2003).

Keterampilan sebuah organisa-si terdapat dalam pola-pola peri-laku yang diterima dan pengetahu-an kolektifnya ypengetahu-ang dicatat dalam

asumsi-asumsi yang dimiliki ber-sama. Sikap organisasi ada dalam nilai-nilai inti. Jika keterampilan ini bisa dikembangkan dalam individu, tidak ada alasan mengapa ini tidak bisa terjadi pada sebuah organisasi. Mungkin lebih sulit dan perlu waktu lebih lama untuk meraihnya, tetapi keberadaan organisasi pembelajar-an tak bisa dispembelajar-angkal (Dale, 2003). Mengutip Pedler, Dale (2003), mengemukakan bahwa sebuah organisasi pembelajar adalah orga-nisasi di mana pembelajaran dan kerja merupakan sinonim. Pada waktu itu mereka menyimpulkan bahwa, karena “perusahaan pem-belajar” sebenarnya merupakan keadaan yang diidealkan, tidaklah mungkin untuk menjelaskan ke-pada orang sebagai suatu per-wujudan nyata. Ini karena menjadi Perusahaan Pembelajar adalah cara

menjadi, lebih dari sekadar berbuat.

Meskipun demikian, ada beberapa ciri yang dapat digunakan untuk membedakan antara sebuah perusahaan yang bukan pembelajar dan perusahaan yang pembelajar. Banyak dari ciri--ciri ini berkaitan dengan cara di mana para anggota organisasi mengalami organisasi dan suasana tempat mereka bekerja di dalamnya.

(5)

Menurut Pedler sebagaimana dikutip Dale (2003), suatu orga-nisasi opembelajaran adalagh suatu irganisasi yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

• mempunyai suasana di mana anggota-anggota secara indi-vidu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka;

• memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pema-sok dan stakeholder lain yang signifikan;

• menjadikan strategi pengemba-ngan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis; • berada dalam proses transfor-masi organisasi secara terus--menerus.

Tujuan proses transformasi ini, sebagai aktivitas sentral, adalah agar perusahaan mampu mencari ke sana ke mari ide-ide baru, masalah-masalah baru dan peluang-peluang baru untuk pembelajaran, mampu memanfaatkan keunggulan kompetitif dalam dunia yang se-makin kompetitif. Pengarang utama lain dalam bidang ini adalah Peter Senge (1990), yang mengata-kan sebuah organisasi pembelajar adalah organisasi “yang terus--menerus memperbesar

kemam-puannya untuk menciptakan masa depannya” dan berpendapat me-reka dibedakan oleh lima disiplin” penguasaan pribadi, model mental, visi bersama, pembelajaran Tim, dan pemikiran sistem.

Berdasarkan pandangan-panda-ngan tersebut maka tugas kepala sekolah agar dapat menjadikan sekolah sebagai organisasi pem-belajar adalah sebagai berikut: 1. Mendorong semua anggota

sekolah untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka. Hal ini berlaku bukan hanya untuk kepala sekolah, guru, dan siswa saja, melainkan sampai pada tukang kebun dan

cleaning service sekolah.

2. Menyosialisasikan budaya belajar kepada para orangtua siswa, para pemangku kepen-tingan seperti Komite Sekolah, bahkan ke sekolah-sekolah di atasnya.

3. Menjadikan sumberdaya ma-nusia sebagai subjek pengem-bangan strategi untuk mencapai kualuitas sekolah yang diingin-kan.

4. Terus menerus mengembang-kan sekolah sebagai organisasi modern, misalnya ramah ter-hadap kehadiran teknologi dan

(6)

sesegera mungkin memenuhi kebutuhan teknologi yang di-perlukan terutama untuk kepentingan pembelajaran. 5. Menyusun perencanaan dan

sistem kerja yang relevan, membangun visi dan misi ber-sama, mengutamakan pekerjaan Tim, dan tentu saja merumus-kan target dengan disiplin tinggi.

