• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN KONSEP BATAL DEMI HUKUM DI PERADILAN PIDANA, PERDATA DAN TATA USAHA NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN KONSEP BATAL DEMI HUKUM DI PERADILAN PIDANA, PERDATA DAN TATA USAHA NEGARA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Fajar Santosa1

Advocat dan Peneliti pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang

Abstraksi :

Konsep batal demi hukum dapat ditinjau dari aspek teoritis maupun dalam praktek penerapan di lapangan diantaranya dalam peradilan pidana, perdata, dan tata usaha negara. Dalam pemahaman umum konsep batal demi hukum sering disalah pahami penerapannya. Secara tinjauan teoritis, kebatalan suatu produk hukum dapat terjadi karena kondisi batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Keduanya memiliki konsep yang berbeda. Kondisi “dapat dibatalkan” terjadi terjadi dengan syarat kebatalannya dilakukan dengan perbuatan hukum tertentu dan diajukan kepada institusi tertentu yang oleh hukum memang diberikan kewenangan melakukan pembatalan suatu produk hukum. Sedangkan kondisi “batal demi hukum” dipahami seolah-olah tidak memerlukan perbuatan hukum tertentu oleh institusi tertentu karena kebatalannya terjadi secara sendiri karena hukum. Padahal sesungguhnya dalam konteks keadaan batal demi hukum suatu putusan badan peradilan, maka keadaan batal demi hukum adalah suatu keadaan yang sesungguhnya masih membutuhkan suatu perbuatan hukum berupa pengajuan pembatalan kepada suatu badan peradilan.

Kata kunci: peradilan, putusan, batal demi hukum

1

(2)

A. Pendahuluan

Di dalam ilmu hukum bahwa suatu produk hukum, baik berupa keputusan, ketetapan, atau peraturan dikatakan sah menurut hukum (rechmatig) apabila keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh hukum. Dengan dipenuhinya persyaratan yang ditentukan oleh hukum maka suatu produk hukum mempunyai kekuatan hukum (rechtskrach) untuk dilaksanakan. Sebaliknya suatu produk hukum yang tidak memenuhi persyaratan maka menurut hukum dapat dinyatakan tidak sah atau dengan kata lain menjadi batal (nietig).

Menurut Hans Kelsen, hubungan antara undang-undang atau norma hukum dari hukum kebiasaan dengan keputusan pengadilan dapat ditafsirkan dengan cara yang sama. Keputusan pengadilan melahirkan norma khusus yang harus dianggap valid sehingga legal selama keputusan pengadilan itu belum dibatalkan menurut cara yang ditetapkan oleh hukum, karena ketidaklegalannya ditetapkan oleh organ yang kompeten.2

Di Indonesia berdasarkan pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen bahwa salah satu cabang kekuasaan kehakiman

2 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan

Negara, diterjemahkan dari General Theory of Law and State, Nusa Media, 2014, hlm. 228.

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dengan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Kita ketahui bahwa di peradilan umum secara garis besar memeriksa perkara pidana dan perdata, meskipun dalam perkembangan mutakhir terdapat berbagai badan peradilan khusus yang menginduk kepada peradilan umum namun tetaplah berbagai peradilan khusus itu berada dalam pembidangan kepidanaan dan keperdataan. Peradilan militer adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer. Sedangkan peradilan agama adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang Peradilan Agama. Sementara itu peradilan tata usaha negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata usaha Negara,

(3)

baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam konteks legalitas suatu produk hukum, suatu dokumen hukum baik itu undang-undang atau peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian atau kontrak dan dokumen yang dibuat lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dapat dibuat secara tidak sah sehingga dinyatalan batal demi hukum. Peradilan memiliki posisi yang strategis dalam melakukan penilaian terhadap berbagai dokumen hukum tersebut.

Peradilan adalah segala sesuatu

proses yang dijalankan di Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum “in concreto” (hakim menerapkan

peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.

B. Pembahasan

1. Batal Demi Hukum dalam Peradilan Pidana

Konsep batal demi hukum dalam peradilan pidana merujuk pada kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) pasal 153 ayat (4) dan pasal 197 ayat (2). Sebagaimana ketentuan hukum acara peradilan pidana maka Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi; Hakim juga wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas. Sementara Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Berdasarkan pasal Pasal 153 ayat (4), tidak dipenuhinya ketentuan tersebut dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.

Pasal 197 ayat (1) KUHAP juga mengatur bahwa putusan pengadilan harus memuat:

a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,

(4)

c. tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

d. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

e. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat

f. pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan

g. kesalahan terdakwa,

h. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; i. pasal peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; j. hari dan tanggal diadakannya

musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

k. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

l. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan

menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

m. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

n. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

o. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.

Pasal 197 Ayat (2) lebih lanjut menyatakan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan tersebut diatas mengakibatkan putusan pengadilan batal demi hukum. Putusan pengadilan dikatakan “batal demi hukum” (venrechtswege nietig atau ab initio

legally null and void) artinya putusan

tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Oleh karena tidak pernah ada maka putusan demikian tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum, sehingga dengan demikian putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan.

(5)

Menurut Yahya Harahap, ditinjau dari segi hukum pengertian putusan batal demi hukum berakibat putusan yang dijatuhkan:

1. Dianggap “tidak pernah ada” atau never existed sejak semula;

2. Putusan yang batal demi hukum tidak mempunyai kekuatan dan akibat hukum; 3. Dengan demikian putusan

yang batal demi hukum sejak semula putusan itu dijatuhkan sama sekali tidak memiliki daya eksekusi atau tidak dapat dilaksanakan.

Terdapat pertanyaan, apakah pengaruh yang diakibatkan putusan batal demi hukum terhadap perkara yang bersangkutan? Apakah keadaan batal demi hukum itu meliputi semua perkara yang mengakibatkan segala pemeriksaan batal demi hukum, ataukah pengertian putusan batal demi hukum itu hanya terbatas sepanjang putusan yang dijatuhkan saja. Jika keadaan batal demi hukum meliputi seluruh perkara maka mulai dari dakwaan, pemeriksaan saksi, pemeriksaan ahli, pemeriksaan terdakwa, tuntutan jaksa, pembelaan terdakwa serta musyawarah hakim dengan sendirinya juga batal demi hukum. Dengan demikian seluruh pemeriksaan yang tertuang dalam berita

acara sidang dengan sendirinya dianggap tidak memiliki kekuatan hukum serta berita acara pemeriksaan sidang dianggap tidak berharga dan segala sesuatu kembali kepada keadaan semula atau ex tune.

Menurut Yahya Harahap pendapat yang menyatakan akibat putusan batal demi hukum mengakibatkan segala pemeriksaan batal demi hukum adalah pendapat yang berlebihan, terlampau ekstrim dan tidak kuat landasan hukumnya. Jika dicermati pasal 197 ayat (2) KUHAP maka tegasan batal demi hukum tidak lebih dari putusan yang dijatuhkan, sedangkan pemeriksaan atau berita acara pemeriksaan tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian berita acara pemeriksaan sama sekali tidak dibatalkan pasal 197 ayat (2) KUHAP. Pemeriksaan sidang tetap sah dan mempunyai kekuatan sebagai berita acara sidang, sehingga tuntutan jaksa dan pembelaan terdakwa tetap merupakan produk dan peristiwa yang sah dalam persidangan. Dalam keadaan putusan yang batal demi hukum tidak melekat unsur

nebis in idem.3

Hal tersebut berbeda dengan konsekuensi yuridis suatu surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum oleh putusan majelis hakim. Berdasarkan pasal

3 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan

dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 389.

(6)

143 ayat (3) KUHAP: “Surat dakwaan

yang tidak memenuhi ketentuan ayat (2) huruf b batal demi hukum”. Pasal 143 ayat

(2) KUHAP memberi tegasan syarat-syarat yang harus dipenuhi didalam pembuatan surat dakwaan, yaitu:

1. Syarat formal yaitu: surat dakwaan harus diberi tanggal dan ditndatangani oleh Penuntut Umum; berisi identitas terdakwa yaitu nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.