Mencapai sekolah sebagai organisasi pembelajar jelas bukan pekerjaan mudah. Akan tetapi jika tidak pernah dimulai, hal itu tidak akan pernah dapat dicapai. Per-mulaan yang memadai bisa berhasil bisa pula gagal, namun kegagalan justeru akan memberikan umpan balik yang lebih baik daripada tidak dilakukan sama sekali. Pada kon-teks ini diperlukan cara agar se-kolah sebagai organisasi pembelajar bisa tercapai, salah satu yang diketengahkan dalam tulisan ini ialah melaksanakan penjaminan mutu, yaitu penerapan manajemen mutu terpadu pendidikan.

Manajemen Mutu terpadu Pendidikan

Penerapan manajemen kualitas terpadu yang dalam ekonomika dan bisnis dikenal dengan nama total

quality management (TQM) dibidang

pendidikan di Indonesia belum berjalan lama. Di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, mana-jemen mutu terpadu dibidang pen-didikan (MMTP) terus menerus dikembangkan secara berkelanju-tan karena dampak dan impaknya baru bisa dirasakan belasan tahun kemudian (Arcaro, 2007). Salah satu kebijakan pendidikan yang mengadopsi inovasi MMTP dan dirintis sejak 2001 oleh Kemen-terian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) adalah manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) (Depdikbud, 2001). Kebijakan MPMBS diluncurkan guna menjawab problem kualitas pendidikan yang dikeluhkan oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholders), baik masyarakat luas, lebih-lebih kalangan bisnis dan dunia usaha.

Arcaro (2007), berpendapat bahwa penerapan prinsip-prinsip MMTP membutuhkan konsep yang mampu menjembataninya ke dalam praktik manajemen pendidikan. Konsep ini di antaranya dituangkan dalam bentuk apa yang disebutnya sebagai Roda Implementasi MMTP. Roda implementasi MMTP mencakup 8 (delapan) unsur: (1)

(7)

Strategic planning, (2) Communication,

(3) Program measurements, (4) Conflict

management, (5) Program selection, (6) Program implementation, (7) Program validation, dan (8) Standards.

Berdasarkan delapan unsur tersebut ada dua manfaat. Pertama, akan selalu dapat menyesuaikan dengan tuntutan pengguna, se-hingga pada waktu membutuhkan

dukungan untuk perbaikan mutu tidak akan menemui kesulitan yang berarti. Kedua, akan ada ukuran keberhasilan dan sangat memudah-kan pengukuran dan evaluasi tingkat keberhasilan dalam upaya peningkatan mutu. Roda imple-mentasi MMTP menurut Arcaro dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1: Roda Implementasi MMTP menurut Arcaro (Sumber: Arcaro, 2007: 97)

Roda Impelementasi MMTP yang digambarkan di atas merupa-kan proses yang dirancang untuk membantu mengimplementasikan mutu di sekolah atau daerah. Dengan mengikuti langkah-langkah

yang digambarkan dalam lingkaran, kepala sekolah/madrasah dapat melakukan upaya perbaikan mutu untuk men-dorong perubahan dan pengembangan. Roda Implementasi menunjukkan prosedur

(8)

tahap-demi-tahap dalam mengimple-mentasikan mutu di setiap organi-sasi pendidikan. Empat langkah pertama, terfokus pada pemenuhan permintaan pelanggan dan meraih dukungan untuk melakukan perubahan di dalam sistem sekolah. Empat langkah berikutnya mem-bawa kepakla sekolah/madrasah pada fase seleksi, implementasi, dan penilaian mutu.

Langkah-langkah tersebut me-mungkinkan kepala sekolah/ madrasah menilai kerja diri sendiri dan mengembangkan standar mutu untuk sekolahnya. Sekolah-sekolah dapat mencapai empat langkah pertama namun gagal menyem-purnakan siklus mutu. Masalah terbesar para pendidik saat meng-implementasikan mutu tam-paknya adalah mendapatkan dukungan pelanggan internal dan eksternal untuk menjalankan proses yang mesti dijalani. Kegagalan pada sisi mata-rantai pelanggan/pemasok ini melahir-kan ketidakmampuan sekolah untuk secara tepat menen-tukan apa yang diharapkan mereka. Selain Roda Implementasi MMTP, gagasan Arcaro yang relevan diimplementasikan dalam MMTP antara lain berikut ini.