2. Syarat material yaitu: surat dakwaan harus memuat secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan oleh terdakwa.4

Surat dakwaan yang tidak memuat semua unsur yang ditentukan dalam pasal pidana yang didakwakan atau tidak menyebut tempat dan waktu kejadian atau tidak memerinci secara jelas peran dan tindakan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan, sehingga surat dakwaan

4Hari Sasanko dan Tjuk Suharyanto, Penuntutan

dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, hlm. 75.

tidak memenuhi ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf b jo. Pasal 143 ayat (3).5

Meskipun undang-undang merumuskan sesuatu batal demi hukum namun keadaan batal demi hukum tidak dengan sendirinya terjadi. Dalam konteks ini yang berhak menyatakan putusan batal demi hukum suatu putusan pengadilan adalah instansi pengadilan yang lebih tinggi. Pendapat ini bertolak dari ajaran yang berpendirian sifat batal demi hukum (van rechtsweenietig) atau null and void tidak murni dan tidak mutlak. Dengan demikian agar suatu putusan yang batal demi hukum resmi batal secara formal maka harus ada tindakan dari pihak lain yaitu instansi pengadilan yang lebih tinggi atau instansi yang berwenang berdasarkan undang-undang.

Dengan demikian menurut Yahya Harahap sifat putusan yang batal demi hukum pada hakikatnya berubah menjadi “dapat dibatalkan” (vernietig baar) atau “dinyatakan batal” (nietig verklaard) atau

voidable oleh instansi yang lebih tinggi

atau instansi yang berwenang. Tata cara atau prosedur yang demikian pada umumnya dijumpai dalam praktek lingkungan hukum perdata dan administrasi.6

5 M. Yahya Harahap, Ibid, hlm. 57. 6

(7)

2. Batal Demi Hukum dalam Peradilan Perdata

Dalam ranah praktek perdata, konsep batal demi hukum dikenal dalam konteks hukum perjanjian. Menurut pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; cakap untuk membuat suatu perjanjian; mengenai suatu hal tertentu; suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai orang-orangnya atau subjek yang melakukan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.7

Apabila syarat objektif untuk sahnya untuk suatu perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjiannya adalah batal demi hukum. Secara yuridis sejak semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada perikatan apapun diantara para pihak yang bermaksud membuat perjanjian itu. Meskipun istilahnya adalah “batal demi hukum” hal itu tidak berarti bahwa suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif itu batal dengan sendirinya. Hakim diwajibkan menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau

7 Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa

Cetakan XII tahyun 1990 hlm. 17

perikatan itu, tentu setelah ada pihak tertentu yang mengajukan gugatan terhadap keabsahan perjanjian dimaksud. Hal itu sesuai dengan asas hukum yang perlaku dalam hukum acara perdata yaitu “Hakim Bersifat Menunggu”. Berdasarkan pasal 118 HIR dan 142 Rbg, bahwa hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya, sehingga apakah akan ada gugatan atau tuntutan hak diajukan atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang berkepentingan.

Sedangkan dalam hal terdapat kekurangan mengenai syarat subjektif maka suatu perjanjian bukan batal demi hukum tetapi “dapat dimintakan pembatalan” oleh salah satu pihak. Subekti memberikan analisis terkait sebab diadakannya pembedaan antara perjanjian-perjanjian yang batal demi hukum dan perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan. Perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilakukan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal

(8)

demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim.8

Tentang perjanjian yang kekurangan syarat-syarat subjektif yang menyangkut kepentingan seseorang, misalnya seorang yang oleh undang-undang dipandang sebagai tidak cakap, atau seorang yang telah memberikan persetujuannya karena khilaf atau tertipu. Kekurangan syarat subjektif itu tidak begitu saja dapat diketahui oleh hakim dan mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan sehingga memerlukan pembuktian.

Mengacu pada pasal 1265 KUHPer bahwa suatu syarat batal adalah syarat

yang apabila dipenuhi menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.

Berdasar pasal 1266 KUHPer, syarat batal

dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-perseyujuan yang bertimbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

Berdasarkan pasal 1454 KUHPer hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan

8

Ibid, hlm. 22

hukum dengan batas waktu sampai 5 tahun. Dalam hal ketidakcakapan suatu pihak dihitung sejak yang bersangkutan menjadi cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti, sementara dalam hal kekhilafan atau penipuan, sejak diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembelaan atau tangkisan yang mana selalu dapat dikemukakan.