1. Terfokus pada Pelanggan

Agar sekolah mengembangkan fokus mutu, setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa setiap output lembaga pen-didikan adalah pelanggan. Dalam survei terakhir atas 150 pengawas sekolah untuk mengukur pemaha-man mereka atas mutu, rupanya 35% responden yang disurvei me-nunjukkan bahwa mereka tidak yakin apabila sekolah itu memiliki pelanggan yang loyal. Memang masih lebih banyak pihak dalam komunitas pendidikan yang me-ngakui adanya pelanggan untuk tiap keluaran pendidikan, tapi mutu pendidikan toh tak kunjung diper-baiki. Para pelanggan yang dimak-sudkan disini adalah para orangtua siswa. Jangan salahkan mereka jika mereka lebih memilih sekolah lain. Pelanggan lainnya adalah dunia kerja. Harus diyakinkan bahwa sekolah benar-benar mendidik siswanya sesuai pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan.

2. Keterlibatan Total

Tiap orang mesti terlibat dalam transformasi mutu. Mana-jemen mesti memiliki komitmen untuk memfokuskan pada mutu. Mana-jemen administratif sekolah harus mendorong staf dan peserta didik

(9)

untuk mengubah cara kerja yang selama ini dilakukannya. Tanpa adanya komitmen, program mutu tidak akan berhasil. Transformasi mutu diawali dengan mengadopsi para-digma baru pendidikan. Cara pikir dan cara kerja lama harus disingkirkan. Dalam bidang pen-didikan, memang sungguh sulit bagi orang-orangnya untuk mengem-bangkan paradigma baru pendidi-kan. Ada dua keyakinan pokok yang menghalangi tiap upaya ciptaan mutu dalam sistem pen-didikan. Pertama, banyak profe-sional pendidikan yakin bahwa mutu pendidikan bergantung pada besarnya dana yang dialokasikan untuk pen-didikan. Lebih banyak uang yang diinvestasikan dalam pen-didikan maka lebih tinggi juga mutu pendidikan. Bahkan di Indo-nesia sekolah-sekolah yang dikenal sebagai rintisan berstandar inter-nasional dikenal biayanya sangat mahal. Padahal studi kasus muta-khir meruntuhkan keyakinan ini.

Sebagaimana dikatakan Arcaro (2007), sebuah tulisan di New

Hampshire Union Leader

mengiden-tifikasi beberapa kasus kenaikan persentase anggaran pen-didikan yang jauh di atas tingkat inflasi. Lebih lanjut, tulisan itu menyatakan

bahwa mutu pendidikan meningkat karena naiknya anggaran. Lebih dari satu dekade lalu, negara bagian Connecticut menginvestasikan jutaan dollar AS dalam sistem pen-didikannya. Biaya pendidikan per peserta didik di Connecticut ter-tinggi secara nasional. Para guru dan administrator pun mendapat gaji yang tinggi, dan rasio peserta didik guru merupakan yang terendah secara nasional. Namun Connec-ticut tidak me-nyadari bahwa yang terpenting untuk diperbaiki adalah mutu pendidikan. Negara bagian itu dipermasalahkan soal banyak-nya uang yang diinvestasikan dalam sistem pendidikan.

Kedua, banyak profesional pen-didikan yang tetap memandang pendidikan sebagai sebuah “jari-ngan anak manis.” Mereka bersi-kukuh untuk bertahan dari tarikan profesional nonpendidikan yang memengaruhi perubahan sistem. Banyak profesional pendidikan secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki komitmen ter-hadap transformasi mutu.

3. Pengukuran

Inilah justru yang sering gagal dilakukan di sekolah. Secara tra-disional ukuran mutu atas keluaran sekolah adalah prestasi peserta

(10)

didik. Ukuran dasarnya adalah hasil ujian. Apabila hasil ujian bertam-bah baik, maka mutu pendidikan pun membaik. Para profesional pendidikan mesti belajar untuk me-ngukur mutu. Mereka perlu mema-hami pengumpulan dan analisis data yang diperlukan dalam proses pendidikan. Begitu mereka belajar mengumpulkan dan menganalisis data, para profesional pendidikan itu pun dapat mengukur dan me-nunjukkan nilai tambah pen-didikan.

4. Memandang Pendidikan sebagai Sistem

Pendidikan mesti dipandang sebagai sebuah sistem. Ini merupa-kan konsep yang amat sulit di-pahami para profesional pendidik-an. Umumnya, orang yang bekerja dalam bidang pen-didikan memulai perbaikan sistem tanpa mengem-bangkan pemahaman yang penuh atas cara sistem tersebut bekerja. Dalam sebuah analisis rinci atas perguruan tinggi di Inggris, ternyata cukup mengejutkan. Perguruan tinggi itu tak punya catatan tertulis mengenai proses atau prosedur kerja. Fungsi-fungsi bisa berjalan lantaran memang selalu dijalankan. Hanya dengan memandang pen-didikan sebagai sebuah sistem

maka para profesional pendidikan dapat mengeliminasi pemborosan dari pendidikan dan dapat mem-perbaiki mutu setiap proses pendidikan.

5. Perbaikan Berkelanjutan

Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesuatu yang dapat diper-baiki. Menurut filosofi manajemen lama, “Kalau belum rusak, ja-nganlah diperbaiki.” Mutu didasar-kan pada konsep bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Me-nurut filosofi manajemen yang baru, “Bila belum rusak, perbaiki-lah, karena bila kepala sekolah/ madrasah tidak melakukannya, orang lain pasti melakukannya.” Inilah konsep perbaikan ber-kelanjutan.

Selain gagasan-gagasan di atas, Arcaro (2007), juga mendefinisikan model sekolah bermutu terpadu yang signifikan diimplementasikan. Kriteria untuk sekolah bermutu terpadu ditandai dengan “pilar mutu” untuk pendidikan. Pilar-pilar tersebut merupakan ramuan penting bagi setiap prakarsa mutu yang berhasil. Pilar mutu itu bersifat universal. Dapat diterapkan untuk setiap organisasi pendidik-an mulai dari kegiatan di ruang kelas sampai

(11)

perawatan bangunan. Semua itu sama pentingnya. Siapa pun tidak mungkin berhasil meraih status sekolah bermutu terpadu sekalipun semua pilar tersebut ada dalam sistem pendidikan. Namun, kom-ponen terpenting dari mutu adalah fondasi yang mendasari bangunan program mutu. Keyakinan dan nilai-nilai sekolah akan menentu-kan kekuatan dan keberhasilan transformasi mutu. Sekolah mesti me-ngembangkan sebuah dasar fondasi yang kokoh atas dasar keya-kinan dan nilai-nilai pribadi orang-orang yang bekerja dalam sistem.

Mutu harus berasal dari anggota komite sekolah, adminis-trator, peserta didik dan staf. Komite sekolah mesti menciptakan para-digma baru pendidikan untuk komunitasnya. Pendidikan mesti dinilai atas kontribusinya untuk mengembangkan peserta didik menjadi warga negara yang bernilai yang dipersiapkan agar lebih baik menghadapi tantangan akademik dan bisnis di masa depan. Sekolah bermutu terpadu membangun lingkungan yang memungkinkan setiap orang membawa ukuran perbaikan mutu terhadap proses kerjanya sendiri.

Pilar mutu memberikan fokus dan arahan yang diperlu-kan para staf untuk setiap prakarsa mutu. Hal tersebut me-mungkinkan staf untuk mengukur dan mendoku-mentasikan nilai tambah prakarsa mutu untuk peserta didik dan ma-syarakat. Fokus tidak dapat dibatasi hanya pada salah satu pilar. Untuk mengembangkan budaya mutu di sekolah, kepala sekolah/ madrasah dan administrator harus memfokuskan pada semua pilar sekaligus.