Menurut Subekti terdapat dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian. Pertama, pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Kedua, menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dimaksud. Di depan Pengadilan Tergugat menyampaikan bahwa perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika ia masih belum cakap, ataupun disetujui karena dalam ancaman atau karena khilaf mengenai objek perjanjian atau karena Tergugat ditipu. Pembatalan secara pasif ini tidak dibatasi jangka waktunya.9

Dalam konteks hukum perkawinan juga dikenal istilah “batalnya perkawinan” yaitu pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Undang-undang Perkawinan:

9

(9)

Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pekawinan. Pasal 28

memiliki tegasan: (1) batalnya suatu

perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan; (2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap: anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan; suami atau istri yang bertindak dengan itikadbaik, kecuali terhadap harta bersama bilamana pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekauatan hukum tetap.

Konsep “batalnya perkawinan” dapat dimaknai bahwa suatu perkawinan dinyatakan batal dan untuk menyatakan kebatalannya haruslah dilakukan perbuatan hukum pengajuan pembatalan kepada peradilan yang berwenang mengadili. Berbeda dengan konsep dalam hukum perjanjian yang mengenal persayarat subjektif dan objektif yang hal itu membawa konsekuensi status kebatalan suatu perjanjian, maka dalam hukum perkawinan hanya dikenal konsep “batalnya perkawinan” yang harus

dilakukan dengan perbuatan hukum pembatalan. Jika dianalogikan maka perkawinan yang dapat diajukan pembatalan itu adalah sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat subjek yaitu para pihak yang melakukan perkawinan.

Undang-undang perkawinan memberikan pengaturan yang tidak sederhana terkait sifat kebatalan perkawinan yang dinyatakan batal oleh pengadilan. Tegasan awal menyatakan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, namun klausula berikutnya menyatakan bahwa batalnya suatu perkawinan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Tegasan tersebut bermakna bahwa berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap itu maka perkawinan sebagaimana dimaksud batal sejak pada saat dimulainya perkawinan sehingga konsekuensi yuridisnya sebenarnya perkawinan itu batal sejak awal. Pada ayat 2 kemudian diberikan penegasan lagi bahwa dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dirumuskan maka batalnya perkawinan tidak berlaku pada sejak perkawinan. Artinya hukum memandang dan mengakui keberadaan subjek-subjek tertentu yang ada selama perkawinan itu dilangsungkan sampai dibatalkannya perkawinan dimaksud.

(10)

3. Batal Demi Hukum dalam Peradilan Tata Usaha Negara

Dalam hukum Tata Usaha Negara, menurut Philipus M. Hadjon terdapat tiga aspek hukum yang merupakan persyaratan suatu keputusan Tata Usaha Negara dinyatakan sah. Yaitu aspek wewenang, prosedur, dan substansi. Aspek wewenang berarti bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan/keputusan memiliki wewenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku; aspek prosedur berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu pada asas keterbukaan pemerintah; aspek substansi yaitu menyangkut objek ketetapan atau keputusan tidak ada “error in re”.Berdasarkan pasal 53 ayat (1) UU No.

5 tahun 1986 Jo UU No. 9 tahun 2004 menegaskan bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.

Berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 dapat diketahui bahwa Keputusan Tata Usaha Negara akan dinyatakan batal atau tidak sah jika:

1) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Penjelasan pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 dinyatakan cukup jelas, namun jika dilakukan penelusuran penjelasan pasal sebelum dilakukannya perubahan terhadap UU No. 5 Tahun 1986 diberikan penjelasan bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila keputusan yang bersangkutan:

1) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal;

2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material/substansial;

(11)

3) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang.

Penjelasan tersebut diatas meskipun sudah dihapus dalam perubahan UU No. 5 Tahun 1986 namu secara substansial tidak bertentangan dengan substansi peraturan perundang-undangan yang masih berlaku. Menurut literatur hukum Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan “tidak berwenang” dapat berupa:

1) Tidak berwenang ratione materiae, misalnya Bupati Kepala Daerah Kabupaten mengeluarkan Surat Keterangan Kesehatan padahal yang seharusnya berwenang mengeluarkan surat keterangan tersebut adalah seorang dokter; 2) Tidak berwenang ratione loci,

misalnya Bupati Kepala Daerah Kabupaten X mengeluarkan Surat Perintah Pembongkaran Rumah yang ada di Kabupaten Y;

3) Tidak berwenang ratione temporis, misalnya Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat yang sudah habis masa tugasnya tetap melaksanakan tugas dan menjatuhkan keputusan.10

Dari ketentuan pasal 97 ayat (7) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat

10 Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, R.