Manajemen mutu terpadu pendidikan sebagaimana dikemu-kakan Arcaro tersebut sangat relevan diterapkan untuk menjadi-kan sekolah sebagai organisasi pembelajar karena menyentuh hampir semua elemen pembentuk sekolah sebagai organisasi. Namun demikian hasilnya tidak mungkin dapat dinikmati dengan segera. Kehadiran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya secara masif, dan kepercayaan dunia usaha terhadap sekolah barangkali menjadi ukuran bahwa sekolah tersebut telah mencapai apa yang disebut sebagai organisasi pem-belajar.

(12)

SIMPULAN DAN SARAN

Salah satu kompetensi mana-jemen yang harus dimiliki seorang kepala sekolah/madrasah adalah mengelola perubahan dan pengem-bangan sekolah/madrasah menuju organisasi pembelajar yang efektif. Untuk mencapai itu diperlukan teknik atau cara. Salah satu cara yang bisa digunakan untuk men-capainya ialah dengan menerapkan manajemen mutu terpadu pen-didikan. Oleh karena itu disarankan agar setiap kepala sekolah/madra-sah lebih familier dengan konsep sekolah sebagai organisasi pem-belajar dan konsep manajemen mutu terpadu pendidikan.

DAFTAR RUJUKAN

Arcaro, J.S. 2007. Pendidikan

Ber-basis Mutu: Prinsip-prinsip Peru-musan dan Tata Langkah Penera-pan. Terjemahan Yosal

Iriantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dale, M. 2003. Meningkatkan

Keterampilan Manajemen: Teknik-teknik Meningkatkan Pembelaja-ran dan Kinerja. Terjemahan

Ramelan. Jakarta: PT. Gramedia.

Depdikbud, 2001. Manajemen

Pe-ningkatan Mutu Berbasis Sekolah.

Jakarta: Ditjen Dikdasmen. Garrat, B. 1987. The Learning

Orga-nization. Collins, London:

Roudledge.

Gibson, J.L., Donnely, J.H., & Ivancevich, J.M. 1999.

Mana-jemen. Edisi Kesembilan, Jilid 1.

Terjemahan Zuhad Ichyaudin. Jakarta: Penerbit Erlangga. Senge, P. M. 1990. The Fifth

Discipline: The Art and Practice of the Learning Organizations.

Doubleday, New York: McGraw Hill Book Company.

Gambar

Gambar 1: Roda Implementasi MMTP menurut Arcaro (Sumber: Arcaro, 2007: 97)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pene- litian ini sesuai dengan hasil penelitian Hyun, Chung dan Lee (2005) yang menemukan bahwa remaja yang mempunyai efikasi diri yang rendah setelah mendapat

Dalam penelitian ini, korelasi genetik antara diameter batang dengan indeks kekokohan (-0,67) bernilai negatif cukup tinggi dan ini merupakan indikasi yang positif, sebab

Ketiga klaster lainnya, yaitu Klaster Wonoboyo, Candiroto, dan Kandangan memiliki kondisi yang sama dengan klaster di Kledung, 100% responden pada ketiga klaster

Minyak sawit yang digunakan untuk menggoreng pada suhu 120°C selama 5 menit memiliki retensi vit amin A sekitar 96,94 hingga 97,58%, tergantung dari bahan penggorengan yang

menunjukkan tidak terjadi pengaruh interaksi salinitas air siraman dan kultivar terhadap total bobot segar buah per pohon tetapi terdapat perbedaan pengaruh salinitas air

Sedangkan jika sinyal valid maka program memanggil rutin GetRemoteData untuk membaca data remote kemudian melakukan pengkodean data dari kode-kode yang dipancarkan

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN HELLISON UNTUK MENGEMBANGKAN NILAI TANGGUNG JAWAB DALAM PEMBELAJARAN SENAM.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

(2) Jika suatu hypotheek dibebankan atas lebih dari satu bidang tanah, yang tidak semuanya terletak di daerah kerja seorang pejabat pembuat akte tanah, maka dengan