Wiyono, Sinar Grafika, Edisi ketiga 2013, hlm. 90.

diketahui bahwa putusan pengadilan dapat berupa:

1) Gugatan ditolak

2) Gugatan tidak diterima 3) Gugatan gugur.

4) Gugatan dikabulkan.

Terhadap putusan pengadilan berupa gugatan ditolak, gugatan tidak diterima dan gugatan gugur maka tidak diperlukan sesuatu tindak lanjut. Berbeda dengan hal tersebut maka putusan gugatan dikabulkan maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Kewajiban sebagaimana dimaksud adalah berupa:

1) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan ;

2) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru;

3) Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986.

Dalam praktek peradilan Tata Usaha Negara maka lazim ketika pengadilan mengabulkan suatu gugatan tata usaha negara maka pengadilan menyatakan batal demi hukum keputusan tata usaha negara.Terkait eksekusi putusan

(12)

pengadilan tata usaha negara, peraturan perundang-undangan memberi penegasan bahwa batalnya suatu keputusan tata usaha negara yang dinyatakan batal oleh pengadilan tata usaha negara tidak secara merta merta pada saat setelah dibacakannya putusan pengadilan tata usaha negara.

Undang-undang No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 memberi tegasan bahwa pencabutan atas kebatalan suatu keputusan tata usaha negara pada tahapan pertama tetap menjadi kewenangan instansi yang mengeluarkan suatu produk hukujm keputusan tata usaha negara yang dibatalkan tersebut. Pasal 116 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 baru kemudian memberikan pemecahan hukum dalam hal instansi yang dimaksud ternyata tidak melakukan tindakan sebagaimana diperintahkan oleh hakim pengadilan Tata Usaha Negara yaitu melakukan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Ditegaskan bahwa dalam hal dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pihak Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya maka Keputusan tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Sementara itu pasal 116 ayat (3) No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 memberi tegasan bahwa dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban berupa Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru dan penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986, dan setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan maka Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.

Dengan demikian hukum memberikan waktu bagi pejabat TUN yang dinyatakan batal keputusannya untuk menindaklanjuti melakukan kewajiban sesuai yang diperintahkan dalam putusan Pengadilan TUN berupa pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan selambat-lambatnya 4 bulan. Timbul pertanyaan, sejak kapankah kebatalan suatu keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan batal oleh peradilan? Jika mengikuti asas hukum yang berlaku universal dalam peradilan maka lazimnya suatu putusan berlaku sejak diucapkan, sehingga kebatalan suatu putusan tata usaha negara yang dinyatakan

(13)

batal oleh putusan TUN adalah sejak saat putusan itu diucapkan dan memiliki kekuatan hukum tetap.

Namun dengan ketentuan pasal 116 tersebut menjadi membuka pintu ketidakpastian hukum karena ternyata hukum masih memberikan kesempatan selama 4 bulan bagi tergugat untuk merespon putusan TUN dimaksud. Dalam hal putusan pengadilan dimaksud tidak dipatuhi oleh pejabat tata usaha negara maka dinyatakan Keputusan TUN yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Untuk mendudukkan kompleksitas tafsir atas kebatalan suatu putusan TUN apakah sejak saat dibacakan oleh hakim PTUN yang mengadili ataukah sejak setelah lewat tenggang waktu 4 bulan bagi Tergugat yang tidak mematuhi putusan PTUN, maka menurut hemat penulis kebatalan itu harus dihitung sejak putusan hakim PTUN dimaksud memiliki kekuatan hukum tetap, tidak menunggu 4 bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum dan tidak dipatugi seorang pejabat TUN baru kemudian demi hukum keputusan TUN dimaksud dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Terkait tenggang waktu 4 bulan itu harus dipahami hanya terkait faktor administrasi . hal itu untuk meneguhkan kewibaan Pengadilan dalam menegakkan kepastian hukum.

Namun memang sulit ditepis bahwa pengaturan di pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tersebut jelas membuka pintu ketidakpastian hukum.

Memang pasca perubahan UU No. 5 tahun 1986 dengan UU No. 9 Tahun 2004 terkait eksekusi putusan pengadilan TUN terdapat perbedaan alur yanglebih sederhana dalam hal pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan TUN. Jika dalam UU No. 5 Tahun 1986, dalam hal Tergugat tidak melaksanakan kewajiban yang diputuskan oleh Pengadilan untuk melakukan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru dan penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986, maka Penggugat masih harus mengajukan permohonan agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan. Dalam hal Tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya maka Ketua Pengadilan mengajukan hal itu kepada instansi atasan Tergugat menurut jenjang jabatannya. Selanjutnya instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat Tergugat melaksanakan putusan

(14)

Pengadilan. Langkah terakhir jika instansi atasan tersebut tidak mengindahkan permintaan Ketua Pengadilan maka Ketua Pengadilan mengajukan persoalan tersebut kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut untuk melaksanakan putusan Pengadilan.

Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2004 maka alur pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan TUN menjadi lebih sederhana. Terhadap Tergugat yang tidakmenjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh putusan hakim maka terhadap pejabat yang bersangkutan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administrasi, tanpa dijelaskan bagaimana mekanisme lebih jauh penjatuhan sanksi administrasi tersebut. Hanya dalam penjelasan secara otentik dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa” dalam ketentuan ini adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar putusan pada saat memutuskan mengabulkan gugatan Penggugat.

4. Analisa Konsistensi penggunaaan Istilah Batal Demi Hukum

Sebagaimana ditegaskan diatas bahwa tata cara atau prosedur putusan

yang dinyatakan batal demi hukum harus dinyatakan oleh instansi pengadilan yang lebih tinggi sehingga hakikatnya sifat batal demi hukum berubah menjadi “dapat dibatalkan” atau “dinyatakan batal”. Baik peradilan pidana, perdata maupun tata negara memiliki prosedur yang demikian.

Penggunaan istilah batal demi hukum diterapkan dalam dua konteks yang berbeda pada ketiga peradilan tersebut diatas. Yang pertama adalah terkait putusan peradilan dan yang kedua penggunaan istilah batal demi hukum bukan pada putusan peradilan yang dinyatakan batal demi hukum. Pada kategori kedua penggunaannya berbeda pada setiap bentuk peradilan. Untuk peradilan perdata terkait perjanjian yang dibuat oleh antar subjek hukum yang tidak memenuhi syarat objektif sebagaimana dimaksud pasal 1320 KUHPerdata. Untuk peradilan Tata Usaha Negara penggunaan istilah batal demi hukum ialah pada suatu bentuk keputusan tata usaha negara yang tidak memenuhi syarat dan kualifikasi tertentu. Sedangkan pada peradilan pidana penggunaan istilah batal demi hukum dilekatkan pada suatu dakwaan jaksa penuntut umum yang dapat dikualifikasi batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat dan kualifikasi tertentu yang ditetapkan oleh KUHAP.

(15)

Dalam konteks hukum perdata misalnya, suatu perjanjian yang dibuat tanpa kausa yang dibolehkan atau perjanjian yang memuat kausa yang bertentangan dengan undang-undang maka menurut pasal 1335 KUH Perdata adalah perjanjian yang batal demi hukum. Perjanjian yang demikian dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun demikian sekalipun sifat perjanjian batal demi hukum, namun pihak-pihak yang bersangkutan harus meminta pembatalan ke pengadilan sebagai instansi yang berwenang menyatakan perjanjian itu batal demi hukum. Atas permintaan para pihak itulah kemudian pejabat yang berwenang yaitu hakim perdata mengeluarkan putusan yang menyatakan perjanjian yang batal demi hukum itu kemudian dibatalkan.

Demikian juga praktek hukum tata usaha negara. Sesuatu yang batal demi hukum tidak dengan sendirinya batal. Agar sesuatu yang batal demi hukum dapat dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum maka harus melalui prosedur adanya pernyataan batal dari pejabat yang berwenang. Suatu putusan tata usaha negara yang berkualifikasi batal demi hukum harus dinyatakan oleh hakim yang mengadili dalam suatu peradilan tata usaha negara.

Terdapat perbedaan yang prinsipil antara lingkungan peradilan hukum

perdata atau hukum tata usaha negara pada satu pihak dengan lingkungan hukum pidana. Pada hukum perdata maka yang terkait secara langsung ialah kepentingan hak keperdataan terutama yang berkenaan dengan hak kebendaan atau perjanjian. Sedangkan pada hukum pidana terkait sekaligus dua kepentingan yaitu kepentingan perlindungan hak asasi terdakwa pada satu pihak dan kepentingan umum pada sisi yang lain.

Berbeda pada praktek peradilan perdata yang telah digariskan tata cara mengajukan pembatalan atas sesuatu tindakan hukum yang batal demi hukum maka hal tersebut tidak diatur dalam pasal 197 KUHAP. Dengan demikian undang-undang memberi keleluasaan bagi lembaga peradilan untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan hak asasi terdakwa pada satu pihak dengan kepentingan masyarakat serta tehaknya hukum dan keadilan pada pihak yang lain.

Hal yang tidak boleh terjadi adalah jangan sampai seorang terdakwa dieksekusi berdasarkan putusan pengadilan yang batal demi hukum, sebaliknya juga tidak boleh terjadi seorang terdakwa tidak dapat dieksekusi disebabkan oleh kelalaian hakim memenuhi salah satu ketentuan dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP. Berdasarkan pertimbangan itulah maka

(16)

putusan pada peradilan pidana yang batal demi hukum itu haruslah dapat diperbaiki.

Sayangnya peraturan perundang-undangan tidak mengatur mekanisme memperbaiki putusan yang batal demi hukum pada peradilan pidana. Sebagaimana telah diuraikan diatas prinsipnya pernyataan batal demi hukum dilakukan oleh instansi pengadilan yang lebih tinggi. Namun dalam hal putusan dimaksud telah berkekuatan hukum tetap, menurut Yahya Harahap pernyataan putusan batal demi hukum dapat diajukan oleh terdakwa/terpidana, penasehat hukun dan/atau jaksa kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat terakhir.11

C. Penutup

Penggunaan istilah batal demi hukum pada suatu putusan, baik peradilan pidana, perdata dan tata usaha negaramempersyaratkan syarat formil suatu putusan sehingga dalam hal syarat itu tidak dipenuhi maka suatu putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum. Berbeda dengan peradilan perdata dan peradilan tata usaha negara yang telah memberikan pengaturan dan kemapanan dalam hal praktek hukum terkait penerapan konsep batal demi hukum, maka peradilan pidana masih belum didukung

11

M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 388.

peraturan perundang-undangan yang memadai untuk memecahkan problem hukum terkait keberadaan putusan hakim yang dinyatakan batal demi hukum.

Mengingat keberadaan asaslegalitas dalam peradilan pidana maka mendesak untuk dirumuskan oleh pembentuk undang-undang suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal kebatalan suatu putusann yang dinyatakan batal demi hukum.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang

Hukum dan Negara, diterjemahkan

dari General Theory of Law and State, 2014, Nusa Media, Jakarta. Sasangko, Hari, Tjuk Suharjanto,

Penuntutan dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, 1988, Pustaka

Tinta Mas, Surabaya.

Indroharto, Peradilan Tata Usaha Negara, 1991, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Harahap, H.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, 2012, Sinar Grafika,

(17)

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata

Usaha Negara, 2013, Sinar Grafika, Jakarta.

Subekti, Hukum Perjanjian, 1990, Penerbit Intermasa, Jakarta.

B. Peraturan perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Tata Usaha Negara juncto Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Tata Usaha Negara.

Referensi

Dokumen terkait

anak juga sering dikaitkan dengan proses pikir dari anak tersebut yang masih dalam tahap pertumbuhan, sebab pertumbuhan seorang anak biasanya menyangkut tentang

Quality improvement is one of the development policy should continue to be implemented at all levels of education, because according to Mardapi (2008: 1-2), the quality of

Pelaksanaan (eksekusi) pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

Ketika diberikan nilai Ki 0,2 terlihat pada grafik bahwa quadcopter sudah bergerak didaerah set point akan tetapi masih sering terjadi osilasi didaerah

REFOLIS ISKANDAR Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Amati ada tidaknya cacat serat berombak, serat terpadu dan more. untuk Lgb pada KGB ukur juga besarnya Ø. b) hitung jumlah per batangnya kemudian ukur jaraknya, yang diukur

Hal ini disebabkan karena jarak tanam akan mempengaruhi tingkat kompetisi antara tanaman terhadap faktor pertumbuhan dan umur pindah bibit yang tepat dapat

Parcijalni proizvod je proizvod pojedinačnog proizvođača i namiruje parcijalne turističke potrebe, dok je integralni proizvod cjeloviti turistički proizvod jednog područja,